Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas | Latiefah | Jurnal Pemikiran Sosiologi 23415 60982 1 PB

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No.1 , Mei 2013

Pesantren Waria dan Kosntruksi Identitas
Oleh
Umi Latiefah1
Abstrak
Tulisan ini menjelaskan bagaimana waria memandang dirinya melalui masyarakat dan bagaimana pula
sebaliknya masyarakat memandang identitas waria. Pada realitanya waria masih mendapatkan
perlakuan diskriminatif karena identitasnya dipandang sebagai suatu penyimpangan. Pandangan ini
berakibat pada penempatan waria sebagai kaum subaltern atau termarjinalkan, akan tetapi masyarakat
sudah mulai terbuka dan menerima waria karena dilihat dari individunya bukan dari identitasnya,
namun masyarakat sebagian besar belum bisa menerima identitasnya sebagai waria. Waria melakukan
berbagai cara agar bisa diterima masyarakat salah satunya melalui pesantren. Pesantren sebagai alat
untuk merekonstruksi identitas waria yang memberikan gambaran tentang image waria yang positif.
Keberadaan pesantren khusus waria berhasil merekonstruksi identitas waria dengan menciptakan
konstruksi baru yang mampu memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa waria memiliki sisi
positif dan masyarakat menyakini adanya perbedaan tingkah laku antara waria yang di pesantren dengan
waria yang tidak ikut pesantren.
Kata Kunci: waria, pesantren, identitas, subaltern.
Abstract
This article explains how transexuals see themselves through society and contrary how society views the

transexual s identity. In reality, transexuals still faces discrimination from society because their identity
as a deviant. This view has an impact on the transexual s position as subaltern. Recently, society starts to
accept transexual from their personality rather than identity, however there are still majorities who do
not accept it. Transexual actively struggles to get accepted by society, one of them are through pesantren.
Pesantren becomes a tool to reconstruct more positive image of transexual in society. This pesantren
succed in their struggle to recosntruct positive image of transexual s identity and society itself can see
the different attitudes between transexual who join the pesantren and others who do not join in the
pesantren.
Keywords: transexual, pesantren, identity, subaltern.

A. Pendahuluan

diperlukan sebuah konsepsi yaitu identitas yang
merupakan representasi untuk menunjukkan jati

Pada hakekatnya manusia diciptakan sebagai

diri seseorang dalam masyarakat dan identitas

individu yang memiliki pribadi yang berbeda –beda


tersebut butuh pengakuan dari masyarakat agar

dengan individu lainnya. Untuk mengenali diri

seseorang bisa diterima keberadaannya. Masyarakat

seseorang terhadap dirinya maupun masyarakat

1

Umi Latiefah adalah alumni S1 Sosiologi UGM, menyelesaikan skripsinya dengan tema pesantren waria.

87

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 1, 2013
Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
Umi Latiefah

juga memiliki peran dalam mengonstruksikan


ada

dimasyarakat.

Fenomena

waria

dalam

identitas seseorang maupun kelompok dan setiap

masyarakat masih digolongkan sebagai perilaku

masyarakat memberikan konstruksi identitas yang

menyimpang karena tidak adanya kesesuaian antara

berbeda–beda berdasarkan kebudayaannya.


jenis kelamin dan peran yang dikonstruksikan oleh
masyarakat.

Berdasarkan jenis kelamin yang berlaku dalam
masyarakat terdapat dua identitas, yaitu laki–laki

Waria (wanita-pria) yang secara umum diartikan

dan perempuan. Masyarakat juga memberikan

sebagai

konstruksi identitas yang berbeda atas jenis kelamin

perempuan dalam kehidupan sehari–hari. Waria

tersebut. Misalnya saja laki–laki identik dengan

secara


maskulin dan perempuan identik dengan feminin.

transgender, yaitu mereka menentang konstruksi

Setiap kebudayaan memiliki caranya masing–

gender yang diberikan masyarakat pada umumnya,

masing dalam memberikan atribusi, sifat, dan peran

yaitu laki–laki atau perempuan, tetapi transgender

kepada laki–laki maupun perempuan. Sesuai jenis

disini mempunyai pengertian; perempuan yang

kelaminnya, manusia akan memberikan pemaknaan

terperangkap kedalam tubuh laki–laki (Pujileksono,


identitas

2005:9). Dilihat dari jenis kelaminnya, waria adalah

pada

dirinya

melalui

peran

yang

laki–laki

yang

sosiologis


dapat

berperan

diartikan

(1991), identitas diri terbentuk olehkemampuan

menarasikan dirinya sebagai perempuan bukanlah

untuk melanggengkan narasi tentang diri, sehingga

laki–laki sehingga mereka bertindak sesuai peran

membentuk

tentang

seorang wanita yang dikonstruksikan masyarakat.


adanya kontinuitas biografis. Narasi mengenai

Hal tersebut menjadikan pertentangan antara jenis

identitas berusaha menjawab sejumlah pertanyaan

kelamin

kritis: Apa yang harus dilakukan? Bagaimana

dijalankannya.Masyarakat menganggapnya sebagai

mengonstruksi suatu narasi identitas koheren

yang telah dikonstruksikan oleh masyarakat. Waria

bertindak? Dan ingin jadi siapa? Individu berusaha
dimana


diri

membentuk

suatu

dan

perempuan.

sebagai

laki–laki

terus–menerus

jiwanya

suka


dikonstruksikan oleh masyarakat. Bagi Giddens

perasaan

namun

lebih

ketidaksesuaian

peran

Waria

yang

sesuatu yang negatif karena tidak sesuai dengan apa

lintasan


merupakan

perkembangan dari masa lalu sampai masa depan

bagian

dari

masyarakat

yang

keberadaannya ingin diakui.

yang dapat diperkirakan (Barker, 2000 : 175). Sesuai

Manusia dalam kehidupan sehari-hari mempunyai

dengan jenis kelaminnya, seseorang akan bertindak,

kemampuan untuk mengakui keberadaan dirinya

berperilaku dan berpenampilan dalam kehidupan

dan keberadaan orang lain. Keduanya sangat

sehari–hari sesuai dengan peran berdasarkan

penting,

identitas yang telah dikonstruksikan masyarakat

mengakui

mempunyai

tersebut. Akan tetapi, realitasnya pada kehidupan

fungsi

keberadaan
untuk

diri

membantu

sendiri
orang

mengenal siapa dirinya dan peran dirinya sendiri

sosial muncullah fenomena waria.Dimana seseorang

dalam menjalani kehidupan. Sedangkan mengakui

secara fisik berkelamin laki–laki tapi berjiwa dan

keberadaan orang lain mempunyai fungsi untuk

bertingkah laku seperti perempuan. Fenomena

mendorong orang berinteraksi dengan orang lain

waria tidak dapat ditolak dan eksistensinya tetap

yang mempunyai perbedaan karakteristik, bahasa,
88

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 1, 2013
Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
Umi Latiefah

budaya, prinsip hidup, kepercayaan, ras dan etnis.

ayat dan hadist yang semakin memojokkan

Mengakui keberadaan diri sendiri dan keberadaan

kedudukan mereka.

orang lain dapat dikonsepsikan sebagai identitas,

Berbicara mengenai waria dapat kita kaitkan

memahami persoalan identitas berarti memahami

dengan konsep subaltern sebagai kelompok yang

bagaimana kita melihat diri kita dan bagaimana

terpinggirkan. Istilah subaltern pada awalnya

orang lain melihat kita (Barker, 2009: 173). Waria

digunakan oleh Antonio Gramsci untuk menunjuk

ingin diakui masyarakat sebagai perempuan karena

kelompok inferior , yaitu kelompok-kelompok

waria menganggap dirinya bukan sebagai jenis

dalam masyarakat yang menjadi subjek hegemoni

kelamin ketiga. Akan tetapi, masyarakat tidak

kelas-kelas yang berkuasa. Petani, buruh, dan

mengakui adanya keberadaan waria.Identitas waria

kelompok-kelompok lain yang tidak memiliki akses

tidak dianggap karena bagi masyarakat fenomena

kepada kekuasaan hegemoni bisa disebut sebagai

waria merupakan sebuah penyimpangan.

kelas subaltern.2 Istilah subaltern digunakan untuk

Dalam ajaran agama secara umum, menolak

mengidentifikasi

keberadaan waria. Waria dianggap menyalahi

tertindas, seperti waria. Gayatri Spivak menjelaskan

kodrat karena sejatinya Tuhan hanya menciptakan

bahwa subaltern tidak bisa memahami keadaannya

dua jenis kelamin yaitu laki-laki dan perempuan. Hal

dan tidak mampu untuk menyuarakan aspirasinya

ini bisa ditunjukkan dengan tidak adanya pondok

dan Spivak juga menekankan bahwa subaltern tidak

pesantren yang mau menerima seorang waria.

memiliki

Disamping itu, MUI memfatwakan:

kondisinya, sehingga kaum intelektual memiliki

ruang

golongan

untuk

terpinggirkan

mensuarakan

atau

tentang

tugas untuk mewakilinya (Widayanti, 2009: 23).
Dalam realitas sehari–hari, waria menjadi kaum
1. Waria adalah laki–laki dan tidak dapat

yang

dipandang sebagai kelompok (jenis kelamin)

Masyarakat

belum

bisa

menerima waria seutuhnya dan menganggap bahwa

sendiri.

waria itu sebuah penyimpangan dalam masyarakat.

2. Segala perilaku waria yang menyimpang

Waria masih menjadi obyek yang mendapat

adalah haram dan harus diupayakan untuk
dikembalikan

termarjinalkan.

pada

kodrat

perlakuan diskriminasi dalam kehidupan sehari–

semula

hari. Sehingga waria tidak mendapatkan tempat dan

(Pujileksono, 2005: 18).

kebebasan

untuk

menyuarakan

aspirasinya.

Keberadaan waria merupakan kelompok subaltern
Adanya diskriminasi waria melalui legitimasi agama

yaitu kelompok yang tertindas dan tidak mendapat

semakin menyudutkan posisi waria. Waria selalu

pengakuan dari masyarakat.

dianggap sebagai penyebar dosa dan terlaknat
(Nadia, 2005: 197). Mereka dihujani dengan ayat2

http://kunci.or.id/articles/intelektual-gagasansubaltern-dan-perubahan-sosial-oleh-antariksa/, diakses
pada 10 November 2012

89

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 1, 2013
Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
Umi Latiefah

B. Pandangan Waria terhadap Masyarakat

melihat seseorang dari statusnya sebagai waria.
Kebanyakan orang sudah beranggapan negatif dulu

Waria berkaca melalui masyarakat tentang dirinya.

melihat

Cooley memberi nama looking-glass self untuk

masih adanya diskriminasi terhadap waria dalam

kalau cermin memantau apa yang terdapat di

mendapatkan pekerjaan itulah yang membawanya

depannya, maka menurut Cooley diri seseorang

ke dalam dunia prostitusi. Disamping itu, waria juga

memantau apa yang dirasakan sebagai tanggapan

manusia yang memiliki nafsu biologisnya, dengan

masyarakat terhadapnya (Elly, 2007:68-69). Dalam

keluar malam diharapkan ia bisa mendapatkan

yang

pasangannya untuk memenuhi nafsu biologisnya

memojokkan dan menyudutkan masih dirasakan

atau seksualnya. Namun, tidak semua waria itu

waria sampai sekarang ini. Waria masih mendapat

keluar malam melakukan hal yang negatif. Waria

perlakuan yang kurang baik dan cibiran di

keluar malam hanya ingin berkumpul dengan

masyarakat. Selain itu, dari sisi pandang waria

teman– temannya untuk bertukar pikiran, tetapi

identitasnya sebagai waria belum bisa diterima
karena

mempermasalahkan

masih
dan

saja

ada

masyarakat sudah menjatuhkan vonis terhadap

yang

waria karena keluar malam identik dengan hal – hal

mempergunjingkan.

negatif. Waria memang tidak bisa dipisahkan

Bahkan masyarakat masih ada yang menganggap

dengan dunia malam. Waria juga perlu memenuhi

bahwa waria itu adalah penyakit. Saat berinteraksi

kesenangannya

dengan masyarakat pun sering terjadi perdebatan

membela

diri,

berkumpul.

seperti

Disitulah

waria

menemukan

dengan pekerjaannya masing–masing.

keadaan dirinya.

Dalam pandangan waria sendiri, kebanyakan orang

Dalam kehidupan sehari–hari waria juga masih

takut saat pertama kali bertemu dengan waria

mendapat diskriminasi, khususnya dalam mencari

karena orang sudah terbawa image waria yang

kerja. Status kewariaan seseorang masih menjadi

negatif. Padahal tidak semua waria seperti itu dan

pertimbangan untuk diterima tidaknya waria

karena waria yang berbeda dengan laki–laki pada

bekerja walaupun kerjanya bagus. Orang masih

umumnya membuat masyarakat takut untuk

berat sebelah untuk bisa menerima pegawai seorang

berhadapan dengan waria. Kenyataanya setelah

waria. Kewariaan seseorang menjadi salah satu
yang

batin.

kesenangannya, sebab siang hari waria sudah sibuk

memberikan pengertian kepada masyarakat tentang

faktor

kebutuhan

keluar malam bertemu dengan teman–teman dan

posisinya sehingga bagaimana caranya si waria
berusaha

sebagai

Kebutuhan batin waria juga terpenuhi dengan

tentang identits waria yang makin menyudutkan

tersebut

yang

malam sebagai pekerja seks. Hal ini dikarenakan

dengan perilaku orang yang sedang bercermin;

masyarakat

waria

dunia malam. Tak sedikit juga waria yang bekerja

melihat analogi antara pembentukan diri seseorang

ataupuntindakan

banyak

orang lain. Selain itu, waria jugadiidentikan dengan

lain. Nama demikian diberikan olehnya karena ia

hal–hal

padahal

berkompeten dalam bekerja tidak kalah dengan

melihat bahwa seseorang dipengaruhi oleh orang

realitanya

waria

menyebabkan

waria

orang tersebut berkenalan dan berbicara dekat baru

susah

bisa mengenal bahwa waria itu tidak seperti apa

mendapatkan pekerjaan karena masyarakat masih
90

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 1, 2013
Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
Umi Latiefah

yang dituduhkan masyarakat selama ini, yaitu

nilai yang ada yang telah dikonstruksikan oleh

identik dengan hal – hal yang negatif yang identik
Berbagai

masyarakat berdasarkan budaya masing – masing

anggapan negatif tersebut menempatkan waria

dianggap baku dan mutlak. Sedangkan kebalikan

sebagai kaum subaltern dalam masyarakatsehingga

dari esensialisme adalah antiesensialisme yang

waria berusaha untuk bisa lepas dari posisinya

menganggap bahwa identitas itu bisa berubah

sebagai subaltern dengan caranya agar diterima

sesuai ruang dan waktu tertentu.

dengan

penampilan

yang

berlebih.

masyarakat. Nilai–nilai tersebut kebenarannya

masyarakat, khususnya masyarakat tempat waria

Dalam masyarakat yang biasa dianut adalah konsep

itu tinggal. Usaha yang dilakukan seperti membuka

identitas yang esensial yang dianggap mutlak dan

diri kepada masyarakat sekitar, ikut berbagai

tidak bisa berubah, begitu pula dengan halnya

kegiatan yang ada untuk menepis anggapan miring

identitas berdasarkan jenis kelaminnya hanya ada

tentang dirinya dan berdandan yang tidak glamor

dua

serta mencolok atau dengan memakai kerudung

dalam

bersosialisasi

memberikan pengaruh besar besar adalah negara
yang memberikan konstruksi hanya ada laki–laki

menghormati sebagai sesama manusia walaupun
waria

masih

yang

waria dan di Indonesia konstruksi masyarakat yang

dirinya sudah dianggap dan masyarakat mulai

sebagai

perempuan

sehari-hari tidak dapat dipungkiri muncul fenomena

dan

berinteraksi dengan masyarakat, waria merasa

identitasnya

dan

sesuai dengan jenis kelaminnya. Dalam kehidupan

melihatnya. Dengan usaha dan kemampuan waria
dirinya

laki–laki

dikonstruksikan dengan peran sedemikian rupa

agar tidak menjadi pusat perhatian orang yang

membawai

yaitu

dan perempuan dan agama yang secara substansi

menjadi

waria dianggap sebagai pelanggar kodrat. Adanya

pergunjingan di masyarakat.

konstruksi

tersebut

memberikan

penegasan

terhadap peran masyarakat berdasarkan atas jenis
kelaminnya.

C. Pandangan Masyarakat Terhadap Waria

Sehingga

masyarakat

tidak

menganggap waria itu ada dan secara otomatis
Identitas

merupakan

konsepsi

diri

untuk

identitas waria menjadi tidak diakui eksistensinya

merepresentasikan jati diri seseorang dan identitas

karena merupakan hal yang menyimpang.

membutuhkan pengakuan dalam masyarakat agar
Disisi lain ada sebagian kecil masyarakat yang bisa

seseorang bisa diterima dalam masyarakat. Sesuai

menerima sepenuhnya waria. Masyarakat yang

dengan konsep identitas dari Hall tersebut terdapat
dua

asumsi,

yaitu

esensialisme

menerima keberadaan waria sepenuhnya bisa kita

dan

sebut dengan masyarakat yang antiesensialisme.

antiesensialisme. Esensi dari diri seseorang itulah

Dimana mereka meyakini bahwa realitanya ada

yang disebut identitas. Berdasarkan logika ini maka

waria yang secara kelamin laki–laki yang perannya

akan ada esensi feminitas, maskulinitas, Asia,

tidak sesuai dengan nilai–nilai yang ada dalam

remaja, dan segala katagori sosial lainnya (Barker,

masyarakat. Tidak dapat dipungkiri kenyataan yang

2000: 174). Kaum esensialisme menyakini bahwa

ada tidak hanya ada laki laki dan perempuan saja,

identitas dalam masyarakat sesuai dengan nilai–

tetapi muncul fenomena waria. Dalam penelitian ini,
91

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 1, 2013
Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
Umi Latiefah

masyarakat

awam,

tokoh

adat,

dan

esensialisme

tokoh

dan

antiesensialisme

bisa

kita

masyarakat yang menolak waria diposisikan sebagai

analogikan seperti rel kereta api yang tidak ada

kaum esensialisme dan tokoh masyarakat yang

ujung perpotongan. Masyarakat yang menerima

menerima waria dan pemuka agama diposisikan

waria dan masyarakat yang menolak identitas

sebagai kaum antiesensialisme. Bagaimanapun juga

kewariaan seseorang sama halnya dengan rel kereta

keberadaan waria masih menjadi pro kontra dalam

api yang tidak pernah bertemu ujungnya tetapi

masyarakat. Pihak yang menerima waria dan pihak

berjalan sejajar artinya masyarakat yang menolak

yang belum menerima waria susah disatukan

waria bukan berarti juga menolak individunya. Ini

pendapa tdan pemahamannya tentang penerimaan

berarti masyarakat mulai mau berinteraksi dan

waria. Agamapun juga tidak bisa dijadikan advokasi

berbaur

terhadap waria padahal dalam ajaran agama

menghormatinya walaupun masyarakat menolak

hakekatnya manusia itu sama kedudukannya tidak

identitasnya sebagai waria.

dengan

waria

dan

sudah

mulai

ada perbedaannya sebagai makhluk ciptaan Tuhan.
Agama justru memberikan konstruksi yang kuat
terhadap masyarakat yang esensialis. Sesuatu yang
tidak sesuai dengan identitas yang esensial dianggap

D. Pesantren Waria sebagai Tempat untuk

sebagai penyimpangan sehingga waria merupakan

Merekonstruksi Identitas

deviant bagi penganut esensialisme. Hal ini
menunjukkan bahwa antara kaum esensialisme dan
Pesantren khusus waria memberikan ruang baru

antiesensialisme jika disatukan tidak akan bersatu

bagi waria untuk belajar agama. Waria yang

atau bertemu dalam suatu titik perpotongan.

dianggap masyarakat jauh dari agama, pesantren
Berdasarkan teori the Looking Glass Self masyarakat

memfasilitasi untuk mengenal dan belajar agama.

diibaratkan sebagai cermin pantul bagi waria. Waria

Waria bisa leluasa beribadah dan memperdalam

memandang masyarakat berada pada esensialisme.

ajaran agamanya. Mereka diberikan kebebasan

Sehingga membawa waria terjebak dalam pemikiran

untuk memakai sarung ataupun mukena pada saat

esensialisme. Waria melihat dirinya sebagai kaum

beribadah sesuai hati nuraninya tanpa adanya

yang termarjinalkan, oleh sebab itu waria berusaha

paksaan.

dengan berbagai caranya agar diterima masyarakat.

kenyamanannya

Seperti bagaimana mereka harus membawa dirinya

Ketakutan

dalam masyarakat. Misalnya mengikuti kegiatan–

beribadah di masjid membayangi waria, khususnya

kegiatan yang diadakan di lingkungannya, berusaha

waria yang memakai mukena. Dengan adanya

menyesuaikan

pesantren tersebut mampu memberikan rasa

penampilannya

sesuai

budaya

setempat, berdandan yang tidak mencolok. Usaha–

Sehingga

tidak

dalam

waria

menemukan

menjalankan

diterima

ibadah.

masyarakat

saat

nyaman bagi waria untuk beribadah.

usaha yang dilakukannya tersebut merupakan
Pesantren khusus waria tidak hanya sebagai tempat

bentuk negosiasi terhadap masyarakat atas dasar

untuk belajar agama tetapi, pesantren merupakan

esensialisme. Berdasarkan realita di lapangan,
92

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 1, 2013
Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
Umi Latiefah

wariadengan menciptakan image yang positif

saja elit politik dan tokoh – tokoh penting

terhadap waria agar kehadirannya bisa diterima

(Spivak, 199 : 62):

alat untuk merekonstruksi identitas baru bagi

masyarakat, seperti yang dikatakan oleh Spivak

oleh masyarakat. Seperti halnya Giddens bahwa
identitas dimaknai sebagai proyek, rekonstruksi

... begitu seorang perempuan melakukan

identitas bagi waria juga merupakan suatu proyek

tindakan perlawanan tanpa infrastruktur

untuk menciptakan identitas yang membawa waria

yang

pada norma sosial lewat agama. Diharapkan waria
nantinya

mampu

bersosialisasi

akan

membuat

kita

mengenali

perlawanan itu, perlawanannya bakal sia –

dengan

sia (dalam Edkins and Williams, 2009: 424).

lingkungannya secara baik sesuai norma sosial yang
berlaku dalam masyarakat. Dalam merekonstruksi
identitas memerlukan proses dan perjuangan agar

Waria dalam merekonstruksi identitasnya melalui

identitas baru yang tercipta bisa diakui oleh

pesantren juga ditopang oleh tokoh–tokoh penting.

masyarakat. Dengan adanya identitas baru tersebut

Pesantren

diharapkan dapat menepis anggapan-anggapan

identitas didirikan oleh Kyai yang terkenal di

miring tentang waria sehingga bisa menaikkan

Notoyudan dan mendapat dukungan dari berbagai

derajat waria dengan begitu perlahan waria bisa

tokoh penting seperti ketua MUI cabang Yogyakarta

keluar dari posisi subaltern.

dan tidak lepas ada campur tangan dari keraton

yang

sebagai

alat

perekonstruksi

dan

Yogyakarta sendiri. Kemunculan pesantren di

dibimbing serta diarahkan pada hal-hal yang lebih

Notoyudan sendiri lepas dari campur tangan

baik.

bisa

masyarakat sekitar. Masyarakat di sekitar langsung

meninggalkan hal-hal yang negatif bagi dirinya

menerima begitu saja dan mereka juga mendukung

seperti keluar malam yang menjerumus pada seks

karena kegiatan pesantren khusus waria ini

bebas. Selain itu, waria selalu diarahkan untuk bisa

dianggap positif dan didirikan oleh tokoh–tokoh

mengontrol tingkah lakunya dalam masyarakat

penting dalam masyarakat.

tanpa mengubah jati dirinya sebagai waria.

Pesantren berusaha merangkul masyarakat sekitar

Pesantren berusaha menciptakan image waria yang

dalam setiap kegiatannya. Dengan merangkul

terlihat religius dan berusaha merubah tingkah laku

masyarakat sekitar diharapkan bisa menunjukkan

waria yang dianggap liar oleh masyarakat menjadi

sisi positif dari waria dan masyarakat mengenal

terkontrol dan bisa membawa dirinya untuk

lebih dalam lagi kehidupan waria sehingga menepis

bersosialisasi dengan baik di masyarakat. Kehadiran

stigma–stigma

pesantren khusus waria ini mendapat dukungan

masyarakat. Pesantren memilki daya tarik bagi

dari berbagai pihak khususnya masyarakat sekitar.

masyarakat sekitar untuk ikut berpartisipasi dalam

Perjuangan kaum subaltern akan lebih berarti dan

acara yang diadakan seperti peringatan besar Islam,

terdengar yang membuat perjuangannya tersebut

acara

Waria

dikenalkan

Perlahan

ajaran–ajaran

waria

disadarkan

agama

dan

tidak sia – sia jika melalui infrastruktur, misalnya

17

negatif

Agustusan.

yang

berkembang

Pesantren

di

memberikan

suguhan berupa makanan atau hiburan sebaik
93

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 1, 2013
Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
Umi Latiefah

E. Penutup

mungkin. Masyarakat sekitar digerakkan untuk
mengatur tenda, parkir dan menata tempat yang

Waria berkaca pada masyarakat untuk melihat

digunakan untuk kegiatan bahkan mereka juga

dirinya. Masyarakat diibaratkan cermin pantul bagi

diberi upah. Hal ini tentunya menguntungkan bagi

waria untuk memantau tanggapan atas dirinya.

masyarakat sekitar. Secara tidak langsung membuat

Masyarakat masih ada yang menganggap waria

adanya ketergantungan antara masyarakat sekitar

negatif kerena identik dengan dandanan yang

dengan pesantren sehingga masyarakat sudah
menganggap

pesantren

sebagai

bagian

glamor dan mencolok serta identik dengan keluar

dari

malam. Adanya anggapan tersebut waria berusaha

masyarakat Notoyudan. Wartawan–wartawan dari

dengan caranya masing–masing agar diterima

berbagai media dari dalam maupun luar negeri juga

masyarakat seperti bagaimana ia bisa membawa

ada yang diundang untuk meliput acara tersebut.
Kegiatan–kegiatan

tersebut

diekspos

dirinya dalam masyarakat. Misalnya saja dengan

agar

berdandan tidak mencolok agar tidak menjadi

masyarakat luas bisa tahu bahwa waria juga

pergunjingan, menjaga sikap, bahkan ada yang

memiliki sisi positif dan mereka juga bisa religius

memakai

dan untuk mensosialisasikan identitas barunya

merupakan

tersebut. Memperlihatkan kepada khalayak umum

kerudung.
bentuk

Usaha-usaha
dari

tersebut

negosiasi

agar

kehadirannya diterima oleh masyarakat.

bahwa waria tidak seperti apa yang dituduhkan
Pandangan masyarakat menganggap waria sebagai

masyarakat selama ini yang identik dengan dunia

suatu keanehan karena dalam memahami identitas

malam dan hal–hal yang bersifat negatif. Masyarakat

ada

Notoyudan juga merasa senang dengan keberadaan

asumsi–asumsi

esensialisme

dan

antiesensialisme. Masyarakat kita sebagian besar

wartawan televisi terutama dari mancanegara

merupakan penganut esensialisme dimana identitas

karena daerah mereka bisa terkenal di luar negeri.

dipahami sebagai sesuatu yang universal dan mutlak
Pesantren dirasa mampu merekonstruksi identitas
baru

waria.

merasakan

Waria
adanya

yang

menjadi

perubahan

sehingga anggapan masyarakat tidak ada waria yang

santrinya

setelah

ada laki – laki dan perempuan. Dan masyarakat

ikut

sudah memberikan konstruksi secara normatif

pesantren. Mereka menjadi sadar dan tahu mana

antara peran dengan jenis kelaminnya masing –

yang baik bagi mereka dan bisa meninggalkan

masing. Selain itu realita yang ada dilapangan bahwa

kehidupan waria yang negatif seperti keluar malam

waria identik dengan keluar malam yang negatif.

menjadi pekerja seks. Bahkan ada waria yang sudah

Bagi masyarakat yang esensialisme menganggap

mendapatkan pekerjaan yang lebih baik lagi tidak

waria itu adalah laki – laki bahkan masih ada yang

lagi menjadi pekerja seks. Masyarakat juga mengaku

menganggap bahwa menjadi waria itu merupakan

bahwa waria yang menjadi santri di pesantren

sebuah penyakit. Hai inilah yang menempatkan

dengan waria yang ada di jalanan tingkah lakunya

waria sebagai subaltern. Akan tetapi sebagian kecil

berbeda. Waria yang ada di pesantren selain

masyarakat yang sepaham dengan antisensialisme

dianggap lebih religius juga tingkah laku dan

menganggap bahwa ada fenomena waria dalam

ucapannya lebih sopan.

masyarakat yang secara normatif tidak ada
94

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 1, 2013
Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
Umi Latiefah

kesesuaian antara jenis kelamin dan perannya.

berlebih bisa dirubahnya. Dengan begitu dapat

Melalui penelitian ini didapatkan hasil bahwa

menepis stigma– stigma negatif masyarakat tentang

masyarakat sekarang ini sudah mulai terbuka

waria sehingga kedudukan waria bisa sama dengan

dengan keberadaan waria. mereka melihat waria

masyarakat. Waria yang menempati subaltern bisa

bukan dari identitasnya, tetapi dari pribadinya.

keluar dari posisi subaltern.

Masyarakat

memang

belum

bisa

menerima

Pesantren dimaknai sebagai alat atau sarana untuk

kewariaan seseorang karena menganut asumsi

merekonstruksi identitas baru bagi waria yang

esensialisme tetapi mereka sudah mulai menghargai

cenderung membawa dirinya secara normatif sosial

waria dan mau berbaur dengan waria.

lewat agama. Untuk memperlihatkan sisi positif

Keberadaan waria yang tadinya tidak diterima

waria melalui pesantren juga ditunjang adanya

masyarakat membuat waria ingin menciptakan

media massa dari dalam maupun luar negeri yang

image positif tentang dirinya lewat pesantren.

diharapkan mampu menyampaikan gambaran yang

Secara sosiologis, keberadaan pesantren merupakan

postif tentang waria di masyarakat luas. Dan

tempat untuk merekonstruksi identitas baru waria

pesantren berhasil merekonstruksi identitas baru

agar waria bisa bermasyarakat dan tidak liar.

waria yang bisa terarah tingkah lakunya. Perlahan

Pesantren juga bisa dipahami sebagai tempat untuk

dunia malam yang negatif sudah mulai ditinggalkan

menertibkan waria karena realita dilapangan yang

oleh santrinya. Keberhasilan pesantren dalam

menjadi santri tidak hanya beragama Islam tapi dari

rangka merekonstruksi identitas baru tersebut

lain

keagamaan

dibuktikan dengan anggapan masyarakat sekitar

berlangsung santri yang non muslim duduk diam,

yang merasakan perbedaan antara waria yang ikut

tetapi di kegiatan lain meraka dibimbing dan

pesantren dengan yang tidak.

agama

juga.

Saat

kegiatan

diarahkan agar menjadi lebih baik secara normatif
sosial. Pesantren waria merupakan tempat bagi
waria untuk dikenalkan dan didekatkan dengan
ajaran agama. Ajaran – ajaran dan bimbingan dari

pesantren nantinya bisa diimplementasikan waria
dalam kehidupan sehari – hari sehingga bisa

memberikan gambaran kepada masyarakat bahwa
image

waria

tidak

selamanya

negatif.

Pengimplementasian waria diwujudkan dengan
waria

mampu

menyesuaikan

diri

dengan

lingkungannya agar dapat berinteraksi dengan
masyarakat. Bagaiamana waria harus bersikap,
bertindak, berbicara termasuk waria yang identik
dengan dandanan yang glamor bisa merubah hal
sedemikian itu yang menurut masyarakat terlalu
95

Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 2 No. 1, 2013
Pesantren Waria dan Konstruksi Identitas
Umi Latiefah

Daftar Pustaka
Antariksa.2009. Intelektual Gagasan Subaltern dan
Perubahan

Sosial,

dalam

http://kunci.or.id/articles/intelektualgagasan-subaltern-dan-perubahan-sosialoleh-antariksa/, diakses pada 10 November
2012
Barker, Chris. 2004. Cultural Studies. Yogyakarta:
Kreasi Wacana
Edkins, Jenny dan Nick Vaughan Williams. 2010.
Teori – Teori Kritis: Menentang Pandangan
Utama

Studi

Politik

Internasional.

Yogyakarta: Pustaka Baca
Elly, Setiadi, M.. 2007. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar.
Jakarta: Kencana
Nadia, Zunly. 2005. Waria Laknat atau Kodrat.
Yogyakarta: Pustaka Marwa
Pujileksono, Sugeng. 2005. Waria dan Tekanan
Sosial. Malang: UMM Press
Widayanti,Titik.2009. Politik Subaltern; Pergulatan
Identitas Waria. Yogyakarta: JPP-FISIPOL
UGM

96