MENGGAGAS INDONESIA BARU MELALUI PENDIDI

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 215 - 221

MENGGAGAS “INDONESIA BARU” MELALUI PENDIDIKAN MULTIKULTUR DAN INTERAKSI
ANTARBUDAYA
Sugeng Harianto1
Danang Tandyonomanu2
Indah Prabawati3
Indri Fogar Susilowati4
1-4Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya
1sugengharianto@unesa.ac.id

Abstrak
Pada masa kolonial masyarakat Indonesia mempunyai keberagaman ras, etnis, agama, dan budaya. Furnivall menyebut
keberagaman itu sebagai masyarakat majemuk, yang ditandai oleh kehidupan sosial, ekonomi, dan politik yang
terfragmentasi. Struktur masyarakat terstratifikasi ke dalam tiga strata sosial, yaitu stara sosial atas diduduki oleh orangorang Eropa, strata sosial menengah oleh orang-orang Timur Asing, dan strata sosial bawah oleh pribumi. Pada
pascakemerdekaan, keberagaman tersebut terjadi antara pribumi. Keberagaman ini di satu sisi merupakan kekayaan
bangsa, di sisi lain, merupakan potensi konflik sosial. Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia ditandai oleh konflik
sosial di beberapa daerah yang dilatarbelakangi oleh permasalahan SARA. Hal ini menunjukkan bahwa “ke-Indonesia-an
kita” belum selesai. Oleh karena itu, dubutuhkan strategi yang tepat untuk menjaga integrasi bangsa di tengah-tengah
keberagaman. Strategi tersebut di antaranya adalah pendidikan multikultur dan interaksi antarbudaya.
Kata kunci: Strategi, Multikultur, Interaksi Antarbudaya


PENDAHULUAN
Kata Yudi Latief, Nations in Nation. Pernyataan ini memberi makna bahwa Indonesia merupakan kenyataan yang
terdiri atas keberagamaan. Keberagaman masyarakat Inonesia merupakan keniscayaan. Indonesia merupakan bangsa
yang memiliki keberagaman ras, etnis, agama, dan budaya. Furnivall, administrator kolonial, menyebut keberagaman
tersebut sebagai masyarakat majemuk (Nagata, 2001). Furnivall menggunakan konsep masyarakat majemuk untuk
menggambarkan kondisi struktur masyarakat Indonesia pada masa kolonial Belanda. Menurut Furnivall, masyarakat
majemuk merupakan masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih komunitas maupun kelompok-kelompok yang secara
budaya dan ekonomi terpisah serta memiliki struktur kelembagaan yang berbeda satu dengan lain. Komunitas-komunitas
yang ada hidup secara terpisah tanpa ada pembauran satu sama lain dalam satu kesatuan politik. Furnivall menyebut
masyarakat karakteristik seperti sebagai ciri masyarakat daerah tropis, yang ditandai oleh adanya perbedaan ras antara
mereka yang berkuasa dengan mereka yang dikuasai. Furnival menggambarkan dengan baik melalui piramida struktur
masyarakat Indonesia pada masa kolonial. Struktur masyarakat Indonesia pada masa kolonial terdiri atas orang-orang
Eropa yang menduduki strata sosial atas, orang-orang Timur Asing (Arab, India, dan Tionhoa) yang menduduki strata sosial
menengah, dan orang-orang pribumi yang menduduki strata sosial bawah. Orang-orang pribumi menjadi warga negara
kelas tiga di negerinya sendiri.
Senada dengan Furnivall, Clifford Geertz mendefiniskan masyarakat majemuk sebagai masyarakat yang terbagi
atas subsistem-subsistem yang lebih kurang berdiri sendiri dan dipersatukan oleh ikatan-ikatan primordial. Subsistemsubsistem tersebut yang hidup terpisah tersebut diintegrasikan oleh adanya kesamaan ras, etnis, agama, dan budaya.
Nasikun (1992) menjelaskan bahwa masyarakat majemuk merupakan suatu masyarakat yang menganut sistem nilai yang
berbeda di antara berbagai kesatuan sosial yang menjadi anggotanya. Para anggota masyarakat tersebut kurang memiliki

loyalitas terhadap masyarakat sebagai suatu keseluruhan, kurang memiliki homogenitas kebudayaan, atau bahkan kurang
memiliki dasar untuk mengembangkan sikap saling memahami.
Kemajemukan masyarakat Indonesia pada masa kolonial bukan hanya terjadi secara horizontal, tertapi juga terjadi
secara vertikal. Di bidang ekonomi dan politik, masyarakat Indonesia terpolarisasi ke dalam strata-strata, yaitu kelompok
yang secara ekonomi kuat, yang menduduki strata sosial menengah dan atas, dan kelompok yang secara ekonomi lemah,
yang menduduk strata sosial bawah. Demikian pula, di bidang politik, masyarakat Indonesia juga terpolrasisasi ke dalam
dua kelompok, yaitu sekelompok kecil orang yang mempunyai kekuasaan, yang dalam ilmu politik disebut elit, dan sebagian
besar orang yang tidak mempunyai kekuasaan atau yang dikuasai, yang disebut sebagai massa. Kelompok-kelompok
tersebut sebenarnya lebih menyerupai kelas, seperti yang digagas oleh Karl Marx, karena antarkelompok tersebut
mengembangkan kehidupan masing-masing secara terpisah dan tidak ada pembauran satu sama lain.
http://semnastafis.unimed.ac.id

ISSN: 2598-3237 (media cetak)
ISSN: 2598-2796 (media online)
215

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 215 - 221

Boeke dengan tepat menggambarkan kondisi ekonomi masyarakat Indonesia pada masa kolonial Belanda sebagai
dual economy. Dalam kehidupan sehari-hari waktu ini berkembang di masyarakat dua macam ekonomi, yaitu sektor

ekonomi modern yang secara komersial lebih bersifat canggih (sophisticated), banyak bersentuhan dengan lalu lintas
perdagangan internasional, dan berorientasi keuntungan (profit oriented), dan sektor ekonomi tradisional yang bersifat
konservatif, berorientasi untuk memelihara keamanan dan kelanggengan sistem yang sudah ada, serta kurang mampu
mengusahakan pertumbuhan.
Akar perbedaan dalam dual economy tersebut dapat dicari pada struktur masyarakat Indonesia pada masa kolonial
Belanda. Struktur masyarakat mempuyai perbedaan yang tajam antara struktur masyarakat kota yang bersifat modern,
dengan struktur masyarakat Indonesia yang bersifat tradisional. Struktur masyarakat kota ditandai oleh sektor ekonomi
modern, sedangkan struktur masyarakat desa ditandai oleh sektor ekonomi tradisional. Secara keseluruhan dalam struktur
masyarakat seperti itu ditandai kesenjangan (gap) yang tajam di dalam hampir semua aspek kehidupan. Kesenjangan
seperti itu tercermin dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam kehidupan masyarakat ditemukan jurang pemisah
antara sejumlah kecil orang yang kaya dengan sejumlah besar orang yang miskin, antara sejumlah orang yang hidup di kota
yang modern dengan sejumlah orang yang tinggal di desa yang tradisional, antara sejumlah kecil orang yang berpendidikan
dengan sejumlah besar orang yang tidak berpendidikan.
Dalam kehidupan politik ditemukan polarisasi masyarakat ke dalam kelompok penguasa (elit) dan kelompok yang
dikuasai (massa). Antara elit dan massa mempunyai perbedaan ras. Sekelompok kecil orang yang berasal dari ras
kaukasoid (Eropa) menjadi penguasa (elit), yang menguasai orang-orang pribumi yang berbeda ras. Di tengah-tengah strata
sosial atas dan bawah terdapat strata sosial menengah yang diduduki oleh orang-orang Timur Asing, yaitu orang-orang
India, Arab, dan Tionghoa. Pemerintah kolonial sengaja mendudukkan orang-orang Timur Asing untuk menduduki strata
sosial menengah sebagai perantara orang-orang Eropa dengan pribumi, terutama dalam kegiatan perdagangan.
Realitas keberagaman masyarakat Indonesia bergeser memasuki pascakemerdekaan. Masyarakat majemuk,

seperti yang dikonsepkan oleh Furnivall, haruslah direvisi, karena terdapat perubahan-perubahan dalam struktur
masyarakat Indonesia. Dengan “terlemparnya” orang-orang Eropa dari struktur masyarakat, keberagaman masyarakat
Indonesia tidak terjadi antara orang-orang Eropa, Timur Asing, dan Pribumi, melainkan terjadi antarpribumi. Keberagaman
masyarakat Indonesia akan memperoleh arti penting dilihat dari sukubangsa, agama, dan budaya.
Suparlan (2001) menjelaskan lambang negara Bhineka Tunggal Ika atau berbeda-beda tetap satu juga,
mencerminkan kenyataan aktual dari masyarakat Indonesia. Indonesia terdiri atas 500 sukubangsa, yang masing-masing
mempunyai jatidiri suku bangsa dan kebudayaan serta meng-haki wilayah tempat hidup mereka. Anggota-anggota dari
setiap masyarakat suku bangsa hidup dalam komunitas-komunitas yang pada dasarnya homogen dengan masing-masing
jatidiri suku bangsa dan jatidiri budayanya di dalam batas-batas wilayah sendiri. Di tanah air sendiri masyarakat suku
bangsa setempat dengan kebudayaannya adalah yang dominan, yang berfungsi sebagai seperangkat sistem acuan dalam
mempedomani anggota-anggota komunitas di dalam kegiatan-kegiatan setiap hari dan di dalam cara mereka melihat dan
memahami dunia sekeliling mereka di mana mereka menjadi bagian dari dunia tersebut.
Idealnya kebhinnekaan demikian bagi bangsa Indonesia dapat menjadi kekayaan dan kebanggaan. Kenyataan
seperti itu juga menuntut sikap anggota masyarakat yang tidak hanya mengakui adanya perbedaan, tetapi lebih dari itu
mempunyai kesediaan untuk hidup secara berdampingan dengan harmonis di tengah-tengah keberagaman tersebut.
Namun, dalam realitas empirik, yang terjadi justru sebaliknya. Keberagaman masyarakat Indonesia bukannya
menjadi kekayaan dan kebanggaan, namun ada kecedenrungan keberagaman tersebut justru menjadi potensi konflik
sosial. Terdapat kecenderungan anggota masyarakat bukannya mengakui adanya perbedaan dan mempunyai kesediaan
untuk hidup berdampingan secara harmonis, namun justru menjadikan perbedaan di dalam keberagaman tersebut menjadi
pemicu konflik sosial.

Pemerintah, terutama pada rezim Orde Baru, justru menerapkan politik penyeragaman (conformity) di tengahtengah keberagaman tersebut atas nama persatuan dan kesatuan. Politik sentralisme kekuasaan yang pada masa Orde
Baru memaksakan “monokulturalisme” yang nyaris seragam. Tidak mengherankan bila yang terjadi kemudian
monokulturalisme ini memunculkan reaksi balik, yang mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi kebudayaan
Indonesia yang multikultural. Berbarengan dengan otonomisasi dan desentralisasi kekuasaan pemerintahan terjadi
peningkatan “provinsialisme” yang hampir tumpang tindih dengan etnisitas. Hampir di seluruh wilayah Indonesia muncul
gerakan “Anti Jawa” dan semakin menguatnya putra daerah. Pemilihan pejabat publik seperti bupati, walikota, dan gubernur
secara implisit mempersyaratkan calon harus berasal dari putra daerah. Kenyataan seperti itu, untuk sebagian daerah,
masih berlanjut hingga sekarang.
Masyarakat Indonesia yang mempunyai keberagaman ras, etnis, agama, dan budaya bukan saja merupakan
kekayaan masyarakat itu, tetapi juga merupakan potensi konflik social yang dapat memberikan ancaman terciptanya
disintegrasi bangsa. Oleh karena itu penting untuk mengidentifikasi dan menganalisis konflik-konlik sosial yang terjadi di
Indonesia, serta mencarikan solusi pemecahan untuk menciptakan dan mempertahankan integrasi bangsa di tengah-tengah
keberagaman.
http://semnastafis.unimed.ac.id

ISSN: 2598-3237 (media cetak)
ISSN: 2598-2796 (media online)
216

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 215 - 221


PEMBAHASAN
Konflik Sosial di Tengah Keberagaman
Tidak banyak dari bangsa ini yang menyadari sepenuhnya bahwa heterogenitas (keberagaman) ras, etnik,
agama, bahasa dan adat istiadat merupakan keniscayaan yang harus diterima. Yang terjadi sebaliknya bahwa masingmasing kelompok agama, ras, dan suku justru mengembangkan sikap etnosentrisme, egosentrisme, dan eksklusivisme.
Politik identitas kelompok seiring dengan menggejalanya komunalisme semakin menguat. Konflik antar suku maupun
agama muncul bak cendawan di musim hujan. Kesatuan dan persatuan yang selama ini dibangun ternyata semu belaka.
Yang mengemuka kemudian adalah kepentingan antarsuku, daerah, ras ataupun agama dengan mengesampingkan
realitas atau kepentingan yang lain, bahkan tidak jarang suatu kelompok menghalalkan segala cara demi mewujudkan
kepentingannya.
Dalam kondisi demikian, disintegrasi bangsa juga menjadi keniscayaan yang tidak dapat dikatakan tidak ada.
Keberagaman, baik ras, etnik, agama, bahasa, maupun adat istiadat akan menjadi kekayaan bangsa ini bila dapat dikelola
dengan baik, dan akan menjadi bencana disintegrasi bila tidak dikelola dengan baik. Dalam lintasan sejarah bangsa ini,
keberagaman tidak hanya menjadi identitas diri kita, tetapi juga menjadi sumber konflik sosial. Kenyataan ini juga diakui
oleh R. William Liddle (dalam Siswarini dan Kasijanto, 2003) bahwa pembelahan masyarakat Indonesia baik secara vertikal
maupun horizontal merupakan hambatan bagi upaya mewujudkan integrasi nasional.
Huntington (dalam Siswarini dan Kasijanto, 2003) meramalkan bahwa konflik antarperbedaan di masa depan tidak
lagi disebabkan oleh faktor-faktor ekonomi, politik, dan ideologi, tetapi justru dipicu oleh masalah-masalah suku, agama, ras,
dan antargolongan (SARA). Konflik tersebut menjadi gejala terkuat yang menandai runtuhnya polarisasi ideologi dunia ke
dalam komunisme dan kapitalisme, bersamaan dengan runtuhnya politik negara-negara Eropa Timur. Ramalan ini

sebenarnya telah didukung oleh peristiwa sejarah yang terjadi sebelumnya (era 1980-an), yaitu terjadi perang etnik di
kawasan Balkan, di Yogoslavia pasca pemerintahan Josip Bros Tito: keragaman yang di satu sisi merupakan kekayaan dan
kekuatan, berbalik menjadi sumber perpecahan ketika leadership yang mengikatnya lengser.
Bahkan jauh sebelum Huntington, David C. Korten (1993) sudah menyampaikan bahwa ada bukti kuat sifat tindak
kekerasan yang terorganisir sedang berubah. Perang konvensional yang menghadapkan tentara suatu negara melawan
tentara negara lain, kini dengan cepat akan menjadi suatu keanehan historis saja. Dalam peperangan kontemporer semakin
banyak perkelahian terjadi antara fraksi-fraksi agama, etnis dan politik yang memiliki batas negara dan kebangsaan yang
sama. Peristiwa runtuhnya ideologi komunisme di Eropa Timur menjadi salah satu bukti historis. Yang menggantikan
komunisme di negara-negara kawasan itu bukan demokrasi liberal, melainkan sebaliknya merupakan kelahiran kembali
fraksionalisme dan konflik berdasarkan persaingan etnis, agama, dan budaya yang sudah berabad-abad lamanya.
Lance Castles (1994) juga memberikan indikasi bahwa menjamurnya gerakan-gerakan etnis di dunia selama
paruh akhir abad ke-20 telah memberikan kesan bahwa ikatan primordial lebih kuat daripada loyalitas-loyalitas nasional.
Tidak hanya di negara sedang berkembang tetapi di negara-negara yang menjadi perintis dari negara bangsa seperti
Perancis, Inggris, dan Kanada, gerakan-gerakan etnis telah muncul yang menjurus ke separatisme.
Perpecahan yang bersumber sentimen primordial tersebut dapat meledak di mana saja, di negara adidaya
sekalipun. Contohnya yang jelas adalah Uni Soviet yang dahulu perkasa itu pecah berantakan keragamannya yang
kompleks etnis, agama, dan kesejahteraan saling silang bersamaan dengan rontoknya ideologi komunis yang jadi perekat
kehilangan daya tariknya.
Huntington (dalam Siswarini dan Kasijanto, 2003) mengemukakan enam alasan mengapa di masa mendatang
akan terjadi benturan antara perbedaan yaitu: (1) perbedaan antara peradaban tidak hanya riil, tetapi juga mendasar; (2)

dunia sekarang semakin menyempit. Interaksi antarorang yang berbeda peradaban semakin meningkat; (3) proses
modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang atau masyarakat tercerabut dari identitas lokal mereka yang sudah
berakar dalam, di samping memperlemah negara-negara sebagai sumber identitas mereka; (4) tumbuhnya kesadaran
peradaban dimungkinkan karena peran ganda Barat. Di satu sisi Barat berada di puncak kekuatan, di lain sisi, dan ini
mungkin akibat posisi Barat tersebut, kembalinya ke fenomena asal, sedang berlangsung di antara peradaban-peradaban
non-Barat; (5) karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa berkompromi dibanding karakteristik dan perbedaan politik
dan ekonomi; dan (6) regionalisme ekonomi semakin meningkat.
Asumsi tersebut menimbulkan kontroversi di kalangan pengamat dan pakar politik, ekonomi, maupun budaya.
Seorang ahli lain, misalnya, menolak spekulasi Huntington tersebut dan menyatakan bahwa dengan berakhirnya perang
dingin, kecenderungan yang terjadi bukanlah pengelompokan masyarakat ke dalam entitas tertinggi yaitu pengelompokan
peradaban, tetapi justru perpecahan menuju entitas yang lebih kecil lagi, yaitu berdasarkan suku dan etnisitas. Hal ini jelas
sekali terlihat pada disintegrasi Uni Soviet yang secara ironis justru disatukan oleh dasar budaya dan peradaban yangsama.
Emerson (dalam Siswarini dan Kasijanto, 2003) memandang bahwa kategorisasi dan polarisasi versi Huntington
tidak mewakili ketegangan antarperbedaan di dunia, yang hanya menyoroti kemungkinan semakin parahnya ketegangan
http://semnastafis.unimed.ac.id

ISSN: 2598-3237 (media cetak)
ISSN: 2598-2796 (media online)
217


Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 215 - 221

perbedaan Barat dan Islam. Padahal menurut Emerson, di antara semua orang Barat di Eropa dan Amerika Utara
nampaknya banyak ketegangan yang diabaikan Huntington. Seperti konflik yang berlarut-larut antara kaum Protestan dan
Katolik di Irlandia Utara. Bahkan di Amerika Serikat sudah jelas terlihat fenomena gerakan multikulturalisme yang mengakui
atau bahkan merangkul semua peradaban versi Huntington dalam tubuh masyarakat Amerika sendiri.
Di Indonesia apa yang dikatakan Huntington, Korten, Castles, dan Emerson tidak saja menjadi ramalan atau
prediksi, sekaligus juga menemukan bukti empiriknya. Konflik-konflik sosial yang terjadi di beberapa daerah tidak dapat
dinafikan bersumber dari persoalan SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan). Secara historis dapat direkonstruksi
berbagai peristiwa konflik sosial yang dilatarbelakangi persoalah SARA. Pada Nopember 1980 di Solo terjadi peristiwa
kerusuhan rasial. Sekelompok pelajar dan mahasiswa beretnik Jawa melakukan demonstrasi dan penyerangan terhadap
masyarakat beretnik Cina. Mereka melakukan pembakaran terhadap rumah-rumah dan harta milik keturunan Cina. Dua
tahun sebelumnya tepatnya tahun 1978 di kota yang sama juga terjadi konflik sosial yang bernuansa SARA yaitu konflik
sosial antara tukang becak yang beretnik Jawa dengan orang-orang Arab. Pada tahun 1998 bersamaan dengan perisiwa
politik lengsernya Soeharto sebagai Presiden RI, terjadi periswa kerusuhan dan penjarahan terhadap harta benda milik etnis
Tionhoa
Di Sambas Kalimantan Barat terjadi konflik sosial yang sangat dasyat antara etnik Madura dan etnik Dayak.
Konflik ini bersumber dari adanya konflik kultural antara kedua etnik tersebut yang sudah berlangsung lama. Juga terjadi
akumulasi tindakan kekerasan antar-etnik Madura dengan Melayu dan Dayak. Konflik tersebut diperparah dengan
hubungan antar-etnik di wilayah itu lebih berwujud rivalitas dan konflik, serta adanya segregasi pemukiman yang melebar

antara etnik Dayak dan Melayu dan pendatang (etnik Madura). Selain itu, interaksi antar-etnik di daerah itu lebih bersifat ke
dalam daripada keluar dan prasangka lebih tinggi daripada harmonisasi.
Konflik yang bernuansa SARA, terutama perebedaan agama, juga terjadi di beberapa daerah. Konflik yang
menelan banyak korban, baik jiwa maupun harta benda, tersebut terjadi di Mataram (NTB), Kupang (NTT), Poso (Sulawesi
Tengah), Morowali (Sulawesi Selatan), Ambon, dan Jawa tidak dapat tidak bersumber dari perbedaan agama. Konflik sosial
yang terjadi di daerah-daerah tersebut tidak hanya melibatkan antar-penganut agama yang berbeda, melainkan juga antarpenganut satu agama. Bila konflik sosial di Kupang, Mataram, Poso, dan Ambon, melibatkan pemeluk antar-penganat
agama yang berbeda, konflik sosial di Jawa dan Nusa Tenggara Barat terjadi antara sekelompok muslim dan penganut
Ahmadiyah. Pada Juli 2016 terjadi konflik sosial berlatar belakang SARA terjadi di Tanjung Balai, Sumatera Utara, antara
etnis Melayu beragama Islam dengan etnis Tionghoa beragama Budha. Peristiwa konflik kontemporer yang bernuansa
SARA adalah isu penodaan agama yang dituduhan kepada Gubernur DKI Basuki Tjahaya Purnama (Ahok), yang
mengakibatkan Ahok dipidana penjara.
Penjelasan yang agak berbeda dalam melihat akar masalah konflik yang terjadi di beberapa daerah diberikan oleh
Heddy Shri Ahimsa-Putra (2001). Dikatakan pluralitas etnik, agama, dan budaya tidak selalu menimbulkan konflik, malah
sebaliknya seringkali justru dapat memperkuat integrasi, karena perbedaan-perbedaan yang ada walaupun saling
berlawanan namun juga saling mengisi. Oleh karena itu, Heddy berpandangan bahwa pandangan yang menyatakan SARA
merupakan faktor penyebab konflik harus ditinjau kembali.
Menggagas Indonesia Baru Melalui Pendidikan Multikultur
Konflik-konflik sosial yang terjadi di bumi Nusantara ini menggambarkan bahwa bangsa ini meskipun telah
memperoleh kedaulatan sejak 72 tahu lalu, namun dalam pembentukan sebagai negara-bangsa (nation-state) masih
menghadapi tantangan. Salah satu tantangan adalah belum adanya kesadaran di antara warga bangsa ini bahwa bangsa

ini adalah beragam. Meminjam terminologi Anhar Gonggong, “ke-Indonesiaan kita” belum selesai.
Pembentukan “ke-Indonesiaan kita” harus disadari sudah berlangsung sejak lama, baik sebelum maupun sesudah
kemerdekaan. Pembentukan “ke-Indonesiaan kita” berproses dalam lintasan sejarah, yang mengalami pasang surut.
Menurut Anhar Gonggong, pembentukan “ke-Indonesiaan kita” menemukan realitasnya pada masa lampau, kekinian, dan
masa depan. Kita semua sebagai warga bangsa menjadi aktor-aktor dalam pembentukan “ke-Indonesiaan kita” tersebut
dalam lintasan sejarah bangsa ini.
“Ke-Indonesiaan kita” seperti apa yang akan kita bangun? Bagaimana dan dengan cara apa bangsa ini
mewujudkan “ke-Indonesiaan kita” yang berbeda ras, etnik, agama, bahasa, dan adat-istiadat?
“Ke-Indonesiaan kita” yang akan kita wujudkan dari dahulu, sekarang, dan masa mendatang adalah Indonesia
yang warga bangsanya bisa hidup bersama secara damai dan yang lebih baik. Untuk mewujudkan itu bukanlah semudah
membalik telapak tangan dan bukan sesuatu yang sifatnya taken for granted. Pembentukaannya merupakan rangkaian
yang telah, sedang, dan akan berproses dalam lintasan sejarah bangsa ini.
Rangkaian kata Bhinneka Tunggal Ika yang menyertai simbol lambang negara Garuda Pancasila tidak sekedar
rangkaian kata puitis yang indah dibaca dan didengar. Rangkaian kata itu dalam kehidupan kita mengandung makna yang
mendalam, yaitu menuntut kesediaan kita untuk hidup bersama, tetapi dengan kesadaran akan kenyataan diri yang
beragam; perebedaan yang mewujudkan diri di dalam multikultur. Juga harus ditumbuhkan kesadaran bersama bahwa
hidup bersama yang damai tidak akan terwujud tanpa kehendak untuk bersatu. Dengan bersama-sama hidup damai pada
http://semnastafis.unimed.ac.id

ISSN: 2598-3237 (media cetak)
ISSN: 2598-2796 (media online)
218

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 215 - 221

akhirnya akan mewujudkan kehidupan yang lebih baik. Di antara warga bangsa harus mengembangkan kesadaran dan
sikap serta perilaku bahwa realitas multietnuk dan multikultur sebagai kekuatan dari sebuah bangsa-negara.
Pendidikan multikultur salah satu paradigma yang dapat diupayakan untuk mewujudkan “ke-Indonesiaan kita” di
atas. Apabila pluralitas sekedar merepresentasikan adanya kemajemukan (yang lebih dari satu), multikulturalisme
memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya itu mereka adalah sama di dalam ruang publik.
Multikulturalisme menjadi semacam respon kebijakan baru terhadap keragaman. Dengan kata lain, adanya komunitaskomunitas itu diperlakukan sama oleh negara.
Menurut Suparlan, seperti dikutip oleh Siswarini dan Kasijanto (2003), multikulturalisme adalah sebuah ideologi
yang mengakui dan mengagungkan perbedaan. Perbedaan yang dimaksud adalah perbedaan-perbedaan individual atau
orang perorang dan perbedaan budaya. Perbedaan budaya mendorong upaya terwujudnya keanekaragaman atau
pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat yang mempunyai keanekaragaman kebudayaan, yaitu yang saling
memahami dan menghormati kebudayaan-kebudayaan dari mereka yang tergolong sebagai kelompok minoritas.
Dalam pengertian multikulturalisme, sebuah masyarakat bangsa dilihat sebagai memiliki sebuah kebudayaan
yang utama dan berlaku umum (mainstream) di dalam kehidupan masyarakat bangsa tersebut. Kebudayaan bangsa ini
merupakan sebuah mozaik, dan yang di dalam mozaik tersebut terdapat beranekaragam corak budaya yang merupakan
ekspresi dari berbagai kebudayaan yang ada dalam masyarakat bangsa tersebut. Model multikulturalisme ini bertentangan
dengan model monokulturalisme yang menekankan keseragaman atau kesatuan kebudayaan dengan melalui proses
penyatuan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda-beda kedalam sebuah kebudayaan yang dominan dan mayoritas. Di
samping itu juga melalui proses asimilasi atau pembauran dimana jatidiri dari kelompok-kelompok atau sukubangsasukubangsa minoritas harus mengganti jatidiri warganya menjadi sama dengan jatidiri dari kelompok atau sukubangsa yang
dominan, dan mengadopsi cara-cara hidup atau kebudayaan dominan tersebut menjadi cara-cara hidup dan kebudayaan
baru. Bila mereka yang tergolong minoritas tidak melakukannya akan diasingkan dari masyarakat luas, bahkan kalau perlu
dimusnahkan (Suparlan seperti dikutip oleh Siswarini dan Kasijanto, 2003).
Dalam model multikulturalisme penekanannya pada kesederajatan ungkapan-ungkapan budaya yang berbedabeda, pada pengkayaan budaya melalui pengapdosian unsur-unsur budaya yang dianggap paling cocok dan berguna bagi
pelaku dalam kehidupannya tanpa ada hambatan berkenaan dengan asal kebudayaan yang diadopsi tersebut, karena
adanya batas-batas sukubangsa yang primordial. Dalam masyarakat multibudaya atau multikultural, setiap orang adalah
multikulturalis, kata Nathan Glazer (2007), karena setiap orang mempunyai kebudayaan yang bukan hanya berasal dari
kebudayaan asal atau sukubangsa tetapi juga mempunyai kebudayaan yang berisikan kebudayaan-kebudayaan dari
sukubangsa atau bangsa lain.
Pendekatan multikultur dapat menjadi counter yang baik terhadap kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah tidak dapat dipungkiri telah melahirkan sekat-sekat ekonomi dan kultural.
Melalui pendekatan ini sekat-sekat tersebut dapat diretas. Tanpa pendekatan multikultur, disintegrasi bangsa yang semula
dianggap menjadi ancaman mungkin akan menjadi kenyataan.
Pendidikan merupakan lapangan yang sentral dalam upaya menerjemahkan gagasan multikulturalisme, sehingga
tidak hanya sekedar dipahami tetapi menjadi kenyataan perilaku. Agar gagasan multikultur tersebut terserap luas dan
efektif, pendekatannya harus disebarkan, dikelola dan diwujudkan secara konsisten dalam pendidikan nasional.
Bagaimana seorang warga bangsa mempratikkan pendidikan multikultur di sekolah? Pendidikan multikultur
dilakukan pada anak sejak usia dini dengan melibatkan anak ke aktivitas sosial yang signifikan, interaksi dengan lembagalembaga sosial dalam proses pendidikan multikultur (Logvinova, 2016). Keluarga dan sekolah membangun kemitraan untuk
mengembangkan kepribadian anak yang tidak saja mengakui adanya keberagaman, namun juga secara sukarela
mempunyai kesediaan untuk hidup bersama di tengah-tengah keberagaman tersebut. Dengan demikian, menurut Elena
Basarab (2014), peran pendidikan adalah mempersiapkan anak muda untuk memahami dan menerima perbedaan, bersikap
terbuka dan toleran untuk dapat berkolaborasi dan berkomunikasi secara efektif dengan budaya lain. Praktisi pendidikan
harus berjuang untuk melindungi perbedaan budaya dan pembentukan lingkungan yang kondusif bagi koeksistensi budaya
demi perkembangan manusia.
Seorang siswa di sekolah secara individual belajar bersama dengan individu lain dalam suasana saling
menghormati, saling toleransi, dan saling memahami. Masing-masing siswa harus mengambil bagian dalam menciptakan
kehidupan yang damai. Nilai-nilai ini harus diinternalisasi pada setiap diri siswa, diwujudkan dalam sikap dan perilaku.
Perwujudan sikap dan perilaku tersebut tidak saja dilakukan di lingkungan sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Setiap individu siswa di sekolah, keluarga, dan masyarakat harus menjadi multikulturalis. Artinya, setiap siswa
tidak hanya mengakui adanya orang lain yang berbeda, melainkan juga mempunyai kesediaan untuk hidup bersama secara
damai dengan orang lain tersebut.
Dalam posisi demikian sekolah harus mampu memposisikan diri sebagai pencerah peradaban, menjadi media
katarasis yang mampu memuliakan martabat kemanusiaan hakiki, di mana nilai-nilia kejujuran dan kesalehan hidup baik
pribadi maupun sosial bersemayam dan bernaung dalam hati nurani warga bangsa. Sekolah harus mampu menjadi icon
mini, yang menggambarkan suasana dan panorama hidup bermasyarakat multikultur, di mana anak-anak banyak belajar
http://semnastafis.unimed.ac.id

ISSN: 2598-3237 (media cetak)
ISSN: 2598-2796 (media online)
219

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 215 - 221

menginternalisasikan dan mengapresiasi perbedaan dan heterogenitas dalam segala aspeknya. Dengan demikian setelah
terjun ke masyarakat mereka bisa tampil inklusif, egaliter, dan memiliki empati.
Selain itu, sebagai individu multikulturalis harus mengembangkan pemahaman, sikap, dan perilaku bahwa “saya
lebih berarti karena ada orang lain.” Menurut peradigma ini, “orang Islam akan menjadi lebih berarti karena ada orang
Hindu, Katolik, Budha, Kristen Protestan, dan Konghuchu. Orang Jawa akan menjadi lebih berarti karena ada orang
Tionghoa, orang Sunda, orang Madura, orang Batak, orang Bugis, orang Papua, dan seterusnya.”
Paradigma seperti ini berpandangan bahwa keberagaman itu sebagai kodrat sosial yang harus diterima. Saya
sebagai orang Jawa karena dilahirkan dari keluarga Jawa. Demikian juga, saya sebagai muslim karena dilahirkan dan
dibesarkan dari keluarga dan lingkungan yang beragama Islam. Demikian pula sebaliknya, orang lain yang beragama
Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, dan Konghuchu karena dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga dan lingkungan
yang beragama itu. Orang menjadi orang Madura, Batak, Sunda, Bugis, Papua, Tionghoa dan seterusnya bukan atas
keinginannya melainkan dilahirkan dan dibesarkan dari keluarga dan lingkungan yang berasal dari etnik-etnik tersebut.
Paradigma multikultural menuntut individu untuk mereduksi, bahkan menghilangkan sikap etnosentrisme,
egosentrisme dan eksklusifisme. Sikap etnosentrisme, egosentrisme dan eksklusifisme hanya akan menciptakan sekatsekat budaya dan menguatkan ikatan-ikatan primordial. Paradigma ini memposisikan individu yang hidup di tengah-tengah
kehidupan multikultural harus mengembangkan pemahaman, sikap, dan perilaku bahwa dirinya tidak hanya mempunyai
kebudayaan yang berasal dari kebudayaan asal, tetapi juga mempunyai kebudayaan yang berisikan kebudayaankebudayaan dari sukubangsa atau bangsa lain.
Upaya lain yang bisa dilakukan adalah dengan membuka ruang bagi warga bangsa untuk membangun interaksi
antarbudaya. Menurut Berry (2013), ada tiga hipotesis mengenai hubungan antar budaya, yaitu hipotesis multikulturalisme;
hipotesis integrasi; dan hipotesis kontak. Hipotesis ini diturunkan sebagian dari pernyataan dalam kebijakan
multikulturalisme Kanada. Hipotesis multikulturalisme adalah bahwa ketika individu dan masyarakat percaya diri, dan
merasa aman tentang identitas budaya dan tempat mereka dalam masyarakat yang lebih luas, akan menghasilkan sikap
saling menguntungkan. Sebaliknya, ketika identitas ini terancam, akan menghasilkan sikap permusuhan timbal balik.
Hipotesis integrasi adalah akan ada hasil psikologis dan sosial yang lebih berhasil bagi individu dan masyarakat saat
strategi dan kebijakan yang mendukung keterlibatan budaya ganda. Hipotesis kontak adalah kontak yang lebih besar
antara kelompok budaya akan membawa perhatian yang lebih positif. Menurut Garcia dan Fernandez (2016), semua
undang-undang pendidikan yang mentransmisikan nilai antarbudaya dievaluasi dan nilai yang paling banyak ditransmisikan
adalah nilai-nilai antar budaya yang utama. Nilai-nilai antar budaya tersebut antara lain: nilai-nilai moral, afektif, sosial, dan
estetika.
Selain itu, bangsa Indonesia perlu belajar dari Kazakhstan, negara pecahan Uni Soviet, walaupun bangsa itu
terdiri atas 130 kelompok etnis, namun mampu mempertahankan harmoni antar warga dan menjaga perdamaian, bahkan
masyarakat secara terbuka menyambut para imigran. Selain itu, negara ini mempunyai stabilitas politik di antara kelompok
etnis dan sikap toleran secara keseluruhan yang hanya dapat didasarkan pada konsep nilai baik pada budaya dan spiritual
(Jakuvop, S.M., etal, 2012).
SIMPULAN
Keberagaman ras, etnis, agama, dan budaya merupakan sebuah keniscayaan bagi masyarakat Indonesia.
Keberagaman yang oleh Furnivall disebut sebagai masyarakat majemuk tersebut menjadi ciri masyarakat Indonesia mulai
jaman kolonial hingga sekarang. Keberagaman, di satu sisi, merupakan kekayaan bangsa, di lain sisi, menyimpan potensi
konflik sosial. Dalam perjalanan sejarah bangsa ini tidak luput dari konflik-konflik sosial yang berlatarbelakang SARA.
Konflik-konflik sosial semacam itu mengancam integrasi bangsa. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi untuk menciptakan
dan memelihara integrasi yang kokoh. Strategi-strategi itu antara lain pendidikan multikultur dan interaksi antar budaya.

REFERENSI
Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2001. ”Pluralitas Budaya dan Kekerasan Massal: Adakah Hubungannya.” Makalah disampaikan
pada Seminar Nasional Kontribusi Kajian Humaniora dalam Memperkokoh Integrasi Nasional. Oleh Universitas
Gadjah Mada pada tanggal 24 Maret 2001.
Basarab, Elena. 2014. Education, Cultural and Intercultural Relation. The 6th International Conference Edu World 2014
“Education Facing Contemporary World Issues”, 7th - 9th November 2014. Procedia - Social and Behavioral Sciences
180 ( 2015 ) 36 – 41.
Berry, John W. 2013. Intercultural Relations in Plural Societies: Research Derived from Multiculturalism Policy. Acta de
Investigacion Psicologica, 2013, 3 (2), 1122 - 1135

http://semnastafis.unimed.ac.id

ISSN: 2598-3237 (media cetak)
ISSN: 2598-2796 (media online)
220

Prosiding Seminar Nasional Tahunan Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Medan Tahun 2017 Vol. 1 No. 1 2017, Hal. 215 - 221

Castle, Lance. 1994. ”Etnisitas dan Keutuhan Wilayah Negara-negara: Pandangan Global.” Makalah disampaikan pada
Seminar Nasional Sumbangan Ilmu-ilmu Sosial terhadap Konsepsi Ketahanan Nasional. Oleh Program Studi
Ketahanan Nasional UGM tanggal 30 Nopember – 1 Desember 1994.
Garcia, Beatriz Manzano & Maria Tome-Fernandez. 2017. Intercultural Values in the European and Latin American Basic
Education. 7th International Conference on Intercultural Education “Education, Health and ICT for a Transcultural
World”, EDUHEM 2016, 15-17 June 2016, Almeria, Spain. Procedia - Social and Behavioral Sciences 237 ( 2017 )
130 – 136.
Glazer, Nathan. 2007. Dual Nationality: Threat to National Identity, or Harbinger of a Better World?. Selected Papers of
Beijing Forum 2007. Procedia Social and Behavioral Sciences 2 (2010) 6813–6821.
Harianto, Sugeng. Dkk. 2008. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Surabaya: Unesa University Press.
Harianto, Sugeng. 2006. ”Globalisasi, Nasionalisme, dan Integrasi Nasional.” Makalah disampaikan pada Dialog Interakstif
Wawasan Kebangsaan dengan tema Membangun Jatidiri Bangsa bagi Sekolah-sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)
di Kota Surabaya. Diselenggarakan oleh Badan Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat Kota Surabaya pada
tanggal 29 September 2006 di Surabaya.
Jakuvop, S.M. 2012. Cultural Values as an Indicator of Inter-Ethnic Harmony in Multicultural Societies. Procedia - Social and
Behavioral Sciences 69 ( 2012 ) 114 – 123
Korten, David C. 1993. Menuju Abad Ke—21 Tindakan Sukarela dan Agenda Global. Terjemahan. Jakarta: Sinar Harapan.
Logvinova, K. 2016. Socio-pedagogical Approach to Multicultural Education at Preschool. Annual International Scientific
Conference Early Childhood Care and Education, ECCE 2016, 12-14 May 2016, Moscow, Russia. Procedia - Social
and Behavioral Sciences 233 ( 2016 ) 206 – 210
Nagata, J. 2001. International Encyclopedia of the Social and Behavioral Sciences. London: Elsevier, Ltd.
Nasikun. 1992. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Sihbudi, Riza dan Moch. Nurhasim. Editor. 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia Studi Kasus Kupang, Mataram, dan
Sambas. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia.
Siswarini, Indra dan Kasijanto. 2003. ”Manusia, Kergaman, dan Kesetaraan.” Makalah disampaikan pada Pelatihan Dosendosen Matakuliah Ilmu Sosial dan Budaya Dasar (ISBD) di Yogjakarta.
Siswarini, Indra dan Syahidin. 2008. ”Pelatihan Dosen Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat, ISBD.” Jakarta: Dirjen Dikti
Departemen Pendidikan Nasional.

http://semnastafis.unimed.ac.id

ISSN: 2598-3237 (media cetak)
ISSN: 2598-2796 (media online)
221