Analisis Kualitas Udara dan Keluhan Kesehatan yang Berkaitan dengan Saluran Pernafasan Pada Pekerja Batubara di PLTU Labuhan Angin Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2017

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi Udara
Menurut Nugroho (2005), udara adalah suatu campuran gas yang terdapat

pada lapisan yang mengelilingi bumi. Komposisi campuran gas tersebut tidak
selalu konstan, namun dalam keadaan kering atmosfer akan didominasi empat gas,
yaitu: Nitogen (77,5 %), Oksigen (20,94 %), Argon

(0,93%) dan CO2

(0,032%).
Udara di alam tidak pernah ditemukan bersih tanpa polutan. Beberapa gas,
seperti: sulfur dioksida (SO2), hydrogen sulfide (H2S) dan karbon monoksida
(CO2) selalu dibebaskan ke udara sebagai produk sampingan dari proses-proses
alami. Selain disebabkan polutan alami tersebut, polusi udara juga dapat
disebabkan oleh aktivitas manusia (Srikandi, 1992).
Menurunnya kualitas udara disebabkan terjadinya pencemaran di suatu

wilayah yang baru dirasakan setelah dampaknya menyebabkan gangguan
kesehatan pada makhluk hidup, terutama pada manusia (Nugroho, 2005).
2. 2 Definisi Pencemaran Udara
Menurut Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 12 Tahun 2010
menyebutkan bahwa pencemaran udara adalah masuknya atau dimasukkannya
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambient oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu udara yang telah ditetapkan.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Kumar (1987) dikutip dari buku Mukono tahun 2008,
pencemaran udara adalah adanya bahan polutan di atmosfer yang dalam
konsentrasi tertentu akan mengganggu keseimbangan dinamik atmosfer dan
mempunyai efek pada manusia dan lingkungannya. Asal pencemaran udara
dapat diterangkan dengan 3 (tiga) proses, yaitu: atrisi (attrition), penguapan
(vaporization) dan pembakaran (combustion). Dari ketiga proses tersebut,
pembakaran merupakan proses yang sangat dominan dalam kemampuannya
menimbulkan bahan polutan (Corman, 1971; Master, 1991).
Berdasarkan terbentuknya, pencemaran udara dapat dibedakan menjadi 2
(dua), yaitu :

a)

Pencemaran udara primer, yaitu: komponen pencemar yang mencakup

90% dari jumlah komponen pencemar udara seluruhnya. Bentuk dan
komposisinya sama dengan ketika dipancarkan, contohnya : karbon monoksida
(CO), nitrogen oksida (NOx), hidrokarbon (HC), sulfur dioksida (SOx), serta
berbagai partikel. Polutan yang paling berbahaya bagi kesehatan adalah
partikel-partikel kemudian NOx, SOx, hidrokarbon dan yang paling rendah
toksisitasnya adalah CO.
b)

Pencemaran udara sekunder, yaitu: pencemar yang terbentuk karena

berbagai bahan pencemar yang bereaksi satu sama lain sehingga menghasilkan
jenis pencemaran baru yang lebih membahayakan kehidupan. Reaksi ini dapat
terjadi secara otomatis ataupun dengan bantuan katalisator seperti sinar
matahari, contohnya: ozon, formaldehida dan peroxy acyl nitrat (PAN)
(Nugroho, 2005).


Universitas Sumatera Utara

2.2.1 Sumber Pencemaran Udara
Untuk daerah perkotaan dan industri, parameter bahan pencemar udara
berhubungan dengan penyakit saluran pernafasan adalah parameter gas SO2,
gas CO, gas NO2 dan total partikulat. Sumber bahan pencemar udara
menetukan jenis bahan pencemarnya.
Tabel 2.1 Sumber Pencemaran yang Menghasilkan Bahan Pencemar
Udara
Sumber pencemaran

HC

CO2 CO SO2

NO

NO2

Sumber stasioner


+

+

+

+

+

+

Proses industry

+

+

+


+

+

+

Sampah padat

+

+

+

+

+

+


Pembakaran sisa pertanian

+

+

+

-

+

+

Transportasi

+

+


+

+

+

+

Bahan bakar batubara

+

+

+

+

+


+

Bahan bakar minyak

+

+

+

+

+

+

Bahan bakar gas alam

-


+

-

-

-

-

Bahan bakar kayu

-

+

-

-


+

+

Incinerator

+

+

+

+

+

+

Kebakaran hutan


+

+

+

-

+

+

Sumber : Mukono, 2005

Universitas Sumatera Utara

Keterangan :
(+) = menghasilkan
(-) = tidak menghasilkan
Menurut Pramudya (2001), sebagian besar polutan udara yang ada, yaitu:
polutan karbonmonoksida (CO) karena jumlahnya cenderung semakin
meningkat. Adapun polutan yang berbahaya bagi kesehatan, yaitu : partikel –
partikel yang diikuti NOx, SOx, Hidrokarbon dan yang rendah toksisitasnya
yaitu karbonmonoksida.
2.2.2 Efek Pencemaran Udara Terhadap Saluran Pernafasan
Menurut Mukono (2008), secara umum efek pencemaran udara terhadap
saluran pernafasan dapat menyebabkan terjadinya :
1. Iritasi pada saluran pernafasan. Hal ini dapat menyebabkan pergerakan silia
menjadi lambat bahkan dapat terhenti, sehingga tidak dapat membersihkan
saluran pernafasan.
2. Peningkatan produksi lendir akibat iritasi oleh bahan pencemar.
3. Produksi lendir dapat menyebabkan penyempitan saluran pernafasan.
4. Rusaknya sel pembunuh bakteri di saluran pernafasan.
5. Pembengkakan saluran pernafasan dan meransang pertumbuhan sel
sehingga saluran pernafasan menjadi menyempit.
6. Lepasnya silia dan lapisan sel selaput lendir.
7. Akibat dari hal tersebut akan menyebabkan terjadinya kesulitan bernafas,
sehingga benda asing termasuk bakteri/mikroorganisme lain tidak dapat

Universitas Sumatera Utara

dikeluarkan dari saluran pernafasan dan hal ini akan memudahkan
terjadinya infeksi saluran pernafasan.
2.3

Prisip Kerja PLTU Labuhan Angin Berbahan Bakar Batubara
Awalnya batubara yang ditampung dalam bak penampungan dibawa ke

dalam mesin pencacah batubara melalui conveyor belt untuk dipecah menjadi
ukuran yang lebih kecil, hal ini berguna agar batubara lebih mudah terbakar
pada saat di dalam boiler. Batubara yang telah halus disalurkan ke dalam boiler
untuk digunakan sebagai bahan bakar pada proses pembakaran. Pada proses
pembakaran dihasilkan total partikulat batubara. Total partikulat batubara yang
masih berukuran relatif besar akan jatuh ke bawah tungku boiler dan akan
dikumpulkan untuk diangkut ke tempat penyimpanan debu (Ash disposal). Abu
ringan yang beterbangan akan ditangani oleh penangkap debu yang disebut
ESP (Electrostatic Precipitator). Abu/debu yang tidak tertangkap oleh ESP
kemudian akan dialirkan melalui cerobong asap untuk dibuang ke udara.
Pada boiler terjadi proses pemanasan air yang sebelumnya telah
dimurnikan agar tidak menimbulkan korosi. Air tersebut disalurkan melalui
pipa – pipa boiler dan dipanaskan sehingga akan berubah menjadi uap panas
yang bertekanan tinggi. Tetapi, karena kadar air pada uap masih terlalu tinggi
maka kadar air harus dihilangkan terlebih dahulu dengan superheater sehingga
akan berubah menjadi uap kering. Kemudian uap ini akan dialirkan ke turbin
untuk mendorong sudut-sudut turbin sehingga poros turbin akan berputar.
Setelah digunakan untuk memutar turbin, maka uap kering akan kembali turun
ke lantai dasar. Uap tersebut akan didinginkan di dalam kondesor dengan

Universitas Sumatera Utara

menggunakan air laut yang dialirkan menggunakan pipa-pipa di dalam
kondesor sehingga berubah menjadi air. Kemudian air tersebut akan
disirkulasikan kembali ke boiler untuk dipanaskan menjadi uap kembali.
Karena generator ikut berputar maka akan menghasilkan energi listrik yang
dikirimkan ke trafo untuk diubah tegangannya dan kemudian disalurkan
melalui saluran transmisi PLN.

Gambar 1. Prinsip kerja PLTU Labuhan Angin
2.3.1 Baku Mutu Emisi Pembangkit Tenaga Listrik Termal
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 21 tahun 2008
Baku Mutu Emisi Pembangkit Tenaga Listrik Termal adalah batas kadar
maksimum dan/atau beban emisi maksimum yang diperbolehkan masuk atau
dimasukkan ke dalam udara ambient dari kegiatan pembangkit tenaga listrik
termal. Baku mutu emisi yang dihasilkan oleh PLTU (Pembangkit listrik
tenaga uap) yang masih diperbolehkan dilepas ke udara ambient, yaitu :

Universitas Sumatera Utara

No
1.
2.
3.
2.4

Tabel 2.2 Baku Mutu Emisi Pembangkit Tenaga Listrik Termal
Parameter
Kadar Maksimum ( mg/Nm3 )
Sulfur Dioksida (SO2)
750
Nitrogen Dioksida (NO2)
850
Debu

150

Penentuan Lokasi dan Titik Pengambilan Sampel Emisi Cerobong
Pengambilan sampel emisi cerobong membutuhkan sarana pendukung,

sebagai berikut :
1.

Tangga besi dan selubung pengaman berupa pelat besi

2.

Lantai kerja dengan ketentuan, sebagai berikut :
1.1 dapat menahan beban minimal 500 kilogram.
1.2 mempunyai keleluasan kerja bagi minimal tiga orang.
1.3 mempunyai lebar terhadap lubang pengambilan sampel sebesar 1,2 meter
dengan lantai melingkari cerobong.

1.4 mempunyai pagar pengaman minimal setinggi satu meter.
1.5 dilengkapi dengan katrol pengangkat alat pengambilan sampel.
3.

stop kontak yang sesuai dengan peralatan yang digunakan.

4.

Sumber aliran listrik dekat dengan lubang pengambilan sampel.

5.

Perlengkapan keamanan bagi pengambil sampel (Kepka Bapedal
205/1996 lampiran III).

2.4.1 Penentuan Lokasi dan Titik Pengambilan Sampel Udara Emisi
Pengambilan sampel dilakukan pada bagian cerobong yang berukuran
delapan kali diameter bawah atau dua kali diameter atas dan bebas dari
gangguan aliran, seperti : bengkokan, ekspansi, atau penyusutan aliran di dalam

Universitas Sumatera Utara

cerobong. Kemudian, untuk cerobong dengan diameter dalam cerobong atas (d)
lebih kecil daripada diameter dalam cerobong (D), diameter ekuivalen (De)
harus ditentukan dengan perhitungan, sebagai berikut :
De=
Keterangan :

2��
�+�

De = Diameter ekuivalen
D = Diameter dalam cerobong bawah
d = Diameter dalam cerobong atas
2.4.2 Penentuan Titik Lintas
Titik lintas (traverse point) adalah jumlah minimum titik pengambilan
sampel representatif melalui penampang lintang cerobong. Penentuannya
dilakukan pada saat sampel partikel emisi gas buang sumber tidak bergerak
diambil (RSNI, 2004). Titik tersebut ditentukan berdasarkan bentuk
penampang cerobong, yaitu :
Tabel 2.3 Titik Lintas Pengukuran Untuk Cerobong Berbentuk Lingkaran
Diameter
pipa
cerobong
2R (m)
≤1

Jumlah
pembagian
jari-jari

Jumlah titik
lintas
pengukuran

Jarak dari pusat pipa cerobong ke titik lintas
pengukuran (m)
r1
r2
r3
r4
r5

1

4

0,707R

1 4,5

4

16

0,354R

0,612R

0,791R

0,935R

-

5

20

0,316R

0,548R

0,707R

0,837R

0,949R

Sumber : JIS Z 8808 (1992) dikutip dalam buku Hadi tahun 2005

Universitas Sumatera Utara

2.5

Prosedur Pengukuran Emisi yang Dihasilkan PLTU
Pengukuran Emisi yang dihasilkan PLTU menggunakan CEMS

(Continous Emission Monitoring System), berupa: Model Environnement S.A
MIR 9000 yang dapat mengukur kadar SO2, NO2 dan CO sedangkan DURAG
dapat mengukur kadar Total partikulat yang dihasilkan dari cerobong. CEMS
(Continous Emission Monitoring System) adalah seperangkat peralatan yang
berfungsi untuk menganalisa konsentrasi polutan yang diemisikan ke udara
ambient oleh pembangkit listrik tenaga uap dan untuk menentukan kuantitas
kadar suatu parameter emisi atau laju aliran melalui pengukuran secara
periodik yang digunakan secara in-situ di dalam cerobong. CEMS dapat
mendeteksi minimal semua parameter dalam baku mutu emisi yang ditetapkan
oleh pemerintah. Lokasi CEMS pada cerobong minimal delapan kali diameter
cerobong dari gangguan bawah dan dua kali diameter dari ujung atas cerobong.
Hasil CEMS dapat diamati dan dikontrol dari ruang control. Cara kerja alat ini
sebagai berikut :
a. CEMS (Contious Emission Monitoring System) metode NDIR (Non
Dispersive Infrared) yang memanfaatkan radiasi sinar infrared untuk
pengukuran Sedangkan O2 menggunakan sensor eksternal.
b. Pastikan CEMS dalam posisi ON untuk digunakan.
c. CEMS diintegrasikan pada sebuah controler berupa data logger.
d. Controler dihubungkan dengan sebuah komputer / PC

Universitas Sumatera Utara

e. Controler akan menyajikan hasil pemantauan emisi dan melakukan auto
kalibrasi gas analyzer.
f. Baca angka dan grafik pada monitor dan catat hasilnya.`
2.6

Penangkap Gas SO2 Pada PLTU Labuhan Angin
Menurut Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.13 tahun 1995,

sistem FGD adalah proses semi kering, menggunakan Kapur Tohor (CaO),
untuk menjamin bahwa batubara yang dibakar menghasilkan emisi SO2 tidak
melebihi baku mutu emisi sebesar 1500 mg/m3. Setiap unit mempunyai 1
cerobong dengan tinggi 150 m dan 1 FGD. Kandungan belerang tertinggi
dalam batubara adalah 0,5 %.
Pengoperasian FGD dikendalikan secara otomatis untuk mengurangi
tingkat emisi masih di bawah batas baku mutu emisi yang diizinkan. Kapur
untuk keperluan proses FGD pada dasarnya berasal dari sumber pemasukan
yang tersedia paling ekonomis. Karena kapur dapat bereaksi dengan SO2 dan
harga relatif murah. Konsumsi kapur sekitar 1,1 ton setiap jam digunakan bagi
batubara dengan kadar belerang 0,5%. Untuk pengadaan sumber kapur yang
digunakan untuk FGD dilakukan oleh pihak ketiga. Hasil sampingan dari
proses FGD dikumpulkan dalam bentuk kering yang bercampur dengan abu
terbang dan ditimbun pada tempat pembuangan abu (KA – ANDAL PLTU
Labuhan Angin, 2003).

Universitas Sumatera Utara

2.7 Limbah Gas Pembangkit Listrik Tenaga Uap ( PLTU )
Bahan pencemar udara yang dapat dikeluarkan oleh industri maupun
pembangkit listrik, antara lain : Total partikulat, gas SO2 (sulfur dioksida), gas
nitrogen dioksida, gas karbonmonoksida dan gas hidrokarbon (Corman, 1971).
2.7.1 Total partikulat
Menurut Srikandi Fardiaz (1992), berbagai proses alami mengakibatkan
penyebaran partikel di atmosfer, misalnya : letusan vulkano dan hembusan
debu serta tanah oleh angin. Aktivitas manusia juga berperan dalam
penyebaran partikel, misalnya : dalam bentuk total partikulat dan asbes dari
bahan bangunan, abu terbang dari proses peleburan baja dan asap dari proses
pembakaran tidak sempurna, terutama dari batu arang. Sumber total partikulat
yang utama adalah dari pembakaran bahan bakar dari sumbernya, diikuti oleh
proses – proses industri. Pada pembakaran batubara dalam pembangkit listrik
tenaga uap terbentuk 2 jenis abu, yaitu : abu terbang (fly ash) dan abu dasar
(bottom ash).
Total partikulat yang terbawa gas buangan disebut abu terbang,
sedangkan abu yang tertinggal dan dikeluarkan dari bawah tungku disebut abu
dasar. Komposisi antara abu terbang dan abu dasar tergantung sistem
pembakarannya. Abu terbang akan ditangkap dengan electric precipitator
sebelum dibuang ke udara melalui cerobong. Jumlah abu batubara yang
dihasilkan per hari dapat mencapai 500 – 1000 ton. Sebagian besar abu
terbang dan abu dasar dikumpulkan pada tempat pembuangan abu (Ash
disposal).

Universitas Sumatera Utara

Hingga saat ini, abu batubara tersebut banyak dimanfaatkan untuk
keperluan industri semen dan beton, bahan pengisi untuk bahan tambang dan
bahan galian. Namun, PLTU Labuhan Angin belum memanfaatkan abu
tersebut sehingga abu tersebut hanya ditimbun pada area yang dijadikan
sebagai area ash disposal dengan ukuran 400 m × 50 m. Nilai ambang batas
(NAB) kadar debu adalah standart faktor-faktor lingkungan kerja yang
dianjurkan di tempat kerja agar pekerja masih dapat menerimanya tanpa
mengakibatkan penyakit atau gangguan kesehatan dalam pekerjaan sehari –
hari untuk waktu tidak melebihi 8 jam sehari atau 40 jam seminggu.
Menurut peraturan menteri lingkungan hidup no. 21 tahun 2008 tentang
baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi usaha dan / atau kegiatan
pembangkit tenaga listrik termal, kadar total partikulat maksimum sekitar 150
mg / Nm3 agar tidak menimbulkan gangguan pada kesehatan manusia.
2.7.1.1 Sifat Fisis dan Kimia Total Partikulat BatuBara
Bahan utama penyusun batubara adalah karbon. Selain itu hidrogen,
oksigen, nitrogen, logam (cadmium, tembaga, nikel, besi, timah, seng),
mineral inorganik (kaolin, mika, titanium, sulfur, natrium, magnesium) dan
silica kristalin. Beberapa logam tersebut dapat bersifat sitotoksik dan
karsinogenik. Berdasarkan umur terdapat 3 jenis batu bara, yaitu :
a. Anthracite umur tua, sedikit mengandung bahan yang mudah menguap,
keras dan berkilau
b. Bituminous, umur pertengahan, lebih banyak mengandung bahan yang
mudah menguap

Universitas Sumatera Utara

c. Lignite umur muda atau batubara muda, sebagian besar mengandung
bahan yang mudah menguap dan berwarna coklat.
Batubara merupakan mineral yang tidak murni. Kemampuan debu
batubara untuk menyebabkan pneumoconiosis berbeda dari satu tambang ke
tambang yang lain. Hal tersebut ditentukan menurut golongan atau kelas yang
menggambarkan kadar karbon dan pembakarannya. Anthracite adalah
batubara golongan tertinggi dengan kandungan karbon 98%, terendah adalah
bituminous dan subtiminous dengan kadar karbon 90-95%.
Golongan

batubara

mempengaruhi

faktor

resiko

terjadinya

pneumoconiosis batubara. Debu batubara respirabel memiliki luas permukaan
relatif besar karena ukuran aerodinamik yang kecil dan berpori – pori. Bahan
organik aromatik yang terdapat pada permukaan batubara, seperti: benzene,
metilen, fenol dan fenatren mempengaruhi aktivitas biologi batubara. Pada
batubara juga didapatkan abu yang mengandung silika (kaolin dan mika),
silika sebagai bentuk dari kwarsa tanah liat (Mukhtar, 2009).
2.7.1.2 Proses Pembentukan Total Partikulat Batubara
Sistem pembakaran batubara umumnya terbagi 2, yakni: sistem unggun
terfluidakan (fluidized bed system) dan unggun tetap (fixed bed system atau
grate system). Disamping itu, terdapat sistem ke – 3, yakni: spouted bed
system atau yang dikenal dengan unggun pancar. Fluidized bed system adalah
sistem dimana udara ditiup dari bawah menggunakan blower sehingga benda
padat di atasnya berkelakuan mirip fluida. Teknik fluidisasi dalam
pembakaran batubara adalah teknik yang paling efisien dalam menghasilkan

Universitas Sumatera Utara

energi. Pasir atau corundum yang berlaku sebagai medium pemanas
dipanaskan terlebih dahulu. Pemanasan biasanya dilakukan dengan minyak
bakar. Setelah temperatur pasir mencapai temperatur bakar batubara (300oC)
maka diumpankanlah batubara.
Sistem ini menghasilkan abu terbang dan abu yang turun dibawah alat.
Abu – abu itu disebut dengan fly ash dan bottom ash. Teknologi fluidized bed
biasanya digunakan di PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap). Komposisi fly
ash dan bottom ash yang terbentuk dalam perbandingan berat adalah
(80 – 90%) berbanding (10 – 20 %). Fly ash yang terbentuk dari teknologi
Fluidized bed system 100 – 200 mesh (1 mesh = 1 lubang/inchi2 ). Ukuran ini
relatif kecil dan ringan sedangkan bottom ash berukuran 20 – 50 mesh.
Fixied bed system adalah teknik pembakaran dimana batubara berada di
atas conveyor yang berjalan atau grate. Sistem ini kurang efisien karena
batubara yang terbakar kurang sempurna atau dengan perkataan lain masih ada
karbon yang tersisa. Debu yang terbentuk berupa bottom ash yang masih
memiliki kandungan kalori sekitar 3000 kkal/kg . Teknologi fixed bed system
banyak digunakan pada industri tekstil sebagai pembangkit uap (sistem
generator). Komposisi fly ash dan bottom ash yang terbentuk dalam
perbandingan berat adalah (15 – 25 %) berbanding (25 – 75 %).
Bottom ash yang terbentuk dari teknologi fixed bed system berbentuk
bongkahan – bongkahan besar dan masih mengandung fixed carbon dengan
nilai kalori 6500 – 6800 kkal/kg atau sekitar 41 – 42%. Jika bottom ash
langsung dilepaskan ke udara tanpa pengolahan terlebih dahulu maka lambat

Universitas Sumatera Utara

laun maka akan terbentuk gas metana (CH4) yang sewaktu – waktu dapat
terbakar atau meledak sendiri.
2.7.1.3 Persyaratan Pembuangan Total Partikulat Batubara
Menurut kerangka acuan analisis dampak lingkungan hidup (2003),
untuk menghindari keluarnya total partikulat dari penampungan harus dibuat
tembok kedap air disekelilingnya dengan ketinggian 5 meter dari dasar. Untuk
mengurangi konsentrasi padatan tersuspensi dari resapan air maka akan dibuat
bak penampungan dan diolah kemudian dibuang melalui kanal untuk
menghindari resapan limbah cair ke air tanah, maka dasar penampungan
dibuat lapisan kedap air (impermeable) dengan bahan pelapis adalah polyvinyl
chloride (PVC) sheet.
Total partikulat/abu bawah (bottom ash) dipindahkan dalam keadaan
lembab menggunakan conveyor tetap ke tempat pembuangannya. Persyaratan
lahan tempat penimbunan batubara tidaklah perlu datar tetapi harus berbentuk
kolam-kolam. Persyaratan lainnya adalah sifat lolos air tanah (hujan) yang
baik, jauh dari fasilitas hunian, mudah dan aman dicapai dump truk atau sabuk
conveyor.
Tempat pembuangan abu seluas 10 ha dibangun oleh PT.PLN (Persero)
yang terletak 200 m dari lokasi pembangkit, dimana tempat pembuangan abu
tersebut dihubungkan ke lokasi pembangkit melalui jalan yang dibuat oleh
PT.PLN. Tempat pembuangan abu diperkirakan dapat menampung abu selama
25 tahun operasi dengan pertimbangan bahwa dalam kurun waktu 5 tahun
akan dapat ditemukan suatu teknologi baru dalam pemanfaatan abu batubara

Universitas Sumatera Utara

sehingga lahan tersebut mampu menampung abu selama PLTU beroperasi
selama 30 tahun.
2.7.1.4 Absorpsi Total Partikulat
Polutan gas dengan kelarutan tinggi akan mengendap pada saluran
pernafasan bagian atas, mudah terabsorpsi dan menimbulkan efek iritasi
sehingga meningkatkan resistensi saluran pernafasan.
Tabel 2.4 Ukuran Partikel dan Efek
Ukuran Partikel
Efek Kesehatan
9,2 – 30 mikron
Memberi efek terhadap mata
5,5 – 9,2 mikron
Mengiritasi selaput
hidung/tenggorokan
3,3 – 5,5 mikron
Lewat di saluran pernafasan utama
2,0 – 3,3 mikron
Lewat di saluran pernafasan kecil
1,0 – 2,0 mikron
Lewat bronchus
0,1 – 1,0 mikron
Lewat sakus udara (Alveolus)
Sumber: Mukono, 2011

2.7.1.5 Efek Total Partikulat Batubara Terhadap Saluran Pernafasan
Total Partikulat Batubara

Hemolitik terhadap eritrosit

Cytotoxic

Makrofag tetap sehat

Phagocitic cells (mononuclear phagosyste)PMN masih baik

Mekanisme fagositosis tidak terganggu
Gambar 2. Efek Total Partikulat Batubara Terhadap
Saluran Pernafasan

Universitas Sumatera Utara

Total partikulat batubara yang masuk ke dalam paru dan mencapai
alveolus akan terjadi proses hemolitik terhadap erythrocyte (sel darah merah)
dan meracuni sel. Namun, total partikulat batubara tidak merubah kondisi
makrofag dan makrofag tetap sehat. Dengan demikian, mekanisme fagositosis
oleh sel mononuclear dan poly morpho nuclear (PMN) tidak terganggu dan
tetap baik. Oleh karena itu, total partikulat batubara tidak mengganggu fungsi
paru namun merubah penampilan paru, yaitu: paru bewarna hitam (Black
lung).
2.7.1.6 Penanganan Total Partikulat Batubara
Sistem penanganan total partikulat batubara dibagi menjadi dua
subsistem, yaitu: sistem penanganan abu terbang dan sistem penanganan abu
dasar (bottom ash removal). Abu terbang dikumpulkan dari hopper pemanas
udara dan abu dasar (padatan) hasil FGD dari ESP dialirkan secara pneumetik,
biasanya pada tekanan negatif ke peralatan penerima abu yang terletak di
bagian atas silo abu. Padatan hasil fly ash ditangkap dari sistem aliran udara
dengan pemisah siklon dan penyaring/pemisah.
Penyaring/pemisah

dirancang

untuk

memungkinkan

terjadinya

pengaliran padatan ke silo tanpa menghentikan sistem pengaliran hampa
udara. Udara yang telah dibersihkan disalurkan ke blower. Selama proses
pengangkutan, abu terbang (fly ash) akan keluar dari silo lewat unloader. Abu
yang telah dikondisikan kemudian diangkut dengan truk ke lokasi
pembuangan atau diangkut keluar lokasi menggunakan truk. Dengan

Universitas Sumatera Utara

demikian, perlu adanya jalan penghubung power plant ke tempat penimbunan
abu (KA-ANDAL PLTU Labuhan Angin, 2003).
2.7.2

Sulfur Dioksida ( SO2 )
Sulfur dioksida merupakan ikatan yang tidak stabil dan sangat reaktif

terhadap gas lain. Ciri lainnya, yaitu: tidak berwarna, bau yang tajam, sangat
mengiritasi, tidak terbakar dan tidak meledak. Sulfur dioksida (SO2)
merupakan polutan yang berbahaya bagi kesehatan terutama bagi penderita
penyakit kronis sistem pernafasan dan kardiovaskuler.
Sumber emisi gas sulfur dioksida yang terbanyak berasal dari alam.
Adapun sumber emisinya berupa :
1.

Pembakaran yang tidak bergerak

2.

Proses dalam industri

3.

Limbah padat

4.

Pembakaran limbah pertanian
Sebagian besar sulfur yang terdapat di atmosfer dalam bentuk Sulfur

dioksida (SO2). Sumber pencemaran SO2 yang berada di atmosfer berasal dari
kegiatan manusia dan sumber – sumber alam, seperti: vulkano (letusan
gunung api). Menurut peraturan menteri lingkungan hidup no. 21 tahun 2008
tentang baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi usaha dan / atau kegiatan
pembangkit tenaga listrik termal, kadar maksimum sulfur dioksida sekitar 750
mg/Nm3 yang diperbolehkan bagi pembangkit listrik yang berbahan bakar
batubara.

Universitas Sumatera Utara

2.7.2.1 Proses Pembentukan Sulfur Dioksida
Menurut Srikandi Fardiaz (1992), polusi udara oleh sulfur oksida
terutama disebabkan oleh dua komponen gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur
dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3). Sulfur dioksida mempunyai
karateristik bau yang tajam dan tidak terbakar di udara, sedangkan sulfur
trioksida merupakan komponen yang tidak reaktif.
Pembakaran bahan bakar merupakan sumber utama SOx, misalnya:
pembakaran arang, minyak bakar gas, kayu dan sebagainya. Kebanyakan
senyawa logam sulfida dipekatkan dan dipanggang di udara untuk mengubah
sulfida menjadi oksida yang mudah tereduksi. Selain itu, sulfur merupakan
kontaminan yang tidak dikehendaki dalam logam dan biasanya lebih mudah
menghasilkan sulfur dari logam kasar. Oleh karena itu, sulfur dioksida (SO2)
secara rutin diproduksi sebagai produk samping dalam industri dan sebagian
akan terdapat di udara.
2.7.2.2 Efek Gas SO2 Terhadap Saluran Pernafasan
Gas SO2
Masuk ke dalam tubuh melalui hidung dan mulut dengan bernafas dalam
Kelarutan cukup tinggi
Iritasi
Dinding Bronchus, bronchiole dan alveolus (selaput lendir meningkat)
Resistensi saluran nafas meningkat
Broncho konstriksi
Gambar 3. Efek Gas SO2 Terhadap Saluran Pernafasan

Universitas Sumatera Utara

2.7.2.3 Pengaruh Sulfur Dioksida Terhadap Manusia

Konsentrasi
( ppm )
3-5
8-12
20
20
50 – 100
400 – 500

Tabel 2.5 Pengaruh SO2 Terhadap Manusia
Pengaruh
Jumlah terkecil yang dapat terdeteksi dari
baunya
Jumlah
terkecil
yang
segera
mengakibatkan iritasi tenggorokan
Jumlah
terkecil
yang
segera
mengakibatkan iritasi mata, batuk dan
kadar maksimum yang diperbolehkan
untuk kontak dalam waktu lama
Maksimum yang diperbolehkan untuk
kontak dalam waktu yang singkat (30
menit)
Berbahaya meskipun kontak secara
singkat.

Sumber : Kirk dan Othmer, 1969 dalam buku Srikandi Fardiaz tahun 1992

2.7.2

Nitrogen Dioksida ( NO2 )
Kandungan udara terbanyak yang diubah menjadi bentuk nitrogen

sekitar 78% sebagai emisi dijumpai dalam berbagai bentuk ikatan nitrogen,
yaitu: nitrogen monoksida (NO), nitrogen dioksida (NO2) dan amoniak serta
dalam bentuk mudah direduksi berupa nitrit. Nitrogen dioksida di udara
membentuk awan berwarna kuning atau cokelat sedangkan ciri – ciri nitrogen
dioksida yang berwarna merah – ungu – kecokelatan dan memiliki
karateristik, seperti: bau yang menyengat, toksik dan korosif dan menyerap
banyak cahaya (Pramudya . S, 2001).
Menurut peraturan menteri lingkungan hidup no. 21 tahun 2008
tentang baku mutu emisi sumber tidak bergerak bagi usaha dan / atau kegiatan
pembangkit tenaga listrik termal, kadar maksimum nitrogen dioksida sekitar

Universitas Sumatera Utara

850 mg / Nm3 bagi pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar berupa
batubara.
2.7.3.1 Proses Pembentukan Nitogen Dioksida ( NO2 )
Menurut Pramudya (2000), pembentukan NO dan NO2 mencakup
reaksi antara nitrogen dan oksigen di udara sehingga membentuk NO,
selanjutnya NO dengan lebih banyak oksigen sehingga membentuk NO2.
Komposisi udara sebagian besar merupakan nitrogen dan sekitar 20% volume
oksigen.
Reaksi pembentukan NO2 dari NO dan O2 terjadi dalam jumlah relatif
kecil, meskipun dengan adanya udara berlebih. Pembentukan NO2 yang
lambat disebabkan kecepatan reaksi sangat dipengaruhi oleh suhu dan
kosentrasi NO. Reaksi pembentukan NO2 berlangsung lebih lambat pada suhu
yang lebih tinggi. Pada suhu 1100oC jumlah NO2 yang terbentuk biasanya
kurang dari 0,5 % dari total NOx.
Kecepatan reaksi pembentukan NO2 dipengaruhi oleh konsentrasi
oksigen dan kuadrat dari konsentrasi NO. Hal ini berarti jika konsentrasi NO
bertambah menjadi dua kalinya maka kecepatan reaksi akan naik menjadi
empat kalinya dan jika konsentrasi NO berkurang menjadi setengahnya
kecepatan reaksi menurun menjadi seperempatnya. Kenaikan jumlah oksigen
dan penurunan suhu menyebabkan sedikit kenaikan dalam kecepatan reaksi
dan hanya sekitar 10% dari NO yang diproduksi selama pembakaran akan
diubah menjadi NO2 melalui proses – proses yang lain dan tidak merupakan
reaksi langsung dengan oksigen (Srikandi. F, 1992).

Universitas Sumatera Utara

2.7.3.2 Toksikologi Gas NO2
Sebagian besar studi toksikologi gas NO2 dilakukan pada industri.
Binatang percobaan yang terpapar oleh gas NO2 akan menyebabkan
berkurangnya mekanisme pertahanan paru dan fungsi imunologis. Secara
umum terpapar dengan gas NO2 pada waktu yang singkat dan kadar yang
rendah tidak akan menyebabkan kelainan pada binatang percobaan.
Gas NO2 dapat memberikan kelainan antara lain berupa: terbentuknya
MethHb (Meth Hemoglobin), peningkatan inspiratoryresistance, peningkatan
Expiratory resistance, terjadinya sembap paru dan terjadinya fibrosis paru.
2.7.4

Karbon Monoksida (CO)
Gas Karbon monoksida adalah hasil pembakaran tidak sempurna dari

bahan bakar yang mengandung atom karbon dan bersifat lebih ringan dari
udara, tidak berwarna serta tidak berbau. Apabila proses pembakaran tidak
sempurna maka tiap atom karbon akan bereaksi dengan satu atom oksigen dan
terbentuklah CO (Karbon monoksida). Secara alamiah, gas karbon monoksida
dapat berasal dari reaksi hidrokarbon, metana di atmosfer (Mukono, 2008).
2.7.4.1 Sumber Utama CO (Karbon monoksida)
Emisi gas CO2 berasal dari pembakaran bahan bakar dan sumber
alami. Sumber pencemar antrophogenik utama adalah pembakaran batubara
52%, gas alam 8,5% dan kebakaran hutan 2,8%.
2.7.4.2 Kadar Gas CO
Kadar gas CO di atmosfer biasanya dinyatakan dalam persentase
terhadap volume atau parts per million (ppm), namun kadang – kadang

Universitas Sumatera Utara

dinyatakan pula dalam mg/m3 (1 ppm sebanding dengan 1145 mg/m3). Pada
perokok kadar gas CO dalam darah cukup tinggi sedangkan pada nonperokok
kadar HbCO adalah berkisar antara 0,4 sampai 0,7%. Penderita anemia
hemolitika darahnya mengandung HbCO berkisar antara 4 sampai 8%. Badan
kesehatan dunia WHO, menetapkan batas 2,5 sampai 3% kadar HbCO bagi
nonperokok (Mukono, 2011).
Tabel 2.6 Jumlah paparan yang diperbolehkan dan lama paparan
maksimum berdasarkan TWA (Time Weight Average)
Jumlah paparan yang
Lama paparan maksimum
diperbolehkan
(menit)
(mg/M3)
100
15
60
30
30
60
Sumber: Mukono, 2011

2.7.4.3 Toksikologi Gas CO
Gas CO yang masuk ke tubuh melalui paru, langsung diserap dan
bergabung dengan Haemoglobin (Hb). Unsur HbCO tersebut mencapai kadar
tertinggi pada arteri coronaria dan otak, sedangkan kadarnya rendah pada
arteri periferi. Gas CO keluar dari tubuh hanya melalui paru dan HbCO
mempunyai half life (umur paruh) selama 5 sampai 6 jam. Gas CO akan
mengganggu proses pernafasan seluler. Kadar HbCO yang tinggi pada
pembuluh darah arteri akan merusak pembuluh darah tersebut, yang dimediasi
oleh keluarnya nitric oxide (NO) dari sel endothel pembuluh darah dan
menyebabkan kerusakan karena proses oksidatif pada jaringan perivaskuler.
Setiap organ tubuh mempunyai derajat kerentanan berbeda terhadap
toksisitas gas CO. Pengaruh gas CO terhadap jaringan otak merupakan efek

Universitas Sumatera Utara

yang sangat fatal menyerupai efek asfiksia. Organ jantung merupakan organ
yang sensitif pula selain otak. Hal tersebut disebabkan karena jantung
mengkonsumsi O2 yang cukup banyak dan afinitas haemoglobin (Hb)
terhadap gas CO lebih tinggi daripada afinitas gas O2 terhadap haemoglobin
(Hb). Adanya HbCO yang tinggi di dalam darah akan menyebabkan
pendarahan pada retina mata, edema paru dan kematian sel jaringan otot. Pada
keracunan gas CO dosis tinggi akan berpengaruh langsung terhadap fungsi
central (otak) dan dapat menyebabkan mual, kondisi tidak sadar dan bias
membawa kematian (Mukono, 2011)
2.7.4.4 Hubungan Gas CO di Udara dengan Waktu Penghisapan dan
Gejala
Tabel 2.7 Hubungan Gas CO di Udara dengan Waktu Penghisapan dan
Gejala
Kadar Gas CO di Udara
Waktu Penghisapan dan Gejala
50 ppm (part per million)
Terjamin keamanannya
200 ppm
Sedikit sakit kepala dalam 2-3 jam
400 ppm
Sakit kepala hebat dalam 1-3 jam
500 ppm
Kepala pusing, mual dan kejangkejang dalam 45 menit sampai 2 jam.
Sumber: Mukono, 2011

2.8

Dampak Emisi Gas Terhadap Gangguan Saluran Pernafasan

2.8.1 Anatomi Saluran Pernafasan dan Paru
Saluran pernafasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh
membran mukosa bersilia. Udara masuk melalui rongga hidung, disaring,
dihangatkan, dan dilembabkan. Partikel debu yang kasar dapat disaring oleh
rambut yang terdapat dalam lubang hidung, sedangkan partikel debu yang
halus akan terjerat dalam lapisan mukosa. Gerakan silia mendorong lapisan

Universitas Sumatera Utara

mukosa ke posterior, ke rongga hidung dan ke arah superior menuju faring.
Udara inspirasi akan disesuaikan, sehingga dalam keadaan normal udara
tersebut mencapai faring, dapat dikatakan hampir bebas debu yang bersuhu
sama dengan suhu tubuh dan kelembapannya 100% (Price dan Wilson (1992)
dikutip dalam buku Mukono tahun 2008).
Laring terdiri dari satu seri cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh
otot dan terdapat pita suara dan epiglotis. Epiloglotis merupakan pemisah
antara saluran pernafasan bagian atas dan bawah. Benda asing yang masuk
akan melewati epiglotis, maka dengan adanya reflex batuk akan membantu
mengeluarkan benda atau secret dari saluran pernafasan bagian bawah
(Price dan Wilson (1992) dikutip dalam buku Mukono tahun 2008).
Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang – cabang menjadi
segmen lobus, kemudian menjadi segmen bronkus. Percabangan ini diteruskan
sampai cabang terkecil bronkioulus terminalis yang tidak mengandung
alveolus bergaris tengah sekitar 1 mm, diperkuat oleh cincin tulang rawan
yang dikelilingi otot polos (Price dan Wilson, 1992).
Menurut Anderson (1998) dikutip dalam buku Mukono tahun 2008,
bagian luar bronkiolus terminalis terdapat asinus sebagai unit fungsional paru
yang merupakan tempat pertukaran gas. Asinus tersebut terdiri dari bronkiolus
respiratorius yang mempunyai alveoli. Duktus alveolaris yang seluruhnya
dibatasi oleh alveolus dan sakus alveolaris terminalis yang merupakan struktur
akhir paru – paru. Setiap paru berisi sekitar 300 juta alveolus dengan luas
permukaan total seluas lapangan tenis. Alveolus dibatasi oleh zat lipoprotein

Universitas Sumatera Utara

yang disebut surfaktan, yang dapat mengurangi tegangan permukaan dan
mengurangi resistensi terhadap pengembangan pada waktu inspirasi serta
mencegah kolapsnya alveolus pada waktu ekspirasi.
Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus (Tipe II) tergantung
dari beberapa faktor, antara lain: pendewasaan sel-sel alveolus dan sistem
biosintesis enzim, ventilasi yang memadai, serta aliran darah ke dinding
alveolus. Defisiensi surfaktan merupakan faktor penting pada pathogenesis
beberapa penyakit rongga dada (Mukono, 1997).
2.8.2 Proses Pernafasan
Proses pernafasan dapat dibagi atas 4 peristiwa, yaitu :
1.

Ventilasi Pulmonal yang artinya masuk dan keluarnya udara dari atmosfer
ke bagian alveoli dari paru – paru.

2.

Difusi oksigen dan CO2 dari udara yang masuk itu ke pembuluh darah
yang terdapat di sekitar alveoli

3.

Transport O2 dan CO2 oleh darah ke sel

4.

Pengaturan ventilasi
Seluruh proses ini sering dibagi dua, yaitu : bagian yang disebut sebagai

respirasi eksternal yang mencakup adsorbsi zat asam dan pengeluaran CO2
dari tubuh secara keseluruhan, sedangkan bagian respirasi internal meliputi
semua proses pertukaran gas antara sel dengan cairan sekitarnya.
Masuk keluarnya udara dari atmosfer ke dalam paru – paru
dimungkinkan oleh peristiwa mekanik pernafasan yang dikenal sebagai
inspirasi dan ekspirasi. Pada masa inspirasi paru – paru berkembang

Universitas Sumatera Utara

(Expanded) sedangkan pada masa expirasi paru – paru menguncup
(Contracted) (Hasjim dan Jasmeiny, 1980).
2.8.3 Infeksi Saluran Pernafasan
Infeksi saluran pernafasan merupakan penyakit infeksi yang menyerang
salah satu atau lebih bagian dari saluran pernafasan mulai dari hidung (saluran
pernafasan atas) hingga jaringan di dalam paru – paru (saluran pernafasan
bawah). Infeksi saluran pernafasan adalah penyebab utama morbiditas dan
mortalitas penyakit menular di dunia. Hampir 4 (empat) juta orang meninggal
akibat ISPA setiap tahun dan hampir 98% diantaranya disebabkan oleh infeksi
saluran pernafasan bawah.
Terjadinya infeksi saluran pernafasan disebabkan oleh beberapa faktor
yang penyebaran dan dampaknya berkaitan dengan :
1.

Kondisi lingkungan, misalnya: polutan udara, kepadatan anggota
keluarga, kelembapan, kebersihan dan temperatur

2.

Ketersediaan

dan

efektivitas

pelayanan

kesehatan

dan

langkah

pencegahan infeksi untuk mencegah penyebarannya, misalnya: vaksin
dan akses ke pelayanan kesehatan.
3.

Faktor penjamu, misalnya usia dan kebiasaan merokok. Kemampuan
penjamu menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi dan infeksi
sebelumnya.

4.

Karateristik penjamu, seperti: cara penularan, daya tular dan faktor
virulensi (Pedoman interim WHO, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Penyakit pernafasan yang umumnya timbul akibat paparan partikel
debu batubara, yaitu: menurunnya kualitas udara sampai tingkat yang
membahayakan kesehatan dan akhirnya menimbulkan dan meningkatkan
gangguan pernafasan.
Faktor resiko Infeksi saluran pernafasan adalah karena adanya polusi
(kondisi lingkungan yang buruk) misalnya : polutan udara, kepadatan anggota
keluarga, kelembaban, kebersihan, musim dan temperatur. Beberapa faktor
lainnya adalah usia, jenis kelamin, perilaku merokok, masa kerja,lama pajanan
dan penggunaan masker yang berfungsi sebagai alat pelindung dari debu.
Paparan debu dapat menyebabkan gangguan pernafasan akut salah satunya
adalah hasil industri yang dapat mencemari udara, seperti: debu batu bara,
semen, kapas, asbes, zat-zat kimia, gas beracun, debu pada penggilingan padi
dan lain-lain. Berbagai faktor berpengaruh terhadap timbulnya penyakit atau
gangguan pada saluran pernafasan akibat debu.
2.8.4 Gejala – gejala Gangguan pada Saluran Pernafasan
1. Batuk
Pembakaran bahan bakar fosil, menghasilkan emisi gas sulfur dioksida,
nitrogen dioksida, karnonmonoksida, bahan partikel, serta aerosol yang
bersifat asam. Udara atmosfer yang menerima emisi dari pusat tenaga listrik,
industri ataupun kendaraan bermotor jika dispersinya kurang, dapat
menyebabkan akumulasi bahan polutan, sehingga udara ambient yang
mengandung polutan mempunyai kemampuan untuk membentuk aerosol

Universitas Sumatera Utara

asam. Pembentukan aerosol asam biasa terjadi karena reaksi katalitik, reaksi
fotokimiawi, atau emisi langsung (Mukono, 2008).
Emisi dari pusat tenaga listrik seperti pembangkit listrik tenaga uap
(PLTU) yaitu total partikulat, gas sulfur dioksida, gas nitrogen dioksida dan
gas karbonmonoksida. Emisi yang dapat menimbulkan reaksi batuk terdiri dari
total partikulat dan SO2.
Total partikulat dapat mengendap pada saluran pernafasan dan
mengakibatkan terjadinya iritasi pada saluran pernafasan. Sistem pernafasan
mempunyai beberapa sistem pertahanan yang mencegah masuknya total
partikulat ke dalam paru-paru seperti bulu – bulu hidung akan mencegah
partikel-partikel yang berukuran besar, sedangkan partikel yang berukuran
kecil akan dicegah oleh membrane mukosa yang terdapat di sepanjang sistem
pernafasan dan merupakan permukaan tempat partikel menempel.
Partikel yang mempunyai diameter lebih besar daripada 5,0 mikron
akan terhenti dan terkumpul terutama di dalam hidung dan tenggorokan.
Walaupun partikel tersebut sebagian dapat masuk ke dalam paru – paru tetapi
tidak pernah lebih jauh dari kantung – kantung atau bronki, bahkan segera
dapat dikeluarkan oleh gerakan silia.
Patikel yang berukuran diameter 0,5 – 5,0 mikron dapat terkumpul di
dalam paru – paru sampai pada bronchioli dan hanya sebagian kecil yang
sampai pada alveoli. Sebagian besar, partikel yang terkumpul di dalam
bronchioli akan dikeluarkan oleh silia dalam waktu 2 jam. Partikel yang
berukuran diameter kurang dari 0,5 mikron dapat mencapai dan tinggal di

Universitas Sumatera Utara

dalam alveoli. Beberapa partikel yang tetap tertinggal di dalam alveoli dapat
terabsorbsi ke dalam darah.
Partikel – partikel yang masuk dan tertinggal di dalam paru – paru
mungkin berbahaya bagi kesehatan karena tiga hal penting, yaitu :
1. Partikel tersebut mungkin beracun karena sifat – sifat kimia dan fisiknya
2. Partikel tersebut mungkin bersifat inert (tidak bereaksi) tetapi jika
tertinggal di dalam saluran pernafasan dapat mengganggu pembersihan
bahan – bahan lain yang berbahaya.
3. Partikel–partikel tersebut mungkin dapat membawa molekul – molekul
gas yang berbahaya baik dengan cara mengabsorbsi atau mengadsorbsi,
sehingga molekul – molekul gas tersebut dapat mencapai dan tertinggal di
bagian paru – paru yang sensitif.
Karbon merupakan partikel yang umum dengan kemampuan yang baik
untuk mengabsorbsi molekul – molekul gas pada permukaannya (Srikandi,
1992).
Total partikulat batubara dan pigmen karbon berukuran 2,5 mikrometer
yang terinhalasi dalam waktu tertentu masuk ke bronkiolus terminalis,
dimakan oleh makrofag interstisial dan alveolar lalu dikirim ke sistem
mukosilier untuk dikeluarkan bersama mucus atau masuk ke sistem limfatik.
Bila kedua sistem tersebut tidak mampu mengatasinya, partikulat batubara dan
pigmen dalam makrofag akan tertahan di bronkiolus terminalis dan alveoli
yang memacu respons imun. Karena adanya gangguan pada bronkus maka
terjadilah batuk. Dimana refleks batuk yang terjadi merupakan mekanisme

Universitas Sumatera Utara

untuk mendorong sekresi ke atas sehingga dapat ditelan atau dikeluarkan dari
saluran pernafasan (Mukono, 2008).
Emisi berupa gas sulfur dioksida (SO2) merupakan ikatan yang tidak
stabil dan sangat reaktif terhadap gas lain. Ciri lainnya, yaitu: tidak berwarna,
bau yang tajam, sangat mengiritasi, tidak terbakar dan tidak meledak. Sulfur
dioksida (SO2) merupakan polutan yang berbahaya bagi kesehatan terutama
bagi penderita penyakit kronis sistem pernafasan dan kardiovaskuler.
Tingginya kadar debu biasanya diikuti dengan tingginya gas SO2,
sehingga sulit membedakan efek dari kedua bahan tersebut. Pendapat ini
bersesuaian dengan penjelasan dari WHO tahun 2000 bahwa bila sistem kerja
silia rusak akibat pajanan bahan/zat kimia baik akut maupun secara kronis
menyebabkan tertahannya substansi berbahaya dalam paru untuk waktu yang
cukup lama dan perpanjangan masa pajanan yang berulang tentu memperbesar
resiko efek yang merugikan. Pajanan secara kronis dari gas SO2 dapat
menghasilkan superoksidase (O2) dan radikal hidroksil (OH) yang merupakan
komponen aktif menurunkan fungsi paru dan menyebabkan edema pada paru
sehingga dapat merusak sel endothelial (Sagai et.al. 1996).
Sulfur Dioksida (SO2) adalah gas yang bersifat iritasi berat pada kulit
dan selaput lendir pada konsentrasi 6 –12 ppm. Sulfur dioksida (SO2) pada
konsentrasi rendah dapat menimbulkan spasme temporer otot – otot polos
pada bronchioli. Bila kadar SO2 rendah akan tetapi terpapar dalam kadar yang
berulangkali dapat menimbulkan iritasi selaput lendir.

Universitas Sumatera Utara

Sesuatu itu bisa berupa lendir yang dihasilkannya sendiri atau benda
asing yang meransang selaput lendir. Selaput lendir di sebelah atas dan
sebelah bawah pita suara mempunyai saraf yang berbeda. Selaput lendir di
bagian atas mempunyai kemampuan merasa sesuatu (saraf somatis) sehingga
dapat memberi rasa gatal atau nyeri. Sebaliknya, bagian di bawah pita suara
tidak mempunyai kemampuan itu (saraf otonom). Walaupun demikian, jika
ada gangguan di daerah itu reaksinya tetap sama, yaitu berupa batuk (Wibowo,
2008). Karena reaksi batuk merupakan mekanisme untuk menghilangkan
sesuatu yang terdapat di saluran pernafasan.
2. Peningkatan produksi sputum
Sputum merupakan suatu substansi yang keluar bersama dengan batuk
atau bersihan tenggorokan. Percabangan trakheoronkhial secara normal
memproduksi sekitar 3 ons mucus setiap hari sebagai bagian dari mekanisme
pembersihan normal. Namun, produksi sputum akibat batuk adalah tidak
normal (Darmanto, 2007).
Hubungan antara penurunan kualitas udara ambient dengan terjadinya
Penyakit saluran pernafasan adalah adanya perubahan seluler pada saluran
pernafasan. Udara yang tercemar oleh total partikulat dan sulfur dioksida akan
meningkatkan jumlah kelenjar mucus dan sel goblet serta terjadi penyumbatan
saluran pernafasan serta peningkatan tahanan aliran udara. Total partikulat dan
gas sulfur dioksida terinhalasi melalui hidung. Total partikulat dapat
membawa molekul gas berbahaya seperti gas sulfur dioksida baik dengan cara

Universitas Sumatera Utara

mengabsorbsi atau mengadsorbsi, sehingga molekul-molekul gas tersebut
dapat mencapai dan tinggal di bagian paru-paru yang sensitif.
Total partikulat yang mempunyai diameter lebih besar daripada 5,0
mikron akan terhenti dan terkumpul terutama di dalam hidung dan
tenggorokan. Walaupun total partikulat tersebut sebagian dapat masuk ke
dalam paru. Total partikulat dan gas SO2 dapat pula masuk ke bronkiolus dan
alveolus, mengiritasinya dan menyebabkan terjadinya peningkatan produksi
lendir (Mukono, 2011).
Menurut Mukono (2005), pengaruh lainnya pencemaran SO2 terhadap
manusia adalah iritasi sistem pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan
bahwa iritasi tenggorokan terjadi jika kadar SO2 sekitar 5 ppm atau lebih,
bahkan beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar

1-2 ppm.

Sulfur dioksida (SO2) dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan
terutama terhadap orang tua dan penderita penyakit kronis pada sistem
pernafasan kardiovaskuler. Sulfur Dioksida (SO2) adalah gas yang bersifat
iritasi berat pada kulit dan selaput lendir pada konsentrasi 6 –12 ppm. Sulfur
dioksida (SO2) pada konsentrasi rendah dapat menimbulkan spasme temporer
otot – otot polos pada bronchioli. Bila kadar SO2 rendah akan tetapi terpapar
dalam kadar yang berulangkali dapat menimbulkan iritasi selaput lendir.
Pembentukan sputum ini ada hubungannya dengan menyempitnya
saluran pernafasan. Hal ini terjadi karena polusi udara tersebut dapat
memperlambat aktivitas silia dan fagositosis sehingga produksi mucus
meningkat (Mukono, 2008).

Universitas Sumatera Utara

3. Dipsnea (Sesak nafas)
Dipsnea adalah kesulitan bernafas yang disebabkan karena suplai
oksigen ke dalam jaringan tubuh tidak sebanding dengan oksigen yang
dibutuhkan oleh tubuh (Rab, 1996).
Bahan polutan gas seperti Total partikulat, gas sulfur dioksida, gas
nitrogen dioksida dan karbonmonoksida terinhalasi melalui hidung pada saat
seseorang bernafas. Bahan polutan itu masuk ke dalam saluran pernafasan
dapat pula menyebabkan sembab mukosa membran sehingga mengakibatkan
penyempitan

saluran

pernafasan.

Penyempitan

saluran

pernafasan

menyebabkan seseorang meningkatkan upaya untuk bernafas dan menghirup
udara lebih banyak. Kesulitan dalam bernafas mengakibatkan benda asing
termasuk bakteri/mikroorganisme lain tidak dapat dikeluarkan dari saluran
pernafasan dan akan memudahkan terjadinya infeksi saluran pernafasan
(Mukono, 2008).
Total partikulat dapat bersifat inert (tidak bereaksi) tetapi jika tertinggal
di dalam saluran pernafasan dapat mengganggu pembersihan bahan-bahan lain
yang berbahaya. Sehingga, terjadi penyempitan saluran pernafasan yang
mengakibatkan seseorang sulit untuk bernafas. Polutan gas dengan kelarutan
tinggi akan mengendap pada saluran pernafasan bagian atas, mudah terabsopsi
dan menimbulkan efek iritasi sehingga meningkatkan resistensi saluran
pernafasan.
Gas sulfur dioksida (SO2) dapat pula bereaksi dengan uap air sehingga
terbentuk asam sulfat yang merupakan zat yang sangat iritatif terhadap

Universitas Sumatera Utara

mukosa saluran pernafasan dan jaringan paru. Hal ini dapat menyebabkan
matinya sel silia, sehingga aktivitas respiratory clearance akan terganggu.
Jika sampai pada jaringan paru-paru, maka fungsi sel makrofag juga terganggu
dan mengakibatkan timbulnya reaksi sesak nafas.
Gas CO yang masuk ke tubuh melalui paru, langsung diserap dan
bergabung dengan Haemoglobin (Hb). Unsur HbCO tersebut mencapai kadar
tertinggi pada arteri coronaria dan otak, sedangkan kadarnya rendah pada
arteri periferi. Gas CO keluar dari tubuh hanya melalui paru dan HbCO
mempunyai half life (umur paruh) selama 5 sampai 6 jam. Gas CO akan
mengganggu proses pernafasan seluler dan mengakibatkan timbulnya reaksi
sesak nafas. Kadar HbCO yang tinggi pada pembuluh darah arteri akan
merusak pembuluh darah tersebut, yang dimediasi oleh keluarnya nitric oxide
(NO) dari sel endothel pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan karena
proses oksidatif pada jaringan perivaskuler.
Organ tubuh yang paling peka terhadap pencemaran gas nitrogen
dioksida (NO2) adalah paru – paru. Paru – paru yang terkotaminasi oleh gas
NO2 akan membengkak sehingga penderita sulit bernafas yang dapat
mengakibatkan

kematian.

Pengaruhnya

terhadap

kesehatan,

yaitu

terganggunya sistem pernafasan dan dapat menjadi emfisema, bila kondisinya
kronis dapat berpotensi menjadi bronchitis serta akan terjadi penimbunan
nitrogen oksida (NOx) dan dapat merupakan sumber karsinogenik (Pramudya,
2000).

Universitas Sumatera Utara

Penelitian aktivitas mortalitas menunjukkan bahwa NO2 empat kali
lebih beracun daripada NO. Nitrogen dioksida bersifat racun terutama
terhadap paru – paru. Konsentrasi NO2 lebih tinggi dari 100 ppm bersifat letal
terhadap kebanyakan hewan dan 90% dari kematian tersebut disebabkan oleh
gejala edema pulmonari.
Konsentrasi NO2 sebesar 800 ppm atau lebih mengakibatkan 100%
kematian pada hewan yang diuji dalam waktu 29 menit. Pemberian NO2
sebanyak 5 ppm selama 10 menit terhadap manusia mengakibatkan sedikit
kesukaran dalam bernafas (Srikandi, 1992).
4. Hemoptisis (Batuk disertai darah)
Dahak juga dapat bercampur dengan darah. Sputum yang berwarna
coklat disebut “ rusty sputum “. Hemoptisis dapat dianggap sebagai gejala.
Kata hemoptisis berasal dari kata hemo yang berarti darah dan ptisis yang
berarti meludah. Lendir atau dahak yang bercampur darah sering didapati pada
perokok yang masih sehat dan biasanya tidak dipedulikan oleh orang tersebut.
Penyebab hemoptisis sa

Dokumen yang terkait

Analisis Pengolahan Limbah pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuhan Angin di Kabupaten Tapanuli Tengah

92 400 115

Analisis Kualitas Udara Dan Keluhan Kesehatan Yang Berkaitan Dengan Saluran Pernapasan Pada Pemulung Di Tempat Pembuangan Akhir Sampah (TPA) Namo Bintang Kecamatan Pancur Batu Kabupaten Deli Serdang Tahun 2011

25 135 91

Analisis Kualitas Udara dan Keluhan Kesehatan yang Berkaitan dengan Saluran Pernafasan Pada Pekerja Batubara di PLTU Labuhan Angin Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2017

0 0 16

Analisis Kualitas Udara dan Keluhan Kesehatan yang Berkaitan dengan Saluran Pernafasan Pada Pekerja Batubara di PLTU Labuhan Angin Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2017

0 1 2

Analisis Kualitas Udara dan Keluhan Kesehatan yang Berkaitan dengan Saluran Pernafasan Pada Pekerja Batubara di PLTU Labuhan Angin Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2017

0 1 7

Analisis Kualitas Udara dan Keluhan Kesehatan yang Berkaitan dengan Saluran Pernafasan Pada Pekerja Batubara di PLTU Labuhan Angin Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2017 Chapter III VI

0 1 36

Analisis Kualitas Udara dan Keluhan Kesehatan yang Berkaitan dengan Saluran Pernafasan Pada Pekerja Batubara di PLTU Labuhan Angin Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2017

0 0 3

Analisis Kualitas Udara dan Keluhan Kesehatan yang Berkaitan dengan Saluran Pernafasan Pada Pekerja Batubara di PLTU Labuhan Angin Kabupaten Tapanuli Tengah Tahun 2017

0 0 38

II. Identitas Responden - Analisis Pengolahan Limbah pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Labuhan Angin di Kabupaten Tapanuli Tengah

0 4 29

ANALISIS PENGOLAHAN LIMBAH PADA PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) LABUHAN ANGIN DI KABUPATEN TAPANULI TENGAH

0 1 15