Jenis dan Kelimpahan Sampah Laut (Makro dan Mikro Plastik)Serta Dampaknya Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos Di Pesisir Desa Jaring HalusKabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

6

TINJAUAN PUSTAKA

Pesisir dan Pencemaran Laut
Berdasarkan UU No 1 Tahun 2014, Wilayah Pesisir didefenisikan sebagai
daerah peralihan antara Ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan
di darat dan laut. Perairan Pesisir didefenisikan sebagai laut yang berbatasan
dengan daratan meliputi perairan sejauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis
pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk,
perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Pencemaran pesisir didefenisikan
sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau
komponen lain ke dalam lingkungan pesisir akibat adanya kegiatan setiap orang
sehingga kualitas pesisir turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan pesisir tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Wilayah pesisir merupakan zona penting karena pada dasarnya tersusun dari
berbagai macam ekosistem seperti mangrove, terumbu karang, lamun, pantai
berpasir dan lainnya yang satu sama lain saling terkait (Masalu, 2008). Perubahan
atau kerusakan yang menimpa suatu ekosistem akan menimpa pula ekosistem
lainnya. Selain itu wilayah pesisir juga dipengaruhi oleh berbagai macam kegiatan
manusia baik langsung atau tidak langsung maupun proses-proses alamiah yang

terdapat diatas lahan maupun lautan (Djau, 2012).
Pencemaran laut adalah perubahan pada lingkungan laut yang terjadi
akibat dimasukkannya oleh manusia secara langsung ataupun tidak langsung
bahanbahan atau energi ke dalam lingkungan laut (termasuk muara sungai) yang
menghasilkan akibat yang demikian buruknya sehingga merupakan kerugian
terhadap kekayaan hayati, bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap

Universitas Sumatera Utara

7

kegiatan di laut termasuk perikanan dan lain-lain, penggunaan laut yang wajar,
pemburukan dari pada kwalitas air laut dan menurunnya tempat-tempat
pemukiman dan rekreasi (Kusumaatmadja, 1978).
Pencemaran laut merupakan masalah yang dihadapi bersama oleh
masyarakat internasional. Pengaruhnya bukan saja menjangkau seluruh kegiatan
yang berlangsung di laut, melainkan juga menyangkut kegiatan-kegiatan yang
berlangsung di wilayah pantai, termasuk muara-muara sungai yang berhubungan
dengan laut. Pada dasarnya laut itu mempunyai kemampuan alamiah untuk
menetralisir zat-zat pencemar yang masuk ke dalamnya. Pencemaran dapat

diartikan sebagai bentuk Environmental impairment, yakni adanya gangguan,
perubahan, atau perusakan (Silalahi, 2001).
Banyaknya bahan pencemar dapat memberikan dua pengaruh terhadap organisme
perairan, yaitu dapat membunuh spesies tertentu dan sebaliknya dapat mendukung
perkembangan spesies lain. Jika air tercemar ada kemungkinan terjadi pergeseran
dari jumlah yang banyak dengan populasi yang sedang menjadi jumlah spesies
yang sedikit tetapi populasinya tinggi. Oleh karena itu, penurunan dalam
keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai suatu pencemaran
(Sastrawijaya, 1991).
Sampah Laut (Marine Debris)
Sampah merupakan semua jenis limbah berbentuk padat yang berasal dari
kegiatan manusia dan merupakan sisa dari tumbuhan dan hewan mati, kemudian
dibuang karena tidak bermanfaat dan tidak digunakan lagi (Tchobanoglous dkk.,
1993). Definisi sampah terlihat lebih sederhana seperti yang tertuang dalam UU

Universitas Sumatera Utara

8

Nomor 18 tahun 2008 yang menyatakan bahwa sampah adalah sisa kegiatan

sehari-hari manusia dan/atau proses yang berbentuk padat.
Sampah laut adalah setiap buangan manusia, yang berbentuk padat (keadaan
benda, dengan volume dan bentuk yang tetap) atau materi yang masuk kedalam
lingkungan air laut baik secara langsung maupun secara tidak langsung
(Engler, 2012). Sampah laut meliputi segala bentuk yang diproduksi atau bahan
yang diproses kemudian dibuang atau ditinggalkan di lingkungan laut. Ini terdiri
dari barang, makanan/snack yang digunakan oleh manusia kemudian dimasukkan
ke laut, baik sengaja atau tidak sengaja, seperti transportasi laut, drainase, dan
sistem pembuangan limbah atau sampah oleh angin (Galgani dkk., 2010).
Karakteristik

limbah

dari

manusia

telah

berubah


secara

signifikan

selama 30 hingga 40 tahun terakhir seiring dengan maraknya penggunaan bahan
sintesis seperti plastik (Sheavly, 2007). Banyak penelitian tentang sampah laut
telah menunjukkan bahwa plastik adalah penyumbang 60 sampai 80 % dari
keseluruhan total sampah laut (Derraik, 2002). Penggunaan bahan – bahan plastik
dan bahan sintesis lainnya dalam industri perikanan selama 35 tahun terakhir yang
digunakan secara luas telah berdampak pada banyaknya sisa alat tangkap ikan di
perairan laut dan pantai. Kemasan makanan maupun minuman yang saat ini
umumnya terbuat dari bahan plastik juga banyak ditemukan di pantai dan laut.
Sampah ini bersumber dari wisatawan maupun kebiasaan buruk membuang
sampah ke sungai (Henderson dkk., 2001).
Sampah Plastik (Plastic debris)
Plastik merupakan tipe sampah laut dominan (CBD-STAP, 2012). Plastik
merupakan polimer organik sintetis dan memiliki karakteristik bahan yang cocok

Universitas Sumatera Utara


9

digunakan dalam kehidupan sehari-hari (Derraik, 2002). Menurut Kemenperin
(2013), sekitar 1.9 juta ton plastik diproduksi selama tahun 2013 di Indonesia
dengan rata-rata produksi 1.65 juta ton/tahun. Thompson dkk (2004) dalam
Cauwenberghe dkk., (2013) memperkirakan bahwa 10% dari semua plastik yang
baru diproduksi akan dibuang melalui sungai dan berakhir di laut. Hal ini berarti
sekitar 165 ribu ton plastik/tahun akan bermuara di perairan laut Indonesia.
Plastik adalah polimer organik sintetis, dan meskipun plastik ada kurang
dari satu abad (Gorman, 1993), pada tahun 1988 di Amerika Serikat saja, 30 juta
ton plastik diproduksi setiap tahunnya (O'Hara dkk., 1988). Fleksibilitas dari
bahan-bahan tersebut telah menyebabkan peningkatan besar dalam penggunaan
selama tiga dekade terakhir, dan mereka telah cepat pindah ke dalam semua aspek
sehari-hari kehidupan (Hansen, 1990; Laist, 1987). Plastik merupakan bahan yang
ringan, kuat, tahan lama dan memiliki harga yang murah (Laist, 1987), sehingga
plastik efisien digunakan sebagai bahan utama berbagai produk. Hal ini menjadi
alasan serius mengapa plastik memiliki dampak berbahaya bagi lingkungan
(Pruter, 1987; Laist, 1987). Salah satu karakteristik dari plastik adalah mengapung
sehingga penyebarannya sangat luas dan dapat menjadi resisten di perairan dalam

waktu yang lama (Hansen, 1990; Ryan, 1987; Goldberg, 1995, 1997).
Makroplastik
Sampah laut terdiri dari bahan termasuk kayu, kaca dan logam. Namun,
jenis yang paling berlimpah dan jelas dari sampah laut adalah plastik (Derraik,
2002). Makroplastik didefinisikan sebagai barang plastik, fragmen atau strand
yang dimensi terbesar adalah > 5 mm (Arthur dkk., 2009). Puing-puing dalam
ukuran ini berdampak dalam berbagai sistem alam dan dikonsumsi oleh

Universitas Sumatera Utara

10

organisme predator besar termasuk burung (Auman dkk., 1997) kura-kura
(Mrosovsky dkk., 2009) dan mamalia laut (Laist, 1997), memberikan tekanan
pada organisme bentik (Goldberg, 1997), serta membelit ikan, burung dan
mamalia (Gregory, 2009).
Degradasi plastik terjadi di semua lingkungan dan dikendalikan oleh
beberapa faktor lingkungan. Plastik yang terdegradasi diakibatkan foto-oksidasi
oleh ultraviolet (UV) cahaya, dan dipercepat oleh suhu yang tertinggi
(ValadezGonzalez dkk., 1999). Dengan demikian, plastik di lingkungan laut akan

lebih stabil dibandingkan dengan permukaan tanah karena adanya redaman suhu
dan cahaya (UV) oleh air laut (Pegram dan Andrady, 1989). Selain itu,
pengembangan biofilm pada sampah plastik akan meminimalkan paparan
ultraviolet pada permukaan plastik yang berpotensi memperlambat proses
degradasi, sementara aktivitas mikroba mungkin salah satu cara untuk
mendegradasi polimer secara biologi (Artham dkk., 2009).
Mikrodebris (Mikroplastik)
Mikroplastik didefinisikan sebagai partikel berukuran plastik < 5 mm (Arthur,
dkk., 2009) dan dapat akibatkan oleh kegiatan industri maupun domestik atau
dapat dihasilkan oleh degradasi dan fragmentasi makro-plastik seperti disebutkan
di atas. Dampak dari fragmentasi dan degradasi sampah plastik di lingkungan
merupakan salah satu perhatian utama. Sampah plastik ditemukan di permukaan
air dan kolom air di daerah pantai (Ryan dkk., 2009).
Mikroplastik telah ditemukan pada kolom air dan sedimen laut di
berbagai tempat seluruh dunia (Browne dkk., 2011.; Claessens dkk., 2011.; Ng
dan Obbard, 2006; Thompson dkk., 2004). Percobaan laboratorium telah

Universitas Sumatera Utara

11


menunjukkan bahwa partikel-partikel ini dapat dicerna oleh cacing polychaete,
teritip, amphipoda dan teripang (Thompson dkk., 2004), dan dapat di translokasi
ke sistem peredaran darah hewan (Browne dkk., 2008). Plastik juga berpotensi
menyerap dan melepas bahan kimia berbahaya ke perairan sehingga berdampak
buruk dalam sistem rantai makanan (biomagnifikasi) (Teuten dkk., 2009).
Aktivitas industri juga diketahui sebagai salah satu penyebab tingginya
kepadatan mikroplastik di perairan laut karena sampah - sampah sisa kegiatan
industri secara langsung dibuang ke sungai yang akhirnya bermuara ke laut seperti
bubuk atau pelet, serta praktik tembakan peledakan menggunakan plastik abrasif
untuk mesin pembersihan dari cat dan karat (Cole dkk., 2011).

Makrozoobenthos
Organisme dasar perairan (benthic organism) dapat digunakan sebagai indikator
stabilitas lingkungan perairan. Ekosistem perairan dengan tingkat keragaman jenis
yang tinggi akan lebih stabil dan kurang terpengaruh oleh tekanan dari luar
dibandingkan dengan ekosistem dengan keragaman yang rendah (Odum, 1995).
Keragaman jenis merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengetahui
tingkat kestabilan yang mencirikan kekayaan jenis dan keseimbangan suatu
komunitas. Menurut


Widodo

(1997),

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

keragaman jenis dan dominasi antara lain kerusakan habitat alami, pencemaran
kimiawi, dan perubahan iklim.
Bentos merupakan organisme yang hidup dibagian dasar perairan atau hidup
didasar endapan (demersal). Komunitas fauna bentik ini terdiri dari empat
kelompok yaitu Mollusca, Polychaeta, Crustaceae dan Echinodermata.

Universitas Sumatera Utara

12


Keberadaan bentos dibentuk dari sifat fisik lingkungannya yang berbeda-beda
sehingga terjadi kelompok-kelompok biota (Brotowidjoyo, 1990).
Bentos merupakan kelompok organisme yang hidup di dalam atau di permukaan
sedimen dasar perairan. Bentos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan
pencemar, mobilitas yang rendah, mudah ditangkap dan memiliki kelangsungan
hidup yang panjang. Oleh karena itu peran bentos dalam keseimbangan suatu
ekosistem perairan dapat menjadi indikator kondisi ekologi terkini pada kawasan
tertentu (Nybakken,1992).
Zoobentos merupakan hewan yang sebagian atau seluruh siklus hidupnya berada
di dasar perairan, baik yang sesil, merayap maupun menggali lubang. Organisme
yang termasuk makrozoobentos diantaranya adalah: Crustacea, Isopoda,
Decapoda, Oligochaeta, Mollusca, Nematoda dan Annelida. (Cummins,1975).
Makrozoobenthos adalah salah satu organisme akuatik menetap di dasar perairan
yang memiliki pergerakan relatif lambat (Zulkifli dan Setiawan, 2011).
Makrozoobenthos memiliki sifat kepekaan terhadap beberapa bahan pencemar,
mobilitas yang rendah, mudah ditangkap dan memiliki kelangsungan hidup yang
panjang. Oleh karena itu peran makrozoobenthos dalam keseimbangan suatu
ekosistem perairan dapat menjadi indikator kondisi ekologi terkini pada kawasan
tertentu (Petrus dan Andi, 2006). Menurut Barnes dan Mann (1987) diacu oleh

Ruswahyuni (2010) Hewan makrozoobenthos mendapatkan makanan dari dua
bagian yaitu mikroalga benthik dan guguran dasar atau detritus yang suatu saat
juga dapat tersuspensi oleh adanya pergerakan air.
Habitat makrozoobenthos dapat dikelompokkan menjadi 2 yaitu infauna dan
epifauna. Infauna adalah makrozoobenthos yang hidupnya barada di dalam

Universitas Sumatera Utara

13

substrat perairan dengan cara menggali lubang, sebagian besar hewan tersebut
hidup sesil. Sedangkan epifauna adalah makrozoobenthos yang hidup di
permukaan dasar perairan yang bergerak dengan lambat di atas permukaan
sedimen yang lunak atau menempel pada substrat yang keras (Nybakken, 1992).
Peranan Benthos
Bentos memegang peranan yang penting dalam komunitas perairan, terutama
dalam proses mineralisasi dan pendaurulangan bahan organik. Selain itu dalam
rantai makanan, hewan bentos menempati tingkat rantai makanan (tropik-level)
kedua dan ketiga. Sebagai konsumer tingkat pertama, hewan bentos
terdiri dari pemakan tingkat tinggi dan sebagai konsumer kedua, hewan
bentos hanya bisa memangsa zooplankton atau sesama hewan bentos lainnya
(Dahuri dkk., 1996).
Menurut (Widiastuti, 1983), bahwa komposisi makrozoobentos meliputi
keanekaragaman jenis, keseragaman dan kepadatan relative serta hubungannya
dengan kualitas suatu perairan. Hubungan ini didasarkan atas kenyataan bahwa
tidak seimbang lingkungan akan turut mempengaruhi kehidupan suatu organisme
yang hidup pada suatu perairan sebagai contoh pengurangan jenis spesies tertentu
yang diikuti dengan melimpahnya jumlah individu yang lain, menunjukan telah
tercemarnya suatu perairan.
Berdasarkan ukuran organisme bentos dikelompokkan yakni makrozoobentos,
jika ukuran tubuhnya > 0,5 mm, hewan meibentos 0,5 mm mikrobentos yang
berukuran < 0,5 mm. Makrobentos sudah dapat diperoleh dengan sedikit rumit,
yaitu dengan menggunakan alat-alat khusus serta dapat diidentifikasi dengan
memakai alat-alat khusus seperti lup dan atau mikroskop (Koendeigh, 1980).

Universitas Sumatera Utara

14

Kelompok organisme yang dominan yang menyusun makrozoobentos adalah dari
kelompok Polychaeta, Crustacea, Echinodermata dan Moluska. Polychaeta
banyak terdapat sebagai organisme pembentuk tabung dan penggali, Crustacea
terutama golongan Ostracoda yang umumnya mendiami daerah permukaan.
Molusca biasanya terdiri dari spesies-spesies Bivalvia dan beberapa Gastropoda
yang hidup dipermukaan, serta Echinodermata terutama dari bintang laut atau
bintang ular (Haslindah, 2003).
Makrozoobenthos Sebagai Bioindikator
Wilayah perairan merupakan media yang rentan terhadap pencemaran. Berbagai
jenis pencemar baik yang berasal dari sumber perumahan, industri, gejala alam,
dan lainnya banyak memasuki badan air. Setelah terakumulasi maka secara
langsung ataupun tidak langsung pencemar tersebut akan berpengaruh terhadap
kualitas air (Allard dan Moreau, 1987).
Makrozoobentos dapat bersifat toleran maupun bersifat sensitif terhadap
perubahan lingkungan. Organisme yang memiliki kisaran toleransi yang luas akan
memiliki penyebaran yang luas juga. Sebaliknya organisme yang kisaran
toleransinya sempit (sensitif) maka penyebarannya juga sempit. Makrozoobenthos
yang memiliki toleran lebih tinggi maka tingkat kelangsungan hidupnya akan
semakin

tinggi.

Tingkat

pencemaran

terhadap

perairan

dapat

dilihat

dengan identifikasi makrozoobenthos yang terdapat di wilayah tersebut
(Koesbiono, 1979).
Makrozoobenthos memiliki sifat istimewa di mana kondisi makroskopisnya
memungkinkan untuk digunakan sebagai biomonitor. Beberapa jenis dari
makrozoobentos salah satunya berasal dari kelas gastropoda diketahui memiliki

Universitas Sumatera Utara

15

peran sebagai bioremidiator lingkungan dengan salah satunya ditunjukkan dengan
kemelimpahan jumlah/kerapatan untuk spesies tertentu pada perairan tercemar
Selain itu makrozoobenthos juga efektif sebagai bioindikator dikarenakan
memiliki respon yang berbeda terhadap suatu bahan pencemar yang masuk dalam
perairan sungai dan bersifat immobile (Indrowati dkk., 2012).

Parameter Fisika dan Kimia Perairan
Faktor fisika dan kimia perairan yang mempengaruhi kehidupan makrozoobenthos
diantaranya adalah:
Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam mengontrol
kehidupan dan penyebaran organisme dalam suatu perairan. Suhu akan
mempengaruhi aktivitas metabolisme dan perkembangbiakan dari organisme
tersebut (Nybakken, 1988). Perubahan suhu akan mempengaruhi pola kehidupan
dan aktivitas biologi di dalam air termasuk pengaruhnya terhadap penyebaran
biota menurut batas kisaran toleransinya (Simamora, 2009).
Kisaran suhu lingkungan perairan lebih sempit dibandingkan dengan lingkungan
daratan, karena itulah maka kisaran toleransi organisme akuatik terhadap suhu
relatif sempit dengan organisme daratan. Berubahnya suhu suatu badan air besar
pengaruhnya terhadap komunitas akuatik. Naiknya suhu perairan dari yang biasa,
misalnya karena pembuangan sisa pabrik, sehingga dapat mengakibatkan struktur
komunitasnya berubah (Suin, 2002).
pH

Universitas Sumatera Utara

16

Organisme perairan mempunyai kemampuan toleransi yang berbeda dalam pH
perairan. Batas toleransi organisme terhadap pH bervariasi dan dipengaruhi
banyak faktor antara lain suhu, oksigen terlarut, alkalinitas, adanya berbagai anion
dan kation, jenis dan stadia organisme (Pescod, 1973).
Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral, yaitu antara 6 sampai 8, sedangkan
pH air yang tercemar, misalnya air limbah (buangan), berbeda-beda tergantung
pada jenis limbahnya. Air yang masih segar dari pegunungan biasanya
mempunyai pH yang lebih tinggi. Semakin lama pH air akan menurun menuju
kondisi asam. Hal ini karena bertambahnya bahan-bahan organik yang
membebaskan CO2 jika mengalami proses penguraian (Kristanto, 2002).
DO (Dissolved Oxygen)
Dissolved Oxygen (DO) merupakan banyaknya oksigen terlarut dalam suatu
perairan. Oksigen terlarut merupakan suatu faktor yang sangat penting didalam
ekosistem perairan, terutama sekali dibutuhkan untuk proses respirasi bagi
sebagian besar organisme air. Kelarutan oksigen didalam air terutama sangat
dipengaruhioleh faktor temperatur, dimana kelarutan maksimum terdapat pada
temperatur 0°C, yaitu sebesar 14,16 mg/L O2 (Barus, 2004).
Menurut Sinambela (1994) dalam Sinaga (2009), kehidupan makrozoobenthos di
air dapat bertahan jika ada oksigen terlarut minimal 2 mg/L. Menurut
Setyobudiandi (1997) kandungan oksigen terlarut mempengaruhi suatu perairan,
semakin tinggi kadar O2 terlarut maka jumlah dan jenis makrozoobenthos semakin
besar.
Salinitas

Universitas Sumatera Utara

17

Salinitas dapat mempengaruhi penyebaran organisme benthos baik
secara horizontal, maupun vertikal. Secara tidak langsung mengakibatkan adanya
perubahan komposisi organisme dalam suatu ekosistem. Gastropoda yang bersifat
mobile mempunyai kemampuan untuk bergerak guna menghindari salinitas yang
terlalu rendah, namun bivalvia yang bersifat sessile akan mengalami kematian jika
pengaruh air tawar berlangsung lama. Kisaran salinitas yang masih mampu
mendukung kehidupan organisme perairan, khususnya fauna makrobenthos
adalah 15 - 35‰ (Syamsurisal, 2011).
Substrat
Substrat dasar merupakan salah satu faktor ekologis utama yang mempengaruhi
struktur komunitas makrozoobenthos. Penyebaran makrozoobenthos dapat dengan
jelas berkorelasi dengan tipe substrat. Makrozoobenthos yang mempunyai sifat
penggali pemakan deposit cenderung melimpah pada sedimen lumpur dan
sedimen lunak yang merupakan daerah yang mengandung bahan organik yang
tinggi. Substrat dasar atau tekstur tanah merupakan komponen yang sangat
penting bagi kehidupan organisme. Substrat di dasar perairan akan menentukan
kepadatan dan komposisi jenis dari hewan bentos. Komposisi dan kepadatan
fauna invertebrata yang berasosiasi dengan mangrove berhubungan dengan variasi
salinitas dan kompleksitas substrat (Susiana, 2011).

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Jenis dan Kelimpahan Sampah Laut (Makro dan Mikro Plastik)Serta Dampaknya Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos Di Pesisir Desa Jaring HalusKabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

1 4 28

Jenis dan Kelimpahan Sampah Laut (Makro dan Mikro Plastik)Serta Dampaknya Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos Di Pesisir Desa Jaring HalusKabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

27 111 7

Jenis dan Kelimpahan Sampah Laut (Makro dan Mikro Plastik)Serta Dampaknya Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos Di Pesisir Desa Jaring HalusKabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

4 21 5

Jenis dan Kelimpahan Sampah Laut (Makro dan Mikro Plastik)Serta Dampaknya Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos Di Pesisir Desa Jaring HalusKabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Jenis dan Kelimpahan Sampah Laut (Makro dan Mikro Plastik)Serta Dampaknya Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos Di Pesisir Desa Jaring HalusKabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

6 21 16

Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 16

Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 2

Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 5

Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 0 14

Hubungan Kerapatan Mangrove Terhadap Kelimpahan Makrozoobenthos di Pesisir Desa Jaring Halus Kabupaten Langkat Provinsi Sumatera Utara

0 2 4