Pengrajin Gerabah (Studi Etnografi Usaha Pengrajin Gerabah dalam Menghadapi Perubahan Teknologi)

BAB II
DESA GALOGANDANG DAN AKTIVITAS MASYARAKAT SETEMPAT

2.1. Gambaran Umum Jorong Galogandang
2.1.1. Sejarah Jorong Galogandang
Masyarakat Galogandang menganggap bahwa nenek moyang mereka
berasal dari daerah pusat perkembangan adat Minangkabau yaitu Pariangan.
Bahkan, mereka merasa bagian dari daerah Pariangan. Hal ini sejalan dengan
kenyataan bahwa Jorong Galogandang dan Pariangan menganut laras yang sama
yaitu Laras Nan Panjang. Laras atau Lareh (yang disebut dalam bahasa Minang)
di Minangkabau digunakan untuk menentukan sistem adat dan pemerintahan. Ada
tiga kelarasan yang dipakai oleh masyarakat Minangkabau, yaitu Koto Piliang,
Bodi Caniago dan Laras Nan Panjang.
Daerah Laras nan Panjang adalah seiliran batang Bangkaweh yang
dimulai dari daerah Guguak dikaki gunung Marapi Utara sampai dengan Bukit
Tambasi Selatan yang meliputi Guguak, Pariangan, Sialahan, Batu Basa,
Galogandang, Turawan dan Balimbiang. Kelarasan Nan Panjang adalah Kelarasan
tertua. Oleh karena itu mereka menjadi daerah istimewa yang ditandai dengan
masyarakat yang ada di daerah ini bisa memakai adat atau tata cara yang di anut
oleh laras Koto Piliang dan Bodi Caniago. Jorong Galogandang dahulunya
ditemukan oleh sekelompok masyarakat dari Pariangan sewaktu mereka

memperluas wilayahnya. Tempat pertama yang didatangi di daerah Galogandang
adalah daerah disebelah barat Galogandang yang sekarang merupakan daerah
persawahan, dan berbatasan langsung dengan nagari Batu Basa. Masyarakat dari

19

Universitas Sumatera Utara

Pariangan tersebut hidup dan berkembang sampai jumlahnya banyak sehingga
lama kelamaan tempatnya tidak cukup lagi, kemudian beberapa orang dari
kelompok tersebut pergi mencari tempat pemukiman yang baru. Mereka
berpencar-pencar membentuk kelompok sendiri sehingga pengelompokan ini
membentuk Nagari tigo (tiga) koto.

Foto 1
Foto Lambang Jorong Galogandang

Sumber: Dokumentasi Pribadi Tahun 2016
Daerah III Koto itu dalam perkembangannya merupakan sebuah nagari
yang terdiri dari tigo koto (perkampungan) yakni Padang Luar, Turawan dan

Galogandang. Penamaan dari ketiga daerah tersebut memiliki cerita tersendiri.
Disaat terbentuknya Tiga Koto, timbul permasalahan tentang apa nama dari setiap
kelompok kemudian dibawa ke dalam rapat kepala suku/penghulu pucuk untuk

20

Universitas Sumatera Utara

diadakan permusyawaratan bersama anak nagari. Pada saat munsyawarah
berlansung dimeriahkan oleh atraksi kesenian dengan mengirim perwakilan dari
masing-masing daerah. Pada saat acara berlangsung semua masyarakat ketakutan
dan berlari meninggalkan arena keramaian terjadi karena ada seekor kerbau yang
lepas dari tangan pembantainya, dia menyeruduk kesana kemari sehingga
membuat cemas semua masyarakat. Kerbau diusir beramai-ramai dengan berbagai
macam cara sehingga lama kelamaan kerbau kepayahan.
Pada suatu tempat, seorang pemimpin rombongan menyerukan “hentakkan
padang kalua” (hentakkan pedang keluar), baru kerbau tersebut bisa dibunuh.
Kemudian kerbau tersebut dikuliti, diambil dagingnya dan dimasak ditempat
permusyawaratan. Mengingat banyak masyarakat yang hadir, pimpinan menyuruh
kumpulkan seluruh daging kerbau yang ada dan menyerukan “atuah tulang

rawan” terjadi peristiwa kerbau mengamuk memberikan inspirasi untuk
mengabadikan peristiwa tersebut. Tempat diadakan acara berdendang anak nagari
yang diiringi dengan bunyi gendang yang “digalo” (ditabuh) diberi nama
Galogandang.

Sementara

itu

tempat

kejar

mengejar

kerbau

dengan

menghentakkan “padang kalua” dinamakan dengan Padang Lua (Padang Luar)

yang berarti pedang yang dikeluarkan dari sarungnya. Tempat kerbau dikuliti dan
diambil dagingnya serta “diatuah tulang rawannya” (mengumpulkan

tulang

rawan dengan cara mengikatnya pada seutas tali atau lidi) daerah tersebut
dinamakan Turawan. Daerah Galogandang pertama kali ditempati oleh sebuah
rombongan yang dipimpin oleh Datuak Kali Bandaro bersama tiga orang Datuak
lainnya yaitu Datuak Tanmalik dan Datuak Bijo Kayo. Mereka bersama
membangun daerah ini kemudian dianggap sebagai “inyiak” (orang tua nagari)

21

Universitas Sumatera Utara

yang dihormati oleh masyarakat sampai sekarang. Masyarakat Galogandang
merupakan keturunan langsung

dari keempat orang datuak tersebut. Gelar


tersebut masih dipakai secara turun temurun sampai sekarang.

2.1.2. Kondisi Geografis Jorong Galogandang
Jorong Galogandang secara administratif merupakan bagian dari Nagari III
Koto, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Sebelumnya, Galogandang
merupakan sebuah desa, namun sesuai dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang
sistem pemerintahan Desa di Propinsi Sumatera Barat yaitu desa kembali ke
Nagari maka Galogandang kembali menjadi sebuah Jorong dari Nagari III Koto.
Galogandang terdiri dari empat Dusun, yaitu Dusun Guguak Raya, Dusun Tanah
Liek, Dusun Mesjid Tuo, dan Dusun Parak Laweh.
Jorong Galogandang terletak di bagian Barat Daya dari Kecamatan
Rambatan, berbatasan langsung dengan kecamatan Pariangan dan kecamatan
Batipuah. Sebelah barat berbatasan dengan Pariangan, sebelah utara berbatasan
dengan Nagari Padang Magek, sebelah selatan berbatasan dengan Padang Luar
dan sebelah timur berbatasan dengan Jorong Turawan. Jorong Galogandang
berjarak 5 kilometer dari pusat kecamatan dengan jarak tempuh waktu sekitar 15
menit. Jarak dengan Ibu Kota Kabupaten Tanah Datar yaitu di Batusangkar
berjarak 10 kilometer yang bisa ditempuh dengan waktu lebih kurang 30 menit.
Hubungan dengan pusat pemerintahan bisa dikatakan lancar dengan sarana jalan
yang sudah diaspal.

Jorong Galogandang memiliki tiga ruas jalan yang menghubungkannya
dengan daerah sekitar, yaitu dari Padang Magek, Turawan dan Batu Basa.

22

Universitas Sumatera Utara

Lancarnya hubungan ke Jorong Galogandang terutama dirasakan sejak tahun
1976. Daerah galogandang sebagian besar merupakan daerah perbukitan dan
lembah sehingga jalan menuju daerah tersebut melewati daerah perbukitan dan
lembah seperti jalan dari Padang Magek yang memiliki belokan dan tikungan
yang tajam, melewati sungai (Batang) Bangkaweh dengan penurunan dan
pendakian yang tinggi sehingga harus dilewati dengan hati-hati.

2.1.3. Kondisi Demografi Jorong Galogandang
Luas wilayah Jorong Galogandang 6,23 Km2 sehingga memiliki
persentase 21.49 % dari keseluruhan wilayah Nagari III Koto, dengan jumlah
penduduk keseluruhan sebanyak 1.890 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki
976 jiwa dan perempuan 914 jiwa. Sebagian besar penduduk Galogandang
bermata pencaharian petani, pedagang dan merantau. Selain itu, masyarakat

Galogandang

juga

dikenal

dengan daerah pembuat kerajinan tanah liat

(Gerabah) yang memproduksi peralatan memasak seperti periuk, kuali dan
berbagai macam bentuk lainnya yang terbuat dari tanah

2.1.4. Mata Pencaharian Utama Mayarakat Galogandang
Mata pencaharian penduduk Galogandang antara lain sebagai petani dan
pedagang. Mereka menjadi petani sawah. Sementara sebagia pedagang mereka
merantau ke berbagai pelosok Tanah Air. Namun yang paling banyak merantau ke
ibu kota Jakarta. Nagari Galogandang juga dikenal sebagai daerah pembuat
kerajinan gerabah dari tanah liat yang memproduksi peralatan memasak seperti
periuk, kuali dan produk dari tanah liat lainnya.

23


Universitas Sumatera Utara

Jorong Galogandang teletak pada ketinggian 540 meter diatas permukaan
laut dengan luas wilayah sekitar 350 hektar. Jorong Galogandang sebagian besar
merupakan daerah perbukitan dan ladang-ladang persawahan. Daerah pemukiman
hanya sekitar 5 hektar, empang atau kolom ikan sekitar 20 hektar, lahan
persawahan 150 hektar dan selebihnya sekitar 185 hektar merupakan daerah
perbukitan, lembah padang ilalang dan area perladangan.
Mata pencaharian sebagai pengrajin di Galogandang yang dilakukan oleh
kaum perempuan. Kaum laki-laki dalam Minagkabau sebagai pendatang di
keluarga perempuan, sehingga mereka hanya membantu dalam pekerjaan dalam
mengembangkan usaha gerabah, seperti mengambil tanah di sawah, membantu
mengambil kayu untuk pembakaran gerabah. Status suami dalam lingkungan
kekerabatan istrinya adalah dianggap sebagai "tamu terhormat", tetap dianggap
sebagai pendatang. Sebagai pendatang kedudukannya sering digambarkan secara
dramatis bagaikan "abu diatas tunggul", dalam arti kata sangat lemah, sangat
mudah disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga diartikan bahwa suami
haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat
istrinya. Pepatah Minang mengatur upacara yakni Sigai mancari anau, Anau tatap

sigai baranjak, Datang dek bajapuik, Pai jo baanta Ayam putieh tabang siang.
Basuluah matoari Bagalanggang mato rang banyak (Tangga mencari enau) Enau
tetap tangga berpindah datang karena dijemput Pergi dengan diantar (Bagaikan)
Ayam putih terbang siang bersuluh matahari Bergelanggang (disaksikan) mata
orang banyak.
Maksud dari pepatah diatas adalah bahwa dalam setiap perkawinan adat
Minang "semua laki-laki yang diantar ke rumah istrinya, dengan dijemput oleh

24

Universitas Sumatera Utara

keluarga istrinya secara adat dan diantar pula bersama-sama oleh keluarga pihak
laki-laki secara adat pula. Mulai sejak itu suami menetap di rumah atau
dikampung halaman istrinya."

2.2. PNPM Mandiri sebagai bantuan dari pemerintah
PNPM Mandiri Pedesaan adalah Program Masyarakat Mandiri Pedesaan
yang merupakan salah satu mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang
digunakan


PNPM

Mandiri

dalam

upaya

mempercepat

penanggulangan

kemiskinan dan perluasan kesempatan kerja di wilayah perdesaan. PNPM Mandiri
Pedesaan

mengadopsi

sepenuhnya


mekanisme

dan

prosedur

Program

Pengembangan Kecamatan (PPK) yang dilaksanakan sejak tahun 1998. PNPM
Mandiri sendiri dikukuhkan secara resmi oleh presiden RI pada tanggal 30 April
2007 di Kota Palu, Sulawesi Tengah. PNPM Mandiri pedesaan melibatkan
seluruh anggota masyarakat dalam setiap tahapan kegiatan secara partisipatif,
mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan dalam penggunaan dan
pengelolaan dana sesuai kebutuhan paling prioritas di desanya, sampai pada
pelaksanaan kegiatan dan pelestariannya.
PNPM Mandiri pedesaan menyediakan dana langsung dari pusat (APBN)
dan daerah (APBD) yang disalurkan ke rekening kolektif desa di kecamatan.
Masyarakat desa dapat menggunakan dana tersebut sebagai hibah untuk
membangun sarana/prasarana penunjang produktifitas desa, pinjaman bagi
kelompok ekonomi untuk modal usaha bergulir, atau kegiatan sosial seperti
kesehatan dan pendidikan. Setiap penyaluran dana yang turun ke masyarakat
harus sesuai dengan dokumen yang dikirimkan ke pusat agar memudahkan

25

Universitas Sumatera Utara

penelusuran. Warga desa, dalam hal ini TPK atau staf Unit Pengelola Kegiatan di
tingkat kecamatan mendapatkan peningkatan kapasitas dalam pembukuan,
manajemen, pengarsipan dokumen dan pengelolaan uang/dana secara umum serta
peningkatan kapasitas lainnya terkait upaya pembangunan manusia dan
pengelolaan pembangunan wilayah pedesaan.
Di Desa Galogandang, masyarakat setempat juga mendapatkan PNPM
Mandiri dari pemerintah. Pemberdayaan PNPM mandiri dilakukan dalam sistem
kelompok. Satu

kelompok PNPM Mandiri terdiri dari 25 orang anggota.

Kelompok ini diketuai oleh salah satu dari anggota tersebut yang berfungsi untuk
mengatur semua kegiatan dalan PNPM Mandiri. Ketua kelompok ini menerima
honor sebesar Rp 500.000 per tahun. Kegiatan ini mengadakan pertemuan satu
kali dalam satu bulan. Setiap anggota membayar simpanan wajib yaitu sebesar
Rp 10.000 per bulan sesuai dengan kesepakatan kelompok tersebut. Simpanan ini
berguna untuk membeli makanan dan minuman saat mengadakan rapat. Jika lebih,
pada akhir tahun simpanan tersebut akan dibagikan kepada masing-masing
anggota.
Sebagaimana diketahui dari salah satu informan penulis Amak Yuharnis
yang mendapat pinjaman dana dari PNPM Mandiri. Amak Yuharnis mengikuti
PNPM Mandiri untuk menambah pemasukkan dari keluarganya. Jika diandalkan
dari membuat gerabah saja, tidak akan mencukupi kebutuhan hidup jangka
panjang. Amak ini mengambil pinjaman sebesar Rp 1.000.000 dalam satu tahun
dan membayar iuran sebesar Rp 115.000 per bulan. Setelah selesai pembayaran
selama satu tahun, maka Amak ini menghentikan peminjamannya, karena
menurut beliau hal ini memakai sistem bunga yang mengandung unsur riba, hal

26

Universitas Sumatera Utara

ini bertentangan dengan paham agama yang beliau anut. Jadi beliau keluar dari
PNPM Mandiri dan kemudian beliau mengikuti kegiatan jula-jula yang dalam
bahasa Galogandang disebut “julo-julo bakuncang” yang diikuti oleh 21 orang.
Setiap bulan Amak Yuharnis membayar Rp 100.000. Dalam satu bulan akan
keluar satu nama sebagai penerima jula-jula dengan jumlah Rp 2.100.000.

Foto 2
PNPM Sekretariat Kelompok Spp Binaan Upk Gudang Balango

Sumber : Dokumentasi Pribadi tahun 2016
2.3. Tradisi Pulang Basamo
Masyarakat Minangkabau pada umumnya memiliki tradisi yang dikenal
dengan merantau. Merantau pada masyarakat Minangkabau banyak dilakukan
oleh kaum laki-laki, dimana pepatah Minangkabau mengatakan “Karantau
madang dihulu, babuah babungo balun, marantau bujang dahulu dirumah paguno
balun“, maksud dari pepatah ini adalah anak laki-laki di Minangkabau lebih baik
pergi merantau meninggalkan kampung halaman karena merasa belum diperlukan

27

Universitas Sumatera Utara

di rumahnya. Selain itu ada faktor lain yang mendorong suatu masyarakat
merantau yaitu faktor ekonomi yang cenderung semakin banyak pengeluaran yang
lebih dari sekedar untuk makan sehari-hari. Tradisi merantau ini juga dilakukan
oleh masyarakat Galogandang. Sebagaimana diketahui menurut salah satu
informan penulis bahwa :
“Disiko masyarakatnyo banyak yang marantau, dari
sabanyak 1.800 jiwa panduduak asli, ado sakitar 25%
yang tingga dikampuang salabiahnyo 75% pai ka nagari
urang. Umumnyo marantau ka pulau Jawa, yang biasonyo
banyak di Ibu Kota Jakarta. Sahinggo masyarakat di
kampuang tingga nan tuo-tuo se lai, yang mudo lah pai ka
nagari urang alasannyo pai marantau untuak marubah
nasib, nyo manganggap kalau dirantau banyak mandapek
rasaki babeda jo dikampuang indak tau apo yang ka
dikarajoan. Misalnyo kalau nan padusi nan alah basuami
tu suaminyo marantau dan otomatis nyo dibaok dek
suaminyo. Jadi itulah alasannyo kiniko banyak urang di
Galogandang ko marantau dari pado dikampuang. Tapi
disiko urang padusi yang alah tuo-tuo yang masih tingga
di kampuang karajonyo mambuek pariuk dari tanah liek
sabagai mato pencaharian dari daerah Galogandang ko”.
“Disini masyarakatnya banyak yang merantau dari
sebanyak 1.800 jiwa yang merupakan penduduk asli ada
sekitar persentase 25% yang tinggal dikampung
selebihnya 75% pergi merantau pergi ke negeri orang,
umumnya masyarakat merantau ke Pulau Jawa yang
biasanya
banyak di Ibu Kota Jakarta. Sehingga
masyarakat tinggal di kampung itu yang tua dan yang
mudah sudah pergi ke negeri orang dengan alasan pergi
merantau itu bisa merubah nasib dengan menganggap
kalau dirantau banyak mendapatkan rezeki, berbeda
dengan dikampung tidak tahu apa yang akan dikerjakan.
Misalnya kalau yang perempuan sudah bersuami terus
suaminya merantau dan otomatis anak perempuan tersebut
akan dibawa merantau. Tetapi disini orang perempuan
yang sudah tua-tua yang masih tinggal dikampung
kerjanya membuat gerabah dari tanah liat sebagai mata
pencaharian dari daerah Galogandang”.
Saat penulis melakukan penelitian di daerah Galogandang, penulis melihat
disepanjang perjalanan mulai dari gapura masuk Jorong Galogandang sampai ke

28

Universitas Sumatera Utara

pertigaan didepan kantor Jorong Galogandang dipenuhi oleh bendera-bendera
yang bertuliskan IKAPGA (Ikatan Perantau Galogandang). Penulis berfikir begitu
semaraknya acara pulang basamo (pulang bersama) di daerah ini. Sesampainya
ditempat informan kemudian penulis menanyakan bagaimana tradisi pulang
basamo (pulang bersama) pada masyarakat Galogandang, informan
menjelaskan bahwa Lebaran merupakan momen

tersebut

bagi perantau Galogandang

untuk pulang ke kampong halaman. Masyarakat Galogandang menyebutnya
pulang basomo (pulang bersama).
Perantau Galogandang memiliki suatu ikatan bersama di daerah rantau
dengan nama IKAPGA ( Ikatan Perantau Galogandang). IKAPGA ini memiliki
persatuan yang bersifat persaudaran yang kuat di daerah rantau. Ikatan ini
memiliki struktur organisasi yang jelas yang berguna untuk mengkoordinasi
masyarakat yang ada di rantau. Lebaran tahun 2016 kemarin para perantau
pulang basamo (pulang bersama). Ada sekitar 1000 lebih perantau yang pulang,
sebagian menggunakan umum seperti pesawat, bus, dll. Pulang basamo ini
biasanya diadakan satu kali dalam empat tahun.
Kegiatan pulang basamo (pulang bersama) tidak hanya momen berkumpul
dengan keluarga tetapi juga untuk mengadakan berbagai macam kegiatan di
nagari, yang berguna untuk hiburan pada saat pulang bersama. Partisipasi
perantau yang pulang basamo (pulang bersama) kemarin yaitu memberikan
bantuan dana untuk pembangunan masjid lebih kurang Rp 150 juta. Selain itu
juga ada dana bantuan untuk anak yatim, risma (remaja masjid), dan lembaga
pendidikan yang ada di Galogandang. Biasanya kegiatan hiburan yang dilakukan
adalah lomba membuat gerabah dan pacu jawi (garapan sapi).

29

Universitas Sumatera Utara

2.3.1. Lomba Membuat Gerabah
Lomba membuat gerabah merupakan acara hiburan pada masyarakat
Galogandang saat pulang basamo (pulang barsama) yang diadakan oleh IKAPGA
(Ikatan Perantau Galogandang). Kegiatan ini secara tidak langsung memberikan
manfaat untuk melestarikan serta mempertahankan tradisi membuat gerabah
supaya tidak hilang. Acara tersebut dibuat seperti perlombaan yang sebagaimana
biasanya. Dari lomba tersebut akan diberi hadiah bagi pemenang yaitu juara 1
(pertama) mendapatkan Rp 750.000, juara kedua mendapatkan Rp 500.000 dan
juara ketiga mendapatkan Rp 250.000. Perlombaan diikuti oleh pengrajinpengrajin tanah liat di daerah tersebut, dengan kriteria penilaian cepat, tepat dan
indah. Siapa yang cepat, tepat dan paling bagus dalam membuat gerabah maka
dia berhak mendapatkan juara. Bahan serta alat disediakan oleh peserta yang
mengikuti lomba.
2.3.2. Pacu Jawi ( Garapan Sapi).
Acara ini juga diadakan oleh perantau Galogandang yang pulang basamo
(pulang bersama). Lomba ini merupakan serangkaian hiburan bagi masyarakat
perantau maupun masyarakat yang berada di kampung. Pada saat penulis
mengadakan penelitian ternyata disana sedang diadakan lomba Pacu Jawi, yang
sebelumnya penulis belum pernah menyaksikan secara langsung lomba pacu jawi
tersebut. Pacu jawi di Galogandang.

30

Universitas Sumatera Utara

Foto 3
Upacara adat saat Pacu Jawi

Sumber: Dokumentasi pribadi tahun 2016
Pacu jawi diadakan dihari keempat yaitu pada acara penutupan. Kegiatan
ini merupakan perhelatan yang besar di daerah itu. Sebelum diadakan pacu jawi
dimulai biasanya ada prosesi adat yang akan dilakukan. Jawi-jawi akan dihias
dengan menggunakan aksesoris suntiang (Aksesoris kepala). Kemudian jawi-jawi
di arak menuju arena perlombaan dengan adanya iringan musik talempong dan
ibu-ibu memakai pakaian adat warna-warni yang membawa bakul di atas kepala
masing-masing yang bisanya berisikan panganan (Baban). Itu dilakukan pada hari
pertama saat akan diadakan pacu jawi. Penulis datang pada hari keempat pacu
jawi. Pada saat itu juga diadakan perhelatan adat oleh para tetua adat serta
berbagai permainan seni budaya tradisional.

Masyarakat setempat membawa

talam yang berisikan berbagai macam makanan untuk disajikan pada saat acara
tersebut. Sambil menyaksikan acaranya hidangan dinikmati oleh para tetua adat.

31

Universitas Sumatera Utara

Foto 4
Pedagang yang berjualan saat acara Pacu Jawi

Sumber: Dokumentasi Pribadi tahun 2016
Tepat pukul 12.00 WIB masyarakat ramai menuju arena sawah tempat
diadakan acara. Di arena pacu jawi juga bermunculan warung nasi, penjual kopi,
para pedang kaki lima yang berbagai macam serta tempat permainan anak-anak,
seketika tempat tersebut berubah menjadi pasar. Salah satu informan yang
bernama nenek Rasina dia sebagai pengrajin tanah liat tetapi saat momen pacu
jawi dia dan anaknya berjualan disekitar acara tersebut, mengatakan bahwa :
“Disiko kami lah acok manggaleh nasi, pas acara pacu
jawi ko kesempatan anak ambo untuk manggaleh, dulu
ambo iyo yang manggaleh tapi kini lah turun ka anak dan
ambo hanyo manolong saketek-saketek se, jua bali pas
acara ko lai lumayan karano urang yang akan ikuik pacu
jawi biasonyo makan dan mangopi talabiah dahulu
sabalum acara ko dimulai. Jadi sia yang manggaleh pasti
lai banyak mandapek rasaki. Dahulu ambo manggaleh
pical samo lontong waktu suami ambo lai iduik juo tapi
kini nyo lah maningga tu anak-anak yang manolong se
yang manggalehnyo lai dan anak ko pindah manggaleh
nasi, minuman samo goreng-gorengan“.
“Disini kami sudah sering berjualan, saat acara pacu jawi
ini kesempatan yang bagus untuk mendapatkan rezeki
yang lebih. Dahulu yang berjualan saya tetapi sekarang
tidak lagi hanya membantu sedikit-sedikit. Berjualan pada

32

Universitas Sumatera Utara

saat acara ini lumayan menguntungkan dikarenakan orang
yang akan mengikuti lomba pacu jawi biasanya makan
dan mengopi terlebih dahulu sebelum acaranya dimulai.
Jadi siapa yang berjualan pasti mendapatkan banyak
rezeki. Dahulu saya berjualan pecal dan lontong waktu
suami masih hidup tetapi sekarang dia sudah meninggal
dan kemudian digantikan oleh anak-anak saya tetapi
mereka pindah berjualan nasi, minuman dan gorenggorengan”.
Warga berbondong-bondong untuk menyaksikan acara tersebut tidak
hanya dari daerah Galogandang tetapi juga berasal dari luar daerah Galogandang.
Disana juga terlihat wisatawan mancanegara yang menyaksikan momen tersebut
sekaligus untuk mengambil foto-foto yang bagus dalam pacu jawi. Lomba pacu
jawi sendiri merupakan tradisi pada masyarakat Galogandang yang sudah ada dari
sejak zaman dahulu. Di Kabupaten Tanah Datar hanya ada empat kecamatan yang
mengadakan pacu jawi, yaitu Kecamatan Pariangan, Kecamatan Rambatan,
Kecamatan Limo Kaum dan Kecamatan Sungai Tarab.

33

Universitas Sumatera Utara

Foto 5
Pacu Jawi di Galogandang

Sumber : Dokumentasi pribadi tahun2016
Kegiatan pacu jawi ada sejak ratusan tahun yang lalu dan menjadi hiburan
yang ditunggu-tunggu oleh masyarakat setempat. Pacu Jawi tidak sama dengan
karapan sapi yang ada di daerah Madura, perbedaannya pada lahan yang
digunakan. Karapan sapi menggunakan tanah yang datar, sedangkan pacu jawi
menggunakan area sawah yang berisi air. Pacu jawi menggunakan sepasang sapi
yang telah terpasang alat bajak kemudian pacunya terbuat dari bamboo sebagai
alat untuk berpijak bagi sang joki. Setelah sang joki dan sapinya siap berada di
dalam sawah, maka sapi dikagetkan dengan berbagai cara ada yang berteriak dan
ada pula yang memukul bagian belakang sapi supaya sapi berlari dengan kencang.
Ketika sapi berlari di dalam sawah yang basah tersebut, cipratan lumpur
berterbangan, para penoton bersorak sorai dan banyak fotografer dengan senang
hati mengambil momen tersebut. Meski pacu berarti lomba kecepatan namun
yang menjadi pemenang didalam perlombaan ini adalah sapi yang harus berjalan

34

Universitas Sumatera Utara

lurus bukan sapi yang tercepat.

Informan penulis yang bernama amak Sabai

menyebutkan bahwa:
“Pacu Jawi ko lomba yang sero, mancaliak jawi balari
dan jokinyo banyak nan tajatuah, nyo jatuah ka sawah
yang banyak aie jo tanah tu lah bakubang sadonyo.
Mancaliak muko urang nan mode itu makonyo sero. Nyo
lomba ko karajo samo antaro joki atau urang yang
mangandaliannyo samo jawi yang akan bapacu, jawi tu
ado duo, diateh jawi tu beko dilatak an alat bajak pacu
yang tabuek dari batuang untuak alat pamijak si joki,
salasai alat dipasang joki tagak dikayu dan jawi ditapuak
atau dilacuik, pas nyo lah takajuik jawi balari, si joki
mamacik buntuik jawi, siaptu lari lah jawiko, jawi yang
lari nyo kancang dan luruih mako itu bisa jadi
pamanangnyo. Biasonyo jawi yang rancak akan banyak
peminat untuak mambali jawi, tu jawi tu baharago maha
bukan gadang ketek jawi yang dicaliak tapi kancang atau
indaknyo jawi tu balari”.
“Pacu Jawi merupakan acara yang seru, karena melihat
sapi yang berlari dan joki yang terjatuh. Joki tersebut
jatuh ke sawah yang banyak air dan tanah sehingga itu
yang membuat tertawa dengan wajah yang terkena
lumpur. Pacu Jawi ini merupakan kerja sama antara joki
(orang mengendaliakan) dengan sapi yang akan berpacu.
Sapi yang akan berpacu ada dua, diatas sapi itu diletakkan
alat bajak yang terbuat dari bambu sebagai alat pemijak
joki. Selesai alat itu dipasang joki berdiri diatas alat
pemijak tersebut sapi itu dipukul bagian belakangnya
supaya sapi terkejut sehingga berlari dengan kencang.
Pada saat itu joki memegang ekornya sapi. Sapi yang
menang yaitu sapi yang memiliki lari kencang serta
keadaan lurus dalam berlari. Biasanya sapi yang kencang
berlari tersebut banyak orang yang minat untuk
membelinya. Bukan dilihat dari besar atau kecil sapi tetapi
dilihat dari kencang sapi tersebut berlari”.

2.4. Life Story dari Pengrajin Gerabah
Jorong Galogandang secara administratif merupakan bagian dari Nagari
III Koto, kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah Datar. Jorong Galogandang
sebagian besar merupakan daerah perbukitan dan persawahan, sehingga menuju
daerah tersebut melewati daerah lembah dan perbukitan. Daerah tersebut

35

Universitas Sumatera Utara

menjadikan Galogandang mempunyai banyak bahan baku untuk membuat
gerabah. Mata pencaharian membuat gerabah dijadikan oleh sebagian masyarakat
sebagai mata pencaharian tetap. Gerabah di Galogandang sudah ada dari zaman
nenek moyang dikembangkan secara turun temurun, pengrajin menghasilkan
berbagai macam bentuk gerabah yang dapat digunakan oleh masyarakat sekitar
maupun di luar daerah tersebut. Adapun pengrajin gerabah di Galogandang
sebagai berikut:

A. Ibu Rina
Bu Rina seorang pengrajin gerabah yang berusia 38 tahun, pekerjaan
membuat gerabah sudah dilakukan ibu Rina sejak lama, yaitu dari sejak dia gadis
dikarenakan ibunya juga seorang pengrajin gerabah. Saudara ibu Rina tidak ada
yang membuat gerabah, melainkan saudaranya pergi merantau. Pekerjaan ini
merupakan pekerjaan yang dilakukan ibu Rina sehari-hari, rutinitasnya dimulai
dari pagi hari. Selesai sholat shubuh setelah itu ibu Rina memasak untuk keluarga
dan anak-anaknya, selesai itu membereskan anak-anaknya untuk pergi ke sekolah.
Pada jam 08.00 dia mulai bekerja sampai jam 17.00 selama waktu tersebut ibu
Rina bisa membuat gerabah sebanyak 20-25 buah, gerabah tersebut siap untuk
dijemur.
Alasan ibu Rina bekerja di rumahnya yaitu dibagian samping rumahnya,
disana juga sekalian tempat dapur ibu Rina, di depan rumahnya terdapat tempat
gudang balango, menurutnya siapa yang mau membuat gerabah diperbolehkan,
tetapi dia tidak memilih untuk bekerja disana, dia lebih memilih mengerjakan di
rumahnya alasannya dia bisa membuat gerabah yang banyak, karena bekerja tidak

36

Universitas Sumatera Utara

ada berhenti-henti kecuali istirahat sholat dan makan, jika disana pekerjaan
banyak berhenti-henti karena bekerja bersama-sama itu membuat pekerjaan tidak
konsentrasi. Penghasilan dari gerabah bisa didapat setelah waktu sepuluh hari,
baru setelah itu bisa mendapatkan uang yaitu Rp 800.000 bisa juga lebih atau
kurang dari segitu tergantung banyaknya yang dibakar. Jika hari musim hujan
maka proses penjemuran akan tertunda kemudian dia tidak bisa menjual sehingga
kebutuan sehari-hari masih tetap berjalan dengan mau tidak mau dia meminjam
uang kepada tetangganya. Memang pekerjaan ini merupakan pekerjaan yang dapat
membantu keuangan keluarganya, tetapi jika mengandalkan itu tidak akan
tercukupi. Maka hal itu ibu Rina dan suaminya sama-sama bekerja.
Bu Rina memilki tiga orang anak perempuan, tetapi dari ketiga anaknya
tidak dibiarkan oleh bu Rina untuk meneruskan membuat gerabah, dia lebih
mendukung anaknya untuk sekolah, meskipun hal demikian anaknya pun bisa
membuat gerabah meskipun hanya bantu-bantu ketika tidak ada kegiatan sekolah.
Anaknya yang masih sekolah sehingga bu Rina untuk menambah penghasilan
untuk kebutuhan sekolah dan biaya sehari-hari. Pekerjaan dari suami ibu Rina
adalah seorang petani mereka saling membantu untuk memenuhi kebutuhan
hidup.
Sekolah bagi ibu Rina merupakan hal yang penting, karena dia tidak mau
kalau anaknya seperti anak-anak gadis lain yang putus sekolah karena hal-hal
yang tidak diinginkan. Karena banyaknya perempuan-perempuan Galogandang
yang salah pergaulan, sehingga dia cepat menikah otomatis membuat mereka akan
putus sekolah. Anak pertamanya duduk di bangku SMP ( Sekolah Menengah
pertama), yaitu kelas 3 SMP. Dia sekolah di SMP Rambatan yang berada di luar

37

Universitas Sumatera Utara

daerah Galogandang, anaknya termasuk siswa yang aktif baik dalam kegiatan
maupun kegiatan diluar kegiatan belajar.
Anak keduanya duduk di kelas 1 SMP, dia merupakan anak yang sangat
gigih untuk sekolah diluar daerahnya, dimana dia ingin memasuki sekolah unggul
yang berada jauh dari Galogandang, dengan semangat yang tinggi serta kemauan
yang keras ibu Rina selalu mendukung kemaun dari anak-anaknya. Ternyata apa
yang diinginkan oleh anaknya tidak tercapai yaitu masuk sekolah unggul tetapi
masih memasuki SMP yang bagus di Batusangkar. Memang anak ibu Rina yang
kedua lebih pintar dari yang pertama, sehingga dia untuk sekolah selalu hal yang
terbaik. Dia menggunakan kacamata sekilas penulis melihatnya yaitu seorang
yang lemah dan tidak memilki semangat yang tinggi untuk sekolah tetapi hal
tersebut tidak sebagai hambatan baginya demi mencapai cita-cita. Terkadang dia
juga merasa terganggu dengan penglihatannya yaitu merasakan sakit kepala dan
agak susah melihat. Ibu Rina mengatakan kalau anaknya itu terkena oleh batubata, dimana orang yang sedang menurunkan batu-bata kemudian dia berlari-lari
menuju tempat tersebut tanpa sengaja batu tersebut terjatuh kemudian mengenai
matanya, semenjak itulah dia menggunakan kaca mata. Sudah kesana-kemari
untuk berobat tetapi matanya masih belum bisa sembuh sehingga harus
menggunakan kacamata jika dia melepasnya maka akan sakit kepala. Anak ketiga
masih duduk di SD ( Sekolah Dasar), dia juga anak yang rajin dan suka membantu
ibu Rina untuk membuat gerabah jika tidak sedang sekolah atau dalam waktu
libur.
Ibu Rina membiasakan ketiga anaknya untuk disiplin, terlihat dari setiap
anak sudah memiliki tugas atau pekerjaan masing-masing khusunya dalam

38

Universitas Sumatera Utara

pekerjaan rumah, sehingga mereka tahu apa yang dilakukan sebagai seorang anak
dan kewajibannya masing-masing, maka ketiga anak-anaknya tidak boleh
keluyuran atau bermain-main sampai lupa waktu. Alasan ibu Rina memilih
pekerjaan membuat gerabah dari pada pergi ke sawah atau ladang yaitu bisa
menjaga dan memperhatikan anaknya, seperti sekolah, mengaji dan hal-hal yang
lainnya. Jika memilih pekerjaan ke sawah atau ke ladang maka dia khawatir jika
anaknya tidak ada yang memperhatikan, alasan yang lain kalau ini pekerjaan yang
tidak panas-panasan seperti bertani atau berladang.

B. Ibu Yurnalis
Hari kedua peneliti mencari informan ternyata bertemu dengan ibu Yurnalis
yang sedang duduk sambil memukul-mukul gerabah, peneliti mendekatinya
kemudia berkenalan dengan ibu Yurnalis. Wanita ini berusia 60 tahun beliau
seorang janda yang ditinggalkan suaminya. Beliau memiliki dua orang suami
yang pertama suaminya meninggal dunia, dan yang kedua mereka cerai hidup. Ibu
Yurnalis memiliki 5 orang anak. Anak dari ibu Yurnalis yaitu laki-laki semua
tidak ada yang perempuan. Anak yang hidup hanya 4 (empat) orang, dan yang
satunya lagi meninggal, ibu Yurnalis sangat sedih dengan kematian anaknya,
karena anaknya meninggal waktu masih kecil dikarenakan sakit. Anaknya ada
yang merantau di pulau Jawa dan ada pula yang tinggal dirumah. Ibu Yurnalis
memiliki 4 (empat) Orang cucu, 2 (dua) orang laki-laki dan 2 (dua) orang
perempuan.
Pekerjaan ini dilakukan setiap hari, sudah menjadi pekerjaan yang tetap.
Melakukan ini sudah sejak lama, semenjak beliau putus sekolah maka beliau

39

Universitas Sumatera Utara

disuruh oleh ibunya untuk membuat gerabah, maka beliau sudah tidak asing lagi
dengan tanah liat. Pekerjaan lain selain membuat gerabah sudah pernah dia
lakukan yaitu membuat batu-bata. Menurutnya lebih enak bekerja membuat
gerabah dari pada batu-bata. Makanya sampai sekarang beliau membuat gerabah
dan meninggalkan pekerjaan membuat batu-bata. Dahulu beliau pernah juga
menjual gerabah. Menurut ibu Yurnalis bahwa:
“manjua pariuk ko alah amak lakuan ka berbagai daerah
di lua Galogandang, amak manjua pariuk ko lah lamo
bana, waktu anak amak masih sakolah. Amak mambuek
sambia manjua, pai manjua ka lintau, manjua pariuk ka
lintau salamo duo hari, manjua pakai rotan yang
dijujuang dan diatehnyo disusun pariuk-pariuk yang akan
dijua. Amak pai hari sabtu tu pulangnyo hari senin, zaman
dahulu urang alun banyak yang manjajoan pariuk ko, tu
amak pai manjuanyo lai agak lamak, pitihnyo lai banyak,
karano saingan dan umua lah tuo pulo tu ndak pai lah
manggaleh lai.
“ menjual gerabah Amak melakukan keluar daerah
Galogandang, Amak menjual gerabah sudah sejak lama.
Waktu Anaknya masih sekolah, Amak membuat dan juga
menjual gerabah. Pergi menjual ke daerah Lintau, menjual
gerabah yaitu selama dua hari. Menjual menggunkan rotan
yang dijujung diatas kepala yang diatas rotan tersebut
disusun gerabah yang akan dijual. Amak pergi hari sabtu
terus pulangnya senin. Zaman dahulu orang belum banyak
yang menjual gerabah sehingga Amak lebih banyak
mendapatkan uang, tetapi seiring berjalannya waktu
adanya saingan yang semakin banyak dan umur yang
semakin tua menjadikan Amak tidak berjualan lagi”.
Pekerjaan membuat gerabah merupakan pekerjaan yang dapat memenuhi
kebutuhan ibu Yurnalis, karena beliau hanya bisa melakukan pekerjaan tersebut,
ibu Yurnalis dengan umur yang tidak muda lagi bisa membuat gerabah sebanyak
20 buah dalam satu hari. Beliau membuat gerabah dimulai dari pagi hari sampai
sore hari, ibu Yurnalis mendapatkan penghasilan kira-kira Rp 1.000.000 setiap

40

Universitas Sumatera Utara

bulannya atau sesuai dengan banyaknya pesanan. Memang ibu Yurnalis selalu
banyak pesanan hanya saja tenaga dan waktunya yang tidak banyak. Diwaktu
peneliti, pergi ke tempat ibu Yurnalis yang sedang mengerjakan pesanan dari
pelanggannya yaitu sebanyak 1000 gerabah. Menurut penjelasan informan sebagai
berikut:
“ Amak sadang mambuek pasanan dari urang Pariaman,
urang tu mamasan sabanyak 1000, tapi alah siap 600
buah, yang 150 ko lah siap untuak dibaka, Amak samo
urang ko lah lamo jadi langganan. Urang ko nyo maisi
untuak kadai-kadai yang ado di daerah Pariaman,
makonyo pasanannyo salalu banyak. Nyo mambiak ka
Amak saharago Rp 7.500 yang ketek dan 10.000 yang
gadang nyo”.
“ Amak sedang membuat pesanan dari orang Pariaman,
orang itu memesan sebanyak 1000, tapi yang sudah siap
600 buah, yang 150 buah ini siap untuk dibakar, Amak
dengan orang itu sudah lama menjadi langganan. Orang
ini mengisi untuk toko-toko yang ada di Pariaman,
makanya pesanannya selalu banyak. Dia mengambil
dengan seharga Rp 7.500 yang kecil dan yang besarnya
seharga Rp 10.000”.
Membuat gerabah dilakukan oleh ibu Yurnalis sendiri saja, karena beliau
tidak memiliki anak perempuan, beliau memilih pekerjaan tersebut dari pada pergi
merantau dengan anaknya. Beliau beralasan kalau pergi sama anaknya maka suatu
beban juga oleh anaknya, karena anaknya masih belum memiliki banyak uang,
makanya beliau lebih baik di kampung membuat gerabah dan dapat penghasilan
sendiri. Pekerjaan ini memang dilakukan sendiri oleh ibu Yurnalis mulai dari
mengambil tanah sampai membakarnya menjadi sebuah gerabah yang siap untuk
dijual. Anak dari ibu Yurnalis berada dirumah dia membantu ibu Yurnalis hanya
untuk membawa tanah dengan motor dari tempat pengambilan tanah sampai di
rumah.

41

Universitas Sumatera Utara

C. Ibu Sabai
Hari selanjutnya peneliti melakukan perjalanan menuju kedalam kampung,
ternyata melihat ibu yang sedang membakar gerabah. Peneliti mendekati ibu
tersebut dan mulai bertanya-tanya tentang gerabah. Ibu Sabai adalah seorang
janda yang ditinggalkan meninggal oleh suaminya. Beliau berumur 60 tahun tetapi
masih kuat untuk bekerja. Pekerjaan ini dilakukan sudah sejak lama, pada saat ini
bekerja tidak terlalu dipaksa. Ibu Sabai tinggal dengan seorang cucunya, yang
bernama Adi, ibu Sabai tinggal bersama cucunya dikarenakan cucunya tidak
memilki ibu lagi, kemudian Adi tinggal dengan ibu tirinya. Karena hal tersebut
ibu Sabai merasa kasian jika Adi hidup dengan ibu tiri kemudian ibu Sabai
membawa Adi untuk tinggal di kampung bersama dengannya.
Pekerjaan membuat gerabah ini dilakukan dengan temannya, hasilnya bagi
dua, dia tidak kuat lagi untuk melakukan pekerjaan yang berat seperti mahinja
tanah. Adanya kerjasama dengan temannya tersebut maka dia masih bisa
membuat gerabah. Membuat gerabah dilakukan sebagai pekerjaan untuk mengisi
waktunya, dari pada duduk-duduk lebih bagus bekerja. Pekerjaan ini sudah
ditekuni sejak lama, tetapi karena beliau sudah mulai tua dan anak-anaknya sudah
ada yang merantau maka kadang-kadang beliua ikut bersama anaknya. Mulai
bekerja dari pagi hari dan selesai sampai sore hari. Gerabah yang dapat beliau
hasilkan yaitu sebanyak 15 buah. Tergantung macam atau bentuk yang dibuat. Ibu
Sabai mengatakan jika membuat gerabah merupakan pekerjaan yang tidak susah,
karena kebiasaan serta kemahiran seseorang, maka dapat menghasilkan gerabah.
Kemuadian tradisi ini yang selalu dikembangkan oleh masyarakat Galogandang

42

Universitas Sumatera Utara

sampai saat sekarang ini.Begitulah waktu yang dihabiskan sehari-hari oleh ibu
Sabai memnuat gerabah dan merawat cucunya.
Menurut Home Affairs (dalam Suryana 2013:46) menjelaskan bahwa,
Modal Insani (Human Capital) Salah satu modal insani dalam ekonomi kreatif
yang terpenting adalah modal intelektual, yaitu berupa kecakapan, pengetahuan,
keterampilan, dan motivasi untuk menghasilkan kekayaan intelektual, seperti
paten, merek barang, royalti, dan desain. Menurut David Parrish (dalam Suryana
2013:47), “Kekayaan intelektual merupakan modal pokok industri kreatif yang
menciptakan aktivitas-aktivitas, keterampilan, bakat individual, yang berpotensi
untuk menciptakan lapangan kerja dan kekayaan secara turun temurun melalui
kekayaan intelektual. Kekayaan intelektual merupakan aset yang tak terlihat dan
merupakan tiang penyangga perusahaan”. Modal intelektual merupakan perkalian
antara kompetensi dengan komitmen. Artinya, seseorang yang memiliki
kompetensi saja tidak cukup, bila tidak dibarengi dengan komitmennya.
Seseorang yang memiliki kompetensi, tetapi kurang komitmen maka ia memiliki
modal intelektual yang rendah. Sementara itu, kompetensi itu sendiri merupakan
perkalian antara kapabilitas (kemampuan) dengan tanggung jawab dan
kewenangan (autority). Memiliki kemampuan saja tidak cukup apabila tidak
didukung

oleh

Selanjutnya,

tanggung

kapabilitas

jawab

merupakan

dalam

menggunakan

perkalian

antara

kemampuannya.

keterampilan

dan

pengetahuan. Seseorang yang cakap saja tidak cukup, tetapi harus cakap dan
cukup ilmu pengetahuan.
Sebagaimana diketahui bahwa para pengrajin gerabah merupakan orangorang yang memiliki modal intelektual, yaitu berupa kecakapan, pengetahuan,

43

Universitas Sumatera Utara

keterampilan, dan motivasi untuk menghasilkan kekayaan intelektual, seperti
paten, merek barang, royalti, dan desain. Dengan demikian, Pengrajin gerabah
memiliki intelektual, komitmen, kompetensi, dan kapabilitas yang baik dalam
menjalankan usaha mereka sehingga bisa maju dan berkembang (dalam Suryana
2013:46-49).

2.5. Usaha Gerabah bagi Generasi Muda
Galogandang merupakan daerah penghasil gerabah yang melimpah di
Sumatera Barat. Gerabah ini dibuat oleh kaum perempuan di desa tersebut.
Namun saat ini cenderung generasi muda kurang berminat untuk mengeluti usaha
kerajinan gerabah, dikarekan pemuda setempat lebih memilih pendidikan dan
pergi merantau. Sebagaimana diketahui merantau pada masyarakat Minangkabau
dilakukan oleh kaum laki-laki, tetapi karena perkembangan zaman sehingga kaum
perempuan juga banyak yang merantau. Maka dari itu cenderung tidak ada
generasi muda yang membuat gerabah di Galogandang. Menurut salah seorang
informan penulis sebagai berikut:
“Disiko masyarakatnyo banyak yang marantau, dari
sabanyak 1.800 jiwa panduduak asli, ado sakitar 25%
yang tingga dikampuang salabiahnyo 75% pai ka nagari
urang. Umumnyo marantau ka pulau Jawa, yang biasonyo
banyak di Ibu Kota Jakarta. Sahinggo masyarakat di
kampuang tingga nan tuo-tuo se lai, yang mudo lah pai ka
nagari urang alasannyo pai marantau untuak marubah
nasib, nyo manganggap kalau dirantau banyak mandapek
rasaki babeda jo dikampuang indak tau apo yang ka
dikarajoan. Misalnyo kalau nan padusi nan alah basuami
tu suaminyo marantau dan otomatis nyo dibaok dek
suaminyo. Jadi itulah alasannyo kiniko banyak urang di
Galogandang ko marantau dari pado dikampuang. Tapi
disiko urang padusi yang alah tuo-tuo yang masih tingga
di kampuang karajonyo mambuek pariuk dari tanah liek
sabagai mato pencaharian dari daerah Galogandang ko”.

44

Universitas Sumatera Utara

“Disini masyarakatnya banyak yang merantau dari
sebanyak 1.800 jiwa yang merupakan penduduk asli ada
sekitar persentase 25% yang tinggal dikampung
selebihnya 75% pergi merantau pergi ke negeri orang,
umumnya masyarakat merantau ke Pulau Jawa yang
biasanya
banyak di Ibu Kota Jakarta. Sehingga
masyarakat tinggal di kampung itu yang tua dan yang
mudah sudah pergi kenegeri orang dengan alasannya pergi
merantau itu bisa merubah nasib dengan menganggap
kalau dirantau banyak mendapatkan rezeki, berbeda
dengan dikampung tidak tau apa yang akan dikerjakan.
Misalnya kalau yang perempuan sudah bersuami terus
suaminya merantau dan otomatis anak perempuan tersebut
akan dibawa merantau. Tetapi disini orang perempuan
yang sudah tua-tua yang masih tinggal dikampung
kerjanya membuat gerabah dari tanah liat sebagai mata
pencaharian dari daerah Galogandang”. 3
Berbagai macam alasan bagi generasi muda untuk tidak membuat gerabah,
selain alasan merantau ada juga dengan alasan lebih memilih pendidikan dari pada
sebagai pengrajin gerabah. Pendidikan pada generasi muda di Galogandang
cenderung sudah semakin maju. Dikarenakan pemikiran dari orang tua di
Galogandang juga sudah semakin maju, beliau tidak mau bahwa anaknya seperti
beliau sebagai pengrajin, kalau bisa anaknya bisa melanjutkan pendidikan
kejenjang yang lebih tinggi, sehingga bisa merubah nasib. Menurut salah seorang
informan penulis, sebagai berikut:
“Etek iyo labiah suko anak-anak etek untuak sakolah dari
pado inyo indak sakolah, bia inyo indak bantuak etek
mambuek pariuk, karano mambuek pariuk ko, karajo nyo
ndak sebandiang lo jo piti yang di dapek jadi, hanyo bisa
untuak sahari-hari sajo. Kalau anak etek sakolah inyo kan
lai bisa karajo bisuak,karajo tu lamak, istilahnyo lai
bagaji, jadi rancak inyo sakolah dari pado indak”.
“Etek lebih suka anak-anaknya untuk sekolah dari pada
tidak sekolah. Biar dia tidak seperti Etek sebagai pembuat
gerabah, karena membuat gerabah kerjanya tidak
sebanding dengan uang yang didapat. Uangnya hanya bisa
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja. Kalau anak
Etek sekolah maka dia bisa bekerja besok, kerja itu enak.
3

Ibid hal 31

45

Universitas Sumatera Utara

Istilahnya dia bisa memiliki gaji, jadi lebih baik dia
bekerja dari pada tidak”.
Generasi muda di daerah Galogandang memang lebih banyak yang
memilih pendidikan. Dengan demikian adanya pendidikan maka generasi muda
di Galogandang cenderung memiliki pekerjaan yang lebih enak dari pada sebagai
pengrajin. Memilih pekerjaan sesuai dengan bidangnya masing-masing. Seperti
Guru, Dokter, dan propesi lainnya. Banyak faktor yang membuat generasi muda
untuk tidak membuat gerabah diantaranya pendidikan dan merantau.

46

Universitas Sumatera Utara