Pengrajin Gerabah (Studi Etnografi Usaha Pengrajin Gerabah dalam Menghadapi Perubahan Teknologi)

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Fitrianti, R., dkk. 2012. Ekonomi Kreatif. Jakarta. Universitas Indonesia (UIPress).

Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi I. Jakarta: PT Rineka Cipta. ---. 2009. Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Maran, Rafael Raga. 2000. Manusia dan Kebudayaan dalam Perspektif Ilmu Budaya Dasar. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Muka, Ketut, I Made Berata. 2009. Gerabah Bayumelek Satu Tinjauan Budaya. Denpasar: Fakultas Seni Rupa dan Desain Jurusan Kriya Seni Institut Seni indonesia Denpasar.

Nasuation, Nelpi Gusliana. 2014. Pekerjaan Perempuan di PT. Agincourt Resources Martabe, Batangtoru ( Studi Etnografi Strategi Adaptasi Pekerja Perempuan di PT. Agincourt Resources Martabe, Kecamatan Batangtoru) Medan .

Sairin, S., P. Semedi, dan B. Hudayana. 2002. Pengantara Antropologi Ekonomi. Yogyakarta: Puataka Pelajar Offset.

Spradley, James P. 2007. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Suharyanto, Andik. Gerabah Mambang-Jombang Tradisi Prasejarah yang Masih Berlangsung Sampai Sekarang Sebagai Wujud Enkulturasi. Malang: Universitas Negeri Malang.

Emita, Zusmelia, dan Marleni. Peran Perantau Terhadap Pembangunan Nagari (Studi Kasus: Jorong Galogandang Nagari III Koto Kecamatan Rambatan Kabupaten Tanah Datar). Sumatera Barat: Program Studi Pendidikan Sosiologi STKIP PGRI.

Sumber lain:

Ermansyah. 2015. Diktat Kuliah Pengantar Antropologi di Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial dalam bentuk soft copy. Medan: Universitas Sumatera Utara.

(Diakses pada: 25 Agustus 2016, 14:00 Wib)

2016, 14:00 Wib)


(2)

(Diakses pada23 Agustus 2016, 12:10)

https://min.wikipedia.org/wiki/Galogandang,_Tigo_Koto,_Rambatan,_Tanah_Dat ar (Diakses pada: 22 Agustus 2016, 12:12)

kedudukan-ipar-laki-laki-dalam-adat-minangkabau/212400685415/ (Diakses pada: 25 Agustus 2016, 14:00)


(3)

BAB III

PERALATAN, PROSES PEMBUATAN DAN PERKEMBANGAN GERABAH DI JORONG GALOGANDANG

3.1. Peralatan yang Digunakan

Hari kedua melakukan penelitian penulis datang sekitar jam 10.00 pagi dimana udara Galogandang sangat sejuk, karena sangat terasa keasrian dari kampung Galogandang. Penulis datang kesana dengan teman penulis yang bernama Delia. Diperjalanan menuju Galogandang Delia sangat cerewet karena Delia belum Pernah ke Galogandang, dan menurutnya daerah yang sangat jauh, Delia bertanya mengapa penulis bisa melakukan penelitian di daerah yang jauh ini, selain jauh daerah yang mendaki serta menurun membuat perjalanan terasa agak kelelahan. Delia tidak kecewa untuk melakukan perjalanan tersebut setelah penulis menjelaskan bahwa pelajaran yang akan menyenangkan sekaligus akan mendapatkan pelajaran dari kegiatan ini.

Gerabah-gerabah berjejer di depan sebuah rumah yang sederhana. Di dalam rumah itu terdapat ibu yang sedang bekerja membuat gerabah, dari kejauhan penulis melihat ibu tersebut menikmati pekerjaan yang dilakukannya. Tangannya terlihat lincah mengayunkan sebuah pemukul dari kayu. Dengan bunyi yang keras maka penulis mendekati ibu tersebut, kemudian meminta izin untuk melakukan penelitian disini. Perasaan yang senang sekaligus takut penulis rasakan pada saat itu. Maka dengan berani penulis menanyakan kepada ibu tersebut untuk mengizinkannya melakukan penelitian. Awal melihat ibu itu penulis berfikir bahwa penulis datang kepada orang yang baik dan mau berbagi informasi tentang gerabah. Setelah penulis menceritakan semua maksud dan


(4)

tujuan penulis datang kesini maka ibu tersebut bersedia. Perasaan yang senang penulis mengucapakan terima kasih banyak kepada ibu tersebut.

Ibu Rina panggilannya, penulis memanggil Etek, yaitu sebuah panggilan di Minangkabau kepada orang yang lebih tua dari pada kita. Etek Rina menjelaskan banyak informasi tentang gerabah, Etek ini melakukan pekerjaan tersebut sudah lama, karena sebagai pengrajin sudah merupakan pekerjaan yang turun-temurun dari orang tuanya. Menurut cerita dari Etek Rina bahwa masyarakat Galogandang sudah membuat gerabah sejak lama, rata-rata disetiap rumah disini pada zaman dahulunya merupakan pengrajin gerabah tetapi seiring perkembangan zaman banyaknya masyarakat yang sudah merantau dan beralih kepada pekerjaan yang lain, karena menurutnya pekerjaan sebagai pengrajin kurang menjanjikan. Galogandang memang tersebut sebagai daerah pembuat gerabah yaitu kerajinan dari tanah liat yang memproduksi peralatan rumah tangga terutama peralatan untuk memasak seperti periuk (balango), kuali, dan dandang.

Dalam waktu yang singkat Etek Rina dapat menyelesaikan satu buah gerabah yang siap untuk dijemur. Penulis kagum dengan kecepatan tangan Etek Rina untuk membuatnya. Etek Rina menjelaskan bahwa pekerjaan ini dilakukan dengan cepat karena sudah terbiasa, tetapi apabila sekilas dilihat oleh orang lain pekerjaan ini sangat mudah untuk dilakukan sesungguhnya pekerjaan yang tidak terbiasa seperti Etek Rina sangat sulit untuk melakukannya. Pengrajin-pengrajin disini pasti belajar terlebih dahulu sebelum bisa membuatnya.

Pada saat melakukan wawancara dengan Etek Rina penulis meminta izin untuk mengambil foto dari proses serta peralatan yang digunakan pada gerabah. Senang hati Etek memberikan izin untuk mengambil fotonya, jika prosesnya tidak


(5)

bisa semua hari ini karena proses pembakaran dilakukan pada esok hari. Etek menawarkan untuk datang besok hari karena ada proses pembakaran, jika cuaca bagus maka pembakaran akan dilakukan. Penulis mendengarkan itu sangat senang, dalam hati penulis bahwa penerimaan dari informan sangat baik.

Asyik bercerita dengan Etek Rina tiba-tiba penulis bertanya mengenai peralatan serta fungsi dari masing alat tersebut. Etek Rina menjelaskan sebagai berikut, Peralatan adalah suatu alat penunjang untuk melakukan proses pembuatan kerajinan tanah liat, peralatan yang digunakan merupakan peralatan tradisional yang mudah didapatkan, kemudian peralatan yang sudah ada secara turun temurun atau disebut dengan peralatan yang ditinggalkan oleh nenek moyang dari pengrajin sebelumnya. Semua peralatan yang digunakan bisa didapatkan dari turun-temurun dan ada juga yang tidak. Etek Rina menjelaskan dengan senang hati tentang semua peralatan secara satu-persatu, peralatan tersebut antara lain :

Peralatan adalah suatu alat penunjang untuk proses pembuatan kerajinan tanah liat, peralatan yang digunakan merupakan peralatan tradisional yang mudah didapat dan peralatan yang sudah turun temurun atau peralatan yang ditinggalkan oleh nenek moyang dari pengrajin sebelumnya. Peralatan yang digunakan untuk membuat salah satu jenis gerabah di Galogandang, adalah sebagai berikut:


(6)

3.1.1. Rotan ( Bambu)

Foto 6 Rotan

Sumber : Pemilik Pengrajin Gerabah “Rotan ko baguno untuak mancetak awal mambuek pariuk, etek punyo sado ukuran mulai dari nan gadang, sadang dan yang ketek. Kalau indak ado iko payah mambantuaknyo. Ukuran dari rotan ko babeda-beda. Kalau nio mambuek yang gadang berarti pakai ukuran yang gadang, baitu juo jo nan sadang dan yang ketek. Bia rancak bantuaknyo. Ambiak bisa di bukik-bukik sakitar Galogandang ko. Kiro-kiro ukuran nan ketek tu 15 cm, nan sadang tu 30 cm dan nan gadang 30 cm”.

“Rotan ini berguna untuk mencetak awal gerabah. Etek memliki semua ukuran mulai yang besar, sedang dan kecil, kalau tidak ada maka akan payah untuk membuatnya. Ukuran setiap rotan ini berbeda-beda. Jika mau membuat yang besar maka menggunkan ukuran yang besar begitu juga dengan yang sedang dan kecil. Biar kelihatan lebih bagus. Mengambilnya bisa di bukit-bukit sekitar daerah Galogandang. Kira-kira ukuran yang kecil 15 cm, yang sedang 30 cm dan besar 60 cm”.

Wawancara dari etek Rina menjelaskan bahwa, Rotan ini merupakan bagian dari peralatan yang digunakan dalam proses pembuatan gerabah khususnya untuk membuat berbagai kerajinan dari tanah liat. Rotan digunakan dalam proses mencetak awal gerabah. Rotan yang digunakan berbentuk lingkaran yang terdiri dari dua, yaitu yang berdiameter 30 cm dan 60 cm. Ukuran 30 cm digunakan untuk cetakan yang kecil sedangkan jenis periuk (belango) besar mempunyai


(7)

ukuran 60 cm. Rotan diambil disekitar bukit-bukit yang terdapat di daerah Galogandang.

3.1.2. Kayu

Foto 7 Kayu

Sumber : Pemilik Pengrajin Gerabah

Ketika penulis melanjutkan wawancara mengenai alat selanjutnya, Etek Rina ternyata sedang menggunakan peralatan kayu untuk memukul-mukul gerabah, penulis tercengang dengan keahilan Etek Rina, sangat mudah baginya untuk membuat gerabah tersebut, lalu Etek menjelaskan peralatan yang selanjutnya. Kayu dalam pembuatan gerabah digunakan untuk memukul-mukul. Pengrajin biasanya menyebut proses ini dengan melangiah (memukul-mukul), pukulan dilakukan pada bagian luar dan bagian dalam, dibagian luar dipukul dengan kayu dan dibagian dalamnya dialasi menggunakan batu. Pukulan kayu dengan batu harus sejajar, jika tidak hasilnya akan berlubang dan cetakan akan rusak. Kayu biasanya mempunyai ukuran panjang sekitar 40 cm dan lebar sekitar 20 cm. Kayu biasanya di lengkapi dengan gagang yang berukuran panjang 20 cm


(8)

dan lebar 5 cm. Gagang berfungsi sebagai pemegang bagi pengrajin supaya mudah dalam proses memukul gerabah yang sedang dibentuk. Kayu didapatkan di bukit-bukit di sekitar daerah Galogandang. Buk Rina mengatakan bahwa:

“Kayu ko yang tiok pengrajin pariuak (balango) pasti ado, karano kayu ko sebuah alat yang paralu, kalau indak ado kayu ko susah untuk dibuek dan indak lo rancak. Kayu bisa dibuek surang dan bisa juo dipasan kaurang tukang kayu lain untuk mambueknyo”.

“Kayu ini dimiliki oleh semua pengrajin periuk (belango), karena kayu ini merupakan sebuah alat yang sangat diperlukan, seandainya kayu ini tidak ada proses pembuatannya akan susah dan tidak akan bagus. Kayu ini bisa dibuat sendiri dan bisa juga dipesan kepada tukang kayu.Kayu dimiliki rata-rata 2 (dua) oleh pengrajin tanah liat di Galogandang, karena fungsi disetiap kayu sama”.

Tiba-tiba secara mendadak hari hujan, Etek Rina berlari keluar dari pondok untuk mangangkat gerabah yang sedang dijemur. Etek Rina tidak hanya sendiri mengangkat gerabah dibantu juga oleh anaknya. Setelah semua gerabah selesai diangkat Etek Rina meneruskan membuat gerabah. Etek Rina menceritakan kembali mengenai peralatan gerabah selanjutnya sambil mengerjakan gerabah.


(9)

3.1.3. Batu

Foto 8 Batu

Sumber: Pemilik Pengrajin Gerabah “Batu ko iyo turun-temurun dari urang tuo Etek, masalahnyo ndak urang nan manjua batu ko do, urang tuo Etek dulu mambuek pariuk ko pulo, tapi kini indak ado lai do. Urang tuo etek tu lai pai marantau samo saudara etek. Jikok urang nan kan mambuek makonyo berarti nyo lai ado batu ko. Biaso pinjam-maminjam indak lo ado do. Baa kan maminjamkannyo masalahnyo alat nan paguno”. “Batu ini merupakan turun-temurun dari orang tua Etek, masalahnya tidak ada orang yang menjualnya, orang tua Etek dulu juga membuat gerabah ini. Tapi sekarang tidak lagi, orang tuanya sudah pergi merantau dibawa oleh saudaranya. Jika orang yang membuat gerabah berarti dia pasti memiliki batu itu. Biasanya pinjam-meminjam batu itu tidak terjadi, karena orang menggunakan alat tersebut”.

Batu juga termasuk alat dalam proses pembuatan gerabah. Batu ini berbentuk bulat yang dibaliknya berbentuk pipih. Batu ini merupakan peralatan yang turun-temurun dari pengrajin sebelumnya karena batu tersebut tidak didapat disembarang tempat ataupun dicetak ditempat tukang batu. Fungsi dari batu juga sama dengan kayu yaitu untuk melangiah (memukul-mukul) supaya rata.


(10)

3.1.4. Bambu Kecil (Pirih batuang ketek) Foto 9 Bambu kecil

Sumber: Pemilik Pengrajin Gerabah

Bambu kecil yang berukuran panjang 20 cm, berfungsi untuk mangusuak (menggosok) supaya permukaan gerabah lebih licin sekaligus untuk melihat batu-batu kecil yang terdapat dicetakan gerabah. Proses mangusuak juga disebut sebagai proses untuk merapikan permukaan gerabah. Jika tidak lakukan maka dalam proses pembakaran nanti, batu-batu kecil yang tersisa bisa membuat gerabah pecah serta berlubang-lubang, maka hal itu membuat pengrajin selalu memeriksa gerabah menggunakan bambu kecil, sebelum proses akhir dari pembuatan gerabah ini.


(11)

3.1.5. Batu kecil

Foto 10 Batu Kecil

Sumber: Pemilik Pengrajin Gerabah

Etek menceritakan semua peralatan tersebut, Etek senang bisa berbagi untuk menceritakan semuanya. Teringat kepada anaknya nanti seandainya bila anaknya sekolah perguruan tinggi kemudian juga akan melakukan penelitian, maka akan seperti yang dilakukan oleh penulis. Suatu saat pasti apa yang dilakukan ini akan mendapatkan balasan jadi sebagai manusia tidak boleh pelit untuk memberikan suatu informasi. Kemudian Etek mengambil batu kecil yang merupakan peralatan dari pembuatan gerabah, karena berukuran kecil Etek mencari-cari batu tersebut menceritakannya.

Batu kecil yang berukuran panjang 6 cm dan lebar 5 cm, yang berfungsi untuk mangusuak (menggosok) supaya terlihat licin, kebetulan batu dan bambu memiliki fungsi yang sama sehingga pengrajin tanah liat ada yang memiliki satu alat saja tetapi ada juga yang memiliki kedua alat tersebut


(12)

3.1.6. Seng Tipis (Pisau Gerabah)

Foto 11 Seng Tipis

Sumber: Pemilik Pengrajin Gerabah

Penulisberfikir bahwa peralatan yang digunakan sangat unik, sehingga seng tipis ini juga dibutuhkan sebagai peralatan dari gerabah. Seperti seng tipis ini. Bagi sebagaian orang itu tidak memiliki fungsi tetapi tidak bagi pengrajin gerabah di daerah Galogandang. Etek menjelaskan peralatan yang dipakai tidak semua susah didapatkan, tetapi ada juga yang mudah untuk mendapatkannya. Seng tipis ini salah satunya. Etek memang bisa menjadikan ini sebagai suatu alat yang bisa secara tidak langsung memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari.

Demi anak-anaknya, maka Etek bisa melakukan pekerjaan sebagai pengrajin supaya kebutuhannya tercukupi, meskipun keluhan sakit terjadi sekali-sekali. Seng tipis memiliki panjang 10 cm yang diatasnya terdapat lekukan seperti alat pemotong yang berguna untuk merapikan bibir-bibir bagian atas gerabah. Seng ini pengganti pisaunya gerabah, seng yang menjadikan gerabah terlihat rapi atau cantik.


(13)

3.1.7. Lapiak Pandan (Tikar)

Foto 12

Lapiak Pandan (Tikar)

Sumber: Pemilik Pengrajin Gerabah

Lapiak pandan (Tikar) ini memiliki ukuran lebih kurang panjang 20 cm dan lebar 10 cm, mempunyai fungsi untuk mambibia (membibir) supaya halus atau licin, sehingga gerabah kelihatan lebih cantik dan indah. lapiak atau tikar tidak harus yang baru, ada juga pengrajin yang bisa menggunakan lapiak atau tikar yang bekas.

“ lapiak ko indak ado dibali do, bisa dari barang-barang nan bekas ajo. Lapiak go ketek tapi fungsi nyo gadang, bisa manjadian bibia pariuk ko licin. Lapiak nan Etek punyo ko lah lamo”. Lapiak pandan ko di latak an dibibia sudah itu diputa se dibibia sampai nyo licin”. “ Tikar ini tidak dibeli, bisa dari barang-barang yang bekas saja. Tikar ini kecil tapi memiliki fungsi yang besar, bisa menjadikan bibir gerabah menjadi licin. Tikar yang Etek punya sudah lama”. Tikar dari pandan ini diletak kan dibibir gerabah kemudian dipur sampai terlihat licin”.

Setelah banyak cerita lapiak pandan ini merupakan peralatan yang terakhir dari pembuatan gerabah. Etek sungguh baik untuk mau menceritakan semua peralatan tersebut. Penulis mendapatkan informasi dan data yang lengkap dari


(14)

Etek Rina, dengan berat hati penulis berpamitan untuk pulang karena hari sudah sore dan hari pun sudah kelihatan mau hujan. Penulis mengatakan kepada Etek Rina bahwa terima kasih untuk informasinya, jika besok penulis kembali apakah Etek mengizinkannya, dengan senang hati Etek menjawab boleh, kapan pun kalau memang belum lengkap dengan data serta informasi bisa kembali lagi.

3.2. Proses Pembuatan Gerabah di Galogandang

Hari selanjutnya penulis melakukan penelitian, penulis pergi ke Galogandang dengan orang tua perempuan penulis. Dipanggil mama oleh penulis, beliau menemani penulis untuk penelitian, alasannya tidak mungkin jika untuk pergi ke daerah Galogandang itu sendirian. Menurut orang tua penulis jika daerah tersebut terlalu jauh, maka seharusnya harus ada teman untuk kesana , supaya nanti dijalan jika terjadi apa-apa maka ada yang menolongnya. Gerabah yang terdapat di Galogandang merupakan gerabah tradisional. Hal ini dikarenakan cara pembuatan serta alat yang digunakan masih tradisional dan turun-temurun. Proses pembuatan gerabah sangat unik yaitu mengandalkan alat seadanya serta kelincahan tangan pengrajin itu sendiri. Proses pembuatan gerabah diawali dengan pengolahan bahan baku sebagai berikut:


(15)

3.2.1. Pengolahan Bahan Baku

Foto 13

Bahan Baku yang ditumpuk

Sumber: Dokumen Pribadi 2016

Sebelum melakukan pengolahan tanah yang dalam bahasa Minang disebut mahinja tanah. Tanah sudah ditumpuk didepan lokasi pembuatan, supaya persediaan dari bahan baku untuk membuat gerabah banyak. Sesuai dengan pengamatan dan wawancara dilakukan penulis dalam penelitian ini, bahwa gerabah di Galogandang umumnya memanfaatkan tanah liat, pasir dan air. Tanah liat yang dipakai merupakan tanah liat yang terdapat di sawah setelah panen padi dan tanah liat yang terdapat dipinggir perbukitan yang ada disekitar daerah tersebut. Tanah liat jenis ini memiliki warna kecoklatan. Pengrajin yang bernama Bu Rina mengatakan bahwa:

“Tanah liek yang banyak ko iyo di Galogandang, tanah yang rancak adolah tanah sawah dan tanah yang ado di tapi bukik. Tanah biasonyo diambiak sakali 6 (anam) bulan, yaitu pado maso panen padi urang disiko. Tanah disawah di ambiak kedalaman sekitar 1 meter sampai 1,5 meter atau sampai labiah dari ukuran itu, istilahnyo sampai tanah ko dapek yang lieknyo. Biasonyo babuek galian dalam bantuak petak. Biasonyo etek mambiak tanah ko disawah urang, dikaranokan etek indak punyo sawah. Masa panen urang disiko pun kan babeda-beda jadi bisa mambiak tanah di tampek sawah urang yang babeda panennyo, tu jadinyo ndak akan kurang tanah.


(16)

Tanah yang etek ambiak di sawah lah banyak, rato-rato disawah tu kadang lah sadonyo tampek yang samo diambiak gai, tapi jarak waktunyo lah lamo. Kalau pun mambiak tanah urang yang punyo sawah pun indak ado masalah untuk tanah yang etek ambiak, malah kadang disuruahnyo karano sawah yang sudah diambiak tanah liek ko padi ditanam sasudahnyo akan rancak atau banyak penghasilannyo. Jadi indak sembarang tanah yang akan diambiak harus tanah liek yang rancak. Tanah selain tanah liek indak bisa dibantuak dan sahinggo indak akan manjadi pariuk”.

“Tanah liat memang banyak terdapat di daerah Galogandang, tanah yang bagus untuk membuat gerabah adalah tanah yang terdapat disawah. Biasanya tanah diambil sekali 6 (enam ) bulan yaitu pada masa setelah panen padi. Pengambilan tanah disawah dilakukan dengan cara penggalian dengan kedalaman sekitar 1 meter samapai 1,5 meter atau sampai lebih dari ukuran tersebut yang penting sampai menemukan tanah yang liat. Biasanya dibuat galian dengan bentuk petak (persegi). Etek ini mengambil tanah liat di sawah orang lain, lantaran dia tidak memilki sawah. Masa panen masyarakat Galogandang juga berebeda-beda jadi etek ini tidak mengalami kekurangan tanah selalu mendapatkan tanah apabila persedian tanah di rumah sudah habis maka tanah akan diambil lagi di sawah tersebut. Tanah yang diambilnya sudah banyak, rata-rata sawah yang ada disana sudah pernah dia ambil kadang pada satu tempat yang sama tapi sudah memiliki jarak waktu yang lama”

Pasir yang digunakan sebagai bahan campuran untuk membuat gerabah yaitu pasir yang terdapat di sungai, tetapi pengrajin di Galogandang tidak mengambil di daerah mereka karena tidak adanya pasir. Pada zaman dahulu masyarakat disana mengambil kesungai di sekitar daerahnya tetapi sekarang membelinya dari tukang bangunan dengan harga Rp 800.000 per truk kecil. Pasir yang digunakan untuk campuran gerabah ini yaitu pasir halus jadi sebelum melakukan pengolahan maka Pasir tersebut terlebih dahulu harus disaring untuk memisahkan pasir halus dengan yang kasar serta batu-batu yang terdapat didalam pasir.


(17)

Tanah liat dan pasir halus di aduk merata dengan cara memijak/memasak, dalam bahasa minang biasa disebut pengrajin dengan mahinja-hinjatanah, agar tanah dan pasir tercampur rata maka diberi sedikit air. Percampuran antara tanah dan pasir harus sesuai. Menurut informan penulis pekerjaan ini agak sulit, karena harus memiliki tenaga yang kuat. Pencampuran tanah dengan pasir membutuhkan waktu kurang lebih satu jam, supaya bahan tersebut tercampur dengan rata. Oleh sebab itu hal ini tidak boleh dilakukan secara sembarangan, jika tidak sesuai maka bahan baku yang dihasilkan tidak bisa dibentuk. Salah satu informan mengatakan bahwa :

“Karajo paliang susah mahinja tanah ko, tu karajonyo barek lo, namonyo se mamijak-mijak sampai sadonyo tacampua, karajo bisa sampai satangah jam. Tekadang panek kaki etek dek nyo, tapi baa lah kalau indak dikarajoan beko ndak bisa mambuek pariuk ko. Awak harus tau takaran antara tanah, pasia jo aie kalau indak nyo indak bisa dibentuk, tu pas dibuek ratak-ratak atau bisa jadi pacahnyo, biasonyo tanah ko dimasak banyak-banyak dan beko lai tingga mancetak se lai”.

“Kerja yang paling susah itu adalah mahinjak (memasak) tanah liat. Pekerjaan yang berat, dikerjakan sampai semua tercampur rata dan pekerjaan tersebut bisa sampai setengah jam. Terkadang kaki etek terasa capek untuk melakukan pekerjaan ini. Tetapi gimana lagi pekerjaan ini harus dilakukan kalau tidak maka tidak akan bisa membuat gerabah. Kita harus mengetahui takaran antara tanah dana pasir serta air yang akan dicampur, kalau tidak maka akan susah dibentuk atau cetakan mudah pecah. Biasanya tanah dimasak sekali banyak agar tanah tertumpuk dan tinggal mencetaknya saja”.

Setelah bahan tersebut tercampur maka didapatlah bahan baku yang siap untuk dicetak, maka tahap selanjutnya adalah pembentukan bahan baku yang sudah tercampur rata menjadi bahan baku yang sudah jadi.


(18)

Foto 14

Bahan baku yang sudah di masak

Sumber: Dokumen Pribadi 2016 3.2.2. Proses Pembentukan Bahan Baku yang Sudah Jadi

Penulis melakukan penelitian selanjutnya dengan teman penulis yaitu Windy, Windy mau menemani penulis karena Windy juga belum pernah ke daerah Galogandang, maka ada perasaan tertarik untuk pergi ke daerah tersebut, dimana Windy hanya pernah mendengar tentang daerah itu, jika Galogandang sebagai tempat pengrajin gerabah, jika melihat secara langsung windy belum pernah sama sekali. Perjalanan penulis lakukan pada jam 08.00 WIB, karena selain melakukan wawancara tentang proses pembuatannya juga akan melihat Pacu Jawi yang pada hari itu akan dilaksanakan penutupan dari acara tersebut. Jika tidak cepat maka waktu tidak akan cukup.

Penulis pergi menuju Galogandang menggunkan kendaraan beroda dua, sampai disana ternyata banyaknya masyarakat setempat dan masyarakat luar daerah Galogandang untuk melihat Pacu Jawi penulis melihat suasana pada pagi itu semua orang terlihat gembira. Didalam perjalanan menuju rumah informan


(19)

penulis melihat sekelompok orang sedang memainkan alat musik tradisional Minangkabau yaitu Talempong pacik, sejenak penulis berhenti untuk menyaksikannya serta mengambil foto-foto dari pemain musik tersebut. Setelah itu barulah penulis mendatangi rumah ibu Yurnalis yang merupakan informan penulis. Tampak dari kejauhan kalau ibu Yurnalis sedang membuat gerabah dan dilihat oleh tetangganya, tidak ada rasa malu-malu penulis menghampirinya kemudian dengan mengucapkan salam penulis duduk dekat ibu Yurnalis sambil melakukan wawancara dan mengambil foto-foto.

Penulis memperhatikan tempat serta bahan-bahan yang berada di sekitar ibu Yurnalis, tempat untuk ibu Yurnalis bekerja disekelilingnya dipenuhi dengan tanah dan pasir. Ibu Yurnalis bekerja didepan rumahnya, jika bekerja didepan rumah dapat terlihat oleh pembeli atau peminat dari gerabah ini. Bahan-bahan yang terdapat disekelilingnya satu ember air yang berwarna coklat dan satu onggok tanah yang terbungkus dengan plastik. Menurut ibu Yurnalis jika tanah ini tidak ditutup maka tanah akan cepat kering, hal itu akan susah untuk dibentuk jika sudah terjadi maka ibu Yurnalis akan memberi sedikit air supaya akan lebih lunak. Selain tanah dan pasir juga terdapat papan yang panjang ternyata papan tersebut berguna untuk duduk ibu Yurnalis untuk membuat gerabah, posisi duduk yang kakinya memanjang dan dialasi dengan karung goni diatas paha sampai kaki berfungsi untuk menutupi supaya pakaian yang digunakan tidak kotor oleh tanah liat. Tidak ada terlihat rasa capek diwajahnya, dengan penuh ketekunan beliau menyelesaikannya. Ibu Yurnalis hanya berkata untuk bagaimana untuk cepat siap menyelesaikan pesan dari pelanggannya. Wawancara dilakukan penulis, sambil melihat-lihat suasana sekitar:


(20)

Proses pembuatan gerabah di daerah Galogandang dilakukan berbagai bentuk, salah satunya proses yang akan penulis paparkan. Penulis memaparkan sesuai dengan proses yang dilakukan oleh informan penulis. Dari setiap proses pembuatan penulis melihat adanya hal yang berbeda yang dilakukan oleh para pengrajin, karena setiap pengrajin memiliki caranya masing-masing meskipun bentuk yang akan dibuat sama. Setelah bahan sudah jadi maka tahap selanjutnya adalah mencetak. Pencetakan bahan ini menggunakan alat-alat pembuat gerabah. Pada tahap awal dalam mencetak gerabah digunakan rotan yang berbentuk lingkaran

3.2.2.1. Menempelkan Tanah Liat pada Rotan yang Berbentuk Lingkaran Foto 15

Proses Awal dari Pembentukan Gerabah

Sumber: Dokumentasi pribadi 2016

Sambil bekerja informan menjelaskan tahap-tahap pembuatan gerabah, dengan perasaan yang senang beliau menjelaskannya.

“Karajo mambuek pariuk ko dilakukan sajak pagi sampai sanjo, malam harinyo ambo pai ka masajik, pagi-pagi sabalum mambuek pariuk ko maagiah motif dulu sambia minum teh. Iko lah karajo ambo satiok hari, dari pado duduak-duduak rancak mambuek pariuk ko”.


(21)

“Pekerjaan membuat gerabah ini dilakukan pada pagi hari sampai sore, malam harinya pergi ke mesjid. Pagi-pagi sebelum membuat gerabah ibu Yurnalis memberi motif sambil minum teh”. Pekerjaan inilah yang dilakukan oleh ibu Yurnalis setiap hari. Dari pada duduk-duduk lebih baik membuat gerabah.”

Tangan yang sudah mulai keriput ibu Yurnalis masih tetap semangat untuk membuat gerabah demi memenuhi kebutuhan sehari-hari. Kekaguman penulis kepada ibu Yurnalis dengan umur yang tidak muda lain, dapat menyelesaikan gerabah dengan waktu yang cepat. Sambil membuat gerabah ibu Yurnalis menceritakan prosesnya secara satu pesatu.

Cara ini merupakan bagian awal dari pembentukan tanah liat menjadi sebuah gerabah. Tanah liat diambil sesuai besar gerabah yang akan dibuat setelah itu dibulatkan kemudian dipipihkan dan ditempelkan pada rotan yang berbentuk lingkaran tersebut, yang nantinya dibentuk menjadi mulut wadah gerabah tersebut. Jika tidak menggunakan rotan maka gerabah tidak sama, maka terlihat tidak bagus.


(22)

3.2.2.2. Membentuk Gerabah

Foto 16

Proses Pembentukan Gerabah

Sumber: Dokumentasi Pribadi 2016

Tangan yang sangat lincah dapat menghasilkan gerabah yang cantik, lekukan-lekukan dalam membentuk hanya dengan tangan ini membuat gerabah yang awalnya datar kemudian lama-lama diperdalam dengan tangan sehingga membentuk cekungan. Ibu Yurnalis tahu betul berapa ukuran kedalaman dari gerabah tersebut, beliau tidak perlu terlalu banyak untuk melakukan pengulangan dalam mengerjakannya.


(23)

3.2.2.3. Melicinkan Gerabah

Foto 17

Proses Melicinkan Gerabah

Sumber: Dokumentasi Pribadi 2016

Memasuki tahap selanjutnya ibu Yurnalis tiba-tiba masuk ke dalam rumahnya untuk menunjukkan bahwa ada gerabah yang nanti pulang bisa penulis bawa pulang, dengan cepat ibu Yurnalis mencari gerabah tersebut, setelah lama mencari ternyata gerabahnya tidak ketemu. Padahal beliau tahu persis jika gerabah itu masih ada, gerabah tersebut merupakan sisa penjualan kepada pelanggan kemaren, ditanyakan kepada anaknya ternyata tidak ada menujalnya. Entah kemana gerabah tersebut menghilang. Gerabah yang sudah dibentuk kemudian bagian dalamnya akan dilicinkan menggunakan batu kecil, supaya gerabah tersebut terlihat licin serta bagus. Batu secara perlahan-lahan digosokkan ke dalam gerabah, kalau tidak gerabah akan pecah.


(24)

3.2.2.4. Memotong Pinggir Gerabah

Foto 18

Proses Melicinkan Bibir Atas Gerabah

Sumber: Dokumentasi Pribadi 2016

Pekerjaan selanjutnya yaitu memotong pinggir gerabah, sedang enak memotong beliau dipanggil oleh seorang ibu, apakah beliau akan pergi tempat Pacu Jawi. Beliau menjawabnya dengan senyuman sambil mengatakan kalau acara tersebut tidak membuat beliau tertarik. Setelah ibu itu pergi beliau berkata kepada penulis lebih bagus menyelesaikan gerabah ini ada untungnya dari pada itu tidak ada untung, karena yang dilihat hanya sapi yang berlari. Pekerjaan ini harus diselesaikan dengan sesegera mungkin karena merupakan pesanan dari langgananya, dan pekerjaan ini sudah memiliki janji kepada pelanggan untuk cepat selesai. Supaya pelanggan tidak kecewa beliau berusaha cepat untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Memotong pinggir atas bagian gerabah dengan menggunakan besi kecil atau bisa sekilas dilihat pisau gerabah. Hal ini dilakukan agar bagian pinggir atas rata, sehingga tidak terlihat tonjolan-tonjolan, yang akan memudahkan untuk memberi bibir.


(25)

3.2.2.3. Malangiah (memukul-mukul) Foto 19 Malangiah

Sumber: Dokumentasi pribadi 2016

Waktu tahap ini penulis sedikit terkejut dengan ibu Yurnalis yang sangat bisa memainkan papan, sehingga papan yang dipukul ke permukaan gerabah tidak menyebabkan gerabah hancur. Seolah-olah pukulannya menjadikan gerabah lentur dan mengikuti tangan serta pukulan kayu. Ibu Yurnalis menjelaskan bahwa karena kayu inilah yang mempercantik gerabah.

Melangiah atau memukul-mukul merupakan tahap kedua dari proses pembuatan gerabah. Melangiah dilakukan dengan menggunakan tangan yang terampil sehingga gerabah dapat dibentuk sesuai dengan keinginan pengrajin.


(26)

3.2.2.4. Mangusuak ( Mengusuk)

Foto 20

Mangusuak Gerabah

Sumber: Dokumentasi Pribadi 2016

Penulis melihat proses mangisa ini seperti memainkan musik rabab yang dilihat dari cara ibu Yurnalis menggunakan benda tersebut. Mengusuk proses selanjutnya, setelah gerabah sudah mulai terbentuk maka gerabah tersebut akan dilicinkan menggunakan bambu kecil (pangisa). Setelah gerabah terbentuk maka gerabah tersebut akan dilicinkan menggunakan bambu kecil (pangisa) agar licin dan membuang batu-batu yang terdapat di gerabah agar gerabah mempunyai kualitas yang baik serta tidak mudah pecah.

3.2.2.4. Mambibia/ Maupam (membibir)

Proses memberi bibir ini dilakukan setelah semua gerabah dicetak dan dijemur dibawah panas matahari kemudian proses selanjutnya gerabah diberi bibir agar gerabah kelihatan lebih sempurna. Menurut saya memberi bibir ini merupakan proses yang hebat karena pengrajin bisa mengetahui berapa besar ukuran serta bentuk gerabah yang akan diberi bibir. Semua ukuran bibir dari gerabah yang dibuatnya sama, sehingga terlihat indah dari semua gerabah yang ada.


(27)

3.2.2.5 Pemberian motif atau ragi Gerabah

Saat informan sedang istirahat untuk sholat dan makan, penulis berfikir sebaiknya setelah beliau selesai maka penulis akan menanyakan tentang pemberian motif pada gerabah. Tiba-tiba ibu Yurnalis keluar dari rumah, kemudian beliau menjelaskan mengenai motif pada gerabah.

“Ukiran yang ado di pariuk tu ambo karajoaan satelah sholat shubuah biasonyo, kalau malam ambo indak bakarajo do, pai ka masajid samo istirahat gai. ukiran tu pakai batu senyo juo indak lo karajo yang sulik do. Baagiah motif du nyak rancak, urang nan mambali tatarik lo jadi nyo”.

“ukiran yang ada pada gerabah dikerjakan setelah sholat shubuh biasanya, jika malam ibu Yurnalis tidak bekerja, pergi ke Masjid sama istirahat. Ukiran itu menggunakan batu, tidak merupakan pekerjaan yang sulit. Memberi motif membuat cantik, sehingga orang yang membeli akan tertarik”.

Pemberian motif atau ragi untuk menambahkan nilai seni pada gerabah. Terdapat berbagai macam bentuk dalam pemberian motif pada gerabah, ada yang berbentuk bunga, garisan-garisan dan lain-lain, kebanyakan dari motif yang dibuat berupa garisan-garisan atau sesuai dengan produk gerabah yang dibuat. Memberi motif atau ragi biasanya menggunakan batu kecil. Pemberiannya dilakukan setelah semua sudah selesai dijemur dan siap untuk dibakar. Biasanya dilakukan pada pagi atau malam hari sesuai dengan keinginan pengrajin itu sendiri. Hal tersebut merupakan kreativitas dari pengrajin gerabah.

Sebagaimana diketahui menurut Home Affairs (dalam Suryana 2013:46) menjelaskan bahwamodal budaya dimiliki oleh setiap bangsa bahkan perusahaan secara turun-temurun. Modal itu terdiri dari nilai-nilai, orientasi, kebiasaan, adat-istiadat, dan bentuk lain dari budaya. Modal budaya juga bisa berupa kesenian, pertunjukkan, film, drama, lukisan, dan bisa dalam bentuk hasil karya atau dalam


(28)

bentuk cagar budaya-heritage. Modal budaya adalah modal dasar yang sudah dimiliki oleh industri, terutama industri kecil dan industri lokal yang tersebar di seluruh pelosok tanah air.

Keanekaragaman-kebinekaan, seperti etnis, suku, adat, nilai-nilai, warisan budaya, dan bahasa yang tersebar diberbagai daerah merupakan dasar ekonomi kreatif. Semua modal budaya dan kebinekaan ini masih perlu dikelola (manage) secara kreatif sehingga dapat menciptakan kakayaan batu, seperti kesempatan kerja, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakatnya. Supaya bernilai ekonomi tinggi, modal dasar budaya dan kebinekaan perlu dikolaborasikan, dikombinasikan, dipelihara, dan dikembangkan. Untuk mengelola dan mengembangkannya, selain diperlukan pendidikan, kecakapan, dan pengalaman, juga diperlukan pemahaman tentang pentingnya kebinekaan sebagai modal sebagai modal dasar ekonomi kreatif yang bernilai ekonomi tinggi, bernilai nasionalisme, dan bernilai kesejahteraan.

Modal budaya yang digunakan oleh pengrajin gerabah adalah kretivitas. Menurut salah seorang informan penulis, kreatifitas itu merupakan kemampuan seseorang dalam membuat suatu karya baru atau dengan kata lain, kreativitas adalah kemampuan seseorang dalam membuat suatu karya yang berbeda dari yang pernah ada sebelumnya sehingga menjadi terlihat lebih baru. Dalam hal ini beliau membuat berbagai macam bentuk kerajinan gerabah dari tanah liat dengan ide yang beliau miliki agar lebih lebih menarik konsumen.

Berbagai bentuk kerajinan pariuk (balango), tagendang ameh, kuali, menggu, dulang api, pariuk barasan, gucci, ceret, gelas, tempat serabi, carano, asbak, dan lainnya. Pengrajin juga berusaha menciptakan inovasi-inovasi baru.


(29)

Selain dapat mengasah kreatifitasnya, hal tersebut juga dilakukan agar para pelanggannya tidak jenuh dengan produk-produk yang dihasilkan. Oleh karena itu, dalam beberapa bulan mereka berusaha untuk memunculkan design-design baru, tampilan baru, bentuk baru, dan lain sebagainya.

3.2.3 Proses Penjemuran Gerabah

Foto 21

Proses penjemuran gerabah

Sumber: Dokumentasi Pribadi 2016

Hari sangat cerah, penulis sampai di Galogandang sekitar jam 12.00 WIB. Penulis melihat di tempat lahan yang kosong hanya terdapat banyak tumpukan kayu, tumpukan jerami dan bekas-bekas pembakaran. Disana terdapat seorang ibu yang sedang menjemur gerabah, penulis menghampirinya, dengan rasa agak takut datang kesana karena terlihat wajahnya yang sedikit agak merengut, penulis berfikir jika wajah ibu tersebut merengut mungkin karena hari panas atau karena malas untuk ditanya-tanya.

Penulis mengucapkan salam kemudian meminta izin kepadanya untuk melihat proses pembakaran dari gerabah ini. Senyuman yang lebar kemudian ibu


(30)

tersebut mengizinkan dan mulai bertanya-tanya mengenai sekolah dan kegunaan dari melihat proses penjemuran dan pembakaran gerabah ini. Secara tiba-tiba keluar dari pondok didekat penjemuran itu tiga orang ibu-ibu, dua orang masih belum tua, dan satu orang sudah memasuki usia tua. Penulis bertanya kepada ibu tersebut mengapa orang menjadi ramai datang ke sini, ibu-ibu menjelaskan jika semua ibu-ibu disini bersaudara dengan hubungan adik dan kakak, kemudian yang lebih tua itu merupakan orang tuanya.

Didalam kegiatan ini terlihat kekompakan dari adik-kakak ini, mereka saling membantu, tidak membiarkan untuk mengerjakan dengan sendiri. Penulis sangat memperhatikan mulai dari penjemuran sampai proses pembakaran gerabah. Semua yang penulis lihat bahwa setiap hubungan tali darah pasti saling tolong-menolong. Penulis melihat dari masing-masing adik-kakak itu memiliki karakter yang berbeda, ada yang lembut dan ada juga yang keras. Tapi hal itu tidak membuat mereka mengabaikan perasaan tolong-menolong. Ibu-ibu tersebut memberikan informasi yang banyak kepada penulis. Setelah selesai menunggu penjemuran gerabah selesai, kemudian gerabah siap untuk diangkat ketempat tungku pembakaran. Penulis ikut membantu untuk mengangkat gerabah tersebut ke atas tungku. Panas matahari sangat terik tidak menyurutkan penulis untuk berdiam diri.

Gerabah yang siap dicetak memasuki tahap selanjutnya yaitu proses penjemuran. Penjemuran dilakukan dalam jumlah yang banyak supaya bisa dibakar dalam jumlah yang banyak juga. Masyarakat Galogandang biasanya menjemur gerabah pada saat hari cerah atau panas matahari yang terik supaya penjemuran gerabah bisa kering secara sempurna. Masyarakat menjemurnya yaitu


(31)

pada tempat lahan yang kosong, seperti depan rumah dan dipinggir jalan, biasanya pengrajin menggunkan tempat yang besar untuk melakukan penjemuran, mengapa demikian karena gerabah yang akan dibakar dalam jumlah yang banyak, sehingga gerabah dapat ditata satu persatu bukan dengan berhimpitan.

Proses penjemuran ini bisa dilakukan sehari sebelum pembakaran dan jika matahari terik bisa juga dilakukan sebelum mulai pembakaran pada hari itu. Kebanyakan pengrajin melakukan pembakaran pada siang hari. Proses penjemuran termasuk proses yang penting karena gerabah yang tidak kering dengan sempurna, maka akan dikeringkan dalam proses pembakaran. Menurut salah satu informan penulis mengatakan bahwa :

“Jikok hari acok hujan, manjamua nyo akan taganggu otomatis ndak bisa manjua pariuk-pariuk yang lah disiap dicetak. Awak akan taruih hiduik, dan akhirnyo ndak ado pitih untuak balanjo jadi e pai maminjam pitih urang”. “Jika hari sering hujan maka proses penjemuran akan terganggu, sedangkan kita masih tetap menjalankan kehidupan, dia meminjam uang kepada masyarakat yang lain untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari”.

Selama proses penjemuran memang banyak yang diceritakan oleh pengrajin, seputar kehidupan dan gerabah itu sendiri. Informan mengatakan kepada informan lebih baik bekerja dikantor dari pada berpanas-panas seperti ini. Memang dahulunya kami pergi merantau, tetapi karena nasib kami semua pulang kampung, untungnya orang tua kami sudah memberi ilmu tentang bagaimana cara membuat gerabah, sehingga saat pulang dari kampung, dan menetap disini perasaan canggung tidak ada lagi. Sekarang kami semua sudah pandai membuat gerabah. Keasyikan bercerita hari sudah jam 13.00 WIB, ibu tersebut membawa penulis untuk istirahat, kemudian mengajak kedalam pondoknya, yang ternyata didalam pondok tersebut terdapat banyak gerabah. Disetiap sudut ditemukan


(32)

berbagai jenis gerabah mulai dari kecil sampai yang besar. Penulis ikut beristirahat disana, tiba-tiba nenek Rasina makanan dan air minum. Penulis berfikir jika penyambutan dari pengrajin ini sangat baik, sehingga pengrajin merasa malu, belum apa-apa sudah ditawarkan makanan.

3.2.4 Proses Pembakaran Gerabah

Proses pembakaran merupakan proses akhir dari pembuatan gerabah. Proses ini membutuhkan waktu lebih kurang sekitar empat jam, pada saat dilakukan pembakaran biasanya pengrajin tidak membuat gerabah. Satu hari hanya dilakukan untuk proses penjemuran dan pembakaran. Pembakaran dilakukan pada tempat yang luas, jika luas maka pembakaran akan lebih muda untuk dilakukan dan mengurangi bahaya dari pembakaran itu sendiri. Memang dari proses awal yaitu mengumpulkan bahan-bahan untuk dibakar. Pengrajin memakai kayu dan bambu yang diperoleh di hutan sekitar Galogandang. Pekerjaan mencari bahan-bahan untuk dibakar ada sebagian pengrajin dibantu oleh suaminya dan ada juga pengrajin hanya melakukan pekerjaan itu sendiri. Ada juga pengrajin Galogandang yang melakukan proses pembakaran saling membantu dengan pengrajin gerabah yang lain, yaitu pada saat pengangkatan gerabah, penulis melihat meskipun sibuk dengan pekerjaan masing-masing, tetapi pada saat kesulitan mereka biasa saling membantu. Tahap-tahap dari proses Pembakaran dilakukan dengan cara sebagai berikut :

3.2.4.1. Mengumpulkan Bahan-Bahan untuk Proses Pembakaran Foto 22


(33)

Sumber: Dokumentasi Pribadi 2016

Keesokan harinyapenulis melakukan penelitian melihat pembakaran dari awal sampai akhir, kemaren tidak melihat sampai akhir dan memiliki kendala karena penulis tidak membawa alat perekam. Hari ini melakukan penulis membawa lengkapa dari alat yang dibutuhkan sebagai penelitian, supaya tidak berhalangan dari mengambil gambar serta wawancara. Beruntung pada hari ini penulis menemukan pengrajin yang akan melakukan proses pembakaran gerabah, penulis berfikir bahwa susah untuk mencari pengrajin yang akan membakar gerabah. Menurut pengrajin yang ada disana proses pembakaran dilakukan jika


(34)

gerabah-gerabah sudah banyak, maka pembakaran akan dilakukan. Hati yang cemas penulis menelusuri perkampungan di Galogandang.

Sekitar jam 12.00 siang penulis berjalan terus sehingga dari kejauhan penulis melihat dipinggir jalan terdapat tutup gerabah yang berjejer di tengah panas terik matahari, penulis mendekati gerabah tersebut, tiba-tiba dibelakang terdapat seorang pengrajin yang sedang membolak-balikkan gerabah supaya gerabah kering dengan sempurna. Penulis menghampiri ibu tersebut dan bertanya apakah disini nantinya akan melakukan proses pembakaran. Ibu tersebut menjawab iya, dengan banyak pertanyaan kepada saya ibu itu mengizinkan saya untuk melihatnya. Di dalam hati penulis sangat senang karena mendapatkan informan pengrajin gerabah yang sedang melakukan proses pembakaran sekaligus bisa mendapatkan informasi seputar gerabah. Ternyata ibu itu tidak sendirian, beliau berdua dengan ibu Ras, yang merupakan tetangganya. Mereka memang saling bekerja sama karena tenaga dari ibu Sabai tidak terlalu kuat lagi maka kerja sama dengan ibu Ras sangat membantu, sehingga menjadikan mereka saling bekerja sama. Kemudian memiliki aturan-aturan dan pembagian dari masing-masing hubungan kerjasama ini.

Kesepakatan dari mereka berdua ibu Sabai yang banyak memiliki tanah serta tempat yang luas untuk membuat gerabah, maka ibu Ras sebagai mahinja tanah pekerjaan yang agak susuah sehingga pekerjaan tersenut dikerjakan oleh ibu Ras selain faktor itu faktor lainnya adalah umur dari ibu Sabai lebih tua dari pada ibu Ras, maka dari itu tenaga dari ibu Sabagai mahinja tanah tidak kuat lagi, pekerjaan tersebut diserahkan sepenuhnya kepada ibu Ras. Pekerjaan yang


(35)

dilakukan oleh ibu Sabai membuat gerabah serta menolong untuk menjemur dan membakar gerabah. Selain itu semuanya dilakukan oleh ibu Ras.

Menjelang penataan gerabah di atas tungku pembakaran, Ibu Ras mengumpulkan bahan untuk dibakar seperti kayu, jerami dan sabut. Bahan ini digunakan dalam jumlah yang banyak. Semua pekerjaan tersebut dikerjakan oleh ibu Ras. Beliau merupakan seorang perempuan yang gigih. Bahan-bahan untuk pembakaran didapatkan di belakang rumah ibu Ras. Pada gambar terlihat ibu Ras sedang membelah sabut menjadi bagian-bagian kecil. Jerami basah dengan jerami kering dipisahkan agar ketika menata di atas tungku tidak susah. Disini terjadi wawancara penulis dengan ibu Ras mengenai cerita lahan pembakaran

Pembakaran dilakukan dengan cara tradisional yang dilakukan dalam satu hari. Sekali proses pembakaran menghabiskan waktu selama 4 jam. Bahan-bahan untuk pembakaran tersebut adalah kayu, bambu, jerami, sabut, minyak tanah, sekam (kulit padi), pelepah pohon kelapa dan korek api. Setelah bahan dikumpulkan proses awal dimulai dari persiapan tungku yang terbuat dari kayu atau bambu Proses menata kayu dan bambu menjadi bentuk persegi. Kemudian sabut kelapa yang sudah dibelah menjadi kecil akan diletakkan diatas tungku.


(36)

3.2.4.2. Penataan Gerabah Diatas Tungku Pembakaran Foto 23

Proses Penataan Gerabah Diatas Tungku Tradisional

Sumber: Dokumentasi Pribadi 2016

Penulis membantu pengarajin tersebut mengangkat gerabah ke atas tungku pembakaran, karena penulis berpikir untuk mendapatkan sesuatu maka harus ada yang diberikan. Penulis hanya mengambil gerabah dari penjemuran dan mengangkat ke pembakaran, karena penulis belum pandai menata gerabah di atas pembakaran. Penulis khawatir tidak pas dalam penataan gerabah sehingga dapat mengakibatkan gerabah pecah. Menurut informan penulis sebagai berikut:

“Maotok gerabah ko iyo harus bapandai-pandai, karajo nyo harus baelok-elok an, kalau indak beko nyo mudah ratak, kalau lah ratak jadinyo rugi. Salain itu malatakan nyo harus taiisi sado tungku nyo tu, indak ado yang tasiso, supayo api yang mambakanyo marato pulo.

“Menata gerabah ini harus mahir., pengerjaannya harus dengan hati-hati, jika tidak gerabah akan mudah retak, jika sudah retak dapat menimbulkan kerugian. Selain itu meletakkan gerabah di atas pembakaran harus terisi penuh semua tungkunya, tidak boleh ada yang kosong atau tersisa, agar api yang membakarnya juga merata”.

Menata gerabah diatas pembakaran dengan hati-hati, disusun serapi mungkin supaya dalam proses pembakaran dia tidak hancur, sehingga gerabah


(37)

yang dibakar masih tetap utuh dan terbakar secara sempurna, jika hancur maka akan mengakibatkan kerugian, karena kalau sudah retak atau pecah maka gerabah tidak bisa digunakan lagi.

3.2.4.3. Penyusunan Jerami

Foto 24

Pemberian Jerami Pembakaran

Sumber: Dokumentasi Pribadi 2016

Jerami yang sebelumnya sudah ditumpuk dan dipisahkan antara yang basah dan yang kering akan ditutupkan ke tungku pembakaran. Jerami kering diletakkan terlebih dahulu agar api cepat membakar, kemudian ditambahkan jerami lembab agar api yang membakar tahan. Hal ini dilakukan dalam beberapa lapis, dan yang terakhir diletakkan jerami kering. Jerami ini diletakkan di sekeliling tungku. Setelah itu di tambahkan kayu di atas tumpukan jerami agar tidak diterbangkan angin.

Tahap selanjutnya jerami akan disusun disekeliling tungku pembakaran gerabah, jerami yang digunakan jerami kering dan jerami yang agak lembab. Jerami kering digunakan untuk lapisan dalam dan jerami basah digunakan untuk lapisan luar dalam proses pembakaran. Jerami digunakan sampai tertutupi semua keliling tungku pembakaran. Jerami tidak hanya untuk menutupi disekeling tapi


(38)

juga sebagai penutup diatas gerabah. Mengapa jerami yang digunakan supaya api yang bertahan lama dalam proses pembakaran.

3.2.4.4. Menyalakan Api

Foto 25

Menyalakan Api Pembakaran Gerabah

Sumber: Dokumentasi pribadi 2016

Setelah penataan dan menutup gerabah dengan jerami sehingga terlihat seperti tumpukan sampah yang besar maka dibawahnya akan disisakan sedikit lubang untuk tempat menyalakan api dengan menggunakan daun kelapa kering ditambah sedikit minyak tanah. Setelah api dinyalakan dan membakar sabut dan jerami, maka akan timbul banyak asap. Sementara itu penulis dan pengrajin tersebut pindah tempat. Disaat penulis melakukan penelitian, cuaca dalam keadaan yang tidak menentu, terkadang angin sehingga api tidak stabil, kadang membesar. Selama proses pembakaran api harus selalu diperhatikan dan jerami juga harus ditambah agar panas yang berasal dari api tetap merata.

Menyalakan api menggunakan sedikit minyak tanah yang disiram di daun kelapa yang sudah kering. Api dipastikan tetap hidup tidak besar dan tidak juga


(39)

kecil atau mati. Sementara sedang menunggu pembakaran ibu-ibu bercerita-cerita bisa juga melakukan kegiatan yang lain.

3.2.4.5. Mengangkat Gerabah dari Pembakara Foto 26

Pengangkatan Gerabah Setelah Dibakar

Sumber: Dokumentasi Pribadi 2016

Sambil menunggu pembakaran selesai, pengrajin dan penulis bertukar informasi tentang gerabah tersebut. Pengrajin menjelaskan bahwa, memang Galogandang dari dulu penghasil gerabah, namun ada juga penghasilan yang dari daerah ini, seperti hasil tani padi, cengkeh, kayu manis. Banyak juga masyarakat Galogandang yang bertani, namun semenjak musim kemarau dan kekurangan air banyak petani yang gagal panen.

Setelah menunggu lama yaitu sekitar empat jam, maka akhirnya semua bahan-bahan pembakaran habis terbakar, kemudian pengangkatan gerabah akan dikeluarkan dari bara api sisa pembakaran. Pengangkatan bisa dilakukan dengan menggunakan kayu panjang supaya tidak terkena tangan karena masih dalam keadaan sedikit panas. Gerabah dipisahkan satu persatu, diusahakan


(40)

melakukannya dengan hati-hati supaya tidak pecah atau retak. Didalam proses pembakaran tahap akhir ini biasanya pengrajin ada yang menaburkan dedak dan ada juga yang tidak menaburkannya, sesuai dengan jenis gerabah yang dibuat. Jika gerabahnya berwarna merah maka itu ditaburkan dedak padi halus, begitu juga sebaliknya jika berwarna hitam maka tidak ditaburkan dedak padi halus. 3.3. Perkembangan Produk Gerabah di Jorong Galogandang

Galogandang merupakan daerah penghasil gerabah dari tanah liat. Pembuatan gerabah menggunakan peralatan yang sederhana dan menghasilkan produk yang memiliki nilai seni serta nilai guna bagi masyarakat. Gerabah yang dihasilkan sudah dari zaman nenek moyang (turun-temurun). Zaman dahulunya sebagian besar perempuan-perempuan di Galogandang bekerja membuat gerabah. Sebenarnya perkembangan gerabah di Galogandang sekilas terlihat memamg berkembang, tetapi dilihat dari segi produk serta cara pemasarannya masih belum terlalu ada inovasi baru. Dari segi yang lain yaitu pada pengrajin itu sendiri semakin sedikit peminat dari perempuan-perempuan di Galogandang yang bisa meneruskan usaha ini. Ada beberapa faktor yang mengakibatkannya. Menurut salah seorang informan penulis menjelaskan bahwa:

“ Dahulu urang disiko satiok rumah mambuek pariuk ko, tapi pada zaman kini banyak urang siko pai marantau, contohnyo se padusi yang indak tamat sakolah, tu nyo pai marantau dan padusi yang lah siap baralek tu nyo dibaok lo dek suaminyo pai marantau, jadi yang karajo dikampuang ko inda ado. Itu lah salah satu faktor pengrajin disiko ko kan habis lai”

“ Dahulunya orang disini disetiap rumah membuat gerabah ini, tetapi pada zaman sekarang banyak orang disini yang pergi merantau, contohnya saja perempuan yang tidak tamat sekolah pergi merantau dan perempuan yang sudah bersuami juga dibawa oleh suaminya merantau, kemudian yang kerja dikampung tidak ada.


(41)

Itulah salah satu faktor pengrajin di Galogandang akan habis”

Zaman dimana masih belum berkembang seperti sekarang ini, bentuk yang dihasilkan masih belum banyak, dari segi penjualan yang masih sederhana. Salah seorang informan penulis menjelaskan bahwa:

“ Ambo iyo dari ketek bisa mambuek ko, masalahnyo amak ambo dahulunyo bakarajo iko pulo, tu waktu amak sangkek gadih pai lah bajajo pariuk kaderah urang, painyo tu basamo-samo kawan nan samo gadang, pai kami malam sampai shubuah, pai kasinan bajalan disinan lah ado yang manunggu kami untuak mambiak barang, jadi kami kasinan pai maantaan galeh sajo nyo “

“Saya dari kecil bisa membuat periuk, masalahnya ibu saya bekerja ini juga, waktu amak remaja amak pergi berjualan gerabah kedaerah lain. Perginya secara bersama-sama dengan teman sebaya. Perginya malam hari sampai shubuh, pergi kesana dengan berjalan kaki dan disana sudah ada yang menunggu kami untuk mengambil barang dagangan. Kasana itu hanya pergi mengantarkan saja”

Zaman sekarang banyak yang sudah berkembang. Penjualan yang menjajakan dengan menggunakan rotan yang dibawa dengan kepala sudah tidak banyak lagi yang melakukannya. Mereka beralih menggunakan kendaraan bermotor. Dahulunya perempuan yang berjualan, sekarang sudah banyak yang laki-laki.

Perubahan teknologi semakin canggih, kebutuhan manusia juga semakin beragam, sehingga berbagai jenis atau bentuk dibutuhkan oleh masyarakat. Oleh sebab itu mulai banyaklah permintaan yang dipesan kepada pengrajin gerabah, kemudian cara penjualannya juga sudah semakin diperluas oleh penjual gerabah di Galogandang. Dijelaskan oleh informan penulis, bahwa:

“Kini jan ditanyo banyak amak yang mambuek jenis gerabah ko, dicaliak an contoh nyo dek urang yang nio mamasan, tu amak baraja mambuek nyo, tu baraja dan baraja alah bisa se tu, kalau dulu yo ndak banyak pesanan bantuak yang kini ko, hanyo pariuk itu ka itu se yang babueknyo. Dan amak wakatu dahulu pai bajajo ka


(42)

daerah urang, painyo salamo saminggu, ado namo daeranyo Lintau kasinan kami pai bajajo, amak samo kawan amak ciek lai taruih kami pai tu, lah siap kami mambuek tu takumpuan pai kami manjajo, amak baok lah pariuk tu sakaruang, bajujuang samo kapalo kalau lah tibo disinan dan ado lo yang balatak an dilapau urang disinan. Itu lah kapayahannyo manjua pariuk ko, kalau kini amak lah banyak pasanan, jadi indak ado manjajo tapi mambuek se lai, dan urang-urang kini alah banyak pakai ojek honda tu mambaok pariuk, dilatak kannyo dalam karanjang tu pai manjua kakampuang-kampuang urang, alah samakin maju”

“Sekarang jangan ditanya banyak amak membuat jenis gerabah, dilihat kan contoh oleh orang yang mau memesan, terus amak belajar membuatnya, setelah itu dengan belajar dan belajar kemudian bisa.kalau dahulu pesanan tidak banyak seperti sekarang. Waktu dahulu amak pergi berjualan dengan menjajakan, dibawa satu karung. Dibawa dengan cara diletakkan diatas kepala, selain itu ada juga yang diletakkan di warung-warung orang disana. Itulah susuahnya menjual periuk ini. Kalau sekarang Amak sekarang sudah banyak pesanan, jadi sekarang tidak berjualan keliling kampung, tetapi hanya membuat saja. sekarang ojek yang pakai motor membawa periuk untuk dijual. diletakkan dalam keranjang, pergi menjual keliling kampung”.

Perubahan teknologi yang semakin canggih memberikan dampak yang positif pada usaha Ibu Yurnalis. Ibu Yurnalis dapat membuat berbagai macam gerabah. Proses pemasaran pun mengalami perubahan, dahulunya menjual gerabah dengan cara berjalan kaki menjajakan gerabah keliling kampung namun sekarang sudah banyak yang menggunakan sepeda motor.

Hal yang sama dikemukakan oleh Florida, R (2001) bahwa akhir-akhir ini kehadiran teknologi memiliki peranan yang sangat strategis dalam mempercepat, meningkatkan kualitas dan mempermudah kegiatan ekonomi dan bisnis. Hal ini dapat dilihat dari semakin banyaknya pekerjaan manusia yang dapat digantikan oleh teknologi, sehingga manusia sebagai pembuat dan operatornya memiliki lebih banyak waktu untuk mengkreasikan ide dan gagasan-gagasannya menjadi


(43)

sebuah inovasi baru. Dengan demikian, kemudahan mengakses dan membeli teknologi, transfer teknologi adalah faktor penting dalam pembangunan ekonomi kreatif.

Kemudian perkembangan untuk penjualannya yaitu ke pasar-pasar di luar daerah Galogandang, dilakukan oleh ibu-ibu masyarakat Galogandang. Dahulunya banyak tetapi sekarang sudah tidak lagi. Salah seorang ibu mengatakan kalau dia masih berjualan di pasar, tetapi teman-temannya tidak ada lagi, sudah banyak yang merantau dibawa oleh anaknya. Informan penulis mengtakan bahwa:

“Amak manjua pariuk ko lah dari lamo, manjuanyo ka balai-balai dilua Galogandang ko, jauh-jauh pai manjuanyo. Biasonyo amak manjua ka balai sanayan di Sungayang, balai Ju’mat di Tanjuang, amak labiah suko manjuanyo dari pado mambuek sambia manjua pulo. Bialah amak mambali ka urang habis itu pai manjuanyo karano kalau mambuek sambia manjua lamo karajonyo, karano proses mambueknyo tu lamo, jadi indak dapek-dapek pitih jadinyo. Amak manggaleh di Balai Sanayan tu dakek urang manjua pisang, pariuk tu amak baok ado banyak macam, jumlahnyo sakaruang lah ,beko dapeklah amak jual bali Rp 200.000, kadang sakaruang tu lai abih kadang ado lo balabiah”.

“Amak menjual periuk ini sudah lama, menjual ke pasar-pasar di luar Galogandang, ke tempat yang jauh-jauh. Biasanya Amak menjual ke pasar Sanayan di Sungayang, pasr Ju’mat di Tanjuang, Amak lebih suka menjual dari pada membuat sambil menjualnya. Biarlah Amak membeli kepada orang lain setelah itu pergi menjualnya, karena kalau membuat sambil menjual akan membutuhkan waktu yang lama. Karena prosesnya membuatnya itu lama, jadi tidak memperoleh uang. Amak berjualan di pasar senayang dekat orang menjual pisang, Periuk itu Amak ada beberapa macam, jumlahnya satu karung, nanti dapatlah uang Rp 200.000, kadang satu karung habis, terkadang ada juga tidak habis”.

Begitulah perkembangan gerabah di daerah Galogandang, dahulu sampai sekarang masih tetap bertahan, hanya saja pengrajin yang ada di Galogandang


(44)

semakin sedikit, jika ditinjau dari produknya semakin banyak yang baru dan semakin banyak pemesan dari daerah-daerah lain di luar Galogandang.


(45)

3.4. Jenis-jenis gerabah yang di produksi di Galogandang Foto 27


(46)

Jenis-jenis gerabah yang diproduksi di Galogandang sangat banyak, bahkan menurut informan penulis beliau pernah membuat gerabah dengan berbagai jenis yaitu sebanyak 20 jenis. Tetapi gambar yang diatas merupakan sebagian contoh dari gerabah. Waktu penulis melakukan penelitian disana tidak semua jenis gerabah tersebut dilihat, karena biasanya jika adanya pemesan dari orang barulah pengrajin membuat gerabah tersebut dan jika tidak, maka pengrajin tidak membuatnya. Maksudnya disini pesanan khusus dari seseorang untuk membuat berbagai macam bentuk gerabah.

Zaman dahulu

1. Pariuk ( Balango)

2. Tagendang ameh (tambika) 3. Kuali

4. Menggu (tempat kuah sate) 5. Dulang api

6. Pariuk barasan 7. Gucci

8. Ceret 9. Gelas

Zaman sekarang ( dalam waktu sepuluh tahun ini) 1) Tempat serabi

2) Carano 3) Asbak 4) Ka


(47)

Tabel 3.1

Daftar Harga Rata-rata Gerabah di Galogandang

Jenis Ukuran Harga

Pelanggan Bukan Pelanggan Periuk (Belango) Besar Rp 50.000 Rp 100.000

Sedang Rp 10.000 Rp 40.000 Kecil Rp 7.500 Rp 10.000

Tutup

Sedang Rp 10.000 Rp 15.000 Kecil Rp 5.000 Rp 7.500 Tempat Serabi - Rp 10.000 Rp 20.000 Tagendang Ameh

(Tambika)

- - Rp 30.000

Pambaka Kumayan (Dulang Api)

- Rp 10.000 Rp 20.000

Guci Besar - Rp 100.000

Sedang - Rp 75.000

Kecil - Rp 50.000

Carano - - Rp 100.000

Asbak - - Rp 25.000

Kacio - - Rp 30.000

Menggu (Tempat Kuah Sate)

- Rp 100.000 Rp 150.000

Gantungan Bunga

- - Rp 10.000

Kesimpulan dari tabel diatas, jenis gerabah yang paling Mahal yaitu Menggu ( Tempat Kuah Sate), dan harga gerabah yang paling murah adalah tutup. Harga ditentukan oleh pengrajin itu sendiri, setiap pengrajin di Galogandang menetapkan harga gerabah berbeda-beda. Terlihat dari harga penjualan kepada pelanggan dengan yang bukan pelang


(48)

BAB IV

STRATEGI PEMASARAN GERABAH DI GALOGANDANG

Penulis mendatangi daerah Jorong Galogandang yang kemudian mendatangi salah seorang pengrajin gerabah. Penulis mendatangi rumah ibu Yurnalis, pada saat itu ibu Yurnalis sedang melakukan pembuatan gerabah. Wawancara kali ini penulis bertanya mengenai srategi pemasaran gerabah yang dilakukan oleh ibu Yurnalis dan pengrajin lainnya. Pada saat melakukan wawancara dengan penulis ibu Yurnalis tidak meninggalkan pekerjaannya, tetapi menjawab sambil bekerja. Adapun hasil wawancara pengrajin dengan ibu Yurnalis tentang strategi pemasaran gerabah sebagai berikut:

4.1. Nilai Seni dalam Pengembangan Design Gerabah

Nilai seni adalah kualitas yang terdapat dalam karya seni, baik kualitas yang bersifat kasat mata, maupun yang tidak kasat mata. Nilai yang dimiliki oleh karya seni merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dihayati oleh seniman atau seniwati dalam lingkungan sosial budaya masyarakat, kemudian di ekspresikan dalam wujud karya seni dan dikomunikasikan kepada penikmatnya atau publik seni. Nilai seni yang tinggi berkaitan dengan pengembangan design gerabah, untuk mendapatkan barang tersebut bisa dilakukan dengan berbagai macam cara. Masyarakat Galogandang mengolah tanah liat menjadi sebuah produk yang memiliki nilai seni serta nilai guna untuk digunakan oleh ibu-ibu rumah tangga sebagai tempat memasak. Sentuhan dari setiap gerabah yang dihasilkan menciptakan kreatifitas yang memiliki nilai seni.


(49)

Sebagaimana menurut Suryana (2013:77) menjelaskan bahwa, kreasi dan gagasan untuk mengembangkan desain, ukuran, kualitas, kemasan, corak, keistimewaan barang dan jasa serta pelayanan yang akan diberikan. Produk baru mengandung kualitas baru dan nilai tambah baru. Demikian dengan Para pengrajin menciptakan berbagai macam gerabah yang diminati oleh masyarakat setempat dan masyarakat luar. Terlihat dari design-design baru yang dihasilkan. Seiiring perkembangan zaman, maka semakin banyak juga bentuk yang baru dari gerabah yang dihasilkan.

Pemesanan gerabah motif bunga disesuaikan dengan permintaan konsumen. Diberi motif bunga agar kelihatan lebih cantik dan menarik. Motif bunga ini berdasarkan ide atau kreativitas pengrajin, tidak ada mengandung unsur alam atau makna lain. Motif bunga tersebut hanya ada pada gerabah yang berbentuk teko (ceret). Hal tersebut menandakan bahwa kreativitas yang dimiliki oleh pengrajin sangat menunjang perkembangan usaha gerabah tersebut.


(50)

Foto 28

Teko dengan Menggunakan Motif Bunga

Sumber: Dokumentasi Pribadi 2016

Kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam menghasilkan suatu karya baru. Kreativitas merupakan kemampuan seseorang dalam membuat suatu karya yang berbeda dari yang pernah ada sebelumnya. Dalam hal ini pengrajin gerabah menciptakan berbagai macam bentuk kerajinan gerabah dengan ide-ide baru yang dimilikinya maupun yang mendapatkan bentuk contoh dari tempat lain. Ide yang tercipta akan membuat suatu bentuk kerajinan, sehingga dapat menarik minat dan kemampuan konsumen untuk membelinya.

Hasil dari kreativitas adalah produk kreatif yang didefenisikan sebagai barang-barang dan jasa-jasa yang memiliki nilai ekonomi yang dihasilkan dari kreativitas (Howkins, 2001: X). Hasil dari kreativitas bisa diamati dari segi produk, proses, strategi, metode, usaha, modal, dan desain baru yang dihasilkan.

Hal ini sesuai dengan gerabah yang terdapat di Galogandang, dimana gerabah dapat dikatakan memiliki nilai ekonomi yang dihasilkan dari kreativitas


(51)

oleh perempuan-perempuan masyarakat setempat. Gerabah yang dihasilkan sebagai bentuk kreativitas yang dilakukan oleh pengrajin gerabah, seperti terdapat pada motif-motif.

Sebagaimana diketahui menurut Home Affairs, Suryana (2013:46) menjelaskan bahwamodal budaya dimiliki oleh setiap bangsa bahkan perusahaan secara turun-temurun. Modal itu terdiri dari nilai-nilai, orientasi, kebiasaan, adat-istiadat, dan bentuk lain dari budaya. Modal budaya juga bisa berupa kesenian, pertunjukkan, film, drama, lukisan, dan bisa dalam bentuk hasil karya atau dalam bentuk cagar budaya-heritage. Modal budaya adalah modal dasar yang sudah dimiliki oleh industri, terutama industri kecil dan industri lokal yang tersebar di seluruh pelosok tanah air.

Keanekaragaman-kebinekaan, seperti etnis, suku, adat, nilai-nilai, warisan budaya, dan bahasa yang tersebar diberbagai daerah merupakan dasar ekonomi kreatif. Semua modal budaya dan kebinekaan ini masih perlu dikelola (manage) secara kreatif sehingga dapat menciptakan kakayaan batu, seperti kesempatan kerja, pendapatan, dan kesejahteraan masyarakatnya. Supaya bernilai ekonomi tinggi, modal dasar budaya dan kebinekaan perlu dikolaborasikan, dikombinasikan, dipelihara, dan dikembangkan. Untuk mengelola dan mengembangkannya, selain diperlukan pendidikan, kecakapan, dan pengalaman, juga diperlukan pemahaman tentang pentingnya kebinekaan sebagai modal dasar ekonomi kreatif yang bernilai ekonomi tinggi, bernilai nasionalisme, dan bernilai kesejahteraan.

Modal budaya yang digunakan oleh pengrajin gerabah adalah kretivitas. Menurut salah seorang informan penulis, kreativitas itu merupakan kemampuan


(52)

seseorang dalam membuat suatu karya baru atau dengan kata lain, kreativitas adalah kemampuan seseorang dalam membuat suatu karya yang berbeda dari yang pernah ada sebelumnya sehingga menjadi terlihat lebih baru. Dalam hal ini beliau membuat berbagai macam bentuk kerajinan gerabah dari tanah liat dengan ide yang beliau miliki agar lebih lebih menarik konsumen4

4

Ibid hal 74

. 4.2. Nilai keuntungan

berdasarkan nilai seni, usaha gerabah yang dibuat dengan menggunakan pasir dan tanah liat yang sebagian tanah liat tersebut dapat diminta dari masyarakat setempat, modalnya jauh lebih kecil dibandingkan dengan usaha lainnya yang dibuat dari bahan yang dibeli di toko. Prinsip ekonomi yang mengatakan bahwa “dengan modal yang sekecil-kecinya, menghasilkan untung yang sebesar-besarnya”. Menurut ibu Rina, yakni:

“Tanah yang digunoan untuk mambuek pariuk ko tanah sawah dan tanah bukit, untuak mandapek an tanah sawah bis, jadi Etek indak paralu mambalinyo do. Urang tu buliah mambiak tanah ko, karano sawah yang lah diambiak tanah liat akan rancak tumbuah padi sasudahnyo”, modal yang Etek kaluan lai indak terlalu banyak, cuman untuak mambali pasia nyo se lain”.

“Tanah yang digunakan untuk membuat gerabah merupakan tanah liat yang ada di sawah dan di bukit, tanah liat yang ada di sawah tersebut bisa langsung didapatkan dengan tidak menggunakan uang. Tanah tersebut bisa diminta saja kepada masyarakat setempat. Karena keuntungan pada orang punya sawah, yakni bisa membuat padi di sawah tersebut tumbuh subur, karena tanah liatnya tidak ada lagi. Jadi modal yang dikeluarkan tidak terlalu banyak untuk pembuatan gerabah ini.


(53)

Hal yang sama juga dijelaskan oleh ibu Yurnalis yang mengatakan bahwa nilai keuntungan gerabah terdapat pada modal yang dikeluarkan yang tidak terlalu banyak, hasil wawancara penulis dengan beliua sebagai berikut:

“Pasia nyo memang dibali , saharogo Rp 270.000, pasia dibali ka urang Padang Panjang, beko inyo yang mantaan ka siko. Kalau tanah lai indak mambali do masalahnyo tanah ado yang baminta samo urang punyo sawah yang sawah alah manyabik, tapi kini ado lo tanah ko yang babali tapi haragonyo lai murah. Kalau yang indak babali tu, dek lataknyo jauh palingan hargo sewa ojeknyo se babayia”.

“Pasirnya memang dibeli, seharga Rp 270.000, pasir dibeli pada orang Padang Panjang, nanti orang itu yang mengantarkan kesini. Kalau tanah tidak dibeli masalahnya tanah ada yang diminta dengan orang yang punya sawah yang padi sudah panen. Tapi kini sudah ada tanah yang dibeli tetapi harga murah. Kalau yang tidak dibeli, terkadang letaknya jauh maka harga sewa ojek yang membawa yang dibayar”.

Nilai keuntungan dalam strategi pemasaran gerabah terdapat pada modal yang sedikit. Dengan demikian, nilai keuntungan yang diperoleh dari pengrajin gerabah yakni modal yang kecil mereka masih bisa memproduksi gerabah setiap hari. Sehingga usaha kerajinan gerabah semakin berkembang dengan seiiring waktu


(54)

4.3. Penjualan Kepada Distributor

Gudang balango sebagai salah satu wadah untuk menyalurkan gerabah dari sebagian pengrajin di Galogandang, dahulunya gerabah hanya dijual di sekitar daerah Galogandang saja, tetapi seiringnya waktu bagi pemasaran gerabah semakin luas sehingga gudang balango sebagai distributor untuk menjual gerabah ke luar daerah. Pemasaran yang lain yaitu dengan cara pelanggan yang membeli gerabah langsung ke tempat gudang balango.

Foto 29

Gerabah yang Sudah Terkempul


(55)

Menurut cerita seorang pemilik gudang balango yaitu nenek Rasina. Nenek yang berumur sekitar 60 tahun ini memiliki empat orang anak satu laki-laki dan tiga anak perempuan, dahulu tiga anak perempuannya merantau tetapi karena sekarang sudah pulang kekampung, dan beliau memilih untuk membuat gerabah. Nenek Rasina bisa dikatan sebagai pengrajin yang sudah lama membuat gerabah, sudah dari turun-temurun, pekerjaan serta bakat yang dimilikinya sudah menurun kepada anak dan cucunya.

Anak-anak dari nenek Rasina sekarang sudah menjadi perempuan-perempuan yang mahir dalam membuat gerabah. Nenek Rasina dan ketiga anaknya tidak hanya sebagai pembuat gerabah tetapi juga sebagai penjual Salah seorang informan penulis menceritakan bahwa gudang balango sudah ada Pemasaran gerabah ini dilakukan keluarga besar nenek Rasina, mereka tidak hanya membuat gerabah tetapi juga sebagai pengumpul gerabah. Di tempat ini gerabah dikumpulkan, yang sebagian dibeli dari pengrajin sekitar daerah Galogandang dan sebagian lagi nenek dan ketiga anaknya yang membuat gerabah tersebut. Jadi, rumah nenek Rasina dijadikan sebagai luarga nenek Rasina membutuhkan Modal yang besar untuk membeli gerabah kepengrajin sekitar, sehingga keluarga nenek Rasina membutuhkan pinjaman modal dari PNPM Mandiri. Sebagai pengumpul mereka harus memiliki uang tunai untuk membeli gerabah kepada pengrajin-pengrajin gerabah yang lain disekitar daerah Galogandang.

Sebagaimana diketahui Menurut Home Affairs (dalam Suryana 2013:46) menjelaskan bahwa, Modal kelembagaan dan struktural merupakan modal yang diperlukan oleh industri kreatif yang berasal dari pemerintah dalam bentuk


(56)

kebijakan yang dapat mengakomodasi dan melindungi industri kreatif. Oleh karena itu, diperlukan departemen khusus yang membina industri kreatif di bawah kementrian yang membina perindustrian dan/atau perdagangan, yang mendorong, mengadvokasi, mematenkan, dan mempromosikan produk budaya (dalam Suryana 2013:46). Modal struktural atau kadang dikenal dengan modal infrastruktur oleh Howkins (dalam Suryana 2013:51) didefenisikan sebagai alat yang diperlukan dan dipandang sebagai modal sumber daya manusia bagi organisasi. Modal infrastruktur ini meliputi:

a. Kebijakan rekrutmen organisasi, b. Pelatihan dan remunerasi,

c. Sistem informasi manajemen dan sistem manajemen ilmu pengetahuan, d. Arahan kerja tim,

e. Sikap dalam pekerjaan,

f. Memanajemen hak kekayaan intelektual, g. Nama,

h. Perlindungan merek dagang, i. Lisensi,

j. Hak paten, dan

k. Perlindungan hak cipta.

Untuk menciptakan modal infrastruktur diperlukan modal institusional (kelembagaan) yang dapat melindungi, membina, mengarahkan, dan mengakomodasi, serta menciptakan iklim ekonomi kreatif. Kelembagaan ini merupakan domain pemerintah yang harus proaktif menciptakan program dan iklim usaha kreatif melalui kebijakan yang kondusif.


(57)

Dari bentuan PNPM mandiri tersebut Gerabah dapat dibeli dari pengrajin-pengrajin disekitar daerah tersebut, setelah gerabah tersebut dibeli kemudian dikumpulkan di Gudang balango dengan jumlah yang tidak sedikit, terkadang bisa mencapai ribuan, karena biasanya satu kali penjualan gerabah ke daerah luar Galogandang, harus mencapai satu truk besar dengan muatan 1200 sampai dengan 1500 gerabah. Penjualan ke daerah luar Galogandang ini dilakukan sebanyak dua kali dalam satu tahun. Daerah tersebut adalah Medan, Pekanbaru, Jambi, Padang, Pariaman, Bengkulu, Lubuk Alung dan lain-lain di luar Galogandang.

Selain dengan pemasaran yang dijual langsung ke daerahnya ada juga dengan cara mendatangi langsung daerah Galogandang. Penulis bercerita kepada tetangga penulis tentang penelitian di Galogandang ternyata beliau berminat untuk membeli gerabah dan akan dibawa ke Jakarta. Didalam perjalanan, penulis pergi secara terpisah dengan tetangga penulis, dan ia pun tersesat dikarenakan beliau tidak begitu mengetahui jalan menuju daerah Galogandang. Susah payah penulis pun mengarahkan jalan menuju ke Daerah Galogandang tersebut. Penulis sudah sampai di tempat gudang balango, lama menunggu kemudian beliau sampai di lokasi.

Penulis sangat beruntung dalam situasi tersebut karena bisa memperhatikan langsung cara penjualan antara pengrajin dengan pembeli gerabah. Terjadi tawar-menawar antara keduanya, wawancara penulis kepada pembeli gerabah, menurut pembeli sebagai berikut:

“Ambo nio manjapuik ka siko dek alasan supayo mandapek harago yang murah, dek lah pai ka tampek gudang balango. Tu haragonyo pasti lai murah dibandiang di bali di daerah ambo”.


(58)

“saya menjemput kesini dengan alasan supaya mendapatkan harga yang murah, karena langsung mendatangi pergi gudang balango ini. Harganya lebih murah dibandingkan beli di daerah saya”.

Pemilihan dilakukan oleh pembeli. Pemilihan dilakukan supaya mendapatkan gerabah yang bagus. Pengrajin membantu memilihkan gerabah yang bagus, yaitu jika gerabah dipukul maka akan menghasilkan bunyi yang berdering, jika tidak berdering maka gerabah tersebut tidak bagus. Sebagai pengrajin beliau juga tidak mau jika pembeli kecewa dengan gerabahnya, makanya beliau membantu memilihkan gerabah yang bagus. Suasana semakin menegang saat penentuan harga, penawaran terus terjadi. Menurut pengrajin sebagai berikut:

“Uni kalau ambo nan mambuek, ambo agiah senyo tapi pariuk yang ado disiko banyak nan mambali ka urang lain disiko. Harago iyo indak bisa agak murah do, kami disiko tu ingin mandepek untuang pulo”.

“Uni jika saya yang membuatnya maka akan dikasih saja. Karena gerabah yang ada disini dibeli kepada pengrajin-pengrajin yang ada di daerah ini. Harga tidak bisa murah. Kami disini ingin mendapatkan untung juga”.


(59)

Foto 30

Pembeli dengan Penjual Gerabah di Gudang Balango

Sumber: Dokumentasi Pribadi 2016

Selain pemasaran ke gudang Balongo, gerabah di Galogandang juga cara memeliki cara pemasaran yang lain. Pemasaran gerabah di Galogandang berbeda-beda, berbagai macam pemasaran dilakukan di daerah tersebut. Sebagaimana menurut Suryana (2013:77) menjelaskan bahwa Kreasi dan gagasan untuk mengembangkan dan memperluas saluran, lembaga distribusi, dan wilayah pemasaran baru. Misalnya, dengan membuka jaringan pemasaran baru ( seperti Alfamart, Yomart, Circle K) dan mengembangkan agen-agen di beberapa daerah pemasaran. Demikian juga dengan pengrajin gerabah di Galogandang dimana mereka juga mengembangkan dan memperluas penujualan gerabah tersebut dengan menjual kepada pedagang-pedagang yang ada di daerah luar Galogandang. Menurut wawancara penulis dengan salah satu informan, adalah sebagai berikut:

“Manjua pariuk ko indak disekitar daerah Galogandang, tapi akan ado urang nan mambali untuak ka dijua di daerahnyo yaitu pariaman, urang pariaman ko punyo took


(60)

selain inyo punyo toko surang, urang ko malatak an gerabah ko ka toko-toko yang lain ado disitu. Jadi istilahnyo urang nan manjapuik ka siko agennyo, karano inyo manjapuik ka Galogandang.

“Menjual gerabah tidak hanya di daerah Galogandang, tetapi ada juga pembeli di luar daerah Galogandang, dimana kemudian gerabah tersebut dijual didaerahnya, yaitu Pariaman. Orang Pariaman ini memiliki toko, kemudian dia menjual di tokonya dan menjual kepada toko-toko yang lain. Jadi istilahnya orang Pariaman sebagai agennya, karena dia yang menjemput gerabah ke Galogandang”.

Cara pemasaran gerabah bagi pengrajin sangat beragam, dengan semakin berkembangnya zaman maka semakin banyak juga gerabah yang dipasarkan. Keesokan harinya penulis melakukan penelitian lagi, hari yang sangat cerah sehingga mendukung untuk melakukan penelitian pada saat itu. Setibanya disana penulis ternyata bertemu dengan sekumpulan ibu-ibu yang sedang duduk-duduk didepan rumah, ternyata diantara kumpulan ibu-ibu tersebut ada seorang ibu yang sedang mempersiapkan dagangannya. Ibu ini berasal dari daerah Turawan, yaitu daerah yang berada diluar Galogandang. Beliau membeli gerabah ke pengrajin gerabah di Galogandang, kemudian menjualnya menggunakan rotan yang diletakkan diatas kepala.

Rotan tersebut diikat menggunakan tali dan meletakkan daun pisang yang kering, supaya gerabah bisa dibawa dengan baik sehingga tidak membuat gerabah tersebut retak. Jika diberi daun pisang kering hal tersebut bisa terhindar. Setelah itu baru gerabah diletakkan di atas rotan tersebut. Gerabah yang ditata ada sekitar 20 mulai dari yang kecil sampai yang besar. Gerabah tersebut di jual ke daerah Solok, dengan menjajakan keliling kampung. Ibu tersebut membawanya ke daerah Solok sudah sejak lama, meskipun masih banyak saingan dari orang lain beliau masih tetap berjualan sampai sekarang.


(61)

Foto 31

Penjual Gerabah Menggunakan Rotan

Sumber: Dokumentasi Pribadi 2016

Berbagai cara dilakukan dalam proses penjualannya, dilakukan didalam daerah maupun ke luar daerah Galogandang. Keluar daerah Galogandang biasa dilakukan yaitu ke Medan, Pekanbaru, Payakumbuh, Padang, Jambi dan lain-lain. Penjualan gerabah dijual ke daerah Medan biasanya dengan jumlah yang sangat banyak, menurut informan penulis bahwa sebagai berikut:

“ kalau yang ada di gudang balango ko tampek mangumpuaan balango yang ado didaerah galogandang, beko dari siko banyak dijua ka daerah Medan, dibaok pakai oto truk gadang, yang muatannyo sebanyak 1500 pasang, biasonya dilakuan sakali 6 bulan , kemudian oto yang dibaok kasinan beko disewa Rp 3.000.000, pai manggalehnyo indak lamo-lamo, cuman sabanta, yo lamo mangumpuan barang yang akan dibaok ka medan ko. “Kalau yang ada di gudang balango yaitu tempat untuk mengumpulkan gerabah yang ada di galogandang, dari sini banyak di jual ke daerah Medan, dibawa menggunakan mobil truk besar yang muatannya sebanyak 1500 pasang. Biasanya dilakukan sekali 6 bulan, kemudian mobil yang dibawa yaitu mobil yang disewa Rp 3.000.000, pergi menjualnya tidak perlu lama, yang lama yaitu mengumpulkan gerabah yang akan dibawa ke Medan.”


(62)

Pemasaran ke tempat-tempat yang lain, selain Medan yaitu ke daerah Pekanbaru, untuk rumah sakit yang ada disana, gerabah tersebut berguna untuk meletakkan ari-ari bayi dari ibu-ibu yang melahirkan, dimana ari-ari tersebut akan dikuburkan.

Selain itu cara pemasaran yang lain dari pengrajin gerabah yang ada di Galogandang yakni yang dilakukan oleh seorang informan penulis, beliau juga sebagai pembuat dan sebagai penjual gerabah. Beliau memasarkan gerabahnya yaitu ke daerah Padang dan Lubuk Alung, beliau membawa gerabah dalam jumlah yang banyak mencapai 1000 pasang gerabah. Gerabah tersebut dimasukkan ke dalam karung kemudian dibawa menggunakan truk, dengan sewa sekitar Rp 500.000. Penjualan dilakukan sekali dalam dua bulan, memang penjualan dilakukan agak lama karena beliau harus mengumpulkan gerabah terlebih dahulu, apalagi pada zaman sekarang gerabah sudah sedikit ditemukan karena tidak banyak lagi pengrajin gerabah di Galogandang. Menurut wawancara penulis dengan informan, sebagai berikut:

“Etek mambuek gerabah dan manjua iyo pulo, pariuk ko dibuek , dikumpuan sampai banyak, lah banyak beko baru di baok ka Padang. Di Padang manjuanyo indak di encer tapi dimasuak an ka toko-toko yang ado disinan”.

“Etek membuat dan menjual gerabah. Gerabah dibuat kemudian dikumpulkan sampai dalam jumlah yang banyak, setelah itu dijual ke Padang. Menjual di Padang tidak secara ecer tapi memasukkan ke toko-toko yang ada disana.

Pemasaran gerabah di Galogandang yang beragam bisa membuat gerabah bisa dikenal serta bisa menghasilkan uang kepada pengrajin, sehingga pengrajin


(1)

KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah, penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul PENGRAJIN GERABAH (Studi Etnografi Usaha Pengrajin Gerabah dalam Menghadapi Perubahan Teknologi) di Jorong Galogandang, Nagari III Koto, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah datar, Provinsi Sumatera Barat dengan baik. Tidak lupa penulis mengucapkan shalawat beserta salam kepada Nabi Besar Muhammad SAW yang telah memberikan syafa’at kepada kita semua. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Jurusan Antropologi Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara. Skripsi ini berisi kajian analisis yang didasarkan pada observasi partisipasi dan wawancara mengenai Pengrajin gerabah di Jorong Galogandang, Nagari III Koto, Kecamatan Rambatan, Kabupaten Tanah datar, Provinsi Sumatera Barat.

Dari hasil penelitian terlihat bahwa keadaan geografis di daerah Galogandang yang terdiri dari perbukitan dan persawahan sangat mendukung untuk mendapatkan bahan baku untuk pengrajin gerabah. Keberadaan pengrajin gerabah yang turun-temurun yang diwariskan kepada anak dan cucu pada masyarakat di Galogandang. Hal tersebut membuat masyarakat Galogandang memiliki penghasilan tambahan selain petani dan pedagang. Pekerjaan ini dilakukan kebanyakan oleh kaum ibu-ibu, dengan kelihaian tangan serta kreativitasnya dapat menghasilkan produk-produk gerabah yang indah sehingga dapat dipasarkan ke berbagai daerah di luar Galogandang.


(2)

Bagi sebagaian ibu-ibu pekerjaan membuat gerabah sudah menjadi pekerjaan tetap, yang mana dapat menambah penghasilan untuk kebutuhan sehari-hari. Perkembangan teknologi membawa pengaruh, tetapi itu tidak untuk dijadikan sebuah kemunduran untuk tidak memproduksi gerabah, akan tetapi itu dijadikan sebagai motifasi untuk pengrajin membuat gerabah yang lebih kreatif lagi, serta memperkenalkan ke berbagai daerah lain, apalagi zaman sekarang banyaknya pemesanan dari luar daerah dapat menjadikan gerabah dikenal oleh masyarakat luas dan dapat menambah penghasilan.

Dalam tulisan ini, penulis ingin menunjukkan bahwa sudah seharusnya pemerintah setempat untuk memperhatikan lagi pengrajin gerabah. Penulis melihat bahwa pengrajin gerabah dapat meningkatkan nilai pariwisata budaya di daerah Tanah Datar, menjadikan gerabah sebagai barang yang unik sehingga dapat meningkatkan pengunjung untuk datang ke daerah tersebut. Maka hal tersebut dapat memperkenalkan kreatifitas anak daerah. Akhir kata “tak ada gading yang tak retak”, demikian juga dengan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, yang disebabkan adanya keterbatasan kemampuan, pengalaman, dan pengetahuan penulis baik mengenai materi, teknik penyusunan maupun analisisnya. Oleh karena itu, dengan hati terbuka penulis menerima setiap saran dan kritik dari pembaca untuk penyempurnaan pada masa yang akan datang.

Medan, Oktober 2016 Penulis


(3)

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PERSETUJUAN ... i

PERNYATAAN ORIGINALITAS ... ii

ABSTRAK ... iii

UCAPAN TERIMA KASIH ... iv

RIWAYAT HIDUP ... ix

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR FOTO ... xv

DAFTAR TABEL ... xvi

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang... 1

1.2. Tinjauan Pustaka ... 3

1.3. Rumusan Masalah ... 13

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 14

1.5. Teknik Pengumpulan Data ... 15

1.6. Analisis Data ... 18

BAB II. DESA GALOGANDANG DAN AKTIFITAS MASYARAKAT SETEMPAT ... 20

2.1. Gambaran Umum Jorong Galogandang ... 20

2.1.1. Sejarah Jorong Galogandang ... 20

2.1.2. Kondisi Geografis Jorong Galogandang ... 23

2.1.3. Kondisi Demografis Jorong Galogandang ... 24

2.1.4. Mata Pencaharian Utama Masyarakat Galogandang ... 25

2.2. PNPM Sebagai Bantuan dari Pemerintah ... 26

2.3. Tradisi Pulang Basamo ... 29

2.3.1. Lomba Membuat Gerabah ... 32

2.3.2. Pacu Jawi ... 32

2.4. Life Story ... 38

2.4.1. Ibu Rina ... 38

2.4.2. Ibu Yurnalis ... 41

2.4.3. Ibu Sabai ... 44

2.5. Usaha Gerabah Bagi Generasi Muda ... 46

BAB III. PERALATAN, PROSES PEMBUATAN DAN PERKEMBANGAN GERABAH DI JORONG GALOGANDANG ... 49

3.1. Peralatan yang Digunakan ... 49

3.1.1. Rotan (Bambu) ... 52

3.1.2. Kayu ... 53

3.1.3. Batu ... 55


(4)

3.1.6. Seng Tipis ... 58

3.1.7. Lapiak Pandan (Tikar) ... 59

3.2. Proses Pembuatan Gerabah di Jorong Galogandang ... 61

3.2.1. Pengelolaan Bahan Baku ... 61

3.2.2. Proses Pembuatan Bahan Baku yang Sudah Jadi ... 65

3.2.2.1. Menempelkan Tanah Liat pada Rotan ... 68

3.2.2.2. Membentuk Gerabah ... 69

3.2.2.3. Melicinkan Gerabah ... 70

3.2.2.4. Memotong Pinggir Atas Gerabah ... 71

3.2.2.5. Malangiah (Memukul-mukul) ... 72

3.2.2.6. Mangusuak (Mengusuk) ... 73

3.2.2.7. Mambibia atau Maupam ... 74

3.2.2.8. Pemberian Motif atau Ragi Gerabah ... 74

3.2.3. Proses Penjemuran Gerabah ... 77

3.2.4. Proses Pembakaran Gerabah ... 80

3.2.4.1. Mengumpulkan bahan-bahan Pembakaran ... 81

3.2.4.2. Penataan Gerabah di Atas Tungku Pembakaran ... 84

3.2.4.3. Penyusunan Jerami ... 85

3.2.4.4. Menyalakan Api... 86

3.2.4.5. Mengangkat Gerabah dari Pembakaran ... 88

3.3. Perkembangan Produk Gerabah di Jorong Galogandang ... 89

3.4. Jenis Gerabah di Jorong Galogandang ... 94

BAB IV. STRATEGI PEMASARAN GERABAH GALOGANDANG ... 98

4.1. Nilai Seni dalam Design Gerabah ... 98

4.2. Nilai Keuntungan ... 102

4.3. Penjualan Kepada Distributor ... 104

4.4. Penjualan Berdasarkan Pesan dan Permintaan ... .. 114

4.4.1. Pesan ... 114

4.4.2. Permintaan ... 118

BAB V. PENUTUP ... 122

5.1. Kesimpulan ... 122

5.2. Saran ... 127


(5)

DAFTAR FOTO

Halaman

Foto 1. Lambang Jorong Galogandang ... 21

Foto 2. PNPMSekretariat Kelompok Spp Binaan Upk Gudang Balango ... 29

Foto 3. Upacara adat saat Pacu Jawi ... 33

Foto 4. Pedagang yang berjualan saat acara Pacu Jawi ... 34

Foto 5. Pacu Jawi di Galogandang ... 36

Foto 6. Rotan ... 52

Foto 7. Kayu ... 53

Foto 8. Batu ... 55

Foto 9. Bambu Kecil... 56

Foto 10. Batu Kecil ... 57

Foto 11. Seng Tipis ... 58

Foto 12. Lapiak Pandan ( Tikar) ... 59

Foto 13. Bahan baku yang ditumpuk ... 61

Foto 14. Bahan baku yang sudah dimasak ... 65

Foto 15. Proses awal dari pembentukan gerabah ... 68

Foto 16. Proses membentuk gerabah ... 69

Foto 17. Proses melicinkam gerabah ... 70

Foto 18. Proses melicinkan bibir atas gerabah ... 71

Foto 19. Malangiah ... 72

Foto 20. Mangusuak gerabah ... 73

Foto 21. Proses penjemuran gerabah ... 77

Foto 22. Proses mengumpulkan bahan pembakar gerabah ... 81

Foto 23. Proses penataan gerabah di atas tungku tradisonal ... 84

Foto 24. Pemberian jerami pembakaran ... 85

Foto 25. Menyalakan api pembakaran gerabah ... 86

Foto 26. Pengangkatan gerabah setelah dibakar ... 88

Foto 27. Jenis-jenis gerabah di Galogandang ... 94

Foto 28. Teko dengan Menggunakan Motif Bunga ... 100

Foto 29. Gerabah yang Terkumpul ... 104

Foto 30. Pembeli dan Penjual di Gudang Balango ... 109


(6)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel 3.1. Daftar Harga Rata-Rata di Galogandang ... 28