Simulasi Kolektor Surya Tipe Plat Datar Dengan Sudut 600 Dan Boks Pengering Pada Mesin Pengering Hasil Pertanian

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Sejarah Pengeringan
Metode pengawetan pada makanan dengan cara pengeringan merupakan

metode yang paling tua dari semua metode pengawetan yang ada. Contoh
makanan yang mengalami proses pengeringan ditemukan di Jericho dan berumur
sekitar 4000 tahun. Metode ini juga merupakan metode yang sederhana, aman,
mudah dan juga dapat memelihara banyak nutrisi pada makanan tersebut. Ada
juga bangsa Inca kuno dari Andes di Peru yang memiliki pengetahuan dasar
tentang mengawetkan makanan dengan cara pengeringan beku, adapun makanan
mereka seperti : kentang dan bahan makanan lainnya diletakkan pada Pegunungan
Machu Picchu. Suhu rendah di pegunungan membekukan makanan sehingga Air
di dalam makanan perlahan-lahan menguap karena tekanan udara rendah di pada
ketinggian tertentu di gunung tersebut.
Pada jaman sekarang pengeringan merupakan salah satu unit operasi
energi paling intensif dalam pengolahan pasca panen. Unit operasi ini diterapkan
untuk mengurangi kadar air pada berbagai produk seperti berbagai buah-buahan,
sayuran, dan produk pertanian lainnya setelah panen. Pengeringan adalah proses

pemindahan panas dan uap air secara simultan yang memerlukan panas untuk
menguapkan air dari permukaan bahan tanpa mengubah sifat kimia dari bahan
tersebut.
Contoh makanan yang biasa diawetkan dengan menggunakan metode
pengeringan adalah buah kering. Buah kering adalah buah yang telah dikeringkan
baik sengaja maupun tidak sengaja. Misalnya kismis dan kurma. Selain itu juga
ada mie instant.
Pada prinsipnya, pengeringan bertujuan untuk mengurangi kadar air
sampai batas perkembangan mikroorganisme dan kegiatan enzim yang dapat
menyebabkan pembusukkan terhambat atau terhenti. Sehingga bahan yang
dikeringkan dapat mempunyai waktu simpan yang lama.(Winarmo,dkk.1980)

Universitas Sumatera Utara

2.1.1. Proses Pengeringan
Tiga tipe dasar proses pengeringan terbagi menjadi 3 jenis, yaitu :
a) Pengeringan matahari (kontak langsung)
Metode pengeringan ini adalah mengeringkan dengan sinar matahari
langsung sebagai energi panas sebagai medium pengering. Pada proses ini
uap yang terbentuk terbawa oleh udara.

b) Pengeringan vakum (hampa udara)
Metode pengeringan ini menggunakan logam sebagai medium pengontak
panas atau menggunakan efek radiasi. Pada proses ini penguapan air
berlangsung lebih cepat pada tekanan rendah maupun vakum.
c) Pengeringan Beku
Metode pengeringan yang melibatkan proses sublimasi air dari suatu
material beku.

2.1.2. Jenis-Jenis Pengeringan
Jenis-jenis pengeringan berdasarkan karakteristik umum dari beberapa tipe
pengeringan, dibagi atas 8 bagian, yaitu :
a) Baki atau wadah
Pengeringan jenis baki atau wadah adalah dengan meletakkan material
yang akan dikeringkan pada baki yang lansung berhubungan dengan media
pengering. Cara perpindahan panas yang umum digunakan adalah
konveksi dan perpindahan panas secara konduksi juga dimungkinkan
dengan memanaskan baki tersebut. Contoh dari alat pengering ini adalah
alat yang dirancang pada penelitian ini.

b) Rotary

Pada jenis ini ruang pengering berbentuk silinder berputar sementara
material yang dikeringkan jaruh di dalam ruang pengering. Medium
pengering, umumnya udara panas, dimasukkan ke ruang pengering dan
bersentuhan dengan material yang dikeringkan dengan arah menyilang.
Alat penukar kalor yang dipasang di dalam ruang pengering untuk
memungkinkan terjadinya konduksi.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1a Jenis pengering rotary dryer

c) Flash
Pengering dengan flash (flash dryer) digunakan untuk mengeringkan
kandungan air yang ada di permukaan produk yang akan dikeringkan.
Materi yang dikeringkan dimasukkan dan mengalir bersama medium
pengering dan proses pengeringan terjadi saat aliran medium pengering
ikut membawa produk yang dikeringkan. Setelah proses pengeringan
selesai, produk yang dikeringkan akan dipisahkan dengan menggunakan
hydrocyclone.


Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1b Jenis pengering flash dryer

d) Spray
Teknik pengeringan spray umumnya digunakan untuk mengeringkan
produk yang berbentuk cair atau larutan suspensi menjadi produk padat.
Contohnya, proses pengeringan susu cair menjadi susu bubuk dan
pengeringan produk-produk farmasi. Cara kerjanya adalah cairan yang
akan dikeringkan dibuat dalam bentuk tetesan oleh atomizer dan
dijatuhkan dari bagian atas. Medium pengering (umumnya udara panas)
dialirkan dengan arah berlawanan atau searah dengan jatuhnya tetesan.
Produk yang dikeringkan akan berbentuk padatan dan terbawa bersama
medium pengering dan selanjutnya dipisahkan dengan hydrocyclone.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1c Jenis pengering spray dryer

e) Fluidized bed

Pengeringan dengan menggunakan kecepatan aliran udara yang relatif
tinggi menjamin medium yang dikeringkan terjangkau oleh udara. Jika
dibandingkan dengan jenis wadah, jenis ini mempunyai luas kontak yang
lebih besar.

Gambar 2.1d Jenis pengering fluidized dryer

f) Vacuum
Pengeringan dengan memanfaatkan ruangan bertekanan udara rendah.
Dimana pada ruangan tersebut tidak terjadi perpindahan panas, tetapi yang
terjadi adalah perpindahan massa pada suhu rendah.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1e Jenis pengering vacuum dryer
g) Membekukan (freeze dryer)
Pengeringan dengan menggunakan suhu yang sangat rendah. Biasanya
digunakan pada produk-produk yang bernilai sangat tinggi, seperti produk
farmasi dan zat-zat kimia lainnya.


Gambar 2.1f Jenis pengering freeze dryer
h) Batch dryer
Pengeringan jenis ini hanya baik digunakan pada jumlah material yang
sangat sedikit, seperti penggunaan pompa panas termasuk pompa panas
kimia.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.1g Jenis pengering batch dryer

Berdasarkan tipe pengering di atas, penulis memilih tipe wadah dengan
menggunakan matahari sebagai sumber energi pemanas udara pengering. Hal ini
dipilih dengan tujuan penggunaan teknologi dengan energi yang murah dan
bersih. Sedangkan tipe pengering yang lain menggunakan energi bahan bakar
sebagai sumber panasnya.

2.2.

Perpindahan Panas
Secara umum perpindahan panas dibagi menjadi tiga bagian, yaitu :


perpindahan panas konduksi, konveksi dan radiasi.

2.2.1. Konduksi
Konduksi adalah perpindahan panas dari partikel yang lebih panas ke
partikel yang lebih dingin sebagai hasil dari interaksi antara partikel tersebut.
Karena partikelnya tidak berpindah, umumnya konduksi terjadi pada medium
padat, tetapi bisa juga cair dan gas. Perpindahan panas di sini terjadi akibat
interaksi antar partikel tanpa diikuti perpindahan partikelnya. Berdasarkan
percobaan, dapat dibuktikan bahwa laju perpindahan panas konduksi melalui
sebuah plat tergantung pada temperatur plat, bentuk geometri, dan sifat
materialnya.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.2 Perpindahan panas konduksi melalui sebuah plat
Adapun persamaan secara matematik untuk plat pada gambar di atas
(gambar 2.1), laju perpindahan panas konduksi dinyatakan dengan persamaan:
…………..……..(2.1)
Dimana : q


= laju perpindahan panas (Watt)

A

= Luas penampang (m2)

k

= konduktivitas termal (W/m.k)

dT/dx = gradien suhu pada penampang atau laju perubahan suhu
terhadap jarak dalam arah aliran panas sumbu x (K)

2.2.2. Konveksi
Perpindahan panas konveksi adalah perpindahan panas antara permukaan
padat yang berbatasan dengan fluida yang mengalir. Fluida di sini bisa dalam fasa
cair atau fasa gas. Syarat utama mekanisme perpindahan panas konveksi adalah
adanya aliran fluida. Mekanisme ini lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2.2.
Pada gambar tersebut dianggap temperatur T2 masih lebih tinggi daripada

temperatur lingkungan (T3). Anggap udara lingkungan mengalir menuju ke
permukaan plat. Partikel udara yang tepat bersentuhan dengan plat akan menerima
perpindahan panas secara konduksi dari plat, akibatnya temperatur akan naik.
Kemudian aliran udara akan mengangkut udara yang lebih panas ini untuk
digantikan oleh udara berikutnya. Fakta ini menunjukkan bahwa di dalam
perpindahan panas konveksi, sebenarnya terdapat perpindahan panas konduksi
antara partikelnya.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.3 Perpindahan panas konveksi dari permukaan plat
Laju perpindahan panas konveksi, dinyatakan dengan persamaan :
̇

…………..……..(2.2)

Dimana :
h

̇


A

= laju perpindahan panas (watt)
= koefisien konveksi (W/m2.K)
= luas penampang (m2)
= temperatur udara lingkungan (K)

Nilai koefisien Konveksi dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut:
…………..……..(2.3)
Dimana : h = koefisien konveksi ( W / m2. K )
Nu = Bilangan Nusselt
k = konduktivitas termal (W/m.K)
L = panjang plat (m)
Untuk menghitung nilai heat flux pada perpindahan panas konveksi :
…………..……..(2.4)
Dimana : q’’ = laju aliran panas per satuan luas ( W / m2)
Q = laju perpindahan panas (Watt)
A = luas bidang perpindahan panas (m2)


Universitas Sumatera Utara

Jenis perpindahan panas secara konveksi dibagi menjadi tiga bagian, yaitu
: perpindahan panas konveksi secara paksa pada aliran dalam, konveksi paksa
pada aliran luar dan perpindahan panas konveksi secara natural (alami).
Konveksi paksa adalah perpindahan panas konveksi yang dipaksa
mengalir atau perpindahan panas yang disebabkan oleh adanya gaya luar seperti
adanya kerja blower atau fan. Sedangkan konveksi natural adalah perpindahan
panas yang terjadi akibat perbedaan temperatur dan massa jenisnya yang berbeda.
Dalam mensimulasikan penelitian ini, penulis menggunakan aplikasi dari
teori dan persamaan-persamaan yang terdapat dalam konveksi natural.

2.2.3. Radiasi
Perpindahan panas radiasi adalah panas yang dipindahkan dengan cara
memancarkan gelombang elegtromagnetik. Berbeda dengan mekanisme konduksi
dan konveksi, radiasi tidak membutuhkan medium perpindahan panas. Sampainya
sinar matahari ke permukaan bumi adalah contoh yang paling jelas dari
perpindahan panas radiasi. Contoh Pada gambar 2.3 laju perpindahan panas
radiasinya dapat dihitung dengan persamaan yang digunakan untuk menghitung
laju perpindahan panas radiasi antara permukaan plat dan lingkungannya yaitu :
…………..……..(2.5)
Dimana : = emisitivitas permukaan plat yang bervariasi antara 0 dan 1
= 5,67 x 10-8 W/m2.K4
T2 = temperatur permukaan plat (K)
T3 = temperatur lingkungan (K)

2.3.

Konveksi Alamiah (Natural Convection)
Konveksi alamiah adalah perpindahan panas yang fluidanya mengalir

secara alami tanpa dipaksa. Hal ini bisa terjadi karena adanya perbedaan massa
jenis fluida. Fluida yang memiliki temperatur lebih tinggi, maka massa jenisnya
semakin ringan. Fluida dengan temperatur rendah massa jenisnya lebih berat.
Akibatnya fluida akan terapung dan naik ke atas dan meninggalkan ruang kosong.
Fluida yang bertemperatur rendah akan mengalir untuk mengganti fluida pada

Universitas Sumatera Utara

daerah yang ditinggalkan oleh fluida yang naik, maka terjadilah aliran fluida
secara alami (natural).
2.3.1

Persamaan Empirik Konveksi Natural Permukaan Luar
Persamaan empirik ini akan dibagi berdasarkan bentuk permukaan dan

kondisi permukaan. Maksud dari bentuk permukaan adalah vertikal atau
horizontal, sedangkan kondisi permukaan adalah temperatur konstan atau fluks
panas yang konstan.
1.

Bidang vertikal
Arah aliran fluida akibat konveksi alamiah pada bidang vertikal mempunyai

dua kemungkinan. Pertama temperatur bidang lebih tinggi dari temperatur fluida
sehingga fluidanya mengalir ke atas atau sebaliknya temperatur bidang lebih
rendah dari temperatur fluida, sehingga arah aliran ke bawah. Secara kuantitatif
persamaan mencari bilangan Nu adalah sama, hanya arahnya saja yang berbeda.
a. Bidang vertikal dengan Ts konstan
Parameter bilangan Rayleigh dihitung dengan menggunakan panjang
bidang L dan dinyatakan dengan RaL. Untuk kasus ini ada beberapa
alternatif yang dapat digunakan. Persamaan yang paling sederhana dapat
dijumpai pada McAdams (1954), Warner dan Arpaci (1968), dan Bayley
(1955), yaitu :


untuk

…………..……..(2.6)

untuk

…………………(2.7)

Keunggulan persamaan ini adalah bentuknya yang sangat sederhana
sehingga mudah untuk digunakan. Tetapi kedua persamaan ini kurang teliti.
Untuk meningkatkan ketelitiannya persamaan yang digunakan Churchill
dan Chu (1975) dapat digunakan.
{







[

]



}

…..……………..(2.8)

Persamaan ini diklaim berlaku untuk semua rentang bilangan RaL. Dan jika
ingin lebih teliti lagi, untuk bilangan Rayleigh yang lebih rendah RaL ≤ 109,
Churchill dan Chu (1975) menyarankan persamaan berikut :
[







]



………………..(2.9)

Universitas Sumatera Utara

Jika bilangan ini kecil (bilangan

), bagian kanan dari persamaan (2.8)

dan persamaan (2.9) akan bisa diabaikan. Sebagai hasilnya bilangan Nu
untuk kedua persamaan akan mendekati 0,68 dan 0,8252

0,68.

b. Bidang vertikal dengan fluks (q’’) konstan
Plat vertikal yang dipanasi dengan fluks panas q” (W/m2) sangat cocok
memodelkan plat vertikal yang disinari dengan cahaya yang tetap. Pada plat
seperti ini, temperatur plat tidak diketahui. Karena memang temperatur
tidak diketahui, maka temperatur yang digunakan adalah temperatur ratarata, dan dirumuskan dengan persamaan :
̅

………………..(2.10)

̅

Dengan menggunakan persamaan ini bilangan RaL dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan yang diajukan oleh Churchill dan Chu (1975).
{

[







]



}

……………..…(2.11)

Meskipun semua parameter dapat dihitung tetapi permasalahannya tidak
sederhana untuk diselesaikan. Perhatikan persamaan (2.10) untuk
menghitung beda temperatur harus diketahui koefisien konveksi rata-rata h.
Sementara ini masih harus dihitung pada persamaan (2.11). Oleh karena itu
harus diselesaikan dengan trial and error dengan menebak dulu nilai h,
kemudian dilanjutkan dengan menghitung beda temperatur. Beda
temperatur ini akan digunakan menghitung RaL, dan akhirnya Nu dapat
dihitung. Nilai h hasil tebakan harus dicek lagi dengan menggunakan nilai
Nu yang baru didapat. Jika tidak berbeda jauh atau bedanya dapat diterima,
maka perhitungan bisa dihentikan. Tetapi jika tidak maka perhitungan harus
diulang lagi sampai hasilnya sama atau perbedaanya dapat diterima.

2.

Bidang miring
Bidang vertikal dapat dianggap sebagai bidang miring dengan kemiringan

900. Dengan kata lain bidang miring adalah bidang vertikal yang sudut
kemiringannya kurang dari 900. Jika fakta ini dibawa ke kasus konveksi natural,
maka semua persamaan pada bidang vertikal dengan satu catatan kemiringannya

Universitas Sumatera Utara

harus diperhitungkan. Untuk lebih jelasnya sebuah plat yang panas dimiringkan
dengan sudut kemiringan θ < 900 terhadap vertikal ditampilkan pada gambar 2.3
dibawah ini.





os
gc

y

g

Ts
Tr

L


x

Gambar 2.4 Konveksi natural pada bidang miring
Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa pada bidang miring dengan sudut θ
terhadap vertikal, percepatan gravitasi dapat diproyeksikan menjadi g cos θ yang
sejajar dengan bidang. Ini berarti bidang miring dapat dianggap sebagai plat
vertikal tetapi percepatan gravitasinya menjadi g cos θ. Maka untuk bidang miring
semua persamaan pada kasus bidang vertikal dengan Ts dan q” konstan dapat
digunakan. Tetapi gravitasi g harus diganti menjadi g cos θ saat menghitung
bilangan Ra.
………………………(2.13)

Setelah menghitung bilangan Ra, maka semua persamaan untuk plat vertikal
persamaan (2.7) sampai persamaan (2.12) dapat digunakan. Kita tinggal memilih
persamaan mana yang sesuai untuk kasus yang sedang dibahas.

3.

Bidang horizontal
Meskipun sampai bagian ini yang sudah dijelaskan adalah konveksi natural

pada bidang vertikal dan bidang miring, bukan berarti pada bidang horizontal

Universitas Sumatera Utara

tidak terjadi konveksi natural. Pada kasus konveksi natural pada bidang horizontal
yang digunakan menghitung RaL adalah panjang karakteristik yang didefenisikan
dengan persamaan:
………………………(2.14)

Dimana A menyatakan luas bidang horizontal dan K adalah kelilingnya. Dengan
menggunakan panjang karakteristik ini bilangan RaL dapat dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut.
……………………….(2.15)
Dimana GrL dirumuskan sebagai berikut.
……………………….(2.16)
Pola konveksi natural pada permukaan horizontal dapat dibagi dua, masingmasing dijelaskan pada bagian berikut.
a. Permukaan atas yang panas atau permukaan bawah yang dingin
Pola ini ditunjukkan pada gambar 2.4. Pada bagian kiri gambar tersebut
bidang horizontal yang panas berada pada fluida yang lebih dingin. Sebagai
akibatnya fluida yang bersentuhan dengan permukaan akan lebih ringan
karena lebih panas dan akan mengalir naik. Pada bagian kanan
digambarkan sebaliknya bidang horizontal yang dingin berada pada fluida
yang panas. Fluida yang bersentuhan dengan bidang dingin akan menjadi
lebih dingin. Karena lebih dingin akan menjadi lebih berat dan akan
mengalir turun.

Tr  Ts
Ts

Ts

Tr  Ts

Gambar 2.5 Konveksi natural pada bidang horizontal

Universitas Sumatera Utara

Persamaan bilangan Nu untuk kedua bagian gambar ini adalah sama. Hanya
arah alirannya saja yang berbeda. Persamaan menghitung bilangan Nu
dapat digunakan persamaan yang diajukan oleh Llyod dan Moran (1974) :
Untuk 104 < RaL < 107 :
………………………..(2.17)

Nu = 0,54 RaL0,25
Untuk 107 < RaL < 109 :

……..…………………(2.18)

Nu = 0,15 RaL1/3

b. Permukaan atas yang dingin atau permukaan bawah yang panas
Pola ditunjukkan pada gambar 2.5. Pada bagian kiri gambar ditunjukkan
bahwa fluida yang panas akan terdesak dari permukaan yang panas dan
mengalir ke sebelah luar. Untuk mengisi kekosongan akibat aliran ini maka
fluida di bawahnya akan mengalir ke atas. Hal yang sama tetapi dengan
arah yang berbeda ditampilkan pada bagian kanan gambar tersebut.

Tr  Ts

Ts

Ts

Tr Ts

Gambar 2.6 Konveksi natural pada bidang horizontal
Persamaan untuk menghitung bilangan Nu untuk kasus ini dapat digunakan
pada buku Incropera (2006).
Nu = 0,27 RaL0,25

……………………..…(2.19)

Persamaan ini berlaku untuk 105 < RaL < 1010.
4.

Permukaan silinder
Salah satu bentuk permukaan yang umum dijumpaidi bidang engineering

adalah silinder. Posisi silinder bisa saja vertikal seperti cerobong atau pada posisi
horizontal seperti heat exchanger jenis shell and tube. Pada bagian ini akan

Universitas Sumatera Utara

dijelaskan persamaan empirik untuk menghitung perpindahan konveksi natural
dari bidang silinder.
a. Silinder vertikal
Sebuah silinder vertikal dengan temperatur permukaan Ts, ditampilkan
pada gambar 2.6. Diameter silinder dinyatakan dengan D dan tingginya L
berada pada fluida yang mempunyai temperatur Tr. Jika temperatur
permukaan silinder lebih panas daripada fluida, maka fluida di sekitar
silinder akan mengalir naik. Sebaliknya, jika permukaan silinder lebih
dingin daripada fluida maka fluida di sekitar akan turun. Kedua kasus ini
akan memberikan bilangan Nu yang sama.
Tr
D

L
Ts

Gambar 2.7 Konveksi natural pada silinder vertical
Jika diameter silinder cukup besar, maka dapat dianggap sama dengan
bidang vertikal. Maka semua persamaan yang sudah dituliskan untuk
bidang vertikal berlaku untuk silinder ini. Syarat diameter untuk yang
dikategorikan besar adalah :
…………….………….(2.20)
Persamaan (2.6) sampai dengan persamaan (2.11) dapat digunakan asal
semua syarat memenuhi. Tetapi jika persamaan (2.6) tidak dipenuhi lagi,
silinder vertikal akan dikategorikan tipis dan persamaan menghitung
bilangan Nu nya akan khusus. Le Fevre dan Ede (1956) merekomendasikan
persamaan berikut[5].

Universitas Sumatera Utara

………………………..(2.21)
Sifat fluida pada persamaan ini menggunakan lapisan film kecuali β saat
menghitung RaL menggunakan temperatur fluida.
b. Silinder horizontal
Pola konveksi natural pada silinder yang mempunyai temperatur lebih
panas daripada fluida di sekelilingnya ditampilkan pada gambar 2.7 di
bawah ini.

Ts

L

D

Tr

Gambar 2.8 Konveksi natural pada silinder horizontal
Untuk kasus ini, jika bilangan RaD ≤ 1012, persamaan berikut dapat
digunakan, Churchill dan Chu (1975) :
{

[





]



}

………….…………….(2.22)

2.3.2 Konveksi Natural pada Ruang Tertutup
Kasus-kasus konveksi natural pada ruang tertutup dapat dibagi antara lain
ruang tertutup persegi yang dipanasi dari samping dan ruang tertutup persegi yang
dipanasi dari bawah.
1.

Konveksi natural pada ruang persegi yang dipanasi dari samping

Universitas Sumatera Utara

Pada gambar 2.8 ditampilkan sebuah ruang yang mempunyai tinggi L dan
lebarnya H. Temperatur dinding kiri yang lebih panas daripada dinding kanan.
Temperatur dinding yang panas disimbolkan Th dan dinding yang dingin
disimbolkan dengan Tc. Sementara dinding atas dan dinding bawah diisolasi.
Dengan kondisi batas seperti ini, maka akan terjadi perpindahan panas secara
konveksi natural dari dinding kiri ke dinding kanan.
H

TH

Fluida

TC

Dingin

Panas

g

L

Gambar 2.9 Konveksi natural pada ruang persegi yang dipanasi dari
samping

Fluida yang ada di dekat dinding kiri akan mengalami pemanasan. Karena
lebih panas akan mengalami gaya apung ke arah atas dan naik. Sementara fluida
di dinding sebelah kanan akan mengalami pendinginan dan gaya apungnya akan
negatif, akibatnya akan turun. Gabungan gerakan fluida naik di sebelah kiri dan
fluida turun di sebelah kanan akan membuat fluida mengalir berputar mengikuti
arah jarum jam. Fluida yang berada di tengah akan cenderung diam atau stagnan.
Pergerakan fluida inilah yang akan membawa panas dari dinding kiri ke dinding
kanan. Dinding atas dan dinding bawah diisolasi atau tidak ada perpindahan panas
pada dinding ini. Maka panas yang keluar dari dinding kiri akan sama dengan
yang masuk ke dinding kanan. Koefisien konveksi pada ruang ini aka ada dua
yaitu pada dinding kiri dan dinding kanan. Karena besar laju perpindahan panas

Universitas Sumatera Utara

pada kedua dinding ini sama, maka koefisien konveksi rata-rata pada kedua
dinding ini juga akan sama.
Perpindahan panas pad aruang seperti ini dinyatakan dengan bilangan Nu
yang didefenisikan :
………………………..(2.23)
Pada persamaan ini dapat dilihat bahwa bilangan Nu itu merupakan
perbandingan laju perpindahan panas konveksi dengan laju perpindahan panas
konduksi murni (Qc). Seandainya tidak ada aliran fluida maka perpindahan panas
yang terjadi antara dinding kiri (panas) dengan dinding kanan (dingin) hanya
konduksi atau Nu = 1. Persamaan menghitung bilangan Nu untuk aliran laminar
konveksi alamiah pada ruang tertutup seperti gambar 2.9 diajukan oleh Bejan
(1979).
………………………(2.24)
Persamaan ini sangat berlaku umum, artinya tidak ada batasan perbandingan
tinggi dan lebar dari sebuah ruang tertutup. Sementara pada aplikasinya, akan
banyak dijumpai ruang tertutup dimana perbandingan tinggi dan lebarnya tidak
seimbang seperti yang ditampilkan pada gambar 2.10 berikut.
H

TH

TC
Fluida

Dingin

Panas

g

H

L

TH

Fluida

TC

Dingin

Panas

g
L

Gambar 2.10 Ruang tertutup yang tinggi dan yang rendah
Untuk ruang tertutup dengan aspek rasio L/H > 1, rekomendasi Berkovsky da
Polevikov (1977) dapat digunakan. Ruan dengan ketinggian sedang 1 < L/H < 2,
dan syarat tambahan RaH Pr/02 + Pr > 103 berlaku :
…………….………….(2.25)
Untuk ruang yang lebih tinggi lagi 2 ≤ L/H ≤ 10, Pr ≤ 105 , dan 103 ≤ RaH ≤
1010 berlaku:

Universitas Sumatera Utara

………………………..(2.26)
McGregor dan Emery (1969) merekomendasikan dua persamaan berikut
untuk ruang tertutup dengan rasio ketinggian yang lebih besar lagi.
………………………..(2.27)
Syarat untuk persamaan ini adalah : 10 ≤ L/H ≤ 40 , 1 ≤ Pr ≤ 2 x 104 , dan 104
≤ RaH ≤ 107.
Kemudian untuk rasio yang lebih tinggi lagi berlaku :


………………………..(2.28)

Syarat untuk persamaan ini adalah : 1 ≤ L/H ≤ 40 , 1 ≤ Pr ≤ 20 , dan 106 ≤
RaH ≤ 109. Disini perlu diperhatikan bahwa bilangan Nu dan Ra semua dinyatakan
dengan lebar ruang, yaitu H. Diharapkan saat menggunakannya jangan tertukar
dengan tinggi L.
Untuk ruang tertutup dengan rasio ketinggian kurang dari 1, atau ruang
pendek seperti yang ditampilkan pada gambar 2.10, rekomendasi yang diajukan
Bejan dan Tien (1978) dapat digunakan :
………………………..(2.29)
Persamaan-persamaan inilah yang dapat digunakan untuk menghitung laju
perpindahan dari dinding panas ke dinding dingin seperti gambar 2.9. Seandainya
temperatur dinding kiri dan dinding kanan diganti posisinya, yang panas menjadi
di kanan maka rumusnya akan tetap sama, hanya arahnya saja yang berbeda.
Berbeda halnya jika dinding bawah dan atas yang diganti, maka rumus-rumus di
atas tidak dapat lagi digunakan.
2.

Konveksi natural pada ruang persegi yang dipanasi dari bawah
Misalkan ruang tertutup seperti yang ditampilkan pada gambar 2.9 diputar

900, ada dua kemungkinan yang terjadi. Pertama jika putaran searah jarum jam,
maka dinding yang panas akan berada di atas dan dinding bawah akan dingin.
Kedua jika putaran berlawanan arah jarum jam, maka dinding yang panas akan
berada di bawah dan yang dingin di atas. Pada kemungkinan pertama, dinding
yang panas di atas, fluida akan stagnan atau tidak akan terjadi aliran fluida hal ini
dikarenakan fluida yang panas sudah berada di atas dan tidak ada gunanya lagi
gaya apung. Jijka seperti ini kasusnya, maka perpindahan panas dari permukaan

Universitas Sumatera Utara

panas ke permukaan dingin adalah konduksi murni. Untuk kasus ini rumus
konduksi dapat digunakan atau Nu = 1.
Pada kemungkinan kedua, dinding panas berada di bawah sementara yang
dingin di atas, akan terjadi aliran fluida di dalam ruangan. Pada gambar 2.11
berikut, ditampilkan ruang tertutup dengan posisi dinding yang panas di bawah.
Jika kasusnya seperti ini, pola aliran yang terjadi di dalam ruang akan sangat
bervariasi dan sangat tergantung pada bilangan Rayleighnya. Pola aliran yang
terjadi tetap memutar, tetapi ada kemungkinan sumbu putaran lebih dari satu ini
biasanya dikenal dengan istilah Benard atau Benard Cell. Nama ini disesuaikan
dengan nama orang pertama yang mengamati dan melaporkannya tahun 1990.
H
Dingin

g

TC

Fluida

L

TH
Panas

Gambar 2.11 Ruang tertutup yang dipanasi dari bawah
Jika fluida yang ada di ruangan tertutup ini adalah udara, maka persamaan
yang diajukan oleh Jakob (1949) dapat digunakan ;
Nu = 0,195RaL0,25

untuk 104 < RaL < 105

………………..(2.30)

Nu = 0,068RaL1/3

untuk 4 x 105 < RaL < 107

………………..(2.31)

Meskipun persamaan ini dikhususkan untuk udara tetapi masih dapat
digunakan untuk gas yang lain selama bilangan Prandtl memenuhi 0,5 < Pr < 2.
Sementara untuk jangkauan fluida selain gas Globe dan Dropkin (1959)
mengajukan persamaan berikut.
Nu = 0,069RaL1/3Pr0,074

………………..(2.32)

Syarat bilangan Rayleigh agar persamaan ini berlaku adalah 3 x 105 < RaL <
7 x 109. Dan yang terbaru Holland dkk. (1976) mengajukan persamaan berikut
untuk digunakan pada kasus ini.

Universitas Sumatera Utara

[



………..………(2.33)

]

Syarat penggunaan persamaan ini adalah RaL < 105. Arti dari operator [ ]+
adalah yang diambil hanya nilai positif. Jika nilai di dalam tanda kurung negatif
maka hasilnya sama dengan nol. Perhatikan operasi berikut [2]+ = 2 tetapi [-2]+ =
0. Persamaan (2.33) ini dapat digunakan untuk fluida cairan yang mempunyai
bilangan Pr yang moderat misalnya air.

2.4

Computational fluid dinamic (CFD)
Computational

fluid

dinamic

(CFD)

menggunakan

komputer

dan

matematika terapan untuk memodelkan situasi aliran fluida. Tolak ukur
keberhasilannya adalah bagaimana hasil simulasi numerik sesuai dengan
percobaan kasus alam dimana percobaan laboratorium dapat dibentuk, dan
bagaimana simulasi dapat memprediksikan fenomena yang sangat kompleks yang
tidak dapat diisolasi di laboratorium. CFD menjadi bagian terpadu dari desain
teknik dan lingkungan analisis dari beberapa perubahan karena kemampuannya
memprediksi kinerja rancangan baru atau proses sebelum diciptakan.
Dalam rancangan dan pengembangannya, program CFD dianggap sebagai
alat numerik standar yang memprediksikan bukan hanya cairan dari perilaku
aliran, tetapi juga pemindahan panas, massa (seperti pernafasan atau disolusi),
perubahan fase (seperti pembekuan, peleburan, dan pendidihan), reaksi kimia
(pembakaran atau pengkaratan), gerakan mekanik (seperti perputaran impeller,
piston, kipas), dan tekanan atau deformasi yang berkaitan dengan struktur padatan
(seperti tekukan massa pada angin).
Dalam memecahkan masalah atau kebutuhan untuk penelitian masalahmasalah di atas, dibutuhkan suatu alat perangkat lunak yang mampu menganalisis
atau memprediksi dengan cepat dan akurat. Maka berkembanglah suatu ilmu yang
dinamakan Computational Fluid Dynamic (CFD) yang dalam bahasa Indonesia
dikenal dengan Komputasi Aliran Fluida Dinamik.
2.4.1. Pengertian Umum CFD
Secara umum CFD terdiri dari dua kata yaitu sebagai berikut :

Universitas Sumatera Utara

a) Computational

:

segala

sesuatu

matematika

yang

dan

berhubungan

metode

dengan

numerik

atau

komputasi.
b) Fluid Dynamic

: dinamika dari segala sesuatu yang mengalir.

Ditinjau dari istilah di atas, CFD bisa berarti suatu teknologi komputasi yang
memungkinkan untuk mempelajari dinamika dari benda-benda atau zat yang
mengalir.
Maka secara definisi, CFD adalah ilmu yang mempelajari cara memprediksi
aliran fluida, perpindahan panas, reaksi kimia, dan fenomena lainnya dengan
menyelesaikan persamaan-persamaan matematika (model matematika). Pada
dasarnya, persamaan-persamaan pada fluida dibangun dan dianalisis berdasarkan
persamaan-persamaan diferensial parsial atau dikenal dengan istilah PDE (Partial
Differential Equation) yang mempresentasikan hukum-hukum kekekalan massa
(kontinuitas), momentum dan energi yang diubah ke dalam bentuk numerik
(persamaan linear) dengan teknik diskritisasi.
Pengembangan

sebuah

perangkat

lunak

(software)

CFD

mampu

memberikan kekuatan untuk mensimulasikan aliran fluida, perpindahan panas,
perpindahan massa, benda-benda bergerak, aliran multifasa, reaksi kimia,
interaksi fluida dan struktur, dan sistem akustik hanya dengan permodelan di
komputer. Dengan menggunakan software ini, dapat dibuat virtual prototype dari
sebuah sistem atau alat yang ingin dianalisa dengan menerapkan kondisi nyata di
lapangan. Dengan menggunakan software CFD akan didapatkan data-data,
gambar-gambar, atau kurva-kurva yang menujukkan prediksi dari performansi
keandalan sistem yang akan didesain.

2.4.2. Aplikasi penggunaan CFD
Dalam aplikasinya, CFD dipergunakan untuk :
1. Insinyur, khususnya dalam hal teknik refrigerasi dan pengkondisian udara
untuk mendesain tempat atau ruangan sesuai kebutuhan seperti refrigerator,
air-conditioner, termal storage, dan lain sebagainya.
2. Arsitek untuk mendesain ruang atau lingkungan yang aman dan nyaman.
3. Desainer kendaraan untuk meningkatkan karakter aerodinamiknya.

Universitas Sumatera Utara

4. Analisis kimia untuk memaksimalkan hasil dari reaksi kimia dalam
peralatan.
5. Bidang petrokimia untuk strategi optimal dari oil recovery.
6. Bidang kedokteran untuk mengobati penyakit arterial (computational
hemodynamics).
7. Metereologis untuk meramalkan cuaca dan memperingkatkan akan
terjadinya bencana alam.
8. Analisis failure untuk mencari sumber-sumber kegagalan misalnya pada
suatu sistem pembakaran atau aliran uap panas.
9. Organisasi militer untuk mengembangkan senjata dan mengestimasi
seberapa besar kerusakan yang diakibatkanya.

Penggunaan CFD umumnya berhubungan dengan keempat hal berikut :
a) Studi konsep dari desain baru
b) Pengembangan produk secara detail
c) Analisis kegagalan atau troubleshooting
d) Desain ulang (re-design)

2.4.3. Manfaat CFD
Ditinjau dari segi manfaat terdapat tiga hal yang merupakan alasan kuat
kenapa harus menggunakan CFD, yakni : insight, foresight, dan efficiency (Firman
Tuakia, 2008).
1. Insight – Pemahaman Mendalam
Apabila dalam mendesain sebuah sistem atau alat yang sulit untuk dibuat
prototype-nya

atau

sulit

untuk

dilakukan

pengujian,

analisis

CFD

memungkinkan untuk digunakan secara virtual ke dalam alat/sistem yang dapat
disaksikan melalui CFD yang belum tentu dapat dilihat dengan cara lainnya.
2. Foresight – Prediksi Menyeluruh
Dikarenakan CFD adalah alat untuk memprediksi apa yang terjadi pada
alat/sistem yang didesain dengan satu atau lebih kondisi batas, maka dapat
ditentukan desain yang optimal.

Universitas Sumatera Utara

3. Efficiency – Efisiensi Waktu dan Biaya
Foresight yang diperoleh dari CFD dapat membantu untuk mendesain lebih
cepat dan lebih hemat biaya. Analisis atau simulasi CFD akan mempersingat
waktu riset dan desain sehingga juga akan mempercepat produk untuk sampai
ke pasaran.

2.4.4. Proses Simulasi CFD
Pada umumnya terdapat tiga tahapan yang harus dilakukan ketika melakukan
simulasi pada solver CFD, yaitu sebagai berikut (Firman Tuakia, 2008) :
1. Preprocessing
Hal ini merupakan langkah pertama dalam membangun dan menganalisis
sebuah model CFD. Teknisnya adalah membuat model dalam paket CAD
(Computer Aided Design), membuat mesh yang sesuai, kemudian
menrapkan kondisi batas dan sifat-sifat fluidanya.
2. Solving
Solvers (program inti pencari solusi) CFD menghitung kondisi-kondisi yang
diterapkan saat preprocessing.
3. Postprocessing
Hal ini adalah langkah terakhir dalam analisis CFD. Hal yang dilakukan
pada langkah ini adalah mengorganisasi dan menginterpretasi data hasil
simulasi CFD yang biasa berupa kurva, gambar, dan animasi.

Beberapa prosedur yang digunakan pada semua pendekatan program CFD,
yaitu sebagai berikut :
a) Pembuatan geometri dari model atau problem.
b) Bidang atau volume yang diisi fluida dibagi menjadi sel-sel kecil (meshing).
c) Pendefinisian model fisiknya, misalnya : persamaan-persamaan gerak +
entalpi + konversi species (zat-zat yang kita defenisikan, biasanya berupa
komponen dari suatu reaktan).

Universitas Sumatera Utara

d) Pendefinisian kondisi-kondisi batas, termasuk di dalamnya sifat-sifat dan
perilaku dari batas-batas model atau problem. Untuk kasus transient, kasus
awal juga didefinisikan.
e) Persamaan-persamaan matematika yang memabangun CFD diselesaikan
secara iteratif, bisa dalam kondisi tunak (steady state) atau transient.
f) Analisis dan visualisasi dari solusi CFD.

2.4.5. Metode Diskritisasi CFD
Secara matematis CFD mengganti persamaan-persamaan diferensial
parsial dari kontinuitas, momentum dan energi dengan persamaan-persamaan
linear. CFD merupakan pendekatan dari persoalan yang asalnya kontinum
(memiliki jumlah sel tak terhingga) menjadi model yang diskrit (jumlah sel
terhingga).
Perhitungan atau komputasi aljabar untuk memecahkan persamaanpersamaan diferensial parsial ini ada beberapa metode (metode diskritisasi),
diantaranya adalah :
-

Metode beda hingga (finite difference method)

-

Metode elemen hingga (finite element method)

-

Metode volume hingga (finite volume method)

-

Metode elemen batas (boundary element method)

-

Metode skema resolusi tinggi (high resolution scheme method)
Metode diskritisasi yang dipilih umumnya menetukan kestabilan dari

program numerik/CFD yang dibuat program software yang ada. Oleh karena itu
diperlukan kehati-hatian dalam cara mendiskritkan model khususnya cara
mengatasi bagian yang kosong atau diskontinu.

2.5.

Pengenalan Software CFD
Menurut Himsar Ambarita (2010), ada beberapa software yang digunakan

dalam pengembangan kode CFD seperti Fluent, CFX, dan lain-lain yaitu jenis
program CFD yang menggunakan metode volume hingga (finite volum method).
CFD

menyediakan

fleksibilitas

mesh

yang

lengkap,

sehingga

dapat

menyelesaiakan kasus aliran fluida dengan mesh (grid) yang terstruktur sekalipun

Universitas Sumatera Utara

dengan cara yang relatif mudah. Jenis mesh yang didukung oleh CFD adalah tipe
2D triangular-quadritelar, 3D tetrahedral-hexahedral-pyramid-wedge, dan mesh
campuran (hybrid) juga memungkinkan untuk memperhalus atau memperbesar
mesh yang sudah ada.
Bahasa program ditulis dalam bahasa C, sehingga memiliki struktur data
yang efisien dan fleksibel, juga dapat digunakan bersama dengan arsitektur
klien/server, sehingga dapat dijalankan sebagai proses terpisah secara simultan
pada klien desktop workstation dan komputer server. Semua fungsi yang
dibutuhkan untuk menghitung suatu solusi dan menampilkan hasilnya dapat
diakses pada melalui menu yang interaktif.
Beberapa alasan menggunakan solver CFD, yaitu sebagai berikut :
a) Mudah untuk digunakan
b) Model yang realistik (tesedia berbagai pilhan solver)
c) Diskritisasi meshing model yang efisien (misalnya dalam GAMBIT)
d) Cepat dalam penyajian hasil (bisa dengan parallel komputer)
e) Visualisasi yang mudah dimengerti
2.5.1. Struktur Program CFD
Dalam satu paket program CFD terdapat beberapa produk, yaitu :
a) CFX, Fluent, dll sebagai solver.
b) GAMBIT, dll merupakan preprocessor untuk membuat pemodelan dan
meshing.
c) Tgrid, preprocessor tambahan yang dapat membuat volume mesh dari
boundary mesh yang sudah ada.
d) Filter untuk mengimpor mesh permukaan dan atau volume dari program
CAD/CAE seperti ANSYS, CGNS, I-DEAS, NASTRAN, PATRAN, dll.

Geometri dan mesh dapat dibuat menggunakan GAMBIT. Selain itu dapat
juga menggunakan Tgrid untuk membuat mesh volume triangular, tetrahedral,
atau hybrid dari mesh bidang yang sudah ada.

Universitas Sumatera Utara

2.5.2. Langkah Penyelesaian Masalah dan Perencanaan Analisis CFD
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika akan meyelesaikan suatu
kasus dengan menggunakan software CFD yang dalam hal ini FLUENT, yaitu :
1) Menentukan tujuan pemodelan
2) Pemilihan model komputasional
3) Pemilihan model fisik
4) Penentuan prosedur
Setelah merencanakan analisis CFD pada model, maka langkah-langkah
umum penyelesaian analisis CFD pada FLUENT sebagai berikut :
1) Membuat geometri dan mesh pada model
2) Memilih solver yang tepat untuk model tersebut (2D atau 3D)
3) Mengimpor mesh model (grid)
4) Melakukan pemeriksaan pada mesh model
5) Memilih formulasi solver
6) Memilih persamaan dasar yang akan dipakai dalam analisis, misalnya :
laminar, turbulen, reaksi kimia, perpindahan kalor dan lain-lain.
7) Menentukan sifat material yang akan dipakai
8) Menentukan kondisi batas
9) Mengatur parameter kontrol solusi
10) Initialize the flow field
11) Melakukan perhitungan/iterasi
12) Memeriksa hasil iterasi
13) Menyimpan hasil iterasi
14) Jika perlu, memperhalus grid kemudian dilakukan iterasi ulang untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik.

Universitas Sumatera Utara

Pembuatan geometri
dan meshing

Mulai

Pendefinisian bidang
batas pada geometri

Pengecekan mesh

Mesh baik
Tidak

Data sifat
fisik

Ya

Penentuan kondisi batas

Proses numerik

Ya

Iterasi
eror?
Tidak
Plot distribusi
temperatur dan vektor
kecepatan

Selesai

Gambar 2.12 Alur penyelesaian masalah CFD (problem solving)

Universitas Sumatera Utara

2.5.3.

Persamaan Pembentuk Aliran (Governing Equation)
Metodologi dari Computational Fluid Dynamics (CFD) adalah mengubah

(mendiskritisasi) persamaan-persamaan pembentuk aliran yang berbentuk
persamaan differensial menjadi sistem persamaan linier pada daerah perhitungan
yang telah dibagi menjadi beberapa volume atur. Dalam program CFD, persamaan
pembentuk aliran tersebut dikenal juga dengan istilah governing equation. Dalam
proses perhitungan aliran fluida, program berjalan sesuai dengan ketentuan
persamaan pembentuk aliran ini ada tiga jenis :
1. Persamaan Kontinuitas
Persamaan kontinuitas biasa juga disebut penjabaran hukum kekekalan massa.
Konsep dari hukum ini adalah rata-rata kenaikan massa pada kontrol volume
sama dengan massa yang mengalir masuk dan massa yang mengalir keluar.
Secara sederhana dapat ditulis :

………..………(2.4)
Secara umum persamaan kontinuitas (hukum kekekalan massa) dirumuskan
sebagai berikut:

.………..………(2.5)

Gambar 2.13 Hukum Kekekalan Massa pada Sebuah Elemen Fluida 3 Dimensi

Universitas Sumatera Utara

2. Persamaan Momentum
Hukum kekekalan momentum ini merupakan interpretasi dari hukum kedua
Newton (arah sumbu-x), yaitu resultan gaya pada suatu objek sama dengan
perkalian massa objek terhadap akselerasi. Perumusannya dirumuskan sebagai
berikut:
………..………(2.6)
Secara umum hukum kekekalan momentum arah sumbu-x untuk 3 dimensi
dapat dirumuskan dengan persamaan berikut :
………..………(2.7)
Dengan cara dan bentuk yang sama persamaan
kekekalan momentum untuk 3 dimensi dengan arah sumbu-y dan arah sumbuz dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut :
………..………(2.8)
………..………(2.9)

Gambar 2.14 Hukum kekekalan Momentum Arah Sumbu-x pada
Sebuah Elemen Fluida 3 Dimensi

3. Persamaan Energi
Persamaan ini merupakan aplikasi dari hukum ketiga fisika (termodinamika),
yaitu laju perubahan energi dalam suatu elemen sama dengan jumlah dari

Universitas Sumatera Utara

fluks panas yang masuk ke dalam elemen dan kerja yang digunakan dalam
elemen tersebut. Bentuk persamaannya yaitu :
………..………(2.10)

Gambar 2.15 Kerja yang Dikenakan pada Sebuah Elemen Arah Sumbu-x

………..………(2.11)

Gambar 2.16 Fluks Panas yang Melintasi Permukaan Sebuah Elemen

Universitas Sumatera Utara

Secara umum kerja yang dikenakan arah sumbu-x, sumbu-, dan sumbu-z
dapat ditulis dengan persamaan berikut :
………..………(2.12)

………..………(2.13)

Sedangkan persamaan fluks panas yang melintasi permukaan sebuah elemen
adalah :
………..………(2.14)

2.5.4. Diskritisasi (metode interpolasi) pada CFD
Pada dasarnya FLUENT hanya menghitung pada titik-titik simpul mesh
geometri sehingga pada bagian di antara titik simpul tersebut harus dilakukan
interpolasi untuk mendapatkan nilai kontinyu pada seluruh domain. Terdapat
beberapa skema interpolasi yang sering digunakan, yaitu :
- First-order upwind scheme
Skema interpolasi yang paing ringan dan cepat mencapai konvergen, tetapi
ketelitiannya hanya orde satu. Ketika skema ini dipilih, nilai bidang
sama dengan nilai pusat sell

adalah

dalam sell upstream.

Skema ini memungkinkan digunakan pada penyelesaian berbasis tekanan dan
rapatan (density)
- Second-order upwind scheme
Menggunakan persamaan yang lebih teliti sampai orde 2, sangat baik digunaan
pada mesh tri/tet dimana arah aliran tidak sejajar dengan mesh. Karena metode
interpolasi yang digunakan lebih rumit, maka lebih lambat mencapai
konvergen.
Ketika skema ini dipilih, nilai bidang


dikomputasi mengikuti bentuk :
..………......(2.15)

Universitas Sumatera Utara

Dimana,

dan

adalah nilai pusat sell dan gradient dalam sell upstream, dan

⃗ adalah vektor perpindahan dari pusat luasan sell upstream ke bidang pusat

luasan.

- Quadratic Upwind Interpolation (QUICK) scheme
Diaplikasikan untuk mesh quad/hex dan hybrid, tetapi jangan digunakan untuk
elemen mesh tri, dengan alian fluida yang berputar/swirl. Ketelitiannya
mencapai orde 3 pada ukuran mesh yang seragam.
Untuk bidang e pada Gambar 3.4, jika aliran dari kiri ke kanan, seperti itu nilai
dapat ditulis sebagai berikut :

[

]

[

]

………..(2.16)

Gambar 2.17 Volume control satu dimensi[10]
dalam persamaan di atas hasil dalam pusat interpolasi orde 2 dimana
hasil nilai orde kedua. Biasanya skema QUICK diperoleh dengan
kedaaan
dependen nilai

. Implementasi pada FLUENT menggunakan variabel, solusi
, dipilih supaya menghindari pengenalan solusi ekstrim yang

baru.

Universitas Sumatera Utara