Pengelolaan Muka Air Tanah Dan Aplikasi Terak Baja Terhadapsifat Fisik Gambut Kaitannya Dengan Emisi Karbonpada Perkebunan Kelapa Sawit

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara ke empat dengan lahan rawa gambut terluas
di dunia yaitu sekitar 14,9 juta ha setelah Kanada seluas 170 juta ha, Uni soviet
seluas 150 juta ha, dan Amerika Serikat seluas 40 juta ha (Istomo, 2005 dan
BBSDLP, 2011). Perluasan pemanfaatan lahan gambut meningkat pesat di
beberapa propinsi yang memiliki areal gambut luas, seperti Riau, Kalimantan
Barat dan Kalimantan Tengah.Antara tahun 1982 sampai 2007 telah dikonversi
seluas 1,83 juta ha atau 57% dari luas total hutan gambut seluas 3,2 juta ha di
Provinsi Riau. Ditjen Perkebunan (2013) dan ICCTF (2013) dalam Wahyunto
dkk. (2013) juga menyebutkan bahwa pengembangan kelapa sawit pada lahan
gambut di Indonesia hingga tahun 2010 telah mencapai lebih dari 1,7 juta ha.
Indonesia memiliki perkebunan kelapa sawit seluas 8,9 juta ha dan 1,25 juta ha
berada di lahan gambut.
Tumpuan harapan terhadap potensi lahan gambut sebagai media budidaya
telah menyebabkan berbagai permasalahan baik dari segi produktivitas tanaman
maupun kualitas lingkungan global. Beberapa permasalahan serius yang harus
dihadapi setelah dibangun saluran drainase untuk menyediakan kondisi oksidatif
untuk ruang perakaran tanaman kelapa sawit. Sering terjadi drainase yang
berlebihan sehingga cenderung mendorong terjadinya kerusakan tanah gambut itu
sendiri. Terutama kerusakan sifat fisik tanah gambut. Menurut Sabiham dan

Sukarman (2012) kondisi oksidatif pada lahan gambut akibat lahan didrainase
sangat berpengaruh terhadap proses (i) pengeringan dan pengerutan/pemadatan

bahan gambut (ii) dekomposisi bahan organik dan (iii) kehilangan sebagian dari
air gambut. Sedangkan menurut Utami (2010) terjadinya kering tak balik
(hidrofobisitas) disebabkan karena gugus-gugus fungsional pembawa sifat
hidrofobik.Semakin

dalam

saluran

drainase

semakin

cepat

terjadi


penurunanpermukaan (subsiden) dan dekomposisi gambut sehingga ketebalan
gambut akancepat berkurang dan daya sangganya terhadap air menjadi menurun
(Agus dan Subiksa, 2008).
Pemanfaatan lahan gambut selain menyebabkan kerusakan kondisi alami
gambut tersebut juga adanya isu terkait dengan emisi CO2 yang dianggap
pengaruhnya terhadap lingkungan global sangat signifikan. Hal ini disebabkan
gambut memiliki cadangan C yang tinggi, sehingga terjadi sudut pandang
berbeda. Beberapa menyatakan kehilangan cadangan C dari lahan gambut sering
dikaitkan dengan kegiatan alih fungsi lahan, dengan tuduhan bahwa alih fungsi
lahan ke penggunaan untuk pertanian/perkebunan yang terjadi adalah berasal dari
hutan. Menurut Sabiham dan Sukarman (2012) bahwa emisi karbon (CO2) yang
berasal dari perubahan penggunaan lahan gambut ke usaha pertanian tanaman
pangan dan perkebunan lebih banyak berasal dari hutan yang sudah rusak/terbuka
(degraded forest). Wibowo et al. (2014) juga menyatakan bahwa lahan gambut
yang dibuka untuk budidaya nenas memiliki tingkat emisi CO2 yang lebih rendah
dibandingkan dengan lahan belukar gambut.
Dari sudut pandang yang berbeda tersebut dapat disimpulkan bahwa
besarnya emisi (flux) CO2 dari lahan gambut yang dimanfaatkan untuk budidaya
pertanian dan perkebunan dipengaruhi oleh sistem pengelolaan. Hal ini


berdasarkan beberapa hasil penelitian Melling et al. (2007) menunjukkan bahwa
tingkat emisi karbon dari masing-masing ekosistem (hutan, sagu, kelapa sawit)
dipengaruhi antara lain oleh kelembaban, suhu dan muka air tanah.
Tinggirendahnya emisi dari lahan yang ditanami kelapa sawit disebabkan oleh
kondisi muka air tanah (water table) yang dalam sehingga lapisan permukaan
yang terekspose lebih sempit disamping kualitas substrat gambut lebih keras
sehingga untuk emisi yang dilepaskan lebih rendah. Oleh sebab itu, perlu
melakukan suatu strategi pengelolaan lahan gambut

yang dapat menjamin

keselarasan antara fungsi gambut sebagai media budidaya untuk menghasilkan
produktivitas tanaman secara berkelanjutan sekaligus sebagai agensia penyelamat
iklim global, khususnya dalam rangka mitigasi gas CO2.
Penulis mengkaji dengan pengelolaan kedalaman muka air tanah pada
beberapa rentang kedalaman muka air tanah serta pemberian amelioran yaitu terak
baja yang mengandung kation-kation dapat mencegah degradasi tanah gambut
dalam meningkatkan stabilitas gambut melaluiperbaikan sifat fisik gambut.
Beberapa pendapat menyatakan hubungan antara emisi CO2 dengan kedalaman
muka air tanah bersifat linier yaitu semakin tinggi kedalaman muka air tanah

gambut menyebabkan peningkatan emisi CO2. Hal ini berbeda dengan Comeau et
al. (2013) bahwa rendahnya konsentrasi air dalam tanah akan menurunkan
aktivitas mikroba karena tekanan osmotik. Oleh karena itu perlu di kaji kembali
pola hubungan kedalaman muka air tanah gambut dengan emisi CO2 lahan
gambut untuk mengetahui cara pengelolaan muka air tanah gambut yang tepat.

Berdasarkan hasil analisis kandungan terak baja (Lampiran 1.) yang
digunakan pada penelitian ini memiliki kandungan yang merupakan kation-katiom
polivalen. Dalam jumlah yang tinggi kation-kation polivalen tersebut mempunyai
pengaruh terhadap fotosintesis tanaman (Kabata-Pendias dan Pendias, 2001).
Sutarta dan Winarna (2009) menyebutkan bahwa ambang kritis keracunan Al
pada bibit kelapa sawit adalah pada taraf dosis sekitar 300 ppm, sedangkan untuk
Fe pada taraf dosis sekitar 600 ppm pada tanah Typic Hapludult dan disisi lain
pemberian dosis Al dan Fe pada taraf 250 ppm untuk Al dan 500 ppm untuk Fe
meningkatkan serapan hara N, P, K, Ca dan Mg pada bibit kelapa sawit. Hal yang
perlu diperhatikan dalam aplikasi terak baja adalah kondisi lahan tersebut. Rauf
(2013) dalambahan kuliah juga menyebutkan bahwa pemupukan pada tanah
gambut yang ditambah dengan kandungan kation – kation polivalen (Al, Fe, Zn)
dapat menekan dekomposisi pada gambut.
Kebiasaan yang dilakukan oleh beberapa pengusaha/petani kelapa sawit

lahan gambut sama seperti pengelolaan kelapa sawit di tanah mineral dengan
pemberian kapur. Pemberian kapur pada lahan gambut kurang tepat karena yang
menjadi penyebab kemasaman tanah pada lahan gambut adalah asam-asam
organik, yang berbeda dengan tanah mineral yaitu Al dan Fe. Dengan demikian
dengan pemberian terak baja yang mengandung kation – kation polivalen
ditujukan untuk menekan asam-asam organik gambut dari asam monomer (toksik)
menjadi asam polimer (non-toksik) dengan reaksi pengkhelatan (Rauf, 2013
dalam bahan kuliah) sehingga tidak bersifat beracun terhadap tanaman dan
gambut dalam kondisi stabil terhadap dekomposisi. Ikatankation polivalen dan

senyawa organik yang membentuk komplek yang stabil dan tahan terhadap proses
dekomposisi (Tan, 1993). Kation Fe3+ memiliki afinitas tertinggi dan paling stabil
berikatan dengan senyawa-senyawa organik dibanding kation-kation lainnya
(Saragih, 1996; Salampak, 1999). Terjadinya proses stabilisasi, maka kehilangan
karbon organik gambut sebagai hasil dekomposisi mikroorganisme berupa gas
rumah kaca (CO2 dan CH4) dapat ditekan (Sollinset al., 1996). Salampak (1999)
menggunakan tanah mineral sebagai amelioran dengan kandungan besi sebesar
22.06% nyata menurunkan dekomposisi gambut dan meningkatkan produktivitas
tanah.Mario (2002) melaporkan adanya peningkatan hasil gabah dan penurunan
emisi karbon dengan penggunaan terak baja (bahan kaya besi). Nicholas (2002)

juga menambahkan bahwa penggunaan amelioran berkadar besi tinggi mampu
meningkatkan kadar abu dan daya simpan air.
Rumusan Masalah
Pengelolaan muka airtanah pada lahan gambut di perkebunan kelapa sawit
perlu diperhatikan untuk kelestarian sifat tanah gambut, terutama sifat fisik
gambut.Beberapa hasil penelitian menyebutkan bahwa fluktuasi muka air tanah
gambut berpengaruh terhadap sifat-sifat fisik tanah gambut yaitu hidrofobisitas
(Szajdak dan Szatylowicz 2010; Utami 2010), emisi karbon dari tanah (Berglund
dan Berglund 2011; Handayani 2009), penurunan permukaan gambut(Wosten et
al., 1997). Sifat fisik tanah utama yang dipengaruhi adalah rendahnya bulk density
0,1 – 0,2g.cm-3, juga terhadap produksi kelapa sawit.Lim et al. (2012) melaporkan
bahwa produksi kelapa sawit pada tanah gambut tertinggi diperoleh dengan
pengelolaan muka air pada kisaran kedalaman 50-75 cm dari permukaan tanah,

pada pengelolaan muka air tanah pada 43 cm, namun pada tanaman yang lebih tua
pada 49 dan 53 cm dari permukaan tanah (Hasnol et al., 2011), pengelolaan muka
air pada kisaran kedalaman 50 - 75 cm dari permukaan tanah (Lim et al., 2012).
Dalam penelitian ini, terak baja digunakan untuk meningkatkan stabilitas
gambut dan memperbaiki kesuburan tanah serta meningkatkan produktivitas
tanaman. Hal ini sesuai dengan penelitian Sabiham (2013), bahwa pengelolaan

lahan gambut dengan menambah bahan mineral amelioran yang mengandung
Fe2O3 dan adanya understory cover crop (sebagaimana kultur teknis budidaya
kelapa sawit gambut Indonesia) dapat menurunkan fluks (emisi) CO2. Hasil
penelitian Sabiham(2000) juga menunjukkan bahwa pemberian kation Fe3+ dalam
bentuk senyawa FeCl3.6H20 dengan dosis 25 sampai 75 g/kg telah menurunkan
pelepasan C sebesar 10 - 27%.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki beberapa tujuan yang akan dicapai yaitu:
1.

Menentukan zona kadar air kritis gambut pada lokasi penelitian

2. Mengkaji pengaruh pengelolaan muka air tanah dan aplikasi terak baja
serta keberadaan tanaman penutup tanah terhadap kejadian kering tak
balik (irreversible drying) pada lahan gambut
3.

Mengkaji pengaruh kedalaman muka air tanah dan dosis terak baja
terhadap sifat fisik tanah dan emisi CO2 dari lahan gambut


4. Mendapatkan parameter sifat fisik gambut yang mempengaruhi emisi CO2
tanah gambut pada perkebunan kelapa sawit.
Hipotesis Penelitian

1.

Pengelolaan kedalaman muka air tanah dan aplikasi terak baja dapat
memperbaiki sifat fisik tanah gambut.

2.

Memperbaiki karakteristik sifat fisik gambut dapat bertujuan untuk
mitigasi emisi CO2 gambut di perkebunan kelapa sawit.
Pemanfaatan
lahan
gambut untuk perkebunan
kelapa sawit
• Land clearing
• Pembuatan saluran
drainase


Sumatera memiliki lahan
gambut
terluas
yaitu
6.436.649 ha merupakan
alternatif dalam perluasan
perkebunan kelapa sawit
KONSEP
PENGELOLAAN





KELOLA TEPAT

Pengelolaan
muka air tanah
yang tepat

Aplikasi bahan
ameliorant
(Terak Baja)
Penggunaan
tanaman
penutup tanah

TIDAK DI KELOLA
DENGAN TEPAT






Terjadinya kering tak balik
(irreversible drying)
Terbentuk pasir semu
(pseudosand)
Penurunan permukaaan (subsiden)

Penurunan produktivitas gambut
melalui perubahan sifat fisik
gambut (kadar air tanah rendah)
Peningkatan emisi CO2 dari lahan
gambut

LAHAN GAMBUT LESTARI &
BERKELANJUTAN

Gambar 1. Kerangka penelitian

TINJAUAN PUSTAKA