Pengaruh Ameliorasi Terak Baja Dan Pengaturan Tinggi Muka Air Tanah Terhadap Sifat Biologi Gambut Perkebunan Kelapa Sawit

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambut
Gambut terbentuk dari timbunan sisa-sisa tanaman yang telah mati, baik
yang sudah lapuk maupun belum. Timbunan terus bertambah karena proses
dekomposisi terhambat oleh kondisi anaerob dan/atau kondisi lingkungan lainnya
yang

menyebabkan

rendahnya

tingkat

perkembangan

biota

pengurai.

Pembentukan tanah gambut merupakan proses geogenik yaitu pembentukan tanah
yang disebabkan oleh proses deposisi dan tranportasi, berbeda dengan proses

pembentukan tanah mineral yang pada umumnya merupakan proses pedogenik
(Hardjowigeno, 1986).
2.2. Pengelolaan air gambut
Drainase yang ideal harus dapat membuang kelebihan air yang datang dari
hujan secara tepat waktu dan efisien, dan mengendalikan muka air tanah agar
dapat mencapai kondisi optimum bagi pertumbuhan tanaman. Drainase yang tidak
tepat dapat menimbulkan dampak lingkungan yang serius pada ekosistem lahan
gambut. Dampak tersebut dapat berupa subsiden, meningkatnya bencana
kebakaran dan meningkatnya emisi CO2 (Tie dan Lim, 1992).
Pada kedalaman TMA drainase 40 cm, perlakuan pemupukan dengan
dosis rekomendasi penuh nyata menghasilkan fluks CO2 tertinggi dibanding
perlakuan lainnya. Hasil ini didukung oleh beberapa hasil penelitian sebelumnya
yang menunjukkan efek pemupukan terhadap peningkatan respirasi tanah (Balai
Penelitian Tanah, 2007).
Pada lahan gambut yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit,
dengan drainase rata-ratanya diasumsikan sedalam 60 cm didapatkan emisi

6

tahunan sekitar 54,6 ton CO2 /ha, pada perkebunan kelapa sawit dengan

kedalaman drainase 80 cm ditemukan tingkat emisi setinggi 54 ton CO2 /ha/tahun,
sedangkan pada hutan gambut sekunder (semak belukar) emisi yang terjadi
setinggi 127 ton CO2 /ha/ tahun Data tersebut menggambarkan bahwa emisi yang
terjadi pada hutan sekunder memiliki emisi yang lebih tinggi dibandingkan
dengan lahan gambut yang dikelola menjadi kelapa sawit dengan catatan
kedalaman air gambut dijaga dengan baik (Agus dan Subiksa, 2008). Tinggi muka
air tanah merupakan faktor dominan yang berpengaruh terhadap emisi CO2 pada
lahan gambut. Sampai kedalaman 20) mengindikasikan tingkat dekomposisi
yang belum lanjut, semakin tinggi nisbah C/N maka semakin rendah tingkat
dekomposisi yang terjadi. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan bahwa
lapisan gambut di atas muka air tanah memiliki tingkat dekomposisi yang lebih
besar daripada lapisan gambut di bawah muka air tanah. C/N pada tanah gambut
rendah menjelaskan bahwa, pada lapisan di atas muka air tanah tidak terjadi
penimbunan bahan baru (Noor, 2004).
Lapisan gambut di atas muka air tanah cenderung memiliki kandungan Corganik yang lebih rendah daripada lapisan gambut yang berada di bawah muka
air tanah. Hal ini disebabkan karena terjadi oksidasi bahan organik yang lebih
besar

pada


lapisan

diatas

muka

air

tanah.

Keadaan

yang

oksidatif

mengindikasikan ketersediaan O2 yang lebih besar yang dapat mengakibatkan
terjadinya tingkat dekomposisi yang lebih lanjut sehingga laju mineralisasi Corganik lebih cepat, dimana bahan gambut menghasilkan CO2.
Dengan meningkatnya umur dan pembukaan gambut, kandungan N akan
meningkat dan berkorelasi dengan tingkat dekomposisi. Tingginya muka air

berpengaruh terhadap jumlah N yang dilepaskan, karena mempengaruhi zone
perakaran, aerasi dan temperatur. Semakin tinggi muka air, jumlah N yang
tersedia bagi tanaman semakin rendah (Andriesse ,1988).
Hou et al. (2005) Cacing tanah diketahui merupakan konsumen serasah,
detritus dan materi organik tanah. Semakin kecil nilai rasio C/N pada gambut,
maka kualitasnya sebagai makanan cacing tanah justru semakin tinggi. Hasil

22

penelitian Sofyan, dkk (2009) Kadar N total kascing yang dimiliki oleh Pheretima
sebesar 0,17 %. Sementara itu persentase unsur hara kascing tergantung dari
media dan jenis pakan yang diberikan kepada cacing tanah.
Cacing tanah meningkatkan ketersediaan hara tanah dan meningkatkan
laju siklus hara rasio C/N dari bahan organik berkurang dengan cepat dengan
adanya aktifitas cacing tanah (Amador et al. 2003). Cacing tanah terhadap emisi
CO2 merupakan hubungan fisiologis dalam proses respirasinya dan merupakan
hubungan tidak linier. Kontribusi cacing tanah pada musim kemarau terhadap
emisi CO2 mesocosm lebih tinggi dibanding pada musim penghujan. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh beberapa faktor antara lain: musim, kadar air, tekstur
tanah, struktur tanah, dan kedalaman tanah (Hanafiah, 2004).


23