Analisis Kinerja Keuangan Dan Investasi Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran Dan Kemiskinan (Di Kabupaten Dan Kota Propinsi Sumatera Utara)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Landasan Teori

2.1.1. Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Daerah sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah maka dibutuhkan suatu sistem pengelolaan keuangan daerah yang baik
untuk mendukung penyelenggaraan pemerintahan. Hal tersebut diatur dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah, peraturan ini kemudian dilengkapi dengan
terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah dan juga didukung secara teknis pencatatan
akuntansi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2010
tentang Standar Akuntasi Pemerintahan. Dasar penerbitan beragam peraturan
tersebut adalah untuk keseragaman persfektif dalam tata kelola pemerintahan yang
baik melalui pengelolaan keuangan negara dan daerah secara efektif dan efisien.
Pertanggungjawaban pengelolaan keuangan entitas akuntansi pemerintah

disajikan dalam bentuk Laporan Keuangan. Menurut Erlina dan Rasdianto
(2013:20) Laporan Keuangan Daerah bermanfaat dalam menilai akuntabilitas dan
membuat keputusan baik keputusan ekonomi sosial maupun politik karena laporan
keuangan pemerintah daerah memberi informasi berikut ini:
a. Kecukupan
pengeluaran.

penerimaan periode berjalan untuk membiayai seluruh

b. Kesesuaian cara memperoleh sumber daya ekonomi dan alokasinya dengan
anggaran yang ditetapkan dan peraturan perundang-undangan.
c. Jumlah sumber daya ekonomi yang digunakan dalam kegiatan entitas
pelaporan serta hasil-hasil yang telah dicapai.
d. Cara entitas pelaporan mendanai seluruh kegaitannya dan mencukupi
kebutuhan kasnya.
e. Posisi keuangan dan kondisi entitas pelaporan berkaitan dengan sumber
penerimaannya, baik jangka pendek maupun jangka panjang termasuk yang
berasal dari pajak dan pinjaman.
f. Perubahan posisi keuangan entitas pelaporan, apakah mengalami kenaikan
atau penurunan sebagai akibat kegiatan yang dilakukan selama periode

pelaporan.
Secara garis besar, Laporan Keuangan pemerintah dapat dibagi menjadi
tiga kelompok yaitu:
a.

b.

c.

Laporan Pelaksanaan Anggaran (Budgetary Report)
i.

Laporan Realisasi Anggaran (LRA)

ii.

Laporan Perubahan Saldo Anggaran Lebih (Laporan Perubahan SAL)

Laporan Finansial (Financial Report)
i.


Neraca

ii.

Laporan Operasional

iii.

Laporan Perubahan Ekuitas

iv.

Laporan Arus Kas

Catatan atas Laporan Keuangan

Good Governance memiliki tiga pilar utama yaitu transparansi,
akuntabilitas dan partisipatif. Untuk menciptakan good governance dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak terlepas dari pengelolaan keuangan

daerah yang baik yang dapat diukur dengan penilaian atas kinerja keuangan
pemerintah daerah tersebut. Penilaian kinerja dibutuhkan untuk mengetahui
tingkat efisiensi dan efektifitas pemerintah daerah dalam mencapai tujuan dan
sasaran yang telah ditetapkan.
Kinerja keuangan pemerintah daerah yang merupakan tingkat capaian dari
suatu hasil kinerja di bidang keuangan daerah diukur dengan menggunakan
indikator keuangan. Bentuk dari pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah
berupa pengukuran dalam rasio keuangan untuk menilai apakah pemerintah
daerah berhasil menjalankan tugasnya dengan baik atau tidak. Hal ini juga
disampaikan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 2006.
Pengukuran kinerja merupakan alat yang digunakan para stakeholders
dalam pengambilan keputusan yang berkualitas dan dalam penilaian pencapaian
tujuan dan sasaran organisasi. Tujuan pengukuran kinerja keuangan pemerintah
daerah adalah (Mardiasmo, 2002:121) :
1. Memperbaiki kinerja pemerintah yang akhirnya dapat meningkatkan efisiensi
dan efektifitas.
2. Membantu dalam pengalokasian sumberdaya dan pembuatan keputusan.
3. Mewujudkan pertanggungjawaban publik dan memperbaiki komunikasi
kelembagaan.
Analisa keuangan adalah usaha mengidentifikasi ciri-ciri keuangan

berdasarkan laporan keuangan dan APBD. Rasio keuangan yang dapat digunakan

untuk mengukur akuntabilitas pemerintah daerah (Halim, 2007) yaitu rasio
kemandirian (otonomi fiskal), rasio efektifitas, efisiensi, serta debt service
coverage ratio.

1. Rasio Kemandirian Keuangan Daerah
Rasio kemandirian menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
membiayai penyelenggaraan pemerintahan dengan kemampuan daerah itu
sendiri dengan membandingkan Pendapatan Asli Daerah dan pendapatan yang
berasal dari sumber lain. Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan
daerah terhadap sumber dana ekternal. Semakin tinggi rasio kemandirian
mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak
ekternal (terutama pemerintah pusat dan propinsi) semakin rendah, dan
demikian juga sebaliknya. Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pembayar pajak dan restribusi daerah yang
merupakan komponen utama pendapatan asli daerah. Semakin tinggi
masyarakat membayar pajak dan restribusi daerah akan menggambarkan
tingkat kesejateraan masyarakat yang semakin tinggi.
Rasio Kemandirian


2. Rasio Efektivitas dan Efisiensi terhadap PAD
Rasio efektivitas menggambarkan kemampuan pemerintah daerah dalam
merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan
target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Rasio efektifitas yang
semakin tinggi menggambarkan kemampuan daerah yang semakin baik.

Kemampuan daerah dalam menjalankan tugas dikategorikan efektif apabila
yang dicapai mencapai minimal sebesar 1 (satu) atau 100 persen. Namun
demikian semakin tinggi rasio efektifitas, menggambarkan kemampuan daerah
yang semakin baik.
Rasio Efektifitas

Rasio efisiensi adalah rasio yang menggambarkan perbandingan antara
totalrealisasi pengeluaran (belanja daerah) dengan realisasi pendapatan yang
diterima (Halim, 2007:234). Rasio efisiensi yang semakin semakin kecil berarti
kinerja pemerintah daerah semakin baik.
Rasio Efisiensi

3. Rasio Aktivitas/Keserasian

Rasio

keserasian

menggambarkan

bagaimana

pemerintah

daerah

memprioritaskan alokasi dananya pada belanja aparatur daerah (belanja rutin)
ataupun kepada belanja pelayanan publik (belanja optimal) secara optimal.
Semakin tinggi rasio belanja publik maka rasio belanja aparatur daerah
cenderung semakin kecil, demikian sebaliknya.
Rasio Belanja Rutin

Rasio Belanja Pembangunan


4. Debt Service Coverage Ratio
Debt Service Coverage Ratio (DSCR) adalah perbandingan antara penjumlahan
PAD, Bagian Daerah (BD) dari Pajak Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan,
Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), penerimaan sumber daya alam, dan
bagian daerah lainnya serta Dana Alokasi Umum (DAU) setelah dikurangi
Belanja Wajib (BW), dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga, dan biaya
pinjaman lainnya yang jatuh tempo.
DSCR

5. Rasio Pertumbuhan
Rasio

pertumbuhan

digunakan

untuk

mengukur


seberapa

besar

kemampuanpemerintah daerah dalam mempertahankan dan meningkatkan
keberhasilannyayang telah dicapai dari periode ke periode berikutnya.
Rasio Pertumbuhan

x 100%

2.1.2. Investasi Pemerintah
Investasi dijabarkan Zakaria (2008:30) sebagai pengeluaran yang ditujukan
untuk menambah atau mempertahankan persediaan capital (capital stock).
Persediaan capital meliputi pendirian gedung, pendirian pabrik baru, pengadaan
mesin sebagai peralatan modal, persediaan barang-barang, dan barang tahan lama
lainnya yang dipakai dalam proses produksi.
Dalam arti sempit investasi didefinisikan sebagai penanaman modal atau
pembentukan modal, sedangkan dalam konteks makro ekonomi investasi adalah

pengeluaran atau pembelanjaan barang-barang modal dan perlengkapan produksi

untuk menambah barang dan jasa yang tersedia dalam perekonomian (Hasanah
dan Sunyoto, 2012:59).
Investasi

menurut

faktor

yang

mendorongan

terbentuknya

dapat

digolongkan menjadi tiga (Sukirno, 2001:366) yaitu antara lain.
1) Autonomous investment, yaitu investasi yang tidak dipengaruhi oleh
tingkat pendapatan, misalnya investasi pada rehabilitasi prasarana jalan
dan irigasi. Investasi jenis ini biasanya lebih banyak dilakukan oleh sektor

pemerintah, karena investasi ini akan menyangkut banyak aspek sosial
budaya yang ada di masyarakat.
2) Induced investment, yaitu macam investasi yang mempunyai kaitan
dengan tingkat pendapatan, misalnya adanya kenaikan pendapatan yang
ada pada masyarakat di suatu tempat atau negara menyebabkan kenaikan
kebutuhan barang tertentu. Kenaikan atau pertambahan permintaan
terhadap barang sudah tentu akan mendorong untuk melakukan investasi.
3) Investasi yang sifatnya dipengaruhi oleh adanya kenaikan tingkat bunga
uang atas modal yang berlaku di masyarakat.

Dari klasifikasi investasi di atas dapat kita lihat bahwa Investasi
pemerintah (Publik Investment) disebut juga (autonomous investment), yaitu
investasi yg timbul bukan karena adanya tambahan pendapatan, melainkan dapat
berubah karena adanya perubahan faktor-faktor di luar pendapatan terutama suku
bunga. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008
tentangn

Investasi Pemerintah, bahwa Investasi Pemerintah dimaksudkan untuk

memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam rangka memajukan kesejahteraaan
umum.

2.1.3. Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan

ekonomi

merupakan

proses

perubahan

kondisi

perekonomian suatu daerah menuju keadaan yang lebih baik dalam satu periode
tertentu. Dalam pengertian lain pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan
kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan
pendapatan nasional.
Jhingan (2008) mendefenisikan pertumbuhan ekonomi dalam tiga cara
yaitu:
1. Diukur dalam arti kenaikan pendapatan nasional nyata dalam suatu jangka
waktu yang panjang. Dalam defenisi ini kelonggaran diberikan pada
perubahan dalam pendapatan nasional nyata akibat pasang naik siklus dan
pada perubahan dalam nilai uang serta pertumbuhan penduduk.
2. Dalam arti kenaikan pendapatan atau output nyata per kapita dalam jangka
panjang. Defenisi ini bermaksud menekankan bahwa bagi pertumbuhan
ekonomi, tingkat kenaikan pendapatan nyata seharusnya lebih tinggi daripada
tingkat pertumbuhan penduduk.
3. Dari titik tilik kesejahteraan ekonomi. Misalnya, pertumbuhan ekonomi
dipandang sebagai suatu proses di mana pendapatan nasional nyata per kapita
naik dibarengi dengan penurunan kesenjangan pendapatan dan pemenuhan
keinginan masyarakat secara keseluruhan.

Cara yang umum digunakan dalam mengukur pertumbuhan ekonomi
nasional adalah melalui Produk Domestik Bruto (PDB) atau Gross Domestic
Product

(GDP).

Pertumbuhan

ekonomi

adalah

suatu

ukuran

yang

menggambarkan perkembangan ekonomi suatu daerah dalam satu tahun tertentu
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Dengan mengamati tingkat pertumbuhan
ekonomi dari tahun ke tahun dapat dinilai prestasi kinerja pemerintah dalam
mengendalikan kegiatan ekonominya dalam jangka pendek dan usaha
pengembangan ekonomi dalam jangka panjang. Selain membandingkan
pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun, dapat juga dibandingkan dengan
pencapaian pertumbuhan ekonomi dengan negara-negara lain. Sehingga dapat
mengavaluasi melalui perbandingan dengan kesuksesan negara lain dalam
mengendalikan dan membangun perekonomiannya.
Pertumbuhan ekonomi yang pesat dapat menciptakan kesempatan kerja
penuh. Pertumbuhan ekonomi dapat disebut “menggalakkan” apabila tingkat yang
dicapai mampu mengurangi tingkat pengangguran, paling tidak pertumbuhan
ekonomi harus mampu melebihi tingkat pertambahan penduduk, agar pendapatan
per kapita (atau taraf kemakmuran masyarakat) dapat ditingkatkan (Sukirno,
2004:56). Adanya pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan
pembangunan ekonomi.

2.1.4. Pengangguran
Salah satu tolak ukur kemajuan ekonomi adalah tingkat kesempatan kerja.
Secara nasional data menunjukkan bahwa lumpuhnya perkonomian menyebabkan
meningkatnya pengangguran. Menurunnya laju perekonomian dan bertambahnya

jumlah pengangguran serta meningkatnya harga konsumsi dan biaya produksi
akan mengurangi kapasitas yang dihasilkan.
Samuelson dan Nordhaus (2004) mengatakan bahwa ada tiga jenis
pengangguran yang berbeda yaitu:
a. Pengangguran friksional muncul karena perpindahan orang-orang antar
daerah, antar pekerjaan, antar tingkatan dari perputaran hidup. Bahkan dalam
keadaan full employment tetap terjadi pergantian misalnya pada saat pelajar
baru lulus mencari pekerjaan, atau ibu-ibu kembali ke angkatan kerja setelah
melahirkan.
b. Pengangguran

struktural

diakibatkan

perubahan

struktur

komposisi

perekonomian mengakibatkan permintaan atas suatu jenis keahlian meningkat
sedangkan permintaan untuk jenis keahlian lainnya menurun, sedangkan
penawaran tidak bisa mengimbanginya.
c. Pengangguran cyclical terjadi karena turunnya kegiatan perekonomian di
mana ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan agregat sehingga
keseluruhan permintaan tenaga kerja rendah.
Pengangguran yang tinggi berpengaruh pada masalah ekonomi dan
masalah sosial. Menjadi masalah ekonomi karena hal tersebut menyia-nyiakan
sumberdaya barang dan jasa yang berharga. Pengangguran juga menjadi masalah
sosial karena mengakibatkan penderitaan besar untuk pekerja yang harus berjuang
dengan pendapatan yang berkurang (Samuelson dan Nordhaus, 2004:363).
Menurut Rahardja (2002:376) defenisi ekonomi tentang pengangguran
adalah angkatan kerja yang ingin bekerja dan telah berusaha mencari kerja, namun
tidak mendapatkannya. Lebih jelas dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini.

Penduduk usia kerja, tetapi
tidak mencari kerja dengan
berbagai alasan, misalnya
sekolah/kuliah, ibu rumah
tangga

1. ≥ 35 jam/Minggu
2. < 35 jam/Minggu

Pengangguran
(Unemployment)

Gambar 2.1
Struktur Penduduk Berdasarkan Usia

2.1.5. Kemiskinan

Adanya berbagai persepsi tentang hal apa saja yang menjadi indikator
kemiskinan menyebabkan terdapat perbedaan

kebijaksanaan yang dijalankan

untuk menanggulangi kemiskinan. Menurut Emil Salim kemiskinan adalah suatu
keadaan di mana manusia tidak dapat memenuhi kebutuhan pokok. Kebutuhan
yang paling pokok seperti makanan, pakaian, perumahan dan lain-lain. Ciri
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menurut Emil Salim adalah
Pertama, tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah yang cukup, modal
dan keterampilan sehingga tidak mampu menciptakan pendapatan. Kedua, tidak

memiliki keterampilan untuk memperoleh aset produksi dengan kemampuan
sendiri. Ketiga, tingkat pendidikan rendah, tidak tamat sekolah dasar. Keempat,
tinggal di pedesaan dan tidak memiliki tanah atau dengan tanah yang luasnya
terbatas. Kelima, tinggal di kota dengan tidak memiliki keahlian sehingga tidak
memiliki peluang untuk masuk sektor industri yang banyak menggunakan teknik
yang tinggi.

Sedangkan menurut BPS (2012) garis kemiskinan adalah besarnya nilai
rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi kebutuhan dasar
minimum makanan dan nonmakanan yang dibutuhkan oleh seorang individu
untuk tetap berada pada kehidupan yang layak. Sedangkan penduduk miskin
adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di
bawah garis kemiskinan. Namun pendataan tunggal kemiskinan oleh BPS
menimbulkan sejumlah masalah antara lain:

1. Kesenjangan pemahaman dan perhitungan data antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah yang berdampak pada penentuan target pelayanan.
2. Bila menggunakan kriteria kinerja daerah, pemerintah daerah cenderung
mengecilkan angka kemiskinan dan sebaliknya bila ingin mendapatkan
bantuan dana.
3. Banyak rumah tangga berada di garis batas kemiskinan nasional. Banyak
penduduk tergolong tidak miskin, tetapi rentan terhadap kemiskinan.
4. Mengingat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antar daerah
menjadi ciri mendasar kemiskinan di Indonesia.
5. Ukuran kemiskinan didasarkan pada pengeluaran atau pendapatan.

6. Tidak dapat menunjukkan siapa dan di mana lokasi penduduk miskin.
7. Data kemiskinan berbanding terbalik dengan data Indeks Pembangunan
Manusia (IPM).
8. Dilema di antara angka kemiskinan dengan alokasi anggaran.
9. Pemerintah menggunakan dan memakai data kemiskinan berdasarkan kriteria
dan temuan agregat Badan Pusat Statistik, sementara daerah cenderung
resistan terhadap data yang dikeluarkan BPS, yang membuat angka
kemiskinan versi pusat dan versi daerah berbeda.

Isu utama pengentasan kemiskinan menurut World Bank (2013) adalah:
1. Meningkatkan kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan nasional
yang ada melalui peningkatan kapasitas penelitian dan analitis serta produk
untuk menginformasikan perdebatan dan pelaksanaan kebijakan di tingkat
pusat dan daerah.
2. Mengembangkan jaringan pengaman darurat untuk mengurangi dampak dari
guncangan: mengambangkan mekanisme untuk memantau guncangan dan
memicu penggunaan jaringan pengaman darurat; menciptakan rangkaian
program jaringan pengaman darurat lengkap untuk memberikan bantuan tepat
waktu bagi mereka yang paling terkena dampak guncangan.
3. Menciptakan kerangka program-program bantuan sosial yang terpadu untuk
memutus kemiskinan antargenerasi. Mengembangkan kerangka kerja bagi
program bantuan sosial yang terintegrasi dikelola yang strategis oleh satu
lembaga pusat; semakin mengintegrasikan program dengan mengembangkan
database yang seragam dari rumah tangga miskin dan hampir miskin;

mengasah keterampilan dan meningkatkan kinerja instansi yang bertanggung
jawab untuk menyampaikan progaram-program bantuan sosial.
4. Meningkatkan penargetan program bantuan sehingga sampai ke orang-orang
yang paling membutuhkannya.
5. Merangsang penciptaan lapangan kerja untuk menyediakan lebih banyak
peluang bagi para pekerja untuk mendapatkan jalan keluar dari kemiskinan.
Melakukan reformasi peraturan tenaga kerja yang mempermudah pemberi
kerja untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja sekaligus, pada saat yang
sama, menjamin perlindungan yang memadai bagi karyawan. Menyediakan
fasilitas pelatihan bagi pekerja rentan untuk meningkatkan keterampilan
mereka sehingga membekali mereka untuk pekerjaan yang lebih baik.
Tenaga kerja adalah salah satu dari sedikit aset yang dimiliki oleh
masyarakat miskin. Dibukanya lapangan kerja, yang sesuai dengan kemampuan
masyarakat miskin pada umumnya yang banyak terkonsentrasi pada sektor
pertanian dan sektor informal, diharapkan dapat menampung tenaga kerja dari
kalangan miskin. Hal ini kemudian diharapkan dapat menambah penurunan
penduduk miskin seiring dengan pertumbuhan ekonomi.

2.2.

Review Penelitian Terdahulu

1.

Hamzah (2007)
Penelitian ini melakukan studi atas analisa kinerja keuangan terhadap

pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan: pendekatan analisis jalur
(studi pada 29 kabupaten dan 9 kota di propinsi jawa timur periode 2001 – 2006).

Penelitan ini menyimpulkan bahwa pada pengujian secara langsung antara kinerja
keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi menunjukkan rasio kemandirian1, rasio
kemandirian2, dan rasio efisiensi berpengaruh positif secara signifikan terhadap
pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektifitas berpengaruh tidak signifikan
terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk pengujian pengaruh pertumbuhan
ekonomi terhadap pengangguran menunjukkan hasil bahwa pertumbuhan ekonomi
berpengaruh positif secara signifikan terhadap pengangguran. Sedangkan
pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap kemiskinan menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh negatif secara signifikan.
Pada pengujian secara tidak langsung antara kinerja keuangan dengan
pengangguran menunjukkan bahwa rasio kemandirian1, rasio kemandirian2, dan
rasio efisiensi secara tidak langsung berpengaruh positif terhadap pengangguran
melalui pertumbuhan ekonomi. Dan secara tidak langsung pengaruh kinerja
keuangan terhadap pengangguran menunjukkan bahwa rasio kemandirian1, rasio
kemandirian2, dan rasio efisiensi secara tidak langsung berpengaruh negatif
terhadap kemiskinan melalui pertumbuhan ekonomi.

2.

Daulay (2011)
Penelitian

yang

mempelajari

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

pertumbuhan ekonomi di kabupaten dan kota propinsi sumatera Utara ini menguji
variabel pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi khusus (DAU), dana alokasi
khusus (DAK), dana bagi hasil (DBH), investasi daerah, belanja pegawai dan
belanja modal terhadap pertumbuhan ekonomi. Dan dari penelitan yang dilakukan
didapati bahwa hanya pendapatan asli daerah (PAD), dana alokasi khusus (DAU),

dana alokasi khusus (DAK), dana bagi hasil (DBH), investasi daerah yang
memiliki nilai yang dominan dan menunjukkan pengaruh terhadap pertumbuhan
ekonomi.
Estimasi pengaruh yang dilakukan dengan metode pooling least square
(PLS) menunjukkan bahwa seluruh variabel pada 22 kabupaten dan kota di
Sumatera Utara berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi pada 22
kabupaten dan kota di Sumatera Utara. Berdasarkan hasil uji Hausman model
yang terbaik dalam penelitian ini adalah random effect model (REM) dengan nilai
chi–square sebesar 0.777857.

3.

Mubaroq (2013)
Obyek dalam penelitian ini adalah berbagai faktor yang berpengaruh

terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) yang merepresentasikan
pertumbuhan ekonomi kabupaten kota di Indonesia pada tahun 2007 hingga 2010.
Faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini dibatasi hanya pada investasi
pemerintah, jumlah tenaga kerja, dan desentralisasi fiskal daerah masing – masing
kabupaten di Indonesia.
Untuk variabel independen desentralisasi fiskal diproksi dengan tingkat
kemandirian daerah berupa rasio antar Pendapatan Asli Daerah terhadap
Pendapatan Daerah. Sedangkan variabel investasi pemerintah diproksi dari rasio
belanja modal terhadap PDRB.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Investasi pemerintah, jumlah tenaga
kerja dan desentralisasi fiskal pada periode 2007-2010 memiliki pengaruh positif
dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi pada taraf α=1%.

4.

Riswandi (2011)
Penelitian ini menguji faktor yang mempengaruhi pengangguran di

Sumatera Barat pasca krisis ekonomi pada tahun 2000-2010. Variabel yang diuji
adalah pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, investasi swasta dan upah
minimum regional terhadap pengangguran. Dari hasil pengujian ini dapat
disimpulkan bahwa Variabel Pertumbuhan Ekonomi mempunyai pengaruh yang
positif terhadap pengangguran di Sumatera Barat. Variabel Pertumbuhan
Penduduk memiliki pengaruh negatif terhadap pengangguran di Sumatera Barat.
Hal ini berarti pertumbuhan penduduk daerah Sumbar merupakan beban bagi
pembangunan ekonomi. Variabel Investasi Swasta memiliki pengaruh yang
negatif terhadap pengangguran di Sumatera Barat. Variabel Upah Minimum
Regional memiliki pengaruh negatif yang signifikan terhadap pengangguran di
Sumatera Barat.

5.

Prastyo (2010)
Penelitian ini adalah studi analisis faktor-faktor yang mempengaruhi

tingkat kemiskinan (studi kasus 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah tahun 20032007). Variabel yang diuji adalah pertumbuhan ekonomi, upah minimum
kabupaten/kota, pendidikan, pengangguran dan dummy wilayah. Dari hasil
penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa yang berpengaruh negatif
secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan adalah variabel pertumbuhan
ekonomi, upah minimum, dan pendidikan, dan sedangkan tingkat pengangguran
berpengaruh positif secara signifikan.

Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu
PENELITI

JUDUL PENELITIAN

Ardi Hamzah
(2007)

Analisa Kinerja Keuangan
Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi, Pengangguran,
Dan Kemiskinan:
Pendekatan Analisis Jalur

INDIKATOR

HASIL PENELITIAN

-

Rasio kemandirian1
Rasio kemandirian2
Rasio efektifitas
Efisiensi

Rasio
kemandirian1,
rasio
kemandirian2,
rasio
efisiensi
berpengaruh
positif
secara
signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi, rasio efektifitas tidak
berpengaruh signifikan terhadap
pertumbuhan
ekonomi,
pertumbuhan ekonomi berpengaruh
positif terhadap pengangguran dan
negatif
terhadap
berpengaruh
kemiskinan.

Pendapatan Asli Daerah
Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Khusus
Dana Bagi Hasil
Investasi Daerah
Belanja Pegawai
Belanja Modal

Hanya pendapatan asli daerah
(PAD), dana alokasi khusus (DAU),
dana alokasi khusus (DAK), dana
bagi hasil (DBH), investasi daerah
yang memiliki nilai yang dominan
dan
menunjukkan
pengaruh
terhadap pertumbuhan ekonomi.

(Studi Pada 29 Kabupaten
Dan 9 Kota Di Propinsi
Jawa Timur Periode 2001 –
2006)

Rizkia
Daulay
(2011)

Faktor-Faktor Yang
Mempengaruhi
Pertumbuhan Ekonomi di
Kabupaten dan Kota
Propinsi Sumatera Utara

-

Mohammad
Rizal
Mubaroq
(2013)

Pengaruh Investasi
Pemerintah, Tenaga Kerja,
Dan Desentralisasi Fiskal
Terhadap Pertumbuhan
Ekonomi Kabupaten Di
Indonesia Tahun 2007 –
2010
Faktor Yang
Mempengaruhi
Pengangguran di Sumatera
Barat Pasca Krisis
Ekonomi Pada Tahun
2000-2010

- Investasi Pemerintah
- Jumlah Tenaga Kerja
- Desentralisasi Fiskal
(rasio kemandirian
daerah)

Investasi pemerintah, jumlah tenaga
kerja dan desentralisasi fiskal
memiliki pengaruh positif dan
signifikan terhadap pertumbuhan
ekonomi.

-

Yang memiliki pengaruh positif
terhadap pengangguran adalah
pertumbuhan ekonomi dan upah
minimum regional. Sedangkan
pertumbuhan
penduduk
dan
investasi swasta memiliki pengaruh
negatif.

Analisis Faktor-Faktor
Yang
Mempengaruhi Tingkat
Kemiskinan
(Studi Kasus 35
Kabupaten/Kota di Jawa
Tengah
Tahun 2003-2007)

- Pertumbuhan Ekonomi
- Upah Minimum
Kabupaten/Kota
- Pendidikan
- Pengangguran
- Dummy Wilayah

Riswandi
(2011)

Adit
Agus
Prastyo
(2010)

Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan Penduduk
Investasi Swasta
Upah Minimum
Regional

Yang berpengaruh secara sifinfikan
terhadap tingkat kemiskinan adalah
variabel pertumbuhan ekonomi,
upah
minimum, pendidikan, dan tingkat
pengangguran.

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Investasi,Angkatan Kerja, Dan Pengeluaran Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Propinsi Sumatera Utara

1 71 106

analisa kinerja keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi pengangguran dan kemiskinan pendekatan analisis jalur

0 1 1

Analisis Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Intervening Pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013

0 0 16

Analisis Kinerja Keuangan Daerah Terhadap Pengangguran dan Kemiskinan Dengan Pertumbuhan Ekonomi Sebagai Variabel Intervening Pada Kabupaten Kota di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010-2013

0 0 2

Analisis Kinerja Keuangan Dan Investasi Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran Dan Kemiskinan (Di Kabupaten Dan Kota Propinsi Sumatera Utara)

0 0 15

Analisis Kinerja Keuangan Dan Investasi Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran Dan Kemiskinan (Di Kabupaten Dan Kota Propinsi Sumatera Utara)

0 0 2

Analisis Kinerja Keuangan Dan Investasi Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran Dan Kemiskinan (Di Kabupaten Dan Kota Propinsi Sumatera Utara)

0 0 9

Analisis Kinerja Keuangan Dan Investasi Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran Dan Kemiskinan (Di Kabupaten Dan Kota Propinsi Sumatera Utara)

0 0 2

Analisis Kinerja Keuangan Dan Investasi Pemerintah Terhadap Pertumbuhan Ekonomi, Pengangguran Dan Kemiskinan (Di Kabupaten Dan Kota Propinsi Sumatera Utara)

0 0 8

PENGARUH KINERJA KEUANGAN TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI, PENGANGGURAN DAN KEMISKINAN

0 0 13