Perbedaan Kadar TGF-2 Cairan Sulkus Gingiva Saat Retraksi Kaninus pada Kelompok Usia 10-15 dan 30-35 Tahun

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Pergerakan Gigi Secara Ortodonti
Menurut Graber (2000), pergerakan gigi secara ortodonti pada dasarnya tidak

jauh berbeda dengan pergerakan gigi secara fisiologis seperti migrasi atau erupsi gigi.
Akan tetapi, selama perawatan ortodonti, gigi bergerak lebih cepat dibandingkan
pergerakan selama gigi erupsi, sehingga penanda remodeling tulang terlihat lebih jelas
dan lebih dapat diukur. Remodeling tulang yang terjadi pada perawatan ortodonti
merupakan reaksi jaringan pendukung gigi terhadap tekanan yang diberikan.
Peristiwa remodeling tulang alveolar terjadi berdasarkan konsep resorpsi dan
aposisi tulang secara terus menerus oleh osteoklas dan osteoblas. Tekanan yang
diberikan pada gigi akan menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi sebagai stimulus
perubahan seluler pada pergerakan gigi (Proffit, 2007). Peristiwa ini akan menyebabkan
perubahan komposisi pada cairan sulkus gingiva (CSG) yang ditandai dengan
meningkatnya konsentrasi prostaglandin dan berbagai sitokin mediator inflamasi
(Khrisnan, 2006). Hal ini menjadikan CSG sebagai salah satu alat bantu diagnosa yang
dapat digunakan untuk melihat perubahan seluler yang terjadi selama pergerakan gigi
secara ortodonti .

Pergerakan gigi dipengaruhi oleh banyak hal, diantaranya adalah usia dan
kepadatan tulang (Graber, 2000), hormon, dan kondisi metabolisme tulang (Yee, 2007).
Selain itu diketahui bahwa konsumsi obat-obatan, pemberian suplemen yang

Universitas Sumatera Utara

mengandung hormon pertumbuhan juga akan mempengaruhi kecepatan pergerakan gigi
(Varble, 2009).
Usia berperanan penting dalam perawatan ortodonti. Perawatan dengan piranti
cekat dapat dimulai segera setelah foramen apikal terbentuk sempurna. Perawatan yang
memerlukan modifikasi pertumbuhan dapat dimulai tanpa harus menunggu masa
tumbuh kembang selesai, sementara apabila diindikasikan perawatan secara bedah,
maka perawatan yang akan dilakukan haruslah menunggu hingga masa tumbuh
kembang selesai. Pada anak perempuan, puncak pertumbuhan terjadi sesaat sebelum
terjadi menarche, sementara pada anak laki-laki berjalan lebih lambat (Proffit, 2007).
2.1.1

Biomekanika pergerakan gigi
Pergerakan gigi terjadi akibat tekanan pada gigi. Tekanan ini akan direspon oleh


gigi dan jaringan pendukungnya melalui reaksi biologis yang kompleks sehingga
menyebabkan jaringan pendukung gigi mengalami remodeling. Ligamen periodontal
memegang peranan penting dalam proses pergerakan gigi secara ortodonti karena
kemampuannya dalam merespon kekuatan

mekanik

yang diterimanya akan

menyebabkan adanya remodeling tulang alveolar sehingga memungkinkan gigi untuk
bergerak. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa tekanan optimal yang dikenakan
pada gigi akan menyebabkan daerah ligamen periodontal yang mengalami regangan
akan terjadi aposisi tulang sedangkan pada daerah yang mengalami tekanan akan terjadi
resorpsi tulang (Profit, 2007; Mulyani, 1994).
Berbagai teori mengenai pergerakan gigi telah banyak dikemukakan. Teori
tekanan-regangan menyatakan bahwa pergerakan gigi terjadi akibat adanya aktivitas

Universitas Sumatera Utara

osteoklastik pada sisi yang mengalami tekanan dan terjadi aktivitas osteoblastik pada

sisi yang mengalami regangan. Pada teori ini, perubahan aliran darah pada ligamen
periodontal terjadi akibat pemberian tekanan yang stabil yang menyebabkan gigi
bergerak pada posisinya dalam ligamen periodontal untuk kemudian menekan suatu
area dan meregang di daerah yang lain (Gambar 2.1). Aliran darah berkurang pada area
dimana ligamen priodontal tertekan dan meningkat pada area dimana ligamen
periodontal meregang. Tekanan dan regangan pada ligamen periodontal ini akan
menyebabkan terjadinya perubahan kimiawi sebagai stimulus perubahan seluler pada
pergerakan gigi. Secara garis besar yang terjadi menurut teori tekanan-regangan adalah
adanya perubahan aliran darah karena terjadi tekanan pada ligamen periodontal,
kemudian terjadi pembentukan atau pelepasan pesan kimia, dan terjadi aktivitas sel
yang dipicu oleh perubahan kimia (Proffit dkk, 2007 ; Khrisnan, 2009).
Selain teori tekanan-regangan, teori lain mengenai pergerakan gigi adalah teori
piezoelektrik. Piezoelektrik adalah suatu fenomena yang terlihat pada matriks inorganik
yang berkristal, dimana deformasi struktur kristal akan menghasilkan suatu aliran listrik
karena adanya perpindahan elektron pada kristal-kristal tersebut. Bila suatu daya
dikenakan pada tulang sehingga menyebabkan tulang melengkung (bending), maka
akan terlihat sinyal piezoelektrik. Teori piezoelektrik tidak dapat menjelaskan lebih
dalam mengenai pergerakan gigi, karena jenis daya yang digunakan dalam merangsang
pergerakan gigi secara ortodonti tidak menghasilkan tekanan yang menghasilkan sinyal
listrik. Sebaliknya, teori tekanan-regangan lebih dapat menerangkan pergerakan gigi


Universitas Sumatera Utara

secara ortodonti karena teori ini merupakan stimulus bagi diferensiasi seluler
berdasarkan pesan kimiawi (Proffit, dkk, 2007).

A

B

Gambar 2.1. Gambaran histologis jaringan periodontal saat diberikan tekanan
mekanik. A. Ligamen periodontal dalam keadaan normal, B.
Pemberian tekanan yang ringan akan menyebabkan ligamen
periodontal mengalami konstriksi (Proffit, 2007)

Menurut sudut pandang klinis ortodonti, pergerakan gigi secara ortodonti
terbagi menjadi tiga fase, yaitu fase displacement, fase delay, dan fase acceleration and
linear. Fase pertama merupakan reaksi awal gigi terhadap daya yang diberikan dimana
reaksi akan terjadi dalam hitungan detik, dan mencerminkan pergerakan gigi yang
terjadi diantara pergerakan viskoelastisitas ligamen periodontal. Fase kedua atau fase

delay ditandai dengan tidak adanya pergerakan secara klinis. Pada fase kedua ini tidak
terdapat pergerakan, namun terjadi remodeling secara luas pada semua jaringan
pendukung gigi. Fase ketiga ditandai dengan pergerakan gigi secara cepat. Pergerakan
gigi pada fase ini dimulai dengan adaptasi jaringan pendukung ligamen periodontal dan
perubahan tulang alveolar (Huang, dkk, 2005).
Burstone (cit Sigh, 2007) membagi pergerakan gigi ke dalam 3 fase, yaitu fase
inisial, fase lag, dan fase post-lag. Fase pertama dimulai segera setelah dilakukan

Universitas Sumatera Utara

aplikasi daya dan ditandai dengan sedikit pergerakan gigi di dalam soketnya. Fase ini
terjadi dalam hitungan detik. Fase kedua merupakan fase dimana komponen seluler di
sekitar daerah yang terlibat teraktivasi agar terjadi pergerakan gigi. Pemberian daya
yang ringan akan menyebabkan fase ini berlangsung singkat. Fase ketiga atau fase post
lag ditandai dengan pergerakan yang dimediasi oleh osteoklas. Fase ini berlangsung
kurang lebih 2 hari setelah pemberian daya. Pada fase ketiga, bila daya yang diberikan
melampaui besar daya yang dapat diterima oleh pembuluh darah kapiler, maka untuk
dapat terjadi pergerakan gigi, daerah yang mengalami hialinisasi haruslah dihilangkan
terlebih dahulu. Hal ini akan memakan waktu yang lebih lama dibandingkan
pergerakan gigi pada aplikasi daya yang ringan. Secara singkat, fase pergerakan gigi

terdapat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1. Respon tubuh terhadap pemberian tekanan mekanis (Singh, 2007)
Fase
Fase
inisial

Waktu
< 1detik

Perubahan yang terjadi
Cairan ligamen periodontal tertekan, tulang
alveolar melengkung dan terbentuk sinyal
piezoelektrik

1-2 detik

Cairan ligamen periodontal terlihat seiring
dengan pergerakan gigi di dalam ligamen
periodontal


3-5 detik

Fase Lag

4 jam

Pembuluh darah pada ligamen periodontal akan
tertekan pada sisi yang mengalami tekanan dan
dilatasi pada sisi yang tertarik, serat ligamen
periodontal dan sel akan mengalami distorsi
Peningkatan kadar cAMP, diferensiasi selular
yang dimulai pada ligamen periodontal

Universitas Sumatera Utara

Fase post 2 hari
lag

Terjadi pergerakan gigi yang ditandai dengan
remodeling tulang pada soketnya oleh osteoklas

dan osteoblas

Mustofa dkk (1983, cit Yee, 2007) mengajukan model hipotetik pergerakan gigi
yang terdiri dari dua teori yang bersama-sama menginduksi pergerakan gigi (Gambar
2.2). Jalur pertama menggambarkan respon biologis tulang, yang biasanya dihubungkan
dengan pertumbuhan dan remodeling normal tulang, sementara jalur kedua
menggambarkan respon inflamasi lokal yang berhubungan dengan pergerakan gigi
secara ortodonti.
Jalur pertama yaitu bahwa tekanan ortodonti membuat vektor-vektor tekanan
dan regangan yang menyebabkan tulang membengkok, penghimpunan polarisasi
bioelektrik dan akhirnya terjadi remodeling. Sistem messenger I mengubah aktivitas sel
melalui membran plasma, bergabung dengan sinyal-sinyal elektrik, bereaksi pada jalur
nukleotida siklik di permukaan sel, dan menyebabkan perubahan-perubahan pada tahap
II messenger interseluler. Efek ini pada akhirnya akan mengarah ke proliferasi,
diferensiasi, dan aktivitas sel.
Jalur pertama ini juga menjelaskan arah atau kontrol pergerakan gigi dengan
melihat perubahan bentuk antara konkaf dan konveks dari tulang alveolar yang
meregang. Polarisasi elektrik matriks, misalnya daerah dengan elektrik netral atau
positif akan mendorong aktivitas osteoklas sementara daerah dengan elektrik negatif
akan mendorong aktivitas osteoblas yang mungkin akan mengubah polarisasi sel

membran dan mendorong terjadinya peningkatan level cAMP.

Universitas Sumatera Utara

Jalur kedua menjelaskan pergerakan gigi secara ortodonti sebagai suatu respon
inflamasi klasik yang terjadi setelah dilakukan aplikasi tekanan. Tekanan ortodonti
akan memicu terjadinya peningkatan permeabilitas vaskular dan infiltrasi seluler yang
mendorong terjadinya proses inflamasi. Limfosit, monosit, dan makrofag akan
memasuki jaringan dan meningkatkan sintesis prostaglandin dan sekresi enzim
hidrolitik. Peningkatan lokal prostaglandin akan meningkatkan konsentrasi cAMP
seluler yang kemudian meningkatkan aktivitas osteoklastik (Gambar 2.2) (Mustofa,
dkk, 1983, cit Yee, 2007).

Gambar 2.2. Jalur pergerakan gigi (Mustofa dkk, 1983, cit Yee, 2007)

Proses inflamasi akut pada fase awal pergerakan gigi secara ortodonti pada
dasarnya adalah peristiwa eksudatif, dimana plasma dan lekosit keluar dari kapiler-

Universitas Sumatera Utara


kapiler daerah paradental yang mengalami regangan. Beberapa hari kemudian akan
diganti oleh inflamasi kronik yang ditandai oleh sel-sel fibroblas, endotel dan sel-sel
sumsum tulang alveolar. Inflamasi kronis ini akan terus terjadi hingga waktu aktivasi
berikutnya. Fase inflamasi akut akan kembali terjadi pada saat dilakukan aktivasi
piranti, bersamaan dengan fase inflamasi kronis yang sedang berlangsung (Khrisnan,
2006).

2.1.2 Mekanisme Selular Remodeling Tulang dan Jaringan Periodontal
Siklus remodeling tulang akan memakan waktu sekitar 4 bulan yang ditandai
dengan resorpsi yang cepat dan diikuti pembentukan tulang yang lambat. Pada individu
yang sehat, resorpsi tulang selalu diikuti dengan pembentukan tulang dalam jumlah
yang sama sehingga tidak terdapat kehilangan massa tulang. Hal inilah yang akan
menjaga integritas tulang (Nanda, 2005).
Menurut Proffit (2007), agar gigi dapat bergerak, haruslah terdapat osteoklas
yang menghancurkan tulang pada area yang berdekatan dengan bagian ligamen
periodontal yang tertekan. Osteoblas diperlukan untuk membentuk tulang baru pada
daerah yang mengalami regangan. Pada tahap awal, pergerakan gigi ortodonti selalu
melibatkan respon inflamasi akut yang ditandai dengan dilatasi periodontal dan migrasi
leukosit keluar dari kapiler. Migrasi sel ini menghasilkan berbagai sitokin, molekul
sinyal biokimia, yang berinteraksi secara langsung ataupun tidak langsung dengan sel

origin. Sitokin, bersama dengan molekul sinyal lokal atau sistemik lain, menimbulkan
sintesis dan sekresi berbagai substan oleh sel target, termasuk prostaglandin, growth
factor, dan sitokin (Khrisnan, 2006).

Universitas Sumatera Utara

Metabolisme tulang merupakan suatu proses kompleks yang bergantung pada
interaksi antara RANK ligand (Receptor activator of nuclear factor - κβ ligand), RANK
(Receptor activator of nuclear factor-κβ), dan osteoprotegrin (OPG). RANK ligand
(RANK-L) adalah salah satu mediator resorpsi tulang yang paling penting yang
diekspresikan oleh osteoblas, limfosit-T, sel dendritik, dan sel tumor. RANK -L akan
berikatan dengan RANK dan berada pada pada sel prekursor osteoklas yang mendorong
terjadinya perkembangan dan aktivasi osteoklas (Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Remodeling tulang secara fisiologis. Terlihat interaksi antara osteoklas
dan osteoblas dengan OPG, RANK ligand, dan RANK (Juhasz-Boss dkk,
2003)
2.1.3

Remodeling Tulang
Kemampuan tulang untuk beradaptasi terhadap beban mekanis terjadi melalui

proses berkesinambungan antara pembentukan dan resorpsi tulang. Bila proses ini
terjadi pada lokasi yang berbeda, maka morfologi tulang akan berubah sehingga proses
ini disebut dengan modeling tulang. Pada keadaan yang homeostatis, proses resorpsi

Universitas Sumatera Utara

dan aposisi terjadi secara seimbang. Dalam keadaan ini, tulang lama akan digantikan
oleh tulang yang baru secara terus menerus. Hal ini akan menyebabkan integritas tulang
tetap terjaga, dan tidak terjadi perubahan bentuk secara keseluruhan. Keadaan ini
disebut remodeling tulang (Frost, 1990, cit Ruimerman, 2005). Dari sudut pandang
ortodonti, modeling merupakan peristiwa penting pada pertumbuhan normal struktur
kraniofasial dan juga perubahan dalam ukuran dan bentuk tulang alveolar. Remodeling
merupakan mekanisme reparatif dan meliputi serangkaian peristiwa selular yang terjadi
secara terus menerus. Remodeling merupakan satu-satunya mekanisme fisiologis dalam
menjaga dan memperbaiki struktur tulang (Huang, dkk, 2005).
Tulang terdiri dari tiga jenis sel, yaitu osteoklas, osteoblas dan osteosit. Sel
utama dalam tulang yang mengatur pergantian matriks tulang adalah osteoklas dan
osteoblas. Osteoklas berasal dari stem sel hematopoetik dan bertanggung jawab
terhadap resorpsi tulang. Osteoblas membentuk matriks yang kemudian mengalami
mineralisasi apabila terdapat regulasi yang baik. Matriks yang mengalami
remineralisasi ini dapat diresorpsi oleh osteoklas bila terjadi aktivasi osteoklas. Konsep
utama dari remodeling tulang didasarkan pada hipotesis bahwa prekursor osteoklas
akan diaktivasi dan kemudian berdiferensiasi menjadi osteoklas, sehingga kemudian
akan terjadi proses resorpsi tulang. Fase ini kemudian diikuti dengan fase pembentukan
tulang. Remodeling tulang diregulasi oleh berbagai hormon, sitokin, dan growth factor
(Boyle, et a, 2003 cit Juhaszboss, dkk 2012 ; Hill, 1998).
Salah satu hormon yang berperan dalam regulasi tulang adalah hormon
pertumbuhan. Hormon pertumbuhan merupakan regulator penting pada pertumbuhan

Universitas Sumatera Utara

dan perkembangan skeletal paska kelahiran dan mendorong terjadinya diferensiasi dan
proliferasi. Hormon pertumbuhan ini bekerja secara langsung maupun tidak langsung
terhadap tulang. Hormon pertumbuhan juga terbukti berperan dalam stimulasi
pembentukan tulang oleh osteoblas dan resorpsi tulang oleh osteoklas (Ong, dkk,
2001).
Hormon pertumbuhan berperan dalam remodeling tulang melalui interaksi yang
kompleks dari sirkulasi hormon pertumbuhan, Insulin-like Growth Factors (IGFs), dan
IGF-binding protein (IGFBPs). Penuaan akan berhubungan dengan penurunan massa
tulang trabekular dan kortikal dan juga dengan memburuknya struktur tulang. Kadar
serum hormon pertumbuhan dan IGFs menurun seiring dengan meningkatnya usia
(Ueland, 2005). Menurut Varble (2009), hormon pertumbuhan akan mempengaruhi
kadar TGF-β1 melalui jalur direk dan indirek.
Selain hormon pertumbuhan, hormon lain yang berperan dalam remodeling
tulang adalah calcitonin, paratiroid hormon (PTH), dan 1,25-dihidroxy vitamin D.
Ketiga hormon ini penting dalam meregulasi konsentrasi kalsium. Plasma PTH dapat
meningkatkan regulasi tulang sementara 1,25-dihidroxy vitamin D berperan pada
absorpsi kalsium dan penting untuk diferensiasi osteoklas dan osteoblas dan dapat
menstimulasi resorpsi dan pembentukan tulang pada beberapa percobaan klinis.
Hormon lain yang juga penting untuk remodeling tulang adalah estrogen. Pada keadaan
dimana terjadi defisiensi estrogen, tulang akan kehilangan keadaan homeostatisnya
dengan lebih banyak terjadi resorpsi dibandingkan pembentukan tulang dan massa
tulang akan berkurang (Raisz, 1999).

Universitas Sumatera Utara

2.1.4 Retraksi Kaninus
Perawatan ortodonti biasanya dicapai dalam beberapa tahap. Umumnya, tahapan
tersebut adalah tahap leveling dan aligning, tahap penutupan ruang, dan terakhir tahap
penyelesaian. Tahapan penutupan ruang biasanya dilakukan pada kasus yang
memerlukan pencabutan (Proffit, 2007). Pencabutan yang umum dilakukan pada
perawatan ortodonti adalah pencabutan premolar pertama.
Penutupan ruangan pada perawatan dengan pencabutan premolar pertama dapat
dilakukan melalui 2 cara. Cara pertama adalah dengan melakukan retraksi 6 gigi
anterior secara bersamaan dan cara kedua adalah dengan melakukan retraksi kaninus ke
arah distal terlebih dahulu kemudian dilanjutkan dengan retraksi 4 gigi anterior lainnya
(Uribe dkk, 2003). Menurut Proffit (2007) besar gaya yang diperlukan untuk mendapat
pergerakan translasi pada saat melakukan retraksi kaninus adalah 70g hingga 120g.
Jenis daya yang dihasilkan dipengaruhi oleh besar gaya, perbandingan momen, serta
bahan dan alat yang digunakan untuk melakukan retraksi kaninus tersebut.
Penutupan ruangan dalam perawatan ortodonti umumnya dilakukan melalui
mekanisme sliding. Cara ini dapat dilakukan melalui berbagai metode, seperti
penggunaan closed coil spring, elastomerik, dan metode tie back. Tidak ada perbedaan
yang bermakna secara statistik mengenai kecepatan penutupan ruangan dengan
menggunakan metode-metode tersebut (Yee, 2007).
2.2

Pertumbuhan Kompleks Kraniofasial
Pertumbuhan terjadi karena proses modeling dari tulang. Menurut Frost (1990,

cit Ruimerman, 2005) modeling diartikan bahwa tulang mengalami perubahan bentuk.

Universitas Sumatera Utara

Pertumbuhan secara sederhana diartikan sebagai penambahan ukuran, akan tetapi
konsep tersebut tidaklah tepat, karena tumbuh harus dipahami dalam 3 aspek, yaitu
bertambah dalam ukuran, differential growth, dan negative growth. Gambaran dari 3
aspek pertumbuhan tersebut terlihat pada kurva Scammon (Gambar 2.4) (Jacobson,
2006). Aspek bertambah dalam ukuran terjadi pada pertumbuhan tubuh secara
umumnya. Pertumbuhan kepala menggambarkan aspek differential growth. Ukuran
kepala bayi bertambah setelah dewasa, tetapi bila dibandingkan dengan ukuran tubuh
secara keseluruhan, kepala dewasa akan tampak berkurang ukurannya bila
dibandingkan dengan kepala bayi. Aspek ketiga, yaitu negative growth digambarkan
oleh jaringan limfoid. Jaringan limfoid pada orang dewasa akan berkurang jumlah dan
ukurannya dibandingkan pada anak-anak, sehingga dikatakan jaringan limfoid
mengalami negative growth.

Gambar 2.4. Kurva Scammon. Pertumbuhan berbagai organ tubuh diperlihatkan oleh
kurva Scammon. Aspek bertambah secara ukuran digambarkan oleh
perubahan tubuh secara keseluruhan (general), sementara kurva

Universitas Sumatera Utara

pertumbuhan neural menggambarkan aspek differential growth, dan aspek
negative growth digambarkan oleh pertumbuhan jaringan limfoid
(Jacobson, 2006).

Pada tahap seluler, pertumbuhan memiliki tiga kemungkinan. Yang pertama
adalah peningkatan ukuran sel itu sendiri yang disebut hipertrofi. Kemungkinan kedua
adalah pertambahan jumlah sel, yang disebut hiperplasia. Kemungkinan ketiga adalah
sel akan mensekresi ekstraseluler material yang akan meningkatkan ukuran sel tersebut
tanpa bergantung pada jumlah sel itu sendiri (Proffit, 2007).
Pada manusia, kecepatan pertumbuhan yang paling cepat terjadi pada
permulaan diferensiasi seluler pada masa embrio dan terus meningkat hingga lahir.
Pertumbuhan setelah kelahiran tidak terjadi dengan kecepatan yang datar. Ada saat
dimana terjadi peningkatan pertumbuhan dengan cepat yang disebut growth spurt.
Growth spurt penting karena pada saat inilah perawatan yang memerlukan modifikasi
pertumbuhan dapat dilakukan, sedangkan perawatan yang memerlukan tindakan bedah
harus ditunda hingga masa tersebut selesai (Singh, 2007).
Menurut Proffit (2007), growth spurt akan terjadi bersamaan maturitas seksual.
Pada anak perempuan, menarche merupakan indikator maturitas seksual yang juga
menandakan terjadinya growth spurt dan terjadi rata-rata pada usia 13 tahun. Singh
(2007) mengatakan bahwa pada sebagian besar kasus, growth spurt merupakan waktu
yang terbaik untuk memprediksi hasil perawatan, tujuan perawatan dan lama waktu
perawatan.

Universitas Sumatera Utara

Menurut Bhalajhi (2004), growth spurt pada anak laki-laki biasanya akan terjadi
pada usia 14 sampai 16 tahun. Pada orang dewasa yang sudah melewati masa growth
spurt, perawatan yang mengharapkan untuk mendapat keuntungan dari sisa
pertumbuhan sudah tidak dapat dilakukan lagi. Namun, Proffit (2007) mengatakan
bahwa pada orang dewasa, masih terdapat sedikit pertumbuhan wajah.
Pertumbuhan fisik manusia dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk hormon.
Bishara (2001) mengatakan bahwa, mungkin hampir semua produk kelenjar endokrin
akan mempengaruhi pertumbuhan. Hormon pertumbuhan yang dikeluarkan oleh
kelenjar pituitari penting untuk pertumbuhan postnatal. Hormon pertumbuhan mengatur
kecepatan sintesis protein yang penting untuk proliferas sel kartilago, dengan demikian
memiliki pengaruh yang besar pada pertumbuhan tulang dan juga pertumbuhan tinggi
badan. Fungsi pertumbuhan dari hormon pertumbuhan akan menjadi tidak efektif bila
epifisis telah menutup. Hormon lain yang mempengaruhi pertumbuhan adalah hormon
thyrotrophic, hormon sex, dan sekresi parathormon.
Berbeda dengan pertumbuhan yang didasarkan pada konsep pertambahan
ukuran maupun jumlah sel, perkembangan lebih mengacu kepada kondisi psikologis
dan perilaku seseorang.
Pertumbuhan kompleks kraniofasial secara sederhana terbagi menjadi 4 daerah
yang tumbuh berbeda. Pertama adalah cranial vault atau atap kranial, kemudian basis
kranial, kompleks nasomaksila, dan terakhir adalah mandibula.
Pertumbuhan dari atap kranial sangat berhubungan dengan pertumbuhan dari
otak. Pada basis kranial, pertumbuhan terjadi melalui osifikasi endochondral tulang.

Universitas Sumatera Utara

Kompleks nasomaksila mengalami pertumbuhan melalui dua mekanisme, yaitu
remodeling permukaan dan aposisi tulang pada sutura yang menghubungkan maksila
dengan kranium dan basis kranial. Maksila pada kompleks nasomaksila akan
bertumbuh ke depan dan ke bawah. Serupa dengan kompleks nasomaksila yang
bertumbuh ke depan dan ke bawah, mandibula juga akan tumbuh ke depan dan ke
bawah dalam hubungannya dengan basis kranial. Namun, pertumbuhan mandibula
bukan merupakan hasil pembesaran yang simetris dari mandibula, karena kondil dan
ramus akan mengalami elongasi pada arah superior dan posterior, bersamaan dengan
memanjangnya korpus mandibula (Proffit, 2007, Singh, 2007).
2.2.1

Indikator Maturitas Skeletal
Menurut Bishara (2001), sisa pertumbuhan yang masih ada pada seseorang

dapat dilihat dengan menggunakan radiografi hand wrist atau dengan menggunakan
radiografi sefalometri untuk melihat melalui analisa servikalis vertebra. Dasar
pengukuran umur skeletal melalui radiografi yaitu adalah perbedaan pusat osifikasi
yang terlihat dan matur pada saat yang berbeda. Urutan, kecepatan, dan waktu
kemunculan dan perkembangan osifikasi dari berbagai pusat osifikasi akan terjadi
melalui rangkaian yang dapat diprediksi.
Cara yang mudah untuk menentukan maturitas skeletal adalah dengan
menggunakan servikalis vertebra. Hassel dan Farman (1995) mengembangkan suatu
sistem untuk menentukan maturitas skeletal berdasarkan bentuk servikalis vertebra
yang akan berubah pada setiap tahap perkembangan skeletal. Bentuk badan vertebral
dari C3 dan C4 akan berubah dari bentuk seperti baji menjadi bentuk yang lebih

Universitas Sumatera Utara

panjang diikuti bentuk persegi. Batas inferior vertebra datar sewaktu belum matur dan
kemudian akan berubah menjadi konkaf atau cekung sewaktu telah matur. Konkafitas
batas inferior ini juga akan terlihat berurutan mulai dari C2 ke C3 ke C4 seiring dengan
terjadinya maturitas skeletal. Berdasarkan hal ini, Hassel dan Farman membagi tahap
perkembangannya menjadi 6 tahap.
Tahapan pertama menurut Hassel dan Farman disebut tahap inisiasi. Pada tahap
ini, mulai terjadi pertumbuhan dewasa. Besar pertumbuhan yang masih dapat
diharapkan pada tahap ini adalah sebesar 80-100%. Batas inferior C2, C3, dan C4 datar
atau rata. Bentuk vertebra tampak seperti baji, dan batas superior meruncing dari
posterior ke anterior.
Tahap kedua adalah tahap akselerasi. Percepatan pertumbuhan dimulai pada
tahap ini, dengan besar pertumbuhan yang masih dapat diharapkan adalah sebesar 6080%. Batas inferior C2 dan C3 mulai menjadi konkaf.
Tahap

ketiga

adalah

transisi

yang berhubungan

dengan

perccepatan

pertumbuhan yang mengarah kepada puncak kecepatan penambahan tinggi badan. Pada
tahap ini diharapkan masih terdapat 25-65% pertumbuhan dapat terjadi. Tahap ini
ditandai dengan kecekungan mulai jelas terlihat pada batas inferior C2 dan C3, dan
pada C4 mulai menjadi konkaf. Badan C3 dan C4 berbentuk persegi panjang.
Tahap keempat disebut perlambatan (deceleration). Tahap ini berhubungan
dengan perlambatan pertumbuhan dengan hanya sekitar 10-25% pertumbuhan yang
dapat diharapkan. Batas inferior C2, C3 dan C4 mulai jelas terlihat berbentuk konkaf,
dan badan C3 dan C4 mulai berbentuk persegi.

Universitas Sumatera Utara

Tahap kelima adalah maturasi. Pada tahap ini terjadi maturasi dari vertebra dan
hanya sekitar 5-10% pertumbuhan yang masih dapat terjadi. Kecekungan terlihat jelas
pada batas inferior C2, C3 dan C4. Bentuk badan C3 dan C4 semakin persegi.
Tahap 6 adalah penyelesaian (completion). Sudah tidak ada lagi pertumbuhan
yang dapat diharapkan dan kecekungan yang lebih dalam terlihat pada C2, C3 dan C4.
Badan C3 dan C4 telah lebih berbentuk persegi dengan dimensi vertikal yang lebih
besar dibanding dimensi horizontalnya.

2.3

Cairan Sulkus Gingiva (CSG)
Penelitian terbaru mengenai pergerakan gigi secara ortodonti telah sampai

kepada detail mengenai mekanisme molekuler, seluler, dan reaksi jaringan terhadap
gaya ortodonti. Cairan sulkus gingiva (CSG) memiliki peranan penting dalam
mekanisme pergerakan aktif gigi yang disebabkan oleh gaya mekanis, seperti yang
telah didokumentasikan oleh berbagai peneliti.
Selama beberapa tahun terakhir, CSG telah digunakan sebagai media untuk
mengukur berbagai jenis molekul dan bakteri yang terdapat dalam rongga mulut dan
daerah ligamen periodontal. CSG adalah suatu eksudat osmotis yang memediasi proses
inflamasi yang terdapat pada sulkus gingiva, dimana volumenya cenderung untuk
meningkat bila terdapat proses inflamasi dan peningkatan permeabilitas kapiler. CSG
merupakan alat bantu yang dapat digunakan untuk membantu klinisi dalam
menegakkan diagnosa, karena kandungannya tergantung pada keadaan klinis. Pada
keadaan inflamasi, volume CSG akan meningkat (Meeran, 2011), akan tetapi

Universitas Sumatera Utara

peningkatan aliran tidak menggambarkan aktivitas penyakit periodontal (Carranza dkk,
2002). Junior dkk (2011) mengatakan bahwa kekurangan utama penggunaan CSG
sebagai alat bantu analisa adalah jumlahnya yang sedikit saat dilakukan pengambilan.
Normalnya, pada jaringan periodontal yang sehat, volume yang dapat dikumpulkan
hanya sebanyak 5µl. Sedikitnya volume yang diperoleh akan membatasi jumlah analit
yang dapat diperiksa kadarnya.
Volume pada CSG menggambarkan volume sisa dan influx cairan selama cairan
dikumpulkan. Pada populasi yang sehat, volume sisa dan kecepatan aliran CSG relatif
stabil dari waktu ke waktu. Derajat inflamasi akan mempengaruhi volume sisa,
kecepatan CSG, dan waktu yang diperlukan oleh CSG untuk memenuhi sulkus gingiva
yang sehat ataupun poket periodontal. Banyak penelitian yang menunjukkan adanya
korelasi positif antara jumlah CSG yang dikumpulkan dengan derajat inflamasi secara
klinis. Penting bagi peneliti untuk memperhatikan hal-hal berikut : selalu menjaga
kesehatan jaringan paradental; lebih memperhatikan pemilihan lokasi, durasi, jumlah
dan interval pengambilan CSG; berhati-hati dalam mempersiapkan lokasi pengambilan
sampel, menyimpan dan penatalaksanaan sampel; dan terakhir mempertimbangkan
status kesehatan dan tahap perkembangan subyek penelitian (Khrisnan, 2009).
2.3.1

Komposisi Cairan Sulkus Gingiva
Selain volume, komposisi CSG juga menggambarkan kondisi sistemik ataupun

lokal dari individu yang bersangkutan. Berbagai penelitian untuk mengetahui
perubahan seluler yang terjadi sebagai respon jaringan terhadap daya ortodonti
dilakukan dengan mengumpulkan CSG dan melihat kandungan selulernya. Barbieri dkk

Universitas Sumatera Utara

(2013) melihat peningkatan kadar RANK, OPN, OPG dan TGF-β1 pada awal
pergerakan ortodonti dengan menggunakan CSG sebagai medianya. Wilson (2010)
menggunakan CSG untuk melihat berbagai sitokin yang terlibat pada proses inflamasi
dan penanda metabolisme tulang saat dilakukan pergerakan gigi secara ortodonti. Surlin
dkk (2012) juga menggunakan CSG sebagai alat bantu untuk melihat kadar MMP8,
MMP9 dan TIMP1 pada pasien pengguna piranti ortodonti yang mengalami
pembesaran gingiva.
Komposisi cairan gingiva dapat dibedakan menjadi protein, antibodi, antigen,
enzim, dan komponen seluler. Komponen selular dari CSG terdiri dari bakteri, sel epitel
deskuamasi, dan leukosit yang bermigrasi melalui sulkular epitelium. CSG juga berisi
berbagai elektrolit seperti potasium, sodium dan kalsium (Carranza dkk, 2002). Secara
garis besar, studi mengenai penanda spesifik pada CSG yang dihubungkan dengan
pergerakan gigi terbagi menjadi : penanda yang merupakan hasil metabolik dari
remodeling paradental, penanda yang merupakan mediator inflamasi dan patientresponse modifiers, dan penanda yang merupakan enzim atau inhibitor enzim dari
pasien sendiri (Khrisnan, 2009).
2.3.2

Metode Pengumpulan Cairan Sulkus Gingiva
Pengumpulan cairan ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, meliputi

prosedur yang non-invasif. Metode pengumpulannya memerlukan kesabaran dari
klinisi, cara pengumpulannya menggunakan loop platinum, filter-paper strip,
pembilasan gingiva dan pipet mikro. Cara yang terakhir lebih menguntungkan karena
mudah untuk disimpan, kuantisasi, dan mudah untuk dilakukan pengujian dengan

Universitas Sumatera Utara

metode elektroforesis ataupun secara kimiawi (Waddington dan Embery, 2001).
Namun, metode pengumpulan yang lebih sering digunakan adalah dengan
menggunakan filter-paper strip (Khrisnan, 2009).
Pendekatan yang digunakan saat ini adalah intra-sulkuler dengan dua metode
standar (Gambar 2.5). Cara pertama adalah dengan memasukkan ujung kertas saring
hingga terasa mencapai retensi yang minimum. Cara kedua adalah dengan meletakkan
kertas pada permukaan sulkus gingiva atau pada jarak yang telah ditentukan
sebelumnya, misalnya 1mm dari sulkus. Cara yang pertama cenderung untuk
meningkatkan volume cairan yang dikumpulkan karena akan menyebabkan iritasi
mekanis lokal atau trauma dan hasilnya akan meningkatkan permeabilitas vaskular
lokal. Pada keadaan dimana struktur paradental sehat atau pada keadaan dimana saku
periodontal minimal, kedua metode akan memberikan hasil yang sama (Carranza dkk,
2002).

Gambar 2.5. Metode intra sulkuler. A. Kertas saring dimasukkan hingga terasa
mencapai ujung sulkus. B. Kertas saring hanya diletakkan pada
permukaan sulkus (Carranza dkk, 2002)
Djaja (2009) melakukan pengumpulan CSG dengan menggunakan kertas saring
Whatmann 3MM yang dimasukkan pada sulkus gingiva sedalam 1 mm pada bagian

Universitas Sumatera Utara

mesial dan distal kaninus yang sedang diretraksi dan didiamkan selama 1 menit. Pada
penelitian ini, kertas saring yang terkontaminasi darah sewaktu dilakukan pengambilan
CSG tidak digunakan sebagai sampel. Cara lain untuk mengumpulkan CSG adalah
menggunakan kertas saring dengan metode intracrevicular superficial. Metode ini
dipilih oleh Hadi (2009) karena tidak invasif sehingga lebih aman dan mudah terserap.
Yang perlu diingat adalah, penting bagi peneliti untuk mengukur kedalaman poket
dengan menggunakan probe untuk melihat adanya kerusakan jaringan periodontal dan
melakukan pembersihan debris sebelum melakukan pengambilan CSG (Yamaguchi,
dkk 2006).
Susilowati (2011) melakukan penelitian untuk melihat dinamika ekspresi gen
MMP-8 dan TIMP-1 pada cairan sulkus gingiva pasien yang dirawat dengan piranti
ortodonti cekat dan lepasan. Metode pengumpulan CSG yang digunakan adalah dengan
menggunakan paper point yang dimasukkan ke dalam sulkus gingiva yang telah
dikeringkan sebelumnya. Cara ini dilakukan untuk menghindari kontaminasi CSG
dengan saliva.
Junior dkk (2011) melakukan pengambilan CSG dengan menggunakan kertas
saring yang dimasukkan ke dalam sulkus gingiva sedalam 1-2mm (Gambar 2.6). CSG
diambil setelah dilakukan pembuangan plak supragingival, kemudian daerah
pengambilan diisolasi dengan menggunakan cotton roll untuk menghindari kontaminasi
saliva. Kertas saring diletakkan selama 30 detik pada sisi mesial dan distal gigi yang
akan diperiksa.

Universitas Sumatera Utara

Gambar 2.6. Pengumpulan CSG saat retraksi kaninus. A. Kertas saring dimasukkan pada
sisi mesial atau sisi regangan. B. Kertas saring dimasukkan pada sisi distal
atau sisi tekanan, dimasukkan sejauh 1-2mm dan dibiarkan selama 30
detik (Junior dkk, 2011)

2.4.

Transforming Growth Factor β (TGF-β)
Resorpsi dan pembentukan tulang tidak terlepas dari peranan berbagai sitokin

dan growth factor. Growth factor (GF) merupakan polipeptida kecil yang dihasilkan
oleh berbagai sel seperti fibroblas dan osteoblas yang kemudian disimpan pada matriks
ekstra seluler dalam bentuk laten. Ada lima tipe utama dari growth factor yang
berperan pada pergerakan gigi secara ortodonti dan modeling tulang alveolar, yaitu :
transforming growth factor β, fibroblast growth factor (FGF) dan insulin-like growth
factor (IGF), growth factor untuk sel mesenkim yaitu dalam bentuk platelet derived
growth factor (PDGF), dan connective tissue growth factor (CTGF). Diantara berbagai
growth factor yang ada, TGF-β diduga berperan sebagai faktor coupling selama
remodeling tulang. Sumber utama bagi TGF-β adalah tulang dan platelet. TGF-β
mengikat monosit dan fibroblas dan pada uji in vitro menstimulasi angiogenesis. TGFβ banyak terdapat pada matriks tulang dan diyakini merupakan regulator lokal yang

Universitas Sumatera Utara

penting dari osteoblas dan osteoklas selama remodeling tulang (Nishimura, 2009;
Krishnan, 2009).
TGF-β adalah salah satu growth factor yang multifungsi, yang dihasilkan oleh
berbagai sel pada tulang, termasuk osteoklas, osteoblas, dan fibroblas. TGF-β
memberikan efek anabolik pada sel osteogenik. TGF-β merupakan produk dari sel
pembentuk tulang yang disimpan pada matriks tulang. Pada pelepasannya selama
resorpsi tulang, TGF-β memberikan efek parakrin untuk meningkatkan proliferasi
osteoblas. TGF-β juga bekerja sebagai faktor autokrin untuk meningkatkan sintesa
kolagen, alkalin fosfatase, dan osteopontin pada osteoblas. TGF-β meningkatkan
sintesa PGE2 dan PDGF pada sel osteoblastik, karena itulah diperkirakan bahwa efek
anabolik lokal dari TGF-β pada tulang mungkin sebagian dimediasi oleh PGE2 dan
PDGF. TGF-β juga menghambat degradasi matriks melalui regulasi autokrin-negatif
dari osteoklas. Selain itu, TGF-β juga meningkatkan ekspresi connexin dan komunikasi
antar sel pada sel osteogenik (Garrant, 2003).
TGF-β mengontrol sebagian besar proses seluler, termasuk proliferasi,
diferensiasi, produksi matriks ekstra seluler, motalitas, dan kelangsungan hidup sel.
Fungsi ini diterjemahkan melalui fungsi jaringan seperti embriogenesis dan pada
manusia dewasa, proses ini dicapai melalui keseimbangan antara proliferasi dan
diferensiasi. Bila keseimbangan ini terganggu, maka jalur TGF-β akan mengalami
malfungsi sehingga terjadi gangguan sistem imun, fibrosis, dan metastasis kanker (AlSalihi, dkk, 2012).

Universitas Sumatera Utara

TGF-β memiliki andil pada proses terjadinya beberapa penyakit. Blobe, dkk
(2000) mengatakan bahwa pada sel kanker, produksi TGF-β meningkat, yang kemudian
akan meningkatkan kemampuan invasif dari sel dengan cara meningkatkan aktivitas
proteolitik dan meningkatkan ikatannya ke molekul sel.
Salah satu fungsi utama TGF-β adalah untuk membatasi proliferasi epitel dan
menghentikan pertumbuhan pre-malignan. Akan tetapi, percobaan pada tikus
membuktikan bahwa TGF-β bukanlah merupakan regulator universal dari proliferasi,
namun, efek antiproliferasi tersebut akan muncul bila terdapat kerusakan jaringan atau
tekanan onkogenik (Padua, 2009). Quinn dkk (2001) mengatakan bahwa ada dua cara
kerja TGF-β pada pembentukan osteoklas, yaitu melalui mekanisme indirek yang
melibatkan efek inhibitor pada ekspresi osteoblas RANKL dan yang lain melalui
mekanisme direk yang mempengaruhi respon osteoclastogenik dari populasi prekursor
hematopoetik itu sendiri.
Hormon pertumbuhan diketahui meningkatkan jumlah TGF-β1 baik pada jalur
direk ataupun indirek. Pada individu penderita akromegali dengan kadar hormon
pertumbuhan yang lebih tinggi akibat tumor pituitari, kadar TGF-β1 ditemukan lebih
tinggi dibanding kelompok kontrol. Efek eksogen hormon pertumbuhan pada
percobaan in vitro menunjukkan terjadi peningkatan ekspresi pada mRNA dan protein
TGF-β1. Pada hewan coba, suplemen hormon pertumbuhan meningkatkan kecepatan
pergerakan gigi secara ortodonti dibandingkan kelompok kontrol (Varble, 2009).

Universitas Sumatera Utara

Penelitian in vivo pertama mengenai kadar growth factor dalam pergerakan gigi
secara ortodonti dilakukan oleh Uematsu dkk (1996) yang melihat kadar TGF-β1 pada
sisi yang tertekan saat dilakukan retraksi kaninus ke distal. Hasilnya adalah bahwa
kadar TGF-β1 paling tinggi pada 24 jam pertama, kemudian menurun dengan cepat
pada 168 jam setelah pemberian tekanan mekanis.
Hasil penelitian Uematsu dkk (1996) ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan oleh Barbieri dkk (2013). Penelitian Barbieri dkk (2013) juga mendapati
kadar TGF-β1 pada sisi yang tertekan meningkat dibandingkan dengan kelompok
kontrol. Dengan demikian, Uematsu dkk (1996) dan Barbieri dkk (2013)
menyimpulkan bahwa TGF-β1 menginduksi proses resorpsi tulang. Percobaan Tang
dkk (2009) secara in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa TGF-β1 yang aktif akan
dilepaskan selama resorpsi tulang untuk mengatur pembentukan tulang. Hal ini
dilakukan dengan cara mendorong migrasi bone marrow stromal cells ke daerah yang
mengalami resorpsi.
2.4.1

TGF-β2
TGF-β memiliki tiga isoform, yaitu TGF-β1, TGF-β2, dan TGF-β3 yang

dihasilkan oleh proses splicing yang berbeda, dimana TGF-β1 merupakan bentuk yang
paling banyak terdapat dalam tulang, dan paling banyak diteliti menyangkut remodeling
dan perkembangan tulang. TGF-β1 memiliki peran spesifik dalam meregulasi
remodeling tulang dengan menghubungkan resorpsi dan aposisi tulang (osteoporosis).
Selama masa perkembangan, TGF-β1 dan TGF-β3 lebih dulu terlihat selama terjadinya

Universitas Sumatera Utara

morfogenesis, sedangkan TGF-β2 terlihat setelahnya, yaitu pada saat terjadinya
diferensiasi epitel (Blobe, dkk, 2000).
TGF-β2 merupakan bagian dari TGF-β superfamily, yang terdiri dari dua
subfamili, yaitu subfamilia TGF-β, Activin, Nodal, dan subfamilia BMP (Bone
Morphogenic Protein), GDF (Growth and Differentiation Factor), dan MIS
(Muellerian Inhibiting Substance) (Kanaan, 2010). TGF-β2 merupakan growth factor
multifungsi yang berperan dalam mengontrol berbagai fungsi biologis. Li dkk (2008)
menyatakan bahwa TGF-β2 mungkin berperan dalam tahap inisiasi gigi, morfogenesis
epitel, pembentukan matriks dentin, dan diferensiasi ameloblas. Sementara menurut
Buss dkk (2007), TGF-β2 akan membantu proses perbaikan sel yang mengalami luka.
Kapetanakis dkk (2010) menemukan bahwa kadar TGF-β2 meningkat pada pasien
dengan osteoarthritis. Peningkatan kadar TGF-β2 juga berhubungan dengan tingkat
keparahan osteoarthritis.
Pada tikus transgenik yang menunjukkan ekspresi berlebih dari TGF-β, terjadi
perubahan pada keseimbangan antara pembentukan dan resorpsi tulang dan akan
menyebabkan terjadinya perubahan pada tulang trabekular. Selain itu, ekspresi berlebih
dari TGF-β2 ditemukan menyebabkan peningkatan pembentukan matriks tulang, akan
tetapi hal ini terjadi bukan karena efek TGF-β terhadap osteoblas, namun lebih
disebabkan karena respon homeostatis terhadap peningkatan resorpsi tulang yang
disebabkan oleh TGF-β (Erlebacher, dkk 1998). Selain itu, Erlebacher, dkk (1996)
menemukan bahwa ekspresi berlebih dari TGF-β2 pada tikus transgenik akan

Universitas Sumatera Utara

mengakibatkan kehilangan massa tulang yang berlebihan seperti pada keadaan
osteoporosis.
Filvaroff, dkk (1999) pada percobaannya terhadap tikus transgenik menemukan
hasil yang berbeda dengan Erlebacher, dkk (1998) yaitu bahwa bila terdapat hambatan
reseptor TGF-β2 pada osteoblas, akan mendorong terjadinya penurunan remodeling
tulang dan peningkatan kekuatan dan massa tulang trabekular.
Dong, dkk (2003) menemukan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara
konsentrasi TGF-β2 dengan karakteristik mekanis dari tulang cancellous yang
menunjukkan bahwa TGF-β2 merupakan faktor penting yang mempengaruhi massa dan
kekuatan tulang. Hasil yang cukup penting dari penelitian ini adalah bahwa massa
tulang dan kandungan TGF-β2 memiliki korelasi negatif, sehingga pada tikus dengan
konsentrasi TGF-β2 yang lebih tinggi akan diikuti dengan kehilangan massa tulang
secara progresif.
Peranan TGF-β, khususnya TGF-β2 dalam regulasi tulang belum sepenuhnya
jelas. Menurut Nishimura (2009) masih tetap belum diketahui apakah TGF-β2 juga
menunjukkan aktivitas yang sama dengan TGF-β1 pada stem sel sumsum tulang.
2.4.2 Aktivasi TGF-β
Signalisasi TGF-β dimulai saat ligand berikatan dengan reseptornya. Ada sekitar
42 jenis ligand untuk TGF-β, yang dibagi ke dalam 2 grup utama : famili TGF-β dan
famili Bone Morphogenetic Protein (BMP). Proses untuk berikatan dengan ligan akan
menginduksi pembentukan kompleks quartener dari reseptor transmembran serin

Universitas Sumatera Utara

threinin kinase. Reseptor ini terbagi menjadi tipe I (ALK1-7) dan tipe II (ACVR-IIA,
ACVR-IIB, BMPR-II, AMHR-II dan TGF-βR-II). Transducer intraseluler pada jalur
aktivasi ini adalah protein SMAD. SMAD terbagi menjadi subgrup spesifik : reseptorregulasi (R-SMADs), co-SMAD, dan SMADs Inhibitor. Pada saat berikatan dengan
ligand, reseptor tipe II akan memfosforilasi dan mengaktivasi reseptor tipe I. Reseptor
tipe I yang telah teraktivasi akan memfosforilasi R-SMADs pada terminal-C. Reseptor
tipe I yang telah teraktivasi akan memfosforilasi pembentukan kompleks R-SMAD
dengan SMAD4 dan translokasi nukleus, yang kemudian bersama dengan kofaktor
nukleus akan mengikat DNA dan meregulasi transkripsi. Secara umum, reseptor TGF-β
akan diaktivasi melalui SMAD 2 dan 3, sementara BMP akan diaktivasi melalui SMAD
1, 5, dan 8 (Al-Shalihi, dkk 2012). Gambaran skematik mengenai aktivasi TGF-β ada
pada Gambar 2.7.

Gambar 2.7. Gambaran skematik aktivasi TGF-β melalui jalur SMAD (Kanaan, 2010)

Universitas Sumatera Utara

2.5

ELISA
ELISA atau enzym-linked immunosorbent assay adalah metode yang paling

sering digunakan untuk mengukur konsentrasi molekul tertentu seperti misalnya
hormon di dalam suatu cairan seperti serum atau urin. ELISA adalah uji serologis yang
umum digunakan diberbagai laboratorium imunologi karena memiliki beberapa
keunggulan seperti teknik pengerjaan yang relatif sederhana, ekonomis, dan memiliki
sensitivitas tinggi.
Prinsip dasar ELISA adalah menggunakan enzim untuk berikatan dengan
antigen dan antibodi. Enzim akan mengubah substrat yang tidak berwarna menjadi
produk berwarna, yang menandakan adanya ikatan antigen:antibodi. Jumlah antibodi
yang berikatan dengan antigen sebanding dengan antigen yang terlihat dan ditetapkan
melalui spektrofotometri (Gambar 2.8).
Secara sederhana, uji ELISA terbagi atas 3 metode dasar, yaitu direct ELISA,
indirect ELISA, dan terakhir sandwich ELISA, yang kesemuanya disebut uji kompetitif
atau inhibitor.

i

ii

iii

iv

v

Gambar 2.8. Gambaran cara kerja ELISA secara skematik. (i) Antigen ditambahkan
pada fasa padat dan akan berikatan dengan antibodi yang melapisi sumur
secara pasif selama inkubasi. (ii) Setelah inkubasi, antigen lain yang tidak
berikatan akan terbuang melalui proses pembilasan. (iii) Antibodi spesifik
yang telah berikatan dengan antigen kemudian akan ditambahkan
konjugat dan diinkubasi. (iv) Konjugat akan berikatan dengan ikatan
antigen dan antibodi. Konjugat yang tidak berikatan akan dibuang melalui

Universitas Sumatera Utara

proses pembilasan. (v) Ditambahkan larutan substrat dan enzim akan
mempercepat reaksi untuk memberikan warna pada produk. Rekasi
kemudian dihentikan dengan menggunakan stop solution dan warna
dilihat dengan menggunakan spektrofotometer (Crowther, 2001).

Universitas Sumatera Utara

2.6

Kerangka Teori

Tekanan mekanik terhadap gigi

Pergerakan gigi

Teori piezoelektrik

Aktivasi matriks
inorganik

Teori tekanan-tarikan

Teori bone bending

Tulang alveolar
melengkung

Ligamen periodontal mengalami tekanan dan tarikan

Kalsium regulator : PTH, hormon tiroid,
estrogen, vitamin

Proses remodeling yang diawali oleh proses inflamasi
Peningkatan PGE2, IL-1β,IL8, TNF α, MMP 8, sitokin pro inflamatori

Perubahan seluler

osteoblas

Formasi

osteoklas

Resorpsi

Perubahan molekuler

RANKL

OPG

Growth Factor

PDGF, TGF, IGF, CTGF, FGF

Universitas Sumatera Utara

2.7

Kerangka Konsep

Tekanan mekanik terhadap gigi sebesar 100g

Ligamen periodontal mengalami tekanan dan tarikan

Proses inflamasi yang dimediasi oleh mediator inflamasi

Perubahan molekuler

Perubahan seluler
osteoblas

osteoklas

OPG

RANKL

Growth Factor

Fase inisial/fase lag/fase post lag

2.8

TGF-β2

Hipotesis
1. Terdapat perbedaan kadar antara kelompok usia 10-15 tahun dan 30-35
tahun akibat pemberian tekanan mekanis
2. Terdapat perbandingan beda kadar TGF-β2 antara kelompok usia 10-15
tahun dengan kelompok usia 30-35 tahun.
3. Terdapat peningkatan kadar TGF-β2 akibat pemberian tekanan mekanis
pada 24 jam setelah, dan 72 jam setelah diberikan tekanan mekanis pada
kelompok usia 10-15 tahun dan kelompok usia 30-35 tahun.

Universitas Sumatera Utara