Pendidikan karakter teori dan aplikasi

BAB I PENDAHULUAN

Seri Pendidikan Karakter

BAB I PENDAHULUAN

A. Pendahuluan

Globalisasi dapat diartikan sebagai proses saling berhubungan yang mendunia antar individu, bangsa dan negara, serta berbagai organisasi kemasyarakatan, terutama perusahaan. Proses ini dibantu berbagai alat komunikasi dan transportasi yang berteknologi canggih, dibarengi kekuatan-kekuatan politik dan ekonomi serta nilai-nilai sosial-budaya yang saling mempengaruhi.

Era globalisasi dengan ciri-ciri adanya saling keterbukaan dan ketergantungan antar negara. Akibat saling keterbukaan dan ketergantungan ditambah dengan arus informasi yang sangat cepat maka kompetisi antar negara pun akan semakin ketat terutama pada bidang ekonomi. Bagi Indonesia globalisasi ini tidak hanya memiliki dimensi domestik akan tetapi juga dimensi global. Dari sisi dimensi domestik globalisasi ini memberi peluang positif terutama

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

untuk mengadopsi dan menerapkan inovasi yang datang dari luar untuk meningkatkan peluang kesempatan kerja bagi masyarakat. Di samping itu dari sisi keuntungan domestik, pengaruh globalisasi ini dapat mendidik masyarakat untuk memiliki pola pikir kosmopolitan dan pola tindak kompetitif, suka bekerja keras, mau belajar untuk meningkatkan keterampilan dan prestasi kerja. Dari sisi globalisasi, kita hidup di dalam dunia yang terbuka, dunia yang tanpa batas. Perdagangan bebas serta makin meningkatnya kerjasama regional memerlukan manusia-manusia yang berkualitas tinggi. Kehidupan global merupakan tantangan sekaligus membuka peluang-peluang baru bagi pembangunan ekonomi dan bagi pembangunan SDM Indonesia yang berkualitas tinggi untuk memperoleh kesempatan kerja di luar negeri. Di sinilah tantangan sekaligus peluang bagi peningkatan mutu pendidikan Indonesia baik untuk memenuhi SDM yang berkualitas bagi kebutuhan domestik maupun global.

Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang kehidupan global di atas, diperlukan paradigma baru pendidikan. H.A.R. Tilar (2000:19-23) mengemukakan pokok-pokok paradigma baru pendidikan sebagai berikut: (1) pendidikan ditujukan untuk membentuk masyarakat Indonesia baru yang demokratis; (2) masyarakat demokratis memerlukan pendidikan yang dapat menumbuhkan individu dan masyarakat yang demokratis; (3) pendidikan diarahkan untuk mengembangkan tingkah laku yang menjawab tantangan internal dan global; (4) pendidikan harus mampu mengarahkan lahirnya suatu bangsa Indonesia yang bersatu serta demokratis; (5) di dalam menghadapi kehidupan global yang kompetitif dan inovatif, pendidikan harus mampu mengembangkan kemampuan berkompetisi di dalam rangka kerjasama; (6)

Seri Pendidikan Karakter

pendidikan harus mampu mengembangkan kebhinekaan menuju kepada terciptanya suatu masyarakat Indonesia yang bersatu di atas kekayaan kebhinekaan masyarakat, dan (7) yang paling penting, pendidikan harus mampu meng-Indonesiakan masyarakat Indonesia sehingga setiap insan Indonesia merasa bangga menjadi warga negara Indonesia.

Konlik-konlik sosial, tindakan-tindakan diskriminasi, perilaku yang exklusif dan primordial muncul karena belum semua masyarakat merasa, menghayati dan bangga sebagai insan Indonesia. Dan di sinilah para pemimpin formal dan informal pada semua aspek kehidupan harus menjadi teladan.

Untuk mencapai tujuan ini diperlukan aktualisasi pendidikan nasional yang baru dengan prinsip-prinsip : (1) partisipasi masyarakat di dalam mengelola pendidikan (community based education ); (2) demokratisasi proses pendidikan; (3) sumber daya pendidikan yang profesional; dan (4) sumber daya penunjang yang memadai, dan (5) membangun pendidikan yang berorientasi pada kualitas individu berbasis karakter.

Paradigma baru pendidikan di atas mengisyaratkan bahwa tanggung jawab pendidikan tidak lagi dipikulkan kepada sekolah, akan tetapi dikembalikan kepada masyarakat dalam arti sekolah dan masyarakat sama-sama memikul tanggung jawab. Dalam paradigma baru ini, masyarakat yang selama ini pasif terhadap pendidikan, tiba-tiba ditantang menjadi penanggung jawab pendidikan. Tanggung jawab ini tidak hanya sekedar memberikan sumbangan untuk pembangunan gedung sekolah dan membayar uang sekolah, akan tetapi yang lebih penting masyarakat ditantang untuk turut serta menentukan jenis pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan,

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

termasuk meningkatkan mutu pendidikan dan memikirkan kesejahteraan tenaga pendidik agar dapat memberikan pendidikan yang bermutu kepada peserta didik. Hal ini bukanlah sesuatu yang mudah karena banyak kendala yang mempengaruhi, antara lain: (1) bagi masyarakat hal ini merupakan masalah baru sehingga perlu proses sosialisasi; (2) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota propinsi, kotamadya dan kabupaten, masalahnya lebih sederhana karena tingkat pendidikan dan ekonomi relatif baik, sehingga tidak sulit menyeleksi orang-orang yang akan duduk pada posisi tanggung jawab ini; (3) bagi masyarakat yang tinggal di ibukota kecamatan dan desa masalahnya menjadi rumit karena tingkat pendidikan masyarakatnya rendah dengan kondisi kehidupan miskin.

Permasalahan lain yang membutuhkan renungan sehingga dirasakan perlunya paradigma baru berkaitan dengan pendidikan, akhir-akhir ini banyak hal yang patut menjadi bahan renungan mendalam. Misalnya masalah akhlak lulusan, kesesuaian lulusan dengan lapangan kerja, masalah nasionalisme di tengah masa globalisasi, dan lain-lain. Mengapa lulusan pendidikan kita masih menghasilkan lulusan yang sebagiannya masih sanggup korupsi. Sebenarnya jiwa korup inilah yang menurunkan sifat berkolusi, nepotisme, monopoli, ketidakadilan dan sebagainya itu. Akar masalah adalah jiwa korup.

Pendidikan sejatinya telah memberikan kontribusi pada pengembangan intelektual, banyak anak didik kita telah menorehkan prestasi pada ajang olimpiade baik pada tingkat nasional maupun internasional. Tapi disisi lain keberhasilan tersebut belum dibarengi pada upaya yang maksimal dalam menanamkan akhlak pada anak didik kita. Masih cukup banyak siswa-siswa kita di sekolah

Seri Pendidikan Karakter

menengah yang nakal seperti mabuk-mabukan, tawuran, bolos sekolah. Padahal, kita mengetahui bahwa kenakalan itu potensial untuk kejahatan. Remaja yang nakal amat potensial untuk berkembang menjadi orang dewasa yang jahat.

Krisis ekonomi yang kita alami sekarang yang merambat ke krisis kepercayaan kepada pemerintah, sebagiannya diakibatkan oleh akhlak pelaku bisnis -dan orang-orang yang berhubungan dengan itu- yang kurang baik. Mereka itu adalah lulusan sekolah dan perguruan tinggi. Artinya, sekolah dan perguruan tinggi kita ikut ambil bagian juga sebagai penyebab terjadinya krisis yang kita alami sekarang.

Sebenarnya, hasil pendidikan seseorang tidak hanya ditentukan oleh pendidikan di sekolah (dan perguruan tinggi). Rumah tangga dan masyarakat pun ikut menentukan. Karena itu, kata “pendidikan” yang dimaksud dalam buku ini mencakup pendidikan di tiga tempat pendidikan tersebut.

Apa yang seharusnya menjadi inti pendidikan kita? Beberapa tahun yang lalu ada keluhan dari Menteri Pendidikan tentang pendidikan kita, khususnya pendidikan formal. Keluhan itu ialah kurang sesuainya lulusan sekolah kita dengan tuntutan lapangan kerja. Dari sinilah muncul konsep link and match yang tekenal itu.

Tidak dapat diragukan lagi bahwa masalah kurang relevannya kemampuan lulusan dengan lapangan kerja memang merupakan salah satu kekurangan dalam pendidikan kita. Namun demikian ada satu hal yang harus diingat: itu bukan masalah terbesar dalam pendidikan kita. Masalah terbesar apa? Pendidikan akhlak, dimana akhlak yang dibangun merupakan karakter dari hasil pendidikan.

Jika ditelusuri perjalanan sejarah maka akan muncul informasi

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

berkaitan dngan tujuan pendirian sekolah, sekolah pada awalnya memang dibuat bukan menyediakan lapangan kerja. Sejarah mencatat nama Plato ( ilsuf Yunani) adalah orang yang mula- mula mendirikan lembaga pendidikan yang mirip dengan sekolah kita sekarang, dengan nama Akademia. Dalam ikiran Plato tujuan mendirikan lembaga pendidikan bukan untuk mencetak tenaga kerja, bukan mengajarkan keterampilan untuk bekerja. Meskipun demikian, bukan berarti pada saat itu belum ada lapangan kerja, sebab semua pekerjaan saat itu bisa dikerjakan tanpa harus mengenyam bangku sekolah. Plato melihat ada masalah yang lebih esensial, ada masalah yang lebih besar, lebih mendasar, yang harus menjadi tujuan pendidikan, yaitu manusia harus disiapkan agar menjadi manusia yang bijaksana. Manusia yang bijaksana itu ternyata sulit dihasilkan, yang agak mudah dihasilkan ialah manusia yang mencintai kebijaksanaan (the lover of wisdom).

Ada banyak ciri manusia bijaksana yang dimaksud oleh Plato dan kawan-kawannya. Pada dasarnya, yang dimaksud mereka dengan manusia bijaksana atau pencinta kebijaksanaan ialah manusia yang banyak pengetahuannya dan memiliki kemampuan tinggi dalam pengendalian diri. Karena itulah Pythagoras mendirikan orde (aliran) yang lebih berorientasi dalam mengajarkan aktivitas ritual yang diduga dapat menjadikan seseorang memiliki kemampuan tinggi dalam mengendalikan diri.

Sekolah ketika itu memang belum diarahkan untuk mencetak tenaga kerja. Sekolah ketika itu menekankan tujuannya pada meningkatkan kemanusiaan manusia. Orang-orang terdidik haruslah menjadi panutan orang di sekitarnya dalam hal perikemanusiaan yang tinggi; mereka haruslah menjadi bintang

Seri Pendidikan Karakter

bersinar dalam masyarakatnya, mereka harus mampu menjadi teladan kemanusiaan masyarakatnya. Diterimanya hukuman mati -yang dijatuhkan oleh pengadilan Athena- oleh Socrates menjelaskan kenyataan itu. Orang yang bijaksana atau pencinta kebijaksanaan yang dimaksud orang-orang Yunani Kuno itu mirip sekali dengan akhlak mulia (dalam ajaran Islam). Mungkin tidak terlalu keliru bila disimpulkan bahwa inti pendidikan pada zamanYunani Kuno itu ialah pendidikan akhlak.

Memang tujuan pendidikan tidaklah hanya akhlak mulia. Tujuan-tujuan lain ada juga. Misalnya pengetahuan yang banyak dan terampil bekerja. Tetapi, pembentukan akhlak selalu merupakan inti tujuan.

Dalam UU Nomor 2 tahun 1989 disebutkan bahwa keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah inti pendidikan kita. Tetapi dalam operasinya kita masih menempatkan penguasaan pengetahuan dan keterampilan sebagai inti pendidikan.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prof. Dr.Ahmad Tafsir (1991 dan 1996) menggambarkan kebanyakan orang tua menyekolahkan anak dengan tujuan: 1) agar anaknya tidak nakal. Anehnya; 2) alasan pemilihan sekolah oleh orang tua murid telah bergeser, khususnya pemilihan SMA. Dahulu, mutu akademik SMA merupakan kriteria pertama dalam pemilihan, ukuran yang mereka gunakan ialah prosentase lulusan yang lulus perguruan tinggi favorit. Sekarang menemukan data bahwa sebagian besar orang tua murid menjadikan mutu akademik itu sebagai kriteria kedua. Kriteria nomor satu ialah besarnya kemungkinan sekolah itu mendidik anaknya agar tidak nakal. Jadi, tidak nakal merupakan kriteria pertama dalam pemilihan SMA.

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

Pergeseran itu dapat dipahami. Bila anaknya di SMA nakal maka akan timbul banyak kerugian. Pertama, orang tua akan malu bila anaknya nakal, kedua, prestasi akademik anaknya itu akan turun bila nakal, ketiga, kesehatan anak itu akan merosot bila nakal, keempat , kadang-kadang pengeluaran uang akan lebih besar bila anaknya nakal. Jadi sebenarnya harapan pertama orang tua murid kepada sekolah ialah agar anaknya tidak nakal.

Ada tiga tempat pendidikan yaitu sekolah, rumah, dan masyarakat. Lembaga pendidikan di rumah sudah jelas yaitu rumah tempat tinggal seseorang, lembaga pendidikan sekolah ialah sekolah dengan bermacam tingkat dan jenis. Adapun lembaga pendidikan yang berlaku di masyarakat ialah di lembaga-lembaga masyarakat seperti koperasi, kepolisian, pengadilan, penjara, organisasi politik, berbagai lembaga swadaya masyarakat, dan lain-lain.

Berhasilnya pendidikan membangun akhlak adalah amat penting bagi kita. Penting karena ia merupakan inti pendidikan kita. Penting untuk meneruskan perjalanan bangsa yang besar ini. Bangsa yang besar terutama ditandai oleh ketinggian akhlaknya. Berhasilnya pendidikan akhlak penting pula dalam rangka menyiapkan generasi penerus untuk mampu hidup dalam zaman global.

Dalam zaman global itu seseorang memerlukan pengendali yang kuat agar ia mampu memilih dan memilah nilai-nilai yang banyak sekali ditawarkan kepadanya. Agar zaman global tahan banting, maka bisa dilakukan dengan pendidikan, sebab Jalan terbaik dalam membangun seseorang ialah pendidikan. Jalan terbaik dalam membangun masyarakat ialah pendidikan. Jalan terbaik dalam membangun negara ialah pendidikan. Jalan terbaik

Seri Pendidikan Karakter

membangun dunia juga pendidikan. Secara sederhana, fokus pendidikan hanya tiga, yaitu membangun pengetahuan, membangun keterampilan (skill), dan membangun karakater. Dari ketiga elemen pendidikan intnya hanya satu yakni berbasis, adalah karakter.

Pendidikan kita cukup berhasil dalam membangun pengetahuan (sain dan teknologi), cukup berhasil juga dalam membangun keterampilan; namun pendidikan kita ternyata belum maksimal dalam membangun karakter.

Membangun kemampuan sain dan teknologi cukup berhasil, indikatornya lulusan pendidikan telah mempu membuat pesawat terbang, anak didik kita memperoleh juara dalam olimpiade sain, matematika dan perlombaan robot pada level international semua itu menggunakan teknologi mutakhir.

Dalam pembinaan pendidikan keterampilan kita juga berhasil, misalnya pada bidang hukum lawyer kita hebat, arsitek kita hebat juga, tenaga medis kita banyak dipakai di manca negara, dalam beberapa bidang keterampilan memang terlihat pendidikan keterampilan kita kurang berhasil namun kekurangberhasilan itu lebih disebabkan oleh lemahnya karakter lulusan kita. Sekarang ini pendidikan kita sedang fokus pada pendidikan keterampilan tingkat menengah dengan dibukanya begitu banyak sekolah menengah keterampilan (SMK). Keberhasilan SMK belum dapat kita nilai karena memang baru-baru ini saja kita memulainya.

Dalam hal pendidikan karakter yang sudah dibangun selama ini sejatinya perlu penguatan dari sisi ideologi kebangsaan dan kesantunan sehingga pendidikan dapat melahirkan warga negara yang berilmu, kokoh secara ideolgi dan juga mempunyai

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

kesantunan.

Dengan demikian Mengapa pendidikan kita belum maksimal dalam membangun karakter? Pembangunan karakter belum maksimal dalam pendidikan kita karena pembangunan karakter itu belum pernah dijadikan fokus dalam pendidikan kita. Perhatikan Undang-Undang System Pendidikan Nasional (UUSPN). Kita telah memiliki 6 UUSPN yaitu UU tahun 1946, UU Tahun 1950, UU Tahun 1954, TAP-MPR Tahun 1967, UU Nomor 2 Tahun 1989, dan terakhir UU Nomor 20 Tahun 2003. Tidak satupun UU itu yang menjadikan pembangunan karakter sebagai fokus pendidikan nasional.

Dari sekian banyak menteri pendidikan belum ada menteri pendidikan yang menjadikan pembangunan karakter sebagai pendidikan nasional.

Pendidikan karakter selalu ada sejak UU yang pertama secara tersamar, pendidikan karakter merupakan bagian dari pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan (PKn) tetapi pendidikan karakter itu tidak dijadikan salah satu fokus pendidikan nasional.

Beberapa mata pelajaran memang dapat berhasil sekalipun tidak dijadikan fokus, misalnya mata pelajaran matematik. Pengajaran matematik itu dapat berhasil hanya oleh guru matematik dan sedikit bantuan orang tua di rumah. Pengajaran matematik dapat diserahkan hanya kepada guru matematik, pendidikan akhlak harus dijadikan fokus program, fokus pendidikan; bila dijadikan fokus maka yang bertanggung jawab terhadap keberhasilan pendidikan karakter itu adalah institusi tersebut, bila institusi itu sekolah maka yang bertanggung jawab sekurang-kurangnya adalah kepada sekolah, semua guru, semua pegawai tata usaha, pesuruh sekolah,

Seri Pendidikan Karakter

tukang sapu, tukang jaga sepeda atau petugas parkir, orang yang berjualan di kantin sekolah, dan orang tua di rumah.

Pendidikan karakter tidak bisa dilaksanakan seperti pendidikan matematik, karena pendidikan karakter itu memiliki kekhasan tertentu, karena pendidikan karakter sebenarnya adalah pendidikan kepribadian yang memerlukan sebanyak mungkin pembiasaan dan peneladanan.

Dalam kontek berbangsa pendidikan karakter adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana serta proses pemberdayaan potensi dan pembudayaan peserta didik guna membangun karakter pribadi dan/atau kelompok yang unik-baik sebagai warga negara. Hal itu diharapkan mampu memberikan kontribusi optimal dalam mewujudkan masyarakat yang berketuhanan yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, berjiwa persatuan Indonesia, berjiwa kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pada tanggal 2 Mei 2010 yang lalu Menteri pendidikan nasional medeklarasikan dimulainya pendidikan karakter bangsa. Baru inilah ada menteri pendidikan yang kelihatannya hendak menjadikan pembangunan karakter sebagai fokus pendidikan nasional.

Deklarasi itu harus disambut dengan penuh antusias. Agar deklarasi itu mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan, yaitu memperbaiki karakter orang Indonesia, hendaknya deklarasi itu tidak sekedar deklarasi, bukan sekedar mengingatkan, deklarasi itu harus diikuti oleh pencanangan perubahan paradigma, yaitu berpindah dari paradigma bahwa pendidikan karakter hanya oleh guru agama dan PKn ke paradigma bahwa pendidikan karakter itu

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

adalah tugas semua aparat yang terkait dengan murid.

Deklarasi itu berpijak pada pemikiran bahwa strategi pembangunan karakter bangsa melalui pendidikan dapat dilakukan dengan pendidikan dan pembelajaran. Pendidikan merupakan tulang punggung strategi pembentukan karakter bangsa. Hal itu terjadi karena dalam konteks makro, penyelenggaraan pendidikan karakter mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengendalian mutu yang melibatkan seluruh unit utama di lingkungan pemangku kepenting- an pendidikan nasional.

Peran pendidikan sangat strategis karena merupakan pembangun integrasi nasional yang kuat. Selain dipengaruhi faktor politik dan ekonomi, pendidikan juga dipengaruhi faktor sosial budaya, khususnya dalam aspek integrasi dan ketahanan sosial.

B. Tujuan Penulisan Buku

Tujuan utama penulisan buku ini adalah mencoba memberikan masukan tentang bagaimana membangun paradigma pendidikan di Indonesia supaya bisa melahirkan lulusan yang berkualitas, serta memiliki integritas moral yang tinggi. Salah satunya dengan pendidikan karakter.

C. Isi dari Buku

Buku ini mencoba memaparkan permasalahan-permasalahan masyakarat yag bisa diselesaikan dengan pendidikan. Mengapa pendidikan menjadi tumpuan menyelesaikan masalah yang muncul di masyakarat.

Paparan lain juga menjelaskan bagaimana gambaran permasalahan dan solusi baik secara teoritis maupun secara praktis berkaitan dengan paradigma pendidikan karakter.

Seri Pendidikan Karakter

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

BAB II PERMASALAHAN BANGSA INDONESIA DAN PENDIDIKAN

Seri Pendidikan Karakter

BAB II PERMASALAHAN BANGSA INDONESIA DAN PENDIDIKAN

A. Deskripsi Permasalahan Berbangsa

Permasalahan yang muncul dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dan sangat membahayakan dalam membangun bangsa yang kuat, berdasarkan buku Desain Induk Pembangunan Karater bangsa (2010) dapat di identiikasi sebagai berikut:

1. Disorientasi dan belum Dihayatinya Nilai-nilai Pancasila sebagai Filosoi dan Ideologi Bangsa

Pancasila sebagai kristalisasi nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersumber dari budaya Indonesia telah menjadi ideologi dan pandangan hidup. Pancasila sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan ideologi negara dan sebagai dasar

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

negara. Pancasila sebagai pandangan hidup mengandung makna bahwa hakikat hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dijiwai oleh moral dan etika yang dimanifestasikan dalam sikap perilaku dan kepribadian manusia Indonesia yang proporsional baik dalam hubungan manusia dengan yang maha pencipta, dan hubungan antara manusia dengan manusia, serta hubungan antara manusia dengan lingkungannya. Namun dalam kehidupan masyarakat prinsip tersebut tampak belum terlaksana dengan baik. Kekerasan (domestik maupun nasional) dan hempasan globalisasi sampai kepada korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) masih belum dapat diatasi.

Masalah tersebut muncul karena telah terjadi disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila yang diakui kebenarannya secara universal. Pancasila sebagai sumber karakter bangsa yang dimaksudkan adalah keseluruhan sifat yang mencakup perilaku, kebiasaan, kesukaan, kemampuan, bakat, potensi, nilai-nilai, dan pola pikir yang dimiliki oleh sekelompok manusia yang mau bersatu, merasa dirinya bersatu, memiliki kesamaan nasib, asal, keturunan, bahasa, adat dan sejarah Indonesia.

2. Keterbatasan Perangkat Kebijakan Terpadu dalam Mewujudkan Nilai-nilai Esensi Pancasila

Substansi hukum, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis sudah tertuang secara implisit maupun eksplisit dalam produk-produk hukum yang ada. Substansi hukum mengarah pada pemenuhan kebutuhan

Seri Pendidikan Karakter

pembangunan dan aspirasi masyarakat, terutama dalam pemenuhan rasa keadilan di depan hukum. Namun demikian berbagai kebijakan dan produk hukum tersebut masih belum sepenuhnya dapat mengakomodasi kebutuhan untuk mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila sebagai landasan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Akibatnya, maka penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai wahana dan sarana membangun karakter bangsa, meningkatkan komitmen terhadap NKRI serta menumbuhkembangkan etika kehidupan berbangsa bagi seluruh rakyat Indonesia belum optimal. Oleh karena itu, pewujudan nilai-nilai esensi Pancasila pada semua lapisan masyarakat Indonesia perlu didukung perangkat kebijakan terpadu.

3. Bergesernya Nilai-nilai Etika dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara

Pembangunan nasional dalam segala bidang yang telah dilaksanakan selama ini memang mengalami berbagai kemajuan. Namun, di tengah-tengah kemajuan tersebut terdapat dampak negatif, yaitu terjadinya pergeseran terhadap nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pergeseran sistem nilai ini sangat nampak dalam kehidupan masyarakat dewasa ini, seperti penghargaan terhadap nilai budaya dan bahasa, nilai solidaritas sosial, musyawarah mufakat, kekeluargaan, sopan santun, kejujuran, rasa malu dan rasa cinta tanah air dirasakan semakin memudar. Perilaku korupsi masih banyak terjadi, identitas

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

ke-”kami”-an cenderung ditonjolkan dan mengalahkan identitas ke-”kita”-an, kepentingan kelompok, dan golongan seakan masih menjadi prioritas. Ruang publik yang terbuka dimanfaatkan dan dijadikan sebagai ruang pelampiasan kemarahan dan amuk massa. Benturan dan kekerasan masih saja terjadi di mana-mana dan memberi kesan seakan-akan bangsa Indonesia sedang mengalami krisis moral sosial yang berkepanjangan. Banyak penyelesaian masalah yang diakhiri dengan tindakan anarkis dan cenderung. Aksi demontrasi mahasiswa dan masyarakat seringkali melewati batas- batas ketentuan, merusak lingkungan, bahkan merobek dan membakar lambang-lambang Negara yang seharusnya dijunjung dan dihormati. Hal tersebut, menegaskan bahwa telah terjadi pergeseran nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Bisa jadi kesemua itu disebabkan belum optimalnya upaya pembentukan karakter bangsa, kurangnya keteladanan para pemimpin, lemahnya budaya patuh pada hukum, cepatnya penyerapan budaya global yang negatif dan ketidakmerataan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat.

4. Memudarnya Kesadaran terhadap Nilai-nilai Budaya Bangsa

Pembangunan di bidang budaya telah mengalami kemajuan yang ditandai dengan meningkatnya pemahaman terhadap keberagaman nilai-nilai budaya bangsa. Namun arus budaya global yang sering dikaitkan dengan kemajuan di bidang komunikasi mencakup juga penyebaran informasi

Seri Pendidikan Karakter

secara mendunia melalui media cetak dan elektronika berdampak terhadap ideologi, agama, budaya dan nilai-nilai yang dianut manyarakat Indonesia. Pengaruh arus deras budaya global yang negatif menyebabkan kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa dirasakan semakin memudar. Hal ini tercermin dari perilaku masyarakat Indonesia yang lebih menghargai budaya asing dibandingkan budaya bangsa, baik dalam cara berpakaian, bertutur kata, pergaulan bebas, dan pola hidup konsumtif, serta kurangnya penghargaan terhadap produk dalam negeri.

Berdasarkan indikasi di atas, globalisasi telah membawa perubahan terhadap pola berpikir dan bertindak masyarakat dan bangsa Indonesia, terutama masyarakat kalangan generasi muda yang cenderung mudah terpengaruh oleh nilai-nilai dan budaya luar yang tidak sesuai dengan kepribadian dan karakter bangsa Indonesia. Untuk itu, diperlukan upaya dan strategi yang tepat agar masyarakat Indonesia dapat tetap menjaga nilai-nilai budaya dan jati diri bangsa sehingga tidak kehilangan kepribadian sebagai bangsa Indonesia.

5. Ancaman Disintegrasi Bangsa

Ancaman dan gangguan terhadap kedaulatan negara, keselamatan bangsa, dan keutuhan wilayah sangat terkait dengan posisi geograis Indonesia, kekayaan alam yang melimpah, serta belum tuntasnya pembangunan karakter bangsa, terutama pemahaman masalah multikulturalisme yang telah berdampak munculnya gerakan separatis dan konlik horisontal. Selain itu, belum meratanya hasil pembangunan antardaerah, primordialisme yang tak terkendali, dan dampak

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

negatif implementasi otonomi daerah cenderung mengarah kepada terjadinya berbagai permasalahan di daerah.

6. Melemahnya Kemandirian Bangsa

Kemampuan bangsa yang berdaya saing tinggi adalah kunci untuk membangun kemandirian bangsa. Daya saing yang tinggi, akan menjadikan Indonesia siap menghadapi tantangan globalisasi dan mampu memanfaatkan peluang yang ada. Kemandirian suatu bangsa tercermin, antara lain pada ketersediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan mampu memenuhi tuntutan kebutuhan dan kemajuan pembangunan, kemandirian aparatur pemerintahan dan aparatur penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, pembiayaan pembangunan yang bersumber dari dalam negeri yang semakin kukuh, dan kemampuan memenuhi sendiri kebutuhan pokok. Namun hingga saat ini sikap ketergantungan masyarakat dan bangsa Indonesia masih cukup tinggi terhadap bangsa lain. Konsekuensinya bangsa Indonesia dalam berbagai aspek kurang memiliki posisi tawar yang kuat sehingga tidak jarang menerima kehendak negara donor meskipun secara ekonomi kurang menguntungkan. Kurangnya kemandirian, juga tercermin dari sikap masyarakat yang menjadikan produk asing sebagai primadona, etos kerja yang masih perlu ditingkatkan, serta produk bangsa Indonesia dalam beberapa bidang pertanian belum kompetitif di dunia internasional.

B. Deskripsi Permasalahan yang Menggerogoti Pendidikan

Masalah besar masyarakat Indonesia secara umum sebagai

Seri Pendidikan Karakter

akibat era globalisasi terjadinya interaksi dan ekspansi kebudayaan ditandai dengan semakin berkembangnya pengaruh budaya pengagungan materi secara berlebihan (materialistik), pemisahan kehidupan duniawi dari supremasi agama (sekularistik), dan pemujaan kesenangan indera mengejar kenikmatan badani (hedonistik). Gejala ini merupakan penyimpangan jauh dari budaya luhur turun temurun serta merta telah memunculkan berbagai bentuk Kriminalitas, Sadisme, Krisis moral secara meluas.

Dunia pendidikan di negara kita akhir-akhir ini digerogati oleh fenomena kurang menggembirakan terlihat dari banyaknya terjadi tawuran pelajar, pergaulan a-susila dikalangan pelajar dan mahasiswa, kecabulan pornograi tak terbendung, sebahagian cendekiawan berminat tinggi terhadap kehidupan non-science asyik mencari kekuatan gaib belajar sihir, mencari jawaban dari paranormal, menyelami black-magic dan mempercayai mistik. Diperparah oleh limbah budaya barat berbentuk sensate-culture yang selalu bertalian dengan hedonistik dengan orientasi hiburan selera rendah 3-S tourisme sun-see-sex dan gaya hidup konsumeristis, rakus, boros, cinta mode, pergaulan bebas sex, individualistik kebebasan salah arah lepas dari kawalan agama dan adat luhur dengan tampilan permissivesness dan anarkis.

Budaya sensate memuja nilai rasa panca indera, menonjolkan keindahan sebatas yang dilihat (tonton), didengar, dirasa, di sentuh, dicicipi, dengan tumpuan kepada sensual, erotik, seronok, mengutamakan kesenangan badani (jasmani). Orientasinya hiburan melulu, terlepas dari kawalan agama, adat luhur, moral akhlak, ilmu dan ilsafat, dan tercerabut dari budaya dan nilai-

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

nilai normatif lainnya. Seni dibungkus selimut art for art’s sake, sensual, eksotik, erotik, horor, yang lazimnya melahirkan klub malam, night club, kasino dan panti pijat. Budaya sensate ini dipertajam dampaknya dalam kehidupan remaja oleh budaya popular kekota (urban popular culture) yang hedonistik, dan berkembang lagi US culture imperialisme (uncle Sam Culture) dan the globalization of lifestyle gaya hidup global.

Perilaku sedemikian banyak melahirkan split personalities, pribadi yang terbelah “too much science too little faith”, lebih banyak ilmu dengan tipisnya kepercayaan keyakinan agama, berkembangnya paham nihilisme budaya senang lenang (culture contenment ).

Kalangan anak sekolah dijangkiti kebiasaan bolos sekolah, nyontek saat ujian, minuman keras, kecanduan narkoba, geng motor, kesukaan judi dalam urban popular culture, musro, world- wide sing, dan sejenisnya. Para remaja cenderung bergerak menjadi generasi buih terhempas di pantai menjadi suatu generasi yang bergerak menjadi “X-G” the loses generation dan tidak berani ikut serta didalam perlombaan ombak gelombang samudera globalisasi. Pada hakekatnya semua prilaku a-moral tersebut lahir karena lepas kendali dari nilai-nilai agama dan menyimpang jauh terbawa arus deras keluar dari alur budaya luhur bangsa. Kondisi seperti itu telah memberikan penilaian buruk terhadap dunia pendidikan pada umumnya.

C. Akar Permasalahan

Remaja akan menjadi aktor utama dalam pentas kesejagatan (millenium ketiga), karena itu generasi muda (remaja) harus

Seri Pendidikan Karakter

dibina dengan budaya yang kuat berintikan nilai-nilai dinamik yang relevan dengan realitas kemajuan di era globalisasi. Budaya adalah wahana kebangkitan bangsa. Maju mundurnya suatu bangsa ditentukan oleh kekuatan budayanya. Keutuhan budaya bertumpu kepada individu dan himpunan institusi masyarakat yang memiliki kapasitas berkemampuan dalam mempersatukan seluruh potensi yang ada. Perkembangan kedepan banyak ditentukan oleh peranan remaja sebagai generasi penerus dan pewaris dengan kepemilikan ruang interaksi yang jelas menjadi agen sosialisasi guna menggerakkan kelanjutan survival kehidupan kedepan. Kecemasan atas penyimpangan prilaku kemunduran moral dan akhlak, kehilangan kendali para remaja, sepatutnya menjadi kerisauan semua pihak. Ketahanan bangsa akan lenyap dengan lemahnya remaja. Saya tidak senang menggeneralisasi kenakalan remaja terjerumus kedalam lembah dekadensi moral dan kenakalan remaja. Analisis realitas objektif menunjukkan bahwa tidak seluruhnya remaja rusak. Dengan berpikiran positif tidak pula harus ditunggu setelah semua remaja terpuruk kedalam lumpur a-moral barulah upaya perbaikannya dilaksanakan dengan intensif.

Kenakalan remaja lebih banyak disebabkan rusaknya sistem, pola dan politik pendidikan. Kerusakan diperparah oleh hilangnya tokoh panutan, berkembangnya kejahatan orang tua, luputnya tanggung jawab institusi lingkungan masyarakat, impotensi dikalangan pemangku adat, hilangnya wibawa ulama, bergesernya fungsi lembaga pendidikan menjadi lembaga bisnis, dan profesi guru dilecehkan.

Pergeseran budaya dengan mengabaikan nilai-nilai budaya

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

dan agama atau pengamatan nilai-nilai tidak komprehensif dan sistematik, melahirkan tatanan hidup masyarakat pengidap penyakit sosial kronis dengan kegemaran berkorupsi.

Generasi kedepan wajib digiring menjadi taat hukum dimulai dari lembaga keluarga dan rumah tangga dengan memperkokoh peran orang tua, dan unsur masyarakat secara efektif dalam menularkan ilmu pengetahuan yang segar dengan tradisi luhur kepada generasi pelanjut bertumpu kepada cita rasa patah tumbuh hilang berganti.

Menanamkan kesadaran tanggung jawab terhadap hak dan kewajiban asasi individu secara amanah, penyayang dan adil dalam memelihara hubungan harmonis dengan alam, memperkaya warisan budaya dengan setia mengikuti dan mempertahankan, istiqamah pada agama yang dianut, teguh politik, kukuh ekonomi, melazimkan musyawarah dengan disiplin dan bijak memilih prioritas pada yang hak sebagai nilai puncak budaya yang benar.

Dapat dipahami bahwa kekuatan hubungan ruhaniyah spiritual emosional dengan iman dan taqwa memberikan ketahanan bagi umat dan hubungan ruhaniyah ini akan lebih lama bertahan daripada hubungan struktural fungsional. Hakikatnya generasi yang menjaga destiny, individu yang berakhlak berpegang pada nilai-nilai mulia iman dan taqwa yang dipadukan dengan kerja sama berdisiplin gigih serta memiliki vitalitas tinggi, berjiwa inovatif dengan motivasi yang bergantung kepada Allah akan tampil menjadi penyelesai masalah. Generasi yang patuh kepada Allah dan taat beragama akan berkembang secara pasti menjadi agen perubahan sanggup menghadapi realita baru di

Seri Pendidikan Karakter

era kesejagatan. Lembaga pendidikan sebagai mesin sosial bertujuan menggerakkan segala dimensi kehidupan kemanusian disegala sektor, sosial, ekonomi, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, politik dan agama, Seluruh sektor mestinya berkembang saling terkait harmonis serasi dalam menghasilkan suatu bentuk masyarakat madani melalui penjelmaan nilai-nilai bukan pendangkalan. Bila terjadi inequilibrium kelahirannya adalah krisis-krisis:

1. krisis nilai, menyangkut etika individu dan sosial berubah drastik dalam sikap menilai baik buruk, yang padamulanya dalam pandangan luhur dilihat sebagai buruk dan dijauhi bergeser kencang kearah tidak acuh dan bahkan lebih parah mentolerir;

2. krisis konsep pergeseran pandang (view) cara hidup ukuran nilai jadi kabur, sekolahan yang merupakan cerminan idealitas masyarakat tidak bisa bertahan;

3. krisis kridebilitas dengan erosi kepercayaan terpampan di pergaulan orang tua, guru dan tokoh agama pada mimbar- mimbar kehidupan mengalami kegoncangan wibawa;

4. krisis beban institusi pendidikan terlalu besar dengan tuntutan memikul tanggung jawab moral sosial kultural dikekang oleh sisitim dan aturan birokrasi berbelit membelenggu dinamika institusi pada akhirnya tidak mampu (impoten) memikul beban tanggung jawab;

5. krisis relevansi program pendidikan yang mendukung

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

kepentingan elitis non-populis, tidak demokratis, tidak berorientasi kearah kepentingan mempertahankan prestasi eksistensi kemanusiaan dalam kehidupan bermasyarakat namun beralih kepada orientasi prestise keijazahan;

6. membesarnya kesenjangan miskin kaya sehingga kesempatan mendapatkan pendidikan tidak merata dan kemudian yang terjadi adalah kurangnya idealisme (citra remaja) tentang peran dimasa datang. Generasi yang mampu mencipta menjadi syarat utama keunggulan.

Lembaga-lembaga (institusi) di tuntut adil, demokratis, persamaan dan usaha ilmiah sistematis yang mampu merumuskan epistemologi dan aksiologi dengan memberikan penekanan kepada :

1. Rumusan ulang kiblat (arah), acuan orientasi pengembangan pendidikan agama. Fenomena dimasa Orde Baru pengembangan pendidikan terlihat arahnya ke barat, kebebasan, dan akibat terasa mengikis karakteristik asli pendidikan agama yaitu akhlak;

2. Revitalisasi pendidikan agama, diajarkan oleh seluruh komponen masyarakat, muatan pendididkan agama terlihat pada seluruh mata pelajaran memaparkan apa adanya dan membimbing kepada yang seharusnya berdasarkan paradigma tauhid membentuk suatu iklim pendidikan agama terasa pada seluruh lembaga sekolah, masyarakat, rumah tangga);

3. Kewajiban perguruan tinggi memikul beban moral intelektual sebagai bangsa;

Seri Pendidikan Karakter

4. Buku dasar pegangan mesti memiliki kesamaan visi dan misi mengacu kepada platform yang sama.

5. Tujuan pendidikan yang akan dikembangkan adalah pendidikan akhlak, budi pekerti.

Pendidikan moral generasi dengan membangun akhlak, penghormatan terhadap orang tua, mengenal kehidupan duniawi yang bertaraf perbedaan, adab percakapan ditengah pergaulan, keteguhan memilih dan mengamalkan nilai-nilai kebajikan, yang akan menjadi kekuatan moral. Kuatnya iman dan teraturnya ketaatan kepada tuhan bagi generasi muda menjadi awal langkah menuju ketahanan bangsa.

D. Langkah-langkah Strategis

Millenium Baru (diawali abad keduapuluh satu) ditandai serba cepat, modern dengan persaingan kompetitif dan komunikasi serba efektif, dunia tak ada jarak seakan global village, akan banyak ditemui limbah budaya kebaratan westernisasi, harus diyakini bahwa kehadirannya tak bisa di cegah.

Proses pembangunan anak didik yang harus ditempuh, melalui penguatan pendidikan antara lain :

1. Tahap kesadaran tinggi (to create the high level awareness), kesadaran tentang perlunya perubahan dan dinamik yang futuristik. Langkahnya perlu dengan penggarapan secara sistematik dan pendekatan proaktif mendorong terbangunnya proses pengupayaan (the process of empowerment).

2. Tahap perencanaan dengan rangka kerja yang terarah, terencana mewujudkan keseimbangan dan minat (motivasi)

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

kepada iptek, keterampilan dan pemantapan strategi. Aspek pendidikan dan latihan adalah faktor utama dalam pengupayaan. Konsep-konsep visi, misi, selalu terbentur dalam pencapaian oleh karena lemahnya metodologi dalam operasional pencapaiannya. Perkembangan cyber space, internet, informasi elektronik dan digital, walaupun kenyataannya sering terlepas dari sistim nilai dan budaya sangat cepat terkesan oleh generasi muda yang cenderung cepat dipengaruhi oleh elemen-elemen baru yang merangsang.

3. Tahap aktualisasi secara sistematis (the level of actualization). Bila pendidikan ingin dijadikan modus operandus disamping kurikulum ilmu terpadu dan holistik, sangat perlu pembentukan kualitas pendidik dan tenaga kependidikan yang sedari awal mendapatkan pembinaan. Pendekatan integratif dengan mempertimbangkan seluruh aspek metodologis berasas kokoh tamaddun yang holistik dan bukan utopis.

E. Membangun Kesadaran Anak Didik

Pembinaan perilaku dan etika anak didik merupakan pembinaan yang sangat baik, dan merupakan suatu pembinaan dasar yang utama bagi seluruh mahluk dalam kehidupan bermasyarakat. Pembinaan tersebut bertujuan untuk melatih perbuatan, ucapan, dan pikiran. Agar selalu berbuat kebaikan dan mencegah kesalahan yang dapat menghasilkan penderitaan bagi diri kita sendiri dan orang lain.

Di dalam pembinaan perilaku dan etika, para siswa

Seri Pendidikan Karakter

ditekankan untuk menghindari perbuatan yang menghasilkan penderitaan. Sebagai contoh dalam pembinaan perilaku dan etika, siswa dilarang untuk mencuri, berbohong, menyontek karena melakukan perbuatan tersebut, kita telah membuat orang lain menderita atau merasa dirugikan. Sehingga pembinaan ini tampaknya penuh dengan berbagai larangan, dan aturan.

Pembinaan perilaku dan etika anak didik ditetapkam untuk mengetahui penyebab/ salinan awal terjadinya perbuatan yang tidak baik. Dengan mengetahui penyebabnya untuk memahami sumber awal timbulnya maka dapat ditemukan cara yang tepat, maka dapat ditemukan cara pembinaan yang tepat, sehingga para siswa tidak akan mengulangi perbuatannya tadi.

Sebagai contoh, dimana pembinaan perilaku dan etika untuk mencegah dan menghentikan kita untuk berbuat yang tidak baik. Keinginan yang timbul untuk melakukan perbuatan ini kadang muncul dengan kuatnya, dengan pembinaan perilaku dan etika yang kuat tentu kita dapat menahan diri untuk tidak mengikuti keinginan ini. Setelah beberapa saat, timbul lagi keinginan tersebut yang mendorong kita untuk melakukan. Kali ini disertai dengan berbagai alasan yang timbul, untuk membuat kita tidak merasa benar-benar bersalah. Dengan Pembinaan perilaku dan etika yang kuat, tentu kita masih dapat mengatasinya. Gambaran keinginan ini terus timbul kembali bahkan hingga berhari-hari, berbulan-bulan, dan bertahun- tahun. Setiap kali ditolak, setiap kali pula mereka akan muncul kembali, bahkan kedatangnya disertai berbagai macam alasan yang membujuk dan membuat kita lebih tidak merasa bersalah bila melakukannya. Alasan ini bermacam bentuk seperti: ‘Hanya

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

sekali saja’, ‘Sekali ini saja, lalu tobat’,’Orang lain udah sering melakukan, kita coba aja sekali ini’dan sebagainya

Pembinaan perilaku dan etika tidak menfokuskan pada pembinaan melawan berbagai keinginan yang timbul satu persatu tanpa hentinya sepwerti pada gambar Pembinaan perilaku dan etika akan memahami sumber awal. Mereka akan memahami bahwa gambaran pikiran adalah sumber awal timbulnya semua keinginan-keinginan yang selalu memperdaya itu.

F. Pola Pembinaan Anak didik

Pola pembinaan anak didik yang dilakukan menyangkut beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam membinaan perilaku dan etika, yakni.

a. Membiasakan Kejujuran. Setiap orang baik guru maupun orang tua wajib menanamkan nilai kejujuran pada anak dalam setiap ucapan dan perbuatan. Apabila aspek ini diabaikan, maka anak akan menjadi generasi pendusta;

b. Membiasakan Keadilan. Adil adalah sikap yang mampu mengontrol perilaku dan etika, sehingga mampu bersikap bijaksana dalam bertindak.

c. Membiasakan meminta Izin. Apabila aspek ini diterapkan, maka ketika dewasa siswa tersebut sudah terbiasa untuk meminta izin kepada orang tua, teman, saudara, ketika hendak mengambil sesuatu dan meninggalkan tempat dimanapun ia berada.

d. Membiasakan Bicara dengan Baik.Etika berbicara akan berpengaruh pada perilaku siswa dalam berinteraksi dengan

Seri Pendidikan Karakter

individu lain. Hal ini menentukan apakah dia akan dihargai atau tidak oleh lingkungan.

e. Membiasakan Makan dan Minum dengan Baik. Etika makan dan minum diantaranya : mencuci tangan sebelum makan, membaca basmalah sebelum dan hamdalah setelah makan, makan dengan tangan kanan, tidak sambil bersandar, tidak boleh mencela makanan, dan tidak boleh berlebihan.

f. Membiasakan Bergaul yang Baik. Di sekolah hendaknya diciptakan lingkungan yang baik untuk siswa berinteraksi sesama, dan dengan elemen sekolah.

g. Membiasakan Kasih Sayang. Kasih sayang berpengaruh penting dalam menentukan sikap dan tingkah laku kejiwaan seseorang.

h. Memberikan Penghargaan. Penghargaan akan menumbuhkan sikap percaya diri pada siswa. Keberhasilan siswa dapat dihargai dengan senyuman, pujian, tepuk tangan, dan kata- kata. Apabila gagal tetap perlu dihargai atas kemauan dan keberaniannya untuk mencoba usaha tersebut.

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

BAB III MEMAHAMI PENDIDIKAN KARAKTER

Seri Pendidikan Karakter

BAB III MEMAHAMI PENDIDIKAN KARAKTER

A. Pendahuluan

Pendidikan saat ini dihadapkan pada sejumlah problem yang bersifat makro dan mikro. Pada tataran makro, setidaknya ada dua permasalahan mendasar, yaitu orientasi ilosois dan arah kebijakan. Secara tersurat, tujuan pendidikan nasional sebenarnya sangat ideal karena menjangkau semua dimensi kemanusiaan (religiusitas, etis, isik, keilmuan, dan life skill), kenyataan dilapangan tidak sesuai dengan harapan terjadi gap antara cita-cita dengan upaya dan instrumen untuk mencapai cita-cita tersebut. Implementasi pendidikan kita sering lebih menciptakakan manusia yang bertipe mekanistik daripada humanistik . Berbagai kebijakan juga seringkali mengebiri dan sengaja mengerdilkan pendidikan. Pada tataran mikro, kita dihadapkan pada kesenjangan kualitas yang sangat jauh antar

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi

lembaga pendidikan dalam hal in put siswa, ketersediaan sarana, SDM, lingkungan, dan lain-lain.

Melihat kenyataan seperti itu, masihkah ada harapan terhadap pendidikan di negara kita? Tentu masih banyak sisi- sisi positif pendidikan. Sejumlah lembaga pendidikan alternatif semakin bermunculan, siswa-siswa kita juga bisa berlaga di ajang internasional, banyak guru kita juga yang merupakan manusia-manusia kreatif, dan lain-lain. Namun demikian, agar pendidikan kita mampu berperan lebih besar dalam menggali, mengembangkan, menjaga, dan mengawal karakter positif bangsa ini, perlu ada design besar yang sistematis dan terarah, bukan hanya by accident. Pada sisi ini guru dituntut ikut berperan aktif secara optimal.

Belakangan ini telah tumbuh kesadaran betapa mendesaknya agenda untuk melakukan terobosan guna membentuk dan membina karakter para siswa sebagai generasi penerus bangsa. Sejumlah ahli pendidikan mencoba untuk merumuskan konsep- konsep tentang pendidikan karakter, dan sebagiannya lagi bahkan sudah melangkah jauh dalam mempraktekannya.

Urgensi Pendidikan Karakter dikembangkan karena, salah satu bidang pembangunan nasional yang sangat penting dan menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah pembangunan karakter bangsa. Ada beberapa alasan mendasar yang melatari pentingnya pembangunan karakter bangsa, baik secara ilosois, ideologis, normatif, historis maupun sosiokultural.

Secara ilosois, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah kebutuhan asasi dalam proses berbangsa karena hanya

Seri Pendidikan Karakter

bangsa yang memiliki karakter dan jati diri yang kuat yang akan eksis. Secara ideologis, pembangunan karakter merupakan upaya mengejawantahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara normatif, pembangunan karakter bangsa merupakan wujud nyata langkah mencapai tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Secara historis, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah dinamika inti proses kebangsaan yang terjadi tanpa henti dalam kurun sejarah, baik pada zaman penjajahan maupun pada zaman kemerdekaan. Secara sosiokultural, pembangunan karakter bangsa merupakan suatu keharusan dari suatu bangsa yang multikultural.

Pembangunan karakter bangsa merupakan gagasan besar yang dicetuskan para pendiri bangsa karena sebagai bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan nuansa kedaerahan yang kental, bangsa Indonesia membutuhkan kesamaan pandangan tentang budaya dan karakter yang holistik sebagai bangsa. Hal itu sangat penting karena menyangkut kesamaan pemahaman, pandangan, dan gerak langkah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

B. Memaknai Tujuan Pendidikan

Tujuan Pendidikan Nasional termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan untuk itu setiap warga negara Indonesia berhak memperoleh

Pendidikan Karakter; Teori dan Aplikasi