TELAAH EFEKTIFITAS HIMBAUAN MORAL SEBAGA

TELAAH EFEKTIFITAS HIMBAUAN MORAL SEBAGAI SALAH SATU
INSTRUMEN KEBIJAKAN MONETER DALAM MENJAGA STABILITAS SISTEM
KEUANGAN: PERSEPEKTIF SURAH AL-ASHR

Abstraksi
Instrumen kebijakan moneter ada empat yaitu: operasi pasar terbuka, tingkat bunga diskonto, cadangan wajib minimum dan
moral suasion. Tiga insturumen yang pertama dapat dilakukan dengan tindakan yang konkrit, misalkan dengan menjual atau
membeli SUN, menaik atau menurunkan tingkat suku bunga dan menambah atau mengurangi cadangan wajib minimum.
Sedangkan instrumen yang terakhir yaitu moral suasion tidak dapat dilakukan kecuali dalam bentuk pendekatan personal,
konsultasi dan pertemuan-pertemuan bank sentral dengan bank komersial untuk memonitor kekuatan dan masalah-masalah
yang dihadapi bank-bank komersial.
Berkenaan dengan itu semua maka tulisan ini akan mencoba menelaah efekifitas himbauan moral sebagai salah satu
instrumen kebijakan moneter dalam menjaga stabilitas nilai mata uang dengan menggunakan pendekatan tafsir surah al Ashr
yang didalamnya terdapat seruan untuk saling mengingatkan (menghimbau) dalam melakukan kebaikan. Adapun metode
yang penulis gunakan dalam pesnulisan paper ini adalah meode kualitatif deskriftif, refrensi-refrensi yang penulis gunakan
dalam menyelesaikan paper ini banyak diambil dari hasil kajian serupa yang penulis unduh di internet dari sumber yang
valid terutama kajian tafisirnya karena keterbatasan refrensi dalam bentuk buku atau kitab, namun meski demikian paper ini
tetap layak untuk di apresiasi karena analisanya yang mendalam. Insyallah
Dengan paper ini diharapkan bagi BI sebagai bank sentral yang juga pemegang kebijakan untuk sebisa mengkin dapat
memaksimalkan instrumen himbauan moral ini dalam menjaga stabilitas nilai mata uang, mengingat instrumen ini lebih
terbebas dari unsur riba. Wallahu a‟lam bis Sawab


Kata kunci: Himbauan Moral, Instrumen Kebijakan Moneter, Tafsir Surah Al- Ashr.

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Manusia merupakan elemen hidup dan tidak dapat dikesampingkan dari sebuah sistem
ekonomi. Mereka adalah pemain utama dan jika mereka tidak direformasi, sistem tidak akan
berjalan, baik “tangan gaib” (kapitalisme, pen) maupun “tangan nyata” (sosialisme, pen) pada
gilirannya, individu menerima isyarat penting dari sistem ekonomi dan institusinya, dan tak
akan ada reformasi spritual yang berarti sekiranya hal itu juga mendorong sistem ekonomi
dan menghapuskan semua sumber ketidakadilan, eksploitasi, dan ketidakstabilan. (Chapra,
2004)
Stabilitas dalam nilai mata uang harus menjadi tujuan utama kerangka refrensi islam karena
penekanan islam yang begitu tegas kepada kejujuran dan keadilan dalam interaksi antar
manusia. Al Qur‟an dengan tegas menekankan kejujuran dan keadilan dalam semua ukuran
nilai.
Instrumen dalam kebijakan moneter ada empat
1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah diatas maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam tulisan
ini adalah sebagai berikut:
a. Hikmah apa yang dapat di ambil dari surah al Ashr untuk kemudian diterapkan dalam
instrumen kebijakan moneter (Himbauan moral)?
b. Berapa besar pengaruh himbauan moral sebagai instrumen kebijakan moneter islam
dalam upaya stabilitas nilai mata uang?
1.3. Tujuan Penulisan
a. Untuk mengetahui hikmah yang dapat diambil dari surah al-Ashr sehingga dapat di
aplikasikan dalam mengambil kebijakan moneter.
b. Untuk mengetahui pengaruh himbauan moral sebagai salah satu instrumen kebijakan
moneter islam dalam menjaga stabilitas nilai mata uang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Himbauan Moral

Yaitu kontak-kontak personal, konsultasi dan pertemuan-pertemuan bank sentral dengan bank
komersial untuk memonitor kekuatan dan masalah-masalah yang dihadapi bank-bank
komersial. Dengan instrumen ini bank sentral dapat dengan jelas dan tepat memberikan saran

guna mengatasi masalah-maslah yang dihadapi perbankan, sehingga akan memudahkan

pencapaian tujuan perbankan yang telah direncanakan1.
2.2. Konsep dan Metodologi Tafsir2
Menurut Ayyub (2004),

Tafsir

secara epistimologi berarti

Al-Idlah dan Al-Tabyin

(menjelaskan dan menerangkan). Sedangkan secara terminologi

berarti

mempelajari tentang penjelasan makna-makna yang terkandung dalam

ilmu yang

Al-Qur‟an serta


menggali hukum, hikmah, mau‟idzah serta pelajaran yang terpendam di dalamnya (Yunus:
2002). Menurut sebagian besar ulama‟ tafsir, Tafsir dan Ta‟wil merupakan dua kata yang
sinonim.Secara garis besar, ada tiga bentuk Tafsir, yaitu (Ayyub: 2004):
a. Tafsir bi Al-Riwayah atau bi Al-Ma‟tsur Yaitu menafsirkan Al-Qur‟an dengan AlQur‟an sendiri, hadits atau perkataan para sahabat.

Di antara tafsir-tafsir yang

tergolong jenis ini adalah kitab tafsir Al-Thabary, Al-Samarqandy, Al-Durr AlMantsur, Ibnu Katsir, Al-Baghawi dan masih banyak lainnya
b. Tafsir bi Al-Dirayah atau bi Al-Ra‟yi Yaitu menafsirkan

Al-Qur‟an

dengan

pemikiran (ra‟yu). Namun yang dimaksud ra‟yu di sini adalah Ijtihad yang memang
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar ijtihad yang sudah ditentukan. Berbeda dengan
penafsiran yang hanya mengandalkan logika yang tidak didasari oleh prinsip dasar
Ijtihad yang benar, maka dianggap tercela dan bisa menyesatkan. Menurut Al-Suyuthi
(1988), secara garis besar ada empat hal yang harus menjadi pegangan bagi orang
yang ingin menafsirkan Al-Qur‟an, yaitu:

1. Menuqil dari Rasulullah dengan tetap menghindari hadits yang dla‟if dan maudlu‟
2. Mengambil pendapat para shahabat. Hal ini dikarenakan menurut para mufassir
pendapat shahabat secara mutlak seperti hadits marfu‟
3. Memahami tata bahasa Arab serta mampu meneliti susunannya dengan sangat baik
4. Mengetahui beberapa kaedaah dasar syariah (Al-Ushul Al-Syar‟iyyah) Dengan
demikian tidak semua orang bisa melakukan penafsiran bi Al-Ra‟yi sebagaimana
yang selama ini terjadi. Di mana banyak orang yang tidak memiliki prinsip-prinsip
dasar ijtihad sangat berani menafsirkan Al-qur‟an dengan sesuka hati. Akibatnya
penafsiran yang dikemukakan pun cenderung salah bahkan menyesakan.
1
2

Siregar, dalam Dinar Emas, h. 101

Konsep dan Metodologi Tafsir ini meng-copy konsep dan metodologi tafsir yang digunakan oleh Abdul Wahid Al-faizin
dalam papernya yang berjudul “ENTREPRENEURSHIP VALUES AND BUSINESS STRATEGY IN THE PERSPECTIVE
OF SURAH QURAISY (SEBUAH PENDEKATAN BARU TAFSIR EKONOMI AYAT AL-QUR‟AN)” (2010)

Adapun beberapa kitab Tafsir yang tergolong jenis ini adalah Al-Jalalain, AlBaidlawy, Al-Alusy, Al-Ghazin dan masih banyak yang lainnya
c. Tafsir bi Al-Isyarah atau Tafsir Al-Isyari Yaitu penafsiran yang dilakukan oleh orangorang Tashawwuf yang berusaha menggali kandungan hikmah dari


Al-Qur‟an.

Ulama‟ berbeda pendapat mengenai jenis tafsir ini. Sebagian ada yang
memperbolehkan dan sebagian ada yang menganggapnya sesat. Di antara kitab Tafsir
jenis ini adalah Tafsir Al-Nisabury dan Tafsir Ruhul Ma‟any karya Al-Alusy.
Di antara bentuk Tafsir bi Al-Ra‟yi adalah menafsirkan Al-Qur‟an dengan ilmu
pengetahuan modern seperti ilmu astronomi, kedokteran, ekonomi, dan manajemen.
Penafsiran seperti ini menuai banyak kontroversi di kalangan para ulama‟ ahli tafsir.
Ada yang memperbolehkan dan ada yang melarang. Di antara ulama‟ yang melarang
penafsiran seperti ini adalah Syaikh Syaltut dan Sayyid Qutb. Adapun ulama‟ yang
memperbolehkan penggunaan ilmu pengetahuan dalam menafsirkan

Al-qur‟an

sebagaimana dikemukakan oleh Al-Qordlawi (2002) adalah Imam Al-Ghazali dan
Al-Suyuthi. Menurut Al-Ghazali, secara global semua ilmu pengetahuan termasuk
dalam perbuatan dan sifat Allah. Sedangkan Al-Qur‟an menerangkan zat, perbuatan
dan sifat Allah. Adapun ilmu pengetahuan ini tidak bersifat final. Dalam Al-qur‟an,
hanya terdapat sinyal secara global terhadap ilmu tersebut.Dalam hal ini ada beberapa

hal yang perlu diperhatikan bagi orang yang ingin menafsirkan Al-Qur‟an dengan
ilmu pengetahuan, yaitu (Al-Qordlawi: 2002):
1. Berpegang pada fakta ilmiah bukan hipotesis Hal ini sangat penting mengingat ketika
menafsirkan

Al-Qur‟an

dengan hipotesis, maka penafsiran yang dibuat akan

berubah-ubah mengikuti hipotesis yang ada.
2. Menjauhi pemaksaan diri dalam memahami nashDalam hal ini kita dilarang
memaksakan sebuah nash Al-Qur‟an dengan makna yang ingin kita simpulkan.
Akan tetapi kita hendaknya harus mengambil beberapa makna yang sesuai dengan
bahasa dan sesuai dengan alur redaksi nash yang ada
3. Menghindari menuduh umat seluruhnya bodoh Ketika kita menafsirkan Al-Qur‟an
dengan ilmu pengetahuan, maka jangan pernah menganggap umat islam atau bahkan
ulama‟ terdahulu adalah bodoh karena tidak mampu menafsirkan seperti yang kita
tafsirkan.

METODOLOGI PENULISAN


Metodologi yang digunakan dalam penulisan ini adalah metodologi kualitatif deskriptif
dengan pendekatan content analysis. Menurut Berelson (1952), content analysis secara
sistematis dapat didefinisikan sebagai sebuah

teknik replikasi yang digunakan untuk

memperjelas beberapa kata dari sebuah teks menjadi beberapa kategori muatan yang lebih
sedikit, berdasarkan kode aturan yang tersirat. Sedangkan menurut Holsti (1969), content
analysis diartikan sebagai sebuah teknik untuk menginterpretasi dan mengidentifikasi sebuah
karakteristik pesan secara spesifik, objektif dan sistematis (Stemler: 2001)
Dalm tulisan ilmiah ini penulis menggunakan metode penulisan kualitatif murni, yaitu
melalui kajian kepustakaan, mencari sumber-sumber dan referensi dari media cetak dan
internet. Pendekatan yang digunakan yakni tafsir maudhu‟i yaitu membukukan tafsir menurut
suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan. Yakni pendekatan Tafsir BirRa‟yi (Diroyah) yang didalamnya terdapat Ar-Ro‟yu al Mahmudah (penafsiran dengan akal
yang diperbolehkan)3. Salah satu contohnya adalah tafsir Jalalain termasuk tafsir Al-Mishbah.

BAB IV
PEMBAHASAN
1. Pembahasan dan Analisis


     

    

 

   

3

Lihat Abdul Hamid al-Bilaly, al-Mukhtashar al-Mashun min Kitab al-Tafsir wa al- Mufashirun, (Kuwait: Daar
al-Dakwah, 1405) hal. 8

1. demi masa, 2. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, 3. kecuali orangorang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati
kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.
Kedudukan Surat Al ‘Ashr
Al Qur‟an adalah kalamullah (firman Allah) sebagai pedoman dan petunjuk ke jalan yang
lurus bagi umat manusia. Allah


berfirman (artinya): “Sesungguhnya Al Quran ini

memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus.” (Al Israa‟: 9) Sehingga semua ayatayat Al Qur‟an memiliki kedudukan dan fungsi yang

agung.

Demikian pula pada surat

Al „Ashr, terkandung di dalamnya makna-makna yang amat berharga bagi siapa saja yang
mentadabburinya (memahaminya dengan seksama).
Al Imam Muhammad bin Idris Asy Syafi‟i

menegaskan tentang kedudukan surat Al „Ashr,

beliau berkata:“Sekiranya manusia mau memperhatikan (kandungan) surat ini, niscaya surat
ini akan mencukupkan baginya.” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir pada Surat Al „Ashr) Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah

mengatakan bahwa perkataan Al Imam Asy Syafi‟i


itu adalah tepat

karena Allah telah mengkhabarkan bahwaseluruh manusia dalam keadaan merugi (celaka)
kecuali barang siapa yang mu‟min (beriman) lagi shalih (beramal shalih) dan ketika bersama
dengan yang lainnya saling berwasiat kepada jalan yang haq dan saling berwasiat di atas
kesabaran. (Lihat Majmu‟ Fatawa, 28/152)

Keutamaan Surat Al ‘Ashr
Al Imam Ath Thabrani

menyebutkan dari Ubaidillah bin Hafsh , ia berkata: “Jika dua

shahabat Rasulullah bertemu maka keduanya tidak akan berpisah kecuali setelah salah satu
darinya membacakan kepada yang lainnya surat Al „Ashr hingga selesai, kemudian
memberikan salam.” (Al Mu‟jamu Al Ausath no: 5097, dishahihkan oleh Asy Syaikh Al
Albani di dalam Ash Shahihah no. 2648)

5.2 Ashbabun Nuzul

5.3 Tafsir Ayat

Ayat 1:

 
Allah bersumpah dengan al „ashr yang bermakna waktu, zaman atau masa. Pada zaman/masa
itulah terjadinya amal perbuatan manusia yang baik atau pun yang buruk. Jika waktu atau
zaman itu digunakan untuk amal kebajikan maka itulah jalan terbaikyang akan menghasilkan
kebaikan pula. Sebaliknya jika digunakan untuk kejelekan maka tidak ada yang dihasilkan
kecuali kerugian dan kecelakaan.
Rasulullah

bersabda: “Dua kenikmatan yang kebanyakan orang lalai di dalamnya;

kesehatan, dan waktu senggang” (HR. At Tirmidzi no. 2304, dari shahabat Abdullah bin
Abbas )
Kemudian di hari kiamat kelak Allah akan menanyakan tentang umur seseorang, untuk apa
dia pergunakan? Sebagaimana hadits Rasulullah

yang diriwayatkan oleh shahabat Abdullah

bin Mas‟ud , beliau bersabda:“Tidaklah bergeser telapak kaki bani Adam pada hari kiamat
dari sisi Rabb-nya hingga ditanya tentang lima perkara; umurnya untuk apa ia gunakan,
masa mudanya untuk apa ia habiskan, hartanya dari mana ia dapatkan dan untuk apa ia
belanjakan, dan apa yang ia perbuat dengan ilmu-ilmu yang telah ia ketahui. (HR. At
Tirmidzi no. 2416 dan dishahihkan oleh Asy Syaikh Al Albani di dalam Ash Shahihah no.
947) Kemudian Allah menyebutkan ayat berikutnya:
Ayat 2:

    
Lafazh al insan pada ayat di atas secara kaidah tata bahasa Arab mencakup keumuman
manusia tanpa terkecuali. Allah tidak memandang agama, jenis kelamin, status, martabat,
dan jabatan, melainkan Allah mengkhabarkan bahwa semua manusia itu dalam keadaan
celaka kecuali yang memilki empat sifat yang terdapat pada kelanjutan ayat tersebut.
Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bermacam-macam, bisa kerugian yang bersifat
mutlak, seperti keadaan orang yang merugi di dunia dan di akhirat, yang dia kehilangan
kenikmatan dan diancam dengan balasan di dalam neraka jahim. Dan bisa juga kerugian
tersebut menimpa seseorang akan tetapi tidak mutlak hanya sebagian saja.
(TaisirKarimirrahman, karya Asy Syaikh Abdurrahman As Sa‟di)
Ayat 3:

         
Pertama: Keimanan
Sifat yang pertama adalah beriman,

Iman adalah keimanan terhadap seluruh apa yang Allah

perintahkan untuk mengimaninya, dari beriman kepada Allah, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya,
malaikat-malaikat-Nya, hari akhir, dan beriman kepada takdir, serta segala sesuatu yang dapat
mendekatkan kepada Allah

dari keyakinan-keyakinan yang benar dan ilmu yang bermanfaat.

Penggalan ayat di atas memiliki kandungan makna yang amat berharga yaitu tentang kewajiban
menuntut ilmu agama yang telah diwariskan oleh Nabi .Mengapa demikian? Tentu, karena tidaklah
mungkin seseorang mencapai keimanan yang benar dan sempurna tanpa adanya ilmu pengetahuan
terlebih dahuludari apa yang ia imani dari Al-Qur‟an dan As Sunnah. Allah berfirman (artinya)
“Allah bersaksi (bersyahadat untuk diri-Nya sendiri) bahwa

tidak ada sesembahan yang berhak

disembah kecuali Dia (Allah), para Malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga bersyahadat yang
demikian itu), …” (Ali Imran: 19)
Dalam ayat yang mulia ini Allah

menggandengkan syahadat orang-orang yang berilmu dengan

syahadat untuk diri-Nya sendiri dan para Malaikat-Nya. Padahal syahadat laa ilaaha illallaah
merupakan keimanan yang tertinggi. Hal ini menunjukkan tingginya keutamaan ilmu dan ahli ilmu.
Bahkan para ulama menerangkan bahwa salah satu syarat sahnya syahadat adalah berilmu, yaitu
mengetahui apa ia persaksikan. Sebagaimana firman Allah :

             
Sehingga tersirat dari penggalan ayat:

      

kewajiban menimba ilmu agama. Terlebih lagi Rasulullah menegaskan dalam haditsnya:
“Menuntut ilmu (agama) adalah fardhu (kewajiban) atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah
no. 224)
Kedua:Beramal shalih
Sifat yang kedua adalah beramal shalih, diambil dari penggalan ayat:

 
“Dan beramal shalih.”
Amalan shalih itu mencakup amalan zhahir yang dikerjakan oleh anggota badan maupun amalan
batin, baik amalan tersebut bersifat fardhu (wajib) atau pun bersifat mustahab (anjuran).Keterkaitan
antara iman dan amal shalih itu sangatlah erat dan tidak bisa dipisahkan. Karena amal shalih itu
merupakan buah dan konsekuensi dari kebenaran iman seseorang. Atas dasar ini para ulama‟
menyebutkan salah satu prinsip dasar dari Ahlus Sunnah wal jama‟ah bahwa amal shalih itu bagian
dari iman. Iman itu bisa bertambah dengan amalan shalih dan akan berkurang dengan amalan yang
jelek (kemaksiatan).Oleh karena itu, dalam Al Qur‟an Allah banyak menggabungkan antara iman
danamal shalih dalam satu konteks, seperti dalam ayat ini atau ayat-ayat yang lainnya. Diantaranya
firman Allah (artinya):
“Barang siapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan
beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya
akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah
mereka kerjakan.” (An Nahl: 97)
Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sa‟di : “Jika dua sifat (iman dan amal shalih) di atas
terkumpul pada diri seseorang maka dia telah menyempurnakan dirinya sendiri.” (Taisir
Karimirrahman)

Ketiga: Saling menasehati dalam kebenaran
Merupakan salah satu dari sifat-sifat yang menghindarkan seseorang dari kerugian adalah saling
menasehati diantara mereka dalam kebenaran, dan di dalam menjalankan ketaatan kepada Allah serta
meninggalkan perkara-perkara yang diharamkan-Nya. Nasehat merupakan perkara yang agung, dan
merupakan jalan rasul di dalam memperingatkan umatnya, sebagaimana Nabi Nuh

ketika

memperingatkan kaumnya dari kesesatan:
“Dan aku memberi nasehat kepada kalian.” (Al A‟raaf: 62).
Kemudian Nabi Hud

yang berkata kepada kaumnya: “Aku hanyalah pemberi nasehat yang

terpercaya bagimu.” (Al A‟raaf: 68)
Dengan nasehat itu maka akan tegak agama ini, sebagaimana sabda Rasulullah di dalam haditsnya: “
Agama ini adalah nasehat” (HR.Muslim no. 90 dari shahabat Tamim Ad Daari ) Bila nasehat itu
mulai kendor dan runtuh maka akan runtuhlah agama ini, karena kemungkaran akan semakin
menyebar dan meluas. Sehingga Allah

melaknat kaum kafir dari kalangan Bani Israil dikarenakan

tidak adanya sifat ini sebagaimana firman-Nya (artinya): “ Mereka satu sama lain selalu tidak
melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka
perbuat.” (Al Maidah: 79)
Demikian pula orang-orang munafik yang diantara mereka saling menyuruh kepada perbuatan
mungkar dan melarang dari perbuatan yang ma‟ruf, Allah telah memberitakan keadaan mereka di
dalam Al Quran, sebagaimana firman-Nya (artinya):

“Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan, sebagian mereka dengan sebagian yang lain adalah
sama, mereka menyuruh kepada perbuatan yang mungkar dan melarang dari perbuatan yang
ma‟ruf.” (At Taubah: 67)
Keempat: Saling menasehati dalam kesabaran
Saling menasehati dalam berbagai macam kesabaran, sabar di atas ketaatan terhadap Allah dan
menjalankan segala perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya, sabar terhadap musibah yang
menimpa serta sabar terhadap takdir dan ketetapan-Nya. Orang-orang yang bersabar di atas kebenaran
dansaling menasehati satu dengan yang lainnya, maka sesungguhnya Allah

telah menjanjikan bagi

mereka pahala yang tidak terhitung, Allah berfirman (artinya): “Sesungguhnya hanya orang-orang
yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (AzZumar:10) Jika telah terkumpul

pada diri seseorang keempat sifat ini, maka dia telah mencapai puncak kesempurnaan. Karena dengan
dua sifat pertama (iman dan amal shalih) ia telah menyempurnakan dirinya sendiri, dan dengan dua
sifat terakhir (saling menasehati dalam kebenaran dan dalam kesabaran) ia telah menyempurnakan
orang lain. Oleh karena itu, selamatlah ia dari kerugian, bahkan ia telah beruntung dengan
keberuntungan yang agung. Wallahu A‟lam.
5.4 Melihat Efektifitas Himabauan Moral Sebagai Salah Satu Instrumen Kebijakan Moneter
Ayat 1: ketepatan dalam mengambil keputusan
Pada ayat pertama ini Allah berjanji dengan waktu/ masa, hal ini menunjukkan bahwa waktu itu
sangat penting, bahkan dalam banyak ayat Allah berjanji demi masa/ waktu seperti “Demi Fajar, demi
malam yang sepuluh, demi yang genap dan yang ganjil, demi malam apabila berlalu ”4, pada surah al
Laili dan surah ad Duha Allah juga mengawali ayat-Nya dengan berjanji demi waktu. Kaitannya
dengan instrumen kebijakan moneter adalah ketepatan dalam melakukan kebijakan dengan
memperhatikan gejala-gejala yang terjadi pada moneter dalam hal ini adalah sesuatu yang
menyebabkan inflasi ataupun deflasi yang dapat mengganggu stabilitas nilai mata uang.

4

al Fajr ayat 1-4

Daftar Pustaka
Al-Qur‟an dan terjemahannya
Dr. M. Umer Chapra, sistem moneter islam, gema insani press th.2000
Dr. Ahmad Hasan, mata uang islami, telaah komprehensif sisem keuangan islami, raja grafindo
persada th. 2004

http://statics.ilmoe.com/kajian/users/kendari/Booklet-Al-Ilmu-Edisi-Khusus/08-Tafsir
Surah-Al-Ashr.pdf