LAPORAN KEGIATAN DISKUSI ILMIAH MAHASISW

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

LAPORAN KEGIATAN
“DISKUSI ILMIAH MAHASISWA MEMPERINGATI HARI HAK ASASI
MANUSIA”
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA
TAHUN 2017
I. PENDAHULUAN
Fakultas Hukum Universitas 17 agustus 1945 Surabaya merupakan salah satu
Fakultas di lingkungan Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. Fakultas Hukum mengalami
perkembangan baik di bidang akademik maupun bidang lainnya. Hasil dari Akreditasi Badan
Administrasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT), berdasarkan SK No. 2872/SK/BANPT/Akred/S/XII/2006, tanggal 1 Desember 2016 Program Studi Ilmu Hukum memperoleh
nilai A. Merupakan suatu angin segar bagi kami para Mahasiswa Fakultas Hukum atas
akreditasi yang di peroleh.
Seluruh Mahasiswa Fakultas hukum ingin mengapresiasikan bentuk suka cita kami
kedalam suatu acara lewat Diskusi Ilmiah memperingati Hari Hak Asasi Manusia
Internasional. Hak Asasi manusia internasional yang jatuh pada tanggal 10 Desember 2017.

Diskusi Ilmiah yang membicarakan tentang keputusan Mahkamah Konstitusi yang
membebaskan masyarakat untuk menulis aliran kepercayaan selain 6 agama yang diakui di
Indonesia dengan berbagai pro dan kontra yang terjadi maka mahasiswa fakultas hukum turut
serta berdiskusi menanggapi adanya keputusan tersebut yang kami selenggarakan bertepatan
dengan peringatan Hari Hak Asasi Manusia pada tanggal 8 Desember 2017.
Alhamdulillah puji syukur kami Panitia penyelenggara dan segenap pihak yang
terlibat di dalamnya dapat mewujudkan “Diskusi Ilmiah Mahasiswa” dengan baik. Bentuk
apresiasi kami dari mahasiswa untuk tempat kami menimba ilmu dan pengalaman, Fakultas
Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
II.

DASAR PELAKSANAAN

1.

Tri Dharma Perguruan Tinggi

2.

Program Mahasiwa Fakultas Hukum yang menempuh mata kuliah Bahasa inggris

Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

III.

TEMA KEGIATAN
“Eksistensi Hak Berkeyakinan Dalam KTP Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi”.

IV.

MAKSUD DAN TUJUAN KEGIATAN
Maksud dari acara ini adalah bertujuan untuk :

1. Menambah wawasan, ilmu pengetahuan mahasiswa.
2. Kegiatan ini merupakan implementasi dari salah satu fungsi Tri Dharma perguruan tinggi
yakni pendidikan dan pengajaran.

3. Mampu menjadi media edukasi, diskusi, dan apresiasi masyarakat Indonesia terhadap era
globalisasi.
4. Untuk meningkatkan kesadaran generasi muda sebagai agen pembaharu masa depan
Indonesia.
V.

BENTUK KEGIATAN
Kegitan ini disajikan dengan forum diskusi, dimana pembicara memberikan

wawasannya dan pendengar menanggapi apa yang disampaikan oleh pembicara.
VI.

SASARAN KEGIATAN

1. Seluruh civitas Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
2. Masyarakat sekitar Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.
VII.

SUSUNAN PANITIA


Lampiran 1
VIII.

SUSUNAN ACARA
Lampiran 2

IX.

ANGGARAN DANA

Lampiran 3
X.

DOKUMENTASI

Lampiran 4
XI.

POSTER


Lampiran 5
XII.

MATERI

Lampiran 6
XIII.

PRESENSI PESERTA
Lampiran 7

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

XIV.

PENUTUP
Demikian laporan pertanggungjawaban ini kami sampaikan. Beribu terima kasih kami


ucapkan kepada berbagai pihak yang terlibat, yang telah mendukung acara ini. Kepada Dekan
dan Wakil Dekan Fakultas Hukum, Kaprodi, Dosen serta Staff Fakultas Hukum kami
mengucapkan terima kasih atas support baik dalam bentuk materiil maupun imateriil. Tidak
lupa pihak sponsorship, sukarelawan, dan partisipan yang telah berkontribusi besar atas
terselenggarakannya acara ini. Kami selaku Panitia “DISKUSI ILMIAH” Universitas 17
Agustus 1945 Surabaya, memohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan
dalam menjalankan acara tersebut. Semoga dengan adanya laporan pertanggungjawaban ini.

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KEGIATAN
“DISKUSI ILMIAH MAHASISWA MEMPERINGATI HARI HAK ASASI
MANUSIA”
MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945 SURABAYA

TAHUN 2017

Hormat Kami,
Ketua pelaksana

Sekretaris

Faryel Vivaldy
NPM:1311501738

Nadia Rifani Putri
NPM:1311511771
Mengetahui/Menyetujui,

Dosen Pengampu

Wiwik Afifah, S.Pi., S.H., M.H.
NIDN:20310130612

Dekan Fakultas Hukum


Dr. Slamet Suhartono, S.H., M.H.
NIDN:20310860065

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

Lampiran 1
SUSUNAN PANITIA
Pelindung

: Dr. Slamet Suhartono, S.H., M.H.
(Dekan Fakultas Hukum)

Dosen Pengampu

: Wiwik Afifah, S.Pi., S.H., M.H.


Ketua Pelaksana

: Faryel Fivaldy

Sekretaris

: Nadia Rifani Putri

Bendahara

: 1. Elok Putri
2. Iqbal Hamdani

Sie. Acara

: 1. Charel Arril
2. Sella Nur. K
3. Aulia Firdaus
4. Suryadi


Sie Perlengkapan

: 1. Angga Hendiarto S.
2. Fatqul Ariatmoko
3. Khoirul Ma’arif
4. Samsul Arifin
5. Arifina Nugrah H.

Sie Humas dan Kepesertaan

: 1. Ayu Riyana
2. Umar Faruq
3. Risky Amalia
4. Rois Al Basyar

Pembicara

: 1. Andreas Agung P.
2. Albert Agung
3. Thereza Damayanti

4. Winny Amanda

Moderator

: Tjitra Manikam

Pembawa Acara

: Afeliyanti Firenia

Pembaca Do’a

: Fathur Rohman

Operator LCD

: Mukti Harjo P.

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

Lampiran 2
SUSUNAN ACARA
08:00-08:30

30”

Registrasi Peserta

08:30-0915

45”

Pembukaan
Lagu Indonesia RayLagu Hymne UNTAG
Pembacaan Do’a
Sambutan Ketua Pelaksana
Sambutan Dosen Dekan Fakultas Hukum
Dr. Slamet Suhartono, S.H., M.H.

09:20-09:35

15”

Pembicara I : Winny Amanda

09:35-09:50

15”

Pembicara II : Thereza Damayanti

09:50-10:05

15”

Pembicara III : Andreas Agung

10:05-10:20

15”

Pembicara IV : Albert agung

10:20-10:35

15”

Pembanding Pemateri dari C’mars

10:35-11:00

25”

Tanya jawab dan Kesimpulan oleh Mediator

11:00-11:10

10”

Penutupan

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

Apakah Negara Melanggar HAM,
Dengan Mencantumkan Agama Di KTP ?
Albert Agung W1
Indonesia sebagai negara hukum dan berdasar atas Ketuhanan
Yang Maha Esa maka Indonesia harus menjunjung tinggi supremasi
hukum serta meyakini bahwa nilai-nilai religius merupakan salah satu
sumber inspirasi bagi negara dalam menjalankan kewajibannya. Salah
satu ciri negara hukum ialah mengakui dan menjamin adanya Hak Asasi
Manusia. Salah satu Hak Asasi Manusia yang penting untuk dijamin
keberadaannya ialah hak untuk beragama.
Sebagai negara hukum, Indonesia wajib menjaminnya dalam
konstitusi. Namun yang patut digaris bawahi bahwa kewenangan dan
kewajiban yang dimiliki oleh negara kaitannya dengan agama hanyalah
menjamin kebebasan warga negaranya untuk memeluk agama dan
beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan yang diyakininya.
Negara sama sekali tidak diberikan kewenangan dan kewajiban untuk
mengakui, melindungi, dan menjamin keberadaan agama tertentu. Jika
negara ini kemudian melakukan perlakuan seperti itu, maka sebetulnya
negara telah melakukan perbuatan yang inkonstitusional karena
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI.
Itulah realitas yang akan kita jumpai jika kita menelaah Pasal 1 UU
Nomor 1/PNPS/Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan
dan/atau Penodaaan Agama. ”Setiap orang dilarang dengan sengaja di
muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan
dukungan umum, untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama
yang dianut di Indonesia.”
1

Disampaika pada 8 Desember 2017 Diskusi Ilmiah Mahasiswa Dalam Memperingati Hari Hak Asasi Manusia
"Eksistensi Hak Berkeyakinan Dalam KTP Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi" Di Graha Widya Lantai 2
Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

Pada Pasal tersebut terdapat klausul ”agama yang dianut di
Indonesia”. Pada penjelasan ayat tersebut dijelaskan bahwa penjelasan
klausal ”agama yang dianut di Indonesia” ialah Islam, Kristen, Katolik,
Hindu, Budha dan Khong Hu Cu.
Jadi dari aturan tersebut dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
Indonesia ternyata mengakui, melindungi, dan menjamin keberadaan
agama tertentu dalam hal ini keenam agama di atas. Adapun alasan
pengakuan tersebut didasarkan pada sejarah perkembangan agamaagama di Indonesia. Keenam macam agama tersebut merupakan
agama-agama yang dipeluk hampir seluruh penduduk Indonesia.
Landasan yang dijadikan pijakan bagi perumus aturan tersebut
bukanlah landasan yuridis melainkan lebih kepada landasan historis
agama yang berkembang di Indonesia. Menurut saya, aturan tersebut
tidak memiliki dasar hukum yang jelas. Apalagi jika kita kritisi
landasan historis yang dijadikan landasan dirumuskannya aturan
tersebut.
Hal yang patut kita kritisi dari persoalan ini ialah:
Yang pertama apakah yang dijadikan pertimbangan bagi perumus
atas diakuinya agama tertentu itu berdasarkan besar atau banyaknya
jumlah penganut suatu agama?
Yang kedua, Lalu apa ukuran besar atau banyaknya jumlah pemeluk
suatu agama untuk kemudian dianggap sebagai agama yang diakui
keberadaannya secara yuridis oleh negara?
Maka jawaban dari kedua pertanyaan tersebut bahwa tidak ada
pertimbangan dan ukuran yang jelas dan logis, yang dijadikan pijakan
bagi negara untuk merumuskan aturan tersebut. Alasan-alasan yang
diajukan lebih bersifat asumtif dan tidak memiliki kepastian.
Manfaat Pengosongan Kolom Agama di dalam KTP
Apabila mengosongkan kolom agama, ada beberapa manfaat
dibawah ini. Yaitu:
Pertama, memberikan kepastian hukum bagi kepercayaan dan agama
yang belum di akui negara. Sebelum masuknya agama-agama sempit di

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

kepulauan yang kini tergabung dalam Negara Republik Indonesia, di
setiap pulau telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti
Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda
Kedua, Agama selalu dijadikan alat poitik diantara pemeluknya. Kolom
agama justru melahirkan diskriminasi antar agama berlatar belakang
sejarah-sejarahnya.
Ketiga, Jika negara memang menjamin kebebasan warga negaranya
memeluk kepercayaan sesuai keyakinannya (tercantum dalam Pasal 29
UUD 1945) maka harusnya boleh ditulis selain dengan 5 agama yang
diajarkan di sekolah, misalkan Konfusianisme, Taoisme, Shinto, Sikh,
Saintologi
Apalagi jika kita hadapkan alasan tersebut pada kajian historis
perkembangan agama yang lebih mendalam, maka akan kita dapati
kesimpulan
bahwa
sebetulnya
agama-agama
yang
diakui
keberadaannya oleh pemerintah melalui aturan ini merupakan agamaagama yang diimpor dari luar Indonesia. Seperti agama islam, kristen,
katholik.
Perlakuan khusus terhadap keenam agama yang diakui secara
yuridis oleh negara memberikan konsekuensi mereka mendapat jaminan
seperti yang diberikan oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, keenam agama
tersebut mendapat bantuan dan perlindungan seperti yang diberikan
oleh Pasal 1 UU No. 1/PNPS/Tahun 1965. Sebaliknya, agama-agama
selain keenam agama dimaksud mendapat pengecualian (exclusion),
pembedaan (distinction), serta pembatasan (restriction)”.
Pasal 1 UU No. 1/PNPS/Tahun 1965 bertentangan prinsip
persamaan yang ada pada Pasal 27 ayat (1) UUD RI yaitu “segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”, Pasal 28D ayat (1) yaitu “setiap orang
berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum
yang adil serta perlakukan yang sama di depan hukum”, dan Pasal 28I
ayat (2) yang menyatakan “setiap orang berhak bebas dari perlakuan
yang diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakukan yang diskriminatif itu”. Dengan
adanya pengakuan terhadap keenam agama dan melakukan

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

pembedaan terhadap agama lain, maka sebetulnya negara telah
melanggar pasal-pasal yang ada di UUD 1945 tersebut.
Saya akan mengutip pendapat dari A.V Dicey tiga ciri penting
negara hukum ialah Hak Asasi Manusia dijamin melalui UndangUndang. Persamaan kedudukan di hadapan hukum, Supremasi aturanaturan hukum dan tidak adanya kesewenang-wenangan tanpa aturan
yang jelas. Apabila, adanya pengecualian, pembedaan, serta
pembatasan itu merupakan bentuk diskriminasi dan itu akan
menghasilkan ketidak adilan yang pada perkembangannya nanti hanya
akan menghasilkan ketidakpuasan yang berujung pada retaknya
persatuan dan kesatuan bangsa. Jadi sudah seharusnya pemerintah
menghapus kolom agama di KTP agar tidak ada diskriminasi kepada
penganut kepercayaan yang tidak diakui oleh pemerintah. karena sudah
tugas negara untuk menjamin Hak setiap warga negara dalam memeluk
keyakinan. Yang menjadi pertanyaannya apakah pemerintah melanggar
HAM? Dengan mencantumkan kolom agama di KTP? Jawaban: secara
tidak langsung pemerintah bisa di katakan melanggar HAM, kenapa?
Karena dengan kebijakan yang negara buat sehingga memunculkan
diskriminasi di kalangan masyarakat.
Terakhir, yang perlu ditegaskan sekali lagi bahwa negara tidak
menjamin keberadaan agama tertentu. Tetapi berdasarkan UUD, negara
hanya menjamin hak warga negaranya untuk memeluk agama dan
kepercayaannya masing-masing.

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

HAK BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN
MENURUT KONVENSI HAK SIPIL DAN POLITIK2
Konvensi adalah aturan perilaku kenegaraan yang didasarkan tidak pada
undang-undang melainkan pada kebiasaan-kebiasaan ketatanegaraan dan
preseden.Artinya aturan tersebut, timbul dari kebiasaan-kebiasaan baik dalam praktek
penyelenggaraan ketatanegaraan, dijunjung tinggi oleh rasa kepatuhan konstitusional
ataupun oleh pertimbangan praktis (kemungkinan yang dapat dilaksanakan).aturan
tersebut dilakukan secara berulang-ulang, serta diterima sebagai suatu hukum. yang tidak
tertulis. Konvensi dapat memberikan arahan tentang prosedur, kekuasaan, dan

kewajiban dalam tidak ada undang-undang tertulis. Dengan demikian, konvensi
mengisi adanya kekosongan dalam hukum.
Konvensi internasional yaitu perjanjian internasional tertulis yang tunduk
pada ketentuan hukum kebiasaan internasional, yurisprudensi atau prinsip hukum
umum. Sebuah konvensi internasional dapat diberlakukan di Indonesia, setelah
terlebih dahulu melalui proses ratifikasi yang dilakukan oleh DPR.
A. Latar Belakang Konvensi Internasional Sipil dan Politik
Konvensi Internasional sipil dan politik atau yang biasa disebut dengan
ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights)adalah sebuah perjanjian
multilateral yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
berdasarkan Resolusi 2200A (XXI) pada tanggal 16 Desember 1966 dan berlaku pada
tanggal 23 Maret 1976. Dan Indonesia sendiri telah meratifikasi ICCPR pada 28
Oktober 2005 melalui Undang-undang Republik Indonesia tentang pengesahan
International Covenant on Civil and Political Rights (konvenan internasional tentang Hak
Sipil dan Politik) yang disertai dengan dklarasi terhadap Pasal 1 tentang pengesahan
Konvenan internasional Hak Sipil dan Politik.
ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights)ini bertujuan untuk
mengkukuhkan pokok-pokok HAM dibidang sipil dan politik yang tercantum dalam
DUHAM sehingga menjadi ketetuan-ketentuan yang mengikat secara hukum dan
penjabaranya mencangkup pokok-pokok lain yang terkait.
B. Pengertian Hak Sipil dan Politik
Hak sipil adalah hak kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai hakikat
dari keberadaan seorang manusia. Hak politik ialah hak dasar dan bersifat mutlak

2

Thereza Damayanti

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

yang melekat di dalam setiap warga Negara yang harus dijunjung tinggi dan di
hormati oleh Negara dalam keadaan apapun.
Hak sipil adalah kebebasan fundamental yang diperoleh sebagai hakikat dari
keberadaan seorang manusia artinya sipil yang dimaksudkan disini adalah kelas
yang melindungi hak-hak kebebasan individu dari pelanggaran yang dilakukan
oleh Pemerintah dan organisasi swasta lainya dan memastikan kemampuan
seseorang untuk ikut berpartisipasi dalam kehidupan sipil maupun politik tanpa
diskriminasi atau penindasan apapun. Terdapat macam-macam Hak sipil dan
politik, yakni:
1. Hak hidup
2. Hak bebas dari penyiksaan dan perlakuan tidak manusiawi
3. Hak bebas dari perbudakan dan kerja paksa
4. Hak atas kebebasan dan keamanan pribadi
5. Hak atas kebebasan bergerak dan berpindah
6. Hak atas pengakuan dan perlakuan yang sama dihadapan hukum
7. Hak untuk bebas berfikir, berkeyakinan dan beragama
8. Hak untuk bebas berpendapat dan berekspresi
9. Hak untuk berkumpul dan berserikat
10. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan
C. Hak atas Kebebasan Berkeyakinan dan BeragamaDalam konteks hak asasi
manusia
Jaminan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat di dalam
Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR)) Dan Indonesia sendiri telah
meratifikasi ICCPR melalui pengesahan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi
Konvensi Hak Sipil dan Politikyaitu :
1. Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,keyakinan dan beragama.Hak ini
mencangkup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas
pilihanya sendiri dan kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain,baik ditempat umum atau tertutup,untuk menjalankan agama
dan kepercayaanya dalam kegiatan ibadah,pentaatan,pengamalan,dan
pengajaran
2. Tidak seorang pun dapat dipaksa sehingga terganggu kebebasanya untuk
menganut atau menetapkan agama atau kepercayaanya sesuai dengan
pilihanya.
3. Kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau kepercayaan seseorang
hanya dapat dibatasi oleh ketentuan bedasarkan hukum dan yang diperlukan
untuk melindungi keamanan,ketertiban,kesehatan,atau moral masyarakat,atau
hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

4.

Negara pihak dalam konvenan ini berjanji untuk menghormati kkebebasan
orang tua dan apabila diakui wali hukum yang sah ,untuk memastikan bahwa
pendidikan agama dan moral bagi anak-anak mereka sesuai dengan keyakinan
mereka sendiri.
Dapat disimpulkan bahwa hak dasar kebebasan beragama yang disebut sebagai
HAM melekat pada setiap manusia dan tidak bisa dihilangkan (inalienable right) ini
sesuai dengan karakterisitik HAM itu sendiri.. Bahkan HAM sebagai hak hukum
yang diberikan oleh negara atas penghormatan terhadap martabat (dignity) manusia
yang mandiri. Dan dalam perspektif HAM, negara hanya mempunyai kewajiban,
dan tidak mempunyai hak, Dan sebagai konsekuensinya, Negara mempunyai
kewajiban menjaga HAM, yang berarti negara harus menjamin HAM, Sehingga
Negara harus menciptakan kondisi yang mendukung hak setiap orang untuk
menikmati hak dan kebebasan secara utuh,dan kewajiban Negara harus diwujudkan
secara maksimal dengan pemanfaatan seluruh sumber daya kekuasaan politik,
mulai dari legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sehingga Negara wajib untuk
menyediakan upaya pemulihan terhadap individu yang hak sipil dan politiknya
dilanggar, termasuk tindakan pengadilan untuk memberikan pemulihan terhadap
korban pelanggaran hak sipil secara efektif (effective judicial remedy),Dan adanya
beban kewajiban negatif pada negara yang berarti negara harus menghormati
kebebasan dan hak setiap individu.
Definisi agama di dalam Pasal 18 ICCPR atau Konvenan international hakhak sipil dan politik adalah sangat luas, mencakup kepercayaan-kepercayaan
seperti teistik, non-teistik, dan ateisme, serta hak untuk tidak menganut agama atau
kepercayaan apapun (a-teistik). Sedangkan cakupan hak kebebasan beragama dan
berkeyakinan merujuk pada Komentar Umum (General Comments) No. 22 yang
dikeluarkan oleh Komite Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (“PBB”)
terkait Pasal 18 ICCPR. Pasal 18 melakukan pembedaan dengan melihat dimensinya,
yakni membedakan kebebasan berkeyakinan, dan beragama atau berkepercayaan,
dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya, Pembedaan
tersebut didasarkan pada rasionalitasyang dilihat dari dimensinya seperti :
a. Dimensi individual yang tercermin dalam perlindungan terhadap keberadaan
spiritual seseorang (forum internum) termasuk di dalam dimensi ini adalah
memilih, mengganti, mengadopsi, dan memeluk agama dan keyakinan.
b. Dimensi kolektif tercermin dalam perlindungan terhadap keberadaan seseorang
untuk mengeluarkan keberadaan spiritualnya dan mempertahankannya di
depan publik (forum externum).
Pembedaan rasionalitas HAM ini menjadi penting untuk memberikan pedoman atas
“wilayah” negara tetang apa yang diperbolehkan untuk membatasi. Komentar

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

Umum No. 22 tersebut juga memberikan batasan bahwa tidak satu pun pengamalan
agama atau kepercayaan dapat digunakan sebagai propaganda untuk berperang
atau advokasi kebencian nasional, rasial, atau agama, yang dapat mendorong
terjadinya diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan. Pembedaan ini juga
menghasilkan komponen dari hak atas kebebasan beragama itu sendiri, yakni:
a. Hak untuk pindah agama (right to change and maintain religion), private intervirum
(internal religious freedom).
b. Hak memanifestasikan agama di dalam hal pengajaran, praktik, beribadah dan
melaksanakan ibadah.
Wilayah negara untuk membatasi hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan
juga sudah diatur sedemikian rupa, meski termasuk dalam non derogable rights, atau
tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, namun tidak berarti secara mutlak
seluruhnya. Forum internum hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak
boleh dibatasi, tanpa pengecualian, namun forum externum dapat dibatasi .
Konkretnya, Paragraf 8 Komentar Umum No. 22 atas Pasal 18 ayat (3) ICCPR hanya
membatasi hak atas kebebasan beragama yang manifest (eksternal),. Selain adanya
batasan, ada juga larangan, yakni larangan adanya paksaaan (coercion) yang
ditujukan secara langsung terhadap hak untuk memiliki atau menganut agama atau
kepercayaan (Pasal 18 ayat (2) ICCPR). Paksaan tersebut mencakup paksaan fisik
(physical coercion), dan cara menggunakan paksaan tidak langsung (indirect means
coercion). Di mana paksaan tidak langsung mencakup insentif yang tidak
diperbolehkan, misalnya adanya hak istimewa (privilege) bagi kelompok agama atau
kepercayaan tertentu, baik berdasarkan hukum publik (public law).
Komentar Umum (General Comments) No. 22 menjelaskan tentang paksaan
yang mengurangi hak untuk memiliki dan menganut agama atau kepercayaan
termasuk penggunaan ancaman dengan kekuatan fisik atau sanksi hukuman sampai
pemaksaan sanksi hukum untuk memaksa baik yang pemeluk agama maupun yang
tidak mempercayainya (ateisme) untuk tetap memeluk agama dan kepercayaan
mereka atau untuk congregation, atau keluar dari agama atau kepercayaan mereka
atau untuk pindah agama atau kepercayaan.
Paksaan dapat bersifat langsung dan tidak langsung, kebijakan dan praktik
yang dikeluarkan oleh negara yang dimaksudkan mempunyai akibat yang sama
dengan paksaan fisik juga dilarang. Contoh paksaan tidak langsung misalnya adalah
pembatasan atau dihalanginya akses pada pendidikan, kesehatan, atau pekerjaan.
Definisi paksaan yang dilakukan oleh negara adalah apabila negara menolak adanya
akses pada fasilitas publik berdasarkan agama atau kepercayaan dengan maksud
agar kelompok tersebut mengubah agama dan kepercayaan mereka.
Komentar Umum No. 22 selanjutnya menjelaskan bahwa adanya kenyataan
suatu agama diakui sebagai agama negara, atau bahwa agama tersebut dinyatakan
sebagai agama resmi atau tradisi, atau bahwa penganut agama tersebut terdiri dari
mayoritas penduduk, tidak boleh menyebabkan tidak dinikmatinya hak-hak yang
dijamin oleh Kovenan, termasuk oleh pasal 18 dan pasal 27 ICCPR, maupun

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

menyebabkan diskriminasi terhadap penganut agama lain atau orang-orang yang
tidak beragama atau berkepercayaan.
D. Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik Bila dikaitkan dengan
Putusan MK Mengenai Hak Beragama
Dengan adanya putusan MK yang menyatakan bahwa status penghayat
kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom agama di kartu keluarga dan kartu
tanda penduduk elektronik (E-KTP) tanpa perlu merinci aliran kepercayaan yang
dianut.hal tersebut diperlukan untuk mewujukan tertib administrasi kependudukan
mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat Indonesia sangat
banyak dan beragam.Hal itu disampaikan MK dalam putusan uji materi terkait
aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP.Dan hal itu diatur dalam Pasal
61 Ayat (1) dan (2) serta Pasal 64 Ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2006 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) juncto Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang UU Adminduk.
“Bahwa agar tujuan mewujudkan tertib administrasi kependudukan dapat
terwujud serta mengingat jumlah penghayat kepercayaan dalam masyarakat
Indonesia sangat banyak dan beragam, pencantuman elemen data
kependudukan tentang agama bagi penghayat kepercayaan hanya dengan
mencatatkan yang bersangkutan sebagai 'penghayat kepercayaan' tanpa
merinci kepercayaan yang dianut di dalam KK ataupun KTP-el, begitu juga
dengan penganut agama lain,”
Sebelumnya ketentuan di dalam UU Adminduk itu dinilai tidak mampu
memberikan jaminan perlindungan dan pemenuhan hak yang sama kepada
penganut kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa atau penghayat selaku warga
negara.Dan didalam UU Adminduk juga tidak ada yang menjelaskan bahwa hanya
ada 6(enam) agama saja yang diakui dan dinyatakan resmi oleh Indonesia dan
selama ini para penghayat kepercayaan, seperti Sunda Wiwitan, Batak Parmalim,
dan Sapto Darmo, mengalami diskriminasi dalam mengakses layanan publik karena
kolom agama dalam KK dan KTP mereka dikosongkan.
Sedangkan bila dikaitkan dengan pasal 18 ayat 1 dalam Konvensi
Internasional Hak-hak Sipil dan Politik (ICCRP) menjelaskan bahwa
“Setiap orang berhak atas kebebasan berpikir,keyakinan dan beragama.Hak
ini mencangkup kebebasan untuk menetapkan agama atau kepercayaan atas
pilihanya sendiri dan kebebasan baik secara sendiri maupun bersama-sama
dengan orang lain,baik ditempat umum atau tertutup,untuk menjalankan
agama dan kepercayaanya dalam kegiatan ibadah,pentaatan,pengamalan,dan
pengajaran”
Artinya setiap orang memiliki hak untuk memiliki keyakinan dan agamanya
masing-masing. dan apabila para penghayat kepercayaan lainya seperti Sunda
Wiwitan, Batak Parmalim, dan Sapto Darmo dsb, mengalami diskriminasi dalam
mengakses layanan publik karena kolom agama dalam KK dan KTP mereka

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

dikosongkan bisa dipastikan ini adalah salah satu pelanggaran HAM. Indonesia
sangatlah beragam suku dan budaya begitu juga dengan kepercayaan leluhur yang
telah dipercaya oleh kebanyakan masyarakat adat itu sendiri. Namun mengapa
hanya 6 (enam) agama saja yang hanya dianggap resmi di Indonesia ? padahal ke 6
(enam) agama tersebut adalah hasil impor ,dan mengapa agama yang sudah
menjadi titipan leluhur bangsa indonesia tidak diakui ? sedangkan didalam
Undang-Undang Ham maupun Konvenan Internasional menjelaskan bahwa setiap
orang berhak untuk memilih dan menganut kepercayaan dan agamanya masingmasing. Pengaturan tersebut telah memperlakukan secara berbeda terhadap warga
negara penghayat kepercayaan dan warga negara penganut agama yang diakui
menurut peraturan perundang-undangan dalam mengakses pelayanan publik.
Dengan kejadian seperti ini lah para penghayat kepercayaan sangat dirugikan
dengan adanya aturan tersebut dan mengharuskan mereka untuk berbohong demi
mendapatkan kepentingan politik ataupun pelayanan publik dengan
mencantumkan agama lain sebagai identitas.
Namun bila kita melihat pasal 26 dalam Konvenan Internasional (ICCRP)
yang menyatakan
“Bahwa semua orang berkedudukan sama dihadapan hukum dan berak atas
perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi apapun ....... “
Jelas sangatlah bertentangan sekali dengan peraturan yang ada didalam pasal
27 Konvenan Internasional ini juga dijelaskan pula bahwa orang-orang yang
tergolong minoritas bedasrkan suku bangsa,agama,atau bahasa tidak boleh
diingkari haknya dalam masyrakat dan dapat menjalankan dan mengamalkan
agamanya sendiri. Disini sudah terlihat jelas bahwa ini adalah suatu pelanggaran
Ham yang merugikan kelompok minoritas tersebut padahal mereka adalah warga
negara Indonesia tetapi mereka harus mengalami diskriminasi.
Dalam putusannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa kata “agama” dalam
Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk
penganut aliran kepercayaan. Artinya, penganut aliran kepercayaan memiliki
kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui
pemerintah dalam memperoleh hak terkait administrasi kependudukan.
Oleh karena itu adanya putusan tersebut masyarakat dapat bebas menganut
agama atau menganut aliran kepercayaan sesuai nilai-nilai luhur bangsa selama
nilai-nilai trsebut tetap mengakui keimanan kepada KeTuhanan Yang Maha Esa.dan
Penghayat kepercayaan aliran diluar 6 (enam) agama tersebut memiliki kedudukan
sama dengan masyarakat yang menganut 6 (enam) agama tersebut.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa penerapan Hak Atas Kebebasan
Beragama dan Berkeyakinan harus diukur apakah telah sesuai dengan komitmen
negara, dan benar-benar mencerminkan perlindungan atau bahkan terjadi
pelanggaran. Mengingat secara normatif, Indonesia terikat pada hak asasi manusia
yang telah diintegrasikan ke dalam konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. Dalam

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

konteks HAM, keberadaan agama di Indonesia seharusnya diberikan kebebasan
kepada setiap individu dalam menjalankan hubungan khususnya dengan Sang
Pencipta, karena merupakan urusan privasi individu. Kepercayaan seseorang
terhadap agama lokal/leluhur juga termasuk dalam forum internum yang
memberikan perlindungan terhadap keberadaan spiritual seseorang melalui
kebebasan memeluk agama dan kepercayaannya. Pembatasan kebebasan beragama
dapat dilakukan oleh Negara apabila termasuk dalam forum externum, yaitu
seseorang yang melakukan manifestasi agama atau keyakinannya termasuk dalam
menyebarkan ajaran agamanya yang harus dilakukan tanpa adanya paksaan dan
kekerasan, mendirikan rumah ibadah dan lain-lain.

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

LANDASAN KEPUTUSAN MK MENGENAI AGAMA “KEPERCAYAAN”
Oleh : Winny Amanda M.P3
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
Pendahuluan
Sejarah perjalanan Agama di Indonesia, ada di dalam Pasal 29 ayat (1) dan (2) UUD
1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini
membuktikan bahwa Indonesia adalah Negara yang beragama, bukan Negara yang tidak
beragama (atheis). Dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dijelaskan bahwa Negara Indonesia
hanya memberikan jaminan kepada pemeluk agama untuk beribadah menurut agamanya
masing-masing, namun tidak dijelaskan agama apa saja yang diakui di Indonesia.
Kemudian dalam pasal 1 Penetapan Presiden Republik Indonesia Nomor
1/PNPS/1965 tentang pencegahan penyalahgunaan dan atau penodaan agama, sesuai
dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1965 Nomor 3 pada tanggal 27 Januari
1965 dijelaskan bahwa agama yang dipeluk penduduk Indonesia adalah Islam, Kristen,
Katolik, Hindu, Budha dan Kong cu (confusius). Hal ini dibuktikan berdasarkan
perkembangan agama di Indonesia. Dan 6 agama tersebut hampir dipeluk oleh seluruh
penduduk Indonesia. Keenam agama tersebut juga mendapat bantuan-bantuan dan
perlindungan. Bagaimana dengan agama selain agama yang 6 tersebut?
Dalam penjelasan pasal tersebut juga dijelaskan bahwa agama lain, misalnya :
Yahudi, Zarasustrian, Shinto dan Taoism boleh berada di Indonesia. Agama lain tersebut
mendapat jaminan menurut Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 dan dibiarkan tetap ada. Kemudian
dijelaskan juga bagi badan/aliran kebatinan, pemerintah menyalurkan kearah Ke Tuhanan
Yang Maha Esa, sesuai dengan TAP MPRS Nomor II/MPRS/1960 lampiran A bidang I
angka 6. Oleh karena itu, pasal 29 UUD 1945 hanya menjelaskan 2 pengertian yaitu:
1) Bahwa Negara Indonesia adalah Negara yang beragama
2) UUD 1945 memberikan jaminan kepada pemeluk agama yang ada di Indonesia untuk
beribadah menurut agamanya dan keprcayaannya itu.
Tidak ada pengaturan jenis agama yang mesti berada di Negara Indonesia, semua agama
apa pun boleh berada di Indonesia, asal tidak ”ATHEIS”. Kemudian dalam peraturan
Nomor 1/PNPS/1965 dijelaskan bahwa hanya 6 agama yang mendapat jaminan yaitu
(Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hucu), namun agama lain tidak dilarang
di Indonesia. Dan tentunya dari keenam Agama yang sudah di akui di Indonesia tersebut
mempunyai sejarah yang panjang untuk diakui sebagai agama yang mendapat jaminan di
Indonesia.
3

Disampaikan pada 8 Desember 2017 Diskusi Ilmiah Mahasiswa Dalam Memperingati Hari Hak
Asasi Manusia “Eksistensi Hak Berkeyakinan Dalam KTP Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi”
Di Graha Widya Lantai 2 Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya.

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

Pembahasan
Pada tanggal 28 September 2016, Mahkamah Konstitusi menerima pengajuan
permohonan uji materi terkait aturan pengosongan kolom agama pada KK dan KTP dari
sejumlah advokat yang mengatasnamakan diri ”Tim Pembela Kewarganegaraan”. Berkas
permohonan itu bernomor 195/PAN.MK/2016. Berkas permohonan itu baru dicatat dalam
buku registrasi perkara konstitusi pada 20 Oktober. Nomor perkara 97/PUU-XIV/2016.
Berkas tersebut mengalami perbaikan dan diterima lagi untuk kepaniteraan MK pada 20
November 2016. Mereka mengajukan permohonan pengujian Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 yang telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Yang berbunyi, sebagai
berikut:
Pasal 61:
Ayat (1)
“KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan
anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan,
pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen
imigrasi, nama orang tua”
Ayat (2)
“Keterangan tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang
agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat
dalam database kependudukan”
Kemudian Pasal 64:
Ayat (1)
“KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat
tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat,
pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el,
dan tanda tangan pemilik KTP-el.”
Ayat (5)
“Elemen data penduduk tentang agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk
yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan Peraturan Perundangundangan atau bagi penghayat kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat
dalam database kependudukan.”
Mereka menilai pasal dalam UU itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Gugatan itu mewakili Nggay Mehang Tana, penganut
kepercayaan dari Komunitas Marapu di Sumba Timur. Nggay sendiri mewakili 21.000
penganut kepercayaan dari komunitas tersebut. Selama ini mereka kesulitan mengakses
urusan administrasi kependudukan, bantuan sosial dan pelayanan publik. Dengan
menyandang status penganut kepercayaan, pernikahan antara komunitas mereka juga tidak

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

diakui negara. Akibatnya, anak-anak mereka kesulitan mendapat akta kelahiran. Anggota
komunitas ini juga kesulitan mendapat KTP, terkadang mereka harus berbohong dengan
menulis agama di luar kepercayaan mereka. Tidak hanya Nggay, tim pembela
kewarganegaraan juga mewakili Pagar Demanra Sirait, penganut kepercayaan Parmalin di
Sumatera Utara. Mereka punya masalah yang sama. Bahkan mereka terkadang dipaksa
memilih agama yang diakui negara, di luar kepercayaan yang dianut. Mereka juga
mengalami kesulitan dalam hal memperoleh pekerjaan lantaran, kecuali bersedia pindah
agama. Kemudian ada Arnol Purba yang mewakili penganut kepercayaan Ugamo Bangsa
Batak di Medan, Sumatera Utara. Jumlah penganut Ugamo Bangsa Batak di Kota Medan
tersebar di kecamatan Meda Helvetia, Medan Denai, Medan Belawan dengan total 40 jiwa.
Ada pula Carlim, penganut aliran kepercayaan Sapto Darmo. Di Pulau Jawa, jumlahnya
ratusan ribu orang. Mereka kerap dianggap sebagai penganut aliran sesat. Sebab, pada
kolom agama di KTP mereka dikosongkan. Mereka juga tidak diterima jika dimakamkan di
pemakaman umum.
Para pemohon menilai, Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang
Administrasi Kependudukan yang memerintahkan agar mengosongkan kolom agama bagi
penganut kepercayaan, sebagai bentuk keengganan negara mengakui keberadaan mereka.
Karena itu, mereka menganggap ini merugikan hak konstitusional mereka. Pasal-pasal itu
dinilai melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, UU nomor 12 tahun 2005, UU Nomor 11
Tahun 2005, UU Nomor 39 Tahun 1999. Undang-Undang itu mengamanatkan negara
menjamin hak asasi tanpa membedakan apapun, suku, agama, ras, warna kulit, jenis
kelamin, dan kepercayaan.
Hakim MK menilai kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa merupakan hak
konstitusional dan bukan pemberian negara. Itu merupakan hak asasi manusia. MK juga
berpegang pada piagam Duham dan konvenan internasional. Pada intinya, setiap orang
berhak atas kemerdekaan berpikir, beragama dan berkeyakinan, dan kebebasan
menjalankan agama dan kepercayaan. Dalam putusannya, Majelis Hakim menyatakan kata
'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 64 ayat (1) dan ayat (5) UU tersebut
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kata
Agama juga dinilai tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang
tidak termasuk penganut aliran kepercayaan.
Lewat putusan tersebut, penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum
yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui oleh pemerintah dalam
memperoleh hak terkait administrasi kependudukan. Selain itu, MK menyatakan Pasal 61
ayat (2) dan Pasal 64 ayat (5) Undang-Undang yang sama, juga bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. “Amar putusan mengadili, mengabulkan permohonan para pemohon
untuk seluruhnya,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika membacakan
amar putusan Mahkamah di Gedung MK.

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

Mahkamah menegaskan bahwa penganut aliran kepercayaan juga harus tetap
dilayani dan dicatat dalam pusat data kependudukan.
”Hal tersebut semata-mata penegasan tentang kewajiban negara untuk memberikan pelayanan
kepada setiap warga negara sesuai dengan data yang tercantum dalam database kependudukan yang
memang merupakan tugas dan kewajiban negara," jelas Hakim Konstitusi Saldi Isra.
Berikut ini Amar Putusan MK:

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

Kesimpulan
Keputusan MK yang menyetujui pengisian agama “kepercayaan” di KTP tentunya
tidak serta merta MK langsung mengambil keputusan menyetujui atau membolehkan
pengisian di kolom agama “kepercayaan” pada KTP, tetapi atas dasar hukum yang
menjamin kebebasan beragama yang secara konstitusi kita di Indonesia diatur yaitu yang
ada pada Pasal 28E ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (“UUD 1945”) : “Setiap
orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di
wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.” Kemudian Pasal 28E ayat (2)
UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan meyakini
kepercayaan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak untuk
beragama merupakan hak asasi manusia. Selanjutnya Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga
menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk
memeluk agama. Kemudian disasarkan atas pendapat dari pemohon yang mengajukan
permohonan untuk melakukan pengujian pada Pasal 61 ayat (2), Pasal 64 ayat (5) UndangUndang Administrasi Kependudukan yang memerintahkan agar mengosongkan kolom
agama bagi penganut kepercayaan, sebagai bentuk keengganan negara mengakui
keberadaan mereka. Karena itu, mereka menganggap ini merugikan hak konstitusional

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

mereka. Pasal-pasal tersebut dinilai melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, UU Nomor 12
Tahun 2005, UU Nomor 11 Tahun 2005, UU Nomor 39 Tahun 1999. Undang-Undang itu
mengamanatkan negara menjamin hak asasi tanpa membedakan apapun, suku, agama, ras,
warna kulit, jenis kelamin, dan kepercayaan. Tentunya dalam proses persidangan melalui
tahap-tahap persidangan seperti agenda pembuktian dalil-dalil yang tercantum di dalam
permohonannya dengan menghadirkan saksi-saksi dan Tidak hanya itu, delapan saksi ahli
juga dihadirkan pada persidangan 2 Februari 2017, 22 Februari 2017, dan 3 Mei 2017 serta
rangkaian proses sidang yang lainnya. Yang pada akhirnya MK pada hari selasa, tanggal 7
November 2017 Ketua MK Arief Hidayat membacakan putusan MK dalam sidangnya sbb:
”Majelis Hakim mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya. Kedua,
menyatakan kata ‘agama’ dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepenjang tidak termasuk aliran kepercayaan”. Jadi selain 6 agama yang sudah
diakui lebih dahulu di Indonesia sekarang Penghayat Kepercayaan tidak usah khawatir lagi
karena sudah bisa mengisi kolom Agama pada KTP dengan agama ‘kepercayaan’ dan
secara otomatis mendapat jaminan dari Negara.

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118

MAHASISWA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS 17 AGUSTUS 1945
SURABAYA
Sekretariatan : Lantai 3, Jalan Semolowaru No. 45, Surabaya 60118