Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Lingkungan Keluarga

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak adalah mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sejak dalam
kandungan anak sudah mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat
perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.1 Anak
adalah generasi penerus bangsa Indonesia, mempunyai hak dan kewajiban serta
mampu membangun negara dan bangsa Indonesia. Anak adalah modal
pembangunan yang akan memelihara dan mempertahankan pengembangan
bangsa.2 Oleh sebab itu, anak harus dijaga dan diperlakukan dengan baik supaya
masa depan anak yang gemilang dan mampu meraih cita-citaya. Mengigat
pentingnya peran anak, hak anak secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang
Dasar yang menyatakan bahwa negara menjamin setiap anak berhak atas
kelangsungan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Perlindungan anak adalah suatu usaha yang mengadakan kondisi dimana
setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya. Perlindungan anak
merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu masyarakat dengan
demikian maka perlindungan anak harus diusahakan dalam berbagai bidang
kehidupan berbangsa dan bernegara.3 Namun, dalam kenyataannya sering tidak
sesuai, anak sebagai pihak yang lemah sering mendapatkan perlakuan kekerasan
oleh pihak yang tidak bertanggungjawab untuk mendapatkan keuntungan yang

sampai melanggar hak anak yang harus terima sebagai manusia.
1

Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak (Jakarta:Restu Agung, 2007), hal.1.
Arif Gosita, Masalah Perlindungan Anak (Jakarta:Akademi Pressindo, 1985) hal. 123.
3
Ibid,. hal 18.
2

Universitas Sumatera Utara

Kekerasan terhadap anak oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
merupakan masalah setiap negara. Di Indonesia kasus kekerasan seksual setiap
tahunnya mengalami peningkatan. Korban bukan hanya dari kalangan dewasa saja
namun sekarang sudah merambah ke remaja, anak-anak bahkan balita.
Anak perempuan banyak menjadi korban karena pelaku merasa lebih aman
untuk melakukan perbuatannya karena cenderung dilandasi kondisi sosial kultural
masyarakat yang masih menganggap rendah keberadaan perempuan dan anak.4
Menurut Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada tahun 2011 saja
telah terjadi 2.275 kasus kekerasan terhadap anak, 887 kasus diantaranya

merupakan kekerasan seksual anak. Pada tahun 2012 kekerasan terhadap anak
telah terjadi 3.871 kasus, 1.028 kasus diantaranya merupakan kekerasan seksual
terhadap anak. Tahun 2013, dari 2.637 kekerasan terhadap anak, 48 persennya
atau sekitar 1.266 merupakan kekerasan seksual pada anak.5 Berdasarkan data
Komnas Perempuan, memaparkan bahwa tahun 2015 lalu ada sekitar 6.499 kasus
kekerasan seksual, termasuk kepada anak-anak. Dan untuk tahun 2016 KPAI
mengklaim adanya kenaikan tingkat kekerasan pada anak.6 Jadi, dengan melihat
melihat data diatas tidaklah berlebihan apabila Komnas Perlindungan Anak telah
mencanagkan Indonesia darurat kekerasan seksual pada anak.
Padahal anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang
dimana dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.
Anak juga memiliki hak asasi manusia yang diakui oleh masyarakat bangsa4

Sri Esti Wuryani Djiwandono, Konseling Dan Terapi Dengan Anak Dan Orang Tua,
(Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005) hal 87.
5
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) (On-Line), tersedia
dihttp://bakohumas.kominfo.go.id, diakses pada 7 Mei 2014
6
Kasus kekerasan terhadap anala (on-line) tersedia di

http://news.metrotvnews.com/peristiwa/yNL88ZyN-kpai-klaim-Kasus-kekerasan-pada-anakmeningkat

Universitas Sumatera Utara

bangsa di dunia. Diakui dalam masa pertumbuhan secara fisik dan mental, anak
membutuhkan perawatan, perlindungan yang khusus, serta perlindungan hukum
baik sebelum maupun sesudah lahir.
Patut

diakui

bahwa

keluarga

merupakan

lingkungan

alami


bagi

pertumbuhan dan kesejahteraan anak. Perkembangan kepribadian anak secara
utuh dan serasi membutuhkan lingkungan keluarga yang bahagia, penuh kasih
sayang dan pengertian.7 Namun ironisnya, menurut hasil monitoring dan evaluasi
KPAI di 9 provinsi menunjukkan bahwa 91 persen anak menjadi korban
kekerasan di lingkungan keluarga, 87.6 persen di lingkungan sekolah dan 17.9
persen di lingkungan masyarakat.8 Termasuk di dalamnya kekerasan seksual pada
anak. Jadi anggapan yang menyatakan bahawa kekerasan seksual pada anak itu
sering terjadi saat anak di luar pengawasan keluarga dan lingkungan pendidikan
itu salah. Karena pada faktanya anak rentan menjadi korban kekerasan seksual
justru di lingkungan rumah dan sekolah. Lingkungan yang mengenal anak-anak
tersebut cukup dekat. Yang artinya, pelaku kekerasan pada anak justru lebih
banyak berasal dari kalangan yang dekat dengan anak. Pelecehan seksual terhadap
anak kebanyakan terjadi di rumah sendiri dengan pelaku keluarga dekat dan
kenalan-kenalan keluarga.9
Dalam kasus tindak pidana kekerasan seksual terhadap anak diatas, mereka
merupakan pihak yang lemah baik secara kejiwaan, fisik dan mental. Yang


7

Keluarga
(on-line)
tersedia
di
http://www.depkes.go.id/article/view/16040400003/menkes-mari-bersama-sukseskan-germas-dankeluarga-sehat.htm
8
Kekerasan
terhadap
anak
meningkat
(on-line)
tersedia
di
http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat
9
Arif Gosita et.al, Perlindungan Terhadap Anak Korban Kekerasan Di Indonesia
(Menyelami Usul Kebijakan), (Medan, 2001)


Universitas Sumatera Utara

seharusnya anak mendapatkan perlindungan, pengawasan dan kasih sayang dari
orang tua, keluarga dan orang-orang disekelilingnya.
Masalah kekerasan seksual di Indonesia, khususnya terhadap anak perlu
mendapatkan perhatian lebih intensif dan serius lagi. Hal ini mengingat, terdapat
kecenderungan bahwa korban anak sering terabaikan oleh lembaga-lembaga
kompeten dalam sistem peradilan pidana yang seharusnya memberikan perhatian
dan perlindungan yang cukup berdasarkan hukum. Hal tersebut tidak seharusnya
terjadi mengigat korban tetap mempunyai hak untuk diperlakukan adil dan
dilindungi hak-haknya.10
Pada 25 Mei 2016 presiden Joko Widodo menandatangani Perpu Nomor 1
Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang 23 Tahun 2002
yang telah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang. Untuk kepentingan perlindungan
terjadinya kekerasan terhadap anak yang semakin meningkat secara signifikan.
Menurut presiden, kejahatan seksual terhadap anak merupakan ancaman
yang membahayakan jiwa anak sekaligus telah mengganggu rasa kenyamanan,

ketentraman dan ketertiban masyarakat. Untuk mencapai perlindungan anak
korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga sebagaiman yang dimaksud
dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tenang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
diperlukan kerjasama antara pemerintah dan masyarakat secara melembaga.
10

Mien Rukmini, Aspek Hukum Pidana dan Kriminologi (Sebuah Bunga Ramai),
(Bandung: PT.Alumni, 2006) hal 1.

Universitas Sumatera Utara

Siapapun orangnya menjadi korban kejahatan seksual tiddak pernah
diinginkannya apalagi jika pelaku kekerasan seksual adalah orang dalam
lingkunga keluarga sendiri. KUHP melarang dan memberi ancaman bagi orang
dewasa (orang tua) melakukan perbuatan cabul kepada anak di bawah asuhannya.
KUHP menggolongkan anak dibawah asuhan orang tua,11 yaitu:
a. Anak kandung;
b. Anak tiri;
c. Anak punggut;
d. Anak peliharaan;

e. Anak yang dipercayakan kepada orang tua untuk ditnggung, dididik dan
dijaga;
f. Bujangan/perawan yang berada di bawah asuhannya yang belum dewasa.
Keenam golongan anak asuh tersebut oleh KUHP dilarang dicabuli oleh
orang dewasa atau orang tua yang mengasuhnya. Kekerasan anak secara seksual
dapat berupa perlakuan pra-kontak seksual antara anak dengan orang yang lebih
dewasa maupun perlakuan kontak seksual secara langsung antara anak dengan
orang yang lebih dewasa.12
Menurut Rita Serena Kalibonso, jika pelaku memiliki hubungan keluarga
dengan korban, apalagi ia adalah ayah korban sendiri, makin sulit untuk
menjangkau korban apalagi memprosesnya secara hukum. Orang tau cenderung
menjaga korban untuk tidak menjalani proses hukum, ibu korban tidak dapat
diharapkan untuk membantu karena takut kepada suami dan keluarga. Padahal

11

Ismantoro Dwi Yuwono, Penerapan Hukum Dalam Kasus Kekerasan Seksual Terhadap
Anak (Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2015) h.34-35.
12
Abu Huraerah, Child Abuse (Kekerasan Terhadap Anak) edisi revisi, (Bandung: Nuansa,

2007) h. 48.

Universitas Sumatera Utara

dalam proses hukum seorang anak yang berusia kurang dari 12 tahun harus
didampingi orang tua atau wali.13 Dalam kasus hubungan sedarah (incest) yang
dilakukan oleh seorang ayah terhadap anak perempuannya, pelaku mengancam
tidak menafkahi keluarganya atau bahkan akan menceraikan ibu korban.14
Kendala dalam penghapusan kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga
salah satunya adalah masih adanya anggapan dalam masyarakat yang menganggap
kekerasan dalam lingkungan keluarga adalah aib yang harus ditutupi.15
Yang dimaksud dengan perlindungan disini adalah perlindungan terhadap
macam-macam victimisasi yang dapat menyebabkan adanya penderitaan mental,
fisik dan sosial pada seseorang. Selain itu perlindungan pada korban untuk dapat
melaksanakan hak dan kewajibannya secara seimbang dan manusiawi.16 Semakin
banyaknya anak korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh keluarganya
sendiri semakin memperhatinkan dan tidak adanya tindak lanjut dari masalah
tersebut membuat anak yang menjadi korban kian bertambah, serta kurangnya
peran kelurga untuk melindungi anaknya membuat anak dalam situasi yang sulit
karena tidak memiliki tempat berlindung.

Dalam rangka melaksanakan pembaharuan tarhadap pemenuhan hak asasi
dan perlindungan hukum bagi para korban kejahatan kekerasan termasuk korban
kekerasan seksual maka dibentuklah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
atau di singkat LPSK adalah lembaga independen indonesia yang dibentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 Tenang Perubahan Atas

13

Mein Rukmini, Op.cit., hal 2.
Sri Esti Wuryani Djiwandono, loc. cit
15
Rena Yulia, VICTIMOLOGI: Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan,
(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010) Hal 3.
16
Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan (Kumpulan Karangan), (Jakarta: PT. Bhuana
Ilmu Populer, 2004) hal 172.
14

Universitas Sumatera Utara


Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban
dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan perlindungan saksi dan korban.
Latar belakang berdirinya Lembag Perlindungan Saksi dan Korban adalah
karena keberadaan saksi dan korban kurang mendapatkan perhatian, belum
adanya yang mengatur dan menjamin hak-hak saksi dan korban dan dorongan
untuk melindungi saksi dan korban terhadap pelanggaran ham yang semakin
tinggi.
Keberadaan LPSK sebagai lembaga yang menangani perlindungan terhadap
saksi dan korban, setidaknya memberikan angin segar bagi masyarakat yang
menjadi korban pelanggaran hak asasi atau tindak kejahatan, termasuk kejahatan
kekerasan seksual untuk lebih berani dan berperan dengan mengungkapkan
kronologi peristiwa yang dialaminya dan tindak pidana yang kerap kali terjadi
bahkan di lingkungan yang tidak diduga akan terjadi usaha untuk merendahkan
nilai-nilai dan martabat kemanusiaan dengan kekerasan sseksual seperti dalam
lingkungan keluarga sendiri.
Selain itu masih banyak yang harus dilakukan oleh LPSK dalam
pengawasan dan perlindungan anak, tidak hanya tindakan secara langsung tetapi
tindakan

secara

tidak

langsung

juga

diperlukan

dalam

pengawasan

penyelenggaraan perlindungan anak terhadap kekerasan seksual dalam lingkungan
keluarganya. Perlindungan hukum secara langsung adalah memberikan penangan
terhadap anak sebagai korban tindak pidana kekerasan seksual terdahap anak,
sedangkan perlindungan hukum secara tidak langsung adalah dengan memberikan
pencengahan dan penanggulangan sebelum dan sesudah terjadinya tindak pidana
kejahatan kekerasan seksual terhadap anak.

Universitas Sumatera Utara

Dengan adanya peraturan perundang-undangan dan lembaga perlindungan
hukum terhadap anak yang telah ada, maka pemerintah dalam memberikan
kepastian hukum dan tertib hukum terhadap tindak pidana kekerasan seksual
terhadap anak harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan yang berlaku dan
menjatuhkan hukuman yang berat terhadap pelaku tindak pidana kekerasan
seksual terhadap anak, supaya pelaku tindak pidana kekerasan seksual terhadap
anak jera terhadap hukuman yang berlaku.
Indonesia merupakan negara hukum yang menganut paham rule of law,
untuk itu Indonesia perlu melakukan pelaksanaan konsep-konsep negara hukum
khususnya perlindungan hukum terhadap anak. Salah satu bentuknya dengan
dicantumkannya perlindungan hukum terhadap anak pasal 28 B butir 2 17 yang
berbunyi “setiap anak berhak atas tumbuh dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”.
Menyadari bahwa anak merupakan bagian yang sangat penting bagi
kelangsungan dan kualitas hidup serta masa depan bangsa, sudah seharusnya
kejahatan terhadap kekerasn seksual terhadap anak dalam lingkungan keluarga
segera ditanggulangi secara memadai karena korban sangat membutuhkan
perlindungan demi pemenuhan hak asasi manusia yang dimilikinya sejak lahir,
maka penulis mengangkat judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Lembaga
Perlindangan Sksi Dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Anak Korban
Kekerasan Seksual Dalam Lingkungan Keluarga”.

17

Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945.

Universitas Sumatera Utara

B.

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, adapun rumusan masalah

dalam skripsi ini adalah:
1. Bagaimana peraturan hukum tentang perlindungan anak korban kekerasan
seksual dalam lingkungan keluarga?
2. Apa-apa saja Faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual terhadap anak
dalam lingkungan keluarga?
3. Bagaimana peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam
melindungi anak korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga?
C.

Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun tujuan penulisan skripsi ini

adalah, antara lain:
1. Untuk mengetahui begaimana ketentuan pengaturan hukum terhadap
kekerasan seksual terhadap anak dalam lingkungan keluarga.
2. Untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinya kekerasan seksual
terhadap anak dalam lingkungan keluarga.
3. Untuk menganalisis peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK) dalam perlindungan anak korban kekerasan seksual dalam
lingkungan keluarga.

D.

Manfaat Penulisan
1. Secara Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat memeberi manfaat untuk ilmu pengetahuan
dan menambah literatur dan referensi mengenai perlindungan terhadap anak

Universitas Sumatera Utara

korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarga, juga diharapkan
memberikan sumbangsih terhadap kalangan akademika, serta para ilmuwan
lainnya.
2. Secara Praktis
Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk aparat penegak hukum dan
pemeritah sehingga dapat memperhatikan hak-hak anak yang menjadi
korban kekerasan seksual dalam lingkungan keluarganya dan juga masalah
bantuan hukum kepada korban yang tidak mampu dan buta hukum.
Penulisan ini juga diharapkan bermanfaat untuk masyarakat agar dapat
memahami tentang kejahatan kekerasan seksual pada anak sehingga
nantinya dapat melakukan tindakan pencegahan timbulnya tindal pidana
kekerasan seksual pada anak dalam lingkungan keluarga agar terwujudnya
perlindungan yang optimal terhadap anak.
E.

Keaslian Penulisan
Judul skripsi “Tinjauan Yuridis Terhadap Peran Lembaga Perlindangan Sksi

Dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam
Lingkungan Keluarga” yang penulis angkat menjadi judul skripsi ini adalah dari
hasil pemikiran penulis sendiri. Judul skripsi yang penulis angkat ini belum
pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumareta Utara, hal tersebut
dibuktikan dengan adanya bukti uji bersih dari pihak Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara. Judul penulisan skripsi jika ada yang hampir sama dengan judul
penulisan skripsi ini, namun isi dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini
berbeda dan juga merupakan penulisan yang ditulis melalui proses dan upaya
pemikiran sendiri. Penulis juga menelusuri berbagai macam karya ilmiah melalui

Universitas Sumatera Utara

internet, dan sepanjang itu tidak pernah penulis temukan kemiripan yang sangat
mendasar dengan penulis lain. Judul penulisan skripsi sekalipun ada yang hampir
sama, hal itu berada diluar pengetahuan penulis dan substansinya jelas berbeda
dengan substansi dari skripsi ini. Pengangkatan permasalah dalam skripsi ini juga
merni merupakan hasil pemikiran penulis berdasarkan problematika yang sering
terjadi di kehidupan sekarang, maupun dari media-media yang pernah penulis
baca. oleh karena itu, tidak ada yang dapat dijadikan dasar bahwa skripsi ini
merupakan

hasil

plagiat

dari

karya

ilmiah

lain,

sehigga

dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

F. Tinjauan Kepustakaan
Adapun tujuan kepustakaan tentang skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Pengertian Batas Usia Anak menurut Hukum Positif
Batas usia anak memberikan pengelompokan terhadap seseorang untuk
dapat disebut sebagai anak dibawah umur. Yang dimaksud dengan batas
usia anak adalah pengelompokan usia maksimum sebagai wujud
kemampuan anak dalam status hukum. Di Indonesia pengertian mengenai
usia anak berbeda jika dilihat menurut Hukum Adat, Hukum Perdata,
Hukum Pidana dan menurut peraturan perundang-undangan lainnya.
a. Menurut Hukum Adat
Menurut Hukum Adat, tidak ada batasan umur yang pasti bilamana
dikatakan seseorang itu masih dibawah umur atau tidak, ukuran yang
lajim dipergunakan adalah berupa ciri-ciri atau tanda-tanda seperti
perubahan suara, atau sudah dapat melakukan seuatu pekerjaan yang

Universitas Sumatera Utara

biasa dilakukan oleh orang yang sudah dewasa. Oleh karena itu didalam
hukum adat tidak ada mengatur batas umur seseorang dikatakan sudah
dewasa atau belum.18
Pendapat sarjana tentang syarat-syarat dibawah umur menurut hukum adat,
yaitu:19
1) Ter Haar
Menurutnya seseorang sudah dewasa menurut hukum adat didalam
persekutuan hukum yang kecil adalah pada saat seseorang baik perempuan
maupun laki-laki apabila dia sudah kawin dan di samping itu telah
meninggalkan rumah orang tuanya maupun rumah mertuanya dan pergi
pindah mendirikan kehidupan rumah keluarganya sendiri.
Dari penjelasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, unsur-unsur
dibawah umur atau tidak adalah:
a) Belum kawin
b) Belum pindah dari rumah orang tua
c) Belum mendirikan rumah keluarga sendiri
2) Suepomo
a) Belum kuat gawe (belum mampu bekerja secara mandiri tanpa bantuan
orang lain)
b) Belum cakap mengurus harta benda dan keperluan sendiri
c) Belum cakap melakukan segala tata cara pergaulan hidup dalam
masyarakat termasuk mempertanggungjawabkannya.
b. Menurut Hukum Perdata
18
19

Malam Ginting, Diktat Hukum Adat. Medan: hal 12.
ibid

Universitas Sumatera Utara

Mengenai pengertian anak dibawah umur (belum dewasa) tercantum dalam
Pasal 330 KUH Perdata yang berbunyi:
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21
tahun, dan tidak lebih dahulu kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan
sebelum umur mereka genap 21 tahun maka mereka tidak kembali lagi
dalam kedudukan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak
berada didalam kekuasaan orang tua, berada dibawah perwalian atas dasar
dan dengan cara sebagaimana teratur dalam bagian ke-tiga, ke-empat, kelima dan ke-enam bab ini.”20
Dari penjelasan diatas maka yang dikatakan di bawah umur (belum dewasa)
ialah belum berumur genap 21 tahun dan belum kawin.
c. Menurut Hukum pidana
Mengenai anak di bawah umur (belum dewasa) menurut hukum pidana
adalah mereka yang berusia dibawah 16 tahun. Seorang anak yang berstatus
sebagai subjek hukum yang seharusnya bertanggungjawab terhadap tindak
pidana yang dilakukan oleh anak itu sendiri, ternyata kedudukan sebagai
seorang anak berada dalam usia belum dewasa diletakkan sebagai seorang yang
mempunyai hak-hak khusus dan perlu mendapat perlindungan khusus menurut
hukum yang berlaku.
Dalam pasal 45 KUHP berbunyi:
“jika seorang yang belum dewasa dituntut karena perbuatan yang
dikerjakannya ketika umurnya 16 tahun hakim boleh memerintahkan
supaya sitersalah itu dikembalikan kepada orang tuanya, wali atau
pemeliharaannya dengan tidak dikenakan suatu hukuman yakni jika
perbuatan itu masuk bagian kejahatan atau suatu pelanggaran yang
diterangkan dalam pasal 489, 490, 492, 496, 497, 503, 505, 514, 417,
519, 526, 531, 532, 536, dan 540 perbuatan itu dilakukannya sebelum
lalu dua tahun setelah keputusan dahulu yang menyalahkan dia
melakukan salah satu pelanggaran itu atau menghukum anak yang
bersalah itu”.21
20

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kibat Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk
wetboek), (Bandung: Balai Pustaka, 1992) Hal 90.
21
R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta komentar-komentarnya
lengkap pasal demi pasal, (Bogar: Politeia, 1988) Hal 61.

Universitas Sumatera Utara

Dengan demikian hukum pidana memandang anak belum dewasa dari
segi pidananya. Mereka yang berusia dibawah 16 tahun dalam melakukan
tindak pidana mendapatkan perlakuan yang istimewa dari pengadilan.
Akan tetapi pasal 45 KUHP dinyatakan tidak berlaku lagi setelah
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Peradilan
Anak yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012
Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
d. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak
Didalam undang-undang ini yang dimaksud dengan batas usia anak
dijelaskan dalam beberapa, yaitu:22
Pasal 1 angka 3 menyatakan bahwa,
“anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak yang
telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”
Didalam pasal ini dijelaskan bahwa yang disebut anak adalah yang
sudah mencapai usia 12 (dua belas) tahun tetapi belum berumur 18 (delapan
belas) tahun.
Pasal 1 angka 4 menyatakan bahwa,
“anak yang menjadi korban tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
korban adalah anak yang belim berumur 18 (delapan belas) tahun yang
mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang
disebabkan oleh tindak pidana.”
22

Undang-Undang Nomor 11 Tahan 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 1 angka 5 berbunyi,
“anak yang menjadi saksi tindak pidana yang selanjutnya disebut anak
saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang
dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang
didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.”
Didalam Pasal 1 angka 4 dan Pasal 1 angka 5, yang dimaksud dengan anak
adalah mereka yang berumur belum genap 18 (delapan belas) tahun.
e. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang
Yang dimaksud dengan anak dalam Undang-Undang ini tidak hanya anak
yang belum mencapai umur 18 tahun akan tetapi juga anak yang masih berada
dalam kandungan. Dimana orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan
negara mempunyai kewajiban untuk menjamin hak-hak yang melakat pada diri
anak.
Pasal 1 angka 1 yang berbunyi’
“anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak
yang masih dalam kandungan”.23
f. Menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi
Manusia
Yang dimaksud dengan anak dalam Undang-Undang ini bukan hanya
anak yang belum mencapai umur 18 tahun tetapi juga anak yang belum
menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan yang sudah mempunyai
23

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Universitas Sumatera Utara

hak-hak dan kewajiban yang harus dijamin dan dilindungi oleh orang tua,
keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara apabila kepentingannya
menghendaki.
Pasal 1 angka 5 berbunyi:
“anak adalah setiap manusia yang berusia 18 tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah
demi kepentingannya.”24
Karena setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat
manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk
hidup bermasyarkat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan.25
g. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
Didalam syarat perkawinan dijelaskan bahwa salah satu syarat sahnya
perkawinan adalah agama dan kepercayaan. Selain itu, Undang-Undang
Perkawinan menentukan syarat-syarat lainnya, yaitu seseorang yang belum
mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan izin dari orang tuanya, sedangkan
menyimpang dari umur diatas dapat meminta dispensasi dari pengadilan atau
pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak perempuan maupun
pihak laki-laki. Dalam Undang-Undang Perkawinan ditentukan untuk pihak
perempuan sudah mencapai umur 16 tahun dan untuk pihak laki-laki sudah
mencapai umur 19 tahun, ketentuan itu menegaskan bahwa bagi mereka yang
berumur 21 tahun keatas tidak memerlukan izin dari orang tuanya. 26

24

Edy Murya, Buku Ajar Hukum Dan Hak Asasi Manusia, (Medan: 2004) Hal 58.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 3 angka 1.
26
MR Martiman Prodjohamidjojo, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: CV. Karya
Gemilang 2011) Hal 13.
25

Universitas Sumatera Utara

Ciri anak yang dibawah umur (belum dewasa) berdasarkan syarat
perkawinan diatas, yaitu:
a. Belum mencapai umur 21 tahun, dan harus meminta izin orang tua
b. Untuk laki-laki belum mencapai usia 19 tahun, dan untuk perempuan belum
mencapai usia 16 tahun sebagai batas umur kawin.
Pasal 6 ayat (2) menyatakan bahwa: untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang
tua.27
Pasal 7 ayat (1) menyatakan bahwa: perkawinan hanya diizinkan jika pihak
pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak peremuan 16 tahun.28
Pasal 47 menyatakan bahwa: anak yang belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan, ada dibawah kekuasaan orang
tuanya selama mereka tidak mencabut dari kekuasaannya. 29
Pasal 50 menyatakan bahwa: anak yang belum mencapai umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan yang tidak berada dibawah
kekuasaan orangtua, berada dibawah kekuasaan wali.30
h. Menurut

Undang-Undang

Nomor

12

Tahun

2006

Tentang

Kewarganegaraan
Didalam undang-undang ini mengatur tentang anak yang berusia
dibawah umur adalah anak yang belum mencapai usia 18 tahun. Anak yang
belum mencapai usia 18 tahun maka kewarganeragaraannya masih mengikuti
kewarganegaraan orang tuanya atau salah satu orang tuanya.

27

Ibid,. Hal 73.
Ibid,. Hal 74.
29
Ibid,. Hal 84.
30
Ibid,. Hal 85.
28

Universitas Sumatera Utara

Pasal 4 huruf h menyatakan bahwa: anak yang lahir diluar perkawinan
yang sah dari ibu warga negara asing yang diakui oleh seorang ayah warga
negara Indonesia sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum anak
tersebut berusia 18 tahun atau belum kawin.31
Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa: anak warga negara indonesia yang
lahir diluar perkawinan yang sah belum berusia 18 tahun atau belum kawin
diakui secara sah oleh ayahnya yang berkewarganegaraan asing tetap diakui
sebagai warga negara Indonesia. 32
i. Menurut

Undang-Undang

Nomor

13

Tahun

2003

Tentang

Ketenagkerjaan
Bahwa pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia

seutuhnya

dan

pembangunan

masyarakat

seluruhnya

untuk

mewujudkan kesejahteraan masyarakat indonesia yang adil, makmur. Sehingga
perlunya mengatur tentang perlindungan tenaga kerja, termasuk tenaga kerja
anak.
Pasal 1 angka 26 menyatakan bahwa: anak adalah setiap orang yang
berumur dibawah 18 tahun.33
2. pengertian Tindak Piana
Istilah Tidak Pidana adalah berasal dari istilah yag berasal dalam Hukum
Pidana Belanda yaitu “strafbaar feit”, walaupun istilah ini terdapat dalam WvS
Hindia Belanda (KUHP), tetapi tidak ada penjelasan resmi tentang apa yang
dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para Ahli Hukum berusaha untuk

31

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan.
Ibid,.
33
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Hal 3.
32

Universitas Sumatera Utara

memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai sekarang belum ada
keseragaman pendapat.34
Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik yang berasal dari bahasa
Latin yakni Delictum. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia tercantum sebagai
berikut: “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”. Berdasarkan
rumusan yang ada maka delik memuat beberapa unsur, yakni:35
a. Suatu perbuatan manusia
b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang
c. Perbuatan itu dilakukan oleh seorang yang dapat dipertanggungjawabkan.
Istilah-istilah yang pernah digunakan baik dalam perundang-undangan yang
ada maupun dalam berbagai literatur hukum sebagai terjemahan dari istilah
strafbaar feit adalah: Tindak Pidana, Peristiwa Pidana, Delik, Pelanggaran Pidana,
Perbuatan yang boleh dihukum, perbuatan yang dapat dihukum, perbuatan
pidana.36
Keragaman pendapat di antara para sarjana hukum mengenai defenisi
strafbaar feit telah melahirkan beberapa rumusan atau terjemahan mengenai
strafbaar feit itu sendiri, yaitu:37
a) Perbuatan Pidana
Prof. Mulyatno, S.H. menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan
pidana. Menurut pendapat beliau istilah “perbuatan pidana” menunjuk kepada
34

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, (Jakarta: PT. Raja grafindo Persada, 2002)

Hal 67
35

Teguh Prasetyo, Hukum Pidana Edisi Revisi, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014) Hal 47-48.
Adam chazawi, Op. Cit,. Hal 67.
37
Teguh Prasetyo,. Op. Cit,. Hal 48-50.

36

Universitas Sumatera Utara

makna adanya suatu kelakuan manusia yang menimbulkan akibat tertentu yang
dilarang hukum dimana pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Dapat diartikan
demikian karena kata “perbuatan” tidak mungkin berupa kelakuan alam, karena
dapat berbuat dan hasilnya disebut perbuatan itu adalah hanya manusia.
Selain itu, kata “perbuatan” lebih menunjuk pada arti sikap yang
diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif (yaitu melakukan sesuatu yang
sebenarnya dilarang hukum), tetapi dapat juga bersifat pasif (yaitu tidak berbuat
sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh hukum).
b) Peristiwa pidana
Istilah ini pertama kali ditemukan oleh prof. Wirjono Prodjodikoro, S.H.,
dalam perundang-undangan formal indonesia, istilah “peristiwa pidana” pernah
digunakan secara resmi dalam UUDS 1950, yaitu dalam pasal 14 ayat (1). Secara
substansif, pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih menunjuk kepada suatu
kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh perbuatan manusia maupun oleh gejala
alam. Oleh karena itu, dalam percakapan sehari-hari sering didengar suatu
ungkapan bahwa kejadian itu merupakan peristiwa alam.
c) Tindak Pidana
Istilah tindak pidana sebagai terjemahan strafbaar feit adalah diperkenakan
oleh pihak pemerintah cq Departemen Kehakiman. Istilah ini banyak
dipergunakan dalam undang-undang tindak pidana khusus, misalnya: undangundang Tindak Pidana Korusi.
Istilah tindak pidana menunjukan pengertian gerak-gerik tingkah laku dan
jasmani seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat,
akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia telah melakukan tindak pidana.

Universitas Sumatera Utara

Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi dia tidak berbuat, yang didalam
undang-undang menentukan pada pasal 164 KUHP, 38 ketentuan dalam pasal ini
mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila
timbul kejahatan, apabila tidak melapor maka akan dikenakan sanksi.
Prof. Sudarto 39berpendapat bahwa pembetukan undang-undang sudah tetap
dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih condong memakai istilah
tindak pidana seperti yang dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Pendapat
Prof. Sudarto diikuti oleh Teguh Prasetyo karena pembentuk undang-undang
sekarang selalu menggunakan istilah tindak pidana sehingga istilah tersebut sudah
mempunyai pengertian yang sudah dipahami masyarakat.
Oleh karena itu dari defenisi diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa yang
disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan hukum dilarang
dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan di sini selain perbuatan
yang bersifat aktif juga perbuatan yang bersifat pasif.
3. Pengertian dan Bentuk Kekerasan Seksual
a. Pengertian Kekerasan Seksual
Didalam KUHP pengertian dari kekerasan seksual dapat ditemukan
didalam pasal 285 dan pasal 289. Pasal 285 ditentukan bahwa “barang siapa
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan
istrinya berhubungan seksual dengan dia, dihukum karena memperkosan

Menurut Pasal 164: “barang siapa mengetahui ada suatu pemufakatan jahat untuk
melakukan salah satu kejahatan yang dimaksud dalam pasal 104, 106,107, dan 108, 113, 115, 124,
187 dan 187 bis, sedang masih ada tempo untuk mencegah kejahatan itu, dengn sengaja tidak
memberitahukan dengan cukup tentang hal itu pada waktunya, baik kepada pegawai justisi atau
polisi maupun kepada siterancam, maka jika jadi kejahatan itu dilakukan, dihukum penjara
selama-lamanya satu tahun empat bulan tau denda sebanyak-banyaknya Rp.4.500-. lihat di
R.Soesilo, Op. Cit Hal 61.
39
Teguh Prasetyo, Op. Cit hal 48-50.
38

Universitas Sumatera Utara

dengan hukuman penjara selama-lamanya 12 (dua belas) tahun.40 Sedangkan di
dalam Pasal 289 KUHP disebutkan barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan
melakukan pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakan
kesopanan dengan hukuman penjara selama-lamanya semilan tahun.
Menutut R. Soesilo yang dimaksud dengan perbuatan cabul, sebagaimana
disebutkan di dalam Pasal 289 KUHP adalah segala perbuatan yang melanggar
kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji yang semua ada kaitannya dengan
nafsuh birahi kelamin, misalnya: cium-cium, meraba-raba anggota kemaluan,
meraba-raba buah dada, dan semua bentuk perbuatan cabul.41
Kekerasan seksual terhadap anak adalah suatu penganiayaan atau perlakuan
salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan
pengasuhan dan ekspoitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata
ataupun tidak dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau
pengembangannya. Tindakan kekerasan yang diperoleh dari orang yang
bertanggung jawab, dipercaya atau berkuasa dalam perlindungan anak tersebut.42
Kekerasan seksual pada anak adalah hubungan atau interaksi antara
seseorang anak dengan orang yang lebih tua atau orang yang lebih dewasa seperti
orang asing, saudara kandung, atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan
40

R.Soesilo, Op. Cit Hal 210, lihat komentar pasal yang menyatakan bahwa yang diancam
hukuman dalam pasal ini ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan
yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia. ... . Seorang perempuan yang dipaksa demikian
rupa, sehingga akhirnya tak dapat melawan lagi dan terpaksa mau melakukan persetubuhan itu, ... .
41
Ismantoro Dwi Yuwono,. Op.cit,. Hal 1-2. Lihat R. Soesilo, Op. Cit hal 212 bagian
komentar 1 Pasal 289 yang dimaksud dengan perbuatan cabul ialah segala perbuatan yang
melanggar kesusilaan (kesopanan) atau perbuatan keji , semuanya itu dalam lingkungan nafsu
birahi kelamin, misalnya: cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada
dsb.
42
Diesmy Humaira B , et. al “Kekerasan Keksual Pada Anak, Telaah Relasi Pelaku Korba
Dan Kerentanan Pada Anak”. (Jurnal Psikoislamika Volume 12 Nomor 2 Tahun 2015, Universitas
Negeri Islam (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang).

Universitas Sumatera Utara

sebagai sebuah objek pemuas bagi kebutuhan seksualnya. Perbutan itu dilakukan
dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan maupun tekanan.
I.S. Susanto berpendapat,43
“Kejahatan Kekerasan terhadap wanita, khususnya perkosaan disatu sisi
dipandang sebagai kejahatan yang sangat merugikan dan mencemaskan,
bukan saja wanita akan tetapi juga masyarakat dan kemanusiaan, namun
di sisi lain terdapat reliatas sosial-budaya yang justru menyuburka
perkosaan seperti mitos-mitos yang berkaitan dengan jenis kelamin,
budaya diskriminatif, budaya tukang sulap, budaya hukum yang tidak
adil”
b. Bentuk-Bentuk Kekerasan Seksual
Hubunga seksual antara orang dewasa dan anak walaupun dilakukan
dengan cara mengancam atau memaksa secara hukum tindakan tersebut masuk
dalam kategori tindak pidana pemerkosaan terhadap anak.
Menurut Irsyad Tamrin dan M.Farid, bahwa mendasarkan kontak seksual
bukan hanya hubungan seks semata sebagaimana yang diatur didalam pasal
287 KUHP. Berbagai bentuk kontak seksual juga harus dianggap sebagai
tindak pidana.44
Ada 15 jenis kekerasan seksual menurut Komnas Perlindungan Perempuan,
yaitu:45
1) Perkosaan
Serangan dalam bentuk paksaan hubungan seksual dengan memakai penis
ke arah vagina, anus atau mulut korban. Bisa juga menggunakan jari tanggan atau
43

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual
(Advokasi Atas Hak Asasi Perempuan), (Bandung: Refika Aditama, 2001) hal 74, lihat Eko
Prasetyo dan Suparman Marzuki, Perempuan Dalam Wacana Perkosaan, (Yogyakarta: PKBI,
1997), hal 127.
44
Ismantoro Dwi Yuwono,. Op.cit,. Hal 5-6.
45
15
bentuk
kekerasan
seksual,
(on-line)
tersedia
di
http://www.komnasperempuan.go.id/wp-content/uploads/2014/12/15-Bentuk-KekerasanSeksual1.pdf

Universitas Sumatera Utara

benda-benda lainnya. Serangan dilakukan dengan kekerassan, ancaman kekerasan,
penahanan, tekanan psikologi, penyalahgunaan kekeuasaan atau dengan
mengambil kesempatan dari lingkungan yang penuh paksaan. Pencabulan adalah
istilah lain dari pekosaan yang dikenal dalam sistem hukum indonesia. Istilah ini
digunakan ketika perkosaan dilakukan diluar pemaksaan penetrasi penis ke vagina
dan ketika terjadi hubungan seksual pada orang belum mampu memberikan
persetujuan secara utuh, misalnya terhadap anak atau seseorang dibawah umur 18
tahun.
2) Intiminasi seksual termasuk ancaman atau percobaan perkosaan
Tindakan yang menyerang seksualitas untuk menimbulkan rasa takut atau
penderitaan psikis pada perempuan korban. Intimidasi sekual bisa diampaikan
secara langsung maupun tidak langsung melalui surat, sms, email dan lain-lain.
Ancaman atau percibaan perkosaan jiga bagian dari intimidasi seksual.
3) Pelecehan seksual
Tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran
organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main
mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukan materi pornografi dan
keinginan seksual, colekan atau sentuhan dibagian tubuh, gerakan atau isyarat
yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa sakit tidak nyaman,
tersinggung,

merasa

direndahkan

martabatnya,

dan

mungkin

sampai

menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan.
4) Eksploitasi seksual
Tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang timpang, atau penyalahgunaan
kepercayaan untuk memperoleh keuntungan dalam bentuk uang, sosial, politik

Universitas Sumatera Utara

dan lainnya. Praktek eksploitasi seksual yang kerap ditemui adalah menggunakan
kemiskinan perempuan sehingga ia masuk dalam prostitusi atau pornografi.
5) Perdagangan perempuan untuk tujuan seksual
Tindakan merekrut, mengangkut, menampung, mengirim, memindahkan
atau menerima seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atas
posisi rentan, penjeratan utang atau pemberian bayaran atau manfaat terhadap
korban secara langsung maupun orang lain yang menguasainya untuk tujuan
prostitusi ataupun eksploitasi seksual lainnya. Perdagangan perempuan dapat
terjadi di dalam negara maupun antar negara.
6) Prositusi paksa
Situasi dimana perempuan mengalami tipu daya, ancaman maupun
kekerasan untuk menjadi pekerja seks. Keadaan ini dapat terjadi pada masa
rekrutmen maupun untuk membuat perempuan tersebut tidak berdaya untuk
melepaskan dirinya dari prostitusi, misalnya dengan penyekapan, penjeratan
utang, atau ancaman kekerasan. Prostitusi paksa memiliki beberapa kemiripan,
namun tidak selalu sama dengan perbudakan seksual atau dengan perdagangan
orang untuk tujuan seksual.
7) Perbudakan seksual
Situasi dimana pelaku merasa menjadi “pemilik” atas tubuh korban
sehingga berhak untuk melakukan apapun termasuk memperoleh kepuasan
seksual melalui pemerkosaan atau bentuk lain kekerasan seksual. Perbudakan ini
mencakup situasi dimana perempuan dewasa atau anak-anak dipaksa menikah,

Universitas Sumatera Utara

melayani rumah tangga atau bentuk kerja paksa lainnya, serta berhubungan
seksual dengan penyekapnya.
8) Pemaksaan perkawinan, termasuk cerai gantung
Pemaksaan perkawinan dimasukkan sebagai jenis kekerasan seksual karena
pemaksaan hubungan seksual menjadi bagian tidak terpisahkan dari perkawinan
yang tidak diinginkan oleh perempuan tersebut. Ada beberapa praktik di mana
perempuan terikat perkawinan di luar kehendaknya sendiri.
Pertama, ketika perempuan merasa tidak memiliki pilihan lain kecuali
mengikuti kehendak orang tuanya agar dia menikah, sekalipun bukan dengan
orang yang dia inginkan atau bahkan dengan orang yang tidak dia kenali. Situasi
ini kerap disebut kawin paksa. Kedua, praktik memaksa korban
perkosaan menikahi pelaku. Pernikahan itu dianggap mengurangi aib akibat
perkosaan yang terjadi. Ketiga, praktik cerai gantung yaitu ketika perempuan
dipaksa untuk terus berada dalam ikatan perkawinan padahal ia ingin bercerai.
Namun, gugatan cerainya ditolak atau tidak diproses dengan berbagai alasan baik
dari pihak suami maupun otoritas lainnya. Keempat, praktik “Kawin Cina Buta”,
yaitu memaksakan perempuan untuk menikah dengan orang lain untuk satu
malam dengan tujuan rujuk dengan mantan suaminya setelah talak tiga (cerai
untuk ketiga kalinya dalam hukum Islam). Praktik ini dilarang oleh ajaran agama,
namun masih ditemukan di berbagai daerah.
9) Pemaksaan kehamilan
Situasi ketika perempuan dipaksa, dengan kekerasan maupun ancaman
kekerasan, untuk melanjutkan kehamilan yang tidak dia kehendaki. Kondisi ini
misalnya dialami oleh perempuan korban perkosaan yang tidak diberikan pilihan

Universitas Sumatera Utara

lain kecuali melanjutkan kehamilannya. Juga, ketika suami menghalangi istrinya
untuk menggunakan kontrasepsi sehingga perempuan itu tidak dapat mengatur
jarak kehamilannya. Pemaksaan kehamilan ini berbeda dimensi dengan kehamilan
paksa dalam konteks kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Statuta Roma, yaitu
situasi pembatasan secara melawan hukum terhadap seorang perempuan untuk
hamil secara paksa, dengan maksud untuk membuat komposisi etnis dari suatu
populasi atau untuk melakukan pelanggaran hukum internasional lainnya.
10) Pemaksaan aborsi
Pengguguran kandungan yang dilakukan karena adanya tekanan, ancaman,
maupun paksaan dari pihak lain.
11) Pemaksaan kontrasepsi dan sterilisasi
Disebut

pemaksaan

ketika

pemasangan

alat

kontrasepsi

dan/atau

pelaksanaan sterilisasi tanpa persetujuan utuh dari perempuan karena ia tidak
mendapat informasi yang lengkap ataupun dianggap tidak cakap hukum untuk
dapat memberikan persetujuan. Pada masa Orde Baru, tindakan ini dilakukan
untuk menekan laju pertumbuhan penduduk, sebagai salah satu indikator
keberhasilan

pembangunan.

Sekarang,

kasus

pemaksaan

pemaksaan

kontrasepsiatau sterilisasi biasa terjadi pada perempuan dengan HIV/AIDS
dengan alasan mencegah kelahiran anak dengan HIV/AIDS. Pemaksaan ini juga
dialami perempuan penyandang disabilitas, utamanya tuna grahita, yang dianggap
tidak mampu membuat keputusan bagi dirinya sendiri, rentan perkosaan, dan
karenanya mengurangi beban keluarga untuk mengurus kehamilannya.
12) Penyiksaan seksual

Universitas Sumatera Utara

Tindakan khusus menyerang organ dan seksualitas perempuan, yang
dilakukan dengan sengaja, sehingga menimbulkan rasa sakit atau penderitaan
hebat baik jasmani, rohani maupun seksual. Ini dilakukan untuk memperoleh
pengakuan atau keterangan darinya, atau dari orang ketiga, atau untuk
menghukumnya atas suatu perbuatan yang telah atau diduga telah dilakukan
olehnya ataupun oleh orang ketiga. Penyiksaan seksual juga bisa dilakukan untuk
mengancam atau memaksanya, atau orang ketiga, berdasarkan pada diskriminasi
atas alasan apapun. Termasuk bentuk ini apabila rasa sakit dan penderitaan
tersebut ditimbulkan oleh hasutan, persetujuan, atau sepengetahuan pejabat publik
atau aparat penegak hukum.
13) Menghukum tidak manusiawi dan bernuansa seksual
Caramenghukum yang menyebabkan penderitaan, kesakitan, ketakutan, atau
rasa malu yang luar biasa yang tidak bisa tidak termasuk dalam penyiksaan. Ia
termasuk hukuman cambuk dan hukuman-hukuman yang mempermalukan atau
untuk merendahkan martabat manusia karena dituduh melanggar norma-norma
kesusilaan.
14) Praktek

tradisi

bernuansa

seksual

yang

membahayakan

atau

mendiskriminasi perempuan
Kebiasaan masyarakat, kadang ditopang dengan alasan agama dan/atau
budaya, yang bernuansa seksual dan dapat menimbulkan cidera secara fisik,
psikologis maupun seksual pada perempuan. Kebiasaan ini dapat pula dilakukan
untuk mengontrol seksualitas perempuan dalam perspektif yang merendahkan
perempuan. Sunat perempuan adalah salah satu contohnya.

Universitas Sumatera Utara

15) Kontrol seksual, termasuk lewat aturan deskriminatif beralasan moralitas
dan agama
Cara pikir di dalam masyarakat yang menempatkan perempuan sebagai
simbol moralitas komunitas, membedakan antara “perempuan baik-baik” dan
perempuan “nakal”, dan menghakimi perempuan sebagai pemicu kekerasan
seksual menjadi landasan upaya mengontrol seksual (dan seksualitas) perempuan.
Kontrol seksual mencakup berbagai tindak kekerasan maupun ancaman kekerasan
secara langsung maupun tidak langsung, untuk mengancam atau memaksakan
perempuan untuk menginternalisasi simbol-simbol tertentu yang dianggap pantas
bagi “perempuan baik-baik’. Pemaksaan busana menjadi salah satu bentuk kontrol
seksual yang paling sering ditemui. Kontrol seksual juga dilakukan lewat aturan
yang memuat kewajiban busana, jam malam, larangan berada di tempat tertentu
pada jam tertentu, larangan berada di satu tempat bersama lawan jenis tanpa
ikatan kerabat atau perkawinan, serta aturan tentang pornografi yang melandaskan
diri lebih pada persoalan moralitas daripada kekerasan seksual. Aturan yang
diskriminatif ini ada di tingkat nasional maupun daerah dan dikokohkan dengan
alasan moralitas dan agama. Pelanggar aturan ini dikenai hukuman dalam bentuk
peringatan, denda, penjara maupun hukuman badan lainnya.
Menurut M.Irsyad Thamrin dan M.Farid, 46 sangat penting untuk diketahui
bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang memiliki cakupan yang
sangat luas, antara lain:
a) Perkosaan
b) Sodomi

46

Ismantoro Dwi Yuwono,. Op.cit,. Hal 7.

Universitas Sumatera Utara

c) Oral seks
d) Sexual gesture
e) Sexual remark
f) Pelecehan seksual
g) Sunat klitoris pada anak perempuan
Dengan demikian, penegak hukum sebagai representasi dari negara harus
benar-benar memahami bentuk-bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang
secara de facto ada di kehidupan masyarakat.
4. Pengertian Perlindungan Saksi dan Korban
Kita semua sudah mengetahui bahwa asas persamaan didepan hukum
merupakan salah satu ciri negara hukum. Demikian pula dengan korban dan saksi
yang harus dilindungi. Undang-Undang Dasar Tahun 1945 mengatur hak hak
asasi manusia yang tertuang dalam pasal-pasal, yaitu:47
Pasal 28D ayat (1) menyatakan bahwa: setiap orang berhak atas pengakuan,
jaminan, perlindungan da kepasstian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama
di depan hukum.
Pasal 28G Ayat (1) berbunyi: “setiap orang berhak atas perlindungan diri
pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.”48
Dalam undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
(HAM) ini tidak diatur secara nyata perlindungan korban dan saksi, yang ada
47

Bambang Waluyo, Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi, (Jakarta: Sinar Grafika,
2014) Hal 34-35.
48
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

Universitas Sumatera Utara

justru hak-hak yang melindungi tersangka dan terdakwa (Pasal 17-Pasal 19).
Perlindungan korban dan saksi hanya tersirat dalam penafsiran pasal-pasal,
separti:49
Pasal 5 Ayat (2) berbunyi: setiap orang berhak mendapat bantuan dan
perlindungan yang adil dari pengadilan yang objektif dan tidak berphak.
Pasal 29 Ayat (1) berbunyi: setiap orang berhak atas pengakuan diri pribadi,
keluarga, kehormatan, martabat dan hak miliknya.
G.

Metode Penelitian
Merupakan cara bertindak menurut sistem aturan tertentu, maksud metode

ini ialah supaya kegiatan praktis dapat terlaksanakan secara rasional dan terarah
agar mencapai hasil optimal.50
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
hukum normatif. Metode pendekatan yuridis normatif adalah suatu penelitian
yang mengkaji hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang berlaku
dalam masyarakat, dan menjadi acuan perilaku setiap orang. 51 Sedangkan yang
dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang
bertujuan memperoleh pengetahuan normatif tentang hubungan antara satu
peraturan dengan peraturan lain dan penerapan dalam prakteknya. 52 Dalam skripsi
ini, penulis membahas mengenai Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan

49

Bambang Waluyo, Op. Cit hal 63-64.
Sudarsono, Pengantar Ilmu