Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERANAN LEMBAGA
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)
DALAM MELINDUNGI SAKSI DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI
SKRIPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
OLEH :
JAMES ANTRO YOSUA P NIM : 080200178
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(2)
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERANAN LEMBAGA
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK)
DALAM MELINDUNGI SAKSI DALAM
TINDAK PIDANA KORUPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
SKRIPSI
Oleh :
JAMES ANTRO YOSUA P NIM : 080200178
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(3)
TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERANAN LEMBAGA
PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM
MELINDUNGI SAKSI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperileh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
SKRIPSI
Oleh :
JAMES ANTRO YOSUA P NIM : 080200178
DEPARTEMEN HUKUM PIDANA Diketahui/Disetujui Oleh: Ketua Departemen Hukum Pidana
(Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum NIP. 195703261986011001
)
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
(Liza Erwnina, S.H., M.Hum) (Berlin Nainggolam, S.H.,M.Hum NIP. 196110241989032002 NIP. 195812051986011002
)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
(4)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur Penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkatnya yang melimpah sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini tepat pada waktunya tanpa kekurangan satu apapun. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan. Adapun judul yang penulis angkat adalah “Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi”
Dalam penyelesaian skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien sesuai dengan waktu yang direncanakan.
Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini baik secara moril maupun materil. Kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta staf-staf pembantu Dekan; 2. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum selaku Ketua Departemen Hukum
Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;
3. Ibu Liza Erwina, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga sekaligus
(5)
sebagai Dosen Pembimbing I yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk membimbing penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;
4. Bapak (Alm) Berlin Nainggolan, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah menyediakan waktu dan pikirannya untuk membimbing dan mengarahkan penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan;
Kepada yang teristimewa khususnya penulis ucapkan terima kasih kepada : 1. Untuk kedua orang tua penulis, ayahanda Robinson Panjaitan dan ibunda
Tuti L Simatupang, yang telah memberikan motivasi dan doa yang luar biasa serta dukungan materil dalam pengerjaan skripsi ini, hanya ucapan terima kasih dan doa yang dapat penulis berikan
2. Untuk kakak-kakakku Reny Panjaitan, Kartika Panjaitan, dan Helen Panjaitan yang telah mendukung dalam doa, bimbingan dan motivasi, terkhusus telah menjadi teladan dalam hidupku yang telah melimpahiku dengan kasih persaudaraan dan dorongan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
3. Untuk Tulang-Tulang dan Bujing terutama Bujing Teti dan yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah mendukung penulis baik secara moril dan materiil untuk kelangsungan skripsi penulis serta doa dan dukungannya sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan;
(6)
4. Keluarga Besar Panjaitan dan Keluarga Besar Simatupang, yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas doa dan dukungannya yang terus menerus sehingga penulisan skripsi ini dapat diselesaikan;
5. Untuk Fransiska Simangunsong S. Hum dan Uak Atis, yang telah sangat banyak membantu dalam setiap pengerjaan skripsi penulis terutama dalam mencarikan buku buat penulis dan juga dukungan serta doanya agar skripsi ini bisa terselesaikan;
6. Untuk teman-teman kuliah penulis Kufner, Husnul, Guntur, Arif, Fauzan, Juni Rusminarti, Devi dan Tere dan teman satu Grup G dan Pidana yang telah membantu penulis dalam mendukung serta doanya dalam pengerjaan skripsi ini;
7. Kepada staf-staf pegawai Fakultas Hukum yang telah membantu penulis dalam memberikan keterangan-keterangan yang berguna bagi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
8. Kepada Pihak lain yang telah memberikan bantuan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini, namun penulis tidak dapat menyebutkannya satu persatu.
Penulis menyadari akan ketidaksempurnaan hasil penulisan skripsi ini karena kesempurnaan hanya milik Tuhan Yang Maha Esa, oleh sebab itu besar harapan Penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik
(7)
dan sempurna, baik dari segi materi maupun cara penulisannya di masa mendatang.
Akhir kata, Penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya. Semoga Tuhan selalu memberkati kita semua. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum negara di Indonesia.
Medan, September 2012 Penulis
080200178 James Antro Yosua P
(8)
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... v
ABSTRAKSI ... vii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan .. ... 13
D. Keaslian Penulisan ... 14
E. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Saksi, Keterangan Saksi dan Jenis Saksi .. 15
2. Pengertian Perlindungan Saksi ... ... 24
3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi ... ... 27
F. Metode Penelitian ... 35
G. Sistematika Penulisan ... 37
BAB II PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM MELINDUNGI SAKSI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI A. Perlindungan Saksi Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi... 40
(9)
B. Perlindungan Saksi Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban… 48 C. Mekanisme Perlindungan Saksi Dalam Undang-Undang
No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban ………. 54 D. Kerjasama Antar Lembaga ……….. 59 E. Peranan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam
Melindungi Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi …….. 68
BAB III HAMBATAN-HAMBATAN DALAM PELAKSANAAN FUNGSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DALAM MELINDUNGI SAKSI DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pembatasan Tugas dan Wewenang Lembaga ... Perlindungan Saksi dan Korban ... 87 B. Ketidaksepahaman Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Dengan Pihak-Pihak Terkait ………… 96 C. Permasalahan Internal Kelembagaan LPSK ... 102
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan ... 112 B. Saran ... 115
DAFTAR PUSTAKA
(10)
ABSTRAKSI
James Antro Yosua Panjaitan∗ Liza Erwina**
Berlin Nainggolan***
Sistem peradilan di Indonesia menekankan pentingnya keberadaan saksi sebagai faktor utama sekaligus faktor penentu dari keberhasilan mengungkap suatu tindak pidana. Akan tetapi penghargaan terhadap peran saksi tersebut masih terlalu sedikit dan minim. Hal ini dapat dilihat dalam KUHAP yang masih belum melindungi keberadaan saksi secara komprehensif. Namun dengan lahirnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban dapat menjadi pilihan alternatif dalam sistem hukum di Indonesia dimana undang-undang ini mengatur secara khusus tentang perlindungan terhadap saksi. Sesuai dengan amanat UU No. 13 Tahun 2006 maka dibentuk suatu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang akan bekerja untuk melindungi setiap saksi yang mengetahui tindak pidana terutama tindak pidana korupsi. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya sebagai skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Karya ilmiah ini merupakan pemenuhan syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Rumusan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan hambatan-hambatan yang dialami oleh LPSK dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian dengan pendekatan yuridis normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data-data sekunder.
Hasil penelitian sebagai jawaban dari permasalahan di atas adalah untuk mengungkap tindak pidana korupsi yang dikatakan sebagai kejahatan yang terorganisir maka dapat dimulai dengan memberikan perlindungan terhadap saksi yang mengetahui dan/atau terlibat di dalam kejahatan korupsi tersebut. Peraturan perundang-undangan telah memberikan payung hukum untuk melindungi keberadaan saksi yaitu UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kita dapat menggantungkan harapan akan adanya sistem penegakan hukum yang komprehensif dimana perlindungan terhadap hak-hak saksi telah diatur secara khusus. Akan tetapi, undang-undang ini juga masih memiliki kelemahan dalam memberikan perlindungan terhadap saksi sehingga diharapkan agar pemerintah mengajukan revisi terhadap UU No. 13 Tahun 2006 agar perlindungan terhadap saksi dapat diberikan secara menyeluruh dan berkeadilan.
*
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
**
Dosen Pembimbing I.
***
(11)
ABSTRAKSI
James Antro Yosua Panjaitan∗ Liza Erwina**
Berlin Nainggolan***
Sistem peradilan di Indonesia menekankan pentingnya keberadaan saksi sebagai faktor utama sekaligus faktor penentu dari keberhasilan mengungkap suatu tindak pidana. Akan tetapi penghargaan terhadap peran saksi tersebut masih terlalu sedikit dan minim. Hal ini dapat dilihat dalam KUHAP yang masih belum melindungi keberadaan saksi secara komprehensif. Namun dengan lahirnya Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban dapat menjadi pilihan alternatif dalam sistem hukum di Indonesia dimana undang-undang ini mengatur secara khusus tentang perlindungan terhadap saksi. Sesuai dengan amanat UU No. 13 Tahun 2006 maka dibentuk suatu Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang akan bekerja untuk melindungi setiap saksi yang mengetahui tindak pidana terutama tindak pidana korupsi. Hal inilah yang melatarbelakangi penulis untuk mengangkatnya sebagai skripsi yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi”. Karya ilmiah ini merupakan pemenuhan syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Rumusan permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dan hambatan-hambatan yang dialami oleh LPSK dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi. Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian dengan pendekatan yuridis normatif. Pengumpulan data dilakukan dengan penelitian kepustakaan yakni melakukan penelitian dengan menggunakan data-data sekunder.
Hasil penelitian sebagai jawaban dari permasalahan di atas adalah untuk mengungkap tindak pidana korupsi yang dikatakan sebagai kejahatan yang terorganisir maka dapat dimulai dengan memberikan perlindungan terhadap saksi yang mengetahui dan/atau terlibat di dalam kejahatan korupsi tersebut. Peraturan perundang-undangan telah memberikan payung hukum untuk melindungi keberadaan saksi yaitu UU No. 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Melalui Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) kita dapat menggantungkan harapan akan adanya sistem penegakan hukum yang komprehensif dimana perlindungan terhadap hak-hak saksi telah diatur secara khusus. Akan tetapi, undang-undang ini juga masih memiliki kelemahan dalam memberikan perlindungan terhadap saksi sehingga diharapkan agar pemerintah mengajukan revisi terhadap UU No. 13 Tahun 2006 agar perlindungan terhadap saksi dapat diberikan secara menyeluruh dan berkeadilan.
*
Mahasiswa Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
**
Dosen Pembimbing I.
***
(12)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (rechstaat). Pernyataan tersebut secara tegas tercantum dalam Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945. Hal penting dalam negara hukum adalah adanya penghargaan dan komitmen menjunjung tinggi hak asasi manusia serta jaminan semua warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum (equality before the law). Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 menegaskan:“Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”Prinsip demikian idealnya bukan hanya sekedar tertuang di dalam UUD 1945 dan perundang-undangan. Namun yang lebih utama dan terutama adalah dalam pelaksanaan atau implementasinya.
Praktik penegakan hukum seringkali diwarnai dengan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip tersebut. Misalnya penganiayaan terhadap tersangka untuk mengejar pengakuan, intimidasi, rekayasa perkara, pemerasan, pungutan liar dan sebagainya. Kemudian dari pihak korban juga merasakan diabaikan hak-haknya, antara lain dakwaan lemah, tuntutan ringan, tidak mengetahui perkembangan penanganan perkara, tidak menerima kompensasi dan tidak
(13)
terpenuhi hak-hak yang lain.1
Sistem peradilan pidana mempunyai suatu proses dalam mengungkap suatu tindak pidana. Prosesnya yang dimulai dari tahap penyelidikan sampai dengan pembuktian di persidangan memperlihatkan bahwa keberadaan dan peran saksi sangatlah diharapkan dan tidak jarang menjadi faktor penentu dari keberhasilan mengungkap suatu tindak pidana.
Selain tersangka dan korban yang sering diabaikan hak-haknya satu lagi yang berperan penting dalam mengungkap kebenaran suatu tindak pidana adalah saksi.
Kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana menempati posisi kunci sebagaimana terlihat dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sebagai alat bukti utama, tentu dampaknya sangat terasa bila dalam suatu perkara tidak diperoleh saksi. Pentingnya kedudukan saksi dalam proses peradilan pidana, telah dimulai sejak awal proses peradilan pidana. Harus diakui bahwa terungkapnya kasus pelanggaran hukum sebagian besar berasal dari informasi masyarakat. Begitu pula dalam proses selanjutnya, ditingkat kejaksaan sampai pada akhirnya di pengadilan, keterangan saksi sebagai alat bukti utama menjadi acuan hakim dalam memutus bersalah atau tidaknya terdakwa. Jadi jelas bahwa saksi mempunyai kontribusi yang sangat besar dalam upaya menegakkan hukum dan keadilan.2
1
Bambang Waluyo, S.H., M.H., Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi, Sinar Grafika, Jakarta 2011, hal 1-2.
2
Surastini Fitriasih, Perlindungan Saksi Dan Korban Sebagai Sarana Menuju Proses Peradilan (Pidana) Yang Jujur Dan Adil”,
(14)
Keberhasilan suatu proses peradilan pidana akan sangat bergantung pada alat bukti yang berhasil dimunculkan dalam persidangan, salah satunya adalah keterangan saksi. Saat ini tidak sedikit kasus yang kandas ditengah jalan karena ketiadaan saksi untuk membantu tugas aparat penegak hukum dalam mengungkap suatu tindak pidana. Keberadaan saksi jelas merupakan elemen yang sangat menentukan dalam suatu proses peradilan pidana, namun perhatian terhadap peran saksi sampai saat ini masih jauh dari perhatian masyarakat dan aparat penegak hukum. Keengganan dari saksi dalam memberikan keterangan dan informasi telah membuat pemberitaan-pemberitaan di media tentang suatu tindak pidana menguap begitu saja jauh dari penyelesaian.
Perlu dipahami bersama bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan saksi yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya tindak pidana dalam upaya mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Penegak hukum dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana sering mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi disebabkan adanya ancaman baik fisik maupun psikis dari pihak tertentu.
Persoalan yang kadang dijumpai dalam proses peradilan pidana adalah banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang
(15)
memadai atas perlindungan maupun mekanisme tertentu untuk bersaksi. Saksi termasuk pelapor bahkan sering mengalami intimidasi ataupun tuntutan hukum atas kesaksian atau laporan yang diberikannya. Tidak sedikit pula saksi yang akhirnya menjadi tersangka dan bahkan terpidana karena dianggap mencemarkan nama baik pihak-pihak yang dilaporkan yang telah diduga melakukan suatu tindak pidana.3
Pada saat memberikan keterangannya, saksi harus dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Untuk itu saksi perlu merasa aman dan bebas saat diperiksa dimuka persidangan. Saksi tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya walau mungkin keterangannya itu memberatkan si terdakwa. Maka pasal 173 KUHAP memberikan kewenangan kepada Majelis Hakim untuk memungkinkan seorang saksi didengar keterangannya tanpa kehadiran terdakwa. Alasannya jelas untuk mengakomodir kepentingan saksi sehingga ia dapat berbicara dan memberikan keterangannya secara lebih leluasa tanpa rasa takut, khawatir, ataupun tertekan.4
Saksi harus dibebaskan dari perasaan takut, khawatir akan dampak dari keterangan yang diberikannya. Seseorang mungkin saja menolak untuk bersaksi, atau kalaupun dipaksa berbohong karena ia tidak mau mempertaruhkan nyawanya
Korban, catatan atas Pelanggaran HAM Berat Timor-Timur, ditulis oleh Supriyadi Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman dan Zaenal Abidin, diakses pada hari sabtu tanggal 25 Februari 2012, pukul 08.15 WIB.
4
Tempo Interaktif, Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Peradilan HAM, diakses pada hari sabtu 25 Februari 2012 pukul 09.35 WIB.
(16)
atau nyawa keluarganya gara-gara keterangannya yang memberatkan terdakwa. Di sisi lain, seseorang menolak memberikan keterangan karena mengalami trauma hebat akibat peristiwa pidana sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menceritakan ulang peristiwa yang dialaminya itu. Tidak sedikit kasus yang tidak dapat dibawa ke muka persidangan ataupun terhenti di tengah jalan karena persoalan yang satu ini. Kasus-kasus seperti kejahatan korupsi atau kejahatan narkotika yang melibatkan sebuah sindikat, atau kasus-kasus kekerasan berbasis gender menjadi contoh kasus yang seringkali tidak dapat diproses karena tidak ada saksi yang mau dan berani memberikan keterangan yang sebenarnya. Maka yang terjadi kemudian adalah bukan saja gagalnya sebuah tuntutan untuk melakukan proses peradilan yang bersih, jujur, dan berwibawa untuk memenuhi rasa keadilan, tetapi juga pelanggaran hak-hak asasi individual yang terkait dalam kasus tersebut. Dengan demikian, maka jelas bahwa ketersediaan mekanisme perlindungan saksi dan korban amat penting untuk menjamin diperolehnya kebenaran materil sekaligus untuk memenuhi rasa keadilan bagi semua, termasuk bagi saksi dan korban yang terkait.5
Banyaknya kasus-kasus kejahatan yang terorganisir dan juga white colar crime dimana korupsi merupakan salah satu bagian dari kejahatan tersebut membuat keberadaan saksi semakin diperlukan untuk menjerat para pelaku kedalam penjara. Korupsi sebagai suatu bentuk perbuatan pidana memberikan suatu akibat yang tidak baik dalam perjalanan negara khususnya dalam pencapaian tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Upaya pemberantasan
5
(17)
korupsi yang termasuk ke dalam kejahatan yang luar biasa (extra ordinary crime), transnasional dan berdampak sistemik ini telah dilakukan dengan berbagai cara salah satunya dengan membentuk peraturan perundang-undangan yaitu Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang-Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Seiring dengan berjalannya waktu para pelaku korupsi seolah tidak takut akan hukuman yang tertera dalam undang-undang tersebut dan malah semakin banyak para pelaku yang ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu institusi hukum dalam penegakan tindak pidana korupsi. Korupsi di Indonesia telah melibatkan banyak kalangan, baik pusat maupun daerah, di lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan tokoh masyarakat.6
Penegakkan hukum serta pengusutan secara tuntas dan adil terhadap tindak pidana korupsi memang harus dilaksanakan dan ditegakkan tanpa pandang bulu. Akan tetapi ada berbagai persoalan yang lebih fundamental, agar menumbuhkan sikap arif untuk bersama-sama tidak mengulang dan membudayakan korupsi dalam berbagai aspek kehidupan.7
6
Martiman Prodjohamidjojo, 2001, Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Korupsi, Bandung : Mandar Maju hal 2.
Jadi upaya-upaya pemberantasan tindak pidana korupsi dengan berbagai bentuk usaha harus terus dijalankan khususnya dengan memberikan perlindungan kepada saksi yang mengetahui terjadinya tindak pidana korupsi. Tak jarang juga saksi yang
7
(18)
mengetahui suatu tindak pidana korupsi harus rela menjadi tersangka karena dilaporkan balik karena tuduhan mencemarkan nama baik.
Masih ingat kita suatu kisah tentang seorang yang bernama Endin Wahyudi yang melaporkan perbuatan pidana yang diduga dilakukan oleh beberapa orang Hakim pada 23 April 2001. H. Endin Wahyudi adalah saksi yang melaporkan kasus korupsi yang melibatkan seorang bekas Hakim Agung dan dua Hakim Agung kepada Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK). Endin mengaku bahwa pada bulan September dan Oktober 1998, ia bersama temannya menyetorkan sejumlah uang operasional senilai Rp. 196 juta untuk memenangkan perkara perdata Nomor 560. K/PDT/1997 dalam perkara yang diperiksa oleh hakim M. Yahya Harahap, Ny. Marnis Kahar dan Ny. Supraptini Sutarto. Surat pengakuan penyetoran uang itu tertuang dalam surat berkop Ikatan Penyalur Surat Kabar dan Majalah (Ipsukam) yang dikirim Endin secara pribadi kepada ketiga Hakim Agung, Harahap waktu itu belum pensiun, di kantor Mahkamah Agung (MA), Jakarta pada tanggal 1 Mei 2000. Waktu itu Endin mewakili ahli waris Ny. Aminah, yang berperkara dalam perkara perdata tersebut. Namun, laporan Endin kepada TGPTPK ini bocor sehingga ia diadukan oleh dua Hakim Agung tersebut (Ny. Supraptini Sutarto dan Ny. Marnis Kahar) ke Kepolisian dengan tuduhan menista dan mencemarkan nama baik dan Endin pun diproses secara hukum. Surat Endin itu diterima oleh TGPTPK yang dipimpin mantan Hakim Agung Adi Andojo Soetjipto. Adi pun menerbitkan Surat Nomor R-07/TGPTPK/07/2000 tertanggal 22 Agustus yang meminta Saksi dalam
(19)
Ancaman, Tahun 2005.8
Perlindungan saksi dalam proses peradilan pidana di Indonesia belum diatur secara khusus. Pasal 50 sampai dengan Pasal 68 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana hanya mengatur terhadap perlindungan tersangka dan terdakwa untuk perlindungan dari berbagai kemungkinan pelanggaran hak asasi manusia. Padahal saksi merupakan salah satu alat bukti dalam pemeriksaan perkara pidana dimana keterangannya dapat membuktikan terjadi atau tidaknya perbuatan pidana. Hal ini sejalan dengan Pasal 184 KUHP dimana alat-alat bukti adalah:
Sang Hakim bebas dari hukuman, sementara yang pelapor dihukum pengadilan karena terbuki melakukan tindak pidana yang dituduhkan. Kasus ini memberikan kita suatu pandangan bahwa perlindungan terhadap saksi yang mengetahui adanya tindak pidana korupsi sangatlah lemah karena belum didukung oleh perangkat hukum yang ada untuk melindungi keberadaan dan informasi yang dimilikinya.
a. keterangan saksi b. keterangan ahli c. surat
d. petunjuk
e. keterangan terdakwa9
8
Supriyadi Widodo Eddyono, Betty Yolanda dan Fajrimei A Gofar, Saksi dalam Ancaman , Jakarta 2005.
9
(20)
Tuntutan perlunya diberikan perlindungan kepada saksi yang memiliki informasi tentang suatu tindak pidana untuk terutama tindak pidana korupsi membuat pemerintah bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat berhasil merancang suatu undang-undang yang mengakomodasi perlindungan terhadap saksi. Berdasarkan asas kesamaan didepan hukum (equality before the law) yang menjadi salah satu ciri negara hukum, saksi dalam proses peradilan pidana harus diberi jaminan perlindungan hukum. Sampai akhirnya pada tanggal 11 Agustus 2006 diundangkanlah Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Lahirnya UU No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK) merupakan tonggak sejarah dimulainya upaya-upaya yang lebih serius terhadap perlindungan saksi dan korban di Indonesia. Hukum Acara Pidana sebagai prosedur penegakan hukum di Indonesia belum mengatur secara signifikan perlindungan saksi dan korban. Perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa masih lebih dominan. Padahal saksi maupun korban memegang peran penting dalam proses penegakan hukum. Peranan tersebut tercermin dari dimulainya proses penegekan hukum karena adanya permohonan dari saksi atau korban.10
Selain Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terdapat peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perlindungan saksi yang tersebar di dalam peraturan perundang-undangan yaitu di bidang tindak
10
Darmono, Komitmen Kejaksaan RI Dalam Perlindungan Saksi Dan Korban Tindak Pidana, Urgensi Peningkatan Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2011, hal 118.
(21)
pidana korupsi, perlindungan terhadap saksi dan pelapor diatur dalam Pasal 41 ayat (2) e Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 15 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada juga Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat sebagai pelaksanaan dari UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Kemudian terdapat PP No. 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme sebagai pelaksanaan UU No. 15 Tahun 2003 tentang pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Kita juga memiliki PP No. 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Terhadap Pelapor dan Saksi Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). PP No. 57 Tahun 2003 ini ditindak lanjuti dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Kapolri) No. 17 Tahun 2005 yang berlaku sejak 30 Desember 2005. Kemudian diterbitkan lagi PP No. 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban.
Salah satu amanat dari UU PSK adalah pembentukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang selanjutnya disingkat LPSK. UU PSK menyatakan bahwa LPSK adalah lembaga yang mandiri.11
11
ibid., Pasal. 11 ayat (1).
Apa yang dimaksud mandiri dalam UU ini, lebih tepatnya adalah sebuah lembaga yang independen (biasanya disebut sebagai komisi independen), yakni organ negara (state organs)
(22)
yang di idealkan independen dan karenanya berada di luar cabang kekuasaan baik Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif, namun memiliki fungsi campuran antar ketiga cabang kekuasaan tersebut.12 Apa yang dimaksud dengan independen? Dalam berbagai kepustakaan yang dimaksud dengan independen adalah: (1) berkaitan erat dengan pemberhentian anggota komisi yang hanya dapat dilakukan berdasarkan sebab-sebab yang diatur dalam undang-undang pembentukan komisi yang bersangkutan, tidak sebagaimana lazimnya komisi negara biasa yang dapat sewaktu-waktu diberhentikan oleh presiden karena merupakan bagian dari eksekutif13 (2) bila dinyatakan secara tegas oleh kongres dalam undang-undang komisi yang bersangkutan atau apabila Presiden dibatasi untuk tidak secara bebas memutuskan (discretionary decesion) pemberhentian pimpinan komisi.14 (3) Sifat independen juga tercermin dari kepemimpinan yang kolektif, bukan hanya seorang pimpinan (4) kepemimpinan tidak dikuasai/mayoritas berasal dari partai politik tertentu dan (5) masa jabatan pimpinan komisi tidak habis secara bersamaan, tetapi bergantian (stargged terms).15
12
Denny Indrayana, Komisi Negara Independen, Evaluasi Kekinian dan Tantangan Masa Depan, makalah Diskusi Terbatas “Mencermati Problematika Lembaga negara, rekomen dasi bagi pembentukan LPSK”, yang dilaksanakan oleh ICW dan Koalisi Perlindungan Saksi, Jakarta 7 Maret 2007 yang dikutip dari Jimly Ashidik Struktur Kenegaraan Indonesia setelah perubahan Keempat UUD 1945, makalah dalam Seminar Pembangunan Hukum nasional VIII, Denpasar 14-18 Juli2003.
13
Michael R. Asimow dalam Administratif Law, 2002. Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Humprey’s Executors v. United States.
14
William F. Fox Jr, Understanding Administratif Law, 2000, hal 56.
15
William F. Funk dan Richard H. Seamon dalam Administratif Law: Example and Explanation, 2001, hal 7.
(23)
Dengan hadirnya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) diharapkan dapat memberikan perlindungan terhadap saksi agar berani memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dalam proses pemeriksaan perkara pidana tanpa mengalami ancaman atau tuntutan hukum. Kewenangan yang dimiliki oleh LPSK seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi harus sepenuhnya dilaksanakan secara maksimal untuk melindungi saksi yang mengetahui atau memiliki informasi tentang suatu tindak pidana terutama tindak pidana korupsi yang makin menjamur belakangan ini. Diharapkan dengan adanya suatu lembaga yang bernama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dapat memberikan suatu sumbangsih bagi negeri ini yaitu terciptanya kepastian hukum terhadap perlindungan saksi, sehingga perkara-perkara seperti perkara-perkara korupsi dan kejahatan lainnya dapat terungkap dikarenakan saksi merasa aman untuk mengungkapkan kesaksiannya dimuka pengadilan.
Berangkat dari hal-hal tersebut di atas maka penulis merasa sangat tertarik bahkan merasa bahwa ini adalah merupakan kewajiban penulis untuk mengangkat masalah mengenai perlindungan hukum terhadap saksi kedalam skripsi penulis yang berjudul “Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang diuraikan, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini adalah:
(24)
1. Bagaimanakah peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi?
2. Bagaimana hambatan-hambatan dalam pelaksanaan fungsi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan 1. Tujuan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini adalah:
1. Untuk mengetahui peran dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindung saksi dalam tindak pidana korupsi.
2. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi hambatan-hambatan dalam pelaksanaan fungsi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi.
3. Untuk mengetahui yang menjadi dasar pertimbangan bagi Hakim menerima atau menolak pencabutan keterangan saksi dalam BAP
2. Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : a. Teoritis
Karya tulis ini diharapkan bermanfaat dalam menambah dan memperkaya literatu-literatur yang telah ada sebelumnya khususnya mengenai peran Lembaga Perlindungan Saksi dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi. Karya
(25)
tulis ini diharapkan juga dapat menjadi bahan acuan untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam lagi.
b. Praktis
Dengan adanya karya tulis ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam rangka menyempurnakan peraturan-peraturan di bidang hukum pidana terutama di bidang perlindungan saksi. Semoga karya tulis ini dapat memberikan gambaran yang cukup jelas mengenai peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi sehingga dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan dalam penegakan hak asasi manusia khususnya kepada saksi.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi yang ditulis oleh penulis sendiri dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Melindungi Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi” adalah merupakan hasil dari buah pikir penulis sendiri juga ditambah literatur-literatur lain baik buku milik penulis sendiri maupun buku-buku dari perpustakaan serta sumber-sumber lain yang menunjang skripsi ini.
Penulisan skripsi ini murni penulis sendiri yang mengerjakannya dimana topik yang penulis bahas dalam skripsi ini belum pernah dibahas oleh orang lain yang dapat dibuktikan berdasarkan data yang ada di sekretaris. Bila ternyata terdapat judul yang sama sebelum skripsi ini dibuat maka penulis bertanggung jawab sepenuhnya.
(26)
E. Tinjauan Kepustakaan
1. Pengertian Saksi, Keterangan Saksi, dan Jenis Saksi
Menurut Wjs Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1961) halaman 794, saksi memiliki pengertian :
1. Orang yang diminta hadir pada suatu peristiwa untuk mengetahuinya supaya bilamana perlu dapat memberi keterangan juga membenarkan peristiwa tadi sungguh-sungguh terjadi.
2. Orang yang mengetahui sendiri suatu kejadian.
3. Orang yang memeberi keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa.
Pasal 1 butir 26 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) memberikan pengertian saksi yaitu orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri16
Menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban pasal 1 butir 1 menyatakan saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan,
.
16
(27)
dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri17
Pengertian saksi menurut KUHAP dan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban mempunyai perbedaan. Perbedaan dengan rumusan KUHAP adalah bahwa rumusan saksi dalam Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban mulai dari tahap penyelidikan sudah dianggap sebagai saksi sedangkan KUHAP mulai dari tahap penyidikan. Definisi saksi yang demikian ini dapat dikatakan mencoba menjangkau pada saksi pelapor yang sering terdapat dalam kasus-kasus korupsi dan kasus-kasus narkoba psikotropika
.
18
Subekti menyatakan bahwa saksi adalah orang yang didengar keterangannya di muka siding pengadilan, yang mendapat tugas membantu pengadilan yang sedang perkara
.
19
17
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal. 1 butir 1.
. Wirjono Projodikoro memaknai bahwa seorang saksi adalah seorang manusia belaka atau manusia biasa. Ia dapat dengan sengaja bohong, dan dapat juga jujur menceritakan hal sesuatu, seoalah-olah hal yang benar, akan sebetulnya tidak benar. Seseorang saksi harus menceritakan hal yang
Analisis Terhadap RUU Perlindungan Saksi dan Korban versi
Badan Legislatif DPR, oleh Supriyadi Widodo Eddyono, Wahyu Wagiman dan Zaenal Abidin, diakses pada hari rabu 29 Februari 2012 pukul 19.35 WIB.
19
Subekti dan R Tjitro Soedibia, Kamus Hukum , (Jakarta:Pradya Paramita, 1976), hal. 83.
(28)
sudah lampau, dan tergantung dari daya ingat dari orang perseorang, apa itu dapat dipercaya atas kebenarannya20
Sedangkan S.M. Amin menambahkan bahwa “Saksi tak bersuara dapat merupakan bahan-bahan yang diperoleh dengan cara menyelidiki dan memperhatikan benda-benda mati. Umpamanya bekas-bekas yang terdapat di tempat kejahatan yang dilakukan”
.
21
Menurut Pasal 295 HIR kesaksian itu termasuk dalam salah satu jenis bukti yang sah. Yuridis yang dimaksudkan kesaksian keterangan lisan di muka hakim dengan sumpah lebih dahulu tentang hal-hal yang ia ketahui tentang sesuatu kejadian dengan panca indera sendiri. Dalam Pasal 301 HIR, dinyatakan dengan tegas bahwa tiap-tiap kesaksian yang diberikan itu harus mengatakan kejadian-kejadian yang sungguh terjadi, yang didengar, dilihat, atau dirasakan sendiri serta harus disebutkan sebab-sebab atau alasan-alasan hal itu sampai diketahuinya; pengiraan/sangkaan saja yang disusun dengan kata akal bukanlah kesaksian.
.
Bahwa saksi dalam memberikan keterangannya hanya boleh mengenai keadaan yang didengar, dilihat, atau dialami oleh saksi itu sendiri, dan tiap-tiap persaksian harus disertai penyebutan hal-hal yang menyababkan seorang saksi mengetahui hal sesuatu. Bahwa suatu pendapat atau suatu persangkaan yang
20
Wirjono Projodikoro, Hukum Acara Pidana Indonesia, hal. 7.
21
Mr. S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, ( Jakarta:Pradya Paramita, 1981), hal.49.
(29)
disusun secara memikirkan dan menyimpulkan hal sesuatu tidak dianggap sebagai keterangan saksi22
Sedangkan pengertian keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Pasal 1 ayat 27 KUHAP. Keterangan saksi adalah alat bukti yang pertama disebut dalam Pasal 184 KUHAP. Aturan-aturan khusus tentang keterangan saksi hanya diatur dalam 1 (satu) pasal saja yaitu Pasal 185, yang antara lain menjelaskan apa yang dimaksud dengan keterangan saksi bagaimana tentang kekuatan pembuktiannya (bewijskracht) dan lain-lain.
.
23
Keterangan saksi dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan yuridis oleh hakim. Keterangan tersebut harus disampaikan di dalam sidang pengadilan dengan mengangkat sumpah.24
22
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, Sumur, Bandung; 1983. Hal 118.
Dalam praktiknya, keterangan saksi seringkali menjadi bahan pertimbangan yuridis yang utama. Berdasarkan pengertian tersebut maka dalam keterangan saksi, hal yang harus diungkapkan di depan sidang pengadilan yaitu.
23
Djoko Prakoso, Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, (Yogyakarta: Liberty, 1988), hal.49.
24
Pasal 185 ayat (1) Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
(30)
1) Yang ia dengar sendiri, bukan hasil cerita atau hasil pendengaran dari orang lain. Saksi secara pribadi harus mendengar langsung peristiwa pidana atau kejadian yang terkait dengan peristiwa pidana tersebut;
2) Yang ia lihat sendiri, kejadian tersebut benar-benar disaksikan langsung dengan mata kepala sendiri oleh saksi baik secara keseluruhan, rentetan, fragmentasi pidana yang diperiksa;
3) Yang ia alami sendiri, sehubungan dengan perkara yang sedang diperiksa, biasanya merupakan korban dan menjadi saksi utama dari perisitiwa pidana yang bersangkutan. Pasal 160 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa yang pertama kali didengar keterangannya adalah saksi korban;
4) Didukung oleh sumber dan alasan dari pengetahuannya itu, sehubungan dengan peristiwa, keadaan, kejadian yang didengar, dilihat, dan atau dialaminya. Setiap unsur keterangan harus diuji kebenarannya. Antara keterangan saksi dan sumbernya harus benar-benar konsisten satu dengan yang lainnya.
Keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditum, maksudnya agar hakim lebih cermat dan memperhatikan keterangan yang diberikan saksi harus diberikan benar-benar secara bebas, jujur dan objektif25
25
H. R. Abdussalam, Sik, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat Jilid 2, Restu Agung, Jakarta; 2006 hal 142.
(31)
Asas dalam pemeriksaan saksi adalah asas unus testis nullus testis artinya satu saksi bukan merupakan saksi yang diatur dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP tetapi asas tersebut dapat disimpangi berdasarkan Pasal 185 ayat (3) KUHAP bahwa ketentuan tersebut tidak berlaku apabila disertai dengan satu alat bukti lain yang sah. Berdasarkan tafsir acontrario keterangan saksi cukup untuk membuktikan kesalahan apabila disertai alat bukti lain26
Jenis-jenis saksi dalam hukum acara pidana yaitu : .
27
a. Saksi a charge
Saksi a charge adalah saksi yang memberikan keterangan di dalam persidangan, dimana keterangan yang diberikannya mendukung surat dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum atau memberatkan terdakwa. Pasal 160 ayat (1) KUHAP menyebutkan tentang saksi a charge, yaitu dalam hal ada saksi baik yang menguntungkan maupun yang memberatkan terdakwa yang tercantum dalam surat pelimpahan perkara dan/atau yang diminta oleh terdakwa atau penasihat hukum atau penuntut umum selama berlangsungnya sidang atau sebelum dijatuhkannya putusan, hakim ketua sidang wajib mendengar keterangan saksi tersebut. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa saksi ini dihadirkan kepersidangan oleh Jaksa Penuntut Umum.
26
Hari Sasangka, Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung; 2003 hal 42.
27
www.lontar.ui.ac.id/file?file=pdf/abstrak-131194.pdf, Tinjauan Yuridis Terhadap Perlindungan Karyawan Notaris Sebagai Saksi Dalam Peresmian Akta, diakses pada tanggal 1 Maret 2011, pukul 21.28 WIB.
(32)
b. Saksi a de charge
Saksi a de charge adalah saksi yang memberikan keterangan didalam persidangan, dimana keterangan yang diberikannya meringankan terdakwa atau dapat dijadikan dasar bagi nota pembelaan (pledoi) dari terdakwa atau penasihat hukumnya. Saksi a de charge penempatan pengaturannya sama dengan saksi a charge yakni dalam pasal 160 ayat (1) KUHAP seperti yang telah diuraikan diatas. Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat diketahui bahwa saksi a de charge dihadirkan ke persidangan oleh terdakwa atau penasihat hukumnya.
c. Saksi berantai
Saksi berantai adalah keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu (sebagaimana diatur dalam pasal 185 ayat (4) KUHAP). Prof. Dr. Andi Hamzah, S.Hjuga mengemukakan pengertian saksi berantai yang sama dengan pasal 185 ayat (4) KUHAP. Menurutnya saksi berantai (kettingbewijs) adalah keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan yang dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian tertentu. Hari Sasangka juga mengemukakan bahwa saksi berantai adalah beberapa orang saksi yang memberikan keterangan tentang suatu kejadian yang tidak bersamaan, asalkan
(33)
berhubungan yang satu dengan yang lain sedemikian rupa dan tidak dikenai unus testis nullus testis. Ahli hukum S.M. Amin membedakan saksi berantai menjadi 2 macam yaitu:
1) Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam suatu perbuatan. 2) Beberapa kesaksian oleh beberapa saksi dalam beberapa perbuatan.
Berdasarkan penjabaran tersebut, saksi berantai diartikan sebagai keterangan- keterangan saksi-saksi yang berdiri sendiri-sendiri, akan tetapi memiliki hubungan antara satu dengan lainnya untuk menggambarkan suatu kejadian atau keadaan tertentu berkaitan dengan perkara yang disidangkan di pengadilan.
d. Saksi mahkota
Saksi mahkota muncul dan berkembang dalam praktek peradilan pidana. Menurut Sofyan Lubis, S.H., saksi mahkota adalah saksi yang berasal dan/atau diambil dari salah seorang atau lebih tersangka atau terdakwa lainnya yang bersama-sama melakukan perbuatan pidana dan kepadanya diberikan mahkota dalam bentuk ditiadakan penuntutan terhadap perkaranya atau diberikan suatu tuntutan yang sangat ringan apabila perkaranya dilimpahkan ke pengadilan. Yahya Harahap menyatakan pendapatnya bahwa adanya saksi mahkota agar keterangan seorang terdakwa dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah terhadap terdakwa lainnya. Caranya dengan menempatkan terdakwa yang lain itu dalam kedudukan sebagai saksi. Dari pengertian saksi mahkota tersebut diatas, dapat disimpulkan syarat diajukannya saksi mahkota adalah harus dalam bentuk pidana yang adaunsur penyertaan dan saksi mahkota muncul karena
(34)
tidak adanya saksi yang dapat diajukan untuk memberikan kesaksian pada suatu perkara. Namun dalam perkembangannya, Sofyan Lubis menyatakan bahwa penggunaan saksi mahkota tidak diperbolehkan dan dianggap bertentangan dengan KUHAP yang menjunjung tinggi hukum. Pendapat ini didukung oleh berbagai Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1174 K/Pid/1994 tanggal 3 Mei 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1952K/Pid/1994 tanggal 29 April 1995, Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1590 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995 danYurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1592 K/Pid/1995 tanggal 3 Mei 1995.
e. Saksi korban
Saksi korban adalah saksi yang dimintai keterangannya dalam perkara karena ia menjadi korban langsung dari perkara tersebut atau mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi dalam suatu tindak hukum yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa.
f. Saksi pelapor
Saksi pelapor adalah orang yang memberikan kesaksian berdasarkan laporannya tentang suatu peristiwa pidana baik yang ia lihat atau alami sendiri, namun ia tidak harus menjadi korban dari peristiwa pidana tersebut.
g. Testimunium de auditu
Testimunium de auditu merupakan suatu keterangan yang diperoleh dari orang lain. S.M.Amin menyatakan bahwa kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan dalam hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh
(35)
saksi sendiri, akan tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami sendiri oleh orang lain tersebut. Wirjono Prodjodikoro juga menyatakan bahwa kesaksian testimonium de auditu adalah kesaksian berupa pendengaran dari orang lain dan hal ini tidak diperbolehkan.
2. Pengertian Perlindungan Saksi
Pasal 1 butir 6 Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 menuliskan bahwa, perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada saksi dan/atau korban yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini.28
28
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Psl 1 butir 6.
Sedangkan pengertian saksi telah diuraikan diatas, maka menurut penulis dapat diambil suatu pengertian yang pas tentang perlindungan saksi yaitu segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberi rasa aman kepada orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri yang wajib dilaksanakan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan undang-undang ini. Perlindungan saksi bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dalam memberikan keterangan pada setiap proses peradilan pidana.
(36)
Keberadaan saksi maupun pelapor selama ini dalam proses peradilan pidana kurang mendapat respon dan perhatian dari pihak masyarakat maupun penegak hukum itu sendiri sehingga kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh karena saksi enggan melapor atau memberikan kesaksiannya kepada penegak hukum karena terlebih dahulu mendapatkan ancaman. Oleh karena itu dalam rangka menumbuhkan partisipasi dan paham masyarakat untuk mengungkap tundak pidana perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu atau mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan mempunyai keberanian untuk memaparkan apa yang terjadi sesungguhnya kepada aparat penegak hukum.
Dengan melindungi saksi akan memiliki efek berantai (multi effect) untuk memerangi kejahatan-kejahatan serius. Sebab salah satu titik tekan tujuan program perlindungan saksi dan korban bukanlah semata-mata hanya untuk memenuhi hak-hak saksi dan korban, tetapi juga dapat digunakan sebagai alat (tool) untuk memerangi kejahatan-kejahatan terorganisir dengan keberanian saksi dan korban mengungkap kejahatan tersebut. Seperti: korupsi, drugstrafficking, human trafficking, terorisme, pelanggaran HAM yang berat, pencucian uang, atau berbagai kejahatan lain yang termasuk kategori organized crimes dan transnational crimes.
(37)
Paradigma inilah yang menjadi salah satu latar belakang utama terselenggaranya aneka konvensi atau deklarasi internasional yang berkaitan dengan peran penting saksi pengungkap kejahatan dalam konteks penegakan hukum. Antara lain: Declaration of Basic Principles of Justice for Victim of Crime and Abuse of Power, yang lahir dari Kongres PBB VII di Milan, Italia, 1985; mengetengahkan isu The Prevention of Crime and The Treatment of Offenders. Ada juga United Nations Convention Againts Illicit Trafic in Narcotics, Drugs, and Psychotropic Substance of 1998. Kemudian International Convention for the Suppresion of the Financing of Terrorism, 1999. Termasuk United Nations Convention Againts Corruption, 200329
Porsi perlindungan saksi dan korban yang lebih komprehensif terdapat dalam United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime (2005); lahir dalam Konferensi Negara Melawan Kejahatan Transnasional Terorganisir, berlangsung di Vienna, 10-21 Oktober 2005. Indonesia telah mengesahkan konvensi ini berupa UU No. 5 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Anti-Kejahatan Transnasional Terorganisir
.
30
29
Abdul Haris Semendawai, Revisi Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006: Momentum Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban, Urgensi Peningkatan Peran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, 2011, hal 12.
30
United Nations Convention Againts Transnational Organized Crime atau Konvensi PBB tentang Anti-Kejahatan Trans-nasional Terorganisir ini menegaskan kepada negara-negara anggotanya untuk melakukan upaya-upaya yang pantas dalam memberikan perlindungan yang efektif terhadap pembalasan atau intimidasi terhadap saksi pengungkap kasus-kasus kejahatan trans-nasional yang terorganisir. Baik berupa perlindungan fisik; relokasi dan menjaga kerahasiaan atau pembatasan pengungkapan identitas dan lokasi saksi; serta memperkenalkan peraturan pembuktian untuk mengizinkan pemberian kesaksian dengan terlebih dahulu memastikan
(38)
Selama ini keberadaan saksi maupun pelapor dalam proses peradilan pidana kurang mendapat respon dan perhatian dari pihak masyarakat maupun penegak hukum itu sendiri sehingga kasus-kasus yang tidak terungkap dan tidak terselesaikan banyak disebabkan oleh karena saksi enggan melapor atau memberikan kesaksiannya kepada penegak hukum karena terlebih dahulu mendapatkan ancaman. Oleh karena itu dalam rangka menumbuhkan partisipasi dan paham masyarakat untuk mengungkap tundak pidana perlu diciptakan iklim yang kondusif dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada setiap orang yang mengetahui atau menemukan suatu hal yang dapat membantu atau mengungkap tindak pidana yang telah terjadi dan mempunyai keberanian untuk memaparkan apa yang terjadi sesungguhnya kepada aparat penegak hukum.
3. Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Bagian ini akan menguraikan terlebih dahulu pengertian tindak pidana sebelum menguraikan pengertian tindak pidana korupsi. Pembentuk undang-undang menggunakan istilah straafbaarfeit untuk menyebutkan istilah tindak pidana, tetapi tidak memberikan penjelasan secara rinci mengenai straafbaarfeit tersebut. Straafbaafeit berasal dari 2 unsur kata yaitu straafbaar yang diartikan “dapat dihukum” dan feit yang diartikan “sebagian dari kenyataan”. Secara harafiah istilah straafbaarfeit berarti “sebagian dari kenyataan yang dapat
keamanan saksi tersebut. Abdul Haris Semendawai, Revisi UU No. 13 Tahun 2006 “Momentum Penguatan Perlindungan Saksi dan Korban”.
(39)
dihukum”.31
Simons kemudian merumuskan straafbaarfeit sebagai tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan oleh undang-undang yang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. Moeljatno pun berpendapat bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana yang disertai sanksi berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar aturan tersebut.
Hal ini tentu saja tidak tepat karena yang bisa dihukum adalah manusia sebagai pribadi bukan kenyataan, perbuatan dan tindakan.
32
Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana dan sejarah membuktikan bahwa hampir tiap negara dihadapkan pada masalah korupsi. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh
Apa itu Korupsi?, diakses pada
tanggal 27 Oktober 2011, pukul 22.35 WIB.
Pengertian Tindak
(40)
kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi.33
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
33
B. Simanjuntak, S.H., Pengantar Kriminologi dan Pantologi social, Tarsino, Bandung 1981 hal 310.
(41)
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :
1. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.
2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
3. Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan untuk kepentingan sendiri dan sebagainya. Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya); Koruptor (orang yang korupsi).
Menurut Kartini Kartono, beliau memberikan defenisinya tentang Korupsi: “Bahwa yang dikatakan korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna mengeruk keuntungan pribadi, merugikan
(42)
kepentingan umum dan Negara. Jadi korupsi merupakan gejala: salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi keuntungan pribadi: salah urus terhadapa sumber-sumber kekayaan negara dengan menggunakan wewenang dan kekuatan-kekuatan formal (misalnya dengan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.34Hal yang hampir sama juga di berikan oleh Leden Marpaung yang menyatakan bahwa pengertian masyarakat umum terhadap kata “korupsi” adalah berkenaan dengan “keuangan negara” yang dimiliki secara tidak sah (haram).35
Pengertian korupsi menurut Black’s law Dictionary adalah korupsi adalah perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain, berlawanan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain. Kamus Besar Bahasa Indonesia memuat pengertian korupsi sebagai perbuatan penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan dan lain sebagainya) untuk kepentingan pribadi atau orang lain.36
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut
34
Kartini Kartono, Pathologi Sosial. Jakarta. Edisi Baru. CV. Rajawali Press. 1983.
35
Laden Marpaung, Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta
36
Muhammad Ali, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, (Jakarta: Pustaka Amani, 1993), hal.135
(43)
masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.37
Korupsi menurut Pasal 1 butir 3 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi dan nepotisme berbunyi: “korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi”. Peraturan perundang-undangan yang mengatur tindak pidana korupsi adalah Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999.
Menurut perspektif UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001, korupsi dirumuskan kedalam 30 bentuk/jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci mengenai perbuatan yang bisa dikenakan sanksi pidana karena korupsi. Ketigapuluh bentuk/jenis tindak pidana korupsi tersebut pada dasarnya dapat dikelompokkan sebagai berikut :
a. Kerugian keuangan Negara b. Suap-menyuap
c. Penggelapan dalam jabatan d. Pemerasan
e. Perbuatan curang
37
(44)
f. Benturan kepentingan g. Gratifikasi
Selain bentuk/jenis tindak pidana korupsi yang sudah dijelaskan di atas, tindak pidana lain yang yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang tertuang dalam Undang-Undang adalah:
a. Merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi
b. Tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar c. Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka
d. Saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu e. Saksi yang membuka identitas pelapor. 38
Berdasarkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 bahwa korupsi diartikan:
1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
38
Komisi Pemberantasan Korupsi, Definisi Korupsi Menurut Perspektif Hukum dan E-Announcement Untuk Tata Kelola Pemerintahan Yang Lebih Terbuka, Transparan, dan Akuntabel, disampaikan dalam seminar nasional upaya perbaikan system penyelenggaraan pengadaan barang/jasa pemerintah, Disampaikan oleh Dr. M. Syamsa Ardisasmita, DEA Deputi Bidang Informasi dan Data KPK, Jakarta 23 Agustus 2006.
(45)
Dari pengertian korupsi diatas maka diperoleh unsur-unsur tindak pidana korupsi yaitu :
1. Setiap orang, maksud dari setiap orang adalah orang perseorangan termasuk korporasi.
2. Melawan hukum, maksud melawan hukum adalah perbuatan yang dilakukan dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan dan norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat.
3. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, dasar maksud memperkaya disini ditafsirkan suatu perbuatan dengan mana si pelaku bertambah kekayaannya oleh karena perbuatan tersebut, modus operandi perbuatan memperkaya dapat dilakukan dengan berbagai cara misalnya dengan membeli, menjual, mengambil, memindahkan rekening, menandatangani kontrak serta perbuatan lainnya sehingga si pelaku bertambah kaya.
4. Dapat merugikan keuangan atau perekonomian Negara, Keuangan atau perekonomian Negara yang dimaksud disini adalah seluruh keuangan negara dalam bentuk apapun yang berada pada penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat Negara dari tingkat pusat sampai tingkat daerah.
Memperhatikan uraian diatas korupsi dapat diartikan sebagai suatu tindakan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
(46)
1. Adanya pelaku atau beberapa orang pelaku 2. Adanya tindakan yang melanggar norma hukum
3. Adanya unsur merugikan keuangan atau kekayaan Negara
4. Baik langsung atau tidak langsung untuk memperoleh keuntungan pribadi/kelompok atau golongan tertentu.
F. Metode Penelitian
Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan sesuatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikendaki, cara kerja yang tersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan dan mencapai tujuan yang ditentukan.39
1. Jenis penelitian
Metode yang digunakan oleh penulis dalam membahas permasalahan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Penelitian skripsi ini dilakukan dengan penelitian yuridis normatif (yuridis normative) yaitu mengkaji peraturan perundang-undangan atau pasal-pasal serta literatur-literatur yang terkait dengan peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi yang menjadi permasalahan dalam penulisan skripsi ini.
2. Jenis dan Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data yang dalam keadaan siap dan dapat
39
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Edisi ketiga), (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), hal.740.
(47)
dipergunakan segera oleh peneliti-peneliti selanjutnya. Data sekunder ini mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan dan sebagainya. Jenis data sekunder adalah sebagai berikut :
a. Bahan hukum primer yaitu : bahan hukum yang mempunyai otoritas (authority) dan semua dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak-pihak yang berwenang, yakni berupa undang-undang, peraturan pemerintah dan lain-lain.
b. Bahan hukum sekunder yaitu : semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen yang tidak resmi dan semua dokumen yang merupakan hasil kajian dari berbagai media seperti koran, majalah, artikel-artikel yang dimuat di berbagai website di internet.
c. Bahan hukum tersier yaitu : semua dokumen yang berisikan konsep-konsep dan keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan baku sekunder seperti kamus dan ensiklopedia.
3. Metode Pengumpulan Data
Penulis menggunakan penelitian kepustakaan (library research) untuk mengumpulkan data yang akan digunakan oleh penulis untuk menjawab permasalahan dari skripsi ini. Penelitian kepustakaan ini dilakukan dengan cara menelaah buku-buku, karangan ilmiah, dan peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan permasalahan skripsi ini. Selain itu, penulis juga
(48)
meneliti artikel-artikel ilmiah yang dimuat dalam majalah maupun koran yang dimuat di berbagai media massa maupun dimuat di website-website internet.
4. Analisa Data
Data yang dipakai dalam penulisan skripsi ini dianalisa dengan menggunakan analisa kualitatif. Analisa kualitatif adalah aktivitas intensif yang memerlukan pengertian yang mendalam, kecerdikan, kreativitas, dan kepekaan konseptual. Analisa kualitatif juga diartikan sebagai pengolahan data yang digambarkan dengan kata-kata atau kalimat dipisah-pisahkan menurut kategori untuk memperoleh kesimpulan. Jadi, penulis setelah mengumpulkan data yang diperoleh baik dari buku-buku, berbagai peraturan perundang-undangan dan data dari situs internet lalu kemudian dianalisa untuk mendapatkan jawaban atas permasalahan yang diteliti. Sehingga dengan analisa kualitatif ini, penulis dapat membuat kesimpulan yang benar atas jawaban permasalahan dalam skripsi ini. F. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibuat secara terperinci dan sistematis agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika skripsi ini merupakan suatu ketentuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain yang dapat diuraikan sebagai berikut:
(49)
BAB I : Pendahuluan
Bab ini merupakan pendahuluan skripsi ini yang terdiri dari latar belakang pemilihan judul skripsi, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Dalam Melindungi Saksi Dalam Tindak Pidana Korupsi
Penulis memaparkan tentang perlindungan saksi menurut undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, perlindungan saksi menurut UU No. 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, mekanisme perlindungan saksi menurut UU No. 13 Tahun 2006, kerjasama antar lembaga dan peranan lembaga perlindungan saksi dan korban dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi.
BAB III : Hambatan-hambatan dalam pelaksanaan fungsi lembaga perlindungan saksi dan korban dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi
Dalam bab ini, penulis menerangkan tentang pembatasan tugas dan wewenang lembaga perlindungan saksi dan korban, ketidaksepahaman lembaga perlindungan saksi dan korban denan pihak-pihak terkait, dan permasalahan internal kelembagaan LPSK. BAB IV : Kesimpulan dan Saran
(50)
Bab ini terdiri dari kesimpulan dari keseluruhan pembahasan permasalahan yang terdapat pada skripsi ini dan kemudian disertai dengan saran-saran penulis bagi kemajuan peran lembaga perlindungan saksi dan korban dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi.
(51)
BAB II
PERANAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN
KORBAN DALAM MELINDUNGI SAKSI DALAM TINDAK
PIDANA KORUPSI
A. Perlindungan Saksi Menurut Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Keterangan saksi merupakan faktor penting dalam membuktikan kebenaran dalam suatu proses persidangan. Hal ini tergambar jelas dalam Pasal 184-185 KUHAP yang menempatkan keterangan saksi di urutan pertama di atas alat bukti lainnya. Urutan ini merujuk pada alat bukti yang pertama kali diperiksa dalam tahap pembuktian di persidangan. Mengingat kedudukan saksi sangat penting dalam proses peradilan, tidak hanya dalam proses peradilan pidana, namun juga proses peradilan yang lainnya, dan tidak adanya pengaturan mengenai hal ini, maka dibutuhkan suatu perangkat hukum khusus yang mengatur mengenai perlindungan terhadap saksi.
Pengalaman empirik di Indonesia menjelaskan bahwa masalah perlindungan saksi dan korban menjadi masalah yang sangat krusial. Persoalan yang utama adalah banyaknya saksi yang tidak bersedia menjadi saksi ataupun tidak berani mengungkapkan kesaksian yang sebenarnya karena tidak adanya jaminan yang memadai, terutama jaminan atas hak-hak tertentu ataupun
(52)
mekanisme tertentu untuk bersaksi.40 Selain itu, hak-hak korban atas perkara-perkara tertentu juga tidak diberikan.41
Kasus korupsi di Indonesia bukanlah praktik baru yang terjadi di negeri ini. Secara historis korupsi sudah mulai terjadi sejak masa-masa berkuasanya kerajaan yang ada di Indonesia. Faktor penyebab korupsi secara umumnya adalah feodalisme dan materialism. Feodalisme adalah sistem kekuasaan yang didasarkan atas status. Akan tetapi, status bukan jaminan sebuah kekuasaan dan kekayaan. Hal tersebut sangat berbeda dengan golongan borjuis di Eropa yang memang mereka terdiri dari orang-orang yang berpendidikan tinggi dan memiliki modal besar. Kaum Feodal membutuhkan dukungan besar agar kekuasaan bias bertahan (survive). Di Indonesia, masih menganut pola-pola demikian, ini terbukti pada masa kepemimpinan Soeharto. Pada masa itu, korupsi sangat merajalela baik di pusat maupun ke pelosok daerah sekalipun di tanah air. Secara terminologi, Ketidakmauan saksi untuk memberikan keterangan di persidangan tidak hanya terjadi di dalam kasus HAM, tetapi juga terjadi di dalam kasus-kasus seperti kasus kekerasan terhadap perempuan, kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), terorisme, korupsi, pencucian uang dan anak. Khusus kasus korupsi, penulis akan membahas pada bagian ini yang menyangkut tentang perlindungan saksi dalam tindak pidana yang menyangkut korupsi.
40
Lihat proses persidangan pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus Timor Timur, dimana banyak saksi dari Tim-Tim yang akhirnya memilih untuk tidak mau datang ke Indonesia untuk menjadi saksi karena ada pengalaman dari beberapa saksi sebelumnya yang mengalami intimidasi psikologis selama proses pemberian kesaksian.
41
Lihat juga beberapa putusan pengadilan HAM ad-hoc untuk kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur, dimana tidak ada satupun putusan yang menyebutkan tentang kompensasi, restitusi dan rehabilitasi meskipun sudah terbukti ada pelanggaran dan terdakwa dinyatakan bersalah.
(53)
korupsi adalah penyelewengan atau penyalahgunaan uang negara untuk kepentingan pribadi atau orang lain.42
Perkara tindak pidana korupsi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masalah perlindungan saksi. Hal ini dikarenakan keberhasilan pengungkapan suatu kasus korupsi sangat tergantung dari keterangan yang diberikan oleh saksi di dalam persidangan. Namun, banyak kasus korupsi yang tidak dapat diungkap karena tidak adanya saksi yang berani mengungkapkan kasus tersebut. Ada suatu ketakutan bahwa dirinya bisa saja berubah status dari saksi menjadi tersangka dengan dakwaan pencemaran nama baik. UU Nomor 31 Tahun 1999 merupakan landasan hukum bagi tindak pidana korupsi. Beberapa pasal dalam UU ini kemudian dirubah dengan dikeluarkannya UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, ternyata UU Nomor 20 Tahun 2001 tidak merubah sedikitpun pasal-pasal yang berkenaan dengan perlindungan bagi saksi. Pengaturan mengenai perlindungan terhadap saksi dan hak-hak saksi di dalam mengungkap kasus korupsi sangat sedikit dijelaskan dalam UU ini.
UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjamin perlindungan kepada pihak-pihak pelapor, dalam hal ini orang-orang yang memberikan informasi dan keterangan tentang terjadinya tindak pidana korupsi, berupa larangan bagi para saksi menyebut
42
Lamintang, PAF., Delik-delik Khusus Kejahatan-Kejahatan Jabatan Tertentu sebagai Tindak Pidana Korupsi, Bandung : Pionir Jaya, 1999, hal. 121.
(54)
identitas pelapor. Masalahnya tidak ada ketentuan eksplisit dalam undang-undang ini yang memberikan rumusan seperti apa bentuk dan bagaimana mekanisme pemberian perlindungan kepada saksi pelapor. Perlindungan saksi bersanding dengan keamanan dan kenyamanan fisik, psikologis, identitas, dan relokasi bagi saksi sebagai pelapor, dari orang lain yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, tengah atau telah diberikannya atas suatu perkara pidana.43
Menurut penjelasan otentik Pasal 31 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang dimaksud dengan pelapor adalah orang yang memberikan informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatu tindak pidana korupsi baik dalam tahap dugaan, sedang terjadi maupun telah terjadi.
Pentingnya peranan saksi di dalam menguak kasus tindak pidana korupsi diakui langsung oleh undang-undang ini, sehingga dalam Pasal 31 yang menyebutkan;
1) Dalam penyidikan dan pemeriksaan sidang pengadilan, saksi dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama atau alamat pelapor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
2) Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
(55)
Pelapor dibutuhkan kesaksiannya mulai dari tingkat penyidikan sampai kepada pemeriksaan sidang pengadilan. Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya orang yang memberikan informasi/laporan tentang adanya tindak pidana korupsi disebut dengan pelapor, pada tingkat pengadilan orang yang memberikan informasi/keterangan disebut sebagai saksi pelapor, sebagaimana di dalam Pasal 41 ayat (2) e.2. “….diminta hadir dalam proses penyidikan dan di sidang pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi atau saksi ahli….” Begitu juga perlindungan terhadap saksi sedikit disinggung dalam Pasal 41 ayat (2) huruf e yang menjelaskan masyarakat yang berperan serta di dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi berhak mendapat perlindungan hukum.
Pada tingkat penyidikan pelapor yang memberikan laporan kepada pihak yang berwenang harus menandatangani berita acara pemeriksaan saksi, hal ini yang memungkinkan pelapor takut memberikan laporan sebab pembuktian tindak pidana korupsi sangatlah sulit, sehingga apabila tidak terbukti, pelapor dapat dituduh mencemarkan nama baik atau bahkan dituntut balik sebagai pelaku tindak pidana korupsi. Selain itu bahwa pelapor takut identitasnya diketahui oleh umum, unuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan seperti teror, ancaman terhadap keluarga, intimidasi sehingga pelapor jarang menyebutkan identitas secara langsung, yang banyak dijumpai oleh penyidik adalah denga adanya pemberian laporan yang berupa surat kaleng yang tanpa identitas pengirim.
Kasus menyangkut pelaku adalah pejabat public (white collar crimes) maupun tindak pidana yang sulit pembuktiannya seperti tindak pidana suap,
(56)
sungguh-sungguh membutuhkan perhatian lebih bagi aparatur penegak hukum agar si pelaku dijerat dan dihukum dengan tindak pidana yang didakwakan.
Perubahan politik hukum pidana dalam pemberantasan korupsi ini memiliki akibat hukum yang tidak kecil karena sejak diberlakukannya Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999, perbuatan suap dalam KUHP telah kehilangan arti dan maknanya sebagai tindak pidana umum melainkan diartikan sebagai tindak pidana khusus. Dengan demikian di dalam UU No. 31 Tahun 1999 perbuatan suap aktif maupun pasif adalah merupakan tindak pidana korupsi. Bahkan perbuatan suap harus diartikan sebagai mata rantai dari suatu tindak pidana korupsi atau dengan kata lain perbuatan suap adalah embrio dari korupsi sehingga suap dan korupsi merupakan kembar.
Kedua jenis perbuatan ini sudah tentu bermuara kepada kerugian negara baik material maupun immaterial (krisis kepercayaan). Apabila kita memiliki persepsi yang sama dalam memandang perbuatan suap sebagai suatu mata rantai dari perbuatan korupsi dan tidak merupakan perbuatan yang berdiri sendiri (pandangan lama yang dianut KUHP) maka perbuatan suap pada abad ini sudah mengalami perubahan makna dan implikasi hukumnya yang berbeda secara mendasar dengan perbuatan suap pada awal kelahirannya (abad ke-18). Perubahan makna dan implikasi perbuatan suap sebagai mata rantai dari korupsi menyebabkan pemberian sanksi terhadap pemberi dan penerima suap tidak lagi
(57)
seharusnya ditafsirkan dalam konteks yang lebih luas yaitu bagaimana memenangkan perang terhadap korupsi saat ini.44
Tindak pidana suap sebagai pintu gerbang dilakukannya tindak pidana korupsi karena dengan penyuapan itu timbul penyalahgunaan kewenangan. Sering terdapat dimasyarakat bahwa penyuapan dengan istilah uang semir, uang pelicin, uang kopi, uang administrasi, uang terima kasih adalah suatu keadaan yang lumrah dilakukan apalagi berurusan dengan birokrasi pemerintah. Pengaruh birokrasi pemerintah dipandang salah satu pendorong penyebab terjadinya tindak pidana suap.45
Perlindungan hukum berupa untuk tidak dapat digugat secara perdata atau dituntut pidana para saski, pelapor, (saksi pengungkap fakta/whistlebower) yang melaporkan pejabat yang menerima suap bahwa telah terjadinya penyalahgunaan kewenanangan bahkan pemberi suap melakukan serangan balik yakni dengan melaporkan atau mengadukan si pelapor kepada pihak yang berwenang dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik. Sistem beban pembuktian terbalik yang dianut dalam undang-undang tindak pidana korupsi, mewajibkan tersangka
Pelaku tindak pidana suap sulit dijerat karena perbuatan tersebut hanya diketahui oleh penyuap dan penerima suap dan pelakunya cukup lihai dan rapi dalam melakukan modus operandinya.
12.24 WIB.
45
M. Hamdan, Tindak Pidana Suap & Money Politics, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2005, hal. 9.
(58)
atau terdakwa (terlapor) untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.46
Secara khusus, UU Nomor 30 Tahun 2002 mengatur mengenai Komisi Pemberantasan Korupsi (selanjutnya disebut KPK). KPK adalah lembaga negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. Salah satu kewajiban dari KPK adalah memberikan perlindungan terhadap Saksi atau Pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi.47
Rehabilitasi dan kompensasi cukup mendapat perhatian dalam UU ini. Namun, rehabilitasi dan kompensasi yang dimaksud dalam UU ini berbeda dari UU lainnya yang juga mengatur mengenai masalah tersebut. Dalam UU ini, rehabilitasi dan kompensasi hanya dapat diajukan oleh orang yang telah dirugikan oleh adanya penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi secara bertentangan dengan Undang- Undang ini atau dengan hukum yang berlaku.
Dengan demikian, pengaturan yang berkenaan dengan perlindungan terhadap Saksi atau Pelapor dalam UU ini hanya terbatas pada 1 (satu) pasal, yaitu perlindungan terhadap Saksi atau Pelapor yang menyampaikan laporan ataupun memberikan keterangan mengenai terjadinya tindak pidana korupsi. Hak-hak
46
Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, Bandung : PT Grafitri, 2006, hal. 38.
47
(1)
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kehadiran LPSK di tengah-tengah upaya pemerintah dalam memberantas korupsi merupakan hal yang baru dalam system hukum di Indonesia. Dahulu Indonesia tidak memiliki payung hukum yang kuat terkait dengan perlindungan saksi, yang ada hanyalah perlindungan terhadap tersangka dan terdakwa yang pengaturannya berada di dalam KUHAP. Korupsi di Indonesia semakin tumbuh dan berkembang sehingga membuat aparat penegak hukum sulit untuk membuktikan tindak pidana korupsi tersebut. Sulitnya pembuktian tindak pidana korupsi itu dikarenakan banyaknya terlibat pihak-pihak dalam melakukan korupsi sehingga menjadikan korupsi sebagai suatu kejahatan yang terorganisir. Untuk membongkar kejahatan korupsi yang sifatnya terorganisir maka dibutuhkan peran LPSK sebagai alternatif penegakan hukum dalam membongkar kejahatan korupsi. Peran LPSK itu dapat dilihat melalui tugas dan kewenangan LPSK yaitu melindungi saksi, pelapor dan saksi pelaku dalam tindak pidana korupsi. Peran dari LPSK ini memberikan suatu keyakinan bahwa kejahatan korupsi yang terorganisir dapat dibongkar berkat kesaksian dari saksi yang sering disebut sebagai “orang dalam” tersebut. Dari pengakuan saksi yang merupakan “orang dalam” dimana ia yang merupakan bagian dari kejahatan korupsi yang terorganisir LPSK dapat menjadi titik tolak untuk selanjutnya mencari pelaku-pelaku korupsi lainnya. LPSK akan memberikan perlindungan maksimal sesuai yang tertulis dalam UU No. 13
(2)
Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam menunjang kinerja dari LPSK, LPSK menjalin kerjasama dengan instansi-instansi pemerintah, khususnya instansi yang terkait dengan pemberantasan korupsi seperti Komisi Pemberantas Korupsi (KPK). Kerjasama ini akan membuat ruang yang sempit bagi para pelaku korupsi untuk mengelak dari perbuatan korupsi yang dilakukannya dan para pelaku dapat dijerat dan dipidana.
2. Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) sebagai sebuah lembaga yang memberikan perlindungan kepada saksi dalam menjalankan tugas dan kewenangannya menemui hambatan-hambatan yang dapat membuat kerja dari LPSK tidak berjalan. Hambatan itu dapat dilihat dari masalah kewenangan dai LPSK yaitu minimnya mandate dan kewenangan dari LPSK, termasuk kewenangan anggota LPSK dan tidak adanya aturan yang mengatur masalah delegasi kewenangan antar pemimpin dan anggota lembaga. Selain itu LPSK juga terbentur dengan masalah “conflict of interest” dengan instansi-instansi terkait karena belum adanya pola kerjasama antar lembaga. Kemudian terkait dengan permasalahan internal yang terjadi di tubuh LPSK ini dapat terjadi karena syarat keanggotaan didasarkan pada keterwakilan (representasi) lembaga lainnya sehingga dikhawatirkan akan mengurangi kemandirian dan keprofesionalan LPSK. Tentu kita tidak ingin hambatan-hambatan semacam ini menghalangi tugas mulia dari LPSK demi terciptanya keadilan dalam penegakan hukum di
(3)
B.Saran
1. Saran penulis terkait peran LPSK dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi yaitu masih belum komprehensifnya peran LPSK dalam melindungi saksi dikarenakan mekanisme perlindungan saksi belum secara rinci diatur baik di dalam UU PSK maupun pada bagian penjelasannya. Dalam UU PSK juga belum mengatur jenis perlindungan apa yang akan diberikan kepada saksi karena ini menyangkut nyawa saksi yang mengalami intimidasi dari pihak yang berkepentingan. Hal ini dapat menghambat jalannya kinerja dari LPSK dalam memberikan perlindungan. Untuk itu pimpinan LPSK harus segera mengajukan revisi terhadap UU No. 13 Tahun 2006 kepada Presiden yang selanjutnya Presiden menyerahkan draf revisi tersebut kepada DPR untuk disetujui.
2. Saran penulis terkait dengan hambatan-hambatan LPSK dalam melindungi saksi dalam tindak pidana korupsi yaitu bahwa untuk menciptakan suatu lembaga yang benar-benar mandiri dan professional maka orang-orang di dalam lembaga tersebut harus juga professional dan tidak terkait dengan kepentingan pihak lain. Ini penting karena untuk menghindari adanya kemungkinan konflik kepentingan yang melibatkan para anggota LPSK dengan pihak atau lembaga tertentu. Selain itu untuk menghindari kesalah pahaman antara LPSK dengan pihak-pihak terkait, LPSK harus segera membuat perjanjian-perjanjian kerjasama antar lembaga.
(4)
DAFTAR PUSTAKA
I.Buku-buku
Ali, Muhammad. 1993. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Modern, Pustaka Amani, Jakarta.
Amin, Mr. S.M, 1981. Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradya Paramita, Jakarta.
Eddyono, Supriyadi Widodo, Betty Yolanda dan Fajrimei A Gofar. 2005. Saksi
dalam Ancaman: Dokumentasi Kasus , ELSAM, Jakarta.
Eddyono, Supriyadi Widodo. 2007. Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban di Indonesia Sebuah Pemetaan Awal. ICW-ICJR-Koalisi Perlindungan Saksi. Jakarta.
Eddyono, Supriyadi Widodo. 2008. Pokok-pokok Pikiran Penyusunan Cetak Biru Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. ICW-ICJR-Koalisi Perlindungan Saksi. Jakarta
Fyfe, Nicholas R. 2006 Perlindungan Saksi Terintimidasi, ELSAM, Jakarta. Hamdan, M. 2005. Tindak Pidana Suap & Money Politics, Pustaka Bangsa Press,
Medan.
Harahap, Krisna. 2006. Pemberantasan Korupsi Jalan Tiada Ujung, PT Grafitri, Bandung.
Hartanti, Evi. 2005. Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.
Kartono, Kartini. 1983 Pathologi Sosial. Edisi Baru. CV. Rajawali Press, Jakarta. Lamintang, P.A.F. 1999. Delik-delik Khusus Kejahatan-kejahatan Jabatan Tertentu
sebagai Tindak Pidana Korupsi, Pionir Jaya, Bandung.
Marpaung, Laden. Tindak Pidana Korupsi Masalah dan Pemecahannya, Sinar Grafika, Jakarta.
Prakoso, Djoko. 1988. Alat Bukti dan Kekuatan Pembuktian di Dalam Proses Pidana, Liberty, Yogyakarta.
(5)
Prodjohamidjojo, Martiman. 2001. Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Kasus Korupsi, Mandar Maju. Bandung.
Sasangka, Hari dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung.
Simanjuntak, B. 1981. Pengantar Kriminologi dan Pantologi social, Tarsino, Bandung.
Sulistiani, Lies dkk. 2009. Sudut Pandang Peran LPSK Dalam Melindungi Saksi dan Korban. Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban, LPSK, Jakarta. Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban & Saksi. Sinar Grafika,
Jakarta.
II. Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo. UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang No. 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan
Bagi Pelapor Tindak Pidana (Whistleblower) dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama (Justice Collaborators) di Dalam Perkara Tindak Pidana Tertentu
Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Tata Cara Pembentukan Jalinan dan Forum Kerjasama Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban dengan Instansi Terkait Yang Berwenang
Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban Nomor 6 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pemberian Perlindungan Saksi Dan Korban
(6)
III. Internet