Tinjauan Yuridis Terhadap Peranan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam Melindungi Anak Korban Kekerasan Seksual Dalam Lingkungan Keluarga

BAB II
PERATURAN HUKUM PERLINDUNGAN ANAK KORBAN
KEKERASAN SEKSUAL

A. Menurut Ketentuan Di Dalam KUHP
Ketertarikan orang dewasa terhadap seks yang menempatkan anak sebagai
objek perangsang dan pelampiasan libodi di dalam KUHP dikategorikan sebagai
tindakan yang terlarang dan diancam dengan hukuman pidana.
Pasal 287 ayat (1) KUHP yang berbunyi:61
“Barang siapa yang bersetubuh dengan peremuan yang bukan istrinya,
sedangkan diketahuinya atau harus patut disangkanya, bahwaa umur
perempuan itu belum cukup 15 tahun kalau tidak nyata berapa umurnya,
bahwa perempuan itu belum masanya untuk kawin, dihukum penjara
selama-lamanya sembilan tahun.”
Berdasarkan pasal tersebut dapat dipahami bahwa hukum pidana berusaha
memberikan perlindungan normatif terhadap anak dari kekerasan seksual dalam
bentuk perkosaan yang berasal dari orang dewasa. Diancam selama 9 tahun
apabila memperkosa anak yang belum cukup dewasa belum cukup umur (di
bawah 15 tahun) atau diperkirakan masih belum cukup umur itu artinya KUHP
menilai persetubuhan antara orang dewasa dengan anak akan berdampak merusak
secara fisik dan psikologi anak. Karena dampaknya yang merusak inilah KUHP

kemudian memberikan penilaian bahwa tindakan ini adalah tindakan jahat dan
harus dihukum.
Secara biologis orang yang belum dewasa atau orang yang masih anak-anak
adalah orang yang belum memiliki kematangan dan kesiapan seksual. Itu artinya
anak belum memiliki kemampuan untuk bereproduksi. Oleh karena itu hubungan

61

R. Soesilo, Op. Cit hal 211.

Universitas Sumatera Utara

seksual orang dewasa terhadap anak, berdasarkan temuan yang ditunjukan oleh
Jeral Diamond tersebut, adalah hubungan seksual

yang hanya mencari

kenikmatan semata, pencarian kenikmatan seksual yang telah melanggar norma
sosial dalam kehidupan bermasyarakat.62
Pasal 287 tersebut merupakan delik aduan, bahwa walaupan dilarang

tindakan itu baru dijatuhi hukuman pidana jika adanya laporan kepada pihak
berwajib seperti yang disebutkan dalam pasal 287 ayat (2) yang berbunyi:
“penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan kecuali jika umurnya perempuan itu
belum 12 tahun atau jika ada salah satu hal yang tersebut pada pasal 291 dan pasal
294”.
Menurut pasal 291 KUHP63, ancaman hukuman diperberat menjadi 12 tahun
jika mengakibatkan luka parah dan 15 tahun, jika mengakibatkan mati. Sedangkan
bunyi pasal 294 adalah sebagai berikut:
“Barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan anaknya yang belum
dewasa, anak tiri atau anak pungutnya, anak peliharaannya, atau dengan
seseorang yang belum dewasa yang dipercayakan padanya untuk
ditanggung, dididik atau dijaga, atau dengan bujang atau sebawahannya
yang belum dewasa, dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun.”
Dalam rumusan Pasal 294 ayat (1) ini terdapat beberapa unsur, yaitu:
1. Unsur Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang berasal dari dalam diri pelaku.64 Unsur
subjektif dalam pasal 294 ayat (1) ini adalah unsur “barang siapa”. Barang siapa

62


Ismantoro Dwi Yuwono,. Op.cit,. Hal 17
R. Soesilo, Op. Cit, Pasal 291 ayat (1) kalau salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 286, 287, 289 dan 290 itu menyebabkan luka berat pada tubuh, dijatuhkan hukuman pejara
selama-salanya dua belas tahun. Dan Pasal 291 ayat (2) kalau salah satu kejahatan yang
diterangkan dalam pasal 285, 286, 287, 279 dan 290 itu menyebabkan orang mati, dijatuhi
hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun.
64
Leden Marpaung, Asas Teori Praktik Hukum Pidana, (Jakarta:Sinar Grafika, 2005) hal 9
63

Universitas Sumatera Utara

dalam hal ini dapat diartikan sebagai orang perorangan tanpa terkecuali dan dalam
hal ini adalah orang terdekat atau orang yang memiliki hubungan dekat.
2. Unsur Objektif
Unsur objektif adalah unsur dari luar diri pelaku yang terdiri atas:65
a. Perbuatan manusia, berupa:
1) Act, yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif;
2) Omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negative, yaitu perbuatan
yang mendiamkan atau membiarkan.

b. Akibat (Result) perbuatan manusia
Akibat tersebut membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan
kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, misalnya nyawa,
badan, kemerdekaan, hak milik, kehormatan, dan sebagainya.
c. Keadaan-keadaan (circumstances)
Pada umumnya, keadaan tersebut dibedakan antara lain:
1) Keadaan pada saat perbuatan dilakukan
2) Keadaan setelah perbuatan dilakukan
d. Sifat dapat dihukum dan sifat melawan hukum
Sifat dapat dihukum berkenaan dengan alasan-alasan yang membebaskan
si pelaku dari hukuman. Adapun sifat melawan hukum adalah apabila
perbuatan itu bertentangan dengan hukum, yakni berkenaan dengan
larangan atau perintah.

65

Ibid., hal 9.

Universitas Sumatera Utara


Berdasarkan pasal 291 dan pasal 294 tersebut, dapatlah dipahami, bahwa
delik aduan dapat berubah menjadi delik murni apabila:66
a) Anak berada dibawah usia 12 tahun
b) Berada diatas usia 12 tahun atau diatas usia 15 tahun dengan syarat jika
hubungan seksual itu menyebabkan kematian
c) Jika hubungan seksual tersebut dilakukan orang tua kepada anak kandungnya
sendiri, anak tirinya, anak angkatnya, anak asuhnya, atau anak yang
dipercayakannya untuk dididik dan dirawat.
Secara

umum larangan perkosaan terhadap kaum perempuan (baik itu

dewasa maupun anak-anak) diatur di dalam pasal 285 KUHP yang berbunyi:
“Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan
yang bukan istrinya bersetubuh dengan dia, dihukum, karena memperkosa,
dengan hukuman penjara selama-lamanya dua belas tahun.”
Karena usia korban perkosaan dalam pasal 285 KUHP itu tidak disebutkan,
maka itu artinya ketika orang dewasa melakukan tindak pemerkosaan terhadap
anak, maka tindakan itu akan masuk dalam kategori delik aduan sebagaimana
dirumuskan di dalam pasal 287 ayat (2) KUHP.

Menurut pasal 289 yang berbunyi: “Barang siapa dengan kekerasan atau
ancaman kekerasan memaksa seseorang melakukan atau membiarkan dilakukan
pada dirinya perbuatan cabul, dihukum karena merusakkan kesopanan dengan
hukuman penjara selama-lamanya 9 (sembilan) tahun”.

66

Ibid,. Hal 18-19.

Universitas Sumatera Utara

Perbuatan cabul adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan
(kesopanan) atau perbuatan yang keji, semuanya itu termasuk dalam lingkungan
nafsu birahi kelamin, misalnya meraba-raba anggota badan atau kemaluan, yang
dilarang dalam Pasal ini bukan saja sengaja memaksa orang untuk melakukan
perbuatan cabul, tetapi juga memaksa orang untuk membiarkan dilakukan pada
dirinya perbuatan cabul.67

B. Menurut Ketentuan Di Luar KUHP
j.


Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
Tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang
Anak adalah mahluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa, sejak dalam

kandungan anak sudah mempunyai hak atas hidup dan merdeka serta mendapat
perlindungan baik dari orang tua, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Anak
adalah generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa maka anak harus
mendapatkan kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang
secara optimal baik fisik, mental maupun sosial.
Pasal 9 yang berbunyi:68
1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakat.
2) Setiap anak berhak mendapatkan perlindungan di satuan pendidikan dari
kejahaatan seksual dan kekerasan yang dilakukan pendidik, tenaga
kependidikan, sesama peserta didik, dan/atau pihak lain.
3) Selain mendapatkan hak anak sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dan

(2), anak penyandang disabilitas berhak memperoleh pendidikan luar biasa dan
anak yang memiliki keunggulan berhak memdapatkan pendidikan khusus.

67

Supra catatan kaki nomor 37
Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
68

Universitas Sumatera Utara

Pasal 15, disebutkan hak perlindungan untuk anak yang berbunyi:69
setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungn dari:
a. Penyalahgunaan dari kegiatan politik;
b. Perlibatan dalam sengketa bersenjata;
c. Pelibatan dalam kerusuhan sosial;
d. Pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan;
e. Pelibatan dalam peperangan; dan
f. Kejahatan seksual.

Di dalam pasal 1 butir 2 di jelasksan bahwa perlindungan anak adalah
segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpatisipasi secara optimal sesuai dengan
harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi.
Mengenai siapa yang berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap
penyelenggaraan perlindungan anak, jawaban siingkatnya adalah oranga tua,
pemerintah dan negara70. Yang dijelaskan lebih rinci dalam pasal 20, yang
berbunyi: “ Negara, pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, keluarga, dan
orang

tua

atau

wali

berkewajiban

dan


bertanggung

jawab

terhadap

penyelenggaraan perlindugan anak.”
Dalam undang-undang Perlindungan Anak diatur tentang perlindungan
khusus yang diatur dalam pasal 59 yang berbunyi:
1) Pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan
bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak.
2) Perlindungan khusus kepada anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan keapada:
a. Anak dalam situasi darurat;
b. Anak yang berhadapan dengan hukum;
c. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
d. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
e. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat akdiktif lainnya;

69
70

Ibid.,
Bambang Waluyo, Op.cit,. Hal 71.

Universitas Sumatera Utara

f. Anak yang menjadi korban pornografi;
g. Anak dengan HIV/AIDS;
h. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
i. Anak korban kekerasan fisik dan/atau psikis;
j. Anak korban kejahatan seksual;
k. Anak korban jaringan terorisme;
l. Anak penyandang disabilitas;
m. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran;
n. Anak dengan perilaku sosial menyipang; dan
o. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabenan terkait dengan
kondisi orang tuanya.”
Perlindungan khusus yang diatur dalam pasal 59, perlindungan khusus bagi
anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual dilaksanakan melalui
pasal 66, yang berbunyi:
“Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 59 ayat (2) huruf d
dilakukan melalui:
a. Penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi
dan/atau seksual;
b. Pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
c. Pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat,
dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi
dan/atau seksual.”
Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban kejahatan seksual
dilakukan melalui upaya, dilaksanakan melalui pasal 69 A yang berbunyi:
a. Edukasi tentang pendidikan, ideologi, dan nilai nasionalisme;
b. Konseling tentang bahaya terorisme;
c. Rehabilitasi sosial; dan
d. Pendampingan sosial.

Universitas Sumatera Utara

Pasal 76 D mengatur tentang larangan, yang berbunyi: “ Setiap orang
dilarang melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksakan anak
melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain.
Pasal 76 E yang berbunyi: “ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan
atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan
serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul.”
Pasal 8171 mengatur tentang sanksi pidana dan denda dan terdapat pula
sanksi tambahan, yang berbunyi:
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
76D dipidana dengan pidana penjara paling singakat 5 (lima) tahun dan paling
lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00
(lima milyar rupiah);
2) Ketentuan pidana sebagimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi setiap
orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau orang lain;
3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan kelurga, pengasuh
anak pendidik, tenaga pendidik, aparar yang menangani perliinidungan anak,
atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara bersama-sama, pidananya
ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1);
4) Selain terhadap pelaku sebagaiman yang dimaksud pada ayat (3), penambahan
1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana karena juga dikenakan kepada pelaku
yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 76D;
5) Dalam hal tindak pidana sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 76D
menimbulkan korban lebih dari 1 (satu) orang, mengakibatkan luka berat,
gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi,
dan/atau korban meninggal dunia, palaku dipidana mati, seumur hidup, atau
pidana penjara paling singkat 10 (sepuluh) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun;
6) Selain dikenal pidan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1), ayat (3), ayat
(4), dan ayat (5), pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pengumuman
identitas pelaku;
71

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak Menjadi Undang-Undang.

Universitas Sumatera Utara

7) Terhadap pelaku sebagaiman dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) dapat
dikenai tindakan berupa kebiri kemia dan pemasangan alat pendeteksi
elekttronik;
8) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diputuskan bersama-sama
dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan tindakan;
9) Pidana tambahan dan tindakan dikecualikan bagi pelaku anak.

Sebagaimana yang dimaksud pada pasal 81 diatas terdapat pidana tambahan
yaitu berupa pengumuman identitas pelaku, kebiri kimia dan pemasangan alat
pendeteksi kimia yang baru diatur dengan Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 Tentang Perubahan Kedua
Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Menjadi Undang-Undang.
Pasal 82 mengatur sebagai berikut:72
1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagamana yang dimaksud
dalam pasal 76E dipidana dengan penjara paling singkat 5 (lima) tahun
dan palinga lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah);
2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
oleh orang tua, wali, orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga,
pengasuh anak, pendidik, tenaga kependidikan, aparat yang menangani
perlindungan anak, atau dilakukan oleh lebih dari satu orang secara
barsama-sama, pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana
sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
3) Selain terhadap pelaku sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2),
pemambahan 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana juga dikenakan kepada
pelaku yang pernah dipidana karena melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E;
4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 76E
menimbulkan korban lebih dari 1(satu) orang, mengakibatkan luka berat,
gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi
reproduksi, dan/atau korban meninggal dunia, dipidana ditambah 1/3
(sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
5) Selain dikenai pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (4), pelaku dapat
dikenai pidana tambahan berupa pengumuman identitas pelaku;
6) Terhadap pelaku sebaagaimana dimaksud pada ayat (2) sampai dengan
ayata (4) dapat dikenai tindakan rehabilitasi dan pemasangan alat
pendeteksi elektronik;
72

ibid

Universitas Sumatera Utara

7) Tindak sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diputuskan barsama-sama
dengan pidana pokok dengan memuat jangka waktu pelaksanaan
tindakan;
8) Pidana tambahan dikecualikan bagi pelaku anak.

Dalam hal pidana tamabahan pengumuman identitas pelaku dan
pemasangan alat pelacak elektronik juga diatur mengenai rehabilitasi yang diatur
didalam pasal 82 ayat (6), yang berbeda dengan pasal 81 yang mengatur tentang
kebiri kimia yang merupakan pidana tambahan yang baru diatur didalam undangundang perlindungan anak.
Tabel Perbandingan Undang-Undang perlindungan anak
No

Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002

1.

Pasal
1
angka
15
perlindungan khusus adalah
perlindungan
yang
diberikan pada anak dalam
situasi darurat, anak yang
berhadapan negan hukum,
anak
dari
kelompok
minoritas dn terisolasi, anak
yang tereksploitasi secara
ekonomi dan/atau seksual,
anak yang diperdagangkan,
anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkoba,
alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya (napza),
anak korban penculikan,
penjualan,
perdagangan,
anak korban kekerasan baik
fisikdan/atau mental, anak
yang menyandang cacat,
dan anak korban perlakuan
salah dan penelantaran

Undang-Undang
Nomor 35 Tahun
2014

Undang-Undang
Nomor 17 Tahun
2016

Pasal 1 angka 16, Pasal 81
Kekerasan
adalah 1) Setiap orang yang
melanggar
setiap
perbuatan
ketentuan
terhadap anak yang
sebagaimana
berakibat timbulnya
dimaksud dalam
kesengsaraan
atau
pasal
76D
penderitaan secara
dipidana dengan
fisik, psikis, seksual,
pidana
penjara
dan/atau
paling
singakat
5
penelantaran,
(lima) tahun dan
termasuk ancaman
paling lama 15
untuk
melakukan
(lima belas) tahun
perbuatan,
dan denda paling
pemaksaan,
atau
banyak
Rp.
perampasan
5.000.000.000,00
kemerdekaan secara
(lima
milyar
melawan hhukum.
rupiah);
2) Ketentuan pidana
sebagimana
dimaksud
pada
ayat (1) berlaku
pula bagi setiap
orang
yang
dengan
sengaja
melakukan
tipu

Universitas Sumatera Utara

muslihat,
serangkaian
kebohongan, atau
membujuk anak
melakukan
persetubuhan
dengannya atau
orang lain;
3) Dalam hal tindak
pidana
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) dilakukan
oleh orang tua,
wali, orang-orang
yang mempunyai
hubungan kelurga,
pengasuh
anak
pendidik, tenaga
pendidik, aparar
yang menangani
perliinidungan
anak,
atau
dilakukan
oleh
lebih dari satu
orang
secara
bersama-sama,
pidananya
ditambah
1/3
(sepertiga)
dari
ancaman pidana
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1);
4) Selain
terhadap
pelaku
sebagaiman yang
dimaksud
pada
ayat
(3),
penambahan 1/3
(sepertiga)
dari
ancaman pidana
karena
juga
dikenakan kepada
pelaku
yang
pernah dipidana
karena melakukan
tindak
pidana

Universitas Sumatera Utara

sebagaimana
dimaksud dalam
pasal 76D;
5) Dalam hal tindak
pidana
sebagaimana yang
dimaksud dalam
pasal
76D
menimbulkan
korban lebih dari
1 (satu) orang,
mengakibatkan
luka
berat,
gangguan
jiwa,
penyakit menular,
terganggu
atau
hilangnya fungsi
reproduksi,
dan/atau korban
meninggal dunia,
palaku dipidana
mati,
seumur
hidup, atau pidana
penjara
paling
singkat
10
(sepuluh) tahun
dan paling lama
20 (dua puluh)
tahun;
6) Selain
dikenal
pidan
sebagaimana yang
dimaksud
pada
ayat (1), ayat (3),
ayat (4), dan ayat
(5), pelaku dapat
dikenai
pidana
tambahan berupa
pengumuman
identitas pelaku;
7) Terhadap pelaku
sebagaiman
dimaksud
pada
ayat (4) dan ayat
(5) dapat dikenai
tindakan berupa
kebiri kemia dan
pemasangan alat

Universitas Sumatera Utara

pendeteksi
elekttronik;
8) Tindakan
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(7)
diputuskan
bersama-sama
dengan
pidana
pokok
dengan
memuat
jangka
waktu
pelaksanaan
tindakan;
9) Pidana tambahan
dan
tindakan
dikecualikan bagi
pelaku anak
2.

Pasal 59 pemerintah dan
lembaga negara lainnya
berkewajiban
dan
bertanggungjawab
untuk
memberikan perlindungan
khusus kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang
berhadapan dengan hukum,
anak
dari
kelompok
minoritas dan terisolasi,
anak tereksploitasi secara
ekonomi dan/atau seksual,
anak yang diperdagangkan,
anak yang menjadi korban
penyalahgunaan narkotika,
alkohol, psikotropika, dan
zat adiktif lainnya (napza),
anak korban penculikan,
penjualan dan perdagangan
anak korban kekerasan baik
ffisik dan/atau mental, anak
yang menyandang cacat,
anak korban perlakuan
salah dan penelantaran

Pasal 15, setiap anak Pasal 81 A
barhak
untuk 1) Tindakan
sebagaimana
memperoleh
dimaksud
dala
perlindungan dari:
a. Penyalahgunaan
pasal 81 ayat (7)
dalam
kegiatan
dikenakan untuk
politik;
jangka
waktu
b. Pelibatan dalam
paling lama 2
sengketa
(dua) tahun dan
bersenjata;
dilaksanakan
c. Pelibatan dalam
setelah terpidana
kerusuhan sosial;
menjalani pidana
d. Pelibatan dalam
pokok;
peristiwa
yang 2) Pelaksanaan
mengandung
tindakan
unsur kekerasan;
sebagaimana
e. Pelibatan dalam
dimaksud
pada
peperanga;dan
ayat (1) di bawah
f. Kejahatan seksual.
pengawasan
secara
berkala
oleh kementerian
yang
menyelenggarakan
urusan pemerintah
di bidang hukum,
sosial,
dan
kesehatan;
3) Pelaksanaan kebiri
kimia
disertai
dengan

Universitas Sumatera Utara

rehabilitasi;
4) Ketentuan lebih
lanjut mengenai
tata
cara
pelaksanaan
tindakan
dan
rehabilitasi diatur
dengan Peraturan
Pemerintah.
3.

Pasal 66,
Pasal 54
Pasa 82
1) perlindungan
khusus 1) Anak didalam dan 1) Setiap orang yang
bagi
anak
yang
dilingkungan
melanggar
dieksploitasi
secara
satuan pendidikan
ketentuan
ekonomi
dan/atau
wajib
sebagamana yang
seksual
sebagaimana
mendapatakan
dimaksud dalam
dimaksud dalam pasal
perllindungan dari
pasal
76E
59
merupakan
tindak kekerasan
dipidana dengan
kewajiban
dan
fisik,
psikis,
penjara
paling
tanggungjawab
kejahatan seksual,
singkat 5 (lima)
pemerintah
dan
dan
kejahatan
tahun dan palinga
masyarakat.
lainnya
yang
lama 15 (lima
2) Perlindungan
khusus
dilakukan
oleh
belas) tahun dan
bagi
anak
yang
pendidik, tenaga
denda
paling
dieksploitasi
kependidikan,
banyak
sebagaimana dimaksud
sesama
peserta
Rp5.000.000.000,
dalam
ayat
(1)
didik,
dan/atau
00 (lima milyar
dilakukan melalui:
pihak lain.
rupiah);
a. Penyebarluasan
2) Perlindungan
2) Dalam hal tindak
dan/atau sosialisasi
sebagaimana
pidana
ketentuan peraturan
dimaksud
pada
sebagaimana
perundangayat (1) dilakukan
dimaksud
pada
undangan
yang
oleh
pendidik,
ayat (1) dilakukan
berkaitan
dengan
tenaga
oleh orang tua,
perlindungan anak
kependidikan,
wali, orang-orang
yang dieksploitasi
aparat peerintah,
yang mempunyai
secara
ekonomi
dan/atau
hubungan
dan/atau seksual;
masyarakat.
keluarga,
b. Pemantauan,
pengasuh anak,
pelaporan,
dan
pendidik, tenaga
pemberian
kependidikan,
sanksi;dan
aparat
yang
c. Pelibatan berbagai
menangani
instansi pemerintah,
perlindungan
perusahaan, serikat
anak,
atau
pekerja,
lembaga
dilakukan
oleh
swadaya masyarakat
lebih dari satu
dalam penghapusan
orang
secara
dan
eksploitasi
barsama-sama,

Universitas Sumatera Utara

terhadap
anak
secara
ekonomi
dan/atau seksual.
3) Setiap orang dilarang
menempatkan,
membiarkan,
melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut
serta
melakukan
eksploitasi
terhadap
anak
sebagaimana
dimaksud dalam ayat
(1).

pidananya
ditambah
1/3
(sepertiga)
dari
ancaman pidana
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1);
3) Selain terhadap
pelaku
sebagaimana yang
dimaksud
pada
ayat
(2),
pemambahan 1/3
(sepertiga)
dari
ancaman pidana
juga
dikenakan
kepada
pelaku
yang
pernah
dipidana karena
melakukan tindak
pidana
sebagaimana
dimaksud dalam
pasal 76E;
4) Dalam hal tindak
pidana
sebagaimana
dimaksud dalam
pasal
76E
menimbulkan
korban lebih dari
1(satu)
orang,
mengakibatkan
luka
berat,
gangguan
jiwa,
penyakit menular,
terganggu
atau
hilangnya fungsi
reproduksi,
dan/atau korban
meninggal dunia,
dipidana
ditambah
1/3
(sepertiga)
dari
ancaman pidana
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1);

Universitas Sumatera Utara

5) Selain
dikenai
pidana
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (4), pelaku
dapat
dikenai
pidana tambahan
berupa
pengumuman
identitas pelaku;
6) Terhadap pelaku
sebaagaimana
dimaksud
pada
ayat (2) sampai
dengan ayata (4)
dapat
dikenai
tindakan
rehabilitasi
dan
pemasangan alat
pendeteksi
elektronik;
7) Tindak
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat
(6)
diputuskan
barsama-sama
dengan
pidana
pokok
dengan
memuat
jangka
waktu
pelaksanaan
tindakan;
8) Pidana tambahan
dikecualikan bagi
pelaku anak.
4.

Pasal 69
Pasal 59
Pasal 82 A
1) Perlindungan
khusus 1) Pemerintah,
1) Tidakan
bagi
anak
korban
pemerintah
sebagaimana
kekerassan sebagaimana
daerah,dan
dimaksudkan
dimaksud dalam Pasal
lembaga negara
dalam Pasal 82
59 meliputi kekerasan
lainnya
ayat
(6)
fisik, psikis, dan seksual
berkewajiban dan
dilaksanakan
dilakukan
melalui
bertanggungjawab
selama dan/atau
upaya:
untuk
setelah terpidana
a. Menyebarluaskan
memberikan
menjalani pidana
dan
sosialisasi
perlindungan
pokok;
ketentuan peraturan
khusus
kepada 2) Pelaksanaan

Universitas Sumatera Utara

perundang-undangan
anak.
tindakan
yang
melindungi 2) Perlindungan
sebagaimana
anak korban tindak
khusus pada anak
dimaksud pada
kekerasan; dan
sebagaiman
ayat (1) di bawah
b. Pemantauan,
dimaksud
pada
pengawasan
pelaporan,
dan
ayat (1) diberikan
secara
berkala
pemberian sanksi.
kepada:
oleh kementerian
2) Setiap orang dilarang
a. Anak dalam
yang
menempatkan,
situasi darurat;
menyelenggaraka
membiarkan,
b. Anak
yang
n
urusan
melakukan, menyuruh
berhadapan
pemerintah
di
melakuan, atau turut
dengan
bidang hukum,
serta
melakukan
hukum;
sosial,
dan
kekerasan sebagaimana
c. Anak
dari
kesehatan;
dimaksud dalam ayat
kelompok
3) Ketentuan lebih
(1).
minoritas dan
lanjut mengenai
terisolasi;
tata
cara
d. Anak
yang
pelaksanaan
dieksploitasi
tindakan diatur
secara
dengan Peraturan
ekonomi
Pemerintah.
dan/atau
seksual;
e. Anak
yang
menjadi
korban
penyalahguna
n narkotika,
alkohol,
psikotropika,
dan zat adiktif
lainnya;
f. Anak
yang
menjadi
korban
fornografi;
g. Anak dengan
HIV/AIDS;
h. Anak korban
penculikan,
penjualan,
dan/atau
perdagagan;
i. Anak korban
kekerasan
fisik dan/atau
psikis;
j. Anak korban

Universitas Sumatera Utara

k.

l.

m.

n.

o.

5.

Pasal 81
1) Setiap orang dengan
sajanga
melakukan
kekerasan atau ancaman
kekerasan
memaksa
anak
melakukan
persetubuhan
dengannya atau dengan
orang lain, dipidana
dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima
belas)
dan
paling
singkat 3 (tiga) tahun
dan
denda
paling
banyak
Rp.
3000.000.000,00 (tiga
ratus juta rupiah) dan
paling
sedikit
Rp.60.000.000,00
(enam
puluh
juta
rupiah).
2) Ketentuan
pidana
sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) berlaku

kejahatan
seksual;
Anak korban
jaringan
terorisme;
Anak
penyandang
disabilitas;
Anak korban
perlakuan
salah
dan
penelantaran;
Anak dengan
perilaku sosial
menyimpang;
dan
Anak
yang
menjadi
korban
stigmatisasi
dari pelabenan
terkait dengan
kondisi orang
tuanya.

Pasal 59A,
Perlindungan khusus
bagi
anak
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 59 ayat (1)
dilakukan
melalui
upaya:
a. Penangan
yang
cepat, termasuk
pengobatan
dan/atau
rehabilitasi secara
fisik, psikis, dan
sosial
serta
pencengahan
penyakit
dan
gangguan
kesehatan lainnya;
b. Pendampingan
psikologis pada
saat pengobatan
sampai
pemulihan;

Universitas Sumatera Utara

pula bagi setiap orang c. Pemberian
yang dengan sengaja
bantuan
sosial
melakukan
tipu
bagi anak yang
muslihat, serangkaian
berasal
dari
kebohongan,
atau
keluarga
tidak
membujuk
anak
mampu; dan
melakukan
d. Pemberian
persetubuhan
perlindungan dan
dengannya atau dengan
pendampingan
orang lain.
pada setiap proses
peradilan.
6.

Pasal 82, setiap orang yang
dengan sengaja melakukan
kekerasan atau ancaman
kekerasan,
memaksa,
melakukan tipu muslihat,
serangkaian kebohongan,
atau membujuk anak untuk
melakukan
atau
membiarkan
dilakukan
perbuatan cabul, dipidana
dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas0
tahun dan paling singkat 3
(tiga) tahun dan denda
paling
banyak
Rp.300.000.000,00
(tiga
ratus juta rupiah) dan paling
sedikit Rp.60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah).

Pasal 66,
Perlindungan khusus
bagi
anak
yang
dieksploitasi secara
ekonomi
dan/atau
seksual sebagaiman
dimaksudkan dalam
Pasal 59 ayat (2)
huruf d dilakukan
melalui:
a. Penyebarluasan
dan/atau
sosialisasi
ketentuan
peraturan
perundangundangan
yang
berkaitan dengan
perlindungan anak
yang dieksploitasi
secara ekonomi
dan/atau seksual;
b. Pemantauan,
pelaporan,
dan
pemmberian
sanksi; dan
c. Pelibatan berbagai
perusahaan,
serikat apekerja,
lembaga swadaya
masyarakat, dan
masyarakat dalam
penghapusan
eksploitasi
terhadap
anak
secara ekonomi
dan/atau seksual.

Universitas Sumatera Utara

8.

9.

Pasal 88, setiap orang yang
mengeploitasi
ekonomi
dan/atau
seksual
anak
dengan maksud untuk
menuntungkan diri sendiri
atau orang lain, dipidana
dengan pidana penjara
paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan/atau denda paling
banyak Rp.200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).

Pasal 69 A
Perlindungan khusus
bagi anak korban
kejahatan
seksual
sebagaimana
dimaksud
dalam
Pasal 59 ayat (2)
huruf j dilakukan
melalui upaya:
a. Edukasi tentang
pendidikan,
ideologi, dan nilai
nasionalisme;
b. Konseling tentang
bahaya terorisme;
c. Rehabilitasi
sosial; dan
d. Pendampingan
sosial.
Pasal 76 D
Setiap orang
dilarang melakukan
kekerasan
atau
ancaman kekerasan,
memaksakan anak
melakukan
persetubuhan
dengannya
atau
dengan orang lain.

Pasal 76 E
Setiap orang
dilarang melakukan
kekerasan
atau
ancaman kekerasan,
memaksa,
melakukan
tipu
muslihat, melakukan
serangkaian
kebohongan,
atau
membujuk
anak
untuk
melakukan
atau
membiarkan
dilakukan perbuatan
cabul.”

Universitas Sumatera Utara

10.

Pasal 81
1) Setiap orang yang
melanggar
ketentuan
sebagaimana
dimaksud dalam
pasal
76D
dipidana dengan
pidana
penjara
paling singakat 5
(lima) tahun dan
paling lama 15
(lima belas) tahun
dan denda paling
banyak
Rp.
5.000.000.000,00
(lima
milyar
rupiah);
2) Ketentuan pidana
sebagimana
dimaksud
pada
ayat (1) berlaku
pula bagi setiap
orang
yang
dengan
sengaja
melakukan tipu
muslihat,
serangkaian
kebohongan, atau
membujuk anak
melakukan
persetubuhan
dengannya atau
orang lain;
3) Dalam hal tindak
pidana
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1) dilakukan
oleh orang tua,
wali, orang-orang
yang mempunyai
hubungan
kelurga, pengasuh
anak
pendidik,
tenaga pendidik,
aparar
yang
menangani

Universitas Sumatera Utara

perliinidungan
anak,
atau
dilakukan
oleh
lebih dari satu
orang
secara
bersama-sama,
pidananya
ditambah
1/3
(sepertiga)
dari
ancaman pidana
sebagaimana
dimaksud
pada
ayat (1);
11.

Pasal 82
1) Setiap orang yang
melanggar
ketentuan
sebagamana yang
dimaksud dalam
pasal
76E
dipidana dengan
penjara
paling
singkat 5 (lima)
tahun dan palinga
lama 15 (lima
belas) tahun dan
denda
paling
banyak
Rp5.000.000.000,
00 (lima milyar
rupiah);
2) Dalam hal tindak
pidana
sebagaimana
dimaksud pada
ayat
(1)
dilakukan
oleh
orang tua, wali,
orang-orang yang
mempunyai
hubungan
keluarga,
pengasuh anak,
pendidik, tenaga
kependidikan,
aparat
yang
menangani

Universitas Sumatera Utara

perlindungan
anak,
atau
dilakukan
oleh
lebih dari satu
orang
secara
barsama-sama,
pidananya
ditambah
1/3
(sepertiga) dari
ancaman pidana
sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1).

k.

Menurut Undang-Undang 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan
Dalam Rumah Tangga

Undang-undang ini dibuat sebagai upaya mencegah, menanggulangi dan
mengurangi tindak kekerasan ataupun kejahatan yang semakin marak di
lingkungan keluarga. Hal ini sejalan dengan salah satu tujuan membentuk rumah
tangga/keluarga adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia. Apabila
rumah tangga bahagia, maka lingkugan masyarakat dan bangasa tentu bahagia
serta negara menjadi aman dan damai.73
Pasal 4 menyatakan tujuan penghapusan kekerasan yaitu:74
a) Mencengah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b) Melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c) Menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga; dan
d) Memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera
Larangan untuk melakukan kekerasan dalam rumah tangga diatur dalam
pasal 5 yang menyatakan bahwa:
73
74

Bambang Waluyo, Op. Cit,Hal 86-87.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah

Tangga.

Universitas Sumatera Utara

Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang dalam lingkup rumah tangganya, dengan cara:
a. Kekerasan fisik;
b. Kekerasan fsikis;
c. Kekerasan seksual; atau
d. Penelantaran rumah tangga.
Pasal 8 menyatakan bahwa: “ Kekerasan seksual sebagaimana yang
dimaksud pada pasal 5 huruf c meliputi:
a. Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap
dalam linigkup rumah tangga tersebut;
b. Pemaksaan hubungan seksual terhadap salah satu seorang dalam lingkup
rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan
tertentu.
Secara khusus, korban kekerasan dalam rumah tangga mempunyai hak-hak
yang diimplementasikan dalam pasal 10, yaitu:
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat,
lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat
proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan
e. Pelayanan bimbingan rohani.
Kepada masyarakat, undang-undang tersebut menegaskan suatu kewajiban
masyarat yang terdapat pada pasal 15, yaitu:
“Setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya
kekerasan dalam ruamah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai
dengan batas kemampuannya untuk:
a. Mencengah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan pada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat;
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapapan perlindungan.”

Universitas Sumatera Utara

Hal penting lainnya yang perlu dijabarkan berkaitan hak korban, yakni
adanya perlindungan sementara, pelayanan kesehatan, pekerja sosial, bimbingan
rohani dan sebagainya.
1. Perlindungan sementara adalah perlindungan langsung yang diberikan oleh
kepolisian dan/atau lembaga sosial, atau pihak lain, sebelum dikeluarkannya
penetapan perintah perlindungan dari pengadilan. Perlindungan ini wajib
diberikan kepolisian kepada korban yang diatur dalam Pasal 16, yaitu:
1) Dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga,
kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban;
2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
palinga lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani;
3) Dalam waktu 1x24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak
pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian
wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.
2. Pelayanan kesehatan, dalam Pasal 21 mengatur ketika korban memperoleh
perlindungan dalam bentuk pelayanan kesehatan, maka tenaga kesehatan
diharuskan untuk:
a. Memeriksa kesehatan korban sesuai dengan standar profesinya;
b. Membuat laporan tertulis hasil pemeriksaan terhadap korban dan visum et
repertum atas permintaan penyidik kepolisian atau surat keterangan medis
yang memiliki kekuatan hukum yang sama sebagai alat bukti.75
3. Pelayanan pekerja sosial, seperti yang dimaksud pada Pasal 22 dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam memberikan pelayanan, pekerja sosial harus:
a. Melakukan konseling untuk menguatkan dan memberikan rasa aman bagi
korban;

75

Ibid,. Hal 90

Universitas Sumatera Utara

b. Memberikan informasi mengenai hak-hak korban untuk mendapatkan
perlindungan dari kepolisian dan penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan;
c. Mengantarkan korban kerumah aman atau tempat tinggal alternatif; dan
d. Melakukan koordinasi yang terpadu dalam memberikan layanan kepada
korban dengan pihak kepolisian, dinas sosial, lembaga sosial yang
dibutuhkan korban.
2) Pelayanan pekerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di
rumah aman milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat.

4. Pelayanan bimbingan rohani,
melalui Pasal 24, dalam memberikan pelayanan, pembimbing rohani harus
memberikan penjelasan mengenai hak, kewajiban, dan memberikan penguatan
iman dan taqwa kepada korban.
Pasal 27, menyatakan: “ Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan
dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh, atau anak yang bersangkutan
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”
Pasal 29 menjelaskan tentang permohonan untuk memperoleh perlindungan
dapat diajukan oleh:
a.
b.
c.
d.
e.

Korban atau keluarga korban;
Teman korban;
Kepolisian;
Relawan pendampinga; atau
Pembimbing rohani.

Ketentuan pidana mengenai kekerasan seksual dalam lingkup rumah
tanggan diatur dalam beberapa pasal yaitu:
Pasal 46 yang menyatakan bahwa:
“ Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana
dimaksud didalam pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara palinga

Universitas Sumatera Utara

lama 12 (dua belas) tahun atau denda paling banyak Rp 36.000.000,00 (tiga
puluh eman juta rupiah).”
Pasal 47, yang berbunyi:
“ Setiap orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya
melakkukan hubungan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 b
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan pidana
penjara paling lama 15 (lima balas) tahun atau denda paling sedikit
Rp.12.000. 000,00 (dua belas juta rupiah) atau denda paling banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).”
Pasal 48, menyatakan bahwa:
“ Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 dan pasal 47
mengakibatkan koraban dapat luka yang tidak memberi harapan akan
sembuh sama sekali, megalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurang-kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu)
tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau
mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana
penjara paling singakat 5 (lima) tahun dan pidana paling lama 20 (dua
puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 25.000.000,00 (dua puluh lima
juta rupiah) dan denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).”
Seperti yang diketehui bahwa korban berasal dari golongan dan strata yang
heterogen pendidikannya, status sosial, suku, agama. 76 pelakunya berasal dari
lingkup keluarga/rumah tangga sendiri dimana seharusnya anak menperoleh rasa
aman, tempat anak mendapat perlindungan, pendidikan.
l.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2014
Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang
Perlindungan Saksi Dan Korban
Didalam bagian menimbang undang-undang perlindungan saksi dan korban

menyatakan bahwa jaminan perlindungan terhadap saksi dan korban memiliki
perana yang penting dalam proses peradilan pidana sehingga dengan keterangan

76

Ibid,. Hal 87

Universitas Sumatera Utara

saksi dan korban yang diberikan secara bebas dari rasa takut dan ancaman dapat
mengungkap suatu tindak pidana.
Dalam kasus kekerasan seksual sering kali pelakunya adalah orang yang
dekat dengan kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, pelakunya telah dikenal
sebelumnya oleh korban, bahkan mungkin sangat dekat sekali atau bisa jadi
pelaku adalah salah satu dari anggota keluarganya juga. Menurut Rita Serena
Kalibonso, jika pelaku memiliki hubungan keluarga dengan korban, apalagi ia
adalah ayah korban sendiri, maka makin sulit untuk menjangkau korban apalagi
memprosesnya secara hukum. Orang tua canderung menjaga korban untuk tidak
menjalani proses hukum, ibu korban juga sulit diharapkan untuk membantu
karena takut kepada suami dan keluarganya. Padahal dalam proses hukum
seseorang anak yang berusia kurang dari 12 (dua belas) tahun harus didampingi
orang tua atau wali.77
Situasi diperparah dengan ideologi jaga praja, atau menjaga ketat kerahasian
keluarga khususnya dalam budaya jawa “ membuka aib dalam keluarga berarti
membuka aib diri sendiri”, sehingga membuat situasi anak korban kekerasan
semakin memperihatiankan karena tidak mendapatakan perlindungan atas haknya.
Di dalam Pasal 5, pasal 6, pasal 7 dan pasal 7A menyatakan tentang hak
saksi dan korban, yaitu:
pasal 5 menyatakan:
1) Saksi dan korban berhak atas:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta
bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang
akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilh dan menuntut dan menentukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
77

Mein Rukmini, op.cit. hal 1-2.

Universitas Sumatera Utara

c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat penerjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mendapatkan informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Dirahasiakan identitasnya;
j. Mendapat identitas baru;
k. Mendapat tempat kediaman sementara;
l. Mendapat tempat kediaman baru;
m. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
n. Mendapat nasehat hukum;
o. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir, dan/atau
p. Mendapat pendamping
2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau
korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK;
3) kepada saksi dan/atau korban, hak yang diberikan dalam kasus tertentu
sebagaimana dimasud pada ayat (2), dapat diberikan kepada saksi pelaku,
pelapor, dan ahli, termasuk pula orang yang dapat memberikan keterangan
yang berhubungan dengan suatu perkara pidana meskipun tidak ia sendiri, dan
tidak ia alami sendiri, sepanjang keterangan orang itu berhubungan dengan
tindak pidana.

Pasal 6 menyatakan:
1) Korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat, korban tindak pidana
terorisme, korban tindak pidana perdangan orang, korban tindak pidana
penyiksaan, korban tindak pidana kekerasan seksual, dan korban penganiayaan
berat, selain berhak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5, juga berhak
mendapatkan:
a. Bantuan medis; dan
b. Bantuan rehabilitasi psikososial dan psikologis.
2) Bantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan keputusan
LPSK.
Pasal 7 menyatakan bahwa:
1) Setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dan korban tindak
pidana terorisme selain mendapatkan hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 5
dan pasal 6, juga berhak atas kompensasi;
2) Kompensasi bagi korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat diajukan
oleh korban, keluarga, atau kuasanya kepada pengadilan Hak Asasi Manusia
melalui LPSK;
3) Pelaksanaan pembayaran kompensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diberikan oleh LPSK berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap;

Universitas Sumatera Utara

4) Pemberian kompensasi bagi korban tindak pidana terorisme dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan undang-undang yang mengatur mengenai
pemberantasan tindak pidana terorisme.

Pasal 7A menyakan bahwa:
1) Korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi berupa:
a. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b. Ganti kerugaian yang ditimbulkan akibat penderitaan yang berkaitan
langsung sebagai akibat tindak pidana; dan/atau
c. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis.
2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetpkan dengan
keputusan LPSK;
3) Pengajan permohonan restitusi dapat dilakukan sebelum atau setalah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui LPSK;
4) Dalam hal permohonan restitusi diajukan sebelum putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekeuatan hukum tetap, LPSK dapat mengajukan restitusi
kepada penuntut umum untuk dimuat dalam tuntutannya;
5) Dalam hal permohonan restitusi diajukan setelah putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetep, LPSK dapat mengajukan penetapan;
6) Dalam hal korban tindak pidana meninggal dunia, restitusi diberikan kepada
keluarga korban yang merupakan ahli waris korban.

Tata cara memperoleh perlindungan diataur dalam Pasal 29 yang
menyatakan bahwa:
1) Tata cara memperoleh perlindungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5,
yaitu sebagai berikut:
a. Saksi dan/atau korban yang bersangkutan, baik atas inisiatif sendiri maupun
atas permintaan pejabat yang berwenang, mengajukan permohonan secara
tertulis kepada LPSK;
b. LPSK segera melakukan pemeriksan terhadap permohonan sebagaimana
dimaksud pada huruf a; dan
c. Keputusan LPSK diberikan tertulis paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
permohonan perlindungan diajukan.
2) Dalam hal tertentu LPSK dapat memberikan perlindungan tanpa diajukan
permohonan.

Ketentuan pidana mengenai tindak pidana kekerasan seksual diatur dalam
Pasal 37 dan Pasal 38, yaitu:
Pasal 37 menyatakan bahwa:

Universitas Sumatera Utara

1) Setiap orang yang memaksaan kehendaknya dengan menggunakan kekerasan
atau cara tertentu, yang menyebabkan saksi dan/atau korban tidak memperoleh
perlindungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a, hiruf i,
huruf j, huruf k, huruf l sehigga saksi dan/atau korban tidak memberikan
kesaksiannya pada setiap tahap pemeriksaan, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp.200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah);
2) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sehingga menimbulkan luka berat pada saksi dan/atau korban,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidan denda
paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah);
3) Setiap orang yang melakukan pemaksaan kehendak sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sehingga mengakibatkan matinya saksi dan/atau korban, dipidana
dengan pidana penjara paling lama seumur hidup dan pidana denda paling
banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 38 menyatakan bahwa:
“ Setiap orang yang menghalang-halangi saksi dan/atau korba secara melawan
hukum sehingga saksi dan/atau korban tidak memperoleh perlindungan atau
bantuan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 ayat (1) huruf a, huruf i, huruf
k, huruf l, huruf p, pasal 6 ayat (1), pasal 7 ayat (1) atau pasal 7A ayat (1),
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidan denda
paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
m.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 2006 Tentang
Penyelenggaraan Dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam
Rumah Tangga
Dalam bagian menimbang didalam peraturan pemerintah ini disebutkan

bahwa untuk melaksanakan ketentuan pasal 43 undang-undang penghapusan
kekerasan dalam rumah tangga perlu menetapkan peraturan pemerintah tentang
penyelenggara dan kerja sama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga.
Didalam Bab II peraturan pemerintah ini mengatur tentang penyelenggaraan
pemulihan yang diatur dalam beberapa pasal yaitu:
Pasal 2 menyatakan bahwa:
1) Penyelanggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi dan
pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-

Universitas Sumatera Utara

masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemilihan
korban;
2) Fasilitas sebagaiman dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. Ruang pelayanan khusus di jajaran kepolisian;
b. Tenaga yang ahli dan profesional;
c. Pusat pelayanan dan rumah aman; dan
d. Sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban.
3) Menteri dapat melakukan koordinasi dengan instansi terkait dalam
melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).
Pasal 3 menyatakn bahwa:
1) Menteri menetapkan pedoman pemulihan korban kekerasan dalam rumah
tangga yang sensitif gender;
2) Pedoman pemulihan korban sebagaiman dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Pasal 4 menyatakan bahwa:
Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi:
a. Pelayanan kesehatan;
b. Pendampingan korban;
c. Konseling;
d. Bimbingan rohani; dan
e. Resosialisasi.

Pasal 5 menyatakan bahwa:
1) Pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga keseshatan di sarana milik
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, termasuk swasta dengan cara
memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban;
2) Pendampingan korban dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan
pendamping, dan/atau pembimbing rohani dengan cara memberikan konseling,
terapi, bimbingan rohani dan advokasi guna penguatan dan peulihan diri
korban;
3) Pemberi konseling dilakukan oleh pekerja sosial, relawan pendamping, dengan
mendengarkan secara empati dan menggali permasalahan untuk penguatan
psikologi korban;
4) Bimbingan rohani dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara memberikan
penjelasan mengenai hak dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa
sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya;
5) Resosialisasi korban dilaksanakan oleh instansi dan lembaga sosial agar korban
dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat.

Universitas Sumatera Utara