Bentuk-bentuk Kerukunan Sosial dalam Novel KEI karya Erni Aladjai

LAMPIRAN
Sinopsis
Novel KEI bercerita tentang warga-warga masyarakat yang saling membunuhan,
berkelahian, menindas, dan membuat kerusuhan yang semuanya itu disebabkan karena adanya
perselihan antar masyarakatnya. Kerusuhan ini sudah banyak menelan korban jiwa. Sebagian
warga juga tidak lagi memiliki tempat tinggal karena rumah-rumah warga disekitar kerusuhan
tersebut habis terbakar. Pemicu

dari konflik tersebut adalah SARA (Suku, Agama, Ras,

Antargolongan). Konflik ini bisa dikatakan seperti perang antar saudara karena warga yang
bertikai masih tergolong sama, hidup satu rumpun, satu leluhur yang sama, dan satu adat
kebiasaan yang sama pula. Penyebaran riak-riak kerusuhan ini begitu cepat, hingga menerobos
pelosok-pelosok desa yang paling terpencil di bagian Maluku tenggara, yaitu Pulau Kei. Pulau
kei merupakan sebuah pulau yang diapit antara Laut Banda dan Laut Arafuru.
Diantara semua daerah-daerah yang turut merasakan kerusuhan, daerah Pulau Keilah
yang paling cepat bangkit dari keterpurukan perang saudara tersebut. Kehidupan masyarakat di
Pulau Kei sangat tradisional. Masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat yang diajarkan
oleh para leluhur mereka. Hukum adat di kei, seperti adat Ken Sa Faak, adat Vehe Belan, adat
Larwul Ngabal, adat Pela dan sebaginya itu selalu mengajarkan tentang persaudaraan, keluarga,
dan kasih sayang. Leluhur orang-orang Kei juga mewariskan prinsip kebersamaan, kepedulian,

dan kesetaraan sosial bagi semua warga Kei. Prinsip satu leluhur inilah yang menjadi dasar dari
nilai-nilai leluhur tersebut yang terus menerus mereka jaga.
Dulunya, dalam kehidupan masyarakat Kei hukum adat adalah satu-satunya hukum yang
mendapat tempat paling tertinggi. Jauh sebelum masyarakat Kei mengenal hukum agama, hukum
adat istiadat Kei sudah lama membimbing warga Kei dari masa ke masa di dalam menjalani

Universitas Sumatera Utara

kehidupannya. Oleh karena itu, warga Kei selalu taat terhadap hukum adat mereka dan
mematuhinya. Kehidupan warga Kei sangat majemuk. Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik,
adalah sebagian besar agama yang dianut oleh masyarakat Kei. Walaupun demikian, perbedaan
agama bukan menjadi penghalang bagi masyarakat Kei untuk dapat hidup rukun. Perbedaan suku
juga sangat mencolok. Di Kei, berbagai macam suku ada. Akan tetapi, perbedaan suku ini tidak
menjadi membuat kesenjangan diantara masyarakat Kei. Adat istiadat ataupun ajaran-ajaran
hukum leluhur telah membentuk karakter yang baik dalam diri orang-orang Kei. Sifat dan sikap
masyarakat Kei dalam berinteraksi terhadap sesamanya tidak menunjukkan adanya diskriminasi
atau pengucilan terhadap kaum minoritas. Semua warga Kei satu. Satu dalam ikatan nilai-nilai
adat yang terus menerus hidup dalam diri mereka.
Konflik SARA yang terjadi di sana sempat mengganggu kehidupan masyarakat Kei.
Sebagian kecil warga Kei ada yang terprovokasi oleh konflik tersebut, akan tetapi sebagian

besarnya lagi lebih memilih untuk tetap menjaga keharmonisan yang sudah lama tercipta
diantara warga Kei. Oleh karena itu, konflik tidak lantas membuat warga Kei terpecah-pecah. Di
tengah maraknya kerusuhan yang terjadi, warga Kei masih saling hidup berdampingan, saling
menyayangi dan menjaga sesamanya. Semua warga saling mengingatkan agar jangan terlibat
konglik. Di kamp-kamp pengungsian di Kei, para warga terus bersatu. Mereka saling bekerja
sama. Pemuda-pemuda di Kei menjaga batas wilayah untuk mengantisipasi datangnya serang
para kelompok perusuh. Sedangkan kaum perempuan Kei melayani para warga yang mengungsi.
Sebagian ada yang memasak di dapur dan sebagiannya lagi ada yang mencari bahan makanan
untuk para pengungsi.
Semenjak kerusuhan memasuki tanah Kei, banyak warga Kei yang kehilangan segalagalanya. Ada yang kehilangan anaknya, istrinya, bapaknya, neneknya, rumah tempat tinggal, dan

Universitas Sumatera Utara

sebagainya. Salah satunya seperti tokoh Namira yang digambarkan pengarang dalam ceritanya.
Kerusuhan telah membuat Namira kehilangan sosok ibunya yang sangat ia sayangi. Rumah
tempat tinggal Namira juga sudah habis terbakar. Kini Namira hanya bisa tinggal di pengusian
bersama warga lainnya. Di kamp pengungsian, warga yang mengungsi berasal dari latar
belakang yang berbeda-beda. Ada yang beragama Islam, Kristen Protestan, dan Katolik. Warga
di pengungsian saling membantu. Warga yang beragama Islam membantu warga yang beragama
Kristen. Begitupun sebaliknya, warga yang beragama Kristen menjaga warga yang beragama

Islam.
Kerusuhan hanya akan membuat orang-orang yang berada disekitarnya berduka.
Begitulah yang dirasakan oleh Namira. Kini dia hanya tinggal sebatangkara. Namun, Namira
masih memiliki seorang sahabat yang baik dan perhatian kepadanya, yaitu Mery. Mery menjadi
sosok penyemangat bagi Namira. Dia selalu memberi kekuatan kepada Namira. Persahabatan
Namira dan Mery sudah lama terjalin, jauh sebelum konflik masuk ke desa mereka. Namira
sangat menyayangi Mery, begitupun sebaliknya, Mery juga mengasihi Namira. Mereka berdua
sudah seperti saudara. Sebenarnya Mery dan Namira memiliki perbedaan yang mencolok. Mery
beragama Kristen dan Namira beragama Islam. Walaupun mereka dipisahkan oleh jarak agama,
Mery dan Namira tetap saling menyayangi. Mery bahkan selalu menjenguk sahabatnya itu di
kamp pengungsian tempat Namira tinggal. Mery belum bisa membawa sahabatnya itu untuk
tinggal di rumahnya karena keadaan konflik yang semakin memanas. Sebenarnya keinginan
Mery sangat besar. Mery meminta Namira untuk tetap bersabar dan berdoa. Apabila saat Mery
pamit untuk pulang ke rumahnya, Namira sangat sedih. Namun, Namira sosok yang kuat. Dia
selalu berusaha untuk menutupinya dari sahabatnya itu.

Universitas Sumatera Utara

Bukan hanya Mery yang selalu sayang kepada Namira. Ada juga Sala, yang mencurahkan
perhatiannya terhadap Namira. Apabila Namira sedang sedih, Sala ada disampingnya untuk

menghiburnya. Sala dan Namira berada disatu kamp pengungsian yang sama. Namun, peran
keduanya berbeda. Sala datang sebagai tim relawan, sedang Namira berada di pengungsian
karena tempat tinggalnya sudah tidak ada lagi. Sejak dipertemukan di pengungsian, Sala dan
Namira menjadi sangat dekat. Kedekatan diantara keduanya kini diikat oleh hubungan cinta. Sala
dan Namira sebenarnya juga berbeda agama. Sala beragama Kristen dan Namira beragama
Islam. Akan tetapi, keduanya dapat saling menyayangi dan mengasihi dalam hubungan
percintaannya. Namun sayangnya, hubungan percintaan diantara Sala dan Namira tidak
berlangsung lama.
Semenjak kelompok perusuh menyerang pengungsian mereka, Sala menyarankan Namira
untuk ikut mengungsi ke Evu sedangkan dirinya tetap berada di pengungsian. Lalu Namira pergi
ke desa Evu. Desa Evu sebenarnya desa tempat Mery. Mendengar penyerangan yang dilancarkan
oleh kelompok perusuh ke kamp pengungsian tempat Namira berada, Mery bersama pamannya
langsung segera menjemput Namira. Di Evu, Namira tinggal di rumah sahabatnya, Mery. Namira
dan Mery sangat bahagia karena mereka bisa bersama lagi. Akan tetapi, kebahagian mereka
lasung berubah menjadi kesedihan dan hiruk pikuk. Beberapa hari setelah pengyerangan di
pengungsian, para kelompok perusuh kembali menyerang desa Evu. Di tengah kerusuhan yang
terjadi, Namira ikut mengungsi ke Makassar tanpan sepengetahuan Mery. Kebingungan melanda
pikiran Mery. Begitu juga dengan Sala. Setelah penyerangan itu berakhir, Sala mencari tahu
khabar tentang Namira di Evu. Ternyata Namira tidak lagi di Evu. Mery menceritakan semuanya
kepada Sala. Sala sangat sedih. Ia tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Pada akhirnya Sala

meninggal dunia dengan membawa kerinduannya yang begitu besar kepada Namira.

Universitas Sumatera Utara