Bentuk-bentuk Kerukunan Sosial dalam Novel KEI Karya Erni Aladjai

(1)

BENTUK-BENTUK KERUKUNAN SOSIAL DALAM

NOVEL KEI KARYA ERNI ALADJAI

SKRIPSI

ELI FERNANDO NABABAN 100701066

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN SASTRA INDONESIA


(2)

BENTUK-BENTUK KERUKUNAN SOSIAL DALAM

NOVEL KEI KARYA ERNI ALADJAI

SKRIPSI

OLEH ELI FERNANDO N

NIM 100701066

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dr. Pertampilan Sembiring, M.Si. Dra. Yulizar Yunas, M.Hum. NIP 19581013 198601 1 002 NIP 19500411 198102 2 001

Departemen Sastra Indonesia Ketua,

Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. NIP 19620925 198903 1 017


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini adalah benar hasil karya penulis. Sepanjang pengetahuan penulis, skipsi yang berjudul “Bentuk-bentuk Kerukunan Sosial dalam Novel KEI Karya Erni Aladjai” belum pernah dipublikasikan dan diteliti oleh mahasiswa untuk memperoleh gelar keserjanaan. Dalam penelitian skripsi ini, samua data dari segala sumber yang diperoleh dinyatakan jelas dan benar sesuai dengan aslinya. Apabila pernyataan yang saya buat ini dikemudian hari tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi berupa pembatalan gelar keserjanaan seperti yang sudah ditetapkan oleh Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Medan, Mei 2014 Penulis,

Eli Fernando Nababan NIM: 10070106


(4)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan bentuk-bentuk kerukunan sosial pada novel KEI karya Erni Aladjai. Dalam penelitian, teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra guna melihat nilai-nilai kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Dari analisis yang sudah dilakukan terhadap novel KEI, ditemukan beberapa bentuk kerukunan yang digambarkan pengarang dalam ceritanya, seperti bentuk kerukunan dalam hubungan kerjasama, hubungan antar umat beragama, hubungan antar suku, hubungan pertemanan, dan hubungan cinta. Dalam novel KEI juga ditemukan beberapa data yang menggambarkan kekerabatan orang Kei yang diikat dalam adat istiadatnya, yaitu adat Ken Sa Faak, adat Vehe Belan, adat Larwul Ngabal, Penyerahan Sirih dan Pinang, Prinsip Satu Leluhur, dan adat Pela.

Medan, Mei 2014 Penulis,

Eli Fernando Nababan NIM : 100701066


(5)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kasih karunianya, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Hasil penyusunan skripsi ini yang berjudul “Bentuk-bentuk Kerukunan Sosial dalam Novel KEI

karya Erni Aladjai” merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana dari Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

Sesungguhnya selama proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan, baik dari segi moril maupun dari segi material. Tanpa bantuan dari semua pihak, skripsi ini tidak akan selesai. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Kedua orang tuaku yang tersayang, Ayahanda A. Nababan dan Ibunda T. Simamora yang sudah banyak memberikan perhatian dan kasih sayangnya kepada penulis, serta turut memberikan arahan, mendoakan dengan tulus dan dukungan moril maupun material selama masa perkuliahan.

2. Bapak Dr. Syahron Lubis, M.A. selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya, Dr.M. Husnan Lubis, M.A. selaku pembantu Dekan I, Drs. Samsul Tarigan selaku pembantu Dekan II, dan Drs. Yuddi Adrian Muliadi, M.A. selaku pembantu Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Ikhwanuddin Nasution, M.Si. selaku Ketua Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara dan Bapak Drs. Haris Sutan Lubis, M.S.P. selaku Sekretaris Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas


(6)

Sumatera Utara, yang selalu sabar dalam menghadapi sikap-sikap penulis selama masa perkuliahan.

4. Bapak Dr. Pertampilan Sembiring, M.Si. sebagai dosen pembimbing I. dan Ibu Drs. Yulizar Yunas, M.Hum. selaku pembimbingan II yang telah banyak menyediakan waktu, tenaga, pikiran, serta dukungan di dalam menyelesaikan skripsi ini. Kiranya Tuhan Yang Maha Esa membalaskan kebaikan Bapak dan Ibu berikan kepada saya.

5. Bapak Drs. T. Aiyub Sulaiman, selaku dosen penasehat akademik beserta seluruh Bapak dan Ibu dosen yang mengajar di Departemen Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara yang sudah memberikan pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama proses diperkuliahan.

6. Saudara kandung penulis, keluarga besar Kakanda Harliman Nababan, Kakanda Jaitar Nababan, dan Kakanda Rumugun Gembira boru Nababan, S.pd. yang tidak henti-hentinya mendoakan dan memberikan semangat buat penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Serta Kakanda James Rudianto Nababan dan Adinda tersayang Eva Rinawati boru Nababan, Amd. yang selalu memberikan dukungannya buat penulis.

7. Teman-teman yang selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini, Melda boru Gultom, Ervina boru Silalahi, Desy boru Panggabean, Retta boru Silitonga, Siska boru Saragih, Sri Purwanti, Nila Eka Sari, Pebri Lestari, dan Evi Marlina boru Harahap, terimakasih buat semua dukungan yang sudah teman berikan. Serta seluruh teman-teman stambuk 2010 yang tersayang. Maaf namanya tidak bisa penulis tulis satu per satu di halaman ini karena takut kebanyakan, namun percayalah nama kalian semua ada di hatiku. Terimakasih sudah mau menjadi teman yang baik bagi penulis selama masa perkuliahan.


(7)

8. Komunitas yang paling ekxis di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia GANK 14, Jimmy Simamora, Osen Sabur Lappet Hutasoit, Widodo Sicerewet Lumbantoruan, Hotman Laungmen Sidabutar, Tomy Tomingseh Simatupang, Barnes Bule Sibarus, Bima Gpbul-bul Sitepu, Ari Kudus Parangin-angin, Ryanto Ryanna Siagian, Wernando Gagal Ganteng Aritonang, Hendra Morgan Aritonang, Edwin Gendut Hutagalung, Elwin Profesor Sinaga, Togol-gol Silalahi, Bunga boru Sihombing yang salulu di hati. Terimakasih teman-teman buat dorongan semangat dan masukan-masukan yang sudah diberikan. Semoga kelak kita selalu exsis di lingkungan masyarakat dan tempat kerja kita masing-masing. Amin.

9. Terkhusus buat wanita terunik di dunia yang selalu di hati, Devi Rayuli Handriyani boru Siahaan tersayang. Terimakasih sudah mau menjadi sosok penyemangat bagi penulis dan terimakasih juga buat semua kenangan-kenangan terindah yang sudah diberikan dalam setiap kehidupan penulis.

10.Kakanda Andre Sitepu, S.S. yang menjadi sosok inspirasi bagi penulis. Terimakasih juga kakanda sudah membina penulis selama diperkuliahan dan selalu memberikan semangat bagi penulis selama penyusunan skripsi ini berlangsung.

11.Senior-senior tersayang, stambuk 2006, 2007, 2008, dan 2009, yang sudah memberikan perhatiannya bagi penulis, khususnya kepada kakanda saya Bambang Ryanto, S.S. selama ini suda menjadi sosok kakanda yang baik bagi penulis dan selalu melatih penulis dalam membuat karya-karya fiksi.

12.Adindaku yang paling lucu-lucu di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Maya boru Sembiring dan Melani boru Manurung, terimakasih sudah mau membantu penulis untuk mencari bahan-bahan yang berhubungan dengan skripsi ini dan selalu mendorong penulis


(8)

untuk tetap semangat. Juga Adindaku Desma boru Silaen, Andri Brema, Elovani, Terimakasi sudah turut menyemangati penulis selama penyusunan skripsi ini.

13.Seluruh Adinda-Adinda tersayang di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, stambuk 2011, 2012, dan 2013, terimakasih sudah memberikan perhatiannya kepada penulis.

Dalam hal ini, penulis menyadari masih banyak kekurangan-kekurangan dalam skripsi ini. Penulis membuka diri terhadap masukan-masukan, yaitu berupa kritikan dan saran yag membangun. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat yang lebih besar dalam kemajuan ilmu Sastra Indonesia dikemudian hari.

Medan, Mei 2014 Penulis,

Eli Fernando Nababan NIM : 100701066


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

PERNYATAAN... ii

ABSTRAK ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI... vi

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 4

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 4

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 4

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka... 5

2.2 Konsep ... 6

2.2.1 Sosiologi... 7

2.2.2 Sastra ... 7

2.2.3 Sosiologi Sastra ... 7

2.2.4 Kerukunan Sosial ... 7

2.3 Landasan Teori ... 7

2.3.1 Sosiologi Sastra ... 7


(10)

2.3.2.1 Jenis-Jenis Kerukunan Sosial ... 10

1. Kerukunan Antar Umat Beragama ... 10

2. Kerukunan Antar Etnis... 11

3. Kerukunan Antar Ras ... 11

4. Kerukunan Antargolongan ... 11

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 12

3.2 Teknik Pengumpulan Data ... 12

3.3 Teknik Analisis Data ... 13

BAB IV Bentuk-Bentuk Kerukunan Sosial Dalam Novel KEI 4.1 Kekerabatan Orang Kei ... 14

4.2 Bentuk-Bentuk Kerukunan Sosial Dalam Novel KEI ... 14

4.2.1 Kerjasama Antar Masyarakatnya ... 16

4.2.2 Kerukunan Antar Umat Beragama ... 17

4.2.3 Kerukunan Antar Suku... 21

4.2.4 Hubungan Persahabatan ... 22

4.2.5 Hubungan Cinta ... 25

4.2.6 Adat Istiadat ... 28

4.2.6.1 Adat Ken Sa Faak ... 29

4.2.6.2 Adat Vehe Belan ... 30

4.2.6.3 Adat Larwul Ngabal ... 30

4.2.6.4 Penyerahan Sirih dan Pinang ... 32


(11)

4.2.6.6 Pela ... 34

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan ... 36 5.2 Saran... 36

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk memaparkan bentuk-bentuk kerukunan sosial pada novel KEI karya Erni Aladjai. Dalam penelitian, teori yang digunakan adalah teori sosiologi sastra guna melihat nilai-nilai kerukunan dalam kehidupan bermasyarakat. Dari analisis yang sudah dilakukan terhadap novel KEI, ditemukan beberapa bentuk kerukunan yang digambarkan pengarang dalam ceritanya, seperti bentuk kerukunan dalam hubungan kerjasama, hubungan antar umat beragama, hubungan antar suku, hubungan pertemanan, dan hubungan cinta. Dalam novel KEI juga ditemukan beberapa data yang menggambarkan kekerabatan orang Kei yang diikat dalam adat istiadatnya, yaitu adat Ken Sa Faak, adat Vehe Belan, adat Larwul Ngabal, Penyerahan Sirih dan Pinang, Prinsip Satu Leluhur, dan adat Pela.

Medan, Mei 2014 Penulis,

Eli Fernando Nababan NIM : 100701066


(13)

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Karya sastra merupakan suatu bentuk seni kreatif yang di dalamnya mengandung nilai-nilai keindahan. Sebuah karya sastra bukan ada begitu saja atau seperti agak dibuat-buat agar menajdi ada. Akan tetapi, karya sastra diciptakan oleh pengarang dengan didasari rasa kenginan dan dorongan yang kuat dari dalam diri pengarang untuk mengungkap kembali tentang suatu perjalanan hidup manusia. Perjalanan yang dimaksud adalah pengalaman pengarang, baik yang secara langsung bersentuhan dengan pengarang ataupun di luar dari pribadi pengarang. Dalam bukunya, Luxemburg, dkk (1992: 5) mengatakan bahwa karya sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan semata-mata sebuah imitasi sang seniman yang berusaha menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Karya sastra memang bersifat fiktif, dibangun melalui imajinasi pengarangnya. Walau hanya bersifat fiktif, karya sastra juga mengandung nilai-nilai kebenaran di dunia aslinya (dunia masyarakat). Sumardjo (1999: 19) menjelaskan bahwa karya sastra yang baik juga biasanya memiliki sifat-sifat yang abadi dengan memuat kebenaran-kebenaran hakiki yang selalu ada selama manusia masih ada.

Selain untuk mengekspresikan ide-ide pemikirannya, kemauan pengarang di dalam menulis semakin besar karena didasari keinginan-keinginan yang timbul untuk menunjukkan eksistensi dirinya pada masyarakat. Semi (1985: 39) menjelaskan tujuan sastra yaitu untuk membantu manusia menyingkapkan rahasia keadaannya, untuk memberi makna pada eksistensinya, serta untuk membuka jalan ke kebenaran. Pengarang adalah masyarakat, tumbuh dan besar dilingkungan masyarakat. Pengarang dan masyarakatnya merupakan satu kesatuan yang tidak bisah dipisahkan. Sedikit banyak pengarang akan terlibat langsung dengan segala


(14)

bentuk aktivitas-aktivitas di masyarakat. Oleh sebab itu, karya sastra yang dihasilkan seorang pengarang selalu identik dengan cerminan dari sebuah realitas kehidupan sosial masyarakat.

Salah satu bentuk karya sastra yang paling populer adalah novel. Menurut Nursisto (2000: 167) bahwa novel mempunyai peluang yang lebih banyak untuk mengetengahkan ide, lengkap dengan uraian dan jabarannya, menjadikan jenis karya sastra ini tak ubahnya menyajikan kehidupan yang utuh. Novel memberikan pemahaman yang lebih lengkap dan jelas tentang perjalanan kehidupan seorang tokoh di dalam ceritanya. Panjangnya jalan cerita sebuah novel sering dimanfaatkan pengarang untuk menuangkan ide-ide yang lebih baik. Ide yang baik akan mempengaruhi kualitas karya sastranya. Karya sastra yang berkualitas tentu akan semakin diminati dikalangan penikmatnya. Oleh Coleridge (dalam Siswanto, 2008: 1) mengatakan kualitas karya sastra ditentukan oleh sejumlah aspek yang larinya juga kearah kemampuan seniman, yaitu daya spontanitas, kekuatan emosi, orisinilitas, daya kontemplasi, kedalaman nilai kehidupan, dan harmoni. Daya kontemplasi atau perenungan pengarang memang sudah tidak perlu diragukan lagi. Seorang pengarang mampu menulis kembali kenangan-kenangan yang sudah jauh tertinggal menjadi sebuah cerita yang menarik untuk dibaca.

Novel dapat memberikan pengalaman baru bagi pembacanya. Nursisto (2000: 112) mengatakan bahwa novel adalah cerita yang menampilkan suatu kejadian luar biasa pada kehidupan pelakunya, yang menyebabkan perubahan sikap hidup atau menentukan nasibnya. Pengalaman yang didapat pembaca ketika membaca sebuah novel adalah melalui perjalanan kehidupan tokoh pencerita yang diatur dengan baik oleh si pengarang. Hal ini juga berkaitan dengan fungsi karya sastra itu sendiri. Selain untuk menghibur, keberadaan karya sastra dapat berfungsi sebagai alat untuk mendidik. Dengan kata lain, sebuah karya sastra akan menularkan pesan moral bagi pembacanya.


(15)

Obyek kajian dalam penelitian ini adalah novel KEI karya Erni Aladjai yang terbit pada akhir tahun 2013. Pengarang yang menyukai angka tujuh ini masuk jajaran pengarang muda yang prestisius di dalam menciptakan karya-karya fiksi. Banyak penghargaan yang ia dapat melalui perlombaan-perlombaan karya tulis, baik itu ditingkat daerah maupun ditingkat nasional. Novel KEI menjadi salah satu bukti pencapaian terbaiknya. Pada tahun 2013, novel ini berhasil keluar sebagai pemenang unggulan dalam Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta.

Novel KEI diangkat dari sebuah kisah nyata dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat di Desa Kei. Sebenarnya sudah sejak lama pengarang ingin menulis novel ini dengan latar pulau Kei (Pernyataan pengarang yang terdapat dikata pengantar dalam novel KEI). Keinginan itu sudah muncul dipikiran pengarang semenjak kerusuhan dimulai dari Ambon hingga menyusup ke berbagai pelosok desa tetangga. Sesuai dengan judul novelnya, Kei merupakan salah satu pulau yang berada di antara Laut Banda dan Laut Arafuru, Maluku Tenggara. Secara keseluruhan, gambaran masyarakat di pulau Kei hidup dalam kemajemukan. Kemajemukan itu dilihat dari keberagaman agama, suku, dan ras yang melekat dalam diri setiap anggota masyarakatnya. Akan tetapi, keberagaman tersebut tidak lantas membuat warga Kei menjadi terpecah-pecah. Kehidupan masyarakat di desa Kei begitu rukun. Rasa persaudaraan mereka begitu kental. Warga Kei selalu menunjukkan sikap bertoleransi yang tinggi saat berinteraksi dengan sesama anggota masyarakatnya yang lain. Toleransi merupakan sikap atau perbuatan yang dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan untuk menerima perbedaan pada setiap anggota dalam suatu kelompok masyarakat. Sikap seperti ini memang harus terus dibangun khususnya bagi masyarakat yang hidup dalam pluralisme. Masyarakat Kei sangat menghargai perbedaan. Perbedaan bukan menjadi penghalang bagi setiap anggota kelompok


(16)

masyarakat Kei untuk mewujudkan kerja sama yang berkualitas dan demi kepentingan bersama pula. Kerusuhan yang terjadi di Ambon merupakan konflik yang bertemakan perang saudara.

Perang saudara saudara ini terjadi pada bulan januari tahun 1999. Diawali dari pertikaian dua pemuda yang merembet hingga menjadi perang besar antar agama, suku, dan ras. Perang saudara saat itu banyak menelan korban jiwa dan harta benda yang cukup besar serta telah membawa penderitaan dalam bentuk kemiskinan dan kemelaratan bagi rakyat di Maluku pada umumnya dan kota Ambon pada khususnya, sumber ini didapat dari sebuah situs internet

yang diposting oleh

sebuah yayasan di Maluku, yaitu Yayasan Salawaku. Sebenarnya konflik yang terjadi saat itu merupakan skenario yang sudah direncanakan oleh orang-orang tertentu demi kepentingan tertentu pula dengan menggunakan SARA sebagai alat untuk memecah bela kelompok-kelompok masyarakat. Kerusuhan saat itu sudah persis seperti wabah penyakit. Cara penularannya pun begitu cepat hingga memasuki daerah-daerah terpencil yang jauh di pedalaman. Keinginan pengarang di dalam menulis kisah perang saudara ini bukan untuk membangkitkan kembali luka-luka lama yang pernah terjadi. Akan tetapi, pengarang ingin menyampaikan di dalam novelnya bahwa di tengah maraknya rusuh pada saat itu masih ada juga sebagian kelompok masyarakatnya yang saling menolong, menghargai, menghormati, dan menyayangi, khusunya bagi masyarakat yang tinggal di desa Kei. Dalam novelnya, pengarang menceritakan masyarakat Kei tidak terpengaruh dengan konflik yang ada, walaupun sebenarnya mereka dipisah oleh perbedaan yang ada. Mereka lebih memilih untuk tetap menjungjung tinggi rasa persaudaraan yang sudah sejak lama diajarkan oleh para leluhur mereka.


(17)

Penulis memilih novel KEI sebagi obyek kajian untuk dijadikan skripsi karena ceritanya yang menarik dan mengangkat fenomena-fenomena sosial di dalam masyarakat. Apalagi fenomena sosial tersebut diangkat dari sebuah kisah nyata. Penulis memilih novel ini sebagai bahan kajian penelitian murni hanya untuk penyelesaian tugas akhir pendidikan. Penulis bukan bermaksud untuk mengingatkan kembali peristiwa yang memilukan tersebut kepada masyarakat yang pernah mengalaminya. Ketertarikan penulis untuk meneliti novel KEI karena cerita dalam novel ini menggambarkan kehidupan masyarakat yang rukun. Oleh Eka ( dalam Yewangoe, 2002: hal, 33) mengatakan bahwa kerukunan yang dihasilkan mestilah kerukunan yang pertama-tama merupakan kesadaran dari internal yang didorong oleh kasih. Menciptakan kehidupan yang rukun harus dilakukan dari hati yang tulus dan bukan karena paksaan.

Alasan lain muncul karena kerukunan merupakan bingkai dari semboyan dan ideologi bangsa Indonesia. Semboyan bangsa Indonesia Bhi Neka Tunggal Ika jelas menggambarkan rakyat Indonesia yang hidup dalam kemajemukan, namun tetap dapat hidup bersama-sama dan saling menghormati. Begitu juga dengan ideologi bangsa Indonesia yaitu pancasila. Kelima butir yang tertuang di dalam pancasila merupakan gambaran dari kerukunan hidup, baik secara vertikal maupun horizontal. Oleh karena itu, menciptakan kerukunan hidup dalam bermasyarakat sudah menjadi kewajiban seluruh rakyat Indonesia.

Dari uraian di atas, sudah jelas novel KEI mengisahkan tentang perjalanan hidup manusia dalam masyarakatnya. Aspek-aspek kemasyarakatannya menjadi fokus dalam penelitian ini. Dalam hal ini, pendekatan yang dilakukan untuk mengupas nilai-nilai kerukunan sosial yang ada dalam novel tersebut adalah pendekatan sosiologi sastra. Sosiologi sastra merupakan sebuah teori ilmiah yang berusaha untuk menjelaskan keberadaan karya sastra dalam kaitannya terhadap perubahan struktur sosial dalam masyarakat. Sosiologi dan sastra jelas dua disiplin ilmu yang


(18)

berbeda. Akan tetapi keduanya memiliki obyek yang sama, yaitu manusia dengan masyarakatnya. Hanya saja kedua ilmu ini dibedakan dari pendekatannya masing-masing. Jika sosiologi mempelajari manusia secara obyektif, sedangkan sastra mempelajari manusia secara subjektif. Ruang lingkup pembahasan sosiologi sastra terbilang cukup luas. Dalam bukunya, Wellek dan Werren (1989: 111), setidaknya mengkalasifikasikan sosiologi sastra dalam tiga poin penting, yaitu sebagai berikut:

1. Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan institusi sastra. Masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial, status pengarang dan ideologi pengarang yang terlihat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra. 2. Isi karya sastra, tujuan, serta hal-hal lain yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri dan

yang berkaitan dengan masalah sosial.

3. Permasalahan pembaca dan dampak sosial karya sastra.

Berangkat dari pengklasifikasian ketiga poin di atas, penelitian ini hanya menitikberatkan permasalahan pada bagian yang kedua, yaitu isi karya sastra dengan penelaahan hal-hal yang tersirat dalam karya sastra itu sendiri sebagai obyek kajian penelitian. Pengkajian yang dilakukan terhadap obyek penelitian akan mencari hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai kerukunan sosial dalam masyarakat. Nilai-nilai kerukunan ini dapat berupa kerukunan dari segi budaya, kerukunan agama, ras, kesukuan, dan kerukunan antargolongan (wilayah. gender, kekuasaan, politik, ekonomi, dan sebagainya), yang semuanya itu akan dicari di dalam obyek penelitian. 1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, penelitian ini mengangkat permasalahan yang akan diteliti, yaitu bagaimana bentuk-bentuk kerukunan sosial dalam novel KEI karya Erni Aladjai ?


(19)

1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan bentuk-bentuk kerukunan sosial yang tertuang di dalam novel KEI. Bentuk kerunan tersebut mengacu pada nilai kerukunannya. Nilai-nilai kerukunan itu sendiri akan dilihat dari kerja sama dan kesepakatan-kesepakatan yang dilakukan masyarakat di dalam novel KEI.

1.3.2 Manfaat Penelitian

Ada dua manfaat yang dapat disajikan dalam penelitian ini, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.

1. Manfaat teoritis penelitian ini adalah menambah pemahaman teori-teori yang sudah ada dalam analisis sosiologi sastra, dan juga dapat membantu penelitian lain yang bersinggungan dengan penelitian ini.

2. Manfaat praktis penelitian ini adalah menyajikan informasi kepada pembaca dalam gambaran kerukunan sosial yang dapat dijadikan sebagai inspirasi hidup yang ditampilkan pengarang dalam novel KEI.


(20)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada orang yang membicarakan atau mengkaji novel ini. Kemudian novel KEI juga sama sekali belum pernah diteli oleh para mahasiswa dalam bentuk skripsi ataupun artikel. Akan tetapi, resensi-resensi tentang novel KEI yang bersifat kritikan dan saran ada ditemukan dalam blog-blog peresensi (pembaca) karena novel ini adalah pemenang unggulan dalam Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta.

2.1.1 Rizky, dalam sebuah blog yang

berjudul GoodReads Indonesia, diakses tanggal 16 Januari 2014.

Goodreads Indonesia merupakan blog yang dipergunakan untuk menampung berbagai macam apresiasi peresensi, baik dalam bentuk kritikan maupun saran yang ditujukan terhadap sebuah karya sastra yang dibaca. Sudah berbagai macam novel yang dibahas dalam blog ini, salah satunya adalah novel KEI. Rizky adalah salah satu peresensi yang memberikan komentarnya terhadap novel KEI. Dalam blog tersebut, Rizky menyebutkan bahwa novel KEI adalah sebuah novel yang menceritakan tentang kerusuhan di salah satu pulau di Maluku, yaitu pulau Kei. Pulau Kei merupakan pulau yang terkena dampak kerusuhan di Ambon. Sebenarnya pulau ini begitu damai dengan masyarakatnya yang menjungjung tinggi nilai-nilai persaudaraan dan mengutamakan kehidupan yang rukun. Perang tersebut memang menghancurkan segala-galanya yang ada di pulau Kei, tempat tinggal yang dibakar, perkebunan yang hancur, nyawa yang melayang, dan masih banyak lagi. Namun, perang itu tidak dapat menghancurkan persaudaraan yang sudah terjalin begitu lama di pulau Kei.


(21)

Pengarang tidak hanya menyuguhkan konflik, tetapi pengarang juga menggambarkan bagaimana kerukunan yang dibangun dalam diri masyarakat di pulau Kei. Pesan moral yang ingin disampaikan pengarang dalam ceritanya, seperti bagaimana menyikapi sebuah perbedaan, hidup bertoleransi, saling menghormati dan menyayangi, dan sebagainya. Kelebihan dari novel ini adalah kemampuan pengarang dalam mengkombinasikan antara konflik yang terjadi dengan nilai-nilai kerukunan yang ada pada masyarakat Kei, salah satunya dari persahabatan Mery dan Namira yang berbeda agama. Konflik ini merupakan perang agama, namun persahabatan Mery dan Namira tidak menjadi retak karena konflik yang terjadi. Begitu juga dengan kehidupan masyarakatnya. Walaupun masyarakat di pulau Kei hidup dalam berbagai macam perbedaan, namun kerukunan dalam masyarakat tersebut tetap dijunjung tinggi.

2.1.2 Ariansyah, dalam sebuah blog pribadinya yang berjudul Book Review, diakses tanggal 03 Oktober 2013.

Ariansyah adalah salah satu pembaca yang sudah membaca secara keseluruhan novel KEI. Menurutnya novel KEI memiliki banyak typo di dalamnya. Pengarang tidak hanya mengangkat cerita tentang konflik yang terjadi, namun pengarang juga menyuguhkan cerita tentang percintaan dan persahabatan yang saling berbeda agama atau kenyakinan.

Dalam novel KEI, pengarang juga bercerita tentang masyarakat di desa Kei yang dikenal hidup saling bertoleransi, menghargai, dan saling menolong. Kei adalah pulau yang terdapat diantara laut Banda dan laut Arafuru, Maluku Tenggara. Daerah-daerah yang berada di pulau Kei ini jarang terlibat konflik, walau masyarakatnya hidup dalam kemajemukan. Perbedaan agama, ras, dan suku tidak menjadi penghalang untuk dapat menciptakan kehidupan yang rukun di dalam bermasyarakat. Masyarakat di pulau Kei memang sudah seperti satu keluarga dengan satu


(22)

nenek moyang yang sama. Kerukunan yang sudah lama tercipta merupakan budaya leluhur yang selalu diingat oleh setiap anggota masyarakat di pulau Kei. Kebiasaan orang Kei yang selalu mengingat kebudayaan leluhur ternyata menjadi senjata yang kuat untuk meredakan konflik perang saudara pada saat itu.

2.1.3 Elfa, dalam sebuah blog pribadinya Aplaus Home Celeblizt Trendfeed, diakeses tanggal 31 Agustus 2013.

Elfa menyebutkan dalam blognya bahwa novel KEI adalah salah satu novel terbaik yang pernah dibacanya. Alasan yang mendasari anggapan tersebut karena pengarang memiliki ide-ide segar tentang kisah cerita cinta yang dipadu dengan konflik yang ada dalam ceritanya. Cinta yang dipertemukan dalam suatu peperangan mungkin sudah biasa, namun peperangan yang diangkat dalam novel KEI bukanlah perang antar Negara melainkan perang saudara yang melibatkan perseteruan antar agama, suku, dan ras. Cinta Namira dan Sala pada saat itu dapat dikatakan cinta yang terlarang karena mereka berdua berbeda keyakinan.

Pengarang juga memperlihatkan bagaimana cinta, kesetiaan, kasih, dan sikap toleransi yang ditinggi di tengah konflik yang terjadi, walaupun perbedaan diantara masyarakatnya jelas tidak memungkinkan hal itu. Novel ini dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang. Membangun persatuan dalam kekompleksitasan masyarakatnya hingga dapat mewujudkan sebuah kerukunan hidup bermasyarakat merupakan cita-cita masyarakat yang sangat sulit untuk diciptakan, namun dalam novel KEI hal ini dapat diwujudkan. Pengarang merangkainya dengan baik dan menggunakan tata bahasa yang baik pula.

2.1.4 Yuska, dalam sebuah blog pribadinya yang berjudul Gagas Debut Book Info, diakses tanggal 05 November 2013.


(23)

Novel KEI bukan hanya bercerita tetang peperangan dan pembunuhan, namun jauh dari itu novel KEI bercerita tentang persaudaraan yang diikat dengan persahabatan, cinta kasih, kekeluargaan, dan dibumbuhi dengan kebudayaannya yang kental. Banyak typo-typo yang terdapat dalam novel ini. Kata-kata yang dirangkai dalam ceritanya sangat sederhana tetapi memberi pelajaran yang begitu berharga. Novel KEI bercerita tentang kerukunan masyarakatnya, tentang persaudaraan, kekeluargaan, sikap toleransi, kedamaian, falsafah adat, dan masih banyak lagi.

Kepulauan Kei dengan masyarakatnya bukanlah asal dari konflik yang terjadi, melainkan dampak dari konflik yang terjadi. Pada saat itu, konflik menghancurkan segala-galanya yang ada di pulau Kei, namun konflik tidak berhasil mengadu domba masyarakat Kei. Dinding kerukunan masyarakat Kei yang sudah lama tercipta, dibingkai dalam bentuk persahabatan, kasih dan kekeluargaannya tidak dapat ditembus konflik yang terjadi pada saat itu.

2.2 Konsep

Penelitian ini akan menggunakan sebuah konsep guna mendapatkan gambaran yang jelas dengan hal-hal yang berkaitan terhadap penelitian. Konsep penlitian bertujuan untuk memahami istilah-istilah atau kata yang digunakan sebagai acuan yang berhubungan tentang permasalahan yang dianalisis. Adapun konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

2.2.1 Sosiologi

Menurut William (dalam Idianto, 2006: 8) mendefenisikan sosiologi adalah suatu upaya ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi. Kondisi ini dapat dilihat dari keberadaan masyarakat dengan sistem sosialnya yang mencakup kaidah-kaidah sosial, lembaga-lembaga sosial, lapisan-lapisan sosial, dan sebagainya serta pengaruh faktor ekonomi,


(24)

politik, faktor geografis, ideologi, budaya, yang semuanya itu dapat mempengaruhi keberadaan masyarakat tersebut.

2.2.2 Sastra

Endraswara (2008: 28) mengatakan bahwa sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Dialektik yang dimaksudkan merupakan kebenaran tentang suatu kehidupan dari perjalanan sejarah masyarakatnya. Dalam hal ini, Luxemburg, dkk (1992: 2) mengatakan bahwa sastra meneliti sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks sastra, lagi pula bagaimana teks-teks tersebut berfungsi di dalam masyarakat.

2.2.3 Sosiologi Sastra

Ratna (2003: 25) mengatakan sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya sastra dengan mempertimbangkan keterlibatan sturktur sosialnya. Dalam hal ini, seorang pengarang membutuhkan pengetahuan tentang sosiologi agar dapat mengungkapkan masalah-masalah sosial yang ada di dalam karya sastranya.

2.2.4 Kerukunan Sosial

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2005) menyebutkan bahwa rukun adalah baik, damai, dan tidak bertengkar, sedangkan kerukunan adalah perihal hidup rukun, rasa rukun, kesepakatan. Kerukunan merupakan usaha untuk mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada dalam diri setiap anggota masyarakat dan lebih mengutamakan kesepakatan-kesepakatan bersama demi kepentingan bersama. Darmaputera (dalam Yewangoe 2002: 33) mengatakan bahwa kerukunan sejati terwujud ketika semua pihak secara bersama-sama secara interaktif mencari kebenaran bersama yang lebih tinggi.


(25)

2.3 Landasan Teori

Landasan teori merupakan dasar dari sebuah penelitian. Mustahil sebuah penelitian tidak memiliki landasan atau kerangka penelitian. Landasan teori juga diharapkan mampu memecahkan permasalahan yang dibahas agar tujuan dari penelitian tersebut dapat tercapai.

2.3.1 Sosiologi Sastra

Dilihat dari sejarahnya, keberadaan teori sosiologi sastra dalam dunia sastra masih terbilang muda jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Kendati begitu, penelitian terhadap karya sastra dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra sudah banyak dihasilkan. Ratna (2003: 7), mengatakan bahwa sosiologi sastra pertama kali diperkenalkan kelompok Milton C. Albercht, tahun 1970 dalam buku yang berjudul The Sociology of Art and Literature: a Reader. Jika dilihat dari tahun terbitnya buku tersebut, kehadiran sosiologi sastra sebagai ilmu ilmiah masih seumuran jagung jika dibandingkan dengan sosiologi agama, sosiologi pendidikan, sosiologi politik, sosiologi ideologi, dan sebagainya. Masih menurut Kutha Ratna, menyebutkan bahwa teori sosiologi sastra di Indonesia pertama kali diperkenalkan melalui ceramah Harsya W. Bachtiar dalam sebuah penataran “Filologi Untuk Penelitian Sejarah”, yang diselenggarakan oleh Konsorsium Sastra dan Filsafat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1973.

Seperti yang sudah dijelaskan dalam latar belakang penelitian, bahwa sosiologi sastra merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda. Namun, dalam praktiknya kedua ilmu ini sering berjalan bersamaan. Dalam bukunya, Idianto Muin (2006: 7) menjelaskan bahwa sosiologi pertama kali dikemukakan oleh ahli filsafat, moralis, dan sekaligus sosiolog berkebangsaan prancis, yaitu Auguste Comte. Masih dalam buku yang sama, Comte berpendapat bahwa sosiologi berasal dari bahasa latin, yaitu socius, yang artinya teman atau sesama, dan logos dari


(26)

bahasa yunani yang artinya cerita. Jadi pada awalnya, sosiologi berarti bercerita tentang teman atau kawan (masyarakat). Banyak batasan makna yang sudah diberikan oleh para pakar mengenai sosiologi, diantaranya sebagai berikut :

Sorikin (dalam soekanto, 1982: 17) mengatakan bahwa:

“Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antar aneka macam gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dan moral, hukum dan ekonomi, serta politik); hubungan timbal balik antara gejala sosial dan nonsosial (seperti gejala geografis dan politik, biologi, ekonomi, dan sebagainya).”

Mayor (dalam Elly dan Usman, 2011: 3) menjelaskan bahwa :

“Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat sebagai keseluruhan, yakni hubungan di antara manusia dan kelompok, kelompok dan kelompok, baik kelompok formal maupun kelompok material atau kelompok statis maupun kelompok dinamis”.

Batasan mengenai sosiologi juga diutarakan oleh Emile Durkheim (dalam Kamanto, 2004: 11)yang berpendapat bahwa “Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta sosial. Fakta sosial merupakan cara bertindak, berfikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya”. Masih berhubungan dengan hal ini, Allan (dalam Idianto, 2006: 8) mengatakan bahwa “Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana sistem tersebut memengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat di dalamnya memengaruhi sistem”.

Pendapat para pakar ini mengindikasikan bahwa wilayah sosiologi cukup luas karena mencakup hubungan masyarakat dengan segala aspek-aspek kehidupannya. Pada dasarnya, kehidupan masyarakat dengan kelompoknya telah diatur dengan sistem sosial yang berlaku dan disepakati bersama. Sistem sosial yang diciptakan masyarakat dengan kelompoknya bertujuan agar setiap individu dalam kelompok masyarakat tersebut memperoleh kehidupan yang lebih


(27)

layak dalam konteks kebersamaan, saling menghargai, menolong, dan menyayangi. Koteks dalam hal kebersamaan akan mengarahkan masyarakat itu sendiri untuk membentuk kehidupan yang rukun. Namun, di sisi lain, masyarakat kerap dihadapkan pada situasi yang sulit di dalam membangun kehidupan yang rukun. Alasan yang muncul karena adanya perbedaan yang dimiliki setiap individu dalam kelompok masyarakatnya. Perbedaan kerap menjadi penghalang bagi kelompok masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang damai, nyaman, tentram dan sejahtera dengan sesama anggotanya.

Dilain pihak, sastra merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat secara subjektif dan evaluatif. Dalam bukunya, Ratna (2003: 1) menjelaskan dengan baik tentang asal usul sastra itu. Sastra berasal dari bahasa sansekerta, akar kata dari sas- yang berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran dari kata –tra berarti alat atau sarana. Jadi, sastra diartikan sebagai kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna sastra itu akan lebih spesifik lagi jika sudah membentuk kata jadian yaitu kesusasteraan, yang dapat diartikan sebagai kumpulan hasil karya tulis. Lebih jelasnya lagi, Ratna (2003: 1) menyebutkan Sastra adalah hasil karya manusia berdasarkan kreatifitas dalam mengungkapkan apa yang dialami, dan direnungkan dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.

Sejatinya, hasil dari seni kreatif ini disebut karya sastra. Sebuah karya sastra selalu menyajikan permasalahan-permasalahan yang ada dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini yang dimaksud dengan apa yang dialami dan dituangkan pengarang dalam karyanya merupakan masalah-masalah sosial, seperti masalah ekonomi, politik, agama, budaya, dan lain-lain. Oleh sebab itu, karya sastra juga disebut sebagai dokumentasi sosial karena di dalamnya menceritakan refleksi kehidupan manusia. Sastra sering disebut sebagai pencerminan kehidupan masyarakat. Hal ini dapat diterima karena sebuah karya sastra umunya menggambarkan tentang perjalanan


(28)

hidup seorang tokoh. Walau hanya berbentuk cerita rekaan, namun pengarang mampu menyajikan perjalanan hidup tokoh dalam sebuah cerita dengan dibumbuhi fakta-fakta sosial yang seakan-akan nyata di dalam kehidupan sehari-hari.

Penjelasan dari kedua ilmu tersebut, dapat disimpulkan bahwa sosiologi dan sastra memiliki objek yang sama dan dalam praktiknya dapat saling berdampingan. Jadi, sosiologi dan sastra bukanlah perpaduan dua ilmu yang tanpa sebab, namun keduanya saling menopang dan memiliki hubungan yang saling melengkapi. Oleh Damono (1984: 3-4) mengungkapkan bahwa :

“Pendekatan sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan, masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu, namun semua pendekatan ini menunjukkan satu ciri kesamaan, yaitu mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial yang diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat.”

Kemampuan seorang pengarang untuk mengungkapkan fenomena-fenomena sosial dalam karya yang diciptakannya sudah tidak diragukan lagi. Pengarang memilki hubungan yang erat dengan masyarakat atau dengan kata lain bahwa pengarang itu sendiri adalah masyarakat. Berhubungan dengan hal ini, Laurenson dan Swingewood (dalam Endraswara 2008: 79), berpendapat bahwa ada tiga presfektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: pertama, penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. Kedua, penelitian yang mengungkap sastra sebagai cerminan situasi sosial penulisnya. Ketiga, penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.

Tujuan dilakukannya penelitian sosiologi sastra terhadap sebuah karya sastra sesungguhnya ingin mengarahkan pemahaman atau membangun paradigma berpikir tentang aspek-aspek sosial yang diangkat pengarang dalam karya-karyanya. Dalam bukunya, Ratna (2003: 11), berpendapat bahwa tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman


(29)

terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan keyataan atau karya sastra jelas dekonstruksi secara imajinatif, tetapi kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka sosiologi sastra tidak semata-mata melihat karya sastra sebagai bentuk yang abstrak atau kabur, namun sosiologi sastra lebih melihat aspek-aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalam karya sastra tersbut.

Sosiologi dan sastra memiliki dua teori yang berbeda, sehingga penerapannya untuk mengkaji sebuah objek adalah dominasi teori tersebut terhadap objek yang diteliti. Ratna (2003: 18) mengatakan bahwa dalam sosiologi sastra yang mendominasi jelas teori-teori yang berkaitan dengan sastra, sedangkan teori-teori yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai komplementer. Lebih jelas lagi, Ratna (2003: 18) mengatakan bahwa :

“Teori-teori yang dapat menopang analisis sosiologis adalah teori-teori yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai sistem komunikasi, khususnya dalam kaitannya dengan aspek-aspek ekstrinsik, seperti: kelompok sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial, institusi sosial, sistem sosial, interaksi sosial, konflik sosial, kesadaran sosial, mobilitas sosial, dan sebagainya”.

2.3.2 Kerukunan Sosial

Kerukunan hidup membicarakan tentang hubungan keharmonisan antar setiap anggota masyarakat. Menciptakan kehidupan yang rukun setidaknya membutuhkan upaya yang nyata dari setiap anggota masyarakat. Upaya itu dapat dimulai dari hal-hal yang kecil seperti saling menghormati, bergotong-royong, melakukan musyawarah untuk perbaikan kampung, dan sebagainya.

Berkaitan dengan hal ini Darmaputera (dalam Yewangoe, 2002: 34), mengatakan : “Kerukunan ada dua bentuk, yaitu kerukunan yang autentik dan kerukunan yang dinamis. Kerukunan autentik artinya kerukunan itu sungguh-sungguh keluar dari hati yang tulus dan murni. Sedangkan kerukunan dinamis


(30)

artinya kerukunan di mana orang hidup tidak sekedar hidup berdampingan (ko-eksisten) secara damai, kerukunan yang dinamis berarti, kerukunan di mana di dalamnya kelompok-kelompok yang berbeda secara proaktif, dinamis serta kreatif terlibat dalam interaksi yang intens dan terus menerus untuk merumuskan kesepakatan-kesepakatan bersama yang lebih berkualitas.”

2.3.2.1 Jenis-Jenis Kerukunan Sosial

Adapun jenis-jenis kerukunan sosial antara lain: 1) Kerukunan Antar Umat Beragama

Pada dasarnya agama merupakan bagian yang terpenting dalam kehidupan manusia karena doktrin agama dipercaya tidak hanya menjanjikan kehidupan di dunia, namun juga kehidupan yang abadi disurga. Dalam kehidupan manusia di dunia, peran agama secara keseluruhan sangatlah besar, salah satunya adalah untuk menciptakan perdamaian dan diharapkan mampu menularkan moral yang baik dalam pikiran manusia sehingga keharmonisan untuk hidup bersama-sama dapat diwujudkan. Hal ini berkaitan dengan yangdikemukakan oleh Durkheim (dalam Kamanto, 2004: 67) bahwa agama adalah suatu sistem-sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, dan bahwa kepercayaan dan praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu komunitas moral yang dinamakan umat. Oleh sebab itu, agama seharusnya mampu menjadi pondasi dasar yang kokoh untuk menyokong kehidupan masyarakat yang rukun, adil dan bermartabat.

Dewasa ini, diskusi mengenai kerukunan antar umat beragama semakin sering dilakukan, mengingat keberagaman agama di Indonesia begitu sensitif sehingga dapat dijadikan alat oleh oknum-oknum tertentu untuk memecah belah kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Hal ini sudah direalisasikan baik melalui forum ibadah, seminar keagamaan, dan sebagainya. Diskusi-diskusi tersebut dinilai begitu penting karena dapat mempengaruhi pandangan masyarakat dalam


(31)

menyikapi perbedaan yang ada. Perbedaan bukan berarti menjadi penghambat atau penghalang untuk dapat hidup bersama-sama dalam kondisi keyakinan yang berbeda-beda.

2) Kerukunan Antar Etnis

Kerukunan antar etnis merupakan bentuk keharmonisan sosial yang tercipta antar dua kelompok yang berbeda atau lebih. Etnis adalah istilah kesukuan yang digunakan untuk menunjukkan identitas diri. Indonesia menjadi salah satu Negara terbesar dalam jumlah populasi yang diisi dari berbagai macam etnis yang berasal dari berbagai-bagai wilayah. Maka dari itu, di tengah kemajemukan etnis yang ada di Indonesia, peran pemerintah semakin diharapkan untuk menjaga kerukunan tersebut. Francis(dalam kamanto, 2004: 145) mengatakan bahwa kelompok etnis merupakan sejenis komunitas yang menampilkan persamaan bahasa, adat kebiasaan, wilayah, sejarah, sikap, dan sistem politik.

3) Kerukunan Antar Ras

Kerukunan antar ras adalah kerukunan yang tercipta dalam kelompok masyarakat tanpa memperhitungkan perbedaan fisik pada setiap anggota masyarakatnya. Cuvier (dalam Dwi dan Bagong, 2007: 196), membedakan ras ke dalam tiga kelompok besar yang dilihat dari letak geografisnya, yaitu : Ras Putih (Kaukosoid), Ras Kuning (Mongoloid dan orang Amerika), Ras Hitam (Etiopoid, Australia, dan Melanesia). Indonesia memiliki ras mongolaid dengan warna kulit agak kekuningan. Ras juga membedakan ciri fisik secara umum, seperti warna mata, warna rambut, bentuk rambut, bentuk kepala dan sebagainya. Oleh Horton dan Hunt (dalam Dwi dan Bagong 2007:195) mengatakan ras adalah suatu kelompok manusia yang agak berbeda dengan kelompok-kelompok lainnya selain dalam segi ciri-ciri fisik bawaan, dalam banyak hal juga ditentukan oleh pengertian yang digunakan oleh masyarakat.


(32)

4) Kerukunan Antargolongan

Kerukunan antargolongan merupakan suatu bentuk kerukunan yang tercipta dalam kehidupan masyarakat di tengah-tengah perbedaan yang ada, baik dari bentuk kelompok, profesi, batas wilayah, jenis kelamin (gender), dan sebagainya. Berkaitan dengan hal ini, Sumner (dalam Kamanto, 2004: 151) bahwa hubungan antarkelompok merupakan suatu sudut pandang yang menempatkan kelompok sendiri di atas segala-galanya dan yang menilai kelompok lain dengan memakai kelompok sendiri sebagai acuan.


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memahami dan menggali lebih dalam lagi nilai-nilai kerukunan yang dibangun pengarang dalam novel KEI. Untuk mengungkapkan nilai kerukunan tersebut, peneliti menggunakan analisis sosiologi sastra. Agar penelitian ini mengarah ke sana maka metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif. Oleh Pradopo (2001: 25) menjelaskan bahwa penelitian kualitatif menitikberatkan pada segi alamiah dan mendasarkan pada karakter yang terdapat dalam data. Oleh sebab itu, metode kualitatif memiliki persamaan dengan metode pemahaman. Adapun yang menjadi sumber data ilmu sosialnya adalah masyarakat sedangkan yang menjadi fokus penelitiannya adalah tindakan masyarakat yang digambarkan dalam novel tersebut.

Data primer:

Judul KEI

Pengarang Erni Aladjai

Penerbit Gagas Media

Jumlah Halaman 250

Ukuran Naskah 13 x 19 cm

Cetakan Pertama


(34)

Warna Sampul Warna putih dan dipadu dengan warna hitam pekat

Gambar Sampul Dua wujud manusia yang saling berpegangan tangan

Desain Sampul Dwi Anissa Anindhika

3.2 Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan riset pustaka atau library research. Oleh Fitrah (2008: 122) menyebutkan bahwa Library Research atau penelitian kepustakaan adalah data dan alat untuk menganalisis data semuanya bersumber dari buku-buku, majalah dan koran yang ada dalam koleksi perpustakaan. Setelah berbagai informasi diperoleh melalui sumber-sumber yang mendukung, selanjutnya dilakukan penerapan langkah-langkah yang konkret dalam pengumpulan data. Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara menyimak dan mencatat. Langkah menyimak artinya menyimak secara cermat, teliti, dan terarah terhadap sumber data. Dari hasil penyimakan yang dilakukan terhadap seluruh teks pada novel KEI kemudian dicatat dan dirangkum untuk digunakan sebagai penyusunan laporan penelitian. Oleh Subroto (1992: 41-42), menyebutkan bahwa dalam data yang dicatat itu, disertakan pula kode sumber datanya untuk pengecekan ulang terhadap sumber data ketika diperlukan dalam rangka analisis data.


(35)

3.3 Teknik Analisis Data

Adapun teknik analisis data yang diterapkan dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan data yang diperoleh melalui pembacaan teks. Pembacaan teks dilakukan dengan cara membaca heuristik dan hermeneutik. Tahap pertama dalam pembacaan diawali dengan jalan meneliti bentuk-bentuk kerukunan sosial dan kemudian mendeskripsikan bentuk-bentuk kerukunan sosial ketika terjadi perang saudara seperti yang dilukiskan dalam novel KEI.

Selanjutnya masuk pada tahap yang kedua, yaitu pembacaan hermeneutik. Pada tahap hermeneutik diartikan sebagai tahap penafsiran terhadap teks-teks bahasa. Untuk tahap pembacaan hermeneutik, pembaca diharapkan mampu mencari makna yang terkandung dalam teks yang dibacanya. Oleh Ratna (2006: 45) mengatakan:

“pada dasarnya medium pesan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa Indonesia sangat banyak makna yang tersembunyi, atau sengaja disembunyikan.”

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data yang berkaitan dengan objek yang sedang diteliti adalah diurutan sebagai berikut :

1. Membaca secara berulang-ulang obyek yang diteliti. 2. Memilih data yang berhubungan dari obyek yang diteliti.

3. Melakukan usaha untuk menguji kebenaran data yang diperoleh dengan cara memahami, menghayati, menafsirkan, dan menginterpretasikan data.

4. Dilakukan penganalisisan secara mendalam terhadap data yang ditemukan dalam obyek penelitian.


(36)

BAB IV

BENTUK-BENTUK KERUKUNAN SOSIAL DALAM NOVEK KEI

4.1 Kekerabatan Orang Kei

Masyarakat Kei sesungguhnya masih hidup dalam ketradisionalannya. Kehidupan masyarakat Kei diwarnai dengan adat istiadatnya. Inti dari adat istiadat orang Kei adalah kekeluargaan. Kekeluargaan pada masyarakat Kei dimaknai dalam arti yang luas yaitu mencakup seluruh dimensi kehidupan manusia, dan tidak hanya terbatas pada bentuk kekeluargaan secara biologis. Semangat kekeluargaan dan kekerabatan pada masayarakat Kei yang diikat dengan hukum adat istiadatnya, yaitu hukum adat istiadat Yanur-Mangohoi, Koi-Maduan, dan Teabel. (http://ellykudubun.wordpress.com/tag/kepercayaan-masyarakat-kei/)

Pertama, Yanur-Mangohoi, bentuk kekerabatan ini merupakan suatu kesatuan orang-orang yang diikat dalam perkawinan adat. Artinya perkawinan dua orang-orang menjadi tanggungjawab dua keluarga besar (fam). Fam merupakan suatu kelompok kekerabatan yang bersifat patrilineal.Yanur-Mangohoi diikat dalam suatu perkawinan dan berlaku terus selama belum ada kematian dari salah satu pihak. Meskipun islilah ini hanya dikenakan dalam konteks perkawinan, namun implikasi dari sistem ini juga ada dalam upacara kematian.

Kedua, Koi-Maduan, secara harfiah, Maduan berarti tuan atau pemilik. Maduan adalah orang yang selalu memberikan bantuan, sedangkan pihak penerima bantuan disebut Koi yang artinya bawahan atau abdi. Koi-Maduan dapat dipakai dalam beberapa konteks, misalnya dalam perkawinan dan perjanjian sosial-ekonomi, di dalamnya terdapat relasi atasan dan bawahan. Pihak atasan bertindak sebagai yang menguasai, mengatur, menuntut hak, dan bertanggungjawab atas kepentingan bawahannya, sedangkan pihak bawahan wajib tunduk dan taat, serta


(37)

mempercayakan diri kepada atasannya dan melayani. Bentuk kekerabatan ini berlandaskan rasa percaya yang tinggi, namun dalam prakteknya, terkadang yang terjadi adalah dominasi atasan terhadap bawahan.

Ketiga, Teabel, istilah ini terdiri dari dua kata, yakni Tea yang artinya menggores dan Bel yang berarti darah yang mengalir. Jadi Teabel adalah bentuk kekerabatan atau perjanjian yang diikat oleh “aliran darah”. Unsur yang utama dari budaya ini adalah solidaritas antara saudara yang menunjuk pada dua hal, yakni, sikap untuk membantu orang atau kampung lain yang terlibat dalam perjanjian itu, dan kemampuan untuk terlibat dalam kehidupan orang lain dalam kesepakatan adat. Sistem kekerabatan ini sebenarnya mau mengangkat derajad semua orang-orang khususnya dipulau Kei sebagai saudara yang harus dihargai, dilayani dan diperhatikan, (http://ellykudubun.wordpress.com/tag/kepercayaan-masyarakat-kei/).

4.2 Bentuk-Bentuk Kerukunan Sosial Dalam Novel Kei

Pada dasarnya, setiap kelompok masyarakat selalu menginginkan kehidupan yang rukun. Kehidupan yang rukun menunjukkan kondisi yang tentram, damai, dan nyaman dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk mewujudkan hal tersebut dibutuhkan sikap keterbukaan bagi setiap anggota masyakatnya dalam bersosialisasi agar terjalin hubungan yang baik bagi setiap anggota masyarakatnya di dalam berinteraksi. Menurut Eka (dalam Yewangoe, 2002: hal, 33) bahwa kerukunan juga tidak terwujud ketika masing-masing memutlakkan kebenarannya sendiri, kerukunan sejati terwujud ketika semua pihak bersama-sama secara interaktif mencari kebenaran bersama.

Menciptakan kehidupan yang rukun di tengah-tengah perbedaan masyarakatnya yang begitu kental bukanlah hal yang mudah. Namun, bukan tidak mungkin juga masyarakat dapat menciptakan kehidupan yang rukun tersebut di dalam keberagamannya. Usaha yang harus


(38)

ditempuh adalah membangun interaksi yang seimbang bagi anggota masyarakatnya dan diperlukan kesadaran bersama untuk saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Menurut Yewangoe (2002: 37), dengan demikian (untuk mewujudkan kerukunan itu) perlu adanya kesadaran bersama tentang keterpaduan kekuatan-kekuatan tersebut, sehingga secara bersama pula dapat menemukan jalan keluar yang memadai bagi terciptanya kesejahteraan bersama. Membangun interaksi yang seimbang dalam suatu kelompok masyarakat dapat dilakukan melalui musyawarah-musyawarah terbuka untuk membentuk kerjasama-kerjasama yang berkualitas dengan kepentingan bersama-sama. Dalam novel KEI, ada beberapa bentuk kerukunan yang digambarkan dalam kehidupan masyarakat Kei, yaitu sebagi berikut.

4.2.1 Hubungan Kerjasama Antar Masyarakat Kei

Menurut Hendropuspito (1989: 236) bahwa kerja sama adalah suatu bentuk proses sosial di mana dua atau lebih perorangan atau kelompok mengadakan kegiatan guna mencapai tujuan yang sama. Membangun kerja sama bukan hanya bertujuan untuk menghasilkan program kerja bersama dalam masyarakat tersebut. Namun, kerja sama juga dapat mempererat hubungan setiap individu yang terlibat di dalamnya. Dalam kehidup bermasyarakat, suatu kegiatan kerja sama sangat diperlukan untuk melatih cara berfikir yang baik, berbicara anggota masyarakatnya menghasilkan kesepakatan bersama sebelum kerja sama tersebut dimulai. di antara anggota masyarakatnya juga berfungsi untuk mempererat keberasamaan pada setiap anggota masyarakat.

Dalam novelnya, Erni Aladjai menggambarkan kehidupan rukun yang tercipta di antara masyarakat di pulau Kei. Kerukunan tersebut terjalin melalui hubungan kerjasama-kerjasama yang dibangun antar masyarakatnya. Kerja sama yang dilakukan dalam bentuk kegiatan aktivitas kemanusiaan. Banyak kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh masyarakat yang berada di pulau Kei khususnya di kamp-kamp pengungsian. Hal inilah yang terlihat dalam kutipan berikut.


(39)

Namira sedang memotong-motong sayur pare saat Sala mendekatinya, membawa serumpun ikat ikan bobara dan sekeranjang kerang.

“Kami dari memancing, kasihan ibu-ibu pengungsi yang sedang menyusui itu, mereka makan mi instan terus,” kata Sala sembari meletakkan ikan dalam sebuah loyang dan mengangkatnya di depan Namira. Gadis itu terpana mendengar rangkaian kalimat yang meluncur dari mulut Sala. Jarang sekali lelaki di usia muda seperti dirinya memikirkan nasib air susu ibu-ibu, (KEI: 70).

Dari kutipan di atas, dapat dilihat bahwa apa yang sedang dilakukan oleh Sala merupakan bentuk kepeduliannya terhadap para ibu yang berada di pengungsian. Saat kerusuhan sedang terjadi, Sala bahkan tidak memikirkan tentang kondisi dirinya. Keinginan Sala mambantu sesamanya tulus dari hatinya, bukan karena paksaan.

Di pengungsian, para pemuda terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Bersama dengan Tim Relawan Kemanusiaan (TKR), para kaum pemuda saling bahu membahu untuk memberikan pelayanan dan pengamanan kepada warga yang sedang mengungsi. Baik kaum lelaki dan perempuan, yang tua dan yang muda, saling bekerja sama untuk kepentingan bersama-sama.

Di sana para perempuan anggota Tim Relawan Kemanusiaan (TKR) tengah memasak buat para pengungsi. Batu-batu besar berdiri tiga menyerupai segitiga. Di atasnya dandang-dandang besar mengepulkan uap panas. Namira turut serta. Gadis bermata cokelat itu menggosok-gosokkan majun di permukaan meja panjang. Lalu, dia meleret-leretkan loyang yang berisi makanan buat pengungsi, (KEI: 70).

Pukul tujuh malam, para perempuan saling membantu mengangkat loyang-loyang berisi ubi, sayur, dan ikan kuah. Para lelaki makan malam secara bergantian. Selebihnya berjaga-jaga di luar, (KEI: 71).

Di desa Kei, masyarakatnya hidup dalam kemajemukan. Beragaman agama, etnis, antargolongan ada dalam kehidupan masyarakatnya. Namun, dalam kemajemukan tersebut masyarakatnya dapat hidup berdampingan. Walaupun di tengah konflik SARA (Suku, Agama,


(40)

Ras, dan Antargolongan) yang terjadi, masyarakat Kei tetap saling menghargai dan menolong sesamanya. Mereka selalu menjaga kehidupan yang rukun dalam keberagamannya tersebut.

4.2.2 Kerukunan Antar Umat Beragama

Agama pada dasarnya adalah sebuah sistem kepercayaan yang di dalamnya berisi aturan dan peraturan, hukum, praktik, doktrin-doktrin, dan ajaran-ajaran suci yang berhubungan dengan Sang Pencipta atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Bagi para penganutnya, agama dianggap sebagai upaya penyucian diri untuk mendekatkan diri dengan Tuhannya. Kehadiran agama selain diakui dalam praktik ritualnya yang menghubungkan manusia dengan Tuhannya, agama juga dapat berfungsi untuk memperkuat sikap solidaritas dalam kehidupan bermasyarakat. Berkaitan dengan hal ini, Horton dan Hunt (dalam Dwi dan Bagong, 2007: 254) mengatakan bahwa:

“Pranata agama memiliki fungsi manifes dan latent. Fungsi manifest (nyata) agama berkaitan dengan segi-segi doktrin, ritual, dan aturan perilaku dalam agama. Tujuan atau fungsi agama adalah untuk membujuk manusia agar melaksanakan ritus agama, bersama-sama menerapkan ajaran agama, dan menjalankan kegiatan yang diperkenankan agama. Sedangkan fungsi latent agama, antara lain menawarkan kehangatan bergaul, meningkatkan mobilitas sosial, mendorong terciptanya beberapa bentuk stratifikasi sosial, dan mengembangkan seperangkat nilai ekonomi.”

Dalam kehidupan masyarakat majemuk, keberadaan agama menjadi begitu penting mengingat kondisi setiap anggota masyarakanya yang hidup dalam keberagaman. Seperti yang telah dipahami bersama bahwa konsep dari masyarakat majemuk itu sendiri adalah masyarakat yang terdiri atas kelompok-kelompok tertentu yang dibedakan melalui golongan-golongan sosialnya, seperti suku, ras, kedudukan, sektor ekonomi, bidang politik, dan sebagainya yang berada dalam satu Negara yang disebut suku bangsa. Perbedaan-perbedaan ini sering menimbulkan konflik dikalangan kelompok-kelompok masyarakat. Di sinilah peran dari agama diharapkan mampu sebagai sistem pengontrol perilaku guna menyeimbangkan hubungan yang


(41)

terjalin dengan sesama anggota dalam masyarakatnya. Oleh Dwi dan Bagong (2007: 252) mengatakan bahwa :

“Peraturan atau kaidah yang terdapat di dalam agama dapat berupa petunjuk-petunjuk, keharusan atau perintah, maupun larangan-larangan, yang semua itu agar ada keselarasan, ketertiban, dan keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia yang lain, manusia dengan lingkungan alam, dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa dapat tercapai.”

Lebih lanjut, Dwi dan Bagong (2007: 252) mengatakan bahwa :

“Agama tidak jarang dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublim; sebagai benteng moralitas yang cukup tangguh; sebagai sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin bagi para individu; sebagai sesuatu yang memuliakan dan membuat manusia beradab.”

Berbicara tentang persoalan agama memang tidak ada habisnya. Di sisi lain, jika melihat kasus-kasus sosial yang terjadi selama ini, agama tidak sepenuhnya dianggap sebagai sistem perekat solidaritas dalam bermasyarakat. Buktinya keberadaan agama itu sendiri sering diperalat oleh oknum-oknum tertentu untuk menciptakan konflik-konflik sosial dikalangan masyarakat. Pengelompokan masyarakat berdasarkan agamanya juga dapat membangun ketidakharmonisan hubungan sosial antar masyarakatnya. Oleh Elly dan Usman (2011: 351) mengemukakan bahwa:

“secara sosiologis, agama selain dapat dijadikan sebagai alat perekat solidaritas sosial, tetapi juga menjadi pemicu disintegrasi sosial. Perbedaan keyakinan penganut agama yang menyakini kebenaran ajaran agamanya, dan menganggap keyakinan agama lain sesat telah menjadi pemicu konflik antar-penganut agama.”

Erni Aladjai dalam novelnya KEI, menggambarkan kehidupan suatu kelompok masyarakat yang begitu rukun terhadap sesamanya. Kelompok masyarakat yang dimaksudkan di sini adalah masyarakat Kei. Masyarakat Kei merupakan kelompok masyarakat yang majemuk. Banyak terdapat perbedaan-perbadaan sosial yang begitu mencolok pada setiap anggota masyarakatnya. Salah satu bentuk perbedaan tersebut adalah sistem religi atau agama. Agama


(42)

yang paling mendominasi pada masyarakat Kei adalah agama Islam dan agama Kristen (Protestan dan Katolik). Walaupun memiliki perbedaan dari segi agamanya, akan tetapi dalam praktik sosialnya masyarakat Kei tetap bersatu. Mereka dapat hidup berdampingan dengan damai, seperti yang digambarkan di kamp-kamp pengungsian pada novel tersebut. Saat konflik SARA melanda pulau Kei dan sekitarnya, baik masyarakat lokal maupun yang berasal dari luar pulau Kei bergabung dalam satu pengungsian yang sama yang berada di Desa Kei. Masyarakat yang bergabung dalam pengungsian tersebut beragam. Ada yang beragama Islam, Kriten Protestan, dan Kristen Katolik. Semuanya bersatu, saling menghormati, menolong, dan menjaga sesamanya. Hal ini terdapat pada kutipan berikut.

Namira dan para pengungsi bergabung dengan warga lokal di sana. Mereka mengungsi di dalam Gereja Ohoinol. Sementara di luar, Warga Ohoinol berjaga-jaga. Tak ada jarak agama. Pengungsi beragama Islam ikut berlindung ke dalam Gereja. Di luar, warga Ohoinol yang beragama Katolik berjaga-jaga. Mereka menjaga keamanan. Melindungi saudara-saudara mereka yang Islam dan Protestan, (KEI: 23).

Ada beberapa bentuk kerukunan beragama dalam masyarakat. Dalam hal ini, oleh Yewangoe (2002: 28) membagi konsep kerukunan beragama ke dalam tiga bentuk yang disebut sebagai Tri Kerukunan beragama, yaitu kerukunan antar-umat beragama, kerukunan intern-umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah. Kerukunan antar-umat beragama dapat diartikan sebagai kerukunan yang terjalin diantara agama-agama yang berbeda. Kerukunan intern-umat beragama adalah kerukunan yang dibangun oleh para umat dengan agama yang sama. Sedangkan kerukunan umat beragama dengan pemerintah merupakan bentuk kerukunan yang tercipta melalui kerjasama-kerjasama antara tokoh-tokoh agama dengan pemerintah. Jika melihat data di atas, maka ada dua bentuk kerukunan yang tercipta saat warga berada di dalam gereja Ohoinol, yaitu bentuk kerukunan antar-umat beragama dan kerukunan intern-umat beragama. Dikatakan kerukunan antar-umat beragama karena ada terjalin hubungan


(43)

yang baik antara warga yang beragama Islam dengan warga yang beragama Kristen. Sedangkan bentuk kerukunan intern-umat beragama adalah saat keberadaan warga yang beragama Protestan dipengungsian, mendapatkan perlakuan yang baik dari warga yang beragama Katolik.

Semua warga Kei sama. Mereka bersaudara dan menghormati setiap perbedaan yang ada. Masyarakat Kei suka menolong. Seperti yang dilakukan oleh sosok Namira dan keluarganya. Namira dan keluarganya menganut agama Islam. Akan tetapi, ayah Namira suka berbagi dan membantu kepada sesamanya yang beragama Kriten. Jika ada kegiatan-kegiatan amal seperti pembangunan gereja, ayah Namira selalu meluangkan waktu dan tenaganya untuk ikut dalam pengerjaan tempat ibadah tersebut.

“…Namira kenal baik pendeta itu. Dahulu waktu di sekoloah dasar, ayahnya kerap memintanya mengantarkan ikan kerapu yang masih segar ke rumah Pendeta Fritz. Kadang-kadang jika ada kegiatan amal gereja, ayahnya ikut membantu membangun tenda-tenda terpal, (KEI: 23).

Di desa Kei, para warganya selalu melakukan kegiatan-kegiatan amal. Pembangunan tempat-tempat ibadah dikerjakan bersama-sama. Misalnya, warga Kei yang beragama Kristen ikut terlibat langsung dalam pembangunan sebuah masjid. Sebaliknya, bagi warga Kei yang beragama Islam memperbolehkan masjid dipakai untuk tempat ibadah bagi warga Kei yang beragama Kristen jika diperlukan. Bentuk kekeluargaan ini sudah menjadi tradisi yang terus menerus diajarkan kepada orang-orang di Kei.

“Suatu hari, masjid di kampung saya diterpa angin puting beliung. Atapnya rusak. Jemaah gereja di kampung saya, ikut kerja bakti memperbaiki masjid, termasuk saya. Imam masjid di kampung kami berkata; bukan lantaran kita hidup sekampung atau kita berbeda agama sehingga kalian membantu kami memperbaiki masjid ini. Namun, peristiwa hari ini adalah karena kita bersama-sama melanjutkan apa yang telah leluhur kita lakoni sejak dulu, masjid ini milik bersama, silakan dipakai ibadah menurut agama masing-masing,” kata Sala sembari meniru ucapan sang Iman masjid, (KEI: 73).


(44)

Bagi para penganutnya, menjalankan ritual-ritual yang berhubungan dengan agama yang dianutnya adalah bagian yang penting dan wajib untuk dilaksanakan. Begitupun dengan masyarakat Kei. Warga Kei yang beragama Kristen memiliki kewajiban untuk beribadah pada hari minggu. Di kamp pengungsian, pelaksanaan ibadah minggu pagi dilakukan. Bagi warga Kei yang beragama Islam turut menenangkan diri untuk menjaga suasana agar tetap hening. Mereka berusaha untuk memberikan kenyamanan bagi saudaranya yang beragama Kristen yang sedang beribadah. Menghormati orang yang sedang beribadah adalah praktik kerukunan di dalam beragama itu sendiri.

Minggu pagi, sebagian pengungsi berpakaian rapi. Mereka membawa Alkitab memasuki gereja. Namira mengamati mereka satu per satu. Wajah yang tenang menuju pemujaan Tuhannya. Di tenda tinggal pengungsi muslim. Suasana hening. Yang tak ibadah menghormati yang sedang beribadah, (KEI: 92).

Ikatan persaudaraan antar masyarakat Kei sangat Kental. Rasa persaudaraan ini juga melahirkan sikap kepedulian terhadap sesamanya dan telah mematahkan perbedaan-perbedaan yang ada. Seperti yang terlihat dalam kutipan berikut ini.

Pengungsi dibagi dua kelompok. Satu kelompok akan diungsikan ke Gereja Langgur. Satunya lagi akan diungsikan di rumah Pastor Gerardus. Nasib mereka pasrahkan saja pada Tuhan. Esme mengungsi ke rumah Pastor Gerardus. Namira berada di kumpulan orang-orang yang mengungsi ke gereja. Esme memeluk Namira. Dia mengeluarkan kalung emasnya dengan liontin Nabi Isa di kayu salib. Namira tertegun melihat liontin itu,

“Ambil ini, jika kau butuh uang, kau bisa menjualnya,” kata Esme sembari menarik tangannya den menyimpan kalung itu. Esme menggenggam tangan Namira.

“Tapi.”

“Ambilah. Rusuh di Kei tak ada hubungannya dengan Islam atau Kristen. Tuhan dan agama tak pernah mengkhianati pemeluknya. Manusialah yang mengkhianati Tuhan dan agamanya.”

“Ambillah! Hanya itu yang bisa kuberikan. Jangan pandang mata kalung itu. Pandang emasnya, siapa tahu kelak jika kau butuh sesuatu, kau bisa menjualnya!” kata Esme sekali lagi. Namira memeluk Esme dengan erat, (KEI: 67-68).


(45)

Dari kutipan diatas, semangat kepedulian yang terjalin diantara Esme dan Namira adalah bentuk dari persaudaraan masyarakat Kei terhadap sesamanya. Esme memiliki hubungan yang baik dengan Namira. Sebenarnya keduanya berbeda agama. Esme beragama Kristen sedangkan Namira beragama Islam. Akan tetapi, selama di pengungsian keduanya saling menyayangi dan mengasihi. Esme memberikan sebuah liontin kepada Namira sebagai wujud kepeduliannya terhadap Namira. Kekeluargaan seperti inilah yang selalu dilakukan oleh masyarakat Kei. Walaupun di dalam perbedaan tersebut, warga Kei masih mau memberi dan menolong sesamanya.

4.2.3 Kerukunan Antar Suku

Suku atau suku bangsa adalah suatu istilah yang ada pada masyarakat sebagai bentuk identitas diri yang dilihat melalui pengelompokan kebudayaannya. Dalam hal ini, menurut Koentjaraningrat (1990: 264-265) mengenai penyebutan suku diusulkan harus secara lengkap, yaitu suku bangsa. Menurutnya, penyebutan kata suku pada masyarakat dalam sistem peristilahan etnografi dan ilmu hukum adat di Indonesia, sudah mempunyai arti teknikal yang khas. Namun, sejauh ini belum ada ketetapan dalam pemakaian kedua istilah tersebut. Jadi, baik istilah suku maupun suku bangsa bisa digunakan untuk menyebutkan suatu golongan masyarakat tertentu. Masih menurut Koentjara di dalam buku yang sama, bahwa konsep istilah suku bangsa adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan indentitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas itu seringkali dikuatkan oleh kesatuan bahasanya juga.

Hal serupa juga diutarakan oleh Elly dan Usman (2011: 469) bahwa antara suku satu dengan suku lainnya terdapat ciri khas masing-masing, terutama pola-pola kehidupannya yang berkaitan dengan peralatan hidup, bahasa, pakaian adat, bangunan rumah, kesenian, dan sistem


(46)

perkawinan. Kesadaran atas persamaan kebuayaan ini juga menandai keterjalinan hubungan yang lebih dekat lagi diantara masyarakatnya yang bersangkutan dibandingkan dengan individu di luarnya. Dengan kata lain, kedekatan setiap anggota kelompok masyarakatnya yang sesuku lebih kental dibanding dengan masyarakat di luar sukunya. Oleh sebab itu, Pengelompokan masyarakat berdasarkan kesukuannya dapat menimbulkan kesenjangan sosial dalam bermasyarakat.

Dalam novel KEI, pengarang menggambarkan kehidupan masyarakat Kei yang hidup rukun dalam keberagaman sukunya. Hubungan antar suku dalam masyarakatnya sangat baik. Perbedaan suku diantara warganya tidak lantas membuat masyarakat di desa Kei terpecah-pecah. Saat kerusuhan sedang memuncak di luar pulau Kei dan sekitarnya, keadaan masyarakat di desa Kei masih cukup aman. Semua warga Kei saling mengingatkan agar setiap suku yang ada di desa mereka tidak terlibat dalam konflik. Warga Kei juga melakukan diskusi atau musyawarah yang bertujuan untuk mencari jalan keluar agar kerusuhan cepat mereda. Hal ini digambarkan dalam kutipan berikut.

Ketika kerusuhan mulai memuncak di Kei, raja-raja adat orang Kei asli, para perantau; Bugis, Jawa, Buton, dan orang Tionghoa, semua berkumpul dan membicarakan perdamaian, (KEI: 119).

Dari kutipan di atas, musyawarah yang dilakukan oleh raja-raja adat Kei dengan suku lainya untuk membicarakan perdamaian. Musyawarah perdamaian ini merupakan seuatu bentuk usaha yang dilakukan warga Kei untuk tetap menjaga hubungan yang baik terhadap sesama masyarakat Kei. Tokoh-tokoh masyarakat yang ada di desa Kei, seperti tokoh adat dan tokoh agama sangat berperan penting di dalam mewujudkan hal tersebut.

Ismael Kabalmay, Imam masjid di Elaar pun menyampaikan hal serupa “Jangan sampai kita terlibat. Baik orang Kei, perantau Bugis, Jawa, Makassar, atau Buton, semua bersaudara…” Semua warga diminta berpelukan. Namira dan Mery berpelukan erat. Dua gadis remaja itu kini menjauh. Di belakang mereka,


(47)

kerumunan warga sedang membicarakan bagaimana cara mengamankan desa mereka, (KEI: 18).

Ismael Kabalmay adalah salah satu tokoh agama di pulau Kei tepatny di desa Elaar. Ismael menyuarakan agar setiap warga Kei tidak terpancing oleh riak-riak konflik yang sedang melanda desa mereka. Semua warga mendengarkan seruan tokoh ulama tersebut. Mereka paham betul apa yang disampaikan oleh Ismael Kabalmay. Warga saling berpelukan dan meyatukan diri. Persaudaran warga Kei cukup kental. Baik warga perantau maupun penduduk asli di desa Kei saling menolong dan menghormati. hal ini digambarkan pada kutipan berikut.

Tiga hari kemudian, kabar itu terbukti. Para penyerang telah mematahkan kelompok kecil pemuda Evu yang menjaga batas keamanan desa. Seorang pengusaha keturunan Cina Ambon pemilik kapal barang “Cinta Semusim” yang sering berangkat ke Makassar mengambil barang-barang tekstil dan bahan-bahan pangan, mengajak siapa saja yang ada di dekat bibir pantai untk mengungsi.

Kapal barang KM Cinta Semusim bertolak dari dermaga pulau Evu. Gadis itu menuju ke Makassar bersama ratusan pengungsi yang merupakan para pedagang Bugis dan Buton, (KEI: 147-148).

Pemilik kapal “Cinta Semusim” yang merupakan seorang keturunan Cina Ambon adalah pengusaha yang cukup sukses di pulau Kei. Upayanya untuk menyelamatkan setiap warga yang terjebak dalam situasi kerusuhan pada saat itu mengisyaratkan sikap solidaritasnya yang tinggi terhadap sesamanya. Pengusaha keturunan Cina Ambon tersebut tidak membeda-bedakan warga yang ingin di selamatkan. Semua warga yang terjebak kerusuhan diajak untuk masuk ke dalam kapalnya. Hal ini menggambarkan perbedaan suku diantara warga Kei bukanlah penghalang bagi mereka untuk saling menolong dan menjaga sesamanya. Justru di dalam perbedaan yang ada, masyarakat Kei dapat hidup rukun dan berdampingan dengan baik.

4.2.4 Hubungan Persahabatan

Persahabatan merupakan salah satu bentuk interaksi sosial yang terjadi di masyarakat. Persahabatan berbicara tentang hubungan yang terjalin di antara dua individu atau lebih.


(48)

Hubungan yang dimaksud di sini adalah hubungan yang lebih kental dan mendalam dari hubungan pertemanan pada umumnya. Menurut Kurth (dalam Ahmadi, 1999: 232), persahabatan adalah suatu hubungan antar pribadi yang akrab atau intim yang melibatkan setiap individu sebagai suatu kesatuan.

Dalam novel KEI, digambarkan persahabatan di antara Namira dan Mery sudah lama terjalin. Di keluarganya, Namira dan Mery memiliki latar belakang yang sama, yaitu mereka berdua sama-sama anak tunggal. Dalam menjalin persahabatan, faktor dari latar belakang persamaan menjadi sangat penting karena dapat mendorong mutu dari persahabatan itu sendiri. Menurut Ahmadi (1999: 232) bahwa pada umumnya persahabatan timbul karena kecenderungan adanya persamaan di antara keduanya, seperti kesenangan atau hoby, berfikir, keinginan atau cita-cita, nasib dan sebagainya. Hubungan Namira dan Mery sangat dekat. Sejak duduk di sekolah dasar, Mery dan Nanmira sudah menjalin hubungan persahabatan. Bahkan mereka seperti saudara kandung. Semuanya ini terlihat dalam kutipan berikut.

Namira amat menyayangi Mery, mereka sudah serupa saudara kandung. Mery dan Namira yang sama-sama anak tunggal telah saling mengikat diri dalam tali persaudaraan semenjak mereka masih duduk di bangku sekolah dasar, (KEI: 133).

Mery sudah seperti bagian dari keluarga besar Namira. Kedua orang tua Namira sangat menyayangi Mery. Hubungan keduanya terlihat unik pada saat Mery ikut makan malam bersama dengan keluarga besar Namira. Saat doa pemubaka makan malam dimulai, fenomena yang terlihat adalah Mery berdoa sesuai dengan kepercayaannya, sedangkan Namira beserta keluarganya akan berdoa sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Walaupun diantara keduanya ada perbedaan agama, namun Mery selalu mendapatkan kehangatan dari kedua orang tua Namira.


(49)

Orang-orang di rumah Namira selalu sayang padanya. Jika Mery datang disaat mereka bersiap-siap makan malam maka Samrina akan memaksanya ikut makan bersama kendati Mery baru usai makan di rumahnya. Jika ikut makan di sana, maka ayah Namira akan memimpin makan malam seraya berkata “Mari berdoa menurut kepercayaan masing-masing.” Mery sering tertawa dalam hati. Kalimat itu mengingatkan dia pada penutupan pidato dalam Upacara Hari Senin, (KEI: 104).

Setiap kali Mery datang bertamu kerumah Namira, Samrina akan menyambutnya dengan hangat. Samrina adalah ibu dari sahabatnya Mery. Rasa kepedulian Samrina terhadap keluarga Mery cukup besar. Jika Mery datang, Samrina akan menyakan keadaan orang tuanya. Hal ini menggambarkan hubungan antara Mery dengan Namira telah diikat oleh sebuah kekeluargaan.

Setiap kali Mery datang ke rumah Namira, Samrina akan berhenti menjahit. Dia akan merentangkan kedua tangannya dan Mery bergegas menyongsongnya.

“Bagaimana kabar ibu dan bapakmu?” tanya Samrina.

“Papa sedang melakukan penyuluhan TBC di desa letfuan.” Ayah Mery Kaplale adalah seorang mantra kesehatan, (KEI: 108-109).

“Ibumu bagaimana kabarnya, apakah dia sehat?” tanya Samrina lagi pada Mery.

“Mama sedang sibuk mengurusi LSM nya.”

“Ibu amat bangga pada ibumu, Mery. Dia perempuan yang cerdas dan mau berjuang untuk rakyat kecil macam kami ini.” (KEI: 109).

Semenjak kerusuhan terjadi di pulau Kei, Namira dan Mery menjadi terpisah-pisah. Namira berada di kamp pengungsian warga, sedangkan Mery tinggal bersama keluarganya. Keduanya saling merindukan. Hal ini digambarkan pengarang pada saat kedatangan Mery yang tiba-tiba ke kamp pengungsian warga tempat Namira tinggal. Mereka langsung berpelukan untuk melepaskan kerinduannya masing-masing.

Keesokan harinya, betapa Namira terkejut dan bahagia. Mery tiba-tiba muncul dan berdiri di depan tenda sambil merentangkan tangan. Wajahnya sedih, tapi dia berusaha tersenyum. Kedua gadis itu lantas berpelukan. Mery telah bersusah payah mencari tahu kabar Namira, (KEI, 94).


(50)

Mery memeluk sahabatnya. Mengalirkan kekuatan pada gadis itu. Malam itu mereka tidur berdampingan dalam hening. Tak ada lagi percakapan jelang lelap seperti dulu yang biasa mereka lakukan, (KEI: 95).

Menurut Ahmadi (1999: 232) bahwa persahabatan merupakan konsep sosial yang murni, persahabatan menuntut pemeliharaan dalam semua interaksinya. Persahabatan merupakan jenis interaksi sosial yang tulus keluar dari hati tanpa melihat aspek-aspek sosialnya masing-masing. Sebuah hubungan persahabatan membutuhkan rasa kesetiaan dan kepedulian diantara individunya yang saling berhubungan. Hal inilah yang digambarkan pengarang dalam hubungan persahabatan antara Namira dengan Mery. Konflik yang sedang memanas di pulau Kei dan sekitarnya adalah konflik yang berbau SARA. Akan tetapi, Namira dan Mery tetap menjaga hubungan persahabatan mereka dengan baik.

Keesokan magribnya, di bibir Pantai Langgur, Namira melepas Mery balik ke desanya. Mereka kembali berpelukan. “Kamu tetap sayang saya, walaupun saya Islam kan?” Tanya Namira pada Mery dengan mata bengkak.

“Jangan bicara begitu, Ra, tak ada Islam, tak ada Kristen…”, (KEI, 95). “Kapan kita bisa bersama lagi?” tanya Namira kembali.

“Secepatnya Ra, kalau kampung sudah aman. Saya sudah meminta pada mama agar kamu dibawa ke Evu. Tapi ibu bilang demi keselamatanmu, kamu di sini dulu. Ini hanya untuk sementara…” Mery memeluk Namira untuk kesekian kalinnya. Gadis itu berbisik; “Makanlah kue itu, itu pertama kali mama turun ke dapur. Mama dan papa mengingatmu. Berdoa semoga rusuh akan lekas berakhir.” (KEI, 96).

Dari kutipan di atas, menggambarkan kesetiaan Mery terhadap sahabatnya. Mery menegaskan kepada Namira bahwa perbedaan agama diantara mereka tidak mengurangi rasa persaudaraannya terhadap Namira. Keluarga Mery juga memiliki rasa yang sama. Keluarga Mery selalu mendokan Namira. Dari pengalaman Namira, Emeliana ibunya Mery adalah sosok ibu yang baik. Sama halnya seperti yang dilakukan Samrina kepada Mery, jika setiap kali


(51)

Namira bertamu kerumah Mery, Emeliana selalu menyambutnya dengan ramah. Terkadang Emeliana menemani Namira dan Mery bermain. Bentuk kekeluargaan inilah yang tergambar dari hubungan persahabatan Namira dengan Mey.

Sepanjang Namira mengenalnya, Emeliana memiliki mata yang ramah dan penuh kasih sayang. Dia selalu sibuk bekerja mengurusi pendidikan kerakyatan. Jika Namira bertamu di rumah Mery, dan kebetulan Emeliana tak sedang serius bekerja, dia akan menonton bersama kedua gadis itu, (KEI: 110).

Sejak kerusuhan memanas di pulau Kei dan sekitarnya, Mery selalu mencurahkan perhatiannya kepada Namira. Mery sangat sedih dengan kondisi Namira. Dia terus mencari tahu khabar tentang keadaan sahabatnya itu. Hal ini digambarkan pada kutipan berikut.

Mery memeluk Namira dan mengucapkan maaf berkali-kali. Mereka bertangis-tangisan dalam kondisi panik. Beberapa saat yang lalu, Mery meminta pamannya untuk menjemput Namira di Langgur dan membawanya ke Evu. Emiliana baru saja menerima kabar lewat radio komunikasi kalau Langgur telah rusuh, dia meminta Mery dan Orlando adiknya segera menjemput Namira, (KEI: 128).

Dari kutipan di atas, digambarkan bagaimana kepanikan yang dirasakan Mery saat mengetahui kamp pengungsian yang ditempati Namira diserang oleh kelompok perusuh. Secepat mungkin Mery menjemput Namira ke kamp pengungsiannya. Upaya yang dilakukan oleh Mery terhadap sahabatnya itu adalah bentuk kesetiaan yang dibangun dalam hubungan persahabatan mereka. Persahabatan Mery dengan Namira yang sudah lama terjalin kini membuat keduannya memiliki ikatan batin yang kuat. Mereka sudah seperti bersaudara. Walaupun diantara mereka terdapat perdebedaan agama yang begitu mencolok, namun keduanya tetap rukun dalam menjalin hubungan persahabatannya.

4.2.5 Hubungan Cinta

Menurut Ahmadi (1999: 236) ada empat elemen utama yang mendasari tumbuhnya rasa cinta, yaitu pengertian, kepercayaan, kerja sama, dan pernyataan kasih sayang. Cinta yang


(1)

Setiadi, Elly M dan Kolip, Usman. 2011. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Kencana. Siswanto, Wahyudi. 2008. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Grasindo.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi: Suatu Pengantar Ringkas. Jakarta: Rajawali. Subroto. 1992. Penelitian Kualitatif. Jakarta: Grafindo Persada.

Sumardjo, Yacob. 1999. Konteks Sosial Novel Indonesia 1920-1977. Bandung: Alumni.

Sunarto, Kamanto. 2004. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Wellek, Rene dan Austin Werren. 1989. Teori Kesusasteraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Yewangoe.A.A. 2002. Agama dan Kerukunan. Jakarta: Gunung Mulia.

Internet

Januari 2013.

Februari 2014.

Ariansyah, diambil tanggal 10 Februari 2014.

diposting oleh

Yayasan Salawaku, diambil tanggal 24 Maret 2014. http://id.wikipedia.org/wiki/Pela.

http://ellykudubun.wordpress.com/tag/kepercayaan-masyarakat-kei/ (diambil tanggal 10 Februari 2014).


(2)

http://hasanudinnoor.blogspot.com/2010/06/larwul-ngabal-hukum-adat-di-kepulauan.html diambil tanggal 10 Februari 2014).

http://hasanudinnoor.blogspot.com/2010/06/larwul-ngabal-hukum-adat-di-kepulauan.html diambil tanggal 10 Februari 2014).

http://hasanudinnoor.blogspot.com/2010/06/larwul-ngabal-hukum-adat-di-kepulauan.html diambil tanggal 10 Februari 2014).


(3)

LAMPIRAN

Sinopsis

Novel KEI bercerita tentang warga-warga masyarakat yang saling membunuhan, berkelahian, menindas, dan membuat kerusuhan yang semuanya itu disebabkan karena adanya perselihan antar masyarakatnya. Kerusuhan ini sudah banyak menelan korban jiwa. Sebagian warga juga tidak lagi memiliki tempat tinggal karena rumah-rumah warga disekitar kerusuhan tersebut habis terbakar. Pemicu dari konflik tersebut adalah SARA (Suku, Agama, Ras, Antargolongan). Konflik ini bisa dikatakan seperti perang antar saudara karena warga yang bertikai masih tergolong sama, hidup satu rumpun, satu leluhur yang sama, dan satu adat kebiasaan yang sama pula. Penyebaran riak-riak kerusuhan ini begitu cepat, hingga menerobos pelosok-pelosok desa yang paling terpencil di bagian Maluku tenggara, yaitu Pulau Kei. Pulau kei merupakan sebuah pulau yang diapit antara Laut Banda dan Laut Arafuru.

Diantara semua daerah-daerah yang turut merasakan kerusuhan, daerah Pulau Keilah yang paling cepat bangkit dari keterpurukan perang saudara tersebut. Kehidupan masyarakat di Pulau Kei sangat tradisional. Masyarakatnya masih memegang teguh adat istiadat yang diajarkan oleh para leluhur mereka. Hukum adat di kei, seperti adat Ken Sa Faak, adat Vehe Belan, adat Larwul Ngabal, adat Pela dan sebaginya itu selalu mengajarkan tentang persaudaraan, keluarga, dan kasih sayang. Leluhur orang-orang Kei juga mewariskan prinsip kebersamaan, kepedulian, dan kesetaraan sosial bagi semua warga Kei. Prinsip satu leluhur inilah yang menjadi dasar dari nilai-nilai leluhur tersebut yang terus menerus mereka jaga.

Dulunya, dalam kehidupan masyarakat Kei hukum adat adalah satu-satunya hukum yang mendapat tempat paling tertinggi. Jauh sebelum masyarakat Kei mengenal hukum agama, hukum adat istiadat Kei sudah lama membimbing warga Kei dari masa ke masa di dalam menjalani


(4)

kehidupannya. Oleh karena itu, warga Kei selalu taat terhadap hukum adat mereka dan mematuhinya. Kehidupan warga Kei sangat majemuk. Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, adalah sebagian besar agama yang dianut oleh masyarakat Kei. Walaupun demikian, perbedaan agama bukan menjadi penghalang bagi masyarakat Kei untuk dapat hidup rukun. Perbedaan suku juga sangat mencolok. Di Kei, berbagai macam suku ada. Akan tetapi, perbedaan suku ini tidak menjadi membuat kesenjangan diantara masyarakat Kei. Adat istiadat ataupun ajaran-ajaran hukum leluhur telah membentuk karakter yang baik dalam diri orang-orang Kei. Sifat dan sikap masyarakat Kei dalam berinteraksi terhadap sesamanya tidak menunjukkan adanya diskriminasi atau pengucilan terhadap kaum minoritas. Semua warga Kei satu. Satu dalam ikatan nilai-nilai adat yang terus menerus hidup dalam diri mereka.

Konflik SARA yang terjadi di sana sempat mengganggu kehidupan masyarakat Kei. Sebagian kecil warga Kei ada yang terprovokasi oleh konflik tersebut, akan tetapi sebagian besarnya lagi lebih memilih untuk tetap menjaga keharmonisan yang sudah lama tercipta diantara warga Kei. Oleh karena itu, konflik tidak lantas membuat warga Kei terpecah-pecah. Di tengah maraknya kerusuhan yang terjadi, warga Kei masih saling hidup berdampingan, saling menyayangi dan menjaga sesamanya. Semua warga saling mengingatkan agar jangan terlibat konglik. Di kamp-kamp pengungsian di Kei, para warga terus bersatu. Mereka saling bekerja sama. Pemuda-pemuda di Kei menjaga batas wilayah untuk mengantisipasi datangnya serang para kelompok perusuh. Sedangkan kaum perempuan Kei melayani para warga yang mengungsi. Sebagian ada yang memasak di dapur dan sebagiannya lagi ada yang mencari bahan makanan untuk para pengungsi.

Semenjak kerusuhan memasuki tanah Kei, banyak warga Kei yang kehilangan segala-galanya. Ada yang kehilangan anaknya, istrinya, bapaknya, neneknya, rumah tempat tinggal, dan


(5)

sebagainya. Salah satunya seperti tokoh Namira yang digambarkan pengarang dalam ceritanya. Kerusuhan telah membuat Namira kehilangan sosok ibunya yang sangat ia sayangi. Rumah tempat tinggal Namira juga sudah habis terbakar. Kini Namira hanya bisa tinggal di pengusian bersama warga lainnya. Di kamp pengungsian, warga yang mengungsi berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Ada yang beragama Islam, Kristen Protestan, dan Katolik. Warga di pengungsian saling membantu. Warga yang beragama Islam membantu warga yang beragama Kristen. Begitupun sebaliknya, warga yang beragama Kristen menjaga warga yang beragama Islam.

Kerusuhan hanya akan membuat orang-orang yang berada disekitarnya berduka. Begitulah yang dirasakan oleh Namira. Kini dia hanya tinggal sebatangkara. Namun, Namira masih memiliki seorang sahabat yang baik dan perhatian kepadanya, yaitu Mery. Mery menjadi sosok penyemangat bagi Namira. Dia selalu memberi kekuatan kepada Namira. Persahabatan Namira dan Mery sudah lama terjalin, jauh sebelum konflik masuk ke desa mereka. Namira sangat menyayangi Mery, begitupun sebaliknya, Mery juga mengasihi Namira. Mereka berdua sudah seperti saudara. Sebenarnya Mery dan Namira memiliki perbedaan yang mencolok. Mery beragama Kristen dan Namira beragama Islam. Walaupun mereka dipisahkan oleh jarak agama, Mery dan Namira tetap saling menyayangi. Mery bahkan selalu menjenguk sahabatnya itu di kamp pengungsian tempat Namira tinggal. Mery belum bisa membawa sahabatnya itu untuk tinggal di rumahnya karena keadaan konflik yang semakin memanas. Sebenarnya keinginan Mery sangat besar. Mery meminta Namira untuk tetap bersabar dan berdoa. Apabila saat Mery pamit untuk pulang ke rumahnya, Namira sangat sedih. Namun, Namira sosok yang kuat. Dia selalu berusaha untuk menutupinya dari sahabatnya itu.


(6)

Bukan hanya Mery yang selalu sayang kepada Namira. Ada juga Sala, yang mencurahkan perhatiannya terhadap Namira. Apabila Namira sedang sedih, Sala ada disampingnya untuk menghiburnya. Sala dan Namira berada disatu kamp pengungsian yang sama. Namun, peran keduanya berbeda. Sala datang sebagai tim relawan, sedang Namira berada di pengungsian karena tempat tinggalnya sudah tidak ada lagi. Sejak dipertemukan di pengungsian, Sala dan Namira menjadi sangat dekat. Kedekatan diantara keduanya kini diikat oleh hubungan cinta. Sala dan Namira sebenarnya juga berbeda agama. Sala beragama Kristen dan Namira beragama Islam. Akan tetapi, keduanya dapat saling menyayangi dan mengasihi dalam hubungan percintaannya. Namun sayangnya, hubungan percintaan diantara Sala dan Namira tidak berlangsung lama.

Semenjak kelompok perusuh menyerang pengungsian mereka, Sala menyarankan Namira untuk ikut mengungsi ke Evu sedangkan dirinya tetap berada di pengungsian. Lalu Namira pergi ke desa Evu. Desa Evu sebenarnya desa tempat Mery. Mendengar penyerangan yang dilancarkan oleh kelompok perusuh ke kamp pengungsian tempat Namira berada, Mery bersama pamannya langsung segera menjemput Namira. Di Evu, Namira tinggal di rumah sahabatnya, Mery. Namira dan Mery sangat bahagia karena mereka bisa bersama lagi. Akan tetapi, kebahagian mereka lasung berubah menjadi kesedihan dan hiruk pikuk. Beberapa hari setelah pengyerangan di pengungsian, para kelompok perusuh kembali menyerang desa Evu. Di tengah kerusuhan yang terjadi, Namira ikut mengungsi ke Makassar tanpan sepengetahuan Mery. Kebingungan melanda pikiran Mery. Begitu juga dengan Sala. Setelah penyerangan itu berakhir, Sala mencari tahu khabar tentang Namira di Evu. Ternyata Namira tidak lagi di Evu. Mery menceritakan semuanya kepada Sala. Sala sangat sedih. Ia tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Pada akhirnya Sala meninggal dunia dengan membawa kerinduannya yang begitu besar kepada Namira.