Bentuk-bentuk Kerukunan Sosial dalam Novel KEI karya Erni Aladjai

BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, DAN LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka
Sepanjang pengetahuan penulis, belum ada orang yang membicarakan atau mengkaji
novel ini. Kemudian novel KEI juga sama sekali belum pernah diteli oleh para mahasiswa dalam
bentuk skripsi ataupun artikel. Akan tetapi, resensi-resensi tentang novel KEI yang bersifat
kritikan dan saran ada ditemukan dalam blog-blog peresensi (pembaca) karena novel ini adalah
pemenang unggulan dalam Sayembara Menulis Novel Dewan Kesenian Jakarta.
2.1.1 Rizky, dalam sebuah blog http://www.goodreads.com/book/show/18367554-kei yang
berjudul GoodReads Indonesia, diakses tanggal 16 Januari 2014.
Goodreads Indonesia merupakan blog yang dipergunakan untuk menampung berbagai
macam apresiasi peresensi, baik dalam bentuk kritikan maupun saran yang ditujukan terhadap
sebuah karya sastra yang dibaca. Sudah berbagai macam novel yang dibahas dalam blog ini,
salah satunya adalah novel KEI.

Rizky adalah salah satu peresensi yang memberikan

komentarnya terhadap novel KEI. Dalam blog tersebut, Rizky menyebutkan bahwa novel KEI
adalah sebuah novel yang menceritakan tentang kerusuhan di salah satu pulau di Maluku, yaitu
pulau Kei. Pulau Kei merupakan pulau yang terkena dampak kerusuhan di Ambon. Sebenarnya

pulau ini begitu damai dengan masyarakatnya yang menjungjung tinggi nilai-nilai persaudaraan
dan mengutamakan kehidupan yang rukun. Perang tersebut memang menghancurkan segalagalanya yang ada di pulau Kei, tempat tinggal yang dibakar, perkebunan yang hancur, nyawa
yang melayang, dan masih banyak lagi. Namun, perang itu tidak dapat menghancurkan
persaudaraan yang sudah terjalin begitu lama di pulau Kei.

Universitas Sumatera Utara

Pengarang tidak hanya menyuguhkan konflik, tetapi pengarang juga menggambarkan
bagaimana kerukunan yang dibangun dalam diri masyarakat di pulau Kei. Pesan moral yang
ingin disampaikan pengarang dalam ceritanya, seperti bagaimana menyikapi sebuah perbedaan,
hidup bertoleransi, saling menghormati dan menyayangi, dan sebagainya. Kelebihan dari novel
ini adalah kemampuan pengarang dalam mengkombinasikan antara konflik yang terjadi dengan
nilai-nilai kerukunan yang ada pada masyarakat Kei, salah satunya dari persahabatan Mery dan
Namira yang berbeda agama. Konflik ini merupakan perang agama, namun persahabatan Mery
dan Namira tidak menjadi retak karena konflik yang terjadi. Begitu juga dengan kehidupan
masyarakatnya. Walaupun masyarakat di pulau Kei hidup dalam berbagai macam perbedaan,
namun kerukunan dalam masyarakat tersebut tetap dijunjung tinggi.
2.1.2 Ariansyah, dalam sebuah blog pribadinya http://ariansyahabo.blogspot.com/2013/10/bookreview-kei-by-erni-aladjai.html yang berjudul Book Review, diakses tanggal 03 Oktober
2013.
Ariansyah adalah salah satu pembaca yang sudah membaca secara keseluruhan novel KEI.

Menurutnya novel KEI memiliki banyak typo di dalamnya. Pengarang tidak hanya mengangkat
cerita tentang konflik yang terjadi, namun pengarang juga menyuguhkan cerita tentang
percintaan dan persahabatan yang saling berbeda agama atau kenyakinan.
Dalam novel KEI, pengarang juga bercerita tentang masyarakat di desa Kei yang dikenal
hidup saling bertoleransi, menghargai, dan saling menolong. Kei adalah pulau yang terdapat
diantara laut Banda dan laut Arafuru, Maluku Tenggara. Daerah-daerah yang berada di pulau Kei
ini jarang terlibat konflik, walau masyarakatnya hidup dalam kemajemukan. Perbedaan agama,
ras, dan suku tidak menjadi penghalang untuk dapat menciptakan kehidupan yang rukun di
dalam bermasyarakat. Masyarakat di pulau Kei memang sudah seperti satu keluarga dengan satu

Universitas Sumatera Utara

nenek moyang yang sama. Kerukunan yang sudah lama tercipta merupakan budaya leluhur yang
selalu diingat oleh setiap anggota masyarakat di pulau Kei. Kebiasaan orang Kei yang selalu
mengingat kebudayaan leluhur ternyata menjadi senjata yang kuat untuk meredakan konflik
perang saudara pada saat itu.
2.1.3 Elfa, dalam sebuah blog pribadinya http://aplausthelifestyle.com/article/5257 yang berjudul
Aplaus Home Celeblizt Trendfeed, diakeses tanggal 31 Agustus 2013.
Elfa menyebutkan dalam blognya bahwa novel KEI adalah salah satu novel terbaik yang
pernah dibacanya. Alasan yang mendasari anggapan tersebut karena pengarang memiliki ide-ide

segar tentang kisah cerita cinta yang dipadu dengan konflik yang ada dalam ceritanya. Cinta
yang dipertemukan dalam suatu peperangan mungkin sudah biasa, namun peperangan yang
diangkat dalam novel KEI bukanlah perang antar Negara melainkan perang saudara yang
melibatkan perseteruan antar agama, suku, dan ras. Cinta Namira dan Sala pada saat itu dapat
dikatakan cinta yang terlarang karena mereka berdua berbeda keyakinan.
Pengarang juga memperlihatkan bagaimana cinta, kesetiaan, kasih, dan sikap toleransi
yang ditinggi di tengah konflik yang terjadi, walaupun perbedaan diantara masyarakatnya jelas
tidak memungkinkan hal itu. Novel ini dapat menjadi inspirasi bagi banyak orang. Membangun
persatuan dalam kekompleksitasan masyarakatnya hingga dapat mewujudkan sebuah kerukunan
hidup bermasyarakat merupakan cita-cita masyarakat yang sangat sulit untuk diciptakan, namun
dalam novel KEI hal ini dapat diwujudkan. Pengarang merangkainya dengan baik dan
menggunakan tata bahasa yang baik pula.
2.1.4 Yuska, dalam sebuah blog pribadinya http://lustandcoffee.wordpress.com/tag/giveaway
yang berjudul Gagas Debut Book Info, diakses tanggal 05 November 2013.

Universitas Sumatera Utara

Novel KEI bukan hanya bercerita tetang peperangan dan pembunuhan, namun jauh dari
itu novel KEI bercerita tentang persaudaraan yang diikat dengan persahabatan, cinta kasih,
kekeluargaan, dan dibumbuhi dengan kebudayaannya yang kental. Banyak typo-typo yang

terdapat dalam novel ini. Kata-kata yang dirangkai dalam ceritanya sangat sederhana tetapi
memberi pelajaran yang begitu berharga. Novel KEI bercerita tentang kerukunan masyarakatnya,
tentang persaudaraan, kekeluargaan, sikap toleransi, kedamaian, falsafah adat, dan masih banyak
lagi.
Kepulauan Kei dengan masyarakatnya bukanlah asal dari konflik yang terjadi, melainkan
dampak dari konflik yang terjadi. Pada saat itu, konflik menghancurkan segala-galanya yang ada
di pulau Kei, namun konflik tidak berhasil mengadu domba masyarakat Kei. Dinding kerukunan
masyarakat Kei yang sudah lama tercipta, dibingkai dalam bentuk persahabatan, kasih dan
kekeluargaannya tidak dapat ditembus konflik yang terjadi pada saat itu.
2.2 Konsep
Penelitian ini akan menggunakan sebuah konsep guna mendapatkan gambaran yang jelas
dengan hal-hal yang berkaitan terhadap penelitian. Konsep penlitian bertujuan untuk memahami
istilah-istilah atau kata yang digunakan sebagai acuan yang berhubungan tentang permasalahan
yang dianalisis. Adapun konsep dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
2.2.1 Sosiologi
Menurut William (dalam Idianto, 2006: 8) mendefenisikan sosiologi adalah suatu upaya
ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan perilaku sosial anggotanya dan menjadikan
masyarakat yang bersangkutan dalam berbagai kelompok dan kondisi. Kondisi ini dapat dilihat
dari keberadaan masyarakat dengan sistem sosialnya yang mencakup kaidah-kaidah sosial,
lembaga-lembaga sosial, lapisan-lapisan sosial, dan sebagainya serta pengaruh faktor ekonomi,


Universitas Sumatera Utara

politik, faktor geografis, ideologi, budaya, yang semuanya itu dapat mempengaruhi keberadaan
masyarakat tersebut.
2.2.2 Sastra
Endraswara (2008: 28) mengatakan bahwa sastra merupakan sebuah refleksi lingkungan
sosial budaya yang merupakan satu tes dialektika antara pengarang dengan situasi sosial yang
membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam
karya sastra. Dialektik yang dimaksudkan merupakan kebenaran tentang suatu kehidupan dari
perjalanan sejarah masyarakatnya. Dalam hal ini, Luxemburg, dkk (1992: 2) mengatakan bahwa
sastra meneliti sifat-sifat yang terdapat dalam teks-teks sastra, lagi pula bagaimana teks-teks
tersebut berfungsi di dalam masyarakat.
2.2.3 Sosiologi Sastra
Ratna (2003: 25) mengatakan sosiologi sastra adalah penelitian terhadap karya sastra
dengan mempertimbangkan keterlibatan sturktur sosialnya. Dalam hal ini, seorang pengarang
membutuhkan pengetahuan tentang sosiologi agar dapat mengungkapkan masalah-masalah sosial
yang ada di dalam karya sastranya.
2.2.4 Kerukunan Sosial
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2005) menyebutkan bahwa rukun adalah

baik, damai, dan tidak bertengkar, sedangkan kerukunan adalah perihal hidup rukun, rasa rukun,
kesepakatan. Kerukunan merupakan usaha untuk mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang
ada dalam diri setiap anggota masyarakat dan lebih mengutamakan kesepakatan-kesepakatan
bersama demi kepentingan bersama. Darmaputera (dalam Yewangoe 2002: 33) mengatakan
bahwa kerukunan sejati terwujud ketika semua pihak secara bersama-sama secara interaktif
mencari kebenaran bersama yang lebih tinggi.

Universitas Sumatera Utara

2.3 Landasan Teori
Landasan teori merupakan dasar dari sebuah penelitian. Mustahil sebuah penelitian tidak
memiliki landasan atau kerangka penelitian. Landasan teori juga diharapkan mampu
memecahkan permasalahan yang dibahas agar tujuan dari penelitian tersebut dapat tercapai.
2.3.1 Sosiologi Sastra
Dilihat dari sejarahnya, keberadaan teori sosiologi sastra dalam dunia sastra masih
terbilang muda jika dibandingkan dengan ilmu-ilmu lainnya. Kendati begitu, penelitian terhadap
karya sastra dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra sudah banyak dihasilkan. Ratna
(2003: 7), mengatakan bahwa sosiologi sastra pertama kali diperkenalkan kelompok Milton C.
Albercht, tahun 1970 dalam buku yang berjudul The Sociology of Art and Literature: a Reader.
Jika dilihat dari tahun terbitnya buku tersebut, kehadiran sosiologi sastra sebagai ilmu ilmiah

masih seumuran jagung jika dibandingkan dengan sosiologi agama, sosiologi pendidikan,
sosiologi politik, sosiologi ideologi, dan sebagainya. Masih menurut Kutha Ratna, menyebutkan
bahwa teori sosiologi sastra di Indonesia pertama kali diperkenalkan melalui ceramah Harsya W.
Bachtiar dalam sebuah penataran “Filologi Untuk Penelitian Sejarah”, yang diselenggarakan oleh
Konsorsium Sastra dan Filsafat bekerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta, 1973.
Seperti yang sudah dijelaskan dalam latar belakang penelitian, bahwa sosiologi sastra
merupakan dua disiplin ilmu yang berbeda. Namun, dalam praktiknya kedua ilmu ini sering
berjalan bersamaan. Dalam bukunya, Idianto Muin (2006: 7) menjelaskan bahwa sosiologi
pertama kali dikemukakan oleh ahli filsafat, moralis, dan sekaligus sosiolog berkebangsaan
prancis, yaitu Auguste Comte. Masih dalam buku yang sama, Comte berpendapat bahwa
sosiologi berasal dari bahasa latin, yaitu socius, yang artinya teman atau sesama, dan logos dari

Universitas Sumatera Utara

bahasa yunani yang artinya cerita. Jadi pada awalnya, sosiologi berarti bercerita tentang teman
atau kawan (masyarakat). Banyak batasan makna yang sudah diberikan oleh para pakar
mengenai sosiologi, diantaranya sebagai berikut :
Sorikin (dalam soekanto, 1982: 17) mengatakan bahwa:
“Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh

timbal balik antar aneka macam gejala sosial (misalnya antara gejala
ekonomi dengan agama, keluarga dan moral, hukum dan ekonomi, serta
politik); hubungan timbal balik antara gejala sosial dan nonsosial (seperti
gejala geografis dan politik, biologi, ekonomi, dan sebagainya).”
Mayor (dalam Elly dan Usman, 2011: 3) menjelaskan bahwa :
“Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang mempelajari masyarakat
sebagai keseluruhan, yakni hubungan di antara manusia dan kelompok,
kelompok dan kelompok, baik kelompok formal maupun kelompok
material atau kelompok statis maupun kelompok dinamis”.
Batasan mengenai sosiologi juga diutarakan oleh Emile Durkheim (dalam Kamanto,
2004: 11) yang berpendapat bahwa “Sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari fakta sosial.
Fakta sosial merupakan cara bertindak, berfikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu,
dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya”. Masih berhubungan dengan hal
ini, Allan (dalam Idianto, 2006: 8) mengatakan bahwa “Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
kehidupan dan perilaku, terutama dalam kaitannya dengan suatu sistem sosial dan bagaimana
sistem tersebut memengaruhi orang dan bagaimana pula orang yang terlibat di dalamnya
memengaruhi sistem”.
Pendapat para pakar ini mengindikasikan bahwa wilayah sosiologi cukup luas karena
mencakup hubungan masyarakat dengan segala aspek-aspek kehidupannya. Pada dasarnya,
kehidupan masyarakat dengan kelompoknya telah diatur dengan sistem sosial yang berlaku dan

disepakati bersama. Sistem sosial yang diciptakan masyarakat dengan kelompoknya bertujuan
agar setiap individu dalam kelompok masyarakat tersebut memperoleh kehidupan yang lebih

Universitas Sumatera Utara

layak dalam konteks kebersamaan, saling menghargai, menolong, dan menyayangi. Koteks
dalam hal kebersamaan akan mengarahkan masyarakat itu sendiri untuk membentuk kehidupan
yang rukun. Namun, di sisi lain, masyarakat kerap dihadapkan pada situasi yang sulit di dalam
membangun kehidupan yang rukun. Alasan yang muncul karena adanya perbedaan yang dimiliki
setiap individu dalam kelompok masyarakatnya. Perbedaan kerap menjadi penghalang bagi
kelompok masyarakat untuk mewujudkan kehidupan yang damai, nyaman, tentram dan sejahtera
dengan sesama anggotanya.
Dilain pihak, sastra merupakan ilmu yang mempelajari masyarakat secara subjektif dan
evaluatif. Dalam bukunya, Ratna (2003: 1) menjelaskan dengan baik tentang asal usul sastra itu.
Sastra berasal dari bahasa sansekerta, akar kata dari sas- yang berarti mengarahkan, mengajar,
memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran dari kata –tra berarti alat atau sarana. Jadi, sastra
diartikan sebagai kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik.
Makna sastra itu akan lebih spesifik lagi jika sudah membentuk kata jadian yaitu kesusasteraan,
yang dapat diartikan sebagai kumpulan hasil karya tulis. Lebih jelasnya lagi, Ratna (2003: 1)
menyebutkan Sastra adalah hasil karya manusia berdasarkan kreatifitas dalam mengungkapkan

apa yang dialami, dan direnungkan dengan menggunakan bahasa sebagai medianya.
Sejatinya, hasil dari seni kreatif ini disebut karya sastra. Sebuah karya sastra selalu
menyajikan permasalahan-permasalahan yang ada dalam kehidupan masyarakat. Dalam hal ini
yang dimaksud dengan apa yang dialami dan dituangkan pengarang dalam karyanya merupakan
masalah-masalah sosial, seperti masalah ekonomi, politik, agama, budaya, dan lain-lain. Oleh
sebab itu, karya sastra juga disebut sebagai dokumentasi sosial karena di dalamnya menceritakan
refleksi kehidupan manusia. Sastra sering disebut sebagai pencerminan kehidupan masyarakat.
Hal ini dapat diterima karena sebuah karya sastra umunya menggambarkan tentang perjalanan

Universitas Sumatera Utara

hidup seorang tokoh. Walau hanya berbentuk cerita rekaan, namun pengarang mampu
menyajikan perjalanan hidup tokoh dalam sebuah cerita dengan dibumbuhi fakta-fakta sosial
yang seakan-akan nyata di dalam kehidupan sehari-hari.
Penjelasan dari kedua ilmu tersebut, dapat disimpulkan bahwa sosiologi dan sastra
memiliki objek yang sama dan dalam praktiknya dapat saling berdampingan. Jadi, sosiologi dan
sastra bukanlah perpaduan dua ilmu yang tanpa sebab, namun keduanya saling menopang dan
memiliki hubungan yang saling melengkapi. Oleh Damono (1984: 3-4) mengungkapkan bahwa :
“Pendekatan sosiologi ini pengertiannya mencakup berbagai pendekatan,
masing-masing didasarkan pada sikap dan pandangan teoritis tertentu,

namun semua pendekatan ini menunjukkan satu ciri kesamaan, yaitu
mempunyai perhatian terhadap sastra sebagai institusi sosial yang
diciptakan oleh sastrawan sebagai anggota masyarakat.”
Kemampuan seorang pengarang untuk mengungkapkan fenomena-fenomena sosial dalam
karya yang diciptakannya sudah tidak diragukan lagi. Pengarang memilki hubungan yang erat
dengan masyarakat atau dengan kata lain bahwa pengarang itu sendiri adalah masyarakat.
Berhubungan dengan hal ini, Laurenson dan Swingewood (dalam Endraswara 2008: 79),
berpendapat bahwa ada tiga presfektif yang berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu: pertama,
penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan
refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan. Kedua, penelitian yang mengungkap sastra
sebagai cerminan situasi sosial penulisnya. Ketiga, penelitian yang menangkap sastra sebagai
manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya.
Tujuan dilakukannya penelitian sosiologi sastra terhadap sebuah karya sastra
sesungguhnya ingin mengarahkan pemahaman atau membangun paradigma berpikir tentang
aspek-aspek sosial yang diangkat pengarang dalam karya-karyanya. Dalam bukunya, Ratna
(2003: 11), berpendapat bahwa tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman

Universitas Sumatera Utara

terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak
berlawanan dengan keyataan atau karya sastra jelas dekonstruksi secara imajinatif, tetapi
kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Berdasarkan penjelasan
tersebut, maka sosiologi sastra tidak semata-mata melihat karya sastra sebagai bentuk yang
abstrak atau kabur, namun sosiologi sastra lebih melihat aspek-aspek kemasyarakatan yang
terkandung di dalam karya sastra tersbut.
Sosiologi dan sastra memiliki dua teori yang berbeda, sehingga penerapannya untuk
mengkaji sebuah objek adalah dominasi teori tersebut terhadap objek yang diteliti. Ratna (2003:
18) mengatakan bahwa dalam sosiologi sastra yang mendominasi jelas teori-teori yang berkaitan
dengan sastra, sedangkan teori-teori yang berkaitan dengan sosiologi berfungsi sebagai
komplementer. Lebih jelas lagi, Ratna (2003: 18) mengatakan bahwa :
“Teori-teori yang dapat menopang analisis sosiologis adalah teori-teori
yang dapat menjelaskan hakikat fakta-fakta sosial, karya sastra sebagai
sistem komunikasi, khususnya dalam kaitannya dengan aspek-aspek
ekstrinsik, seperti: kelompok sosial, kelas sosial, stratifikasi sosial,
institusi sosial, sistem sosial, interaksi sosial, konflik sosial, kesadaran
sosial, mobilitas sosial, dan sebagainya”.
2.3.2 Kerukunan Sosial
Kerukunan hidup membicarakan tentang hubungan keharmonisan antar setiap anggota
masyarakat. Menciptakan kehidupan yang rukun setidaknya membutuhkan upaya yang nyata
dari setiap anggota masyarakat. Upaya itu dapat dimulai dari hal-hal yang kecil seperti saling
menghormati, bergotong-royong, melakukan musyawarah untuk perbaikan kampung, dan
sebagainya.
Berkaitan dengan hal ini Darmaputera (dalam Yewangoe, 2002: 34), mengatakan :
“Kerukunan ada dua bentuk, yaitu kerukunan yang autentik dan kerukunan
yang dinamis. Kerukunan autentik artinya kerukunan itu sungguh-sungguh
keluar dari hati yang tulus dan murni. Sedangkan kerukunan dinamis

Universitas Sumatera Utara

artinya kerukunan di mana orang hidup tidak sekedar hidup berdampingan
(ko-eksisten) secara damai, kerukunan yang dinamis berarti, kerukunan di
mana di dalamnya kelompok-kelompok yang berbeda secara proaktif,
dinamis serta kreatif terlibat dalam interaksi yang intens dan terus menerus
untuk merumuskan kesepakatan-kesepakatan bersama yang lebih
berkualitas.”
2.3.2.1 Jenis-Jenis Kerukunan Sosial
Adapun jenis-jenis kerukunan sosial antara lain:
1) Kerukunan Antar Umat Beragama
Pada dasarnya agama merupakan bagian yang terpenting dalam kehidupan manusia
karena doktrin agama dipercaya tidak hanya menjanjikan kehidupan di dunia, namun juga
kehidupan yang abadi disurga. Dalam kehidupan manusia di dunia, peran agama secara
keseluruhan sangatlah besar, salah satunya adalah untuk menciptakan perdamaian dan
diharapkan mampu menularkan moral yang baik dalam pikiran manusia sehingga keharmonisan
untuk hidup bersama-sama dapat diwujudkan. Hal ini berkaitan dengan yang dikemukakan oleh
Durkheim (dalam Kamanto, 2004: 67) bahwa agama adalah suatu sistem-sistem yang terpadu
yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang berhubungan dengan hal yang suci, dan bahwa
kepercayaan dan praktik tersebut mempersatukan semua orang yang beriman ke dalam suatu
komunitas moral yang dinamakan umat. Oleh sebab itu, agama seharusnya mampu menjadi
pondasi dasar yang kokoh untuk menyokong kehidupan masyarakat yang rukun, adil dan
bermartabat.
Dewasa ini, diskusi mengenai kerukunan antar umat beragama semakin sering dilakukan,
mengingat keberagaman agama di Indonesia begitu sensitif sehingga dapat dijadikan alat oleh
oknum-oknum tertentu untuk memecah belah kelompok-kelompok masyarakat tertentu. Hal ini
sudah direalisasikan baik melalui forum ibadah, seminar keagamaan, dan sebagainya. Diskusidiskusi tersebut dinilai begitu penting karena dapat mempengaruhi pandangan masyarakat dalam

Universitas Sumatera Utara

menyikapi perbedaan yang ada. Perbedaan bukan berarti menjadi penghambat atau penghalang
untuk dapat hidup bersama-sama dalam kondisi keyakinan yang berbeda-beda.
2) Kerukunan Antar Etnis
Kerukunan antar etnis merupakan bentuk keharmonisan sosial yang tercipta antar dua
kelompok yang berbeda atau lebih. Etnis adalah istilah kesukuan yang digunakan untuk
menunjukkan identitas diri. Indonesia menjadi salah satu Negara terbesar dalam jumlah populasi
yang diisi dari berbagai macam etnis yang berasal dari berbagai-bagai wilayah. Maka dari itu, di
tengah kemajemukan etnis yang ada di Indonesia, peran pemerintah semakin diharapkan untuk
menjaga kerukunan tersebut. Francis (dalam kamanto, 2004: 145) mengatakan bahwa kelompok
etnis merupakan sejenis komunitas yang menampilkan persamaan bahasa, adat kebiasaan,
wilayah, sejarah, sikap, dan sistem politik.
3) Kerukunan Antar Ras
Kerukunan antar ras adalah kerukunan yang tercipta dalam kelompok masyarakat tanpa
memperhitungkan perbedaan fisik pada setiap anggota masyarakatnya. Cuvier (dalam Dwi dan
Bagong, 2007: 196), membedakan ras ke dalam tiga kelompok besar yang dilihat dari letak
geografisnya, yaitu : Ras Putih (Kaukosoid), Ras Kuning (Mongoloid dan orang Amerika), Ras
Hitam (Etiopoid, Australia, dan Melanesia). Indonesia memiliki ras mongolaid dengan warna
kulit agak kekuningan. Ras juga membedakan ciri fisik secara umum, seperti warna mata, warna
rambut, bentuk rambut, bentuk kepala dan sebagainya. Oleh Horton dan Hunt (dalam Dwi dan
Bagong 2007:195) mengatakan ras adalah suatu kelompok manusia yang agak berbeda dengan
kelompok-kelompok lainnya selain dalam segi ciri-ciri fisik bawaan, dalam banyak hal juga
ditentukan oleh pengertian yang digunakan oleh masyarakat.

Universitas Sumatera Utara

4) Kerukunan Antargolongan
Kerukunan antargolongan merupakan suatu bentuk kerukunan yang tercipta dalam
kehidupan masyarakat di tengah-tengah perbedaan yang ada, baik dari bentuk kelompok, profesi,
batas wilayah, jenis kelamin (gender), dan sebagainya. Berkaitan dengan hal ini, Sumner (dalam
Kamanto, 2004: 151) bahwa hubungan antarkelompok merupakan suatu sudut pandang yang
menempatkan kelompok sendiri di atas segala-galanya dan yang menilai kelompok lain dengan
memakai kelompok sendiri sebagai acuan.

Universitas Sumatera Utara