Pengaruh Keadilan Distributif Dan Keadilan Prosedural Terhadap Kinerja Manajerial Skpd Melalui Kejelasan Sasaran Anggaran Pada Pemerintah Kabupatan Karo

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1. Konsep Kinerja Manajerial Sektor Publik
2.1.1.1. Pengertian
Mulyadi (1999) menjelaskan bahwa Kinerja adalah hasil kerja yang dapat
dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai
dengn wewenang dan tanggung jawab masingmasing dalam rangka upaya
mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum
dan sesuai dengan moral dan etika. Lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang yang
memegang posisi manajerial diharapkan mampu menghasilkan suatu kinerja
manajerial, Kinerja manajerial merupakan salah satu faktor yang dapat
meningkatkan keefektifan organisasional (Mahoney, dkk, 1963). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa kinerja manajerial didefinisikan didasarkan pada fungsi-fungsi
manajemen yang ada dalam teori klasik, yaitu seberapa jauh manajer mampu
melaksanakan fungsi-fungsi yang meliputi : perencanaan, investigasi, koordinasi,
evaluasi, supervisi, pemilihan staf, negosiasi dan perwakilan.
Kinerja manajerial yang diperoleh manajer merupakan salah satu faktor
yang dapat dipakai untuk meningkatkan efektifitas organisasi. Partisipasi bawahan
dalam penyusunan anggaran dan peran anggaran sebagai pengukur kinerja

memiliki kaitan yang cukup erat (Riyadi, 1999).

8
Universitas Sumatera Utara

2.1.1.2. Pengukuran Kinerja Manajerial Sektor Publik
Pengukuran kinerja sektor publik adalah suatu sistem yang bertujuan
untuk membantu manajer publik atau pimpinan perangkat daerah dalam menilai
pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Sistem
pengukuran kinerja dapat dijadiakan sebagai pengendalian organisasi karena
pengukuran kinerja diperkuat dengan menetapkan reward and punishment system.
Schiff dan Lewin dalam Srimulyo (1999), mengemukakan bahwa anggaran yang
telah disusun memiliki peranan sebagai perencanaan dan sebagai kriteria kinerja,
yaitu anggaran digunakan sebagai sistem pengendalian untuk mengukur kinerja
manajerial.
Pengukuran Kinerja merupakan alat yang bermanfaat dalam meningkatkan
pelayanan publik secara efisien dan efektif, oleh karena itu melalui pengukuran
kinerja dilakukan proses penilaian terhadap pencapaian sasaran yang telah
ditetapkan dan penilaian kinerja dapat memberikan penilaian (justifikasi) yang
obyektif dalam pengambilan keputusan.

Omar (1999) mengatakan strategi yang ditetapkan dalam sistem
pengukuran kinerja dalam rangka mencapai sasaran yang telah ditetapkan, antara
lain :
1. Partisipasi unsur pimpinan dalam pertanggungjawaban tugas pokok dan
fungsi
Pemerintah Kabupaten Karo telah melakukan inisiatif untuk melakukan
pengukuran kinerja dengan membuat laporan akuntabilitas pemerintah
kabupaten sebagai komitmen Kepala Daerah dalam memenuhi tuntutan
Inpres Nomor 7 Tahun 1999 dan PP Nomor 105 Tahun 2000. Pengukuran

Universitas Sumatera Utara

Kinerja yang disusun telah melibatkan seluruh pimpinan unit organisasi
baik Kepala Dinas, Kepala Badan maupun Kepala Kantor sebagai bagian
pertanggungjawaban pelaksanaan tugas pokok dan fungsi selama satu
periode tahun anggaran.
2. Kerangka kerja konseptual; dan komunikasi yang efektif.
Sistem pengukuran kinerja Pemerintah Kabupaten merupakan bagian
integral dalam keseluruhan proses manajemen dan secara langsung dapat
mendukung pencapaian tujuan pemerintah. Dalam setiap pelaporannya

pengukuran kinerja dapat dijadikan tolok ukur akan keberhasilan dan
kegagalan pelaksanaan tugas selama satu periode tahun anggaran,
dilengkapi dengan alasan-alasan keberhasilannya berupa faktor-faktor
yang mendorong keberhasilan tersebut. Demikian pula apabila terjadi
kegagalan diungkapkan pula hambatan-hambatan dan kendala-kendala
yang dihadapinya dan alternatif pemecahan masalah.
Pengukran kinerja ini dapat dijadikan alat monitor dan evaluasi
pelaksanaan kinerja dan perbaikannya dimasa-masa yang akan datang.
Komunikasi merupakan hal penting dalam penciptaan dan pemeliharaan
sistem pengukuran kinerja, komunikasi sebaiknya dari berbagai arah
(multidirectional), berasal dari top down, bottom up dan secara horizontal
berada di dalam dan lintas instansi pemerintah.
3. Keterlibatan aparatur pemerintah dan orientasi pelayanan kepada
masyarakat.
Keterlibatan aparatur pemerintah merupakan suatu cara terbaik dalam
menciptakan budaya yang positif dan mensukseskan pengukuran kinerja.

Universitas Sumatera Utara

Apabila aparatur pemerintah memiliki masukan untuk kepentingan

penciptaan sistem pengukuran kinerja maka pemerintah kabupaten akan
mendapatkan

sistem

pengukuran

kinerja

yang

sesuai

dengan

kebutuhannya.
Kravchuk dan Shack (1996) memberikan beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam merumuskan ukuran kinerja:
1. Memformulasikan tujuan, strategi, dan misi yang koheren dan jelas.
2. Mengembangkan strategi pengukuran yang eksplisit

3. Melibatkan pengguna–pengguna kunci dan konsumen pada fase
4. perancangan dan pengembangan sistem pengukuran kinerja
5. Merasionalisasi struktur rencana sebagai awal dari pengukuran kinerja
6. Mengembangkan beberapa ukuran untuk pengguna yang beragam sesuai
dengan yang dibutuhkan
7. Mempertimbangkan konsumen selama proses penyusunan program dan
sistem
8. Menyediakan pengguna sebuah gambaran jelas dari kinerja
9. Adanya review dan revisi terhadap sistem pengukuran secara periodik
10. Take accounts of upstream, downstream, and lateral complexities

11. Menghindari aggregasi informasi yang berlebihan
Menurut Mahmudi (2005) terdapat beberapa jenis indikator kinerja
Pemerintah Daerah antara lain :
1. Indikator biaya (misalnya biaya total, biaya unit)
2. Indikator produktivitas (misalnya jumlah pekerjaan yang mampu
dikerjakan pegawai dalam jangka waktu tertentu)

Universitas Sumatera Utara


3. Tingkat penggunaan (misalnya sejauhmana layanan yang tersedia
digunakan)
4. Target waktu (misalnya waktu rata-rata rata yang digunakan untuk
menyelesaikan satu unit pekerjaan)
5. Volume pelayanan (misalnya perkiraan atas tingkat volume pekerjaan
yang harus diselesaikan pegawai)
6. Kebutuhan pelanggan (jumlah perkiraan atas tingkat volume pekerjaan
yang harus diselesaikan pegawai)
7. Indikator kualitas pelayanan
8. Indikator kepuasan pelanggan
9. Indikator pencapaian tujuan.
Konsep pengukuran kinerja di sektor publik mengacu pada konsep value
for money (VFM). Konsep value for money terdiri dari tiga elemen utama, yaitu:

1. Ekonomi
Ekonomi terkait dengan pengkonversian input primer berupa sumber daya
keuangan (uang / kas) menjadi input sekunder berupa tenaga kerja, bahan,
infrastruktur, dan barang modal yang dikonsumsi untuk kegiatan operasi
organisasi. Organisasi harus memastikan bahwa dalam perolehan sumber
daya input tidak terjadi pemborosan.

2. Efisiensi
Efisiensi terkait dengan hubungan antara output berupa barang atau
pelayanan yang dihasilkan dengan sumber daya yang digunakan untuk
menghasilkan output.

Universitas Sumatera Utara

3. Efektivitas
Efektivitas terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan
hasil yang sesungguhnya tercapai. Efektivitas merupakan hubungan antara
output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output terhadap
pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program, atau
kegiatan.
Konsep VFM menekankan pada hasil atau pelayanan terhadap publik.
Organisasi tidak hanya berfokus pada pendapatan saja, tetapi bagaimana
meningkatkan pelayanan terhadap publik. Untuk mengukur tingkat ekonomi,
efisiensi dan efektivitas diperlukan pengembangan indikator kinerja dalam desain
sistem pengukuran kinerja organisasi (Greiling,2005).
Mahmudi (2005) mengatakan bahwa indikator kinerja hendaknya memiliki
beberapa karakteristik, antara lain sederhana dan mudah dipahami; dapat diukur;

dapat dikuantifikasikan (rasio, persentase, angka); dikaitkan dengan standar atau
target kinerja; berfokus pada customer service, kualitas, dan efisiensi; dan dikaji
secara teratur.
2.1.1.3. Tujuan Pengukuran/Penilaian Kinerja Sektor Publik
Pengukuran/penilaian kinerja merupakan bagian penting dari proses
pengendalian manajemen, baik sektor publik maupun swasta. Menurut De Bruijn
(2002); dan Mahmudi (2005), tujuan pengukuran/penilaian kinerja dalam sektor
publik antara lain sebagai berikut:
1. Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi
Pengukuran kinerja pada organisasi sektor publik digunakan untuk
mengetahui ketercapaian tujuan organisasi. Ditinjau dari perspektif

Universitas Sumatera Utara

pengendalian internal, sistem pengukuran kinerja didesain untuk
memonitor implementasi rencana-rencana organisasi, emnentukan kapan
rencana tersebut berhasil dan bagaimana cara memperbaikinya. Sistem
pengukuran kinerja untuk memfokuskan perhatian pada pencapaian tujuan
organisasi, mengukur dan melaporkan kinerja, serta untuk memahami
bagaimana proses kinerja mempengaruhi pembelajaran organisasi.

2. Menyediakan sarana pembelajaran pegawai
Sistem pengukuran kinerja bertujuan untuk memperbaiki hasil dari usaha
yang dilakukan oleh pegawai tentang bagaimana seharusnya mereka
bertindak, dan memberikan dasar dalam perubahan perilaku, sikap, skill,
atau pengetahuan kerja yang harus dimiliki pegawai untuk mencapai hasil
kerja terbaik.
3. Memperbaiki kinerja periode-periode berikutnya
Penerapan sistem pengukuran kinerja dalam jangka panjang bertujuan
untuk membentuk budaya berprestasi di dalam organisasi. Budaya kinerja
atau budaya berprestasi dapat diciptakan apabila sistem pengukuran
kinerja mampu menciptakan atmosfir organisasi sehingga setiap orang
dalam organisasi dituntut untuk berprestasi. Atmosfir tersebut dapat
terwujud dengan perbaikan kinerja yang dilakukan secara terus menerus.
Kinerja saat ini harus lebih baik dari kinerja sebelumnya, dan kinerja yang
akan datang harus lebih baik daripada sekarang.
4. Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan
pemberian reward dan punishment

Universitas Sumatera Utara


Pengukuran kinerja bertujuan memberikan dasar sistematik bagi manajer
untuk memberikan reward (kenaikan gaji, tunjangan, promosi), atau
punishment (pemutusan kerja, penundaan promosi, teguran). Sistem

manajemen kinerja modern diperlukan untuk mendukung sistem gaji
berbasis kinerja (performance based pay). Organisasi yang berkinerja
tinggi berusaha menciptakan reward, insentif, dan gaji yang memiliki
hubungan yang jelas dengan knowledge, skill, dan kontribusi individu
terhadap kinerja organisasi.
5. Memotivasi pegawai
Dengan adanya pengukuran kinerja yang dihubungkan dengan manajemen
kompensasi, maka pegawai yang berkinerja tinggi akan memperoleh
reward. Reward tersebut memberikan motivasi pegawai untuk berkinerja

lebih tinggi dengan harapan kinerja yang tinggi akan memperoleh
kompensasi yang tinggi.
6. Menciptakan akuntabilitas publik
Pengukuran kinerja menunjukkan seberapa besar kinerja manajerial
dicapai, seberapa bagus kinerja finansial organisasi, dan kinerja lainnya
yang menjadi dasar penilaian akuntabilitas. Kinerja tersebut harus diukur

dan dilaporkan dalam bentuk laporan kinerja.

2.1.1.4. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Manajerial Sektor
Publik
Para pimpinan organisasi sangat menyadari adanya perbedaan kinerja
antara satu karyawan dengan karyawan lainnya yang berada di bawah

Universitas Sumatera Utara

pengawasannya. Walaupun karyawan-karyawan bekerja pada tempat yang sama
namun produktifitas mereka tidaklah sama. Secara garis besar perbedaan kinerja
ini disebabkan oleh dua faktor (As'ad, 1991), yaitu : faktor individu dan situasi
kerja.
Menurut

Mahmudi

(2005)

ada

beberapa

elemen

pokok

yang

mempengaruhi kinerja manajerial sektor publik, yaitu :
1. Menetapkan tujuan, sasaran, dan strategi organisasi.
2. Merumuskan indikator dan ukuran kinerja.
3. Mengukur tingkat ketercapaian tujuan dan sasaran-sasaran organisasi.
4. Evaluasi kinerja/feed back, penilaian kemajuan organisasi, meningkatkan
kualitas pengambilan keputusan dan akuntabilitas.
Berdasarkan Mahmudi (2005) di atas, jelas terlihat bahwa salah satu
elemen pokok yang mempengaruhi kinerja manajerial adalah sasaran. Dalam
koteks anggaran, sasaran dimaksud diinterpretasikan melalui karakteristik sasaran
anggaran (budgetary goal characteristics).
Sutemeister dalam Srimulyo (1999) mengemukakan pendapatnya, bahwa
kinerja dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: (1) Faktor Kemampuan, yang meliputi :
pengetahuan dan termasuk didalamnya

pendidikan, pengalaman, latihan dan

minat, ketrampilan dan termasuk didalamnya kecakapan dan kepribadian. (2)
Faktor Motivasi, yang dikelompokkan atas : (a) Kondisi sosial : organisasi formal
dan informal, kepemimpinan dan (b) Serikat kerja kebutuhan individu : fisiologis,
sosial dan egoistic dan (c) Kondisi fisik : lingkungan kerja. Tiffin dan Cormick
dalam Srimulyo (1999) menyatakan faktor individu atau variabel individual,
meliputi: sikap, karakteristik, sifat-sifat fisik, minat dan motivasi, pengalaman,

Universitas Sumatera Utara

umur, jenis kelamin, pendidikan, serta faktor individual lainnya. Sedangkan
variabel situasional, meliputi : (1) Faktor fisik dan pekerjaan, terdiri dari; metode
kerja, kondisi dan desain perlengkapan kerja, penataan ruang dan lingkungan fisik
(penyinaran, temperatur, dan fentilasi). (2) Faktor sosial dan organisasi, meliputi:
peraturan-peraturan organisasi, perilaku organisasional, jenis latihan dan
pengendalian, sistem upah dan lingkungan sosial.
Dalam hal perilaku organisasional Tiffin dan Cormick dalam Srimuiyo
(1999), lebih lanjut Greenberg (1990) mencatat bahwa teori keadilan dalam
organisasi berawal dari pemahaman untuk menguji prinsip-prinsip interaksi sosial
secara umum, bukan secara khusus pada organisasi. Namun demikian, teori-teori
ini justru berkembang pesat ketika dikaitkan untuk menjelaskan beberapa bentuk
perilaku keorganisasian. Model yang dibangun yaitu variabel dan isu-isu yang
berhubungan dengan fungsi organisasional. Dengan model ini, para peneliti
mengarahkan penelitian untuk menjelaskan dan menggambarkan peran keadilan
dalam lingkungan kerja (Greenberg, 1986).
Secara umum, para peneliti tentang keadilan organisasional memfokuskan
diri pada tiga isu utama untuk menilai istilah keadilan dalam organisasi. Ketiga
isu yang dimaksud yaitu : hasil (outcomes), proses (process) dan interaksi antar
personal (interpersonal interactions), (Cropanzano, Prehar, dan Chen, 2002).
Penilaian yang berkaitan dengan kewajaran hasil atau kewajaran pengalokasian
disebut dengan istilah keadilan distributif. Isu kedua dalam keadilan organisasi
yaitu penilaian yang mengacu pada elemen-elemen proses, dan diistilahkan
sebagai keadilan prosedural. Keadilan prosedural mengacu pada kewajaran proses
bagaimana suatu keputusan diambil (Folger & Konovsky, 1989). Selanjutnya isu

Universitas Sumatera Utara

ketiga yaitu penilaian terhadap kewajaran mengenai hubungan antarpersonal yang
disebut sebagai keadilan interaksional. Dari ketiga isu keadilan di atas, sesuai
dengan topik penelitian ini, maka keadilan yang akan dibahas lebih lanjut hanyal
keadilan distributif dan keadilan prosedural.

2.1.2. Karakteristik Sasaran Anggaran (Budgetary Goal Characteristics)
2.1.2.1. Goal Setting Theory
Teori penentuan tujuan (Goal setting theory) yang dikemukakan Murray
(1990) menyatakan bahwa karyawan yang memiliki komitmen tujuan tinggi akan
mempengaruhi kinerja manajerial. Partisipasi penyusunan anggaran sebagai suatu
mekanisme dalam pertukaran informasi memungkinkan karyawan untuk
memperoleh pemahaman yang lebih jelas tentang pekerjaan mereka. Sebaliknya,
karyawan yang tidak memiliki komitmen tujuan maka kinerja yang dicapai tidak
sesuai dengan yang diharapkan. Dengan kata lain manajer yang tidak komitmen
pada tujuan, tidak memiliki keinginan memperbaiki kesalahan dengan
memanfaatkan partisipasi dalam penyusunan anggaran, sehingga kinerja yang
diperoleh tetap rendah.
2.1.2.2. Konsep Budgetary Goal Characteristics
Sistem penganggaran merupakan alat yang digunakan untuk perencanaan
dan pengendalian manajerial. Penganggaran merupakan bagian penting dari siklus
perencaaan, tindakan dan pengendalian manajemen atau secara lebih khusus
sebagai bagian dari total management systems. Dari posisi penganggaran tersebut,
anggaran sering dianggap merupakan suatu rencana jangka pendek yang disusun
berdasarkan rencana jangka panjang yang ditetapkan dalam proses pemrograman.

Universitas Sumatera Utara

Kenis (1979) mengemukakan lima karakteristik sistem penganggaran atau
Budgetary Goal Characteristics yang meliputi partisipasi penganggaran, evaluasi

anggaran, umpan balik anggaran, kejelasan anggaran dan kesulitan anggaran.
Partisipasi penganggaran menggambarkan keterlibatan manajer dalam
menyusun aggaran pada pusat pertanggungjawaban manajer yang bersangkutan.
Secara lebih rinci meliputi keterlibatan individual, penyusun target, evaluasi
kinerja dan mungkin penghargaan (Brownell, 1982).
Kenis (1979) menyatakan evaluasi anggaran adalah tindakan yang
dilakukan untuk menelusuri penyimpangan anggaran ke departemen yang
bersangkutan dan digunakan sebagai dasar untuk penilaian kinerja departemen.
Tse (1979) dalam Ratnawati (2004) menjelaskan bahwa evaluasi anggaran secara
mendasar memiliki empat tujuan, yaitu (1) untuk meyakinkan bahwa kinerja yang
sesungguhnya sesuai dengan kinerja yang diharapkan; (2) memudahkan untuk
membandingkan antara kinerja individu satu dengan yang lainnya; (3) sistem
evaluasi kinerja dapat memicu suatu isyarat tanda bahaya, memberi sinyal
masalah-masalah yang mungkin terjadi; (4) evaluasi dimaksudkan untuk menilai
pembuatan keputusan manajemen.
Kenis (1979) menyatakan bahwa umpan balik terhadap tingkat sasaran
anggaran yang dicapai merupakan salah satu variabel penting yang memberikan
motivasi kepada manajer. Jika bawahan tidak mengetahui hasil dari apa yang telah
dicapainya maka tidak akan merasa bahwa mereka telah berhasil atau gagal.
Kejelasan sasaran anggaran menggambarkan luasnya sasaran anggaran yang
diyatakan secara jelas dan spesifik serta dimengerti oleh pihak yang bertanggung
jawab terhadap pencapainnya (Kenis, 1979). Locke (1968) menyatakan bahwa

Universitas Sumatera Utara

mencantumkan sasaran anggaran secara spesifik adalah lebih produktif
dibandingkan dengan tidak adanya sasaran yang spesifik dan hanya akan
mendorong karyawan yang melakukan yang terbaik.
Kesulitan sasaran anggaran menggambarkan adanya rentang sasaran dari
sangat longgar dan mudah dicapai sampai dengan sangat ketat dan tidak dapat
dicapai (Kenis, 1979) Locke (1968) menyimpulkan bahwa sasaran anggaran yang
lebih sulit akan mengakibatkan kinerja yang lebih baik dibanding dengan sasaran
anggaran yang lebih mudah. Hofstede (1967) menyatakan bahwa sasaran
anggaran yang lebih ketat menimbulkan motivasi yang lebih tinggi, namun
apabila melewati batas limitnya, maka pengetahuan sasaran anggaran justru akan
mengurangi motivasi.

2.1.3. Konsep Keadilan Organisasional
2.1.3.1. Keadilan Distributif
Keadilan distributif didefinisikan sebagai persepsi karyawan tentang
keadilan pendistribusian sumberdaya organisasi yang mengevaluasi distribusi
hasil-hasil organisasi, dengan memperhatikan beberapa aturan distributif, yang
paling sering digunakan adalah hak menurut keadilan dan kewajaran.
Teori kewajaran mengatakan bahwa manusia dalam hubungan sosial
mereka, berkeyakinan bahwa imbalan organisasional harus didistribusikan sesuai
tingkat kontribusi individual. Teori kewajaran (equity theory) mengatakan bahwa
manusia dalam hubungan-hunbungan sosial mereka, berkeyakinan bahwa
imbalan-imbalan organisasional harus didistribusikan sesuai dengan tingkat
kontribusi individual (Cowherd and Levine,1992).

Universitas Sumatera Utara

Berdasarkan equity theory, teori tentang keadilan antara masukan masukan (misalnya usaha yang dilakukan dan skill) yang mereka berikan dengan
hasil - hasil (misalnya gaji) yang mereka terima. Pada saat induvidu-individu
dalam organisasi mempersepsikan bahwa rasia masukan-masukan yang mereka
berikan terhadap imbalan imbalan yang mereka terima seimbang dan mereka
merasakan adanya kewajaran (equity). Di sisi lain, ketidakseimbangan rasio antara
masukan dan imbalan menggiring mereka pada persepsi akan adanya ketidak
wajaran (Cowherd and Levine,1992). Dengan demikian penilaian keadilan tidak
hanya pada perbandingan antara input yang diberikan oleh seorang individu
terhadap output yang diterima tetapi juga membandingkan dengan apa yang
diterima oleh orang lain dan diikuti adanya reaksi terhadap ketidakadilan tersebut.
Walaupun equity theory telah memberikan kontribusi yang besar dalam
penelitian keadilan organisasional, teori ini dikritik karena dianggap terlalu sempit
dalam menjelaskan bagaimana pembentukan penilaian keadilan. Pertama,
sebagaimana dikatakan Folger dan Cropanzano, 2001 dalam Cropanzano, Byrne,
Bobocel, & Rupp, 2001), bahwa equity theory hanya mempertimbangkan pada
output yang diterima oleh karyawan, yang menilai bentuk keadilan terbatas pada
material dan ekonomi. Kedua, equity theory juga tidak mempertimbangkan efek
prosedur pada evaluasi keadilan dan hanya sedikit menjelaskan bagaimana respon
dari perlakuan tidak adil tersebut. Sebagai tambahan, Lock dan Henne, 1986
dalam Cropanzano, Byrne, Bobocel, dan Rupp, 2001), menyebutkan salah satu
keterbatasan equity theory yaitu kurang menjelaskan penentuan tipe reaksi
terhadap berbagai macam perbandingan dengan pihak lain.

Universitas Sumatera Utara

2.1.3.2. Keadilan Prosedural
Teori tentang keadilan procedural yang berkaitan dengan prosedurprosedur yang digunakan organisasi untuk mendistribusikan hasil-hasil dan
sumber daya organisasi kepada para anggotanya. Para peneliti umumnya
mengajukan dua penjelasan teoritis mengenai proses psikologis yang mendasari
pengaruh keadilan prosedural, yaitu: kontrol proses atau instrumental dan
perhatian-perhatian relasional atau komponen-komponen struktural (Taylor et
a1,1995 and Gilliland, 1993).
Perspektif kontrol atau proses berpendapat bahwa prosedur yang
digunakan aleh organisasi akan dipersepsikan lebih adil manakala individu yang
terpengaruh suatu proses keputusan memiliki kesempatan untuk mempengaruhi
proses

penetapan

keputusan

atau

menawarkan

masukan

(Thibaut

and

Walker,dalam Tayloe et a1,1495). Sedangkan perspektif komponen struktural
mengatakan bahwa keadilan prosedural merupakan suatu fungsi dari sejauh mana
sejumlah aturan - aturan prosedural dipenuhi atau dilanggar (Leventhal, dalam
Gilliand 1993).
Aturan - aturan prosedural tersebut memiliki implikasi yang sangat
penting, karena ia dipandang sebagai manifestasi nilai – nilai proses dasar dalam
arganisasi. Jadi, individu - individu dalam organisasi akan mempersepsikan
adanya keadilan prosedural, manakala aturan - aturan prosedural yang ada dalam
organisasi dipenuhi oleh para pengambil kebijakan. Sebaliknya, apabila aturan –
aturan

prosedural

tersebut

dilanggar,

individu

dalam

organisasi

akan

mempersepsikan adanya ketidak adilan. Karenaya, keputusan harus dibuat secara
konsisten,tanpa bias-bias pribadi, dengan melibatkan sebanyak mungkin informasi

Universitas Sumatera Utara

yang akurat, dengan kepentingan - kepentingan individu yang terpengaruh
terwakili dengan cara – cara yang sesuai dengan nilai - nilai etis mereka, dan
dengan suatu hasil yang dapat dimodifikasi (Gilliand,1993).
Keadilan prosedural berhubungan dengan keadilan yang digunakan untuk
menentukan hasil-hasil yang terdistribusi seperti beban kerja, penghasilan dan
lainnya (Leventhal, dalam Gilliand 1993). McFarlin dan Sweeny (1992)
menjelaskan bahwa keadilan prosedural berhubungan dengan persepsi bawahan
mengenai seluruh proses yang diterapkan oleh batasan mereka, sebagai sarana
untuk mengkomunikasikan feedback kinerja dan untuk menentukan reward bagi
mereka seperti promosi atau kenaikan gaji. Pengaruh keadilan prosedural juga
disebut sebagai pengaruh proses yang adil karena persepsi mengenai keadilan dari
proses dapat berpengaruh dalam meningkatkan outcome bahkan ketika outcome
tersebut mempunyai implikasi yang tidak diinginkan (Saunders et al, 2002).
Pinder yang dikutip oleh Ahadiyat (2005), mengajukan enam dimensi
dalam konstruk keadilan prosedural, yaitu: suatu prosedur dikatakan fair
manakala perusahaan berbuat 1) konsisten dengan prosedur, 2) tidak adanya
kepentingan pribadi di atas kepentingan umum, 3) selalu berdasarkan informasi
akurat, 4) selalu
diberi peluang untuk melakukan koreksi, 5) menyertakan semua kepentingan yang
legitimate dan 6) selalu memperhatikan standar moral dan etis. Jauh sebelum

Pinder, Laventhal dalam Gilliand 1993mengajukan sembilan aspek dari fairness,
yaitu: trust, consistency, truthfulness, integrity, expectation, influence, justice dan
respect.

Universitas Sumatera Utara

Beberapa penelitian yang dilakukan sebagai tindak lanjut atas teori ekuitas
menyimpulkan bahwa individual mendefinisikan keadilan bukan hanya dalam hal
hasil yang diterima tetapi juga prosedur yang digunakan untuk memperoleh hasil
tersebut yang diterima tetapi juga prosedur yang digunakan untuk memperoleh
hasil tersebut (Laventhal, dalam Gilliand 1993; Thibaut dan Walker, 1975).
Anggapan adil atau tidak adil mengenai proses dan prosedur yang diterapkan
menunjukkan tinggi atau rendahnya keadilan prosedural menurut bawahan.
Keadilan prosedural juga berkaitan dengan apakah karyawan percaya atau
menganggap prosedur dan hasil telah adil, bukan apakah prosedur dan hasil telah
adil dalam pengertian yang lebih obyektif (Lind dan Tyler, 1988).
Prosedur yang berbeda dapat dipandang secara berbeda oleh orang berbeda
dalam situasi yang berbeda pula. Thibaut dan Walker (1975) dalam penelitiannya
menemukan bukti bahwa prosedur yang berbeda diperlukan untuk menyelesaikan
prosedur yang berbeda. Mereka menyimpulkan bahwa keadilan prosedural
dipengaruhi oleh sejauh mana pihak-pihak yang berselisih diperbolehkan untuk
bersuara dalam penyelesaian perselisihan hukum.

2.2. Tinjauan Penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu yang relevan dengan penelitian ini
diantaranya : Kenis (1979) menemukan terdapat hubungan negatif antara
anggaran dengan kinerja dan sikap manajer. Brownel dan Mclnness (1986)
menemukan adanya hubungan positif antara partisipasi anggaran dengan kinerja
manajerial secara langsung, tidak melalui motivasi. Early dan Lind (1987) dalam
penelitiannya menyimpulkan bahwa keadilan prosedural berkorelasi positif

Universitas Sumatera Utara

dengan kinerja manajer. Mereka menemukan bukti bahwa persepsi manajer lini
terhadap cara mengevaluasi, proses promosi dan umpan balik dalam
mengkomunikasikan kinerja akan mempengaruhi kinerja manajerial para manajer
lini. Kinerja manjerial akan meningkat jika persepsi bawahan (manajer lini)
terhadap keadilan prosedural dapat diterima.
Adoe (2002) menunjukkan kejelasan sasaran anggaran tidak berpengaruh
secara signifikan terhadap kinerja manajerial. Darma (2004) mendukung adanya
hubungan antara kejelasan sasaran anggaran dengan kinerja dalam konteks
pemerintah daerah. Hal ini didukung penelitian Abdullah (2004) yang mengatakan
terdapat hubungan yang signifikan antara kejelasan sasaran anggaran dengan
akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Mulyasari dan Sugiri (2004) melakukan
penelitian terhadap manajer tingkat menengah yang memiliki atasan dan bawahan
dan bertanggung jawab atas divisi yang dipimpinnya. Hasilnya menunjukkan
bahwa hubungan beberapa variabel yang mempengaruhi kinerja akan lebih kuat
jika terdapat keadilan prosedural.
Ginting (2009) dalam penelitiannya menemukan bahwa terdapat pengaruh
secara simultan maupun secara parsial partisipasi anggaran dan kejelasan sasaran
anggaran terhadap kinerja aparat perangkat daerah di Pemerintahan Kabupaten
Karo.

Bawono (2009) dalam penelitiannya berhasil menyimpulkan bahwa

Keadilan prosedural secara signifikan berpengaruh terhadap kinerja manajerial
dan keadilan prosedural terhadap kinerja manajerial melalui budgetary goal
characteristic juga terbukti berpengaruh positif. Hasil penelitian Bawono (2009)

secara keseluruhan dapat menjelaskan bahwa pejabat eselon III dan IV yang diberi
wewenang untuk berpartisipasi dalam penyusunan anggaran, evaluasi anggaran,

Universitas Sumatera Utara

umpan balik anggaran, kejelasan sasaran anggaran merasa bahwa prosedur yang
adil dapat mempengaruhi kinerja manajerial. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa pengaruh langsung antara keadilan prosedural dengan kinerjal manajerial
lebih tinggi dibandingkan dengan pengaruh tidak langsung melalui budgetary
goal characteristic

Tabel 2.1. Review Penelitian Terdahulu
No
1.

2.

3.

4

Nama
Peneliti
Kenis
(1979)

Judul Penelitian

The
Effect
of
Budgetary
Goal
Characteristics on
Managerial
Attitudes
and
Performance
Browne Budgetary
ll dan
Participation,
Mclness Motivation
and
(1986) Managerial
Performance
Early dan Prosedural Justice
lind
and Partisipation in
(1987) Task Selection: The
Role of Control in
Mediating Justice

Adoe
(2002)

Pengaruh
Karakteristik
Tujuan Anggaran
Terhadap Perilaku,
Sikap dan Kinerja
Pemerintah Daerah
di Propinsi Nusa
Tenggara Timur

Variabel Yang
Digunakan
Budgetary
Goal
Characteristics (X)
Managerial Attitudes
(Y1)
Performance (Y2)
Budgetary
Participation (X1),
Motivation (X2)
Managerial
Performance (Y)
Keadilan prosedural
kinerja manajer.

Karakteristik Tujuan
Anggaran (X)
Perilaku (Y1)
Sikap (Y2)
Kinerja Pemerintah
Daerah (Y3)

Kesimpulan
Hubungan kejelasan sasaran
anggaran dengan kinerja
manajerial
menunjukkan
hasil yang signifikan.

Menemukan
bahwa
anggaran
partisipati
memiliki pengaruh positif
yang signifikan terhadap
kinerja manajer.
keadilan
prosedural
berkorelasi positif dengan
kinerja manajer. Mereka
menemukan bukti bahwa
persepsi
manajer
lini
terhadap cara mengevaluasi,
proses promosi dan umpan
balik
dalam
mengkomunikasikan kinerja
akan mempengaruhi kinerja
manajerial para manajer lini.
Kinerja
manjerial
akan
meningkat jika persepsi
bawahan (manajer lini)
terhadap keadilan prosedural
dapat diterima.
Kejelasan sasaran anggaran
tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap kinerja
manajerial.
Penelitian
Jumirin (2001) mengatakan
tidak terdapat hubungan
yang
signifikan
antara
kejelasan sasaran anggaran
dengan akuntabilitas kinerja
instansi pemerintah.

Universitas Sumatera Utara

5.

6.

7.

8.

9.

Mulyasari
dan
Sugiri
(2004)

Pengaruh Keadilan
Persepsian,
Komitmen
pada
Tujuan dan Job
Relevant
Information
terhadap Hubungan
antara
Penganggaran
Partisipatif
dan
Kinerja Manager
Abdullah Pengaruh Kejelasan
(2004) Sasaran Anggaran,
Pengendalian
Akuntansi
dan
Sistem Pelaporan
Terhadap
Akuntabilitas
Kinerja
Instansi
Pemerintah
Pada
Kabupaten
dan
Kota di Daerah
Istimewa
Yogyakarta
Darma, Pengaruh Kejelasan
E.S.
Sasaran dan Sistem
(2004) Pengendalian
Akuntansi
Terhadap Kinerja
Manajerial dengan
Komitmen
Organisasi sebagai
Variabel
Pemoderasi
pada
Pemerintah Daerah
Ginting Pengaruh
(2009) partisipasi anggaran
dan
kejelasan
sasaran anggaran
terhadap
kinerja
aparat
perangkat
daerah
di
pemerintahan
Kabupatan karo
Bawono Peran
Budgetary
(2009) Goal
Characteristics
Sebagai Variabel
Intervening Dalam
Hubungan Antara
Keadilan
Prosedural
Dan
Kinerja Manajerial
(Studi pada Pejabat
Eselon III dan IV
pada
Pemerintah
Daerah
se-Eks
Karesidenan

Keadilan Persepsian
(Z1), Komitmen pada
Tujuan (Z2), Job
Relevant
Information
(Z3)
Penganggaran
Partisipatif (X) dan
Kinerja Manager (Y)

Hubungan beberapa variabel
yang mempengaruhi kinerja
akan lebih kuat jika terdapat
keadilan prosedural.

Kejelasan Sasaran
Anggaran (X1)
Pengendalian
Akuntansi (X2)
Sistem
Pelaporan
(X3)
Akuntabilitas
Kinerja (Y)

Terdapat hubungan yang
signifikan antara kejelasan
sasaran anggaran dengan
akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah.

Kejelasan Sasaran
(X1)
Sistem Pengendalian
Akuntansi (X2)
Komitmen
Organisasi (X3)
Kinerja Manajerial
(Y)

Komitmen
organisasi
merupakan keyakinan dan
dukungan
yang
kuat
terhadap nilai dan sasaran
(goal) yang ingin dicapai
organisasi.
Komitmen
organisasi yang tinggi akan
cenderung
menurunkan
senjangan anggaran dan
signifikan terhadap kinerja.

Partisipasi anggaran
(X1),
Kejelasan
sasaran
anggaran
(X2) dan Kinerja
aparat
perangkat
daerah (Y)

Terdapat pengaruh secara
simultan maupun secara
parsial partisipasi anggaran
dan
kejelasan
sasaran
anggaran terhadap kinerja
aparat perangkat daerah di
Pemerintahan
Kabupaten
Karo.

Budgetary
Goal
Characteristics (Z),
Keadilan Prosedural
(X) dan Kinerja
Manajerial (Y)

Keadilan prosedural secara
signifikan
berpengaruh
terhadap kinerja manajerial
dan keadilan prosedural
terhadap kinerja manajerial
melalui budgetary goal
characteristic juga terbukti
berpengaruh positif. Hasil
penelitian Bawono (2009)
secara keseluruhan dapat
menjelaskan bahwa pejabat
eselon III dan IV yang diberi
wewenang
untuk
berpartisipasi
dalam

Universitas Sumatera Utara

Surakarta )

penyusunan
anggaran,
evaluasi anggaran, umpan
balik anggaran, kejelasan
sasaran anggaran merasa
bahwa prosedur yang adil
dapat mempengaruhi kinerja
manajerial. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa
pengaruh langsung antara
keadilan prosedural dengan
kinerjal manajerial lebih
tinggi dibandingkan dengan
pengaruh tidak langsung
melalui budgetary goal
characteristic

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Pengaruh Ketidakpastian Lingkungan, Kejelasan Sasaran Anggaran Dan Keadilan Prosedural Terhadap Kinerja Manajerial Dengan Pengawasan Anggaran Sebagai Variabel Moderating Di Lingkungan SKPD Dinas Bina Marga Propinsi Sumatera Utara

0 61 100

Pengaruh Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja dan Keadilan Prosedural terhadap Kinerja Manajerial SKPD (Studi kasus pada Pemerintah Kabupaten Serdang Bedagai)

1 59 97

Pengaruh Partisipasi Penyusunan Anggaran, Kejelasan Sasaran Anggaran, dan Keadilan Distributif Terhadap Kinerja Manajerial

3 17 66

Pengaruh Keadilan Distributif dan Keadilan Prosedural terhadap Komitmen Organisasional.

3 12 18

Pengaruh Keadilan Distributif Dan Keadilan Prosedural Terhadap Kinerja Manajerial Skpd Melalui Kejelasan Sasaran Anggaran Pada Pemerintah Kabupatan Karo

0 0 17

Pengaruh Keadilan Distributif Dan Keadilan Prosedural Terhadap Kinerja Manajerial Skpd Melalui Kejelasan Sasaran Anggaran Pada Pemerintah Kabupatan Karo

0 0 2

Pengaruh Keadilan Distributif Dan Keadilan Prosedural Terhadap Kinerja Manajerial Skpd Melalui Kejelasan Sasaran Anggaran Pada Pemerintah Kabupatan Karo

0 0 8

Pengaruh Keadilan Distributif Dan Keadilan Prosedural Terhadap Kinerja Manajerial Skpd Melalui Kejelasan Sasaran Anggaran Pada Pemerintah Kabupatan Karo

0 0 4

Pengaruh Keadilan Distributif Dan Keadilan Prosedural Terhadap Kinerja Manajerial Skpd Melalui Kejelasan Sasaran Anggaran Pada Pemerintah Kabupatan Karo

0 0 22

Keadilan Distributif, Keadilan Prosedural dan Keadilan Interaksional Terhadap Kinerja Manajerial dengan Komitmen Afektif Sebagai Variabel Intervening

0 0 12