Media Sosial Twitter sebagai Pembentuk Pemikiran Politik Mahasiswa (Studi Analisis Wacana Sara Mills pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Paradigma Kajian

Menurut Mulyana (2001:18), jenis perspektif atau pendekatan yang
disampaikan oleh teoretisi bergantung pada bagaimana teoretisi itu memandang
manusia yang menjadi objek kajian mereka. Adapun metodologi yang digunakan
peneliti dalam pembahasannya adalah metode deskriptif kualitatif dengan
paradigma kritis. Paradigma kritis pada dasarnya adalah paradigma ilmu
pengetahuan yang meletakkan epistemologi kritik Marxisme dalam seluruh
metodologi penelitiannya. Fakta menyatakan bahwa paradigma kritis yang
diinspirasikan dari kritis tidak bisa melepaskan diri dari warisan Marxisme dalam
seluruh filosofi pengetahuannya. Teori kritis pada satu pihak merupakan salah
satu aliran ilmu sosial yang berbasis pada ide-ide Karl Marx dan Engels (Denzin,
2000: 279-280).
Ada beberapa karakteristik utama dalam seluruh filsafat pengetahuan
paradigma kritis yang bisa dilihat secara jelas. Ciri pertama adalah ciri
pemahaman paradigma kritis tentang realitas. Realitas dalam pandangan kritis
sering disebut dengan realitas semu. Realitas ini tidak alami tapi lebih karena
bangun konstruk kekuatan sosial, politik dan ekonomi. Pandangan paradigma
kritis, realitas tidak berada dalam harmoni tapi lebih dalam situasi konflik dan

pergulatan sosial (Eriyanto, 2001:3-46).
Ciri kedua adalah ciri tujuan penelitian paradigma kritis. Karakteristik
menyolok dari tujuan paradigma kritis ada dan eksis adalah paradigma yang
mengambil sikap untuk memberikan kritik, transformasi sosial, proses emansipasi
dan penguatan sosial. Tujuan penelitian paradigma kritis adalah mengubah dunia
yang tidak seimbang. Seorang peneliti dalam paradigma kritis akan mungkin
sangat terlibat dalam proses negasi relasi sosial yang nyata, membongkar mitos,
menunjukkan bagaimana seharusnya dunia berada (Neuman, 2000:75-87; Denzin,
2000:163-186).
Ciri ketiga adalah ciri titik perhatian penelitian paradigma kritis. Titik
perhatian penelitian paradigma kritis mengandaikan realitas yang dijembatani oleh

Universitas Sumatera Utara

nilai-nilai tertentu. Ini berarti bahwa ada hubungan yang erat antara peneliti
dengan objek yang diteliti. Setidaknya peneliti ditempatkan dalam situasi bahwa
ini menjadi aktivis, pembela atau aktor intelektual di balik proses transformasi
sosial. Proses tersebut dapat dikatakan bahwa etika dan pilihan moral bahkan
suatu keberpihakan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari analisis penelitian
yang dibuat.

Karakteristik keempat dari paradigma kritis adalah pendasaran diri
paradigma kritis mengenai cara dan metodologi penelitiannya. Paradigma kritis
dalam hal ini menekankan penafsiran peneliti pada objek penelitiannya. Hal ini
berarti ada proses dialogal dalam seluruh penelitian kritis. Dialog kritis ini
digunakan untuk melihat secara lebih dalam kenyataan sosial yang telah, sedang
dan akan terjadi. Karakteristik keempat ini menempatkan penafsiran sosial
peneliti untuk melihat bentuk representasi dalam setiap gejala, dalam hal ini
media massa berikut teks yang diproduksinya. Maka, dalam paradigma kritis,
penelitian yang bersangkutan tidak bisa menghindari unsur subjektivitas peneliti,
dan hal ini bisa membuat perbedaan penafsiran gejala sosial dari peneliti lainnya
(Neuman, 2000:63-87). Konteks karakteristik yang keempat ini, penelitian
paradigma kritis mengutamakan juga analisis yang menyeluruh, kontekstual dan
multi level. Hal ini berarti bahwa penelitian kritis menekankan soal historical
situatedness dalam seluruh kejadian sosial yang ada (Denzin, 2000:170).

II.2 Kajian Pustaka

Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti harus menyusun suatu
kerangka teori. Kerangka teori merupakan landasan berfikir untuk menggunakan
dari sudut mana peneliti menyorot masalah yang akan diteliti. Berdasarkan alasan

itu, maka peneliti melaksanakan penelitian menggunakan teori-teori yang relevan
dengan topik permasalahan, yaitu:

Universitas Sumatera Utara

II.2.1 Teori Dependensi Mengenai Efek Komunikasi Massa

Teori yang dikembangkan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin L DeFleur
(1976) memfokuskan perhatiannya pada kondisi struktural suatu masyarakat yang
mengatur kecenderungan terjadinya suatu efek media massa. Teori ini pada
dasarnya merupakan suatu pendekatan struktur sosial yang berangkat dari gagasan
mengenai sifat suatu masyarakat modern (atau masyarakat massa), dimana media
massa dapat dianggap sebagai sistem informasi yang memiliki peran penting
dalam proses pemeliharaan, perubahan, dan konflik pada tataran masyarakat,
kelompok atau individu dalam aktivitas sosial. Pemikiran terpenting dari teori ini
adalah bahwa dalam masyarakat modern, audience menjadi tergantung pada
media massa sebagai sumber informasi bagi pengetahuan tentang, dan orientasi
kepada, apa yang terjadi dalam masyarakatnya. Jenis dan tingkat ketergantungan
akan dipengaruhi oleh sejumlah kondisi struktural, meskipun kondisi terpenting
terutama berkaitan dengan tingkat perubahan, konflik atau tidak stabilnya

masyarakat tersebut. Dan kedua, berkaitan dengan apa yang dilakukan media yang
pada dasarnya melayani berbagai fungsi informasi. Dengan demikian teori ini
menjelaskan saling hubungan antara tiga perangkat variable utama dan
menentukan jenis, efek tertentu sebagai hasil interaksi antara ketiga variable
tersebut (Bungin, 2008: 282-283).
Sendjaja (2002:5,27) membahas lebih lanjut mengenai teori ini ditujukan
pada jenis-jenis efek yang dapat dipelajari melalui teori ini. Secara ringkas kajian
terhadap efek tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
a) Kognitif




Menciptakan atau menghilangkan ambiguitas



Pembentukan sikap




Perluasan sistem keyakinan masyarakat



Agenda-Setting

Penegasan/penjelasan nilai-nilai

b) Afektif




Menciptakan ketakutan atau kecemasan
Meningkatkan atau menurunkan dukungan moral

c) Behavioral

Universitas Sumatera Utara









Mengaktifkan/menggerakkan atau meredakan
Pembentukan issue tertentu atau penyelesaiannya
Menjangkau atau menyediakan strategi untuk suatu aktivitas
Menyebabkan perilaku dermawan (menyumbangkan uang)
Ball-Rokeach dan DeFleur (1976) mengemukakan bahwa ketiga komponen

yaitu audience, sistem media dan sistem sosial Baling berhubungan satu dengan
yang lainnya, meskipun sifat hubungan ini berbeda antara masyarakat satu dengan
masyarakat lainnya. Setiap komponen dapat pula memiliki cara yang beragam
yang secara langsung berkaitan dengan perbedaan efek yang terjadi. Sistem
sosial akan berbeda-beda (bervariasi) sesuai dengan tingkat stabilitasnya.
Ada kalanya sistem sosial yang stabil akan mengalami masa-masa krisis. Sistem

sosial yang telah mapan dapat mengalami tantangan legitimasi dan ketahanannya
secara mendasar. Dalam kondisi semacam ini akan muncul kecenderungan untuk
mendefinisikan hal-hal baru, penyesuaian sikap, menegaskan kembali nilai-nilai
yang berlaku atau mempromosikan nilai-nilai baru, yang semuanya menstimulasi
proses pertukaran informasi (Bungin, 2008; 283).
Audience akan memiliki hubungan yang beragam dengan sistem sosial dan
perubahan-perubahan yang terjadi. Sejumlah kelompok mungkin mampu bertahan
sementara lainnya akan lenyap. Demikian pula dengan keragaman ketergantungan
pada media massa sebagai sumber informasi dan panduan. Pada umumnya
kelompok elite dalam masyarakat akan memiliki lebih banyak kendali terhadap
media, lebih banyak akses kedalamnya, dan tidak terlalu tergantung pada media
jika dibandingkan dengan masyarakat kebanyakan. Sementara kelompok elite
cenderung untuk lebih memiliki akses kepada sumber informasi lain yang lebih
cakap dan kompeten, non-elite terpaksa tergantung pada media massa atau sumber
informasi perorangan yang yang biasanya kurang memadai.Media massa beragam
dalam hal kuantitas, persebaran, reliabilitas, dan otoritas. Untuk kondisi tertentu
atau dalam masyarakat tertentu media massa akan lebih berperan dalam
memberikan informasi sosial politik dibandingkan dalam kondisi atau masyarakat
lainnya. Selanjutnya, terdapat pula keragaman fungsi dari media massa untuk
memenuhi


berbagai

kepentingan,

selera,

kebutuhan,

dan

sebagainya.

(Bungin,2008:283-284)

Universitas Sumatera Utara

II.2.2 Komunikasi Cyber

New media memberikan gambaran-gambaran baru terciptanya komunikasi

dunia cyber. Media baru ini memberikan ruang dalam dinamika sosial masyarakat
termasuk komunikasi, telematika, ilmu pengetahuan, budaya, sosiologi dan lain
sebagainya dengan perkembangan berbagai macam varian. Gambaran umum
realitas new media memberikan konsep pola komunikasi yang tidak ada batasan
antara penyampai pesan dan penerima pesan sehingga ruang media baru tersebut
lebih mudah memberikan asas timbal balik. Secara dasar media baru internet
hampir memiliki semua kebutuhan sosial masyarakat mulai informasi, media teks,
radio, TV dan segala jenis media tergabung didalamnya.
Burhan Bungin (2009 : 296), teori komunikasi dunia maya atau yang sering
di

kenal

teori

Cybercommunity

merupakan

teori


paling

akhir

dalam

pengembangan ilmu komunikasi atau sosiologi komunikasi. Kajian kajian tentang
perkembangan teknologi telematika menjadi sangat urgen terutama yang
berhubungan dengan perkembangan media baru (new media). New media banyak
menekankan bagaimana kontruksi sosial media memberi kontribusi terhadap
kehidupan manusia secara keseluruhan. Persoalan cyber seperti perumpamaan
“ruang waktu” bahwa manusia memiliki kehidupan baru diatas dunia nyata. Teori
ini lebih menekankan kelompok sosial yang berkembang didalam dunia maya.
Bagaimana terciptanya kelompok-kelompok, bagaimana komunikasi kelompok
dan bagaimana sebuah media kelompok di dunia maya mekontruksi pesan
penggunanya.
Saverin dan Tankard (2005) dalam bukunya Teori Komunikasi menjelaskan
tentang teori komunikasi dunia maya, meliputi aspek aspek penting teori
komunikasi dunia maya, yaitu:

1.

Konsep dasar komunikasi digital , cyber space, virtual reality (VR),
komunitas maya (virtual community ) chat room, multy user domain
(MUD), inter aktifitas , hypertext, dan multimedia

2.

Gagasan McLuhan tentang perkembangan media baru (New media)
melibatkan kesenjangan pengetahuan kredibilitas media penentuan agenda
manfaat dan gratifikasi, pembauran inovasi dan lain lain.

Universitas Sumatera Utara

3.

Riset- riset baru pada komuniksai dunia maya yaitu mediamorfosis, riset
tentang hypertext, riset multimedia, riset desain antar muka (komunikasi dua
arah) riset eros digital atau cinta online, riset kecanduan internet dan
depresi.
Konsep virtualitas dipandang sebagai sifat kemayaan yang tercipta akibat

mekanisme jaringan komputer (cyberspace), akan tetapi melingkupi konsep maya
dalam pengertian yang lebih luas, yang tercipta dalam ruang – ruang yang lebih
luas (Bungin, 2008:293).
Teori cybercommunity dianggap penting karena merumuskan sejauh mana
teknologi informasi seperti sosial networking berperan serta menciptakan konsep
nasionalisme kekinian dengan pembentukan kelompok dalam dunia maya. Dalam
kelompok dunia maya banyak faktor yang membuat seseorang menikmati
dinamika kelompok antara lain unsur ketidaksengajaan individu serta proses
pencarian kelompok. Didalam dunia maya kelompok tidak mencari individu
namun lebih kepada individu yang mencari kelompok. Terciptanya grup di ruang
maya lebih menekankan minat individu untuk bergabung dengan kelompok yang
sudah ada atau sebaliknya individu dapat menciptakan kelompok sesuai dengan
keinginan dan minatnya.

II.2.3 Konstruksi Sosial Media Massa

Istilah konstruksi sosial atas realitas sosial diperkenalkan oleh Peter
L.Berger dan Luckmann dalam bukunya “ The Sosial Construction of Reality, A
Treatise in The Sociology of Knowledge”. Dalam bukunya, digambarkan bahwa
institusi masyarakat tercipta dan dipertahankan atau diubah melalui tindakan dan
interaksi manusia. Meskipun masyarakat dan institusi sosial terlihat nyata secara
objektif, namun pada kenyataana semua dibangun dalam defenisi subjektif
melalui proses interaksi (Bungin,2008:191).
Proses konstruksi realitas prinsipnya adalah setiap upaya “menceritakan”
sebuah peristiwa, keadaan, atau benda. Media massa adalah sebuah institusi yang
bertujuan untuk menceritakan peristiwa-peristiwa, maka kesibukan utama media
massa adalah mengkronstruksikan berbagai realitas yang disiarkan. Media

Universitas Sumatera Utara

bertugas menyusun berbagai realitas-realitas yang ditemukannya di lapangan
kemudian menyusun realitas tersebut menjadi cerita atau wacana bermakana.
Frans M.Parera menjelaskan antara diri (self) dengan dunia sosiokultural.
Dialetika ini berlangsung dalam proses dengan tiga momen stimulan. Pertama
tahap eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk
manusia. Kedua tahap objektivitas, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia
intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami proses instutisionalisasi. Dapat
juga dikatakan sebagai proses pembuatan tanda-tanda oleh manusia. Ketiga tahap
interalisasi, yaitu pemahaman atau penafsiran yang langsung dari suatu peristiwa
objeltif sebagai pengungkapan suatu makna (Bungin,2008:193)
Untuk media massa, proses konstruksi sosial media massa terjadi melalui
tahapan berikut: (a) tahap menyiapkan materi; (b) tahap sebaran konstruksi; (c)
tahap pembentukan konstruksi; dan (d) tahap konfirmasi (Bungin,2008:203).
Selain tahapan proses konstruksi sosial media massa diatas, Ibnu Hamad
(2004:16) dalam bukunya “Konstruksi Realitas Politis dalam Media Massa”
mengatakan bahwa ada tiga tindakan yang biasa dilakukan oleh pekerja media
tatkala melakukan konstruksi realitas yang berujung pada pembentukan citra
sebuah kekuatan politik. Diantaranya sebagai berikut:
Pertama, dalam hal pilihan kata (simbol) politik. Sekalipun media massa hanya
bersifat melaporkan, namun telah menjadi sifat pembicaraan politik untuk selalu
memperhitungkan

simbol

politik.

Apapun

simbol

yang

dipilih

akan

mempengaruhi makna yang muncul.
Kedua, dalam melakukan pembingkaian (framing) peristiwa politik. Karena
adanya tuntutan teknis seperti keterbatasan kolom dan halaman (media cetak) atau
waktu (media elektronik), jarang ada media yang membuat berita sebuah peristiwa
secara utuh mulai dari menit pertama hingga menit terakhir. Sehingga terjadi
pemilihan fakta untuk ditonjolkan, disembunyikan, bahkan dihilangkan.
Ketiga, menyediakan ruang atau waktu sebuah peristiwa politik (fungsi agenda
setting). Justru jika media massa memberi tempat pada sebuah peristiwa politik,
maka peristiwa tersebut akan memperoleh perhatian oleh masyarakat. Semakin
besar tempat yang diberikan, maka semakin besar pula perhatian yang diberikan
khalayak.

Universitas Sumatera Utara

II.2.4 Komunikasi Politik

Komunikasi politik adalah proses yang melibatkan manusia dalam setting
politik di lingkungannya. Baik dalam kaitannya dengan pretensi kekuasaan atau
pembagian kekuasaan dan pengaruhnya, maupun dalam kegiatan manusia untuk
mengatur, mempertahankan, memperluas atau juga mengambil alih kekuasaan dan
pengaruh kekuasaan dari pihak lain. (Ali,2006:138)
Menurut Dan Nimmo (1989;29,166) komunikasi politik terdiri atas unsur
komunikator politik, pesan politik, media politik, khalayak komunikasi politik dan
akibat-akibat komunikasi politik;
a.

Komunikator politk dalam proses komunikasi politik memainkan
sosial utama, terutama dalam pembentuk opini publik. Karl Popper
mengemukakan peran komunikator politik sebagai pemimpin public
opinion , karena mereka ‘berhasil membuat beberapa gagasan yang
mula-mula ditolak, kemudian dipertimbangkan, dan akhirnya diterima
massa.

b.

Pesan politik tumbuh dan berkembang dalam proses negosiasi politik.
Isi komunikasi politik seharusnya tidak cuma berkaitan dengan
kekuasaan dan pengaruh kekuasaan, tetapi juga kemungkinan
terjadinya konflik. Itu berarti dalam pesan politik dimungkinkan
terdapat paradoks. Sehingga dengan paradoks itu, pesan politk
dimanfaatkan

untuk

penyelesaian

konflik

bukan

semakin

mempertajam konflik yang terjadi.
c.

Media politik, sarana perjuangan kepetingan politik itu seharusnya
dikelola dengan sifat-sifat interpersonal yang menonjol. Dengan
demikian media komunikasi politik dapat dimanfaatkan setiap
komunikator politik, untuk berbicara langsung kepada publik sasaran
tanpa perantara.

d.

Akibat komunikasi politik dapat berupa simpati dan partisipasi politik,
tetapi bisa juga berwujud sinisme, antipati, hingga perlawanan politik.
Setiap proses komunikasi politik bisa menghasilkan pembentukan dan
perubahan sikap serta perilaku politik sasaran tertentu, yang bersifat
positif, tetapi dapat pula bermakna negatif bagi komunikator

Universitas Sumatera Utara

politiknya. Pembentukan dan perubahan sikap serta perilaku politik
target tertentu dihasilkan oleh komunikasi politik bergantung pada
kepercayaan nilai dan pengharapan publik atas gagasan politik yang
diterimanya. Disinilah arti penting partisipasi politik melalui peralihan
kepentingan personal dan sosial dari komunikator politik sebagai
pembentuk pendapat umum pada target publiknya.

II.2.5 Analisis Wacana

Analisis wacana adalah sebuah alat analisa yang diterapkan kedalam sebuah
wacana, berita atau lebih umumnya teks, guna dalam analisis tersebut si pengguna
teori akan membedah isi dari apa yang dikandung dalam sebuah teks media.
Secara teoritis, pendekatan analisis wacana kontemporer terhadap representasi
media, lebih canggih dibandingkan pendekatan isi. Tidak hanya kata-kata atau
aspek-aspek lainnya yang dapat dikodekan dan dihitung, tetapi struktur wacana
yang kompleks pun dapat dianlisis pada berbagai tataran deskripsi. (Sobur,2004:5)
Terdapat 3 pandangan analisis wacana menurut Mohammad A.S Hikam
(Eriyanto,2001;4-7)
Pandangan pertama diwakili oleh kaum Positivisme – Empiris. Penganut
aliran ini melihat bahasa sebagai jembatan antara manusia dengan objek
yang ada di luar dirinya. Pengalaman manusia dianggap dapat secara
langsung diekspresikan melalui penggunaan bahasa tanpa ada kendala aatau
distorsi, sejauh ia dinyatakan dengan menggunakan pernyataan-pernyataan
yang logis, sintaksis, dan memiliki hubungan dengan pengalaman empiris.
Salah satu ciri dari pemikiran ini adalah pemisahan antara ide/pemikiran dan
realitas. Dalam kaitannya dengan analisis wacana, konsekuensi logis dari
pemahaman ini adalah oranng tidak perlu mengetahui makna- makna
subjektif atau nilai yang mendasari pernyataannya, sebab yang penting
adalah apakah pernyataan itu dilontarkan secara benar menurut kaidah
sintaksis dan semantik. Oleh karena itu, kebenaran sintaksis (tata bahasa)
adalah bidang utama dari aliran positivisme tentang wacana.

Universitas Sumatera Utara

Pandangan

kedua

dalam

analisis

wacana

adalah Konstruktivisme.

Pandangan ini banyak dipengaruhi oleh pemikiran fenomenologi. Aliran ini
menolak pandangan positivisme/empirisme dalam analisis wacana yang
memisahkan subyek dan objek bahasa. Dalam pandangan konstruktivisme,
bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas
objektif belaka yang dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan.
Konstruktivisme justru menganggap bahwa subjek adalah aktor utama atau
faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.

Pandangan ketiga disebut pandangan kritis. Pandangan ingin mengoreksi
pandangan-pandangan konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses
produksi dan reproduksi makna yang terjadi ssecara historis maupun secara
institusional.Analisis wacana tidak dipusatkan pada kebenaran atau
ketidakbenaran struktur tata bahasa atau proses penafsiran seperti pada
pandangan konsktuktivisme. Analisis wacana dalam paradigma kritis
menekankan pada konstelasi kekuatan yang terjadi pada proses produksi dan
reproduksi makna. Individu tidak dianggap sebagai subjek yang netral yang
bisa menafsirkan secara bebas sesuai dengan pikiran-pikirannya, karena
sangat berhubungan dan dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial yang
adal dalam masyarakat. Bahasa disini tidak dipahami ssebagai medium
netral yang terletak di luar diri si pembicara.

Pengertian wacana sering mengalami perubahan makna dari waktu ke
waktu. Karena itu istilah wacana juga memiliki pengertian yang rentan, mudah
berubah dan tidak konsiten. Hal ini disebabkan karena wacana memiliki latar
belakang sejarah yang kompleks dan berbeda-beda. Karena itu arti wacana yang
diberikan pemikir juga berbeda satu sama lain.
Model analisis wacana yang peneliti gunakan dalam menganalis teks dalam
postingan twitter ini adalah model Sara Mills. Mills (1997:2-7) berusaha
menganalisis istilah wacana baik secara leksikal maupun secara teoritis. Secara
leksikal, tiga kamus, yaitu Colins Concise Dictionary dan Longman Dictionary of
English Language mengartikan wacana sebagai komunikasi verbal, atau
percakapan dan pidato atau pembicaraan baik secara lisan maupun tertulis. Namun

Universitas Sumatera Utara

dalam kamus Perancis/Inggris (Coffins Concise French Dictionary) wacana
diartikan tidak hanya sebagai pembicaraan (speech) baik langsung maupun tidak
langsung tetapi juga diartikan sebagai suatu perdebatan atau percakapan filosofis
(philosophical treatis).
Geoffrey dan Michael Short mengartikan wacana sebagai komunikasi
linguistik dan melihatnya sebagai interaksi antara pembicara dan pendengar,
sebagai suatu aktivitas interpersonal yang bentuknya ditentukan untuk mencapai
tujuan sosial tertentu. Teks adalah komunikasi baik tertulis maupun lisan yang
sepenuhnya dilihat sebagai kode pesan, baik dalam media audio, maupun lisan.
Sementara itu Michael Stubs mengatakan bahwa teks dan wacana bisa dilakukan
secara lisan, interaktif, panjang, memiliki jangkauan, dan intensitas yang
mendalam. Sementara itu Emile Benveniste membedakan wacana dari sistem
bahasa. Dalam wacana kalimat pernyataan bahasa digunakan sebagai sistem
simbol yang memiliki arti yang lebih umum. Sedangkan bahasa hanya merupakan
instrumen komunikasi yang mengekspresikan isi dari wacana. (Mills,1997;4)
Sara Mills banyak menulis mengenai teori wacana. Akan tetapi, titik
perhatiannya terutama pada wacana mengenai feminisme. Meskipun demikian,
pendekatan yang dikemukakan oleh Sara Mills dapat diterapkan di bidang-bidang
lain. Sara Mills lebih melihat bagaimana posisi-posisi aktor ditampilkan dalam
teks, selain itu juga memusatkan perhatian pada bagaimana pembaca dan penulis
ditampilkan dalam teks. Bagaimana pembaca mengidentifikasi dan menempatkan
dirinya dalam penceritaan teks. Posisi semacam ini akan menempatkan pembaca
pada salah satu posisi dan memepengaruhi bagaimana teks itu hendak dipahami
dan bagaimana pula aktor sosial ini ditempatkan. (Eriyanto,2001:199-200)
Sara Mills banyak terilhami oleh gagasan Althusser, seperti individu
ditempatkan sebagai subjek, kita disadarkan menegenai posisi kita dalam
masyarakat, kita menjadi subjek dalam dua dunia : kita adalah subjek sebagai
individu dan kita adalah subjek dari negara atau kekuasaan. Althusser menyebut
ini proses interpelasi yaitu melalui mana sesorang akan ditempatkan posisinya
dalam masyarakat. Selain itu juga ada gagasan Althusser mengenai kesadaran.
Kesadaran ini berhubungan dengan penerimaan individu tentang posisi-posisi
sebagai suatu kesadaran. Mereka menerima hal itu sebagai suatu kenyataan, suatu
kebenaran. Hal ini yang mempengaruhi analisis teks dari Sara Mills. Terutama

Universitas Sumatera Utara

bagaimana pembaca diposisikan dalam teks. Bagaimana penulis melalui teks yang
dibuat menempatkan dan memposisikan pembaca dalam subjek tertentu dalam
keseluruhan jalinan teks. (Eriyanto,2001:206-207)
Penempatan posisi pembaca biasanya dihubungkan dengan bagaimana
penyapaan atau penyebutan itu dilakukan dalam teks. Misalnya, dihubungkan
dengan pemakaian kata ganti Kamu/Anda dimana pembaca disini disapa langsung
oleh teks. Penyapaan ini merupakan proses bagaimana teks berkomunikasi dengan
pembaca dan bagaimana pembaca diposisikan oleh teks dalam posisi teks tertentu.
Bagi Mills, penyapaan atau penyebutan itu umumnya bukan langsung (direct
address) tetapi melalui penyapaan atau penyebutan tidak langsung (inderect
address). Disini pembaca diposisikan atau ditempatkan, menurut Mills itu dapat
berlangsung dengan dua cara. Pertama mediasi, suatu teks umumnya membawa
tingkatan wacana, dimana posisi kebenaran ditempatkan secara hierarkis sehingga
pembaca akan mensejajarkan dan mengidentifiksikan dirinya sendiri dengan
karakter atau apa yang tersaji dalam teks. Kedua, kode budaya. Istilah yang
diperkenalkan oleh Roland Barthes ini mengacu pada kode atau nilai budaya yang
dipakai oleh pembaca ketika menafsirkan suatu teks. Kode budaya membantu
pembaca menempatkan dirinya terutama dengan orientasi nilai yang disetujui dan
dianggap benar oleh pembaca. (Eriyanto, 2011:207-208)
Bagi Mills banyak cara berkomunikasi teks secara tidak langsung, seperti
contohnya iklan. Misalnya, iklan lipstik menampilkan seorang artis cantik yang
anggun dan dikerubuti banyak lelaki yang tertarik padanya. Iklan ini
mensugestikan kalau ingin cantik, anggun dan dikerubuti lelaki pakailah lipstik
tersebut. Lipstik itu kana membuat wanita menjadi cantik dan anggun. Teks iklan
ini secara tidak langsung menampilkan “ Hai wanita, pakailah lipstik agar kamu
tampil cantik, anggun, dan dikagumi lelaki”. Teks iklan ini berbicara tidak
langsung kepada pembaca yang akan mengartikannya dengan demikian (
Eriyanto,2001:209)

Universitas Sumatera Utara

Gambar 1
Model Teoritik

Objek penelitian
Postingan tweet menganai politik di media sosial twitter

Tingkat analisis
- Posisi subjek dan objek
- Posisi penulis dan pembaca

Analisis wacana model Sara Mills
- Siapa yang diposisikan sebagai pencerita (subjek) dan siapa
yang menjadi objek yang diceritakan.
- Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks. Bagaimana
pembaca memposisikan dirinya dalam teks yang ditampilkan

- Pemikiran politik tersirat melalui postingan tweet dari objek
penelitian
- Keluasan dan kelemahan media sosial twitter sebagai media
mahasiswa menyampaikan pemikiran politiknya
Sumber : Peneliti dengan mengombinasikan
pada penelitian Analisis Wacana Sara Mills
(Eriyanto,2001;199-200)

Universitas Sumatera Utara

BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan motode analisis wacana. Analisis wacana
adalah sebuah alat analisa yang diterapkan kedalam sebuah wacana, berita atau
lebih umumnya teks, guna dalam analisis tersebut si pengguna teori akan
membedah isi dari apa yang dikandung dalam sebuah teks media. Secara teoritis,
pendekatan analisis wacana kontemporer terhadap representasi media, lebih
canggih dibandingkan pendekatan isi. Tidak hanya kata-kata atau aspek-aspek
lainnya yang dapat dikodekan dan dihitung, tetapi struktur wacana yang kompleks
pun dapat dianlisis pada berbagai tataran deskripsi. (Sobur,2004:5)
Model analisis wacana yang peneliti gunakan menganalis teks dalam
postingan twitter ini adalah model Sara Mills. Analisis wacana dengan teori kritis
ini memiliki cara pandang yang berpijak kepada sebuah asumsi bahwa bahasa
merupakan sebuah medium praktik sosial dan politik. Dengan cara pandang ini,
analisis wacana bekerja untuk meneliti dan membedah sebuah pemetaan atau
konstelasi kepentingan yang terdapat dibalik teks. Artinya, analisis wacana kritis
berbeda dari dua bentuk analisis konvesional dan konstruktivis, yang
menitikberatkan analisanya kepada teks. Tetapi, analisis wacana kritis
memperhatikan kepada latar historis dan politis mengapa sebuah teks kemudian
dihadirkan dalam konteks tertentu (Eriyanto, 2001:6,200).
Mills berusaha menganalisis istilah wacana baik secara leksikal maupun
secara teoritis yang menekankan bagaimana posisi aktor sosial, posisi gagasan,
atau peristiwa itu ditempatkan dalam teks. Analisis wacana model ini memusatkan
pada posisi subjek-objek dan posisi penulis-pembaca (Eriyanto, 2001:200-201).

Universitas Sumatera Utara

III.2 Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah postingan tweet dari akun-akun tentang
politik Adapun kriteria subjek penelitian adalah :
1. Subjek penelitian adalah mahasiswa dengan postingan tweet yang berisi
pemikiran politik (partisipasi, perilaku dan sikap politik).
2. Postingan yang akan diteliti adalah mahasiswa dengan postingan tweet
berisi pemikiran politik terbanyak dengan bahasan debat dan pemilihan
gubenur Sumatera Utara.

III.3 Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini adalah akun yang diikuti oleh peneliti. Adapun
kriteria objek penelitian adalah:
1. Akun yang aktif dalam menyampaikan komentarnya mengenai isu
politik yaitu debat dan pemilihan gubenur Sumatera Utara.
2. Akun yang diteliti adalah akun yang diikuti / follow oleh peneliti.

III.4 Kerangka Analisis
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kerangka analisis wacana Sara
Mills. Seperti yang akan digambarkan pada tabel berikut:

Tabel 1
Kerangka Analisis Wacana Sara Mills
TINGKAT

YANG INGIN DILIHAT

Posisi

Bagaimana peristiwa dilihat, dari kacamata siapa

Subjek-Objek

peristiwa itu dilihat. Siapa yang diposisiakn sebagai
pencerita (subjek) dan siapa yang menjadi objek
yang diceritakan. Apakah masing-masing aktor dan
kelompok sosial mempunyai kesempatan untuk
menampilkan dirinya sendiri, gagasannya ataukah
kehadirannya,

gagasannya

ditampilkan

oleh

kelompok/orang lain.

Universitas Sumatera Utara

Posisi

Bagaimana posisi pembaca ditampilkan dalam teks.

Penulis-Pembaca

Bagaimana pembaca memposisikan dirinya dalam
teks yang ditampilkan. Kepada kelompok manakah
pembaca mengidentifikasikan dirinya.
Sumber : Eriyanto, 2001:211

III.5 Tehnik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data dengan menggunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut:
1. Studi Dokumen (document research), yaitu mengumpulkan data berupa berita
dan postingan politik dari akun twitter peneliti selama bulan Desember 2012 –
Maret 2013. Peneliti mengobservasi postingan setiap harinya dari akun-akun
yang selama ini sudah di nilai sebagai objek penelitian. Postingan tersebut di
capture, kemudian dikumpulkan dan akan menjadi subjek penelitian.
Postingan tweet yang dipilih adalah tweet yang berisi mengenai isu politik.
Peneliti membatasi pada kurun waktu tersebut demi terfokusnya penelitian ini.
2. Studi Kepustakaan (library research), yaitu dengan cara mengumpulkan
semua data yang berasal dari literatur serta bahan bacaan yang relevan dengan
penelitian ini. Studi kepustakaan dalam penelitian ini menghasilkan berbagai
data yang didapatkan dari buku-buku mengenai analisis wacana, teori
komunikasi, komunikasi massa, sosiologi komunikasi, komunikasi politik,
semiotika, metodologi penelitian dan konstruksi media massa. Selain itu juga
beberapa artikel dan jurnal yang diambil dari internet.

III.6 Teknik Analisis Data

Penelitian ini memusatkan pada penelitian kualitatif dengan perangkat
metode analisis wacana memakai analisis wacana kritis model Sara Mills. Proses
analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini mencakup analisis-analisis
berikut.

Universitas Sumatera Utara

III.6.1 Posisi Subjek-Objek

Menempatkan representasi sebagai bagian terpenting dari analisis.
Bagaimana suatu pihak, kelompok, orang, gagasan, atau peristiwa ditampilkan
dengan cara tertentu dalam wacana berita yang mempengaruhi pemaknaan ketika
diterima khalayak. Analisis ini lebih menekankan bagaimana posisi aktor sosial,
posisi gagasan, atau peristiwa itu ditempatkan dalam teks. Posisi tersebut akhirnya
menentukan teks yang hadir ditengah masyarakat. Dengan metode ini kita perlu
mengkritisi bagaimana peristiwa ditampilkan dan bagaimana pihak yang terlibat
ditampilkan dalam teks. Posisi di sini berarti siapakah aktor yang dijadikan
sebagai subjek yang mendefenisikan dan melakukan penceritaan dan siapakah
yang ditampilkan sebagai objek, pihak yang didefenisikan dan digambarkan
kehadirannya oleh orang lain.

III.6.2 Posisi Pembaca

Teks adalah suatu hasil negosiasi antara penulis dan pembaca. Pembaca
disini tidaklah dianggap semata sebagai pihak yang hanya menerima teks, tetapi
juga ikut melakukan transaksi sebagaimana akan terlihat dalam teks. Teks
bukanlah hanya berhubungan dengan faktor produksi tetapi juga resepsi. Dalam
tahap ini menganalisis bagaimana pembaca diposisikan dalam teks. Disini tentu
saja bisa bermakna khalayak macam apa yang dimarjinalisasikan oleh penulis
untuk ditulis.

Universitas Sumatera Utara

Dokumen yang terkait

Studi dokumentasi tentang kecenderungan penelitian mahasiswa departemen ilmu komunikasi fakultas ilmu social dan ilmu politik Universitas Sumatra Utara 2010 - 2013

0 26 123

Twitter Dan Tingkat Keterbukaan Diri (Studi Korelasional tentang Fasilitas Twitter di Internet Terhadap Tingkat Keterbukaan Diri pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

1 45 125

Peran Mahasiswa Terhadap Kebersihan Lingkungan Kampus (Studi Pada Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

88 650 92

Media Sosial Twitter sebagai Pembentuk Pemikiran Politik Mahasiswa (Studi Analisis Wacana Sara Mills pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 3 89

Konsep Diri Mahasiswa dalam Media Sosial (Studi Deskriptif Kualitatif Konsep Diri Mahasiswa Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara dalam Media Sosial Instagram)

6 40 132

Media Sosial Twitter sebagai Pembentuk Pemikiran Politik Mahasiswa (Studi Analisis Wacana Sara Mills pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 0 8

Media Sosial Twitter sebagai Pembentuk Pemikiran Politik Mahasiswa (Studi Analisis Wacana Sara Mills pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 0 1

Media Sosial Twitter sebagai Pembentuk Pemikiran Politik Mahasiswa (Studi Analisis Wacana Sara Mills pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 1 8

Media Sosial Twitter sebagai Pembentuk Pemikiran Politik Mahasiswa (Studi Analisis Wacana Sara Mills pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 2 2

Media Sosial Twitter sebagai Pembentuk Pemikiran Politik Mahasiswa (Studi Analisis Wacana Sara Mills pada Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

0 3 5