FORGIVENESS PADA REMAJA YANG ORANG TUANYA BERCERAI.

FORGIVENESS PADA REMAJA YANG ORANG TUANYA BERCERAI

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah satu Persyaratan dalam
Menyelesaikan Program Strata Satu (S1) Psikologi (S.Psi)

Mar’atusholihah
B57212094

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2016

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN ..........................................................................ii
PERNYATAAN KEASLIAN ..........................................................................iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................iv
DAFTAR ISI ....................................................................................................vi

DAFTAR TABEL ............................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................vii
INTISARI ...................................................................................................... .viii
ABSTRACT .................................................................................................. .ix
BAB I PENDAHULUAN
A.
B.
C.
D.
E.

LATAR BELAKANG MASALAH ........................................................1
FOKUS PENELITIAN ...........................................................................12
TUJUAN PENELITIAN .......................................................................13
MANFAAT PENELITIAN ....................................................................13
KEASLIAN PENELITIAN ....................................................................13

BAB II KAJIAN PUSTAKA
A.
B.

C.
D.

REMAJA ...............................................................................................16
FORGIVENESS .....................................................................................20
PERCERAIAN ORANG TUA ..............................................................29
PRESPEKTIF TEORITIK ......................................................................32

BAB III METODE PENELITIAN
A.
B.
C.
D.
E.
F.

JENIS PENELITIAN .............................................................................34
LOKASI PENELITIAN .........................................................................36
SUMBER DATA ...................................................................................37
CARA PENGUMPULAN DATA ..........................................................41

PROSEDUR ANALISISDAN INTERPRETASI DATA ........................42
KEABSAHAN DATA ...........................................................................43

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. DESKRIPSI SUBJEK ............................................................................45
B. HASIL PENELITIAN ............................................................................70
1. DESKRIPSI HASIL TEMUAN ........................................................70
2. ANALISIS TEMUAN PENELITIAN ...............................................82
C. PEMBAHASAN ................................................................................. 100
BAB V PENUTUP
A. SIMPULAN ........................................................................................ 104
B. SARAN ............................................................................................... 105

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

DAFTAR PUSTAKA

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk memahami proses forgiveness pada remaja yang orang tuanya
bercerai dan faktor-faktor yang mempengaruhi hal tersebut. Penelitian ini merupakan
penelitian kualitatif, dengan menggunakan strategi fenomenologi dan metode wawancara.
Hal itu didasarkan pada tujuan penelitian. Penelitian ini menggunakan triangulasi sebagai
validasi data. Subjek penelitian adalah remaja yang orang tuanya bercerai. subjek berjumlah
lima orang dengan permasalahan yang sama yakni perceraian orang tua namun dengan
keadaan yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari ke lima subjek tiga
diantaranya melakukan forgiveness dengan empat tahapan yakni merasa disakiti, merasa
dibenci, penyembuhan dan dami atau rujuk kembali. Dua yang lainnya tidak mengalami rasa
benci. Faktor yang mempengaruhi forgiveness dari kelima subjek tersebut diantaranya adalah
hubungan interpersonal, kesadaran pribadi, kepribadian dan nasehat serta pendidikan.
Kata kunci : Forgiveness, remaja, perceraian

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

ABSTRACT
This study attempts to understand the process forgiveness in adolescents the parents were
divorced and the factors that affect this. The research is the qualitative study, using the
strategies phenomenology and methods interview. It is based on the objective research. This
research using triangulation as of data validation. The subject of study are teenagers the

parents were divorced. Subject were five and with similar problems to the namely divorce
parents but with a different state. The research results show that of the five subject three of
them do forgiveness with four stage it was a harmed, feel hated, healing and dami or refer
back. Two nothing else has experiencing intense hate. Factor that influences forgiveness from
the five of the subject of them are relations interpersonal, personal awareness, personality
and advice as well as education.
Password: forgiveness , teenagers , divorce

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Angka perceraian pasangan di Indonesia terus meningkat drastis.
Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA)
mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi 285.184 perceraian di
seluruh Indonesia. Data pengadilan Tinggi Agama (PTA) Surabya
menyebutkan, saat ini jumlah kasus perceraian yang sudah diputus per
Nopember 2011 mencapai 66.799 kasus. Ada pun jumah pengajuan cerai
antara Januari-November mencapai 68.989 kasus dengan perincian cerai

talak sebanyak 23.920 kasus dan cerai gugat sejumlah 45.069 perkara
(majalah Lensa Utama 2012). Permaslahan mengenai perceraian diperkuat
dengan data statistik Indonesia tahun 2009 menunjukkan bahwa Propinsi
Jawa timur Menempati uurtan tertinggi nasional untuk kasus talak dan
cerai dengan jumlah kasus 65.334. Di kota Surabaya sendiri, angka
perceraian selalu meningkat setiap tahunnya (dalam Primasti dan Wrastari,
2013).
Kasus perceraian sering dianggap suatu peristiwa tersendiri dan
menegangkan dalam kehidupan keluraga. Kasus tersebut dapat menjadi
pokok masalah dalam kehidupan yang perlu direnungkan. Periwtiwa
perceraian dalam keluarga senantiasa membawa dampak yang mendalam
bagi pihak anggota keluarga (Dagun, 1990). Perceraian dapat didefinisikan

1
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

2

sebagai suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami
istri dan kesepakatan diantara mereka untuk tidak menjalankan tugas dan

kewajibannya sebagai suami istri (Dariyo dalam Dewi, 2014). Dalam
kamus besar bahasa Indonesia cerai adalah putusnya hubungan sebagai
suami istri.
Dalam DSMIV-TM tertulis bahwa perceraian dapat menjadi fokus
klinis yang perlu ditangani, yaitu sebagai masalah yang berkaiatan dengan
tahap perkembangan atau masalah yang berkaitan dengan lingkungan
kehidupan seseorang. Perceraian juga berpengaruh terhadap anak yang
dihasilkan dari pernikahan tersebut, khususnya remaja. Bagi remaja
sendiri, selaku anak, mereka memberikan penilaian bahwa perceraian
orang tua merupakan peristiwa hidup kedua yang menimbulkan stres
terbesar (Dewi, 2006).
Hasil sensus penduduk tahun 2010 menunjukkan bahwa jumlah
penduduk Indonesia sebesar 237,6 juta jiwa, 63,4 juta diantaranya adalah
remaja yang terdiri dari laki-laki sebanyak 32.164.436 jiwa (50,70%) dan
perempuan sebanyak 31.279.012 jiwa (49,30 %). Untuk itu remaja adalah
salah satu kelompok dalam masyarakat yang perlu perhatian khusus
(BKKBN 2011). Menurut Paterson (dalam Ilahi 2015) remaja adalah masa
dimana mengalami perubahan sturuktur dalam keluarga, sekolah, dan
teman sebayanya. Hal ini akan berpengaruh pada pengalamannya dan
bagaimana seorang remaja membuat strategi coping yang efektif untuk

permasalahnnya.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

3

Hurlock (2002) menyatakan bahwa setiap periode mempunyai
masalahnya sendiri-sendiri, namun masalah remaja sering menjadi
masalah yang sulit diatasi baik oleh anak laki-laki maupun anak
perempuan. Terdapat dua alasan bagi kesulitan itu. Pertama sepanjang
masa kanak-kanak, masalah kanak-kanak sebagian diselesaikan oleh orang
tua dan guru-guru, sehingga kebanyakan remaja tidak berpengalaman
dalam mengatasi masalah. kedua karna para remaja merasa diri mandiri,
sehingga mereka ingin mengatasi masalahnya sendiri, menolak bantuan
orang tua dan guru-guru. Masa remaja adalah masa dimana seorang
sedang mengalami saat krisis, sebab ia mau menginjak ke masa dewasa.
Dalam masa tersebut, remajadalam keadaan labil dan emosionla.Dalam
proses perkembangan yang serba sulit dan masa yang membingungkan
dirinya, remaja membutuhkan pengertian dan bantuan dari orang yang
dicintai dan dekat dengan dirinya terutama orang tua (Nisfianoor dan

Yulianti, 2005).
Umumnya orang tua bercerai lebih siap menghadapi perceraian
dibandingkan dengan anak-anak. Berapapun usia anak-anak ketika orang
tuanya bercerai, mereka akan menjadi tertekan, jika anak-anak itu dewasa.
Penderitaan mereka akan lebih sedikit berbeda dengan anak yang
memasuki

remaja

mereka

akan

sulit

menerima

keadaan

yang


sesungguhnya bahwa keluarganya telah bercerai. Perceraian merupakan
guncangan bagi remaja sebab pikirannya akan terkuras pada masalah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

4

perceraian orang tuanya sehingga akan mengganggu apa yang seharusnya
dia perhatikan sesuai dengan usianya (Lestari, 2014).
Pengamatan yang dilakukan peneliti terhadap fenomena yang ada,
serta berdasarkan hasil wawancara awal yang dilakukan peneliti dengan
remaja dari orang tua yang bercerai di Surabaya menunjukkan bahwa
terdapat lima remaja dengan inisial ZN, FZ, HS, QN, dan AS. Mereka
adalah remaja yang orang tuanya bercerai. ZN, merupakan remaja laki-laki
yang saat ini berusia 23 tahun. ZN tinggal di kota Surabaya. Sejak usia 6
tahun ZN ditinggal oleh ayahnya. Sejak saat itu ZN mengetahui bahwa
kedua orang tuanya bercerai. Setelah perceraian tersebut ZN tinggal
bersama ibunya. ZN mengaku sangat kaget. Ia menangis dan kecewa
terhadap ibunya. ZN juga marah terhadap ayahnya. ZN mengetahui bahwa

ayahnya telah menikah lagi dengan wanita lain. ZN semakin benci
terhadap ayahnya. Ketika dia sekolah di SMP ZN menganggap ayahnya
telah meninggal dunia, ia mengaku sebagai anak yatim. Bahkan ZN juga
pernah mendatangi rumah ayahnya dan memarahinya. ZN juga
melontarkan kata-kata kotor kepada ayahnya. Namun saat ini ZN telah
memaafkan ayah dan ibunya. Hal itu terbukti dengan adanya komunikasi
yang baik dengan ayah dan ibunya.
FZ, merupakan remaja perempuan yang saat ini berusia 20 tahun.
FZ tinggal di kota Surabaya. FZ ditinggal orang tuanya cerai sejak 1 tahun
yang lalu. Namun sebelumnya FZ sudah ditinggal ibunya menjadi TKI
sejak SMP. Stelah perceraian tersebut FZ tinggal bersama ayahnya. Saat ia

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

5

mengetahui kabar perceraian orang tuanya dia sangat kaget. Yang ia
ketahui penyebab perceraian kedua orang tuanya adalah karena ibunya
selingkuh dengan laki-laki lain ketika di luar negeri. FZ mengaku sangat
sedih dan hal tersebut menyakiti hatinya. Dia mengancam ibunya lewat
sms bahwa ia akan bunuh diri. FZ mengutarakan pada ibunya bahwa
hidupnya sudah tidak lagi berharga karena kedua semangatnya sudah tidak
lagi bersama. Namun seiring berjalannya waktu FZ memaafkan dan
menerima perceraian tersebut. Ia juga sudah tidak bersedih ketika teringat
hal itu.
HS, merupakan remaja laki-laki yang berusia 22 tahun. HS tinggal
di Surabaya. Ia ditinggal cerai oleh kedua orang tuanya saat ia lulus SD.
Setelah percerian tersebut HS tinggal bersama ibunya. Sebelumnya HS
mengetahui tentang pertengkaran kedua orang tuanya. Menurut HS
penyebab perceraian orang tuanya adalah karena materi atau kurangnya
nafkah. Saat mengetahui orang tuanya bercerai HS mengaku sedih hingga
ia menangis. Setelah orang tuanya bercerai dia tianggal bersama ibunya.
Dia mengaku marah terhadap ayahnya karena setelah perceraian tersebut
hidupnya semakin berat. Ia harus bekerja keras denga ibu dan adikadiknya. Namun seiring berjalannya waktu HS menerima perceraian orang
tuanya dan sering berkomunikasi dengan ayahnya.
QN, adalah remaja putri yang berusia 22 tahun, saat ini ia tinggal
di Surabaya. Orang tuanya bercerai secara hukum sejak 3 bulan yang lalu.
Namun sejak ia lulus SMP orang tuanya sudah bercerai menurut islam.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

6

Saat itu ayahnya sudah meninggalkan dia. Setelah itu QN tinggal bersama
ibunya. Menurut QN penyebab perceraian orang tuanya adalah karena
adanya orang ke tiga yakni laki-laki lain yang disukai oleh ibunya. Namun
saat ini QN sudah memaafkan dan menerima perceraian tersebut. Ia sering
bertemu dengan kedua orang tuanya. Komunikasinya dengan kedua orang
tua sangat baik.
AS, merupakan remaja laki-laki yang berusia 22 tahun. AS tinggal
di kota Surabaya. Ia ditinggal orang tuanya bercerai sejak ia berada di SD.
Setelah perceraian tersebut AS tinggal bersama mamanya. Ketika
mengetahui hal tersebut dia sangat sedih. AS beranggapan bahwa
perceraian itu telah menghancurkan kehidupannya. Menurutnya ibunya
adalah orang yang kasar namun sayang sama dia, dan ayahnya adalah
orang yang baik. Namun saat ini ia sudah memaafkan keduanya dan
menerima perceraian tersebut. Ia sering main ke rumah ayahnya yang
berada di luar kota.
Dari penjelasan remaja diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa yang
mereka rasakan adalah kebencian, kekecewaan, kesedihan dan rasa tidak
berharga. Diantara mereka juga mengaku bahwa perceraian orang tua
membuat mereka kaget dan marah. Dari perasaan yang mereka alami ada
diantara mereka yang memendam perasaan tersebut. Namun banyak
diantara mereka yang mengungkapkannya.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

7

Cara yang mereka pakai dalam mengungkapkan perasaan mereka
tentang perceraian yang dilakukan oleh orang tua berbeda-beda.
Diantaranya adalah dengan memarahi ayah sebagai orang yang telah
meninggalkannya, ia merasa dihianati oleh orang tuanya. Remaja tersebut
juga meontarkan kata-kata kotor terhdap ayahnya. Dia juga mengatakan
pada orang lain bahwa ayahnya telah meninggal dunia. Dia mengaku
sebagai anak yatim kepada guru-guru disekolahnya. Cara lain yang
dilakukan oleh remaja dalam mengekspresikan sakit hatinya adalah
dengan cara mengancam ibunya untuk bunuh diri, sebagai ancaman dan
gertakan pada ibunya yang tinggal jauh darinya. Ia merasa bahwa hidup
yang ia jalani sudah tidak berharga karena orang yang ia sayangi tidak lagi
menyatu seperti awal ia masih kecil.
Selain itu sebagian remaja mengekspresikan rasa sakit hatinya
dengan cara menangis. Sebagian menangis di depan kedua orang tuanya
dan ada pula yang menangis sendiri di dalam kamar. Sebagian besar dari
mereka tidak menanyakan penyebab dari perceraian orang tuanya. Alasan
yang dikemukakan adalah karena mereka terlanjur kecewa, dan mereka
menjaga perasaan salah satu orang tua yang dekat dengan mereka.
Penjelasan hasil wawancara awal peneliti diatas juga didukung oleh
penelitian yang dilakukan oleh berbagai pihak lain.
Arfandiyah dan Hamidah (2013) mengatakan bahwa dari 34 remaja
yang berusia 15-18 tahun secara psikologis mengalami masalah emosi
diantaranya yakni kesepian akibat perceraian yang dilakukan oleh orang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

8

tua mereka. Wallerstein dan Kelly dalam penelitiannya menemukan bahwa
remaja perempuan lebih bisa menyesuaikan diri terhadap perceraian orang
tua dari pada remaja laki-laki. Menurut Caskey Remaja perempuan
setidaknya

membutuhkan

waktu

satu

sampai

dua

tahun

untuk

menyesuaikan diri terhadap akibat perceraian, sedangkan remaja laki-laki
setidaknya membutuhkan waktu tiga sampai lima tahun (dalam
Arfandiyah dan Hamidah, 2013).
Pretty dkk (2015) mengungkapkan bahwa remaja berusia 11-14
tahun yang menjadi korban perceraian orang tua menampilkan emosi
marah terhadap perceraian orang tuanya. Kemarahan yang dialami remaja
tersebut muncul dalam berbagai macam bentuk, seperti berteriak, berkatakata kasar dan lain-lain. Fluktuasi emosi pada masa remaja awal terkait
dengan perubahan hormon selama periode ini, sehingga remaja memiliki
emosi yang cenderung ekstrim dibandingkan dengan orang dewasa. Salah
satu faktornya adalah konflik pada orang tua yang mengakibatkan
perceraian. Hal tersebut turut memberi pengaruh kuat terhadap emosi
remaja dalam menanggapi perceraian orang tuanya. Oleh karena itu pada
kelompok anak di usia ini, mereka cenderung menampilkan kemarahan
sebagai emosi yang paling kuat.
Prihatinningsih dalam penelitiannya menjelaskan bahwa remaja
putra berusia 16 tahun mengalami perasaan terluka, marah, terabaikan dan
tidak dicintai secara terus-menerus. Hal ini membuat remaja akan
mengalami beberapa emsoi yang umum selama dan sesudah perpisahan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

9

orang tuanya. Selain itu remja juga mengalami kenakalan remaja karena
perceraian orang tuanya. Kenakalan yang dilakukan diantaranya adalah
menjadi pemarah, suka berkelahi dengan siapapun, melawan terhadap
orang tua, mencoba hal-hal yang bersifat kriminan seperti mencopet,
mencoba-coba obat-obatan terlarang yaitu sabu-sabu, pil estasy dan ganja.
Mabuk dan lain sebagainya.
Wailerstein (dalam Dewi, 2006) menemukan adanya memory yang
sangat menakjubkan pada anak usia sekolah dan remaja tentang perceraian
dan kejadian-kejadian yang menyertainya. Kebanyakan dari mereka
bercerita dengan sedih tentang keluarga saat belum pecah dan
mengekspresikan penyesalan yang mendalam tentang perceraian yang
terjaddi. Periode perceraian juga begitu traumatis sehingga meningglakan
dampak negatif seumur hidup, bahkan terutama 5-15 tahun pertama
setelah perceraian terjadi.
Seperti yang telah dijelaskan diatas, banyak masalah yang dialami
remaja akibat perceraian orang tuanya. Berbagai macam perasaan yang
dialami dan emosi yang dilakukan oleh ramaja tersebut sebagai
pengungkapan sakit hati mereka karena perceraian oran tua. Salah satu
cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai permasalahan
tersebut adalah dengan cara pemaafan. Brandsma (dalam Siregar, 2012)
mendefinisikan pengampuan sebagai penguasaan terhadap pikiran-pikira,
perasaan-perasaan dan tingkah laku yang negatif, tanpa mengabaikan yang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

10

terluka atau marah, tetapi memandang orang yang melakukan kesalahan
dengan penuh penerimaan sehingga si pemberi ampun dapat disembuhkan.
Smedes

(1991)

mengungkapkan

bahwa

kesediaan

untuk

memaafkan merupakan karya Allah agar dapat hidup selaras di dunia yang
penuh dengan manusia yang berkehendak baik, tetapi sekaligus juga saling
memperlakukan secara tidak adil, saling menyakiti sejadi-jadinya.
Tuhanlah yang pertama-tama mengampuni kita dan kita diajak olehNya
untuk saling mengampuni. Sesuai penjelasan diatas pemaafan juga
dilakukan oleh lima remaja di Surabaya yang orang tuanya bercerai. Dari
hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan oleh peneliti
menunjukkan bahwa remaja-remaja tersebut sudah menerima perceraian
yang dilakukan oleh orang tuanya. Mereka memaafkan tindakan orang
tuanya yang telah membuat mereka sakit hati. Sehingga hubungan mereka
dengan orang tua semakin membaik dan perasaan sakit hati yang mereka
alami juga berkurang bahkan hilang. Hal tersebut didukung oleh berbagai
penelitian yang dilakukan oleh pihak-pihak lain.
Menurut Setyawan (2007) dalam penelitiannya yang dilakukan
pada anak korban perceraian mengungkapkan bahwa pemaafan sangat
dibutuhkan bagi anak untuk mengelola dan menanggulangi disstres yang
dirasakan. Alur yang ditawarkan oleh pemaafan mengarahkan anak untuk
menekankan jalan damai dan cinta kasih untuk mengatasi rasa sakit yang
dialami. Anak tidak lagi menimpakan beban kesalahan pada orang lain,
dan dapat melihat bahwa hal yang lebih penting adalah berusaha mencapai

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

11

perasaan dan kondisi damai itu sendiri. Dengan menggunakan faktor
analisis, mendapatkan tiga aspek kesiapan memaafkan, yaitu pemaafan
versus balas dendam, situasi pribadi dan sosial, dan halangan terhadap
pemaafan. Dengan pemaafan yang dilakukan berarti anak mampu
menggunakan sensitivitas pribadi dan sosialnya untuk mengatasi halangan
untuk melakukan pemaafan dan menolak balas dendam sebagai
pemecahan masalah.
Putri 2012 mengungkapkan bahwa remaja pada usia 17-22 tahun
mampu memberikan maaf tanpa dendam di hati. Perilaku memaafkan
dapat mendatangkan kepuasan hati, merasa lega dan tenang bisa
memaafkan orang lain. Remaja tersebut memberikan maaf bukan karena
takut akan kehilangan atau dikucilkan,tetapi memeberikan maaf agar orang
tersebut tidak mengulangi kesalahannya. Penelitian yang dilakukan oleh
Radhitiya dan Ilham pada tahun 2012 menunjukkan bahwa dari 121
remaja berusia 17-21 tahun yang tergolong dalam kecenderungan
memaafkan sedang sebanyak 39,67% , tergolong rendah sebesar 26,45%,
dan remaja yang mempunyai kecenderungan memaafkan sangat rendah
sekitar 4,96%. Sedangkan remaja yang tergolong dalam frekuensi
memaafkan sangat tinggi adalah 23,14%.
Menurut Anderson Remaja yang menunjukkan kontrol emosi yang
baik memiliki kapasitas perilaku yang dapat menangani kemarahannya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang dapat memaafkan
mengalami penurunan kemarahan, kecemasan, dan depresi yang

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

12

signifikan. Burney (dalam Paramitasari dan Alfian 2012) berpendapat
bahwa

ekspresi

emosional

yang

sehat

atau

kontrol kemarahan

menunjukkan strategi menajemen kemarahan yang baik dan belajar untuk
mencari solusi positif untuk menghadapi suatu masalah. McCullough dan
Worthington

menyatakan

bahwa

masyarakat

modern,

dengan

meningkatnya jumlah stres, kekerasan, kemarahan, dan perselisihan,
memaafkan

bisa

membuktikan

dapat

mencegah

masalah

dan

meningkatkan kesejahteraan.
Berdasarkan pada pengamatan terhadap fenomena yang ada, hasil
penelitian awal dan beberpa refrensi penelitian yang telah diuraikan di atas
memberikan gagasan dalam penelitian ini untuk mengetahui proses dan
faktor sebenarnya forgiveness yang dilakukan oleh remaja yang orang
tuanya bercerai. oleh sebab itu peneliti mengangkat judul Forgiveness
pada remaja yang orang tuanya bercerai sebagai peyelesaian tugas akhir
dalam perkuliahan S1 Psikologi Fakultas Psikologi dan Kesehatan UIN
Sunan Ampel Surabaya.
B. Fokus Penelitian
Fokus dalam penelitian ini adalah
1. Proses Forgiveness pada remaja yang orang tuanya bercerai
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi Forgiveness pada remaja yang
orang tuanya bercerai

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

13

C. Tujuan
1. Untuk mendeskripsikan proses forgiveness pada remaja yang orang
tuanya bercerai.
2. Untuk menemukan faktor-faktor yang mempengaruhi forgiveness pada
remaja tersebut
D. Manfaat
1. Secara teoritis
Diharapkan dapat memberikan sumbangan teoritis dalam menambah ilmu
pengetahuan khususnya di bidang psikologi klinis
2. Secara praktis
Dapat membantu mahasiswa dalam mengetahui proses dan faktor-faktor
yang mempengaruhi forgiveness pada remaja yang orang tuanya bercerai
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti tentang
forgiveness pada remaja yang orang tuanya bercerai. Kaitanya dengan hal
itu, kajian tentang forgiveness pada remaja yang orang tuanya bercerai
sebelumnya belum pernah diteliti oleh mahasiswa Fakultas Psikologi dan
Ilmu Kesehatan UIN Sunan Ampel Surabaya. Oleh karena itu peneliti
mencoba menelusuri penelitian-penelitian lain.
Penelitian tentang gambaran pemaafan pada remaja yang orang
tuanya bercerai pernah diteliti oleh Dewi (2006). Metode peneltian yang
digunakan adalah metode kualitatif dengan tipe fenomenologi. Subjek

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

14

yang diambil dalam penelitian ini adalah empat orang dengan karakteristik
yakni remaja berusia 11-24 tahun yang orang tuanya bercerai dan tinggal
dengan salah satu orang tuanya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
subjek remaja yang mengalami perceraian orang tuanya dapat melihat
makna dan sisi positif dari perceraian orang tuanya. Lama waktu
perceraian tidak berkaiatan dengan kemampuan seseorang dalam
memaafkan. Subjek mengalami dampak perceraian yang beragam. Pada
intinya subjek mengalami saat-saat berkesan dengan keluarga, merasa
dirinya hancur, kesulitan keuangan dan berharap terciptanya keutuhan
keluarga kembali bagi pasangan orang tua yang masih hidup.
Penelitian lain tentang perilaku memaafkan dikalangan remaja
broken home dilakukan oleh Putri

(2012). Peneltian tersebut

menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Subjek
penelitiannya adalah remaja yang berusia 17-22 tahun dengan keluarga
broken home. Hasil penelitian menunjukkan aspek-aspek psikologis yang
terjadi pada subjek adalah secara kognitif subjek memberikan maaf tanpa
ada rasa dendam di hati, secara afektif memaafkan dengan rasa kasihan
tapi tidak dengan terpaksa. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku memaafkan pada remaja broken home adalah subjek memberkan
maaf pada seseorang karena ingin membangun hubungan sosial yang baik
setelah adanya konflik.
Penelitian tentang menyembuhkan luka batin dengan memaafkan
dilakukukan oleh Siregar (2012). Penelitian ini didasarkan pada tinjauan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

15

literatur yang menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang kuat antara luka
batin yang diderita seseorang dengan pengalaman masa lalunya yang
buruk. Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa luka batin itu dapat
disembuhkan dengan memaafkan.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Remaja
1. Pengertian remaja
Istilah adolesce atau ramaja berasal dari kata latin (adolesce) (kata
bedanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau
“tumbuh menjadi dewasa. “Bangsa primitif demikian pula orang-orang
zaman purbakala memandang masapuber dan masa remaja tidak berbeda
dengan periode-periode lain dalam rentang kehidupan, anak dianggap
sudah dewasa apabila sudah mampu mengadakan reproduksi. Istilah
adolescence, seperti yang dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang
lebih luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik
(Hurlock, 2002). Remaja adalah periode antara pubertas dan kedewasaan,
untuk anak gadis lebih cepat matang dari pada laki-laki (Chaplin, 1968).
Menurut Santrock masa remaja adalah masa transisi dari masa
kanak-kanak menuju masa dewasa awal, individu yang berada pada masa
remaja ini adalah individu dengan rentang usia 12 sampai dengan 21 tahun
dengan tiga pembagian fase yaitu remaja awal (12-15tahun), remja tengah
(15-18 tahun), dan remaja akhir (18-21 tahun) (dalam Ilahi F. 2015).
WHO (1974) memberikan definisi tentang remaja yang lebih
bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut dikemukakan 3 kriteria yaitu

16
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

17

biologik, psikologik,dansosial ekonomi, sehingga secara lengkap definisi
tersebut berbunyi sebagai berikut:
a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tandatanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan
seksual
b. Individu mengalami perkembangan psikologik dan pola identifikasi
dari kanak-kanak menjadi dewasa.
c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial ekonomi yang penuh
kepada keadaan yang relatif lebih mandiri (dalam Sarwono, 2003)
Selanjutnya WHO menyatakan walaupun definis di atas terutama
didasarkan pada usia kesuburan wanita, batasan tersebut berlaku juga
untuk remaja pria dan WHO membagi kurun usia tersebut dalam dua
bagian yaitu remaja awal 10-14 tahun dan remaja akhir 15-20 tahun.
Dalam pada itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri menetapkan
usia 15-24 tahun sebagai usia pemuda dalam rangka keputusan mereka
untuk menetapkan tahun 1985 sebagai tahun pemuda internasional (dalam
Sarwono, 2003).
Sarwono (2003) menyatakan bahwa walaupun demikian sebagai
pedoman umum kita dapat menggunakan batasan usia 11-24 tahun dan
belum

menikah

untuk

remaja

Indonesia

dengan

pertimbangan-

pertimbangan sebagai berikut:

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

18

a. Usia 11 tahun adalah usia dimana pada umumnya tanda-tanda seksual
sekunder mulai nampak
b. Di banyak masyarakat Indonesia, usia 11 tahun sudah dianggap
sebagai akil balik, baik menurut adat maupun agama, sehingga
masyarakat tidak lagi memperlakukan merekasebagai anak-anak
c. Pada

usia

tersebut

mulai

ada

tanda-tanda

penyempurnaan

perkembangan jiwa seperti tercapainya identitas diri (ego identity
menurut Erik Erikson), tercapainya fase genital dari perkembangan
psikoseksual (menurut Freud) dan tercapainya puncak perkembangan
kognitif (Piaget) maupun moral (Kohlberg).
d. Batas 24 tahun merupakan batas maksimal, yaitu untuk memberi
peluang bagi mereka yang sampai batas usia tersebut masih
menggantungkan diri pada orang tua, belum mempunyai hak-hak
penuh sebagai orang dewasa, belum bisa memberikan pendapat sendiri
dan sebagainya. Dengan perkataan lain orang-orang yang sampai batas
usia 24 tahun belum dapat memenuhi persyaratan kedewasaan secara
sosial maupun psikologik, masih dapat digolongkan remaja. Golongan
ini cukup banyak terdapat di Indonesia, terutama darikalangan
masyarakat kelas menengah ke atas yang mempersyarkan berbagai hal
untuk mencapai kedewasaan.
e. Dalam definisi di ata, status perkawinan sangat menentuka, karena arti
perkawinan masih sangat penting di masyarakat kita secara
menyeluruh. Seseorang yang sudah menikah, pada usia berapapun

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

19

dianggap dan diperlakukan sebagai orang dewasa penuh, baik secara
hukum maupun dalam kehidupan masyarakat dan keluarga. Karena itu
definisi remaja di sini dibatasi khusus untuk yang belum menikah
2. Karakteristik remaja
Seperti halnya dengan semua periode yang penting selama rentang
kehidupan,

masa

membedakannya

remaja
dengan

mempunyai
periode

ciri-ciri

sebelum

tertentu

dan

yang

sesudahnya.

Diantaranya adalah masa remaja sebagai periode yang penting, masa
remaja sebagai periode peralihan, masa remaja sebagai periode
perubahan, masa remaja sebagai usia bermasalah, masa remaja sebagai
masa mencari identitas, masa remaja sebagai usia yang menimbulkan
ketakutan, masa remaja sebagai masa yang tidak realistik, masa remaja
sebagai ambang masa dewasa (Hurlock, 2002).
Khususnya pada diri remaja proses perubahan itu merupakan hal
yang

harus

terjadi

oleh

karena

dalam

proses

pematangan

kepribadiaannya remaja sedikit demi sedikit memunculkan ke
permukaan sifat-sifatnya yang sesungguhnya yang harus berbenturan
dengan rangsang-rangsang dari luar (Sarwono, 2003). Masa remaja
merupakan masa perkembangan kematangan fisik, kemudian diikuti
masa kematangan emosi dan diakhiri oleh perkembangan intelek
(Panuju dan Umami, 1999).
Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang paling
sulit dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog slama ini

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

20

memberi label masa remaja sebagai masa strom and stres, untuk
menggambarkan masa yang penuh gejolak dan tekanan. Istilah strom
and stress bermula dari psikolog permulaan Amerika, Stanley Hall,
yang menganggap bahwa strom and stress merupakan fenomena
universal pada masa remaja dan bersifat normatif (Lestari S. 2012).
Masa remaja sering kali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh
Erickson disebut dengan identitas Ego. Ini terjadi karena masa remaja
merupakan peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa
kehidupan orang dewasa (Ali dan Asrori, 2006).
B. Foregiveness
1. Definisi foregiveness
Menurut McCullogh Forgiveness merupakan sikap seseorang yang
telah disakiti untuk tidak melakukan perbuatan balas dendam terhadap
pelaku, tidak adanya keinginan untuk menjauhi pelaku, sebaliknya
adanya keinginan untuk berdamai dan bebuat baik terhadap pelaku,
walaupun pelaku telah melakukan perilaku yang menyakitkan. Enright
mengatakan bahwa forgiveness berhubungan dengan keinginan orang
yang telah disakiti untuk menghilangkan kemarahan, melawan
dorongan-dorongan untuk menghukum, berhenti untuk marah. Dengan
memaafkan adanya perubahan sikap yang sebelumnya ingin membalas
dendam dan menjauhi pelaku, maka dengan memaafkan seseorang
memiliki keinginan untuk berdamai dengan pelaku, dimana perilaku

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

21

mamaafkan ini akan tampil dalam pikiran, perasaan atau tingkah laku
orang yang telah disakiti (dalam Sari, 2012).
The Oxford English Dictionary mendifinisikan pengampunan
adalah

penolakan

atau

penghentian

kebencian,

kemarahan,

ketidaksetujuan, atau kesalahan. Ini berarti berhenti untuk menuntut
hukuman atau ganti rugi menyangkut pembangunan kembali sebuah
hubungan antar pribadi yang telah terganggu melalui beberapa jenis
pelanggaran. Hal ini juga dapat dilihat sebagai fenomena motivasi
yang memiliki afektif, kognitif, dan komponen perilaku. Secara
khusus, bagaimanapun memaafkan dapat dilihat sebagai suatu proses
interaktif yang mencakup orang yang mengampuni, orang yang
diampuni dan hubungan antara keduanya. Memaafkan berarti
bertindak secara konstruktif dalam menanggapi untuk tindakan yang
menyakitkan dari seseorang yang memiliki hubungan dengan kita dan
(dalam Manfrad, 2013).
Griswold mengutarkan bahwa memaafkan adalah proses
dimana emosi negatif berubah menjadi positif untuk tujuan membawa
normal kembali hubungan emosional. Pengampunan juga merupakan
konsep dengan akar agama yang mendalam. Sebagian tradisi
keagamaan termasuk ajaran tentang sifat pengampunan (dalam
Manfred, 2013)

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

22

Pengampunan adalah proses atau hasil dari suatu proses yang
melibatkan perubahan emsoi dan sikap mengenai pelaku. Sebagian
ulama melihat ini proses yang disengaja dan sukarela, didorong oleh
keputusan yang disengaja untuk memaafkan (Bullock, 2006).
Pengampuan sebagai penguasaan terhadap pikiran-pikira, perasaanperasaan dan tingkah laku yang negatif, tanpa mengabaikan yang
terluka atau marah, tetapi memandang orang yang melakukan
kesalahan dengan penuh penerimaan sehingga si pemberi ampun dapat
disembuhkan. Untuk pria forgiveness itu ditemukan terkait positif
dengan penggunaan penilaian tantangan, dan negatif terkait dengan
penggunaan penilaian kerugian dan emosi yang berfokus mengatasi.
Bagi wanita, forgiveness ditemukan positif terkait dengan fokus
koping

emosi

dan

penerimaan,

dan

negatif

terkait

dengan

penghindaran (Maltby J. 2007).
Dalam psikologi islam pengampunan dibagi menjadi tiga
bagian yakni orang untuk diri mereka sendiri, untuk orang lain dan
Allah kepada orang-orang. Forgiveness merupakan penting melalui
pengaruh agama pada kesehatan. pengampunan adalah cara yang
ampuh untuk mengubah luka ketika mereka merasa tidak nyaman dan
sulit (Hamidi, 2010). Sedangkan Augsburger (dalam Siregar, 2012)
mendifinisikan pengampunan sebagai penerimaan tanpa syarat.
pengampunan tidak saja berarti menerima kesedihan hati yang
seseorang rasakan, tetapi juga menerima orang yang sudah

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

23

melakukannya dan menerima kerugian yang disebabkan oleh tindakan
atau perkataan yang menyakitkan. Menurut Smedes (1991) dalam
proses pemaafaan idealnya sikap dan perasaan negatif memang harus
digantikan dengan sikap dan perasaan positif,

namun pada

kenyataannya hal ini tidak mudah dilakukan, apalagi secara cepat.
Selalu adapersoalan psikologis diantara dua pihak yang pernah
mengalami kerekatan hubungan akibat suatu kesalahan.oleh karena itu,
pemaafan secara dewasa bukan berarti menghapus seluruh perasan
negatif tetapi menjadi sebuah keseimbangan perasaan.
Pemaafan merupakan salah satu dari berbagai kajian dalam
psikologi positif, yaitu pendekatan ilmiah dan terapan untuk
mengungkap berbagai kekuatan seseorang danmendorong fungsi
positif mereka. Memaafkan bahkan dianggap sebagai salah satu
penanggulangan masalah yang berfokus pada emosi yang dapat
mengurangi risiko kesehatan dan meningkatkan resiliensi sehat
(Rahmandani, 2015).
Yang dimaksud Forgiveness dalam penelitian kali ini adalah sikap
individu

yang

menghillangkan

merasa

tersakiti

kemarahan,

untuk

kesedihan

tidak
dan

balas

dendam,

kekecewaan

serta

menerima tindakan yang telah menyakitkannya. Individu tersebut
mengubah

perasaan-perasaan

yang

negatif

akibat

tindakan

menyakitkan dari orang lain menjadi ke sikap positif. Dalam hal ini
adalah tindakan cerai atau berpisah yang dilakukan oleh orang tua.

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

24

Remaja dapat merubah perasaan negatif dari perilaku orang tuanya
menjadi perasaan dan perilaku positif serta menerima perceraian
tersebut.
2. Tahapan dalam kesediaan memaafkan
Menurut Smedes (1991) ada empat tahapan dalam kesediaan
memaafkan diantaranya adalah:
a. Merasa disakiti
Semakin panjang usia seseorang, semakin banyak ia
mengalami disakiti oleh orang yang dianggapnya teman. Rasa sakit
yang menimbulkan krisis kesediaan memberikan maaf biasanya
memiliki tiga karakteristik, yaitu menyangkut pribai manusia,
perlakuan tidak adil dan sangat menikam perasaan. Bila kita
merasakan sakit yang demikian, berarti ada luka di hati yang
penyembuhannya hanya mungkin tercapai dengan memaafkan
orang yang telah melukai hati kita.
Tentu saja ada rasa sakit yang tidak terlampau serius, tidak
ada

orang

yang

harus

dimaafkan

karenanya.

Sebaliknya

kekurangan itu harus dipikul dengan penuh rasa syukur. Kita harus
memilah-milah dan meneliti perbedaan antara rasa sakit atau luka
hati yang harus dihadapi dengan penuh humor. Rasa sakit yang
menimbulkan krisis kesediaan memberikan

maaf biasanya

memiliki tigakarakteristik, yaitu menyangkut pribadi manusia,
perlakuan tidak adil, sangat menikam perasaan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

25

b. Merasa benci
Kebencian merupakan harimau yang mengendap-endap
dalam hati kita. Kebencian merupakan tanggapan spontan terhadap
rasa terluka yang menyakitkan. Kebencian merupakan balasan
instingtif terhadap orang yang telah menyakiti kita dengan
semaunya sendiri.
Mungkin kita merasakan sesuatu yang tidak lebih dari pada
kebencian yang pasif, yaitu dorongan yang mengikis habis
keinginan kita untuk mengharapkan yang baik-baik bagi orang
lain. Bila kita memebenci secara pasif, kita kehilangan dorongan
cinta untuk mengharapkan keberhasilan orang yang kita benci.
Tetapi bila kita membenci secara agresif, kita terdorong untuk
melanda orang tersebut dengan angin puting beliung berisi
kebencian.
Baik kebencian pasif maupun kebencian agresif sama-sama
memisahkan kita dari orang-orang yang sebenarnya terikat dengan
kita. Kebencian kita pasif maupun agresif membuang orang-orang
yang kita cintai menjauh dari diri kita. Kadangkala kebencian
memecah-mecahjiwa kita, sebagian diri kita membenci sedangkan
sebagian yang lain mencintai.
c. Penyembuhan
Langkah pertama menuju penyembuhan adalah perasaan
sakit hati yang lepas bebas, dan jika pembebasan itu juga terjadi

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

26

dalam cara kita memandang orang yang telah menyakiti kita.
Kemampuan memaafkan merupakan pengungkapan cinta melawan
kebencian yang bermula dengan kebencian pasif yang ditandai
dengan hilangnya keinginan untuk mengaharpkanyang baik-baik
bagi orang yang kita benci.
d. Damai, rujuk kembali
Bila orang tersebut menerima uluran tangan kita da berani
menerobos tembok pemisah yang dibangun oleh kesalahan mereka
dan atau rasa benci kita, mereka harus membayar harga tertentu
untuk menjalani persahabatan dan kebersamaan kembali.
3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Forgiveness
Menurut Smedes (1991) semakin parah rasa sakit yang dialami,
semakin lama waktu yang diperlukan untuk memaafkan. Kekeliruan
kecil dapat segera dilupkan, tetapi bila kita disakiti, dipotong atau
dihancurkan sampai ke inti diri kita. Lebih baiklah menggunakan
waktu yang agak lama. McCollough dkk. (dalam Sari, 2012),
menyebutkan bahwa terdapat empat faktor yang mempengaruhi
seseorang untuk memaafkan, yaitu:
a. Sosial Kognitif
Perilaku memaafkan dipengruhi oleh penilaian korban
terhadap pelaku, penilaian korban terhadap kejadian, keparahan
kejadian, dan keinginan untuk menjauhi pelaku. Hal lainnya yang
mempengaruhi perilaku memaafkan adalah Rumination About the

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

27

Transgression, yaitu kecenderungan korban untuk terus menerus
mengingat kejadian yang dapat menimbulkan kemarahan, sehingga
mengahalangi dirinya untuk terciptanya perilaku memaafkan.
b. Krakteristik serangan
Seseorang akan lebih sulit memaafkan kejadian-kejadian
yang dianggap ppenting dan bermakan dalam hidupnya. Misalnya,
seseorang akan sulit memaafkan perselingkuhan yang dilakukan
suaminya dibandingkan memaafkan perilaku orang lain yang
menyelip antrian. Girard dkk. menyebutkan bahwa semakin
penting dan semakin bermakna suatu kejadian, maka akan semakin
sulit untuk seseorang memaafkan.
c. Kualitas hubungan Interpersonal
Faktor lainnya yang mempengaruhi perilaku memaafkan
adalah kedekatan atau hubungan antara orang yang disakiti dengan
pelaku. Penelitian membuktikan bahwa pasangan cenderung akan
memaafkan perilaku pasangannya apabila terciptanya kepuasan
dalam perkawinan, kedekatan antara satu sama lainnyadan adanya
komitmen yang kuat. Ada tiga bentuk hubungan yang berkaitan
dengan diberikannya pemaafan. Pertama, selama menajalani masa
perkawinan, adanya pengalaman atau sejarah yang dilalui bersama
diaman pasangan satu satu sama lainnya saling berbagi perasaan
dan pikiran, sehingga ketika salah satu pasangan melakukan
kesalahan, maka pasangannya akan dapat memaafkan dengan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

28

berempati terhadap kesalahan yang dilakukan oleh pasangannya.
Kedua, kemampuan pasangan untuk mamkani bahwa peristiwa
menyakitkan terjadi untuk kebaikan dirinya. Ketiga, pasangan yang
melakukan kesalahn akan meminta maaf dengan memperlihatkan
rasa penyesalan yang mendalam, sehingga pasangannya akan
berusaha untuk memaafkan.
d. Faktor kepribadian
Empati merupakan salah satu faktor yang memfasilitasi
terjadinya perilaku memaafkan pada orang yang telah disakiti.
4. Forgiveness pada remaja
Foregiveness pada remaja yakni individu berusia antara 11-24
tahun yang melakukan penguasaan terhadap pikiran, perasaan dan
tingkah laku yang negatif tanpa mengabaikan yang terluka atau marah
terhadap orang yang menyakiti dan menerimanya. Individu tersebut
berkeinginan untuk menghilangkan kemarahan terhadap orang lain
yang telah menyakitinya.
Menurut Anderson (dalam Paramitasari, 2012). Remaja yang
menunjukkan kontrol emosi yang baik memiliki kapasitas perilaku
yang dapat menangani kemarahannya. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa seseorang yang dapat memaafkan mengalami penurunan
kemarahan, kecemasan, dan depresi yang signifikan. Sri (2012)
mengungkapkan bahwa remaja pada usia 17-22 tahun mampu
memberikan maaf tanpa dendam di hati. Perilaku memaafkan dapat

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

29

mendatangkan kepuasan hati, merasa lega dan tenang bisa memaafkan
orang lain. Penelitian yang dilakukan oleh Radhitiya dan Ilham pada
tahun 2012 menunjukkan bahwa dari 121 remaja berusia 17-21 tahun
yang tergolong dalam kecenderungan memaafkan sedang sebanyak
39,67% tergolong rendah sebesar 26,45%, dan remaja yang
mempunyai kecenderungan memaafkan sangat rendah sekitar 4,96%.
Sedangkan remaja yang tergolong dalam frekuensi memaafkan sangat
tinggi adalah 23,14%.
C. Perceraian orang tua
1. Definisi perceraian
Dalam kamus besar bahasa Indonesia cerai adalah putusnya
hubungan sebagai suami istri. Perceraian dapat didefinisikan sebagai
suatu peristiwa perpisahan secara resmi antara pasangan suami istri
dan kesepakatan diantara mereka untuk tidak menjalankan tugas dan
kewajibannya sebagai suami istri. Perceraian merupakan suatu
keputusan akhir dari pernikahan yang menghantui setiap pasangan
yang dilanda problematika rumah tangga. Holmes & Rahe mengatakan
bahwa sering kali, perceraian diartikan sebagai kegagalan yang dialami
suatu keluarga (dalam Dewi, 2014).
Menurut Bennet (dalam Dewi, 2006) perceraian adalah
pemutusan hubungan pernikahan yang dilakukan secara legal (hukum).
Sebelum dilakukan pemutusan hubungan ini, biasanya sudah terjadi
konflik-konflik yang tidak terselesaikan dan saling menyakiti diantara

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

30

mereka, sehingga kedua belah pihak ini merasa perlu untuk melakukan
perceraian untuk mengakhiri hal-hal yang tidak menyenangkan di
antara mereka yang sudah dan mungkin akan terjadi kembali.
Perceraian merupakan suatu peristiwa perpisahan secara resmi
antara pasangan suami-istri dan mereka berketetapan untuk tidak
menjalankan tugas dan kewajiban sebgai suami-istri. Mereka tidak lagi
tinggal dan hidup serumah bersama, mereka juga tidak ada ikatan yang
resmi (Dariyo, 2004)
2. Dampak perceraian terhadap perkembangan anak
Menurut Aminah ketika terjadi perceraian, menjadikan remaja
berpotensial mengalami kegagalan akademis, ketidak teraturan waktu
makan dan tidur, depresi, bunuh diri, kenakalan remaja, dewasa
sebelum waktunya bahkan penyalahgunaan narkoba, kekhawatiran
hilangnya keluarga, cenderung bertanggung jawab, merasa bersalah,
marah. Dampak negatif perceraian pada anak berbeda-beda tergantung
pada

banyak

faktor

seperti

usia,

jeniskelamin,

kematangan

kepribadian, kesehatan psikologis, serta ada tidaknya dukungan dari
orang dewasa lainnya (Syarifatisnaini, 2014). Pada dasarnya, remaja
sudah memiliki pemahana yang lebihdewasa tentang perceraian dalam
hal kogniti, namun remaja masih belum matang secara emosional.
Akibat perceraian orang tua ini juga khususnya dirasakan oleh remaja
putri karena secara kodrati perempuan memiliki rasionalitas dan
emosionalitas yang berbeda dengan laki-laki. Jika dihubungkan dengan

digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id

31

perbedaan gender, reaksi perempuan lebih besar dibandingkan dengan
laki-laki saat merespon kejadian yang menimbulkan stres, baik secara
biologis, konsep diri, dan coping style (dalam De

Dokumen yang terkait

KEPERCAYAAN DIRI REMAJA YANG ORANG TUANYA BEKERJA SEBAGAI TKI

0 7 10

FAKTOR YANG MELATAR BELAKANGI KONSEP DIRI POSITIF PADA REMAJA YANG ORANG TUANYA BERCERAI

0 4 14

STRATEGI COPING DALAM MENGHADAPI PERMASALAHAN AKADEMIK PADA REMAJA YANG ORANG TUANYA MENGALAMI Strategi Coping Dalam Menghadapi Permasalahan Akademik Pada Remaja Yang Orang Tuanya Mengalami Perceraian.

0 5 18

STRATEGI COPING DALAM MENGHADAPI PERMASALAHAN AKADEMIK PADA REMAJA YANG ORANG TUANYA MENGALAMI Strategi Coping Dalam Menghadapi Permasalahan Akademik Pada Remaja Yang Orang Tuanya Mengalami Perceraian.

0 4 12

Studi Kasus Mengenai Subjective Well-Being pada Remaja dalam Masa Emerging Adulthood yang Orang Tuanya Bercerai.

1 3 34

Studi Deskriptif Mengenai Orientasi Masa Depan Bidang Pernikahan Pada Individu Dewasa Awal yang Orang Tuanya Bercerai (Studi Deskriptif Mengenai Orientasi Masa Depan Bidang Pernikahan Pada Mahasiswa Universitas "X" Bandung yang Orang Tuanya Bercerai).

2 14 51

gunadarma 10500376 skripsi fpsi

0 0 2

HUBUNGAN ANTARA PEMAAFAN (FORGIVENESS) DENGAN KECEMASAN (ANXIETY) PADA REMAJA YANG ORANGTUANYA BERCERAI - repository UPI S PPB 1202676 Title

1 9 3

HUBUNGAN ANTARA COPING STRESS DAN DUKUNGAN SOSIAL DENGAN MOTIVASI BELAJAR PADA REMAJA YANG ORANG TUANYA BERCERAI (SAMARINDA)

0 0 11

Locus Of Control dan Resiliensi Pada Remaja Yang Orang Tuanya Bercerai Stefani Dipayanti Lisya Chairani Fakultas Psikologi UIN Sutan Syarif kasim Riau Abstrak - Locus Of Control dan Resiliensi Pada Remaja Yang Orang Tuanya Bercerai

2 9 6