8 Pokok Bahasan Kelima

(1)

Pokok Bahasan V

KERANGKA DASAR KEBIJAKAN PUBLIK

Sub Pokok Bahasan Halaman

5.1. Dasar Analisa Kebijakan Publik 40

5.2. Analisa dengan pendekatan system 44

5.3. Hakekat Permasalahan Publik 45


(2)

Pokok Bahasan V

Judul Pokok Bahasan

Kerangka Dasar Kebijakan Publik Tujuan Interaksional

Pada akhir materi, mahasiswa diharapkan dapat menjelaskan mengenai : (1) Dasar Analisa Kebijakan Publik, (2) Analisa dengan pendekatan sistem, dan (3) Hakekat Permasalahan Publik

Sub Pokok Bahasan

5.1.

Dasar Analisa Kebijakan Publik

Seperti yang dipaparkan terdahulu, pengertian kebijakan publik adalah keputusan yang diambil pemerintah atau oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah dengan cara mengalokasikan nilai-nilai secara paksa untuk suatu tujuan tertentu kepada seluruh anggota masyarakat. Pertanyaannya adalah bagaimanakah keputusan tersebut harus diambil.

Menurut pendapatan Quade seperti yang dikutip oleh Dunn (2000:95), suatu keputusan yang diambil membutuhkan informasi. Untuk itu perlu dilakukan analisis untuk menghasilkan dan menyajikan informasi sedemikian rupa sehingga dapat menjadi landasan dari para pengambil pembuat kebijakan dalam membuat dan menilai berbagai keputusan. Seluruh proses atau rangkaian kegiatan dalam rangka memperoleh informasi itu kemudiaan disebut ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK.

Dalam perkuliahan ini, informasi yang dicari dan dikembangkan yang kemudiaan digunakan untuk melakukan analisis adalah : (1) Sebab munculnya Kebijakan dan Program Publik, (2) Akibat dari adanya Kebijakan dan Program Publik, dan (3) Kinerja dari adanya Kebijakan dan Program Publik. Menurut Dunn (2000:97), ada tiga pertanyaan yang dapat membantu kita dalam mencari informasi tersebut:

1.

Nilai yang pencapaian merupakan tolak ukur utama untuk melihat apakah kebijakan dan program publik yang diputuskan dapat mengatasi permasalahan publik,

2.

Fakta yang keberadaannya dapat membatasi atau meningkatkan pencapaian nilai-nilai, dan

3.

Tindakan yang penerapannya dapat menghasilkan pencapaian nilai-nilai.

Untuk menghasilkan informasi dan argumen-argumen yang masuk akal, Dunn (2000:97) mengatakan ada tiga pendekatan yang dapat digunakan: empiris, valuatif, dan normatif. Pendekatan empiris ditekankan


(3)

terutama pada penjelasan berbagai sebab dan akibat dari suatu kebijakan publik tertentu. Pendekatan ini menggunakan pertanyaan utama bersifat faktual (apakah sesuatu ada?) dan macam informasi yang dihasilkan bersifat deskriptif. Contohnya: mendeskripsikan, menjelaskan, meramalkan pengeluaran publik untuk kesehatan.

Pendekatan valuatif terutama ditekankan pada penentuan bobot atau nilai beberapa kajian. Pertanyaan berkaitan dengan nilai (berapa nilainya?) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat valuatif. Sebagai contoh, setelah memberikan informasi deskripsi mengenai berbagai macam kebijakan perpajakan, analis dapat mengevaluasi berbagai cara yang berbeda dalam mendistribusikan beban pajak menurut konsekuensi etis dan moral mereka.

Pendekatan terakhir adalah pendekatan normatif. Pendekatan ini menekankan pada rekomendasi serangkaian tindakan yang akan datang yang dapat menyelesaikan masalah-masalah publik. Pertanyaan berkaitan dengan tindakan adalah (apa yang harus dilakukan?) dan tipe informasi yang dihasilkan bersifat preskriptif1. Sebagai contoh, kebijakan jaminan

pendapatan minimum tahunan dapat direkomendasikan sebagai cara menyelesaikan masalah kemiskinan.

Dalam melakukan analisis, dapat menggunakan satu pendekatan atau lebih dari pendekatan-pendekatan tersebut. Namun menurut Dunn (2000:98-99) pendekatan valuatif dan normatif sering dihindari karena kecenderungan adanya keyakinan perlunya pemisahan antara nilai-nilai dan fakta-fakta didasarkan pada kesalahpahaman metodologi dan tujuan-tujuan dari analisis kebijakan. Kesalah-lain muncul berkaitan adanya pemahaman bahwa preskritif atau rekomendasi diidentikkan dengan advokasi kebijakan2, yang

umumnya dipandang sebagai cara untuk membuat tuntutan emosional dan keputusan ideologi atau proses non-rasional (subjektif) dalam aktifitas politik ketimbang suatu cara untuk menghasilkan informasi kebijakan yang relevan dan argumen-argumen yang masuk akal mengenai solusi-solusi bagi masalah-masalah publik.

Meskipun terjadi berbagai perdebatan tentang pendekatan seperti yang diutarakan di atas, namun pada akhirnya sebagai calon sarjana ilmu sosial pendekatan yang lebih tepat digunakan adalah pendekatan empiris dan pendekatan valuatif. Penggunaan pendekatan empiris adalah untuk mendeskripsikan secara rinci tentang permasalahan sosial masyarakat dimana kebijakan tersebut akan dijalankan, sedangkan pendekatan valuatif memberikan nilai-nilai yang harus tetap dipertahankan atas dasar sosial budaya pada masyarakat setempat. Untuk jelasnya lihat tabel 5.1. dibawah ini.

1 Preskritif berasal dari kata latin yang asli “to prescribe´menunjuk pada tindakan

mengarahkan, memerintahkan, atau menyuruh dalam hubungan dengan wewenang.

2 Advokasi kebijakan sebagai suatu proses non-rasional mempunyai kaitan yang erat dengan

relativisme nilai, yaitu keyakinan bahwa nilai-nilai secara murni adalah subjektif dan relatif terhadap orang yang memegang nilai-nilai tersebut.


(4)

Tabel 5.1.

Tiga Pendekatan dalam Analisis Kebijakan

PENDEKATAN PERTANYAAN UTAMA TIPE INFORMASI

EMPIRIS ADALAH/AKAN ADAKAH (Fakta) DEKSRIPSI/ PREDIKTIF

VALUATIF APA MANFAAT (Nilai) VALUATIF

NORMATIF APA YANG HARUS DIPERBUAT

(Aksi) PRESKRIPSI

Sumber : Dunn (2000:98)

Untuk memperoleh informasi yang relevan seperti yang dijelaskan di atas diperlukan kombinasi berbagai metode pengkajian (deskriptif, valuatif, atau preskriptif) dan dilakukan melalui prosedur. Misalnya prediksi secara khusus digunakan sebelum suatu tindakan diadopsi (ex ante), sementara deskripsi dan evaluasi lazim dilakukan setelah suatu tindakan berlangsung (ex post). Prediksi dan preskripsi berhubungan dengan masa depan, sementara deskripsi dan evaluasi berhubungan dengan masa lalu. Semua itu dilakukan untuk mencari argumen-argumen terhadap kebijakan yang akan diambil seperti yang ditampilkan pada gambar. 5.1. dibawah ini.

Gambar 5.1.

Elemen-elemen Argumen Kebijakan (Dunn, 2000:106)

(I) Informasi yang relevan dengan kebijakan

(Q) Karena itu Kesimpulan

(C) Klaim Kebijakan

Tenaga Nuklir adalah dua sampai tiga kali lebih efisien dibanding sumber tenaga konvensional

Sebab

(W) Pembenaran (R) BantahanKecuali

Bantahan

Pemerintah harus investasi dalam pengembangan pusat tenaga nuklir

Produksi tenaga nuklir adalah satu-satunya cara yang tersedia untuk menjaga pertumbuhan ekonomi

Energi Solar dapat dibangun dalam skala besar


(5)

Pada pokok bahasan II telah dipaparkan secara khusus tentang prosuder analisis kebijakan publik menyangkut : (1) pemantauan atau deskripsi, (2) peramalan atau prediksi, (3) evaluasi, (4) rekomendasi, dan (5) perumusan masalah. Kelima prosedur bersifat hirarkis – tidak mungkin untuk menggunakan beberapa metode tanpa terlebih dahulu menggunakan metode-metode lainnya. Sebagai contoh, untuk memantau kebijakan hal yang terlebih dahulu harus dilakukan adalah meramalkan konsekuensinya dan sebaliknya. Akhirnya merekomendasikan kebijakan umumnya mengharuskan analis untuk terlebih dahulu terlibat dalam pemantauan, peramalan dan evaluasi.

Berdasarkan prosuder di atas, hal yang perlu menjadi perhatian berkaitan dengan perumusan masalah. Keberadaan suatu masalah pada dasarnya berhubungan dengan suatu situasi yang menyulitkan, membingungkan, dimana kesulitan memang tersebar keseluruh situasi yang kesemuanya membentuk suatu keutuhan kesatuan masalah. Kepekaan

terhadap masalah-masalah kebijakan dan kemungkinan pemecahannya harus dimiliki setiap analis, karena masalah itu sendiri jarang muncul dan sudah terdefinisi, seperti pada gambar 5.2. dibawah. Untuk itu, pada sub pokok bahasan 5.3. akan dibahas lebih lanjut tentang hakikat permasalahan publik.

Gambar 5.2.

Analisis Kebijakan Yang Berorientasi Pada Masalah (Dunn, 2000:112)

Karena (B) Dukungan Karena

(B) Dukungan

Inilah kesimpulan para panel ahli

Negara-negara Arab dapat terus mengembargo minyak sumber energi lain terbatas


(6)

Keterangan :

1.

Masa Depan Kebijakan (policy future) adalah konsekuensi dari serangkaian tindakan untuk pencapaian nilai-nilai dan merupakan penyelesaian terhadap suatu masalah kebijakan.

2.

Aksi Kebijakan (policy action) adalah suatu gerakan atau

serangkaian gerakan yang dituntut oleh alternatif kebijakan yang dirancang untuk mencapai hasil dimasa depan yang bernilai.

3.

Hasil Kebijakan (policy outcome) merupakan konsekuensi yang teramati dari aksi kegiatan.

4.

Kinerja Kebijakan (policy performent) merupakan derajat di mana hasil kebijakan yang ada, memberi kontribusi terhadap pencapaian nilai-nilai.

5.2. Analisa dengan pendekatan sistem

Menurun Dunn (2000:109), sistem kebijakan (policy system) atau seluruh pola institusional di mana di dalamnya kebijakan dibuat, mencakup hubungan timbal balik diantara tiga unsur, yaitu: kebijakan publik, pelaku kebijakan dan lingkungan kebijakan, seperti yang ditampilkan pada gambar 5.3. dibawah ini

Gambar 5.3.

Tiga Elemen Sistem Kebijakan (Dunn, 2000:110)

Dari gambar 5.3. dapat diartikan bahwa masalah kebijakan tergantung pada pelaku kebijakan (policy stakeholder) yang khusus dan terkait dengan masalah. Lingkungan kebijakan (policy environment) yaitu konteks khusus dimana kejadian-kejadian di sekeliling isu kebijakan terjadi,

PELAKU KEBIJAKAN

LINGKUNGAN KEBIJAKAN

KEBIJAKAN PUBLIK Kriminilitas

Inflasi

Pengangguran Diskriminasi Gelandangan

Analisis Kebijakan

Kelompok Warga Negara Serikat Pekerja

Partai Instansi

Penegakan hukum Ekonomi

Kesejahteraan Personil Perkotaan


(7)

mempengaruhi dan dipengaruhi oleh pembuat kebijakan dan kebijakan publik. Dengan gambaran ini, maka sistem kebijakan dapat dipahami sebagai produk manusia yang subjektif yang diciptakan melalui pilihan-pilihan yang sadar oleh pelaku kebijakan. Sistem kebijakan juga dapat diartikan sebagai sebagai realitas objektif yang dimanifestasikan ke dalam tindakan-tindakan yang teramati berikut konsekuensinya. Para pelaku kebijakan merupakan produk dari sistem kebijakan dan menghasilkan sistem kebijakan itu sendiri.

Karenanya pada pokok bahasan I, sistem kebijakan yang seharusnya dikembangkan dan perlu dianalisis dalam konteks Indonesia adalah kebijakan publik yang partisipatif. Realitas objektifnya terlihat dari berbagai keputusan yang diambil dalam sistem politik seperti yang dimbarkan Wahab (2002:14) dan bandingkan gambar 1, halaman 7. Karenanya dalam analisis pendekatan sistem digunakan dimana di dalamnya terdapat lingkungan yang digunakan sebagai dasar untuk pengembilan keputusan kebijakan, sistem politik yang digunakan sebagai prosedur pengambilan keputusan dan kebijaksanaan negara yang merupakan produk kebijakan publik itu sendiri.

Gambar 5.4.

Kebijaksanaan negara dilihat sebagai variabel bebas dan variabel tergantung

(Wahab, 2002 : 14)

Tugas kemudiaan untuk dijawab adalah kekuatan dan kondisi lingkungan seperti apakah yang kemudiaan menjadi perhatian lembaga politik, dan bagaimana proses dijalankan dan perilaku seperti apakah yang diharapkan kepada para politisi (A) dan seterusnya sampai F dan berikan contohnya. Namun dengan pendekatan sistem, rumusan masalah yang kemudiaan menjadi penentu seperti yang dipaparkan dibawah ini.


(8)

Dalam konteks permasalahan sosial atau permasalahan publik sudah mulai diperdebatkan pada awal tahun 1970-an, sehingga konsep permasalahan sosial perlu dibahas terlebih dahulu sebelum kita membahas lebih dalam berkaitan dengan hakikat permasalahan publik.

Sebelum awal tahun 1970-an, pembahasan mengenai permasalahan sosial lebih didominasi oleh pendekatan-pendekatan yang memperlakukan permasalahan sosial sebagai aspek-aspek realitas yang obyektif dan dapat diamati. Perhatian utama pendekatan ini adalah mengidentifikasi berbagai kondisi dan kekuatan dasar yang menjadi sebab dari permasalahan tersebut, seringkali dengan sebuah pandangan yang mengutamakan tindakan amelioratif3. Pendekatan ini kemudiaan mendapat kritik karena

permasalahan sosial didefinisikan sebagai kondisi yang tidak diinginkan, tidak adil, berbahaya, ofensif dan dalam pengertian tertentu mengancam kehidupan masyarakat.

Sejak tahun 1970-an, muncul sebuah perspektif alternatif yaitu pendekatan konstruksionisme sosial. Pendekatan ini bermula dari premis bahwa apa yang dilihat sebagai permasalahan sosial adalah permasalahan definisi. Banyak dari kondisi dan perilaku yang saat ini dianggap sebagai permasalahan sosial tidak selalu bersifat problematis. Dahulu orang tua memiliki hak untuk mendisiplinkan anak-anaknya sesuai dengan pandangan mereka. Saat ini kita menganggap beberapa bentuk disiplin tersebut sebagai penganiayaan anak. Perkosaan saat kencan, krisis lingkungan, mengendarai mobil di saat mabuk, tuna wisma dan AIDS telah menjadi bagian yang integral dari kesadaran dan debat publik, meski beberapa waktu belakangan masih belum menjadi perhatian. Kondisi dan perilaku lain seperti homo-seksualitas serta seks pra-nikah atau di luar-nikah mungkin dianggap sebagai permasalahan sosial di masa lalu yang pada saat ini tidak dilihat dari kacamata seperti itu. Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa pengalaman dan interpretasi kita atas perubahan kondisi dan apa yang menjadi permasalahan sosial pada dasarnya merupakan penilaian subyektif. Jika memang demikian, bagaimana permasalahan sosial dapat dipelajari?

Kelompok konstruksionis tidak memusatkan perhatian pada kondisi-kondisi obyektif, tapi mengarahkan perhatiannya pada proses sosial di mana kondisi tersebut muncul sebagai permasalahan. Karenanya pemikiran mengenai permasalahan sosial sebagai sebuah kondisi mulai ditinggalkan dan menggantikannya dengan konsepsi permasalahan sosial sebagai sebuah

tindakan. Mereka mendefinisikan permasalahan sosial sebagai tindakan kelompok yang mengekspresikan kedukaan dan menyatakan klaim tentang kondisi yang dihadapinya. Tugas kita sebagai ahli sosiologi bukan untuk mengevaluasi atau menilai klaim-klaim4 seperti itu tetapi mencari penjelasan

kegiatan pembuatan klaim dan hasil-hasilnya.

3 Amelioratif atau ameliorasi adalah tindakan untuk meningkatkan nilai dari makna yang biasa

atau buruk menjadi makna yang baik.

4 Klaim merupakan tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (memiliki


(9)

Sampai pada tingkat di mana para ahli sosiologi menghadirkan kondisi-kondisi itu sendiri, mereka menjadi partisipan didalamnya - bukannya para analis dari - proses-proses yang seharusnya mereka pelajari. Orientasi dari kajian permasalahan sosial ini dan terutama konsep "pembuatan klaim" telah menjadi inti dari pendekatan konstruksionis. Bertentangan dengan kaum obyektifis yang melihat pada kondisi-kondisi sosial, penyebab dan solusinya, kaum konstruksionis lebih tertarik pada pembuatan klaim tentang kondisi-kondisi, cara-cara di mana makna tentang kondisi-kondisi yang tidak diinginkan dihasilkan dan tanggapan-tanggapan yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan ini dan bagaimana memecahkannya.

Makna terobosan baru dalam kajian permasalahan sosial ini tidak hanya dalam hal memberikan para ahli sosiologi dan ilmuwan sosial lain cara untuk menghadapi sifat subyektif dari permasalahan sosial, tetapi juga dalam hal memunculkan pokok bahasan yang menonjol untuk bidang ini. Pendekatan obyektifis yang tradisional menghasilkan analisis kondisi-kondisi sosial yang memiliki kesamaan hanya berdasarkan penilaian-penilaian para analis tentang kondisi-kondisi ini sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki. Kondisi-kondisi itu sendiri tidak memiliki persamaan apapun, sehingga pemahaman tentang sebuah kondisi tidak memberi sumbangan bagi pema-haman atas kondisi yang lain. Dalam mengkonseptualisasi bidang ini dalam pengertian tindakan penetapan-klaim, konstruksionisme mempunyai fokus yang terpisah, seperangkat pertanyaan yang spesifik untuk menuntun riset, dan kerangka untuk membangun sebuah teori permasalahan sosial yang berbeda dari teori-teori tentang kondisi-kondisiyang tidak dikehendaki.

Sejak kemunculannya, perspektif konstruksionis telah merevitalisasi kajian permasalahan sosial. Perspektif ini membangkitkan banyak karya empiris yang menyelidiki usaha-usaha pembuatan-klaim di seputar isu-isu prostitusi, anak hilang, rokok, kopi, pelecehan seksual, dan lingkungan kerja yang beracun sampai homoseksualitas, AIDS, minum minuman keras di kalangan remaja, musik rock, pemasaran formula makanan bayi di dunia ketiga, serta anak-anak, pemanjaan dan penganiayaan. Perlahan-lahan muncul pula kajian yang melihat proses permasalahan sosial dalam konteks silang-budaya. Sebuah tema yang berpengaruh sejak awal tahun 1980-an adalah "medikalisasi" yang makin meningkat dari permasalahan sosial. Medikalisasi merujuk pada tendensi untuk melihat kondisi dan perilaku yang tidak dikehendaki sebagai permasalahan medis dan/atau berusaha mendapatkan solusi atau kontrol medis. Kaum konstruksionis telah meneliti medikalisasi dari kondisi-kondisi seperti alkoholisme, kecanduan obat, keanggotaan sebuah sekte, prestasi pendidikan yang rendah, pengendalian kejahatan, perjudian, kematian bayi mendadak, transeksualisme serta ketidak-cakapan dokter (physician impairment).

Berkembangnya sejumlah studi kasus telah menciptakan landasan yang kuat bagi bidang ini untuk mendukung pembuatan teori tentang peran unik lembaga-lembaga publik, pemerintahan, gerakan sosial, media masa,


(10)

para "ahli" termasuk ilmuwan sosial, serta berbagai peserta lain dalam proses permasalahan sosial yang dipergunakan oleh para pembuat klaim, dan konsekuensi dari pembuatan klaim dalam pengertian siapa yang berhak memiliki permasalahan sosial serta kebijaksanaan dan prosedur kelembagaan seperti apa yang mereka terapkan dalam menghadapinya.

Pendekatan konstruksionis terhadap permasalahan publik juga telah membangkitkan perdebatan teoretis tentang asumsi-asumsi yang dibuat pendekatan tersebut, bagaimana asumsi tersebut diterapkan, serta arahan masa depan apa yang mungkin ditempuh. Sebagian besar dari debat tersebut berpusat pada sejauh mana para sosiolog bisa tetap setia dengan formulasi asli pendekatan tersebut yang mensyaratkan bahwa acuan apapun terhadap kondisi-kondisi obyektif harus dihindari. Beberapa sosiolog telah berusaha mempertahankan netralitas yang seutuhnya (complete impartiality) dalam hal validitas klaim-klaim yang dibuat dan karakteristik kondisi yang mendasari pembuatan klaim tersebut, membatasi analisisnya pada kegiatan definisional dan interpretasi dari pembuat klaim. Sebagian sosiologi lainnya tidak melihat adanya kebutuhan akan interpretasi yang tegas, dan juga tidak melihat melihat kebutuhan mengizinkan diri untuk menentang nilai kebenaran dari klaim yang mereka "ketahui" salah. Terdapat ketidak-sepakatan tentang apakah posisi subyektivis radikal itu diinginkan, atau - bahkan - apakah mungkin. Dari sudut pandang mereka yang berada diluar perspektif konstruksionis tetap terdapat pertanyaan tentang permasalahan sosial riil yang memiliki suatu kemandirian terhadap bagaimana ia seharusnya dilihat dan kewajiban moral yang diemban oleh ilmuwan sosial untuk menyerukan dan bahkan bertindak terhadap kondisi-kondisi yang mereka anggap tidak benar (unjust). Meski terdapat perdebatan ini, yang tetap jelas adalah bahwa pendekatan konstruksionis telah dan barangkali akan tetap menjadi sumber yang produktif bagi teori dan riset permasalahan sosial. Pertanyaannya adalah bagaimanakah harus memulai memahami permasalahan sosial atau permasalahan publik?

Atas dasar pemahaman di atas, maka hakekat masalah publik

dapat didefinisikan sebagai suatu klaim atas situasi/kondisi yang menghasilkan kebutuhan/ketidak puasan rakyat banyak yang tidak dapat di atasi secara individual (dapat membangkitkan banyak orang untuk bertindak). Dengan Kata lain: (1) hakekat masalah diiidentifikasi mana yang benar dan masalah yang bukan akibat, (2) hakekat masalah diidentifikasi apa masyarakat sadar, (3) hakekakt masalah diidentifikasi apa oleh pembuat keputusan, dan (4) hakekat masalah diidentifikasi baru dirumuskan masalahnya.

Menurut Jones (1994:63) perihal mendefinisikan permasalahan publik mempunyai berbagai kendala, diantaranya: (1) peristiwa-peristiwa dalam masyarakat ditafsirkan orang dalam berbagai cara dan dalam berbagai waktu, (2) berbagai bersoalan mungkin muncul dari peristiwa yang sama, (3) tidak semua permasalahan publik diselesaikan oleh pemerintah, (4) beberapa masalah privat (private problems) oleh pemerintah, (5) beberapa masalah privat yang diselesaikan oleh pemerintah seolah-olah masalah


(11)

publik, (6) sebagian terbesar permasalahan tidak dipecahkan oleh pemerintah, meskipun sebagian besar penyebabnya terletak pada pemerintah, (7) para pembuat kebijakan tidak hanya dihadapkan dengan masalah tertentu, (8) banyak orang yang merasa tak berkepentingan dengan masalah orang lain, dan (9) masalah-masalah umum kurang mendapat dukungan dari mereka yang justru terkena langsung.

Atas dasar kendala pendefinisian tersebut, Jones (1994:70), menyatakan inti dasar permasalahan publik dapat dilakukan melalui suatu survey dari berbagai jenis peristiwa dan isu penting dalam rangka mendudukkan konteks politik lokal, dengan mengacu pada :

1.

Peristiwa-peristiwa (events) merupakan tindakan yang bersifat alami dan manusiawi yang dirasa memiliki konsekuensi-konsekuensi atau klaim-klaim sosial. Sejumlah peristiwa yang mempengaruhi pembentukan isu-isu adalah:

a. Penemuan

Penemuan-penemuan di dalam bidang teknologi memberikan kemajuan yang berarti bagi kehidupan manusia dimana ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang untuk menjawab tujuan-tujuan serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Masalah kemudiaan muncul ketika teknologi sangat berperan dalam kehidupan masyarakat, dilain pihak pemerintah perlu menangani secara serius akan dampak yang ditimbulkannya.

b. Pengembangan dan Aplikasi

Muncul isu-isu yang kemudiaan menjadi masalah berkaitan dengan dampak diterapkan ide, eksperimen ataupun penemuan yang mengakibatkan berbagai kemudahan yang disediakan untuk kegunaan tersebut serta meredakan efek-efek yang ditimbulkannya.

c. Komunikasi

Berkembangnya arus informasi menyebabkan berbagai kegiatan menjadi terbuka yang kemudiaan memunculkan berbagai isu yang spesifik dan dapat menjadi suatu kekuatan untuk mempengaruhi para pengambil kebijakan.

d. Konflik

Berkembangnya suatu masyarakat selalu diiringi dengan munculnya berbagai kepentingan yang apabila tidak ditangani secara baik akan memunculkan konflik. Karenanya konflik merupakan isu untuk merumuskan permasalahan publik.

e. Pengawasan

Pengawasan yang dimaksudkan adalah dititik beratkan pada pengawasan tingkah laku sosial, baik yang bersifat perorangan maupun publik. Hal ini tentunya memunculkan berbagai tanggapan sebagai isu yang selanjutnya dapat menjadi permasalahan publik, seperti: rancangan UU Militer, penerapan Daerah Operasi Militer dan lain-lain.

2.

Permasalahan (problems): kebutuhan manusia, entah bagaimana cara mengenalnya, yang tetap ada jalan keluarnya;


(12)

3.

Permasalahan Publik (publik problems): kebutuhan manusia, entah bagaimana cara mengenalnya, yang tak dapat ditangani secara perseorangan;

4.

Isu-isu (issues). Isu-isu merupakan permasalahan umum yang bersifat kontroversial. Menurut Dunn (2003:219), isu-isu dapat dikategorikan menjadi:

a.

Isu-isu Utama secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah yang mengambil kebijakan karena diberikan kewenangan yang besar. Isu muncul dari sejumlah pertanyaan mengenai sifat, tujuan organisasi-organisasi pemerintah.

b.

Isu-isu Sekunder terletak pada tingkat instansi pelaksana program-program. Hal yang selalu dipertanyakan adalah isu priroitas program dan definisi kelompok-kelompok sasaran dan penerima dampak.

c.

Isu-isu Fungsional terletak pada tingkat program dan proyek berkaitan dengan anggaran, keuangan dan usaha untuk memperolehnya.

d.

Isu-isu Minor ditemukan oada tingkat proyek-proyek spesifik berkaitan dengan personal, staff, jam kerja, waktu libur dan lain sebagainya.

5.

Bidang-bidang isu (issues area): kumpulan permasalahan umum yang bersifat kontroversial. Karenanya isu-isu memerlukan definisi yang sifatnya harus berkesinambungan. Pada umumnya anggaran pemerintah menjadi bidang isu yang utama, karena anggaran adalah pernyataan terbaik tentang prioritas-prioritas yang diproyeksikan dan direncanakan, meskipun hal ini tidak selalu menjadi inventaris yang paling dapat dipercaya. Selain itu anggaran juga merupakan tolak ukur dari komitmen pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan yang dipimpinnya. Bidang isu utama lainnya yang juga diperhatikan berkaitan penentuan prioritas terhadap bidang-bidang; pendidikan, transportasi, energi dan lain-lain.

Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan hakekat masalah publik, menurut Jones, (1991:72) :

1.

Problem dikatakan bersifat pribadi apabila problem tersebut dapat di atasi tanpa mempengaruhi orang lain atau yang mempunyai akibat terbatas atau menyangkut pada satu atau sejumlah kecil orang yang terlibat secara langsung. Hal ini tentunya berbeda dengan masalah publik yang dipahami sebagai masalah-masalah yang mempunyai akibat luas termasuk akibat-akibat yang mengenai orang-orang yang secara tidak langsung terlibat.

2.

Pendapat lain melihat bahwa masalah publik terdiri dari semua masalah yang dipengaruhi oleh klaim-klaim tak langsung dari pelbagai transaksi hingga pada semacam tingkatan dianggap perlu memiliki klaim-klaim yang terpelihara secara sistematis.

3.

Mempertentangkan antara masalah yang dirasakan dan dengan akibat-akibat pemerintah adalah masalah publik, seperti


(13)

kelompok-kelompok yang terdiri dari partai-partai berpengaruh yang menggerakkan dan terlibat dalam kegiatan yang sifatnya kerjasama, membutuhkan kesadaran diri, mengorganisasikan dan berusaha mempengaruhi para pejabat.


(14)

BAHAN BACAAN UTAMA

Jones, Charles O, 1994, Pengantar Kebijakan Publik, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Halaman 69 – 92.

Dunn, William N, 2000, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, Halaman 95 – 128.

Budiharjo, Eko, 1995, Pendekatan Sistem dalam Tata Ruang Pembangunan Daerah. Halaman 1 – 19.


(1)

Sampai pada tingkat di mana para ahli sosiologi menghadirkan kondisi-kondisi itu sendiri, mereka menjadi partisipan didalamnya - bukannya para analis dari - proses-proses yang seharusnya mereka pelajari. Orientasi dari kajian permasalahan sosial ini dan terutama konsep "pembuatan klaim" telah menjadi inti dari pendekatan konstruksionis. Bertentangan dengan kaum obyektifis yang melihat pada kondisi-kondisi sosial, penyebab dan solusinya, kaum konstruksionis lebih tertarik pada pembuatan klaim tentang kondisi-kondisi, cara-cara di mana makna tentang kondisi-kondisi yang tidak diinginkan dihasilkan dan tanggapan-tanggapan yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan ini dan bagaimana memecahkannya.

Makna terobosan baru dalam kajian permasalahan sosial ini tidak hanya dalam hal memberikan para ahli sosiologi dan ilmuwan sosial lain cara untuk menghadapi sifat subyektif dari permasalahan sosial, tetapi juga dalam hal memunculkan pokok bahasan yang menonjol untuk bidang ini. Pendekatan obyektifis yang tradisional menghasilkan analisis kondisi-kondisi sosial yang memiliki kesamaan hanya berdasarkan penilaian-penilaian para analis tentang kondisi-kondisi ini sebagai sesuatu yang tidak dikehendaki. Kondisi-kondisi itu sendiri tidak memiliki persamaan apapun, sehingga pemahaman tentang sebuah kondisi tidak memberi sumbangan bagi pema-haman atas kondisi yang lain. Dalam mengkonseptualisasi bidang ini dalam pengertian tindakan penetapan-klaim, konstruksionisme mempunyai fokus yang terpisah, seperangkat pertanyaan yang spesifik untuk menuntun riset, dan kerangka untuk membangun sebuah teori permasalahan sosial yang berbeda dari teori-teori tentang kondisi-kondisiyang tidak dikehendaki.

Sejak kemunculannya, perspektif konstruksionis telah merevitalisasi kajian permasalahan sosial. Perspektif ini membangkitkan banyak karya empiris yang menyelidiki usaha-usaha pembuatan-klaim di seputar isu-isu prostitusi, anak hilang, rokok, kopi, pelecehan seksual, dan lingkungan kerja yang beracun sampai homoseksualitas, AIDS, minum minuman keras di kalangan remaja, musik rock, pemasaran formula makanan bayi di dunia ketiga, serta anak-anak, pemanjaan dan penganiayaan. Perlahan-lahan muncul pula kajian yang melihat proses permasalahan sosial dalam konteks silang-budaya. Sebuah tema yang berpengaruh sejak awal tahun 1980-an adalah "medikalisasi" yang makin meningkat dari permasalahan sosial. Medikalisasi merujuk pada tendensi untuk melihat kondisi dan perilaku yang tidak dikehendaki sebagai permasalahan medis dan/atau berusaha mendapatkan solusi atau kontrol medis. Kaum konstruksionis telah meneliti medikalisasi dari kondisi-kondisi seperti alkoholisme, kecanduan obat, keanggotaan sebuah sekte, prestasi pendidikan yang rendah, pengendalian kejahatan, perjudian, kematian bayi mendadak, transeksualisme serta ketidak-cakapan dokter (physician impairment).

Berkembangnya sejumlah studi kasus telah menciptakan landasan yang kuat bagi bidang ini untuk mendukung pembuatan teori tentang peran unik lembaga-lembaga publik, pemerintahan, gerakan sosial, media masa,


(2)

para "ahli" termasuk ilmuwan sosial, serta berbagai peserta lain dalam proses permasalahan sosial yang dipergunakan oleh para pembuat klaim, dan konsekuensi dari pembuatan klaim dalam pengertian siapa yang berhak memiliki permasalahan sosial serta kebijaksanaan dan prosedur kelembagaan seperti apa yang mereka terapkan dalam menghadapinya.

Pendekatan konstruksionis terhadap permasalahan publik juga telah membangkitkan perdebatan teoretis tentang asumsi-asumsi yang dibuat pendekatan tersebut, bagaimana asumsi tersebut diterapkan, serta arahan masa depan apa yang mungkin ditempuh. Sebagian besar dari debat tersebut berpusat pada sejauh mana para sosiolog bisa tetap setia dengan formulasi asli pendekatan tersebut yang mensyaratkan bahwa acuan apapun terhadap kondisi-kondisi obyektif harus dihindari. Beberapa sosiolog telah berusaha mempertahankan netralitas yang seutuhnya (complete impartiality) dalam hal validitas klaim-klaim yang dibuat dan karakteristik kondisi yang mendasari pembuatan klaim tersebut, membatasi analisisnya pada kegiatan definisional dan interpretasi dari pembuat klaim. Sebagian sosiologi lainnya tidak melihat adanya kebutuhan akan interpretasi yang tegas, dan juga tidak melihat melihat kebutuhan mengizinkan diri untuk menentang nilai kebenaran dari klaim yang mereka "ketahui" salah. Terdapat ketidak-sepakatan tentang apakah posisi subyektivis radikal itu diinginkan, atau - bahkan - apakah mungkin. Dari sudut pandang mereka yang berada diluar perspektif konstruksionis tetap terdapat pertanyaan tentang permasalahan sosial riil yang memiliki suatu kemandirian terhadap bagaimana ia seharusnya dilihat dan kewajiban moral yang diemban oleh ilmuwan sosial untuk menyerukan dan bahkan bertindak terhadap kondisi-kondisi yang mereka anggap tidak benar (unjust). Meski terdapat perdebatan ini, yang tetap jelas adalah bahwa pendekatan konstruksionis telah dan barangkali akan tetap menjadi sumber yang produktif bagi teori dan riset permasalahan sosial. Pertanyaannya adalah bagaimanakah harus memulai memahami permasalahan sosial atau permasalahan publik?

Atas dasar pemahaman di atas, maka hakekat masalah publik dapat didefinisikan sebagai suatu klaim atas situasi/kondisi yang menghasilkan kebutuhan/ketidak puasan rakyat banyak yang tidak dapat di atasi secara individual (dapat membangkitkan banyak orang untuk bertindak). Dengan Kata lain: (1) hakekat masalah diiidentifikasi mana yang benar dan masalah yang bukan akibat, (2) hakekat masalah diidentifikasi apa masyarakat sadar, (3) hakekakt masalah diidentifikasi apa oleh pembuat keputusan, dan (4) hakekat masalah diidentifikasi baru dirumuskan masalahnya.

Menurut Jones (1994:63) perihal mendefinisikan permasalahan publik mempunyai berbagai kendala, diantaranya: (1) peristiwa-peristiwa dalam masyarakat ditafsirkan orang dalam berbagai cara dan dalam berbagai waktu, (2) berbagai bersoalan mungkin muncul dari peristiwa yang sama, (3) tidak semua permasalahan publik diselesaikan oleh pemerintah, (4) beberapa masalah privat (private problems) oleh pemerintah, (5) beberapa masalah privat yang diselesaikan oleh pemerintah seolah-olah masalah


(3)

publik, (6) sebagian terbesar permasalahan tidak dipecahkan oleh pemerintah, meskipun sebagian besar penyebabnya terletak pada pemerintah, (7) para pembuat kebijakan tidak hanya dihadapkan dengan masalah tertentu, (8) banyak orang yang merasa tak berkepentingan dengan masalah orang lain, dan (9) masalah-masalah umum kurang mendapat dukungan dari mereka yang justru terkena langsung.

Atas dasar kendala pendefinisian tersebut, Jones (1994:70), menyatakan inti dasar permasalahan publik dapat dilakukan melalui suatu survey dari berbagai jenis peristiwa dan isu penting dalam rangka mendudukkan konteks politik lokal, dengan mengacu pada :

1.

Peristiwa-peristiwa (events) merupakan tindakan yang bersifat alami dan manusiawi yang dirasa memiliki konsekuensi-konsekuensi atau klaim-klaim sosial. Sejumlah peristiwa yang mempengaruhi pembentukan isu-isu adalah:

a. Penemuan

Penemuan-penemuan di dalam bidang teknologi memberikan kemajuan yang berarti bagi kehidupan manusia dimana ilmu pengetahuan dan teknologi terus berkembang untuk menjawab tujuan-tujuan serta kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Masalah kemudiaan muncul ketika teknologi sangat berperan dalam kehidupan masyarakat, dilain pihak pemerintah perlu menangani secara serius akan dampak yang ditimbulkannya.

b. Pengembangan dan Aplikasi

Muncul isu-isu yang kemudiaan menjadi masalah berkaitan dengan dampak diterapkan ide, eksperimen ataupun penemuan yang mengakibatkan berbagai kemudahan yang disediakan untuk kegunaan tersebut serta meredakan efek-efek yang ditimbulkannya.

c. Komunikasi

Berkembangnya arus informasi menyebabkan berbagai kegiatan menjadi terbuka yang kemudiaan memunculkan berbagai isu yang spesifik dan dapat menjadi suatu kekuatan untuk mempengaruhi para pengambil kebijakan.

d. Konflik

Berkembangnya suatu masyarakat selalu diiringi dengan munculnya berbagai kepentingan yang apabila tidak ditangani secara baik akan memunculkan konflik. Karenanya konflik merupakan isu untuk merumuskan permasalahan publik.

e. Pengawasan

Pengawasan yang dimaksudkan adalah dititik beratkan pada pengawasan tingkah laku sosial, baik yang bersifat perorangan maupun publik. Hal ini tentunya memunculkan berbagai tanggapan sebagai isu yang selanjutnya dapat menjadi permasalahan publik, seperti: rancangan UU Militer, penerapan Daerah Operasi Militer dan lain-lain.

2.

Permasalahan (problems): kebutuhan manusia, entah bagaimana cara mengenalnya, yang tetap ada jalan keluarnya;


(4)

3.

Permasalahan Publik (publik problems): kebutuhan manusia, entah bagaimana cara mengenalnya, yang tak dapat ditangani secara perseorangan;

4.

Isu-isu (issues). Isu-isu merupakan permasalahan umum yang bersifat kontroversial. Menurut Dunn (2003:219), isu-isu dapat dikategorikan menjadi:

a.

Isu-isu Utama secara khusus ditemui pada tingkat pemerintah yang mengambil kebijakan karena diberikan kewenangan yang besar. Isu muncul dari sejumlah pertanyaan mengenai sifat, tujuan organisasi-organisasi pemerintah.

b.

Isu-isu Sekunder terletak pada tingkat instansi pelaksana program-program. Hal yang selalu dipertanyakan adalah isu priroitas program dan definisi kelompok-kelompok sasaran dan penerima dampak.

c.

Isu-isu Fungsional terletak pada tingkat program dan proyek berkaitan dengan anggaran, keuangan dan usaha untuk memperolehnya.

d.

Isu-isu Minor ditemukan oada tingkat proyek-proyek spesifik berkaitan dengan personal, staff, jam kerja, waktu libur dan lain sebagainya.

5.

Bidang-bidang isu (issues area): kumpulan permasalahan umum yang bersifat kontroversial. Karenanya isu-isu memerlukan definisi yang sifatnya harus berkesinambungan. Pada umumnya anggaran pemerintah menjadi bidang isu yang utama, karena anggaran adalah pernyataan terbaik tentang prioritas-prioritas yang diproyeksikan dan direncanakan, meskipun hal ini tidak selalu menjadi inventaris yang paling dapat dipercaya. Selain itu anggaran juga merupakan tolak ukur dari komitmen pemerintah dalam menjalankan roda pemerintahan yang dipimpinnya. Bidang isu utama lainnya yang juga diperhatikan berkaitan penentuan prioritas terhadap bidang-bidang; pendidikan, transportasi, energi dan lain-lain.

Untuk mengetahui apakah yang dimaksud dengan hakekat masalah publik, menurut Jones, (1991:72) :

1.

Problem dikatakan bersifat pribadi apabila problem tersebut dapat di atasi tanpa mempengaruhi orang lain atau yang mempunyai akibat terbatas atau menyangkut pada satu atau sejumlah kecil orang yang terlibat secara langsung. Hal ini tentunya berbeda dengan masalah publik yang dipahami sebagai masalah-masalah yang mempunyai akibat luas termasuk akibat-akibat yang mengenai orang-orang yang secara tidak langsung terlibat.

2.

Pendapat lain melihat bahwa masalah publik terdiri dari semua masalah yang dipengaruhi oleh klaim-klaim tak langsung dari pelbagai transaksi hingga pada semacam tingkatan dianggap perlu memiliki klaim-klaim yang terpelihara secara sistematis.

3.

Mempertentangkan antara masalah yang dirasakan dan dengan akibat-akibat pemerintah adalah masalah publik, seperti


(5)

kelompok-kelompok yang terdiri dari partai-partai berpengaruh yang menggerakkan dan terlibat dalam kegiatan yang sifatnya kerjasama, membutuhkan kesadaran diri, mengorganisasikan dan berusaha mempengaruhi para pejabat.


(6)

BAHAN BACAAN UTAMA

Jones, Charles O, 1994, Pengantar Kebijakan Publik, Jakarta, Raja Grafindo Persada, Halaman 69 – 92.

Dunn, William N, 2000, Pengantar Analisa Kebijakan Publik, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, Halaman 95 – 128.

Budiharjo, Eko, 1995, Pendekatan Sistem dalam Tata Ruang Pembangunan Daerah. Halaman 1 – 19.