STANDAR MORALITAS PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI LOKALISASI CANGKRING DESA KEBONAGUNG KECAMATAN RENGEL KABUPATEN TUBAN.

(1)

STANDAR MORALITAS PEKERJA SEKS KOMERSIAL

DI LOKALISASI CANGKRING DESA KEBONAGUNG

KECAMATAN RENGEL KABUPATEN TUBAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Pesyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial

(S.sos) dalam Bidang Sosiologi

Oleh:

MAZNUL KHULSHONI

NIM. B05211063

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

J U R U S A N I L M U S O S I A L

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


(2)

STANDAR MORALITAS PEKERJA SEKS KOMERSIAL

DI LOKALISASI CANGKRING DESA KEBONAGUNG

KECAMATAN RENGEL KABUPATEN TUBAN

SKRIPSI

Diajukan Kepada Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya untuk Memenuhi Salah Satu Pesyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu

Sosial (S.sos) dalam Bidang Sosiologi

Oleh:

MAZNUL KHULSHONI

NIM. B05211063

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

J U R U S A N I L M U S O S I A L

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAK

Maznul Khulshoni, 2015, Standar Moralitas Pekerja Seks Komersial di lokalisasi Cangkring Desa Kebonagung Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban, Skripsi Program Studi Sosiologi Fakultas Ilmu Sosian dan Ilmu Politik UIN Sunan Ampel Surabaya.

Kata Kunci: Moralitas, Standar Moralitas, Pekerja Seks Komersial.

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini ada dua yaitu bagaimana standar moralitas pekerja seks komersial dan bagaimana perwujudan standar moralitas pekerja seks komersial dilokalisasi Cangkring Desa Kebonagung Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan data wawancara, observasi, dan dokumentasi. Teori yang digunakan dalam mengkaji masalah standar moralitas pekerja seks komersial ini adalah teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa; (1) setiap individu PSK yang ada di lokalisasi Cangkring ini memiliki standar moralitas yang berbeda-beda, dengan standar moralitas yang para PSK miliki itu, mereka dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat yang tinggal di sekitar lokalisasi sehingga para PSK yang ada di lokalisasi dapat menjaga hubungan yang dinamis dengan masyarakat sekitar, (2) sedangkan untuk perwujudan standar moralitas PSK itu sendiri ditemukan beberapa perwujudan, pertama, sebagian PSK yang memang benar-benar memiliki standar moralitas dari dalam diri mereka, misalnya ketika ada aturan dari masyarakat bahwa PSK yang ada di lokalisasi Cangkring ini tidak boleh melayani tamu yang masih di bawah umur, PSK tersebut sadar bahwa jika mereka tetap melayani tamu yang masih di bawah umur maka mereka berfikir akan merusak masa depan mereka. Kedua, sebagian PSK yang mempunyai standar moralitas karena takut akan aturan-aturan yang sudah ditetapkan oleh masyarakat sekitar lokalisasi, jadi sebenarnya PSK tersebut secara pribadi ingin melakukan sesuai dengan apa yang mereka inginkan, namun ketika ada aturan dari masyarakat mereka menyadarinya bahwa jika mereka melanggar aturan tersebut maka mereka akan menerima cacian dari masyarakat. Ketiga, sebagian PSK yang tidak memiliki standar moralitas, yang mana PSK tersebut melanggar aturan yang sudah ditetapkan oleh masyarakat, meskipun masyarakat sudah memberi ancaman akan mencaci ataupun mengucilkan PSK yang melanggar aturan yang sudah masyarakat tetapkan mereka tetap saja melanggar aturan itu karena PSK tersebut berorientasi pada kebutuhannya.


(7)

DAFTAR ISI

SAMPUL ...

HALAMAN JUDUL ... i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

PENGESAHAN ... iii

MOTTO ... iv

PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN PERTANGGUNGJAWABAN PENULISAN SKRIPSI ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 6

E. Definisi Konseptual ... 6

F. Telaah Pustaka ... 11

G. Metode Penelitian ... 26

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 26

2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 28

3. Pemilihan Subyek Penelitian ... 28

4. Tahap-Tahap Penelitian ... 29

5. Teknik Pengumpulan Data ... 31

6. Teknik Analisis Data ... 33

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data ... 35

H. Sistematika Pembahasan ... 37

BAB II: INTERAKSIONISME SIMBOLIK ... 39

A. Pikiran, Diri dan Masyarakat ... 39

B. Konsep I dan Me ... 50

C. Alasan Penggunaan Teori ... 53

BAB III: STANDAR MORALITAS PEKERJA SEKS KOMERSIAL DALAM TINJAUAN INTERAKSIONISME SIMBOLIK ... 55

A. Gambaran Umum ... 55

1. Profil Desa Kebonagung ... 55

a. Luas dan Batas Wilayah ... 55

b. Sarana dan Prasarana Desa Keboagung ... 56

c. Jumlah Penduduk ... 58


(8)

B. Standar Moralitas Pekerja Seks Komersial Lokalisasi Cangkring .. 64

1. Aktifitas Keseharian Pekerja Seks Komersial Lokalisasi Cangkring ... 64

2. Standar Moralitas Pekerja Seks Komersial lokalisasi Cangkring ... 68

C. Standar Moralitas Pekerja Seks Komersial dalam Tinjauan Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead ... 80

BAB IV: PENUTUP ... 86

1. Kesimpulan ... 86

2. Saran ... 89 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN-LAMPIRAN 1. Pedoman Wawancara 2. Dokumentasi Penelitian 3. Dokumen Lain yang Relevan 4. Data Informan

5. Jadwal Penelitian

6. Surat Keterangan ( bukti melakukan penelitian) 7. Curiculume Vitae


(9)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Pintu Masuk Lokalisasi Cangkring ... 62

Gambar 3.2 Warung Kopi yang Berkedok Tempat Prostitusi ... 63

Gambar 3.3 Suasana Warung Tampak dari Dalam ... 63


(10)

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Prasarana Pendidikan Formal... 56

Tabel 3.2 Prasarana Pendidikan Non Formal ... 57

Tabel 3.3 Prasarana Peribadatan ... 58

Tabel 3.4 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin ... 58


(11)

DAFTAR SINGKATAN

PSK : Pekerja Seks Komersial WTS : Wanita Tuna Susila PTS : Pria Tuna Susila RT : Rukun Tetangga


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Prostitusi merupakan fenomena yang sudah ada sejak lama di dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Prostitusi di Indonesia bermula sejak zaman kerajaan-kerajaan Jawa yang menggunakan wanita sebagai bagian dari komoditas sistem feodal. Fenomena prostitusi hingga saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan.2

Arena prostitusi memang sangat dikutuk masyarakat Indonesia tidak terkecuali di kota Tuban yang merupakan salah satu Kabupaten yang ada di Jawa Timur. Kota Tuban yang dikenal sebagai kota Wali juga juga tidak terlepas dari adanya praktek prostitusi. Terdapat salah satu lokalisasi di Tuban yang bernama Cangkring tepatnya di desa Kobonagung kecamatan Rengel yang keberadaannya belum banyak diketahui oleh masyarakat umum karena tempatnya yang terletak disekitar tambang minyak yang berada di tengah-tengah area persawahan dan lokalisasi tersebut berkedok sebagai warung makan ataupun warung kopi.

Label ataupun simbol yang sudah terlanjur melekat pada wanita Pekerja Seks Komersial tentu menjadi sesuatu yang menggangu bagi individu-individu Pekerja Seks Komersial tersebut. Tidak jarang seorang Pekerja Seks Komersial berusaha menyembunyikan identitas dalam kesehariannya. Pekerja Seks Komersial yang ada di lokalisasi Cangkring ini

2


(13)

2

berbeda dengan Pekerja Seks Komersial yang ada di kota-kota besar, karena para Pekerja Seks Komersial yang ada di Lokalisasi Cangkring ini merupakan para pendatang dan di dominasi oleh para Pekerja Seks Komersial yang rata-rata sudah berumur 35 Tahun ke atas meskipun ada beberapa yang masih berumur 29 Tahun namun itu hanya 2 orang.

Satu hal yang menjadi persoalan adalah kekhawatiran masyarakat sekitar lokalisasi Cangkring akan keberadaan Pekerja Seks Komersial dan para penggunjungnya adalah dampak negatif yang akan mempengaruhi perilaku pada setiap keluarga yang ada di masyarakat khususnya sekitar lokalisasi, terutama terhadap anak-anak kecil yang belum cukup umur. Walaupun kegiatan yang dilakukan oleh para Pekerja Seks Komesial tersebut dilakukan malam hari, tetapi tingkah laku dan kebiasaan yang sering dipraktikkan setiap hari, seperti tata cara berpakaian, dan tutur kata yang sering diucapkannya, akan mempengaruhi kondisi kepribadian anak-anak yang tinggal di sekitar lokalisasi. Hal semacam itulah yang ditakuti oleh orang tua yang mempunyai anak, mereka takut kalau anaknya suatu saat akan meniru profesi yang kebanyakan dilakukan oleh Pekerja Seks Komersial yang tinggal di kampungnya. Meskipun demikian, hingga saat ini Pekerja Seks Komersial yang ada di lokalisasi Cangkring tetap saja eksis, sehingga penting kemudian diadakan penelitian untuk mengetahui moralitas Pekerja Seks Komersial yang ada di lokalisasi Cangkring.


(14)

3

Jumlah Pekerja Seks Komersial yang ada di lokalisasi Cangkring ini mencapai kurang lebih 31 jiwa, yang terbagi dalam dua kategori, Pekerja Seks yang berada dibawah naungan mucikari dan Pekerja Seks yang bergerak sendiri, maksudnya Pekerja Seks yang memiliki warung sendiri sebagai tempat mereka melayani para tamunya. Praktik prostitusi tersebut tidak hanya melibatkan pelacurnya saja, tetapi melibatkan banyak orang seperti germo, para calo, serta konsumen-konsumen yang sebagian besar pelakunya adalah laki-laki, Tentunya perasaan berdosa yang dialami para Pekerja Seks Komersial menjadi satu domain penting dalam dinamika sosial terkait moralitas sosialnya dalam masyarakat.

Hidup adalah pilihan, orang yang mau hidup tentu harus membuat pilihan diantara banyak hal yang harus dijalaninya. Orang bisa memilih sesuatu hal yang sungguh-sungguh berlainan dengan apa yang menjadi pilihan orang lain. Pilihan itu bisa bertentangan dengan nilai, norma, hukum, atau bahkan agama. Pilihan inilah yang dikenal dengan pilihan menyimpang. Pilihan yang secara diametrik berbeda dengan mainsteam (arus utama) moralitas dianggap sebagai pilihan yang salah. Ukuran baik-buruk dan benar-salah selalu menggunakan tolak ukur moralitas.3

Masalah moralitas, etika, agama, dan dosa menjadi sesuatu yang tidak terlalu penting lagi untuk mereka. Karena moral, etika, agama tidak mampu membuat mereka bisa makan. Sebenarnya jika mereka disuruh memilih pun peneliti yakin tak seorang pun akan dengan suka rela memilih Pelacur

3


(15)

4

menjadi pekerjaannya. Semuanya tentu akan memilih hal- hal yang baik, yang jauh dari dosa dan halal. Namun hidup memang terkadang tidak sesuai dengan harapan.

Pada dasarnya mereka para Pekerja Seks Komersial sudah tahu bahwa apa yang telah mereka lakukan adalah salah dan merupakan perbuatan dosa. Moralitas, etika dan agama yang sering diagung-agungkan tidak akan mampu membuat mereka hidup secara nyata di masyarakat. Mereka sudah menganggap pelacur itu menjadi sebuah profesi atau pekerjaan dan tumpuan pencaharian mereka untuk mendapatkan penghasilan.

Masalah moralitas dan etika biarlah menjadi urusan mereka sendiri. Namun, meskipun mereka mempunyai pemikiran seperti itu, ada suatu hal yang harus mereka lakukan dalam kehidupannya sehari-hari, moralitas merupakan fenomena manusiawi yang universal, tentunya para Pekerja Seks juga mempunyai batasan-batasan sendiri tentang moralitas yang mereka aplikasikan / wujudkan di dalam kehidupan mereka sehari-hari baik dengan sesama Pekerja Seks maupun dengan para pelanggannya.

Fenomena diatas tersebut menarik peneliti untuk meneliti lebih jauh tentang standar moralitas bagi para Pekerja Seks Komersial khususnya di Desa Kebonagung Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban, sehingga peneliti ingin menjadikan penilitian ini sebagai judul Skripsi tentang STANDAR MORALITAS PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI LOKALISASI

CANGKRING DESA KEBONAGUNG KECAMATAN RENGEL


(16)

5

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah pada suatu penelitian adalah untuk memudahkan dalam menganalisa dan mengevaluasi masalah agar dapat lebih terarah dan jelas. Sehingga diperoleh langkah-langkah pemecahan masalah masalah yang efektif dan efisien. Untuk itu, maka perlu dibuat suatu perumusan masalah. Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana standar moralitas pekerja seks komersial di lokalisasi Cangkring Desa Kebonagung Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban? 2. Bagaimana perwujudan standar moralitas pekerja seks komersial dalam

kehidupan sehari-hari di lokalisasi Cangkring Desa Kebonagung Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari diadakannya penelitian ini sesuai dengan rumusan masalah diatas adalah:

1. Peneliti ingin mengetahui standar moralitas pekerja seks komersial di lokalisasi Cangkring Desa Kebonagung Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban.

2. Peneliti ingin mengetahui Bagaimana perwujudan standar moralitas Pekerja Seks Komersial dalam kehidupan sehari-hari di lokalisasi Cangkring Desa Kebonagung Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban.


(17)

6

D. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian tentunya mempunyai manfaat dan kegunaan. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai pengembangan disiplin ilmu sosial serta mengetahui lebih dalam tentang masalah-masalah sosial yang ada di dalam masyarakat.

2. Secara Praktis

hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran agar dapat mengetahui standar moralitas yang ada di dalam lingkungan PSK dan mengetahui bagaimana perwujudan moralitas yang mereka lakukan dalam kehidupan sehari-hari didalam masyarakat.

E. Definisi Konseptual

Agar tidak terjadi kerancuan dalam memahami judul skripsi ini:

STANDAR MORALITAS PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI

LOKALISASI CANGKRING DESA KEBONAGUNG KECAMATAN RENGEL KABUPATEN TUBAN, maka perlu di jelaskan beberapa istilah (konsep) yang terdapat dalam redaksi judul tersebut. Konsep yang dipilih diharapkan mempunyai relevansi secara optimal dengan judul penelitian yang ada, sehingga tidak terjadi mis-interpretasi dalam memahami rumusan masalah.


(18)

7

Sebelum peneliti menjelaskan satu persatu dari konsep yang ada di dalam judul penelitian, peneliti ingin menjelaskan terlebih dahulu tentang standar moralitas yang peneliti maksud, standar moralitas yang peneliti maksud di sini adalah standar moralitas dalam perspektif konsep I dan Me George H. Mead, disini I merupakan hal-hal yang mewakili keinginan pribadi para Pekerja Seks Komersial, misalnya keinginan untuk melayani semua pelangan yang datang tak perduli umur, dll, sedangkan Me merupakan hal-hal yang mewakili harapan masyarakat yang tinggal disekitar lokalisasi misalnya harapan masyarakat bahwa anak yang masih dibawah umur tidak dekatdekat dengan lokalisasi, atau kalau bisa para Pekerja Seks itu berhenti dari pekerjaannya dan mencari pekerjaan yang lain.

Moralitas Pekerja Seks yang penulis maksud adalah dalam segi moralitas dalam ruang lingkup yang sempit, di sini penulis ingin mendeskripsikan tentang standar moralitas dalam ruang lingkup lokalisasi saja, Penulis ingin meneliti tentang bagaimana moralitas para Pekerja Seks dengan batas umur pelanggannya, batasan-batasan dan bentuk pelayanan yang mereka berikan kepada setiap pelanggan, apakah ada kontradiksi antara Pekerja Seks dengan pelanggan maupun antar sesama Pekerja Seks lainnya.


(19)

8

Adapun pengertian kata-kata dalam judul tersebut adalah sebagai berikut:

1. Standar

Ukuran tertentu yang dipakai sebagai patokan; ukuran atau tingkat biaya hidup; Dan sesuatu yang dianggap tetap nilainya sehingga dapat dipakai sebagai ukuran nilai (harga).3

2. Moralitas

Apabila dilihat secara etimologis maka kata ‟moral‟ berasal dari

bahasa latin moralis-mos, moris (adat, istiadat, kebiasaan, cara, tingkah laku, kelakuan) mores (adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, akhlak, cara hidup).4 Ketika manusia berinteraksi di dalam masyarakat yang terlihat adalah bentuk moral yang merupakan identitas atau pola kebiasaan tingkah laku yang dilakukan oleh manusia.

Berbicara moralitas pada hakikatnya adalah berbincang mengenai batas-batas, garis pemisah, dan demarkarsi. Batas tersebut membedakan antara baik dan jahat, benar dan salah, bagus dan buruk, pantas dan tidak pantas, dan seterusnya. Moralitas selalu berkaitan dengan sebuah ruang, yang di dalamnya ada daerah yang boleh dilalui dan ada daerah yang tidak boleh dilalui, ada tindakan yang boleh dilakukan dan ada tindakan yang tidak boleh dilakukan.5

3

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), 1375.

4

Lorens Bagus, Kamus Filsafat (Jakarta: Gramedia, 2002), 672.

5 “Moralitas Pejabat Dan Kehancuran Bangsa

- Serambi Indonesia,” akses data 17 Desember, 2014, http://aceh.tribunnews.com/2013/12/16/moralitas-pejabat-dan-kehancuran-bangsa.


(20)

9

Menurut Immanuel Kant, moralitas adalah:

Kesesuaian sikap dan perbuatan kita dengan norma atau hukum batiniah kita, yakni apa yang kita pandang sebagai kewajiban kita. Moralitas akan tercapai apabila kita menaati hukum lahiriah bukan lantaran hal itu membawa akibat yang menguntungkan kita atau lantaran takut pada kuasa yang pemberi hukum, melainkan kita sendiri menyadari bahwa hukum itu merupakan kewajiban kita.6 Moralitas sendiri masih dibedakan oleh Kant menjadi moralitas

heterenom dan moralitas otonom. Moralitas heterenom adalah sikap

dimana kewajiban ditaati dan dilaksanakan bukan karena kewajiban itu sendiri, melainkan karena sesuatu yang berasal dari luar kehendak si pelaku itu. Misalnya karena mau mencapai suatu tujuan tertentu atau takut pada penguasa yang memberikan kewajiban itu.

Adapun moralitas otonom adalah kesadaran manusia akan kewajiban yang ia taati sebagai suatu yang dikehendakinya sendiri karena diyakini bahwa itu baik bagi dirinya.7

3. Pekerja Seks Komersial

Pekerja Seks Komersial adalah orang yang menjual dirinya dengan melakukan hubungan seks dengan orang lain untuk tujuan ekonomi. PSK juga bisa diartikan sebagai wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada banyak laki-laki yang membutuhkan pemuasan nafsu seksual, dan wanita tersebut mendapat sejumlah uang sebagai imbalan, serta dilakukan di luar pernikahan.8

6

Lili Tjahjadi, Hukum Moral (Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika Dan Imperatif Kategoris) (Yogyakarja: Kanisius, 1991), 47.

7

Ibid., 48.

8

Tjohjo purnomo, dalam Dolly, Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, oleh Ashadi Siregar (Jakarta: Grafiti Pers, 1983), 11.


(21)

10

Kenapa disini penulis menggunakan istilah Pekerja Seks, bukannya WTS yang artinya Wanita Tuna Susila / wanita yang tidak mempunyai susila atau yang lainnya? Karena menurut penulis kalau menggunakan istilah WTS, itu akan terjadi kontradiksi, karena jika menggunakan istilah WTS berarti disini hanya menyangkut tentang wanita saja, toh sekarang juga banyak lelaki yang menjadi pemuas para wanita apakah itu harus disebut PTS, jadi agar tidak menjadi perbedaan bias gender, disini penulis memilih PSK untuk kata yang disepakati dalam penulisan skripsi ini agar tidak terjadi perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita, jadi PSK disini mencakup WTS dan PTS.

4. Lokalisasi

Lokalisasi adalah pembatasan terhadap suatu tempat tertentu dan khusus ( daerah atau ruang lingkup), pembatasan penyebaran (penyakit), dan penentuan suatu lokasi. Dewasa ini lokalisasi sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai tempat tinggal / rumah para PSK (Pekerja Seks Komersial) dimana masyarakat pada umumnya memiliki stigma negatif terhadap keberadaan para PSK. Misalnya, dianggap sebagai sampah masyarakat, penghancur rumah tangga, dan daerah hitam. Lokalisasi berkembang bersamaan dengan pertumbuhan penduduk yang begitu cepat terutama dari urbanisasi serta perpindahan penduduk dari daerah-daerah dan kota-kota lain.


(22)

11

F. Telaah Pustaka

Dalam skripsi yang penulis temukan yang membahas tentang moralitas dan Pekerja Seks Komersial penulis menemukan skripsi yang berjudul:

1. MORALITAS DAN MODERNITAS (Sebuah tinjauan tentang dimensi praksis manusia modern) (Ushuluddin: Aqidah Filsafat, Nailiyatun

Ni‟mah, 2004). Dimana dalam skripsi ini memfokuskan permasalahan

tentang moralitas dan keterkaitannya antara moralitas dengan manusia modern.

2. KONSEPSI MORAL DALAM PEMIKIRAN EMILE DURKHEIM (Studi

Analisa Filsafat Sosial) (Ushuluddin: Aqidah Filsafat, Achmad Aqtoril Alam, 2004). Yang mana dalam skripsi ini memfokuskan permasalahan tentang bagaimana latar belakang perkembangan pemikiran Emile Durkheim dan bagaimana konsepsinya tentang moral, serta bagaimana konsepsi Emile Durkheim tentang moral jika dibandingkan dengan pandangan filsuf lain.

Kedua skripsi di atas tidak menyinggung sama sekali tentang standar moralitas, sementara yang penulis bahas di sini memfokuskan tentang standar dan perwujudan moralitas didalam lingkungan PSK.


(23)

12

Selain tentang skripsi yang membahas tentang moralitas di sini peneliti juga menemukan judul skripsi yang membahas tentang Pekerja Seks Komersial (PSK) Judul skripsi yang penulis temukan berjudul:

1. PEMAKNAAN AGAMA ISLAM BAGI PEKERJA SEKS KOMERSIAL

(PSK) DI DOLLY SURABAYA (Ushuluddin: Aqidah Filsafat, Lukman Hakim, 2008), yang mana dalam skripsi yang penulis temukan memfokuskan terhadap permasalahan pemaknaan agama Islam bagi PSK.

Sedangkan skripsi yang penulis angkat adalah “STANDAR MORALITAS

PEKERJA SEKS KOMERSIAL DI LOKALISASI CANGKRING DESA

KEBONAGUNG KECAMATAN RENGEL KABUPATEN TUBAN”,

dengan memfokuskan terhadap permasalahan standar moralitas PSK dan perwujudan moralitas dalam kehidupan keseharian PSK.

2. MAKNA HIDUP PEKERJA SEKS KOMERSIAL PADA RENTANG

USIA DEWASA AWAL (Universitas Airlangga: Psikologi, Jaka Yulana Sani Saputra, 2007), yang mana penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna hidup Pekerja Seks Komersial pada rentang usia dewasa awal, hal-hal apa yang diinginkan Pekerja Seks Komersial untuk mencapai makna hidup dan kendala apa yang dirasakan Pekerja Seks Komersial dalam mencapai makna hidup. Hasil penelitian ini menyatakan makna hidup Pekerja Seks Komersial pada rentang usia dewasa awal memiliki pola umum yang sama di mana tujuan hidup mereka adalah untuk menghidupi diri dan keluarga. Dari sekian banyak pengalaman yang pernah menjadi Pekerja Seks Komersial, ada beberapa pengalaman yang dijadikan suatu


(24)

13

titik tolak dalam kehidupan mereka untuk memperoleh pegangan atau pedoman hidup yang mereka jalani. Skripsi di atas mencoba menganalisis bagaimana makna hidup bagi para Pekerja Seks Komersial dalam menjalani kehidupan sosialnya dalam masyarakat, sedangkan penelitian yang penulis lakukan disini bertujuan untuk mengetahui bagaimana standar moralitas dan perwujudan standar moralitas para PSK yang ada dilokalisasi Cangkring.

Dari kedua skripsi diatas memang terdapat kesamaan obyek penelitian yang akan peneliti lakukan, tetapi secara keseluruhan kedua skripsi diatas belum ada yang membahas tentang bagaimana standar moralitas dan perwujudan standar moralitas itu sendiri didalam lingkungan lokalisasi maupun dengan masyarakat yang tinggal disekitar lokalisasi. 1. Hakikat Moralitas

Pada umumnya manusia itu tahu akan adanya yang baik dan yang buruk. Pengetahuan manusia akan adanya moral.9 Pengetahuan akan adanya yang baik dan yang buruk itu merupakan ciri khas manusia yang tidak dapat ditemukan pada mahluk dibawah tingkat manusia.10 Secara naluri manusia akan selalu mengarahkan diri pada sesuatu yang baik, bagus, indah, bersih, sedangkan dengan karunia akalnya ia mampu membedakan mana yang baik dan buruk, yang benar dan salah, yang bersih dan kotor dan sebagainya.demikian pula dalam menjalankan kodratnya sebagai mahluk sosial, ia juga cenderung untuk berbuat sesuai

9

Pudjawiyatna, Etika Filsafat Tingkah Laku (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 27.

10


(25)

14

dengan aturan-aturan dikelompok tempat ia tinggal sebagai mahluk sosial. Aturan inilah yang biasanya disebut dengan moral, yang dengan ini manusia memutuskan sesuatu itu baik atau buruk, dilarang atau tidak dan sebagainya.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan moral,11 yaitu:

a. Konsisten dalam mendidik anak

Orangtua harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anaknya. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila anak melakukan kembali pada waktu lain.

b. Sikap orangtua dalam keluarga

Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu, atau sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh, atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten.

11 Alif Budiyono, “Meningkatkan Moralitas Remaja Melalui Dukungan Sosial,”

4, 2 (2010): 12–14.


(26)

15

c. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut

Orang tua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk di sini panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orang tua yang menciptakan iklim yang religius (agamis), dengan cara memberikan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.

d. Sikap konsisten orang tua dalam menerapkan norma

Orang tua yang tidak menghendaki anaknya berbohong, atau berlaku tidak jujur, maka orang tua harus menjauhkan diri dari perilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orang tua mengajarkan kepada anak agar berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggung jawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidak konsistenan orangtua itu sebagai alasan untuk tidak melakukan hal yang diinginkan oleh orang tuanya, bahkan dia akan berperilaku seperti orangtuanya.

Pengetahuan manusia akan yang baik dan yang buruk ini tidak terlepas dari tujuan perbuatan manusia itu sendiri yang selalu mengarah ke hal-hal baik. Karena itu, pengetahuan akan yang baik dan buruk ini bukan hanya menjadi sekedar pengetahuan yang disebut tingkah laku moral. Dengan demikian, dari pengetahuan akan menjadi sebuah pengakuan yang diwujudkan dalam praktek perbuatan. Pengakuan manusia mengenai


(27)

16

adanya yang baik dan buruk disebut kesadaran moral atau moralitas. Makin besar kesadaran manusia tentang baik dan buruk itu, makin besar pula moralitasnya.

Moralitas dalam segala bentuknya tidak dapat hidup kecuali dalam masyarakat. Karena bagi Durkheim, masyarakat didefinisikan menurut karakteristik esensi yang sebagian besar bersifat negatif dan jika tidak dikontrol oleh masyarakat, akan ada atas kerusuhan dunia sosial.12 Oleh karena itu moral takkan berubah kecuali dalam hubungannya dalam kondisi-kondisi sosial. Dengan kata lain moralitas tidak bersumber pada individu, melainkan bersumber pada masyarakat dan merupakan gejala masyarakat.

Kata Durkehim:”Morality, in all its form, is never met with except in society. It never varies except in relation to social condition... the duties of the individual toward his self are, in reality, duties towards society”.13

(Moral, dalam segala bentuknya, tak akan pernah ditemukan, kecuali dalam suatu masyarakat. Moral tak akan berubah kecuali dalam hubungannya dengan kondisi masyarakat... Kewajiban-kewajiban seseorang individu dibebankan padanya yaitu, kenyataannya, kewajiban terhadap masyarakat).

Realitas moral obyektif harus dimulai dari permulaan dan melangkah dari fakta-fakta dnegan mana kesepakatan umum bisa dicapai

12

George Ritzer, Teori Sosial Postmodern, trans. Muhammad Taufiq (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003), 347.

13

Djurenta A. Imam Muhni, Moral Dan Religi Menurut Emile Durkheim Dan Henry Bergson (Yogyakarta: Kanisius, 1994), 37.


(28)

17

untuk melihat bilamana perbedaan muncul. Untuk bisa menilai atau mengapresiasi moralitas, seperti halnya mengevakuasi kehidupan atau alam, maka sesorang harus memulai dengan memperkenalkan diri sendiri pada realitas moral.

Moralitas tampil pada diri seseorang sebagai suatu himpunan dalil atau himpunan aturan tingkah laku. Tetapi ada juga aturan-aturan lain yang menentukan perilaku seseorang. Menurut Durkehim, jika sesorang memperhatikan bahwa aturan yang menunjukkan ciri-ciri ini selaras dengan konsepsi populer mengenai aturan moral, maka sesorang bisa memasang judul yang lazim dan mengatakan bahwa disini dia menemukan cirikhas realitas moral.14

Moralitas berangkat dari titik yang sama sebagaimana ketidak pedulian dan pengabdian. Ketidak pedulian menjadi bermakna bila obyeknya mempunyai nilai moral yang lebih tinggi di banding nilai moral individu. Dalam dunia pengalaman, hanya mengenal suatu yang memiliki realitas moral yang lebih kaya dan lebih kompleks dari moralnya sendiri, yaitu keadaan kolektif.

Dalam masyarakat yang sudah kompleks, individu biasanya menjadi anggota dari kelompok sosial tertentu sekaligus, misalnya, atas dasar ras, dan sebagainya. Akan tetapi dalam hal ini seperti bidang pekerjaan, rekreasi dan sebagainya, keanggotaannya bersifat sukarela. Dengan demikian maka terdapat derajat tertentu serta ciri-ciri tertentu bagi

14

Emile Durkehim, Sosiologi Dan Filsafat, trans. Soerdjono Didjosisworo (Jakarta: Erlangga, 1991), 43–44.


(29)

18

individu-individu tadi, sehubungan dengan keanggotaan kelompok sosial tertentu, sehingga bagi individu terdapat dorongan-dorongan tertentu pula sebagia anggota suatu kelompok sosial. Suatu ukuran lainnya bagi si individu adalah bahwa dia merasa tertarik pada kelompok-kelompok sosial yang dekat dengan kehidupan seperti keluarga dan kelompok kekerabatan, daripada misalnya dengan perusahaan besar atau negara. Apabila kelompok sosial dianggap sebagai kenyataan didalam kehidupan manusia / individu, juga harus diingat dalam konsep-konsep dan sikap-sikap moral individu terhadap kelompok sosial sebagai kenyataan subyektif yang penting untuk memahami gejala kolektivitas.

Demikian juga dalam pilihan moral, Durkheim mengatakan bahwa individu tidak menghasilkan standar-standar moral dan memperkembangkan komitmen-komitmen untuk masuk kedalam, mendukung dan mengkritisi situasi sosialnya, melainkan nilai-nilai dan kesetiaan-kesetiaan moralnya merupakan ungkapan dalam dirinya dari kekuatan-kekuatan kolektif yang tidak hanya memiliki asal-usul sosial melainkan juga memiliki fungsi sosialnya , yaitu tempat untuk menopang kelangsungan kelompok sosiall tempat individu berada.

Apa yang menjadi tolok ukur untuk menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau tingkah laku ? setidak-tidaknya dapat disebut tiga macam tolok ukur yaitu, hati nurani, kaidah emas, penilaian masyarakat umum.15

15Yuniarto, “Standar Moral Dalam Etika Kepemimpinan,” 4, 1 (2000): 27–


(30)

19

1) Hati nurani. Suatu perbuatan adalah baik, jika dilakukan sesuai dengan hati nurani, dan suatu perbuatan lain adalah buruk, jika dilakukan bertentangan dengan suara hati nurani.

2) Kaidah emas. Cara lebih obyektif untuk menilai baik buruknya perilaku moral adalah mengukurnya dengan Kaidah Emas yang

berbunyi:”Hendaklah memperlakukan orang lain sebagaimana

Anda sendiri ingin diperlakukan. Bila dirumuskan secara negatif,

Kaidah Emas berbunyi :”janganlah melakukan terhadap orang lain

apa yang Anda sendiri tidak ingin dilakukan terhadap diri Anda”. 3) Penilaian umum. Cara ketiga dan barangkali paling ampuh untuk

menentukan baik buruknya suatu perbuatan atau perilaku adalah menyerahkannya kepada umum untuk dinilai. Cara ini bisa disebut

juga ”audit sosial”.

Moralitas seorang pemimpim diibaratkan dengan filosofi cermin. Cermin adalah simbol gambaran obyektif dan sikap introspeksi diri yang harus dipunyai seorang pemimpin, tanpa cermin seseorang tidak dapat melihat kekurangannya sendiri. Sebagai seorang pemimpin , ia harus selalu menyadari kekurangan dirinya sendiri dan siap untuk memperbaiki.

Standar moral etika kepemimpinan. Standar moral adalah suatu

alat ‟pengendali‟ bagi perilaku individu atau kelompok individu dalam

hubungannya dengan individu atau kelompok individu lain. Standar moral

ini akan ‟memutuskan‟ perilaku individu atau kelompok individu apa yang


(31)

20

‟menjaga‟ keharmonisan hubungan antar individu, antara individu dengan kelompok individu, atau antar kelompok individu.

Fungsi standar moral sebagai penjaga keharmonisan hubungan manusia dalam suatu komunitas masyarakat memang sangat diperlukan sebagai konsekuensi logis sifat dasar manusia yang selalu ingin berinteraksi dengan manusia lain. Walaupun begitu, ada saja manusia yang melakukan kegiatan yang dianggap menyeleweng dari standar moral yang sudah ada. Banyak alasan mengapa ada saja manusia yang menyeleweng dari standar moral yang sudah ada, misalnya karena manusia ingin mencapai tujuannya dengan lebih mudah tanda harus „mentaati‟ standar moral atau karena kelemahan standar moral tadi sehingga banyak ‟celah‟ yang bisa dimanfaatkan untuk keuntungan sendiri.

2. Moralitas Religius, Moralitas Keagamaan dan Standar Moralitas Moralitas merupakan fakta sosial yang khas, dan dalam semua bentuknya tidak dapat hidup kecuali dalam masyarakat, dalam arti pasti hidup dalam konteks sosial.16 Moralitas adalah bentuk penerapan moral di dalam masyarakat. Moralitas memiliki cakupan yang lebih luas dari moral. Moralitas bukan hanya terdiri dari sekedar tindakan-tindakan yang baik tetapi terdiri dari ketaatan kepada hukum-hukum (contohnya: seekor anjing dapat saja dilatih melakukan sesuatu, tetapi pantas diragukan kalau anjing dapat bermoral).17

16

Muhni, Moral Dan Religi Menurut Emile Durkheim Dan Henry Bergson, 126.

17

Robert C. Solomon, Etika Suatu Pengantar, trans. R. Andre Karo-karo (Jakarta: Erlangga, 1987), 8.


(32)

21

Moralitas setidak-tidaknya merupakan usaha untuk membimbing seseorang dengan akal, yakni, untuk melakukan apa yang paling baik menurut akal, seraya memberi bobot yang sama menyangkut kepentingan setiap individu yang akan terkena oleh tindakan itu.18

Moralitas juga tidak lepas dengan yang namanya agama, jadi antara moralitas dan agama saling berhubungan dan tidak dapat dipisahkan karena agama merupakan acuan dalam menentukan moralitas individu.

Moralitas religius adalah sikap manusia kerkenaan dengan kepatuhannya terhadap perintah Tuhan secara langsung, dalam arti manusia mengandaikan Tuhan secara langsung sebagai pengawas tindakan moral tersebut, sedangkan pengertian moralitas keagamaan adalah sikap manusia berkenaan dengan ajaran agama yang dianutnya. Perbedaan antara keduanya lebih terlihat jelas di mana dalam moralitas keagamaan manusia mengandaikan agama (institusi) sebagai pengawas tindakan moral yang dilakukannya, sementara dalam moralitas religius manusia mengandaikan Tuhan sebagai pengawas tindakan moralnya.

Agama (instansi) merasa ikut bertanggung jawab atas adanya norma-norma susila yang baik yang diberlakukan atas masyarakat umumnya. Agama akan menyeleksi kaidah-kaidah susila yang ada dan mengukuhkan yang baik sebagai kaidah yang baik dan menolak kaidah yang buruk untuk ditinggalkan sebagai larangan atau tabu. Agama juga memberi sangsi-sangsi yang harus dijatuhkan kepada orang yang melanggarnya dan mengadakan pengawasan yang ketat atas pelaksanaannya.19

18

James Rachels, Filsafat Moral (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 40.

19


(33)

22

Moralitas keagamaan bersifat sosial, dalam arti berkenaan dengan sikap seseorang terhadap orang lain dalam lingkup kehidupan keagamaan, sedangkan moralitas religius berkenaan dengan sikap manusia di hadapan Tuhan dalam konteks kehidupan secara luas. Di dalam moralitas keagamaan rasa tanggung jawab seorang individu akan mengarah pada rasa tanggung jawab moral terhadap manusia lainnya atau sosial, sementara dalam moralitas religius rasa tanggung jawab seorang individu terhadap tindakan moralnya langsung mengarah pada Tuhan.

Di dalam moralitas religius seseorang akan lebih berhati-hati dalam setiap tindakan moralnya, karena Tuhan diandaikan selalu ada di sisi manusia. Kehatihatian manusia ini berbeda ketika manusia berada dalam situasi moralitas keagamaannya. Agama (institusi) memiliki keterbatasan dalam fungsi pengawasan, sedangkan Tuhan tidak memiliki keterbatasan dalam pengawasannya. Dalam moralitas religius keimanan seseorang terhadap Tuhan akan terus menjaga sikap moralnya untuk selalu sesuai dengan apa yang telah menjadi perintah dan kehendak Tuhan. Betapa kuatnya pengaruh Tuhan dalam moralitas religius, menjadikan moralitas religius sangat tepat untuk dijadikan dasar pemahaman akan moralitas keagamaan masyarakat yang kemudian terwujud dalam bentuk perilaku masyarakat. Moralitas religius sebagai dasar perilaku masyarakat bertujuan untuk menjaga seluruh moralitas yang ada agar tetap sesuai


(34)

23

dengan apa yang dicita-citakan, yang menurut Kant sebagai „kebaikan

tertinggi‟.20

3. Prostitusi dan Permasalahannya

Prostitusi atau pelacuran adalah penjualan jasa seksual untuk uang. Seseorang yang menjual jasa seksual disebut pelacur, yang kini sering disebut dengan istilah pekerja seks komersial. Pelacuran atau prostitusi adalah salah satu Patologi sosial yang merupakan keroyalan relasi seksual dalam bentuk penyerahan diri untuk pemuasan seksual dan dari perbuatan tersebut yang bersangkutan dengan imbalan. Disamping itu prostitusi dapat diartikan dengan salah satu tingkah laku yang tidak susila atau gagal untuk menyesuaikan diri dengan norma-norma susila. Oleh sebab itu pelacur yang melakukan royal dan tidak pantas, berhubungan seks dengan orang yang tidak terbatas, maka pada dirinya sering mendatangkan penyakit yang dapat berjangkit dalam dirinya maupun kepada orang lain.21

Prostitusi dalam bahasa diartikan sebagai pelacur atau penjual jasa seksual atau disebut juga sebagai Pekerja Seks Komersial. Menurut istilah prostitusi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang bersifat menyerahkan diri atau menjual jasa kepada umum untuk melakukan perbuatan-perbuatan seksual dengan mendapatkan upah.22 Prostitusi, adalah melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan yang bukan istri atau suaminya, yang dilakukan ditempat-tempat tertentu (lokalisasi, hotel,

20

Tjahjadi, Hukum Moral (Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika Dan Imperatif Kategoris), 57.

21

Kartono, Patologi Sosial, 89.

22

Zainudin Ali, Tinjauan Soosiologi Hukum Terhadap Kehidupan Prostitusi Di Indonesia


(35)

24

tempat rekreasi dan lain-lain), yang pada umumnya mereka mendapatkan uang setelah melakukan hubungan badan.

Dalam pengertian yang lebih luas, seseorang yang menjual jasanya untuk hal yang dianggap tak berharga juga disebut melacurkan dirinya sendiri, misalnya seorang musisi yang bertalenta tinggi namun lebih banyak memainkan lagu-lagu komersil. Pekerjaan melacur sudah dikenal di masyarakat sejak berabad lampau ini terbukti dengan banyaknya catatan tercecer seputar mereka dari masa ke masa. Pekerja Seks Komersial (PSK) selain meresahkan juga mematikan, karena merekalah yang ditengarai menyebarkan penyakit AIDS akibat perilaku seks bebas tanpa pengaman bernama kondom.

Sebab-sebab Terjadinya Prostitusi

Alasan-alasan mengapa seseorang menjadi pelacur bisa sangat kompleks, tidak saja dari prostitusi itu sendiri melainkan juga dari keluarga dan masyarakat disekelilingnya. Tetapi secara sengaja menjadi prostitusi jarang dijumpai sebagai salah satu factor penyebab karena bagaimanapun pekerjaan ini dianggap bertentangan dengan normal.23

Faktor pendorong menjadi pelacur yaitu:

a. Terpaksa keadaan ekonomi, keadaan ekonomi memaksa seseorang untuk menjalani prostitusi. Termasuk dalam faktor ini antara lain berasal dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah, kebutuhan mendesak untuk mendapatkan uang guna membiayai diri sendiri

23

Hull and Sulistyaningsih, Pelacuran Di Indonesia: Sejarah Dan Perkembangan (Jakarta: Erlangga, 1997), 37.


(36)

25

maupun keluarganya, tidak mempunyai sumber penghasilan, tingkat pendidikan rendah, minimnya keterampilan dan sengaja dijual oleh keluarganya ketempat pelacuran.

b. Ikut arus, prostitusi dianggap sebagai pilihan yang mudah dalam mencari nafkah karena rekan-rekan mereka di kampung sudah melakukannya dan bagi masyarakat daerah mereka pelacuran merupakan alternatif pekerjaan.

c. Frustasi, kegagalan seseorang untuk mencapai tujuan hidup disebut fustasi. Seseorang yang sangat mendambakan kehidupan rumah tangga yang bahagia akan frustasi bila mengalami perceraian, seorang yang mencintai kekasihnya akan frustasi bila mengalami kegagalan cinta. Keadaan ini dapat menimbulkan rasa kecewa dan sakit hati. Pada umumnya mereka yang terlibat dalam prostitusi karena ingin membalas sakit hatinya.24

Namun ada konsekuensi yang dihadapi oleh prostitusi yaitu: a) Perlakuan yang diterima dari pelanggan, seperti tidak dibayar setelah melakukan hubungan seksual, menghadapi kekerasan seksual yang bisa mengancam nyawa, dan melakukan hubungan seksual yang tidak wajar. b) penyakit menular, posisi tawar yang lemah membuat pelacur sering tidak berhasil membujuk pelanggannya menggunakan kondom sebagai alat proteksi. Akibatnya pelacur dapat tertular penyakit. c) Kehamilan yang tidak diinginkan, bila tidak memakai alat kontrasepsi besar kemungkinan

24

Sedyaningsih, Perempuan Perempuan Keramat Tunggak (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 30–31.


(37)

26

dari para pelacur untuk hamil, dan kebanyakan dari merka cenderung melakukan pengguguran kandungan yang dapat mengancam nyawanya. d) perlakuan dari masyarakat sekitarnya, masyarakat seringkali menghakimi, mengutuk dan mengucilkan para pelacur karena pandangan pekerjaan ini yang hina dan kotor.

G. Metode Penelitian

Metodologi adalah suatu proses, prinsip, dan prosedur, yang kita gunakan untuk mendekati problem dalam pencarian jawaban dengan ungkapan lain, metode adalah suatu pendekatan umum yang digunakan untuk mengkaji topik penelitian.25

1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

dalam penelitian skripsi ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dengan tujuan agar penulis dapat lebih mengenal lingkungan penelitian, dengan menggunakan jenis penelitian deskriptif artinya peneliti berusaha menemukan bukti pada apa yang dialami alih -alih dalam penalaran formal atau analitik. Hal ini bagi penulis bertujuan untuk mempertahankan bentuk-bentuk perilaku manusia dengan ciri dan kekhasan masing-masing individu.

Bogdan dan Taylor mendefinisikan bahwa metode penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.

25


(38)

27

Sedangkan menurut Kurt dan Miller mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental bergantung pada penelitian manusia dan wawasannya sendiri serta berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan istilahnya.26

Disini peneliti menggunakan jenis pendekatan Deskriptif, penelitian jenis deskriptif adalah suatu pendekatan penelitian yang bertujuan untuk menggambarkan keadaan. Dalam pendekatan ini peneliti hanya ingin mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan penelitian sehingga dalam penelitiannya tidak perlu merumuskan hipotesis.

Disini peneliti ingin menggambarkan keadaan yang berhubungan dengan standar moralitas Pekerja Seks yang ada dilokalisasi Cangkring, baik dengan pelanggannya maupun dengan masyarakat yang ada disekitar lokalisasi. Pekerja Seks yang ada di lokalisasi ini pun rata-rata di dominasi oleh para Pekerja Seks yang sudah tua (rata-rata umurnya sudah mencapai 35 tahun keatas) meskipun demikian, ada juga Pekerja Seks yang umurnya masih muda (28-29 tahun) namun, itu hanya dapat dihitung dengan jari saja, berbeda dengan lokalisasi yang ada dikota-kota besar yang mana Pekerja Seknya nya didominasi oleh para Pekerja Seks yang masih berumur muda.

26

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), 3.


(39)

28

Dengan demikian penelitian kualitatif yang menggunakan pendekatan deskriptif adalah penelitian yang berdasarkan atas pandangan fenomenologis. Dalam suatu setting holistik atau secara utuh berusaha memahami suatu kejadian dalam kaitannya dengan individu dalam situasi yang sedang terjadi saat itu.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Dalam penelitian tentang Standar Moralitas Pekerja Seks Komersial, peneliti melakukan penelitian seperti wawancaara dan observasi (pengamatan). Dalam kualitatif tidak dikenal istilah populasi dan sampel. Istilah yang digunakan adalah setting atau tempat penelitian.27 Tempat penelitian yang peneliti lakukan tepatnya di lokalisasi cangkring yang berada di Desa Kebonagung Kecamatan Rengel Kabupaten Tuban.

Waktu penelitian dilaksanakan pada Bulan Maret 2015 dan selebihnya jika ada halangan ataupun kesulitan, waktu penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Maret s/d Mei 2015.

3. Pemilihan Subyek Peneletian

Setelah ditetapkan fokus penelitian dan rancangan penelitian secara tepat dan sesuai dengan format penulisan secara tepat dan sesuai dengan format penelitian, langkah berikutnya adalah menentukan subyek penelitian.

27

Arikunto dan Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan (Jakarta: PT. Rhineka Cipta, 2006), 13.


(40)

29

Yang dimaksud subyek penelitian disini adalah subyek dari mana data akan diperoleh dari peneliti. Agar peneliti memperoleh data yang valid dan benar, Adapun yang dijadikan sumber data peneliti adalah:

a. Pekerja seks komersial (PSK) yang ada dilokalisasi. b. Masyarakat yang tinggal disekitar lokalisasi Cangkring. 4. Tahap-tahap Penelitian

Moleong28 mengemukakan bahwa “Pelaksanaan penelitian ada empat tahap yaitu:

a. Tahap sebelum ke lapangan, meliputi kegiatan penentuan fokus, penyesuaian paradigma dengan teori, penjajakan alat peneliti, mencakup observasi lapangan dan permohonan ijin kepada subyek yang diteliti, konsultasi fokus penelitian, penyusunan usulan penelitian.

Dalam tahap sebelum ke lapangan, peneliti meminta surat pengantar untuk melakuakan penelitian, kemudian peneliti meminta rekomendasi dari pihak yang bersangkutan, disini peneliti meminta izin kepada kepala desa kebonagung, kemudian peneliti menentukan fokus penelitian, apa saja yang ingin peneliti teliti sehingga ketika nanti terjun langsung ke lapangan memudahkan peneliti dalam menggali data yang ada di lokalisasi Cangkring.

Dalam penelitian ini yang akan menjadi subyek penelitian adalah para Pekerja Seks Komersial dan masyarakat yang tinggal

28


(41)

30

disekitar lokalisasi yang berada didesa Kebonagung, Kec. Rengel, Kab.Tuban tersebut

b. Tahap pekerjaan lapangan, meliputi pemgumpulan bahan-bahan yang berkaitan dengan data-data apa saja yang dibutuhkan oleh peneliti. Dalam tahap ini peneliti mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan data apa saja yang peneliti butuhkan yakni pedoman wawancara yang sudah peneliti siapkan yang berkaitan dengan standar moralitas para Pekerja Seks Komersial yang ada di lokalisasi Cangkring, kemudian peneliti langsung melakukan tahap wawancara dengan pihak-pihak yang bersangkutan dalam subyek penelitian. c. Tahap analisis data, meliputi analisis data baik yang diperoleh melalui

observasi, dokumen maupun wawancara mendalam dengan subyek yang sudah ditentukan. Dalam tahap ini setelah peneliti mendapatkan bahan-bahan yang di butuhkan kemudian peneliti mereduksi, memverifikasi data apakah data-data yang dibutuhkan sudah sesuai dengan apa yang peneliti harapkan. Setelah data yang didapatkan sudah kredibel kemudian peneliti melanjutkan ke tahap selanjutnya yakni menganalisis data dengan teori yang peneliti gunakan, peneliti mengkorelasikan antara data yang diperoleh dengan teori yang peneliti gunakan.

d. Tahap penulisan laporan, meliputi : kegiatan penyusunan hasil penelitian dari semua rangkaian kegiatan pengumpulan data sampai pemberian makna data. Dalam hal ini peneliti kemudian


(42)

31

mendeskripsikan data, hasil analisis dalam bentuk tulisan dan disusun sesuai dengan pedoman yang sudah di tentukan.

5. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mendapatkan kelengkapan informasi yang sesuai dengan fokus penelitian, maka yang dijadikan teknik pengumpulan data adalah sebagai berikut:

a. Teknik Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Disini peneliti akan melakukan wawancara kepada pihak-pihak yang telah menjadi subyek penelitian yang telah dijelaskan di atas.

Dalam mengoperasikan metode wawancara ini, penulis menggunakan wawancara terpimpin atau bebas terarah, artinya penulis sudah menyiapkan beberapa pertanyaan yang diajukan kepada informan, akan tetapi wawancara yang peneliti gunakan sifatnya tidak mengikat, sehingga muncul penambahan atau pengurangan pertanyaan. Selain terpimpin, peneliti juga menggunakan wawancara terlibat, artinya wawancara yang dilakukan bukanlah wawancara formal dengan menggunakan kuisioner, tetapi wawancara yang berupa dialog spontan.29

29


(43)

32

Metode tersebut di atas penulis gunakan secara langsung kepada para Pekerja Seks Komersial di lokalisasi Cangkring yang menjadi narasumber penelitian ini secara kondisional supaya lebih terasa dekat dan tidak ada rasa pembatas antara peneliti dan yang diteliti, dan juga terbentuk keterbukaan dan saling percaya, selain itu peneliti juga tidak menggunakan nama asli untuk subyek penelitian dari PSK, itu bertujuan untuk menjaga idenditas dari setiap Pekerja Seks yang ada dilokalisasi Cangkring ini.

Teknik ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kehidupan sehari-hari para Pekerja Seks, aktifitas-aktifitas apa yang dilakukan mereka. Teknik wawancara ini digunakan peneliti sebagai sumber data primer.

b. Teknik Observasi

Observasi adalah pengamatan yang dilakukan secara sengaja, sistematis, mengenai fenomena sosial dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan.30 Di sini peneliti secara langsung terjun ke lapangan dengan melakukan pengamatan yang sudah direncanakan terlebih dahulu, kemudian peneliti mencatat apa yang didapat dari hasil pengamatan tersebut. peneliti terjun langsung ke lokasi penelitian, mengamati dan berinteraksi langsung dengan subjek penelitian yang meliputi perempuan pekerja seks, tokoh masyarakat, serta pihak-pihak yang memang diperlukan informasinya

30

P. Joko Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), 63.


(44)

33

Dalam penelitian ini Teknik ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kehidupan para Pekerja Seks Komersial dalam kehidupan sehari-harinya di lingkungan masyarakat, apakah benar para Pekerja Seks tersebut mempunyai standar moralitas yang ada dilingkungan lokalisasi. Teknik ini digunakan peneliti sebagai sumber data skunder. c. Teknik Dokumentasi

Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, ataupun karya-karya monumental dari seseorang.31 Dokumen yang di tujukan disini adalah segala hal yang berkaitan dengan aktifitas-aktifitas moralitas maupun keseharian yang ada di lingkungan lokalisasi yang menjadi subyek penelitian.

6. Teknik Analisis data

Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan dokumentasi, dengan cara mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri sendiri dan orang lain.32

Model analisis data dalam penelitian ini mengikuti konsep yang diberikan Miles and Huberman. Miles and Hubermen mengungkapkan

31

Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan ( Pedekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D), IX (Bandung: Alfabeta, 2009), 329.

32

Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D, IV (Bandung: Alfabeta, 2008), 244.


(45)

34

bahwa aktifitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus pada setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas. Komponen dalam analisis data :

a. Reduksi Data

Data yang diperoleh dari laporan jumlahnya cukup banyak, untuk itu maka perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema dan polanya. Dalam hal-hal ini setelah data didapatkan kemudian peneliti memilih data-data pokok yang peneliti butuhkan, apakah data tersebut sudah sesuai dengan apa yang di harapkan, data-data yang diperoleh tentunya cukup banyak dan banyak juga persamaan antara data yang satu dengan data yang lainnya, kemudian peneliti memilih, merangkum semuanya sehingga data yang didapatkan tadi sudah kredibel.

b. Penyajian Data

Penyajian data penelitian kualitatif bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, dan sejenisnya. Penyajian data yang dilakukan peneliti ini dalam bentuk deskriptif yang berupa uraian-uraian singkat dan menghubungkan antara data-data yang sudah diperoleh dengan teori yang peneliti gunakan dalam penelitian.


(46)

35

c. Verifikasi atau Penyimpulan Data

Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan akan berubah bila ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada tahap berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang dikemukakan pada tahap awal, didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali kelapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.

7. Teknik Pemeriksaan Keabsahan Data

Dalam penelitian kualitatif, instrumen utamanya adalah manusia, karena itu yang diperiksa adalah keabsahan datanya.33 Untuk menguji kredibilitas data penelitian peneliti menggunakan beberapa teknik di antaranya:

a. Triangulasi Data

Triangulasi adalah menjaring data dengan berbagai metode dan cara dengan menyilangkan informasi yang diperoleh agar data yang didapatkan lebih lengkap dan sesuai dengan yang diharapkan. Setelah mendapatkan data yang jenuh yaitu keterangan yang didapatkan dari sumber-sumber data telah sama maka data yang didapatkan lebih kredibel.

Model penelitian triangulasi data yang mengarahkan peneliti dalam mengambil data harus menggunakan beragam sumber data yang

33

Nusa Putra and Ninin Dwilestari, Penelitian Kualitatif; Pendidikan Anak Usia Dini


(47)

36

berbeda-beda. Artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap kebenarannya apabila digali dari beberapa sumber data yang berbeda. Oleh karena itu triangulasi data sering pula disebut sebagai triangulasi sumber.

Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka peneliti menempuh langkah-langkah sebagai berikut:

1) Membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara. 2) Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan

apa yang dikatakan Pekerja Seks secara pribadi.

3) Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

4) Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Jadi setelah penulis melakukan penelitian dengan menggunakan metode wawancara, observasi dan dokumentasi kemudian data hasil dari penelitian itu digabungkan sehingga saling melengkapi antara data satu dengan data yang lainnya.

b. Ketekunan Pengamatan

Teknik ini dikemukakan untuk memahami pola perilaku, situasi, kondisi, dan proses tertentu sebagai pokok penelitian. Hal tersebut berarti peneliti secara mendalam serta tekun dalam mengamati berbagai faktor dan aktivitas tertentu. Ketekunan pengamatan ini bermaksud menemukan cirri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan


(48)

37

dengan persoalan atau isu yang sedang di cari dan kemudian memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci, atau dengan kata lain peneliti hendaknya mengadakan pengamatan dengan teliti dan rinci secara berkesinambungan tehadap faktor -faktor yang menonjol. Sehingga pada tahap pemeriksaan tahap awal tampak salah satu atau faktor yang sudah ditelaah sudah bisa dipahami dengan cara yang biasa.

H. Sistematika Pembahasan

Dalam penelitian tentang Standar Moralitas Pekerja Seks Komersial dilokalisasi Cangkring Desa Kebonagung, Kec. Rengel, Kab. Tuban. Agar penelitian ini dapat mengarah pada tujuan yang diharapkan maka akan disusun sistematika. Sistematika penulisannya terdiri dari empat bab, yang masing-masing membicarakan masalah yang berbeda-beda namun saling memiliki keterkaitan.

Secara rinci pembahasan masing-masing bab tersebut adalah sebagai berikut:

Bab pertama, berisi Pendahuluan yang menggambarkan obyek kajian secara ringkas, yang memuat pembahasan mengenai Latar belakang, Rumusan Masalah, Telaah Pustaka, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Definisi Konseptual, Metode Penelitian dan Sistematika Pembahasan.

Bab kedua, membahas tentang kerangka teori yang akan digunakan sebagai penjelas dari judul penelitian yang akan menjadi cermin dalam penelitian ini. Selain itu, kerangka teori juga akan digunakan sebagai kerangka untuk menganalisis permasalahan dari objek penelitian yang berupa landasan teoritis


(49)

38

yang berhubungan dengan standar moralitas, dalam hal ini peneliti menggunakan Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead.

Bab ketiga, dalam bab ini terdiri dari tiga sub bab yakni yang pertama deskripsi umum obyek penelitian yang terdiri atas gambaran umum Desa Kebonagung dan setting lokalisasi Cangkring, dan sub bab kedua deskripsi hasil penelitian yang didalamnya membahas tentang temuan-temuan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan. Dan sub bab ketiga yaitu merelevansikan hasil temuan dan data yang telah didapat dan mengkonfirmasi temuan dengan teori yang ada.

Bab keempat, dalam bab ini merupakan akhir dari penulisan laporan penelitian yang berisi kesimpulan dan rekomendasi atau saran.


(50)

BAB II

INTERAKSIONISME SIMBOLIK

A. Pikiran, Diri, danMasyarakat

Dalam mengkaji masalah dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teori interaksi simbolik, istilah interaksi simbolik diciptakan oleh Herbert Blumer pada tahun (1962) dan dipopulerkan oleh Blumer juga,34 meskipun sebenarnya Mead-lah yang paling popular sebagai peletak dasar teori tersebut.

Interaksi simbolik didasarkan pada ide-ide tentang individu dan interaksinya dengan masyarakat. Esensi interaksi simbolik adalah suatu aktivitas yang merupakan ciri manusia, yakni komunikasi atau pertukaran simbol yang diberi makna. Perspektif ini menyarankan bahwa perilaku manusia harus dilihat sebagai proses yang memungkinkan manusia membentuk dan mengatur perilaku mereka dengan mempertimbangkan ekspektasi orang lain yang menjadi mitra interaksi mereka. Definisi yang mereka berikan kepada orang lain, situasi, objek dan bahkan diri mereka sendiri yang menentukan perilaku manusia. Dalam konteks ini, makna dikonstruksikan dalam proses interaksi dan proses tersebut bukanlah suatu medium netral yang memungkinkan kekuatan-kekuatan sosial memainkan perannya, melainkan justru merupakan substansi sebenarnya dari organisasi sosial dan kekuatan sosial.35

34

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi (Bandung: Rosda Karya, 2004), 194.

35


(51)

40

Menurut teori interaksi simbolik, kehidupan sosial pada dasarnya adalah interaksi manusia yang menggunakan simbol-simbol, mereka tertarik pada cara manusia menggunakan simbol-simbol yang merepresentasikan apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Dan juga pengaruh yang ditimbulkan dari penafsiran simbol-simbol tersebut terhadap perilaku pihak-pihak yang terlihat dalam interaksi sosial.36

Secara ringkas teori interaksionisme simbolik didasarkan pada premis-premis berikut:37

1. individu merespon suatu situasi simbolik, mereka merespon lingkungan termasuk obyek fisik (benda) dan Obyek sosial (perilaku manusia) berdasarkan media yang dikandung komponen-komponen lingkungan tersebut bagi mereka.

2. makna adalah produk interaksi sosial, karena itu makna tidak melihat pada obyek, melainkan dinegosiasikan melalui penggunaan bahasa, negosiasi itu dimungkinkan karena manusia mampu mewarnai segala sesuatu bukan hanya obyek fisik, tindakan atau peristiwa (bahkan tanpa kehadiran obyek fisik, tindakan atau peristiwa itu ) namun juga gagasan yang abstrak.

3. makna yang interpretasikan individu dapat berubah dari waktu ke waktu, sejalan dengan perubahan situasi yang ditemukan dalam interaksi sosial, perubahan interpretasi dimungkinkan karena individu

36

Artur Asa Berger, Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer, trans. M. Dwi Mariyanto and Sunarto (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004), 14.

37


(52)

41

dapat melakukan proses mental, yakni berkomunikasi dengan dirinya sendiri.

Karya tunggal Mead yang amat penting dalam hal ini terdapat dalam bukunya yang berjudul Mind, Self dan Society. Mead megambil tiga konsep kritis yang diperlukan dan saling mempengaruhi satu sama lain untuk menyusun sebuah teori interaksionisme simbolik. Dengan demikian, pikiran manusia (mind), dan interaksi sosial (diri/self) digunakan untuk menginterpretasikan dan memediasi masyarakat (society).38

a. Pikiran (Mind)

Pikiran, yang didefinisikan Mead sebagai proses percakapan seseorang dengan dirinya sendiri, tidak ditemukan di dalam diri individu, pikiran adalah fenomena sosial. Pikiran muncul dan berkembang dalam proses sosial dan merupakan bagian integral dari proses sosial. Proses sosial mendahului pikiran, proses sosial bukanlah produk dari pikiran. Jadi pikiran juga didefinisikan secara fungsional ketimbang secara substantif. Karakteristik istimewa dari pikiran adalah kemampuan individu untuk memunculkan dalam dirinya sendiri tidak hanya satu respon saja, tetapi juga respon komunitas secara keseluruhan. Itulah yang kita namakan pikiran. Melakukan sesuatu berarti memberi respon terorganisir tertentu, dan bila seseorang mempunyai respon itu dalam dirinya, ia mempunyai apa yang kita sebut pikiran. Dengan demikian pikiran dapat dibedakan

38

Elvinaro Ardianto, Lukiati Komala, and Siti Karlinah, Komunikasi Massa Suatu Pengantar, Revisi (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007), 136.


(53)

42

dari konsep logis lain seperti konsep ingatan dalam karya Mead melalui kemampuannya menanggapi komunitas secara menyeluruh dan mengembangkan tanggapan terorganisir. Mead juga melihat pikiran secara pragmatis. Yakni, pikiran melibatkan proses berpikir yang mengarah pada penyelesaian masalah.39

Menurut Mead manusia mempunyai sejumlah kemungkinan tindakan dalam pemikirannya sebelum ia melakukan tindakan yang sebenarnya. Berfikir menurut Mead adalah suatu proses dimana individu berinteraksi dengan dirinya sendiri dengan mempergunakan simbol-simbol yang bermakna. Melalui proses interaksi dengan diri sendiri itu, individu memilih yang mana diantara stimulus yang tertuju kepadanya itu akan ditanggapinya.40

Simbol juga digunakan dalam (proses) berpikir subyektif, terutama simbol-simbol bahasa. Hanya saja simbol itu tidak dipakai secara nyata, yaitu melalui percakapan internal. Serupa dengan itu, secara tidak kelihatan individu itu menunjuk pada dirinya sendiri mengenai diri atau idenditas yang terkandung dalam reaksi-reaksi orang lain terhadap perilakunya.

39

George Ritzer and Douglas J Goodman, Teori Sosiologi Modern, 6th ed. (Jakarta: Kencana, 2007), 280.

40


(54)

43

Maka, kondisi yang dihasilkan adalah konsep diri yang mencakup kesadaran diri yang dipusatkan pada diri sebagai obyeknya.41

Isyarat sebagai simbol-simbol signifikan tersebut muncul pada individu yang membuat respons dengan penuh makna. Isyarat-isyarat dalam bentuk ini membawa pada suatu tindakan dan respon yang dipahami oleh masyarakat yang telah ada. Melalui simbol-simbol itulah maka akan terjadi pemikiran. Esensi pemikiran dikonstruk dari pengalaman isyarat makna yang terinternalisasi dari proses eksternalisasi sebagai bentuk hasil interaksi dengan orang lain. Oleh karena perbincangan isyarat memiliki makna, maka stimulus dan respons memiliki kesamaan untuk semua partisipan.42

Makna itu dilahirkan dari proses sosial dan hasil dari proses interaksi dengan dirinya sendiri. Menurut Mead terdapat empat tahapan tindakan yang saling berhubungan yang merupakan satu kesatuan dialektis. Keempat hal elementer inilah yang membedakan manusia dengan binatang yang meliputi impuls, persepsi, manipulasi dan konsumsi. Pertama, impuls, merupakan dorongan hati yang meliputi rangsangan spontan yang berhubungan dengan alat indera dan reaksi aktor terhadap stimulasi yang diterima. Tahap yang kedua adalah persepsi, tahapan ini terjadi ketika aktor sosial mengadakan

41

Ida Bagus Wirawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, & Perilaku Sosial) (Jakarta: Kencana, 2014), 124.

42

Ambo Upe, Tradisi Aliran Dalam Sosiologi Dari Filosofi Positivistik Ke Post Positivistik


(55)

44

penyelidikan dan bereaksi terhadap rangsangan yang berhubungan dengan impuls. Ketiga, manipulasi, merupakan tahapan penentuan tindakan berkenaan dengan obyek itu, tahap ini merupakan tahap yang penting dalam proses tindakan agar reaksi terjadi tidak secara spontanitas. Disinilah perbedaan mendasar antara manusia dengan binatang, karena manusia memiliki peralatan yang dapat memanipulasi onyek, setelah melewati ketiga tahapan tersebut maka tibalah aktor mengambil tindakan, tahapan yang keempat disebut dengan tahap konsumsi.

b. Diri (Self)

Banyak pemikiran Mead pada umumnya, dan khususnya tentang pikiran, melibatkan gagasannya mengenai konsep diri. Pada dasarnya diri adalah kemampuan untuk menerima diri sendiri sebagai sebuah objek. Diri adalah kemampuan khusus untuk menjadi subjek maupun objek. Diri mensyaratkan proses sosial yakni komunikasi antar manusia. Diri muncul dan berkembang melalui aktivitas dan antara hubungan sosial. Menurut Mead adalah mustahil membayangkan diri yang muncul dalam ketiadaan pengalaman sosial. Tetapi, segera setelah diri berkembang, ada kemungkinan baginya untuk terus ada tanpa kontak sosial.


(56)

45

Dalam upaya memahami konsep diri ini di luar formulasi Mead aslinya, pertama-tama kita harus memahami pemikiran tentang cermin diri yang dikembangkan oleh Charles H. Cooley. Cooley mendefinisikan konsep cermin diri (looking glass self) sebagai :

Imajinasi yang agak defenitif mengenai bagaimana diri seseorang yakni, gagasan yang ia sediakan yang muncul dalam pikiran tertentu dan semacam perasaan diri seseorang yang ditentukan oleh sikap terhadap hubungan pikiran dan perasaan dengan pikiran orang lain. Jadi, dalam imajinasi, kita merasakan dalam pikiran orang lain beberapa pemikiran tentang penampilan kita, sikap kita, tujuan kita, perbuatan kita, karakter kita, teman-teman kita, dan lain-lain, dan berbagai hal yang dipengaruhi olehnya. 43

Menurut Charles Horton Cooley, kita melakukannya dengan membayangkan diri kita sebagai orang lain, dalam benak kita. Cooley menyebut gejala ini looking glass self ( cermin diri), seakan-akan kita menaruh cermin di depan kita. Pertama, kita membayangkan bagaimana kita tampak pada orang lain, kita melihat sekilas diri kita seperti dalam cermin. Misalnya, kita merasa wajah kita jelek. Kedua, kita membayangkan bagaimana orang lain menilai penampilan kita. Kita pikir mereka menganggap kita tidak menarik. Ketiga, kita mengalami perasaan bangga atau kecewa, orang mungkin merasa sedih atau malu.

Konsep cermin diri Cooley dan konsep diri Mead sangat berpengaruh terhadap pengembangan konsep diri teoritis interaksionisme simbolik modern. Blumer mendefinisikan diri dalam

43


(57)

46

pengertian yang sangat sederhana: “ apa saja yang diketahui orang

lain”. Itu berarti bahwa hanya manusia yang dapat menjadikan

tindakannya sendiri sebagai objek. Ia bertindak terhadap dirinya sendiri dan membimbing dirinya sendiri dalam tindakannya terhadap orang lain atas dasar pemikiran dia menjadi objek bagi dirinya sendiri. Mead menyebutkan, bahwa seseorang itu dalam membentuk konsep dirinya dengan jalan mengambil persektif orang lain dan melihat dirinya sendiri sebagai obyek. Untuk itu ia melewati tiga tahap. Pertama, fase bermain (play stage) dimana individu itu

„memainkan‟ peran sosial dari orang lain. Kedua, fase pertandingan yang terjadi setelah pengalaman sosial individu tadi berkembang, individu tidak hanya mengerti perannya, tetapi juga memahami peran orang lain dalam kelompokya. Ketiga, generalized other, yakni individu mampu berperan sesuai dengan harapan-harapan, kebiasaan-kebiasaan, dan nilai-nilai umum dalam masyarakat.44

Diri adalah sebuah proses, bukan benda. Blumer menjelaskan, diri membantu manusia bertindak tak hanya sekedar memberikan tanggapan semata atas stimuli dari luar. Proses penafsiran terdiri dari dua langkah berbeda. Pertama, aktor menunjukkan ke dirinya sendiri sesuatu yang akan ia lakukan. Ia menunjukkan kepada dirinya sendiri sesuatu yang telah mempunyai arti. Interaksi dengan diri sendiri ini adalah sesuatu yang lain dari elemen-elemen psikologis saling

44


(58)

47

mempengaruhi. Ini adalah sebuah contoh keterlibatan seseorang dalam proses komunikasi dengan dirinya sendiri. Kedua, berdasarkan proses komunikasi dengan diri sendiri ini, penafsiran menjadi persoalan pengelolaan makna. Aktor memilih, memeriksa, menunda, mengelompokkan ulang dan mengubah arti dilihat dari situasi di mana ia ditempatkan dan arah tindakannya.

Mekanisme umum untuk mengembangkan diri adalah refleksivitas atau kemampuan menempatkan diri secara tak sadar ke dalam tempat orang lain dan bertindak seperti mereka bertindak. Akibatnya, orang mampu memeriksa diri sendiri sebagaimana orang lain memeriksa diri mereka sendiri. Seperti dikatakan Mead :

Dengan cara merefleksikan, dengan mengembalikan pengalaman individu pada dirinya sendiri keseluruhan proses sosial menghasilkan pengalaman individu yang terlibat di dalamnya; dengan cara demikian, individu bisa menerima sikap orang lain terhadap dirinya, individu secara sadar mampu menyesuaikan dirinya sendiri terhadap proses sosial dan mampu mengubah proses yang dihasilkan dalam tindakan sosial tertentu dilihat dari sudut penyesuaian dirinya terhadap tindakan sosial itu.45

Untuk mempunyai diri, individu harus mampu mencapai

keadaan “di luar dirinya sendiri” sehingga mampu mengevaluasi diri

sendiri, mampu menjadi objek bagi dirinya sendiri. Untuk berbuat demikian, individu pada dasarnya harus menempatkan dirinya sendiri dalam bidang pengalaman yang sama dengan orang lain. Tiap orang adalah bagian penting dari situasi yang dialami bersama dan tiap

45


(59)

48

orang harus memperhatikan diri sendiri agar mampu bertindak rasional dalam situasi tertentu. Dalam bertindak rasional ini mereka mencoba memeriksa diri sendiri secara impersonal, objektif, dan tanpa emosi.

Tetapi, orang tidak dapat mengalami diri sendiri secara langsung. Mereka hanya dapat melakukannya secara tak langsung melalui penempatan diri mereka sendiri dari sudut pandang orang lain itu. Dari sudut pandang demikian orang memandang dirinya sendiri dapat menjadi individu khusus atau menjadi kelompok sosial sebagai satu kesatuan. Seperti dikatakan Mead, hanya dengan mengambil peran orang lainlah kita mampu kembali ke diri kita sendiri.

c. Masyarakat (Society)

Pada tingkat paling umum, Mead menggunakan istilah masyarakat (society) yang berarti proses sosial tanpa henti yang mendahului pikiran dan diri. Masyarakat penting perannya dalam membentuk pikiran dan diri. Di tingkat lain, menurut Mead, masyarakat mencerminkan sekumpulan tanggapan terorganisir yang

diambil alih oleh individu dalam bentuk “aku” (me). Menurut pengertian individual ini masyarakat mempengaruhi mereka, memberi mereka kemampuan melalui kritik diri, untuk mengendalikan diri mereka sendiri. Sumbangan terpenting Mead tentang masyarakat, terletak dalam pemikirannya mengenai pikiran dan diri.


(60)

49

Pada tingkat kemasyarakatan yang lebih khusus, Mead mempunyai sejumlah pemikiran tentang pranata sosial (social

institutions). Secara luas, Mead mendefinisikan pranata sebagai

“tanggapan bersama dalam komunitas” atau “kebiasaan hidup komunitas”. Secara lebih khusus, ia mengatakan bahwa, keseluruhan

tindakan komunitas tertuju pada individu berdasarkan keadaan tertentu menurut cara yang sama, berdasarkan keadaan itu pula, terdapat respon yang sama dipihak komunitas. Proses ini disebut

“pembentukan pranata”.

Pendidikan adalah proses internalisasi kebiasaan bersama komunitas ke dalam diri aktor. Pendidikan adalah proses yang esensial karena menurut pandangan Mead, aktor tidak mempunyai diri dan belum menjadi anggota komunitas sesungguhnya sehingga mereka tidak mampu menanggapi diri mereka sendiri seperti yang dilakukan komunitas yang lebih luas. Untuk berbuat demikian, aktor harus menginternalisasikan sikap bersama komunitas.

Namun, Mead dengan hati-hati mengemukakan bahwa pranata tak selalu menghancurkan individualitas atau melumpuhkan

kreativitas. Mead mengakui adanya pranata sosial yang “menindas, stereotip, ultrakonservatif” yakni, yang dengan kekakuan,

ketidaklenturan, dan ketidakprogesifannya menghancurkan atau melenyapkan individualitas. Menurut Mead, pranata sosial seharusnya hanya menetapkan apa yang sebaiknya dilakukan individu dalam


(1)

88

Konsep diri yang diterapkan oleh Pekerja Seks dapat berbeda tergantung dari situasi dan kondisi dimana mereka berada. Misalnya ketika mereka berada di lingkungan masyarakat mereka menempatkan diri sebagai obyek dengan mengikuti aturan yang ada didalam masyarakat, meskipun pada dasarnya norma tersebut tidak sesuai dengan kebiasaannya. Misalnya masyarakat mengharuskan atau memiliki pandangan setiap orang yang ada dilingkungannya harus berpakaian yang sopan, berbicara, bersikap sesuai dengan apa yang diinginkan masyarakat atau yang sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakat tersebut. Hal ini berbeda ketika mereka berada di lingkungan kerjanya, dia harus mengikuti apa yang di inginkan oleh pelanggannya. Setiap pelanggan yang berkunjung dilokalisasi pasti memiliki pikiran-pikiran bahwa Pekerja Seks yang ada dilokalisasi berpakaian seksi, cara bicara yang genit, tidak malu untuk merayu pelanggan.

Cara berpakaian para Pekerja Seks ketika berada di lingkungan masyarakat sekitar, sebagai bentuk penyelesaian masalah agar masyarakat sekitar dapat menerima mereka, para Pekerja Seks tersebut turut serta menyesuaikan dengan situasi dan kondisi dimana mereka berada, ketika mereka berada di lingkungan masyarakat sekitar mereka berpakaian yang sopan, namun ketika mereka kembali menjalankan pekerjaanya mereka berpakaian yang diharapkan oleh tamunya agar bisa menarik tamu dari penampilan mereka.


(2)

89

B. Saran

Keberadaan kompleks lokalisasi Cangkring merupakan salah satu tantangan yang harus diselesaikan Dari sini bisa dimulai dengan membangun kesadaran masyarakat bahwa apapun nilai orang tentang PSK, mereka tetaplah seorang manusia yang mempunyai kecenderungan berbuat baik dan buruk, mereka juga adalah hamba Allah seperti kita yang merindukan kasih sayang sesama, mereka punya cinta yang akan tersenyum bila kita memberikan sedikit tawa, mereka juga butuh daya untuk membangkitkan harapan hidupnya. Dan sebaliknya mereka akan merasa kecewa bila kita menjauhinya, mereka akan merasa tak berharga jika kita tak menghiraukannya.

Selain itu juga masyarakat harus membangun kesadaran PSK bahwa apa yang mereka lakukan adalah bertentangan dengan tuntutan ajaran agama Islam, penulis berharap ada pemuka agama yang dapat berdakwah di kompleks lokalisasi agar dapat membangun kesadaran diri PSK yang ada di kompleks lokalisasi Cangkring meskipun namun itu merupakan tantangan yang besar bagi para pemuka agama yang harus membekali diri dengan keimanan yang mantap melihat dakwah yang harus dilakukan pemuka agama tersebut berada di kompleks lokalisasi yang didalamnya terdapat perempuan-perempuan yang dapat menggoda setiap individu.

Penulis sangat bersyukur kehadirat Allah SWT atas pertolongannya semata, skripsi yang sederhana ini dapat diselesaikan dengan tuntas dengan segala kelebihan dan kekurangannya, mana segala yang benar itu semua dari


(3)

90

Allah SWT. Sedangkan semua yang salah adalah berangkat dari penulis semata. Untuk itu diaharapkan kritikan dan saran yang bertujuan untuk membangun dalam perbaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta para penerus risalahnya.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Zainudin. Tinjauan Soosiologi Hukum Terhadap Kehidupan Prostitusi Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2008.

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala, and Siti Karlinah. Komunikasi Massa Suatu Pengantar. Revisi. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2007.

Arikunto, and Suharsimi. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2006.

Asa Berger, Artur. Tanda-Tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer. Translated by M. Dwi Mariyanto and Sunarto. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2004.

Bagus, Lorens. Kamus Filsafat. Jakarta: Gramedia, 2002. Bartens, K. Etika. Jakarta: Pustaka Utama, 1994.

Budiyono, Alif. “Meningkatkan Moralitas Remaja Melalui Dukungan Sosial,” 4, 2 (2010).

C. Solomon, Robert. Etika Suatu Pengantar. Translated by R. Andre Karo-karo. Jakarta: Erlangga, 1987.

Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Qur'an dan Terjemahnya. Surabaya: Karya Agung, 2006.

Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.

Durkehim, Emile. Sosiologi Dan Filsafat. Translated by Soerdjono Didjosisworo. Jakarta: Erlangga, 1991.

Haryanto, Sindung. SpektrumTeori Sosial Dari Klasik Hingga Postmodern. 1st ed. Yogyakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2012.

Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta: Kanisius, 2000.

Hull, and Sulistyaningsih. Pelacuran Di Indonesia: Sejarah Dan Perkembangan. Jakarta: Erlangga, 1997.


(5)

J. Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001.

Kartono, Kartini. Patologi Sosial. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005.

“Moralitas Pejabat Dan Kehancuran Bangsa - Serambi Indonesia.” akses data 17 Desember 2014. http://aceh.tribunnews.com/2013/12/16/moralitas-pejabat-dan-kehancuran-bangsa.

Muhni, Djurenta A. Imam. Moral Dan Religi Menurut Emile Durkheim Dan Henry Bergson. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

Mulyana, Dedi. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosdakarya, 2002. Patilimia, Hamid. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Alfabeta, 2007.

Pudjawiyatna. Etika Filsafat Tingkah Laku. Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

purnomo, Tjohjo. In Dolly, Membedah Dunia Pelacuran Surabaya, Kasus Kompleks Pelacuran Dolly, by Ashadi Siregar. Jakarta: Grafiti Pers, 1983. Putra, Nusa, and Ninin Dwilestari. Penelitian Kualitatif; Pendidikan Anak Usia

Dini. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2012.

Rachels, James. Filsafat Moral. Yogyakarta: Kanisius, 2004.

Rakhmat, Jalaludin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Rosda Karya, 2007.

Ritzer, George. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: CV. Rajawali, 2011.

———. Teori Sosial Postmodern. Translated by Muhammad Taufiq. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2003.

Ritzer, George, and Douglas J Goodman. Teori Sosiologi Modern. 6th ed. Jakarta: Kencana, 2007.

Sedyaningsih. Perempuan Perempuan Keramat Tunggak. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999.


(6)

Subagyo, P. Joko. Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Sugiyono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D. IV. Bandung: Alfabeta, 2008.

———. Metode Penelitian Pendidikan ( Pedekatan Kuantitatif, Kualitatif Dan R&D). IX. Bandung: Alfabeta, 2009.

Syam, Nur. Agama Pelacur Dramaturgi Transendental. Surabaya: LKIS, 2010. Tjahjadi, Lili. Hukum Moral (Ajaran Immanuel Kant Tentang Etika Dan Imperatif

Kategoris). Yogyakarja: Kanisius, 1991.

Upe, Ambo. Tradisi Aliran Dalam Sosiologi Dari Filosofi Positivistik Ke Post Positivistik. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2010.

Wirawan, Ida Bagus. Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma (Fakta Sosial, Definisi Sosial, & Perilaku Sosial). Jakarta: Kencana, 2014.