Hubungan Sosiodemografi, Pengetahuan, dan Sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan Upaya Pencegahan HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau

(1)

HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI, PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS

DI KECAMATAN BANGKO KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU

TESIS

Oleh MARDIANA 107032081/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N


(2)

THE CORRELATION OF SOCIODEMOGRAPHY, KNOWLEDGE, AND ATTITUDE OF PROSTITUTES WITH THE ATTEMPT TO PREVENT

HIV/AIDS AT BANGKO SUBDISTRICT, ROKAN HILIR DISTRICT, RIAU PROVINCE

THESIS

By

MARDIANA 107032081/IKM

MAGISTER OF PUBLIC HEALTH STUDY PROGRAM FACULTY OF PUBLIC HEALTH

UNIVERSITY OF SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI, PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS

DI KECAMATAN BANGKO KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

MARDIANA 107032081/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(4)

Judul Tesis : HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI,

PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DENGAN UPAYA

PENCEGAHAN HIV/AIDS DI KECAMATAN BANGKO KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU

Nama Mahasiswa : Mardiana Nomor Induk Mahasiswa : 107032081

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Ketua

) (drh. Rasmaliah, M.Kes Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)


(5)

Telah Diuji

Pada Tanggal : 31 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1.drh. Rasmaliah, M.Kes

2.Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H 3.drh. Hiswani, M.Kes


(6)

PERNYATAAN

HUBUNGAN SOSIODEMOGRAFI, PENGETAHUAN, DAN SIKAP PEKERJA SEKS KOMERSIAL (PSK) DENGAN UPAYA PENCEGAHAN HIV/AIDS

DI KECAMATAN BANGKO KABUPATEN ROKAN HILIR PROPINSI RIAU

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Agustus 2012

Mardiana 107032081/IKM


(7)

ABSTRAK

Menurut Profil Dinas Kesehatan Propinsi Riau (2011), Kecamatan Bangko merupakan kecamatan yang paling banyak kasus AIDS, yaitu sebanyak 9 (23,7%) dari 39 kasus. Lokasi Prostitusi di Kecamatan Bangko merupakan salah satu lokasi yang terbesar di Kabupaten Rokan Hilir, dimana banyak mempekerjakan pekerja seks komersial yang jumlahnya setiap tahun terus meningkat. Tahun 2010 terdapat 98 orang PSK dan pada akhir Desember 2011 jumlah tersebut meningkat menjadi 108 PSK.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap pekerja seks komersial (PSK) dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau. Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan desain sekat silang. Sampel adalah seluruh pekerja seks komersial di Kabupaten Rokan Hilir berjumlah 104 orang. Teknik Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung menggunakan kuesioner kepada responden. Data yang sudah dikumpulkan dianalisis dengan uji regresi logistik pada α=0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Faktor sosiodemografi, yaitu: umur (p-value=0.470), pendidikan (p-value = 0.561), dan lama kerja (p-value = 0.225) tidak berhubungan secara signifikan dengan upaya pencegahan HIV/AIDS. Pengetahuan berhubungan secara signifikan dengan upaya pencegahan HIV/AIDS, dengan p-value=0.002. Sikap berhubungan secara signifikan dengan upaya pencegahan HIV/AIDS, dengan p-value=0.001.

Disarankan bagi petugas kesehatan agar meningkatan kinerja dalam hal komunikasi, informasi dan edukasi tentang cara pencegahan HIV/AIDS agar dapat memberikan penyuluhan dan pendekatan kepada pekerja seks komersial yang lebih efektif.


(8)

ABSTRACT

According to the Riau Provincial Health Profile (2011), Bangko district is the district most cases of AIDS, as many as nine (23.7%) of 39 cases. Bangko localization in the District is one of the largest localization Rokan Hilir, which employs many commercial sex workers whose numbers increase every year. In 2010 there were 98 people PSK and at the end of December 2011 that number increased to 108 prostitutes. The purpose of this study to determine the relationship sociodemographic, knowledge, and attitudes of commercial sex workers in the prevention of HIV / AIDS in Sub Bangko Rokan Hilir Riau Province. This study is a survey research using cross bulkhead design. Samples are all commercial sex workers in Rokan Hilir numbered 104 people. Engineering data was collected by direct interview using a questionnaire to the respondent. The gathered data were analyzed by logistic regression test at α = 0.05.

The results showed that sociodemographic factors, namely: age (p-value = 0470), education (p-value = 0561), and length of employment (p-value = 0225) did not significantly associated with prevention of HIV / AIDS. Knowledge in touch significantly to the prevention of HIV / AIDS, with a p-value = 0002. Attitudes are significantly associated with the prevention of HIV / AIDS, with a p-value = 0.001.

Recommended for health workers to improve performance in terms of communication, information and education about preventing HIV / AIDS in order to provide counseling and approach to commercial sex workers are more effective.


(9)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT dengan izin-Nya pula penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Hubungan Sosiodemografi, Pengetahuan, dan Sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan Upaya Pencegahan HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau”.

Tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan tesis ini, penulis mendapat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc (CTM), Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.


(10)

4. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M selaku Ketua Komisi Pembimbing dan drh. Rasmaliah, M.Kes selaku Anggota Komisi Pembimbing yang dengan penuh perhatian dan kesabaran membimbing, mengarahkan dan meluangkan waktu untuk membimbing penulis mulai dari proposal hingga penulisan tesis selesai.

5. Prof. dr. Sorimuda Sarumpaet, M.P.H dan drh. Hiswani, M.Kes sebagai komisi penguji atau pembanding yang telah banyak memberikan arahan dan masukan demi kesempurnaan penulisan tesis ini.

6. Seluruh dosen dan staf di lingkungan Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan.

7. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir, dr. H.M. Junaidi Saleh, M.Kes yang telah berkenan memberikan izin penulis melakukan penelitian di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir.

8. Teristimewa buat suamiku Julbrein Oktavianus Simarmata, S.T., dan buah hati tersayang Deny Mardianto, Ridho Ramidianto, dan Alfrein Dumovland Simarmata, yang penuh pengertian dan kesabaran, dan senantiasa berdoa’a sehingga memotivasi penulis selama mengikuti pendidikan.

9. Terima kasih yang tak terhingga juga penulis hadiahkan buat kedua orang tua tercinta dan mertua serta seluruh keluarga atas doa dan dukungannya.


(11)

10.Rekan-rekan seperjuangan Mahasiswa Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Peminatan Epidemiologi 2010 (Arif, Apni, kk Dahlia, kk Ety, Linda, Cinta, Heni, Sri, Sutri, Rinda, kk Syarifah, kk Santi ) yang telah membantu penulis selama pendidikan dan proses penyusunan tesis serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis selama penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari atas segala keterbatasan dan kekurangan pada penulisan tesis ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi semua pihak.

Medan, September 2012 Penulis

Mardiana 107032081/IKM


(12)

RIWAYAT HIDUP

Mardiana dilahirkan pada tanggal 20 Juni 1973 di Bagansiapiapi. Anak kedua dari 7 (tujuh) bersaudara, dari pasangan ayahanda Anwar dan ibunda Maisarah. Menikah dengan Julbrein Oktavianus Simarmata, S.T, pada tahun 2007, dan karuniai 3 (tiga) anak, yaitu Deny Mardianto, Ridho Ramidianto, dan Alfrein Dumovland Simarmata.

Pendidikan dimulai dari Sekolah Dasar tahun 1980-1986 di SD Negeri 025 Pekanbaru, tahun 1986-1989 di SMPN 06 Pekanbaru, tahun 1989-1992 pendidikan di SPK Depkes Pekanbaru, tahun 2003-2007 pendidikan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara-Medan, dan tahun 2010 - sekarang pendidikan tugas belajar di Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat USU.

Sejak tahun 1993-sekarang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) di RSUD Dr. RM. Pratomo Bagansiapiapi Kabupaten Rokan Hilir.


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI... vii

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Permasalahan ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. HIV/AIDS ... 9

2.1.1. Definisi HIV ... 9

2.1.1. Definisi AIDS ... 9

2.2. Etiologi dan Patogenesis ... 10

2.3. Epidemiologi HIV/AIDS ... 12

2.3.1. Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS ... 12

2.3.2. Determinan HIV/AIDS ... 15

2.4. Transmisi HIV/AIDS ... 17

2.4.1. Transmisi Seksual ... 18

2.4.2. Transmisi Non Seksual ... 19

2.5. Pencegahan HIV/AIDS ... 20

2.5.1. Pencegahan Primer ... 20

2.5.2. Pencegahan Sekunder ... 21

2.5.3. Pencegahan Tersier ... 22

2.6. Perilaku ... 24

2.6.1. Definisi ... 24

2.6.2. Model Perilaku ... 24

2.6.3. Domain Perilaku ... 31

2.7. Landasan Teori ... 37


(14)

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 38

3.1. Jenis Penelitian ... 38

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 38

3.3. Populasi dan Sampel ... 38

3.3.1. Populasi ... 38

3.3.2. Sampel... 38

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 39

3.4.1. Alat Pengumpul Data ... 39

3.4.2. Uji Validitas dan Reliabilitas ... 39

3.5. Definisi Operasional ... . 41

3.6. Metode Pengukuran. ... 41

3.7. Metode Analisis Data ... 44

3.7.1. Analisis Univariat ... 44

3.7.2. Analisis Bivariat ... 44

3.7.3. Analisis Multivariat ... 44

BAB 4 HASIL PENELITIAN 4.1. Gambaran Umum Lokalisasi di Kecamatan Bangko ... 45

4.2. Analisis Univariat ... 46

4.2.1. Umur ... 46

4.2.2. Pendidikan ... 46

4.2.3. Lama Kerja ... 47

4.2.4. Pengetahuan ... 47

4.2.5. Sikap ... 48

4.2.6. Upaya Pencegahan ... 49

4.3. Analisis Bivariat ... 49

4.3.1. Upaya Pencegahan HIV/AIDS Berdasarkan Umur Responden ... 49

4.3.2. Upaya Pencegahan HIV/AIDS Berdasarkan Pendidikan Responden ... 50

4.3.3. Upaya Pencegahan HIV/AIDS Berdasarkan Lama Kerja Responden ... 51

4.3.4. Upaya Pencegahan HIV/AIDS Berdasarkan Pengetahuan Responden ... 51

4.3.5. Upaya Pencegahan HIV/AIDS Berdasarkan Sikap Responden ... 52

4.4. Analisis Multivariat ... 53

BAB 5 PEMBAHASAN 5.1. Hubungan Sosiodemografi dengan Upaya Pencegahan HIV/AIDS . 55 5.1.1. Hubungan Umur dengan Upaya Pencegahan HIV/AIDS ... 55


(15)

5.1.2. Hubungan Pendidikan dengan Upaya Pencegahan

HIV/AIDS ... 56

5.1.3. Hubungan Lama Kerja dengan Upaya Pencegahan HIV/AIDS ... 57

5.2. Hubungan Pengetahuan dengan Upaya Pencegahan HIV/AIDS ... 58

5.3. Hubungan Sikap dengan Upaya Pencegahan HIV/AIDS ... 60

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan ... 62

6.2. Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 65


(16)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau ... 46 Tabel 4.2. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan di Kecamatan

Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau ... 47 Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan Lama Kerja di Kecamatan

Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau ... 47 Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan tentang Cara

Pencegahan HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau ... 48 Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Kategori Sikap tentang

HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau ... 48 Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Upaya Pencegahan HIV-AIDS

di di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau ... 49 Tabel 4.7. Tabulasi Silang Antara Upaya Pencegahan HIV/AIDS dengan

Sosiodemografi Berdasarkan Umur Responden di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau ... 49 Tabel 4.8. Tabulasi Silang Antara Upaya Pencegahan HIV/AIDS dengan

Sosiodemografi Berdasarkan Pendidikan Responden di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau ... 50 Tabel 4.9. Tabulasi Silang Antara Upaya Pencegahan HIV/AIDS dengan

Sosiodemografi Berdasarkan Lama Kerja Responden di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau ... 51 Tabel 4.10. Tabulasi Silang Antara Upaya Pencegahan HIV/AIDS dengan

Pengetahuan Responden di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau ... 51 Tabel 4.11. Tabulasi Silang Antara Upaya Pencegahan HIV/AIDS dengan

Sikap Responden di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau ... 52


(17)

Tabel 4.14. Hubungan Faktor Sosiodemografi, Pengetahuan, dan Sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) Dengan Upaya Pencegahan Penularan HIV/AIDS ... 53


(18)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Gambar Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku ... 31 2.2. Bagan Kerangka konsep Penelitian ... 37


(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1 Kuesioner Penelitian ... 68

2 Rincian Jawaban Kuisioner Berdasarkan Pengetahuan ………...…… ... 73

3 Rincian Jawaban Kuisioner Berdasarkan Sikap……… .... 76

4 Master Data ... 78

5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 81

6 Tabel Frekuensi Variabel Kategorisasi ... 84

7 Hasil Uji Statistik Bivariat ... 86

8 Regresi Logistik ... 92

9 Surat Permohonan Izin Penelitian ... 100


(20)

ABSTRAK

Menurut Profil Dinas Kesehatan Propinsi Riau (2011), Kecamatan Bangko merupakan kecamatan yang paling banyak kasus AIDS, yaitu sebanyak 9 (23,7%) dari 39 kasus. Lokasi Prostitusi di Kecamatan Bangko merupakan salah satu lokasi yang terbesar di Kabupaten Rokan Hilir, dimana banyak mempekerjakan pekerja seks komersial yang jumlahnya setiap tahun terus meningkat. Tahun 2010 terdapat 98 orang PSK dan pada akhir Desember 2011 jumlah tersebut meningkat menjadi 108 PSK.

Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap pekerja seks komersial (PSK) dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau. Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan desain sekat silang. Sampel adalah seluruh pekerja seks komersial di Kabupaten Rokan Hilir berjumlah 104 orang. Teknik Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara langsung menggunakan kuesioner kepada responden. Data yang sudah dikumpulkan dianalisis dengan uji regresi logistik pada α=0.05.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Faktor sosiodemografi, yaitu: umur (p-value=0.470), pendidikan (p-value = 0.561), dan lama kerja (p-value = 0.225) tidak berhubungan secara signifikan dengan upaya pencegahan HIV/AIDS. Pengetahuan berhubungan secara signifikan dengan upaya pencegahan HIV/AIDS, dengan p-value=0.002. Sikap berhubungan secara signifikan dengan upaya pencegahan HIV/AIDS, dengan p-value=0.001.

Disarankan bagi petugas kesehatan agar meningkatan kinerja dalam hal komunikasi, informasi dan edukasi tentang cara pencegahan HIV/AIDS agar dapat memberikan penyuluhan dan pendekatan kepada pekerja seks komersial yang lebih efektif.


(21)

ABSTRACT

According to the Riau Provincial Health Profile (2011), Bangko district is the district most cases of AIDS, as many as nine (23.7%) of 39 cases. Bangko localization in the District is one of the largest localization Rokan Hilir, which employs many commercial sex workers whose numbers increase every year. In 2010 there were 98 people PSK and at the end of December 2011 that number increased to 108 prostitutes. The purpose of this study to determine the relationship sociodemographic, knowledge, and attitudes of commercial sex workers in the prevention of HIV / AIDS in Sub Bangko Rokan Hilir Riau Province. This study is a survey research using cross bulkhead design. Samples are all commercial sex workers in Rokan Hilir numbered 104 people. Engineering data was collected by direct interview using a questionnaire to the respondent. The gathered data were analyzed by logistic regression test at α = 0.05.

The results showed that sociodemographic factors, namely: age (p-value = 0470), education (p-value = 0561), and length of employment (p-value = 0225) did not significantly associated with prevention of HIV / AIDS. Knowledge in touch significantly to the prevention of HIV / AIDS, with a p-value = 0002. Attitudes are significantly associated with the prevention of HIV / AIDS, with a p-value = 0.001.

Recommended for health workers to improve performance in terms of communication, information and education about preventing HIV / AIDS in order to provide counseling and approach to commercial sex workers are more effective.


(22)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit menular masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat di Indonesia dan masih sering timbul sebagai kejadian luar biasa (KLB) yang menyebabkan kematian penderitanya. Departemen Kesehatan RI telah menyusun prioritas sasaran penanggulangan penyakit menular pada Rencana Program Jangka Menengah (RPJM) tahun 2009-2014. Penyakit yang menjadi prioritas tersebut diantaranya adalah penyakit menular tertentu yang menjadi isu global seperti Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I), Malaria, Kusta, Acquired Immuno Deficiency Syndrome (AIDS) dan Filariasis.AIDS merupakan salah satu permasalahan kesehatan yang memerlukan penanganan serius. Penyebab penyakit ini adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus penurun kekebalan tubuh pada manusia yang menyebabkan tubuh mencapai masa AIDS. AIDS merupakan penyakit yang telah meluas hingga menjadi masalah internasional. Pertambahan kasus dan penyebaran yang cepat serta belum ditemukannya obat dan vaksin yang efektif terhadap AIDS telah menimbulkan keresahan dan keprihatinan di seluruh dunia akan perkembangan penyakit ini (Bappenas, 2009).

Menurut laporan tahunan terbaru badan PBB, UNAIDS (AIDS epidemic update 2009), jumlah kasus infeksi baru HIV/AIDS di dunia dalam delapan tahun terakhir mengalami penurunan hingga 17%, Sub Sahara Afrika 15%, Asia Timur 25% dan Asia


(23)

Tenggara 10%. Hal ini menyatakan bahwa program-program pencegahan HIV yang gencar digalakkan oleh World Health Organization (WHO) dan UNAIDS telah berdampak signifikan. Walaupun mengalami penurunan, jumlah penderita HIV/AIDS di Sub Sahara Afrika dan negara berkembang tetap tinggi.

Asia merupakan wilayah dengan penduduk terinfeksi HIV terbesar kedua di dunia setelah Sub-Sahara Afrika. Berdasarkan data UNAIDS (2008), di Asia terdapat 4,7 juta orang terinfeksi HIV, dengan CFR 7,02%. Jumlah kasus baru 350.000 orang (7,44%) dengan 21.000 orang (6%) diantaranya adalah anak-anak.

Berdasarkan data SEARO (South East Asia Regional Office) tahun 2009, India, Indonesia, Myanmar, Nepal dan Thailand merupakan negara dengan penyebaran HIV/AIDS terbesar. Diperkirakan 2,3 juta penduduk di India menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa 0,34%. Di Myanmar diperkirakan 242.000 orang telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,67%, dan 70.000 orang penduduk Nepal diperkirakan telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,5%. Di Thailand, diperkirakan 547.000 orang telah menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 1,4%.

Di Indonesia berdasarkan data SEARO (2009), diperkirakan 270.000 orang menderita HIV/AIDS dengan prevalensi pada orang dewasa sebesar 0,17% dan 28% diantaranya adalah perempuan. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui penggunaan narkoba suntikan atau IDU sebesar 40%, Wanita Pekerja Seks (WPS) 22%, pelanggan wanita pekerja seksual 16%, Lelaki Seks Lelaki (LSL) 4%, wanita dengan pasangan


(24)

berisiko tinggi 17%, dan Narapidana serta anak-anak jalanan 1%. Secara keseluruhan, estimasi jumlah penderita HIV/AIDS di kawasan SEARO tahun 2009 mengalami penurunan namun epidemik HIV/AIDS di Indonesia mengalami peningkatan dengan cepat. Indonesia merupakan negara dengan peningkatan kasus HIV/AIDS tercepat di Asia.

Berdasarkan Laporan Surveilans AIDS Kemenkes RI bulan April sampai dengan Juni 2011, diketahui 2.001 kasus AIDS, dengan proporsi pada laki-laki sebesar 64,9% (1.298 kasus) dan perempuan sebesar 54,2% (703 kasus). Menurut data Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP & PL) Departemen Kesehatan RI tahun 2011, jumlah kumulatif kasus AIDS sejak pertama kali ditemukan tahun 1987 meningkat menjadi 29.879 kasus dengan total kematian 5.430 orang (CFR 18,17%). Prevalensi kasus AIDS nasional pada tahun 2011 adalah 12,45/100.000 penduduk, dengan prevalensi tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua 157,02/100.000 penduduk, sedangkan prevalensi terendah dilaporkan dari Provinsi Kalimantan Timur 0,39/100.000 penduduk, sementara Provinsi Riau berada pada urutan kesembilan dengan prevalensi 12,73/100.000 penduduk.

Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Riau, hingga Maret 2011 secara kumulatif jumlah kasus HIV ada sebanyak 527 kasus dan untuk kumulatif kasus AIDS telah tercatat sebanyak 557 kasus. Sementara berdasarkan data dari Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Riau (2011), terdapat 299 kasus HIV dan 110 kasus AIDS. Secara kumulatif jumlah kasus HIV/AIDS sejak tahun 1997 sampai


(25)

dengan 2011 mencapai 1.413 kasus, terdiri dari 760 kasus HIV+ (53,79%) dan 653 kasus AIDS (46,21%). Dari 653 kasus AIDS, sebanyak 390 kasus (59,72%) di Kota Pekanbaru, 59 kasus (9,03%) di Kota Dumai, 40 kasus (6,13%) di Kabupaten Rokan Hilir, 39 kasus (5,97%) di Kabupaten Bengkalis, 29 kasus (4,44%) di Kabupaten Kampar, 25 kasus (3,83%) di Kabupaten Siak, 19 kasus (2,91%) di Kabupaten Indragiri Hilir, masing-masing 16 kasus (2,45%) di Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Pelalawan, 13 kasus (1,99%) di Kabupaten Indragiri Hulu, 5 kasus (0,76%) di Kabupaten Kepulauan Meranti, 3 kasus (0,46%) di Kabupaten Kuantan Singingi.

Menurut Profil Dinas Kesehatan Propinsi Riau (2011), Kecamatan Bangko merupakan kecamatan yang paling banyak kasus AIDS, yaitu sebanyak 9 (23,7%) dari 39 kasus. Namun jumlah penderita HIV/AIDS dapat digambarkan seperti fenomena gunung es, dimana jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada jumlah yang sebenarnya. Dapat dikatakan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Rokan Hilir terutama di Kecamatan Bangko belum dapat diketahui secara pasti yang sebenarnya.

Lokasi prostitusi di Kecamatan Bangko merupakan salah satu lokasi prostitusi yang terbesar di Kabupaten Rokan Hilir, dimana banyak mempekerjakan pekerja seks komersial (PSK) yang jumlahnya setiap tahun terus meningkat. Tahun 2010 terdapat 98 orang PSK dan pada akhir Desember 2011 jumlah tersebut meningkat menjadi 108 PSK. Tetapi angka tersebut bukanlah suatu angka yang pasti, dikarenakan adanya kesulitan untuk dapat mengumpulkan data yang tepat dan akurat serta tingginya turn


(26)

over PSK dari satu kota ke kota lain. Pada tahun 2011 telah dilakukan pemeriksaan serosurve pada 47 PSK di lokasi tersebut, dari hasil pemeriksaan ditemukan 3 sampel menderita HIV/AIDS (SubDin P2PL Dinkes Rokan Hilir, 2011).

Berdasarkan pengamatan awal yang dilakukan oleh peneliti, PSK yang bekerja di lokasi prostitusi di Kecamatan Bangko tersebut berpotensi terkena penyakit AIDS. Di samping tingkat pendidikan mereka rata-rata rendah, pengetahuan mereka tentang penyakit HIV/AIDS juga masih rendah. Hal ini terbukti dengan adanya anggapan bahwa penyakit HIV/AIDS hanya menular pada kaum homoseksual saja. Di samping itu PSK juga beranggapan bahwa penyakit HIV/AIDS timbul setelah adanya gejala-gejala seperti rasa sakit sewaktu buang air kecil, dan gatal-gatal pada kemaluan. Salah satu PSK juga mengakui bahwa pada saat melakukan aktivitas seksualnya tidak menggunakan alat pengaman yaitu kondom.

Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk menurunkan angka prevalensi HIV/AIDS di Kecamatan Bangko adalah dengan mencegah terjadinya penularan oleh penderita AIDS, dan dukungan dari petugas kesehatan dalam pencegahan penularan virus HIV melalui pemberian informasi berupa konseling bagi menderita HIV. Menurut Notoatmodjo (2007), adanya informasi tentang kesehatan akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang kesehatan.

Allport dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa dalam menentukan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan


(27)

penting. Berdasarkan teori adaptasi apabila tingkat pengetahuan baik setidaknya dapat mendorong untuk mempunyai sikap dan tindakan yang baik pula.

Adanya pengetahuan tentang HIV/AIDS maka munculah sikap yang berupa kesadaran dan niat untuk melakukan pencegahan penularan HIV, misalnya dengan menggunakan kondom saat melakukan hubungan seksual. Green dalam Notoatmodjo (2007), menyatakan bahwa perilaku seseorang tentang kesehatan dalam hal ini tindakan terhadap penggunaan kondom pria salah satunya dipengaruhi oleh pengetahuan (faktor predisposisi). Didukung pula dengan penjelasan menurut Notoatmodjo (2003) bahwa pengetahuan merupakan domain kognitif yang sangat penting terbentuknya tindakan seseorang. Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku didasari oleh pengetahuan, maka apa yang dipelajari antara lain perilaku tersebut akan bersifat langgeng, sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan maka tidak akan berlangsung lama. Hal ini berarti jika semakin baik pengetahuan seseorang mengenai HIV/AIDS, maka mempengaruhi tindakan untuk selalu menggunakan kondom saat berhubungan seks.

Pengetahuan tentang HIV dan pencegahannya merupakan prasyarat penting untuk menerapkan perilaku sehat. Meskipun sebagian besar generasi muda (usia 15-24 tahun) di negara ini pernah mendengar tentang HIV/AIDS, tetapi diketahui bahwa dari 95% target yang ditetapkan PBB, ternyata hanya 14,7% laki-laki menikah dan sekitar 9,5% perempuan menikah yang memiliki pengetahuan komprehensif dan benar mengenai AIDS. Sedangkan pada kelompok yang belum menikah, angka ini bahkan


(28)

sangat rendah yakni 1,4% pada laki-laki yang belum menikah dan 2,6% pada perempuan yang belum menikah (Bappenas, 2009).

Berdasarkan berbagai permasalahan yang diuraikan di atas, maka perlu dilakukan penelitian tentang pengaruh perilaku dan sosiodemografi terhadap upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau.

1.2. Permasalahan

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana hubungan sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap pekerja seks komersial (PSK) dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap pekerja seks komersial (PSK) dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau.


(29)

1.4. Hipotesis

Faktor sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap pekerja seks komersial (PSK) berhubungan dengan upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir dalam program penanggulangan HIV/AIDS di Kabupaten Rokan Hilir.

2. Bagi akademik, dapat memberikan tambahan literatur mengenai perilaku pekerja seks komersial (PSK) dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS.

3. Bagi penulis, sebagai pengembangan ilmu yang didapat di perkuliahan terutama yang berhubungan dengan perilaku pekerja seks komersial (PSK)dalam upaya pencegahan penularan HIV/AIDS.


(30)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. HIV/AIDS 2.1.1. Definisi HIV

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan kemudian menimbulkan AIDS. Virus HIV akan menyerang Limfosit T yang mempunyai marker permukaan seperti sel CD4+, yaitu sel yang membantu mengaktivasi sel B, killer cell, dan makrofag saat terdapat antigen target khusus. Sel CD4+ adalah reseptor pada limfosit T yang menjadi target utama HIV (Mansjoer, dkk, 2001).

2.1.2. Definisi AIDS

AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) adalah suatu sindrom atau kumpulan tanda/gejala yang terjadi akibat penurunan daya kekebalan tubuh yang didapat atau tertular/terinfeksi, bukan karena dibawa sejak lahir. “Acquired” berarti didapat dengan pengertian bukan diturunkan/penyakit keturunan. “Immuno” adalah kekebalan tubuh untuk mengantisipasi adanya serangan mikro organisme dari luar tubuh, “Deficiency” berarti penurunan dari keadaan normal, sedangkan “Syndrome” adalah serangkaian tanda atau gejala yang terjadi akibat suatu serangan penyakit (Depkes RI, 1997).


(31)

2.2. Etiologi dan Patogenesis

Virus HIV termasuk kedalam famili Retrovirus sub famili Lentivirinae. Virus famili ini mempunyai enzim yang disebut reverse transcriptase. Enzim ini menyebabkan retrovirus mampu mengubah informasi genetiknya kedalam bentuk yang terintegrasi di dalam informasi genetik dari sel yang diserangnya. Jadi setiap kali sel yang dimasuki retrovirus membelah diri, informasi genetik virus juga ikut diturunkan (Djoerban, 2001).

Virus HIV menyerang CD4+ baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung, sampul HIV yang mempunyai efek toksik akan menghambat fungsi sel T. secara tidak langsung, lapisan luar protein HIV yang disebut sampul gp120 dan anti p24 berinteraksi dengan CD4+ yang kemudian akan menghambat aktivasi sel yang mempresentasikan antigen (Nursalam, 2007).

Setelah HIV mengifeksi seseorang, kemudian terjadi sindrom retroviral akut semacam flu disertai viremia hebat dan akan hilang sendiri setelah 1-3 minggu. Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi (Mansjoer, dkk, 2001). Pada masa ini, tidak ada dijumpai tanda-tanda khusus, penderita HIV tampak sehat dan merasa sehat serta test HIV belum bisa mendeteksi keberadaan virus ini, tahap ini disebut juga periode jendela (window periode) (Runggu, 2009). Kemudian dimulailah infeksi HIV asimptomatik yaitu masa tanpa gejala. Dalam masa ini terjadi penurunan CD4+ secara bertahap. Mula-mula penurunan jumlah CD4+ sekitar 30-60 sel/tahun, tetapi pada 2 tahun berikutnya penurunan menjadi cepat, 50-100


(32)

sel/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa dari infeksi HIV menjadi AIDS adalah 8-10 tahun, dimana jumlah CD4+ akan mencapai <200 sel/Μl (Mansjoer, dkk, 2001).

Dalam tubuh ODHA (Orang Dengan HIV AIDS), partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi penderita AIDS sesudah 10 tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap (Djoerban, dkk, 2010).

Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi opurtunistik seperti penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain-lain. Virus HIV ini yang telah berhasil masuk kedalam tubuh seseorang, juga akan menginfeksi berbagai macam sel, terutama monosit, makrofag, sel-sel mikroglia di otak, sel-sel hobfour plasenta, sel-sel dendrit pada kelenjar limfa, sel-sel epitel pada usus, dan sel Langerhans di kulit. Efek dari infeksi pada sel mikroglia di otak adalah encefalopati dan pada sel epitel usus adalah diare kronis (Nursalam, 2007).


(33)

2.3. Epidemiologi HIV/AIDS

2.3.1. Distribusi dan Frekuensi HIV/AIDS a. Berdasarkan Orang

Menurut Chin (2000), tidak diketahui adanya kekebalan orang terhadap infeksi HIV/AIDS, tetapi kerentanan setiap orang terhadap HIV/AIDS diasumsikan bersifat umum, tidak dipengaruhi oleh ras, jenis kelamin dan kehamilan, sehingga setiap orang mungkin untuk terserang HIV/AIDS.

Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2011), terdapat 29.879 jumlah kumulatif kasus AIDS dengan proporsi sebesar 43,69% pada kelompok umur 20-29 tahun, 29,56% pada kelompok umur 30-39 tahun, 9,50% pada kelompok umur 40-49 tahun, 3,05% pada kelompok umur 15-19 tahun, 2,9 9% pada kelompok umur 50-59 tahun, 0,78% pada kelompok umur > 60 tahun, 2,88% pada kelompok umur < 15 tahun dan 3,27% tidak diketahui.

Penelitian yang dilakukan oleh Hamdan di Kota Batam (2003), dengan desain case series, terdapat 164 penderita HIV/AIDS, 126 penderita (76,9%) berada pada kelompok umur 20-40 tahun, 62,8% berjenis kelamin perempuan, 37,2% berjenis kelamin laki-laki, berpendidikan SLTP 33,5%, SLTA 32,3%, SD 19,5%, tidak sekolah 12,2% dan berpendidikan Akademi/PT 2,4%. Berdasarkan data dari Komisi Pemberantasan AIDS (KPA) Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara (2009), sejak 1992 hingga April 2009 terdapat 1.680 jumlah kumulatif HIV/AIDS, 1.339 kasus pada pria (79,70%) dan 341 kasus pada perempuan (20,30%), 921 kasus pada kelompok


(34)

umur 20-29 tahun (54,82%) dan 523 kasus pada kelompok umur 30-39 tahun (31,13%), 121 kasus pada kelompok umur 40-49 tahun (7,20%), 46 kasus pada kelompok umur 10-19 tahun (2,74%), 41 kasus pada kelompok umur >50 tahun (2,44%), 8 kasus pada kelompok umur 1-4 tahun (0,47%), masing-masing 5 kasus pada kelompok umur 5-9 tahun dan <1 tahun (0,29%) (Dinkes Sumut, 2009).

b. Berdasarkan Tempat

Menurut data dari Joint United Nation Program on HIV/AIDS (UNAIDS) tahun 2009, di kawasan Sub-Sahara Afrika terdapat 22,4 penderita HIV/AIDS, dengan prevalensi rate pada orang dewasa sebesar 5,2%. Di Asia Selatan dan Asia Tenggara terdapat 3,8 juta ODHA dengan prevalensi rate pada orang dewasa sebesar 0,3%. Di Asia Timur terdapat 850.000 penderita HIV/AIDS dengan jumlah kematian 59.000 kasus.

Menurut Chin (2000), dari sekitar 33,4 juta penderita HIV/AIDS di dunia tahun 1999, 22,5 juta diantaranya terdapat di negara-negara Sub-Sahara Afrika, dan 6,7 juta ada di Asia Selatan dan Asia Tenggara, 1,4 juta terdapat di Amerika Latin dan 665.000 di AS.

Berdasarkan data SEARO (2009), prevalensi HIV/AIDS lebih tinggi di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan. Berdasarkan hasil survei rumah tangga yang dilakukan di enam kota di India, ditemukan bahwa prevalensi HIV/AIDS 40% lebih tinggi di perkotaan dibanding dengan daerah pedesaan. Pada tahun 2008, dari 96 kasus


(35)

baru yang dilaporkan di Sri Lanka, 61% berasal dari Colombo yang merupakan ibukota Sri Lanka.

Berdasarkan data dari Ditjen PP & PL Depkes RI (2011), tercatat 29.879 kumulatif kasus AIDS terjadi di 33 provinsi dan 300 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Prevalensi kasus AIDS nasional adalah 12,45/100.000 penduduk, dengan prevalensi tertinggi dilaporkan dari Provinsi Papua 157,02/100.000 penduduk, sedangkan prevalensi terendah dilaporkan dari Provinsi Kalimantan Timur 0,39/100.000 penduduk, sementara Provinsi Riau berada pada urutan kesembilan dengan prevalensi 12,73/100.000 penduduk

c. Berdasarkan Waktu

AIDS atau SIDA (Sindrom Imuno Defisiensi Akuisita) adalah suatu penyakit yang dengan cepat telah menyebar ke seluruh dunia (pandemik). Sejak ditemukan kasus AIDS pertama di Indonesia tahun 1987, perkembangan jumlah kasus HIV/AIDS yang dilaporkan di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Sampai dengan tahun 1990 perkembangan kasus AIDS masih lambat, namun sejak tahun 1991 jumlah kasus AIDS lebih dua kali lipat dari tahun sebelumnya. Kasus AIDS sejak awal tahun 2006 sampai 31 Desember 2006 mencapai 2.873 kasus mengalami peningkatan 235 kasus dari tahun sebelumnya (Depkes RI, 2006).

Menurut data dari Ditjen PPM & PL Depkes RI (2010), trend kecenderungan jumlah kasus AIDS senantiasa mengalami peningkatan. Pada tahun 2006 terdapat 2.639 kasus baru, tahun 2007 meningkat menjadi 2.873 kasus baru, tahun 2008 meningkat


(36)

menjadi 2.947 kasus baru, pada tahun 2009 meningkat menjadi 4.969 kasus baru, hingga tahun 2009 terdapat 3.863 kasus baru. Sampai 31 Desember 2010 secara kumulatif pengidap infeksi AIDS menjadi 19.973 kasus.

2.3.2. Determinan HIV/AIDS a. Faktor Host

Infeksi HIV/AIDS saat ini telah mengenai semua golongan masyarakat, baik kelompok risiko tinggi maupun masyarakat umum. Kelompok masyarakat yang mempunyai risiko tinggi adalah pengguna narkoba suntik (Injecting Drug Use), kelompok masyarakat yang melakukan promiskuitas (hubungan seksual dengan banyak mitraseksual) misalnya WPS (wanita penjaja seks), dari satu WPS dapat menular ke pelanggan-pelanggannya selanjutnya pelanggan-pelanggan WPS tersebut dapat menularkan kepada istri atau pasangannya. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesamanya atau lelaki seks lelaki (LSL). Narapidana dan anak-anak jalanan, penerima transfusi darah, penerima donor organ tubuh dan petugas pelayan kesehatan juga mejadi kelompok yang rawan tertular HIV (Depkes RI, 2006).

Berdasarkan data Ditjen PP & PL Depkes RI (2011), rasio kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 3:1. Proporsi penularan HIV/AIDS melalui hubungan heteroseksual sebesar 49,45%, pengguna narkoba suntikan atau IDU 31,43%, homo-biseksual 2,70%, perinatal 2,44%, transfusi darah 0,17% dan tidak diketahui penularannya 3,14%. Risiko penularan dari suami pengidap HIV ke istrinya adalah 22% dan istri pengidap HIV ke suaminya adalah 8% (Adisasmoto, 2007).


(37)

Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan infeksi HIV menjadi AIDS adalah usia pada saat infeksi. Orang yang terinfeksi HIV pada usia muda, biasanya lambat menderita AIDS, dibandingkan jika terinfeksi pada usia lebih tua (Chin, 2000).

Risiko transmisi transplasental yaitu transmisi dari ibu kepada bayi/janinnya saat hamil atau saat melahirkan adalah 50%, yaitu apabila seorang ibu pengidap HIV melahirkan anak, maka kemungkinan anak itu terlular HIV (Adisasmito, 2007). Namun demikian, jika sang ibu memiliki akses terhadap terapi antiretrovirus dan melahirkan dengan cara bedah caesar, tingkat penularannya hanya 1% (Wikipedia, 2009).

Petugas kesehatan yang terluka oleh jarum suntik atau benda tajam lainnya yang mengandung darah yang terinfeksi virus HIV, mereka dapat menderita HIV/AIDS, angka serokonversi mereka <0,5% (Chin, 2000).

b. Faktor Agent

Virus HIV secara langsung maupun tidak langsung akan menyerang sel CD4+. Infeksi HIV akan menghancurkan sel-sel T, sehingga menggangu sel-sel efektor imun yang lainnya, daya tahan tubuh menurun sehingga orang yang terinfeksi HIV akan jatuh kedalam stadium yang lebih lanjut. Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan thymus, yang membuat individu yang terinfeksi akan terkena infeksi opurtunistik. Jumlah virus HIV yang masuk sangat menentukan penularan, penurunan jumlah sel limfosit T berbanding terbalik dengan jumlah virus HIV yang ada dalam tubuh


(38)

(Nursalam, 2007). AIDS adalah suatu penyakit yang sangat berbahaya karena mempunyai Case Fatality Rate 100% dalam lima tahun, artinya dalam waktu lima tahun setelah diagnosis AIDS ditegakkan, semua penderita akan meninggal (Adisasmoto, 2007).

c. Faktor Environment

Menurut data UNAIDS (2009), dalam survei yang dilakukan di negara bagian Sub-Sahara Afrika antara tahun 2001 dan 2005, prevalensi HIV lebih tinggi di daerah perkotaan daripada di daerah pedesaan, dengan rasio prevalensi HIV di kota: pedesaan yaitu 1,7:1. Misalnya di Ethiopia, orang yang tinggal di areal perkotaan 8 kali lebih mudah terinfeksi HIV dari pada orang-orang yang tinggal di pedesaan.

Penelitian Silverman, dkk (2006), di Mumbai pada 175 orang perempuan korban perdagangan seks di rumah pelacuran di India, 54,3% diantaranya berasal dari India, 29,7% berasal dari Nepal, 4% berasal dari Bangladesh dan 12% tidak diketahui asalnya. Dari 28,4% perempuan India korban perdagangan seks yang positif HIV, perempuan yang berasal dari Kota Karnataka dan Maharashtra lebih mungkin terinfeksi HIV daripada perempuan yang berasal dari Kota Bengal Barat dengan Odds Ratio (OR) 7,35. Hal ini dikarenakan Kota Karnataka dan Maharashtra merupakan daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi. Jadi perempuan korban perdagangan seks yang berasal dari daerah dengan prevalensi HIV yang tinggi kemungkinan untuk telah terinfeksi HIV sebelumnya lebih besar.


(39)

2.4. Transmisi HIV/AIDS

Transmisi HIV/AIDS terjadi melalui cairan tubuh yang mengandung virus HIV yaitu melalui hubungan seksual, baik homoseksual maupun heteroseksual, jarum suntik pada pengguna narkotika, transfusi komponen darah dan dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayi yang dilahirkannya. Oleh karena itu kelompok risiko tinggi terhadap HIV/AIDS dapat diketahui, misalnya pengguna narkotika, pekerja seks komersial dan pelanggannya, serta narapidana (Djoerban, 2010).

Transmisi HIV secara seksual terjadi ketika ada kontak antara sekresi cairan vagina atau cairan preseminal seseorang dengan rektum, alat kelamin, atau membran mukosa mulut pasangannya. Hubungan seksual reseptif tanpa pelindung lebih berisiko daripada hubungan seksual insertif tanpa pelindung, dan risiko hubungan seks anal lebih besar daripada risiko hubungan seks biasa dan seks oral. Kekerasan seksual secara umum meningkatkan risiko penularan HIV karena pelindung umumnya tidak digunakan dan sering terjadi trauma fisik terhadap rongga vagina yang memudahkan transmisi HIV (Wikipedia, 2009).

2.4.1. Transmisi Seksual

Cara hubungan seksual ano-genital merupakan perilaku seksual dengan risiko tertinggi bagi penularan HIV, khususnya bagi mitra seksual yang pasif menerima ejakulasi semen dari seorang pengidap HIV. Hal ini disebabkan karena tipisnya mukosa rektum sehingga mudah sekali mengalami perlukaan saat berhubungan seksual ano-genital. Risiko perlukaan ini semakin bertambah apabila terjadi perlukaan dengan


(40)

tangan (fisting) pada anus/rektum. Tingkat risiko kedua adalah hubungan oro-genital termasuk menelan semen dari mitra seksual pengidap HIV. Tingkat risiko ketiga adalah hubungan genito-genital/hetero seksual, biasanya terjadi pada hubungan suami istri yang salah seorang telah mengidap HIV (Adisasmoto, 2007).

2.4.2. Transmisi Non Seksual

HIV dapat menular melalui transmisi parenteral yaitu akibat penggunaan jarum suntik dan alat tusuk lainnya seperti alat tindik yang terkontaminasi HIV. Penggunaan jarum suntik yang berganti-gantian menyebabkan tingginya kasus HIV/AIDS pada kelompok pengguna napza suntik (IDU) (Adisasmoto, 2007). Pada umumnya, ibukota dan kota-kota metropolitan mempunyai jumlah pengguna napza suntik yang besar (SEARO, 2009). Di negara berkembang, cara ini juga terjadi melalui jarum suntik yang dipakai oleh petugas kesehatan (Adisasmoto, 2007). Berbagi dan menggunakan kembali jarum suntik yang mengandung darah yang terkontaminasi merupakan penyebab sepertiga dari semua infeksi baru HIV (Wikipedia, 2009).

Transmisi parenteral lainnya adalah melalui donor/transfusi darah yang mengandung HIV. Risiko tertular infeksi HIV lewat transfusi darah adalah >90%, artinya bila seseorang mendapat transfusi darah yang terkontaminasi HIV maka dapat dipastikan orang tersebut akan menderita HIV sesudah transfusi itu (Adisasmoto, 2007). Di negara maju resiko penularan HIV pada penerima transfusi darah sangat kecil, hal ini dikarenakan pemilihan donor yang semakin bertambah baik dan pengamatan HIV telah dilakukan. Namun demikian, mayoritas populasi dunia tidak memiliki akses terhadap


(41)

darah yang aman. Transmisi HIV dari ibu ke anak dapat terjadi melalui rahim (in utero) selama masa perinatal, yaitu minggu-minggu terakhir kehamilan dan saat persalinan (Wikipedia, 2009).

HIV tidak menular melalui peralatan makanan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara bersama-sama, ciuman pipi, berjabat tangan, hidup serumah dengan penderita HIV yang bukan mitra seksual dan hubungan sosial lainnya. Air susu ibu pengidap HIV, saliva/air liur, air mata, urin serta gigitan nyamuk belum terbukti dapat menularkan HIV/AIDS (Nursalam, 2007).

2.5. Pencegahan HIV/AIDS 2.5.1. Pencegahan Primer

Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya agar orang sehat tetap sehat atau mencegah orang sehat menjadi sakit (Budiarto, 2001). Pencegahan primer merupakan hal yang paling penting, terutama dalam merubah perilaku. Beberapa hal yang perlu diperhatikan antara lain (Depkes RI, 2006):

a. Pencegahan dilakukan dengan tindakan seks yang aman dengan pendekatan “ABCD” yaitu, Abstinence, artinya absen seks ataupun tidak melakukan hubungan seks bagi orang yang belum menikah merupakan metode paling aman untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual, jika tidak memungkinkan pilihan kedua adalah Be Faithful, artinya tidak berganti-ganti pasangan. Jika kedua hal tersebut tidak memungkinkan juga, maka pilihan berikutnya adalah penggunaan kondom secara konsisten (Use Condom), Drug


(42)

artinya tidak menjadi pengguna obat-obat terlarang ( NAPZA) terutama narkotika suntikan, atau mengusahakan agar selalu menggunakan jarum suntik yang steril serta tidak mengunakannya secara bersama-sama.

b. Di sarana pelayanan kesehatan harus dipahami dan diterapkan kewaspadaan universal (universal precaution) untuk mengurangi risiko penularan HIV melalui darah. Kewaspadaan universal ini meliputi cuci tangan dengan sabun dan air mengalir sebelum dan sesudah melakukan tindakan perawatan, penggunaan alat pelindung yang sesuai untuk setiap tindakan, pengelolaan dan pembuangan alat tajam secara hati-hati, pengelolaan alat kesehatan bekas pakai dengan melakukan dekontaminasi, desinfeksi dan sterilisasi dengan benar.

c. Pencegahan penyebaran melalui darah dan donor darah dilakukan dengan skrining adanya antibodi HIV, demikian pula semua organ yang akan didonorkan, serta menghindari transfusi, suntikan, jahitan dan tindakan invasif lainnya yang kurang perlu.

d. WHO mencanangkan empat strategi untuk mencegah penularan vertikal dari ibu kepada anak yaitu dengan cara mencegah jangan sampai wanita terinfeksi HIV/AIDS, apabila sudah terinfeksi HIV/AIDS mengusahakan supaya tidak terjadi kehamilan, bila sudah hamil dilakukan pencegahan supaya tidak menular dari ibu kepada bayinya dan bila sudah terinfeksi diberikan dukungan serta perawatan bagi ODHA dan keluarganya.


(43)

2.5.2. Pencegahan Sekunder

Infeksi HIV/AIDS menyebabkan menurunnya sistem imun secara progresif sehingga muncul berbagai infeksi opurtunistik yang akhirnya dapat berakhir pada kematian. Sementara itu, hingga saat ini belum ditemukan obat maupun vaksin yang efektif. sehingga pengobatan HIV/AIDS dapat dibagi dalam tiga kelompok sebagai berikut (Depkes, RI., 2006):

a. Pengobatan suportif yaitu pengobatan untuk meningkatkan keadaan umum penderita. Pengobatan ini terdiri dari pemberian gizi yang baik, obat simptomatik dan pemberian vitamin.

b. Pengobatan infeksi opurtunistik merupakan pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai infeksi HIV/AIDS. Jenis-jenis mikroba yang menimbulkan infeksi sekunder adalah protozoa (Pneumocystis carinii, Toxoplasma, dan Cryptotosporidium), jamur (Kandidiasis), virus (Herpes, cytomegalo Virus, Papovirus) dan bakteri (Mycobacterium Tuberculose, Mycobacterium ovium intra cellular, Streptococcus, dan lain-lain). Penanganan terhadap infeksi opurtunistik ini disesuaikan dengan jenis mikroorganisme penyebabnya dan diberikan terus-menerus.

Pengobatan antiretroviral (ARV), ARV bekerja langsung menghambat enzim reverse transcriptase atau menghambat kinerja enzim protease. Pengobatan ARV terbukti bermanfaat memperbaiki kualitas hidup, menjadikan infeksi opurtunistik menjadi jarang


(44)

dan lebih mudah diatasi sehingga menekan morbiditas dan mortalitas dini, tetapi ARV belum dapat menyembuhkan pasien HIV/AIDS ataupun membunuh HIV.

2.5.3. Pencegahan Tersier

Orang yang didiagnosis HIV biasanya banyak menerima diskriminasi saat membutuhkan pengobatan HIV ataupun bantuan dari fasilitas rehabilitasi obat, selain itu juga dapat mendatangkan trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. ODHA perlu diberikan dukungan berupa dukungan psikososial agar penderita dapat melakukan aktivitas seperti semula/seoptimal mungkin. Misalnya (Nursalam, 2007):

Memperbolehkannya untuk membicarakan hal-hal tertentu dan mengungkapkan perasaannya.

Membangkitkan harga dirinya dengan melihat keberhasilan hidupnya atau mengenang masa lalu yang indah.

Menerima perasaan marah, sedih, atau emosi dan reaksi lainnya

Mengajarkan pada keluarga untuk mengambil hikmah, dapat mengendalikan diri dan tidak menyalahkan diri atau orang lain

Selain itu perlu diberikan perawatan paliatif (bagi pasien yang tidak dapat disembuhkan atau sedang dalam tahap terminal) yang mencakup : pemberian kenyamanan (seperti relaksasi dan distraksi, menjaga pasien tetap bersih dan kering, memberi toleransi maksimal terhadap permintaan pasien atau keluarga), pengelolaan nyeri (bisa dilakukan dengan teknik relaksasi, pemijatan, distraksi, meditasi, maupun pengobatan antinyeri),


(45)

persiapan menjelang kematian meliputi penjelasan yang memadai tentang keadaan penderita, dan bantuan mempersiapkan pemakaman.

2.6. Perilaku

2.6.1. Definisi Perilaku

Menurut Kwick dalam Azwar (2007), perilaku adalah tindakan atau perbuatan suatu organisme yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari. Skiner dalam Azwar (2007), seorang ahli psikologi merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Namun dalam memberikan respons sangat tergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan. Faktor-faktor yang membedakan respons terhadap stimulus yang berbeda disebut determinan perilaku. Determinan perilaku dibedakan menjadi dua yaitu :

Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan yang bersifat given atau bawaan, misalnya tingkat kecerdasan, tingkat emosional, jenis kelamin, dan sebagainya.

Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan, baik lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, politik, dan sebagainya. Faktor lingkungan ini merupakan faktor dominan yang mewarnai perilaku seseorang.

2.6.2. Model Perilaku Kesehatan

Terdapat berbagai macam model utilisasi kesehatan yang digunakan untuk menggambarkan prilaku pemanfaatan pelayanan, model-model tersebut adalah :


(46)

1. Model Andersen

Menurut Andersen dalam Ilyas (2003), model ini merupakan suatu model kepercayaan kesehatan yang disebut sebagai model prilaku pemanfaatan pelayanan kesehatan. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi adalah:

Presdisposisi

Karakter ini digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa setiap individu memiliki kecenderungan menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-beda dilihat dari ciri demografi, struktur sosial dan kepercayaan.

Kemampuan

Karakteristik kemampuan merupakan suatu keadaan dan kondisi yang membuat seseorang mampu untuk melakukan sebuah tindakan untuk memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Berdasarkan sumbernya karakteristik kemampuan dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu sumber daya keluarga dan sumber daya masyarakat Kebutuhan

Andersen menggunakan istilah kesakitan untuk mewakili kebutuhan akan pelayanan kesehatan. Penilaian terhadap suatu penyakit merupakan bagian dari faktor kebutuhan, penilaian kebutuhan didapatkan dari 2 sumber yaitu penilaian ndividu dan penilaian klinik.


(47)

2. Model Zshock

Menurut Zshock dalam Ilyas (2003), menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi seseorang dalam menggunakan pelayanan kesehatan, yaitu: Status kesehatan, pendapatan dan pendidikan

Faktor konsumen dan pemberi pelayanan kesehatan (PPK) Kemampuan dan penerimaan pelayanan kesehatan

Resiko sakit dan lingkungan 3. Model Andersen dan Anderson

Menurut Andersen dan Anderson dalam Ilyas (2003), menggolongkan model utilisasi kesehatan kedalam tujuh kategori berdasarkan tipe dari variabel yang digunakan sebagai faktor yang menentukan utilisasi pelayanan kesehatan. Ketujuh faktor-faktor tersebut adalah :

a. Model Demografi

Pada model ini variabel yang digunakan berdasarkan umur, jenis kelamin, status perkawinan dan besarnya keluarga. Variabel tersebut digunakan sebagai indikator yang mempengaruhi utilisasi pelayanan kesehatan.

b. Model Struktur Sosial

Pada model ini variabel yang digunakan adalah pendidikan, pekerjaan dan etnis. Variabel-variabel tersebut mencerminkan status sosial dari individu atau keluarga di dalam masyarakat dan dapat pula menggambarkan gaya hidup individu dan keluarga


(48)

c. Model Sosial Psikologis

Pada model ini variabel yang digunakan adalah, pengetahuan, sikap, dan keyakinan individu di dalam memanfaatkan pelayanan kesehatan. Variabel tersebut mempengaruhi individu untuk mengambil keputusan dan bertindak di dalam menggunakan pelayanan kesehatan.

d. Model Sumber Daya Keluarga

Pada model ini variabel yang digunakan adalah pendapatan keluarga dan cakupan mengenai pelayanan kesehatan. Variabel tersebut dapat mengukur kesanggupan dari setiap individu atau keluarga untuk memperoleh pelayanan kesehatan.

e. Model Sumber Daya Masyarakat

Pada model ini variabel yang digunakan adalah pelayanan kesehatan dan sumber-sumber di dalam masyarakat

f. Model Organisasi

Pada model ini variabel yang digunakan adalah pencerminan perbedaan bentuk-bentuk pelayanan kesehatan. Pada umumnya variabel yang biasa digunakan adalah: Gaya praktik pengobatan sendiri (sendiri, rekanan, kelompok)

Sifat alamiah dari pelayanan tersebut (pembayaran secara langsung atau tidak) Lokasi dari pelayanan kesehatan (pribadi, rumah sakit atau klinik)

Petugas kesehatan yang pertama kali dihubungi oleh pasien (dokter, perawat atau yang lainnya).


(49)

4. Model Becker

Menurut Becker dalam Azwar (2007), pada model ini digunakan model kepercayaan yang menjadi sebuah bentuk dari model sosiopsikologis yang menganggap bahwa prilaku kesehatan merupakan fungsi pengetahuan maupun sikap infdividu. Selain itu model kepercayaan kesehatan ini juga merupakan salah satu pengembangan dari teori lapangan dari Lewin dalam Azwar (2007), dimana dalam konsep teori lapangan dijelaskan bahwa setiap individu dalam kehidupannya akan berada pada daerah antara daerah positif dan daerah negatif

Dalam model Becker ada 4 variabel kunci yang mempengaruhi prilaku seseorang dalam bertindak untuk mencegah atau mengobati suatu penyakit, yaitu :

a. Kerentanan yang dirasa

Tindakan individu dalam mencari pengobatan atau melakukan upaya pencegahan terhadap suatu penyakit

b. Keseriusan yang dirasakan

Tindakan individu dalam mencari pengobatan dan pencegahan penyakit yang didorong oelh keseriusan penyakit itu sendiri

c. Manfaat dan rintangan yang dirasakan

Tindakan yang dilakukan akibat kerentanan dari suatu penyakit tergantung dari manfaat yang dirasakan


(50)

Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerentanan kegawatan dan keuntungan diperlukan isyarat berupa faktor-faktor dari luar yang berupa pesan-pesan media massa, nasihat dari teman atau anggota keluarga yang pernah mengalaminya

5. Model Green

Menurut Green dalam Notoatmodjo (2003), menjelaskan bahwa tindakan seseorang dipengaruhi oleh 3 faktor yaitu:

a. Faktor Predisposisi

Faktor-faktor ini mencakup mengenai pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tingkat pendidikan, tingkat social ekonomi

b. Faktor Pemungkin (enabling factors)

Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat

c. Faktor Penguat

Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap tokoh masyarakat, tokoh agama, sikap para petugas termasuk petugas kesehatan, termasuk juga disini undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pusat maupun pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.

Ada beberapa model perilaku kesehatan yang dapat menggambarkan bagaimana sebuah perilaku terbentuk, diantaranya yaitu teori Health Belief Model (HBM) dari Becker & Rosenstock. Teori ini berpendapat bahwa persepsi kita terhadap sesuatu lebih menentukan keputusan yang kita ambil dibandingkan dengan kejadian yang sebenarnya.


(51)

Teori HBM oleh Rosenstock dalam Damayanti (2004), menyatakan ada 4 (empat) elemen yang mendasari persepsi seseorang, yaitu:

Perceived susceptibility: penilaian individu mengenai kerentanan mereka terhadap suatu penyakit

Perceived seriousness: penilaian individu mengenai seberapa serius kondisi dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut

Perceived barriers: penilaian individu mengenai besar hambatan yang ditemui untuk mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan, seperti hambatan finansial, fisik, dan psikososial

Perceived benefits: penilaian individu mengenai keuntungan yang didapat dengan mengadopsi perilaku kesehatan yang disarankan.

Selanjutnya, teori ini kemudian dikembangkan dan ditambahkan dengan faktor-faktor yang dianggap berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, yaitu (Smet, 1994; Damayanti, 2004):

Variabel demografi; seperti usia, jenis kelamin, ras, pekerjaan, dan sebagainya. Variabel sosio-psikologis; seperti kepribadian, sosial-ekonomi, dan sebagainya. Variabel struktural; seperti pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya.

Cues to action; pengaruh dari luar dalam mempromosikan perilaku kesehatan yang disarankan, seperti pemberian informasi melalui media massa, artikel surat kabar dan majalah, saran dari ahli, dan sebagainya.


(52)

Persepsi Individu Faktor perubahan Tindakan

Gambar 2.1 Gambar Faktor yang Mempengaruhi Perilaku Sumber: Glanz et, al, 2002.

2.6.3. Domain Perilaku

Perilaku manusia sangatlah kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, Bloom membagi perilaku ke dalam tiga domain, yaitu 1) kognitif, 2) afektif, dan 3) psikomotor. Untuk memudahkan pengukuran, maka tiga domain ini diukur dari: pengetahuan, sikap dan tindakan.

1. Pola Pengetahuan dan Perilaku terhadap Risiko HIV/AIDS

Gielen dan McDonald (1996), mengungkapkan bahwa secara umum perilaku seseorang dilandasi oleh latar belakang yang dimilikinya, termasuk pengetahuan mengenai HIV/AIDS. Seseorang yang berpengetahuan HIV/AIDS lebih baik diharapkan mempunyai tingkat pemahaman dan kesadaran tentang HIV/AIDS yang

Umur, jenis kelamin, etnis, kepribadian,

sosial ekonomi, pengetahuan

Menerima tindakan

Merasa terancam

penyakit tertentu Perubahan perilaku

Petunjuk aksi: − Pendidikan − Gejala

− Media Informasi Merasa rentan

terhadap penyakit tertentu


(53)

lebih baik, dan akhirnya diharapkan mempunyai perilaku seksual yang aman yang terhindar dari infeksi HIV. Sementara itu, Cognitive Dissonance Theori dari Festinger (1997) menjelaskan bahwa pengetahuan seseorang tidak selalu berbanding lurus dengan perilakunya. Menurut teori tersebut seseorang dapat mempunyai kesejajaran dalam pengetahuan, sikap, dan perilaku. Namun demikian, bisa juga seseorang yang mempunyai pengetahuan dan sikap positif tetapi negatif di dalam perilakunya.

Paling tidak ada 4 (empat) cara yang kerap dianjurkan oleh para penyuluh kesehatan bagi kelompok berisiko dalam berperilaku seks, yaitu tidak berhubungan seks (abstinence), berhubungan seks hanya dengan satu pasangan setia (be faithful), bila tetap ingin membeli seks sebaiknya menggunakan kondom dan tidak menggunakan narkoba suntik secara bersama.

Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) 2002-2003 menyebutkan bahwa 59% wanita pernah kawin dan 73% pria kawin mengatakan bahwa mereka pernah mendengar tentang AIDS. Namun demikian, pengetahuan tentang cara terpenting untuk menghindari infeksi HIV masih sangat terbatas, hanya 5% wanita dan 13% pria yang menyebutkan tentang memakai kondom, 14% wanita dan 18% pria mengatakan tentang membatasi seks pada satu pasangan dan saling setia.

Pengetahuan yang benar mengenai cara penularan HIV/AIDS dapat menjadi pedoman untuk melakukan tindak pencegahan agar tidak tertular virus tersebut. Tetapi hasil SSP 2004-2005 juga menyebutkan masih banyak responden yang mempunyai pengetahuan yang salah tentang HIV/AIDS, misalnya adalah anggapan bahwa minum


(54)

obat dapat mencegah HIV. Pada kelompok wanita pekerja seks, angkanya mencapai 42%, sedangkan pada kelompok pelaut/ABK, sopir/kernet truk yang punya anggapan bahwa minum obat dapat mencegah HIV rata-rata di atas 30%.

Besarnya proporsi laki-laki sebagai pelanggan penjaja seks digambarkan dalam report yang diterbitkan oleh AusAID (2006) berjudul “Impact of HIV/AIDS 2005-2025”, bahwa pemerintah Indonesia mengestimasi jumlah laki-laki pelanggan seks di Indonesia mencapai 7 sampai dengan 10 juta orang. Sedangkan menurut Utomo dan Dharmaputra (2001) bahwa separuh dari laki-laki di Indonesia mengunjungi pekerja seks setiap tahunnya. Hal ini tentu menjadi jalur yang sangat potensial untuk menyebarkan HIV/AIDS melalui pelanggan penjaja seks.

Hasil SSP (survei surveilance perilaku) 2004-2005 pada kelompok pria menunjukkan bahwa sopir/kernet truk yang membeli seks dalam setahun terakhir meningkat dari 40% pada tahun 2002/2003 menjadi 59% pada tahun 2004/2005. sedangkan pelaut/ABK yang membeli seks juga meningkat dari 48% menjadi 55%, dan tukang ojek meningkat dari 28% menjadi 31% pada kurun waktu yang sama. Sementara itu perilaku selalu menggunakan kondom, hanya berkisar antara 3-11%. Disamping itu, penyakit menular seksual seperti syphilis dan gonorhoe bila dikombinasikan dengan seringnya melakukan seks yang tidak aman dengan laki-laki yang sering mobile akan menambah kerentanan penjaja seks untuk terinfeksi HIV.

Hasil penelitian Departemen Kesehatan (2004), menunjukkan sekitar 42% pekerja seks di tujuh kota di Indonesia telah terinfeksi gonorrhoea. Sementara itu,


(55)

prevalensi HIV diantara pekerja seks di sorong mencapai 17%. Peningkatan kasus penularan HIV di kalangan berisiko ini menjadi salah satu indikator potensi kenaikan yang cukup mengkhawatirkan. Sehingga meningkatkan kesadaran dan pengetahuan mengenai penyakit ini melalui pendidikan dan advokasi masyarakat menjadi hal yang utama. Tujuannya adalah untuk mencegah penyebaran epidemik lebih luas lagi. Karena jika tidak, maka stigma, diskriminasi dan ketidaktahuan akan tetap menjadi kendala bagi upaya penanggulangan HIV/AIDS.

Perilaku minum alkohol juga merupakan perilaku antara untuk seseorang tertular HIV. Dalam keadaan mabuk, maka orang akan lupa untuk menggunakan kondom pada kegiatan seks komersial. Di Afrika Selatan, perilaku minum alcohol dan aktifitas seks yang tidak aman bahkan sudah menjadi masalah pada kelompok anak-anak yang masih sangat muda. Visser (1995), melakukan penelitian di sekolah pendidikan dasar di Pretoria, Afrika Selatan, dan respondennya adalah murid kelas 6 dan 7. hasil penelitiannya menunjukkan bahwa 27% dari anak-anak yang rata-rata usianya 12-14 tahun ini, sudah mengkonsumsi alkohol. Sebesar 14% dari anak-anak ini pernah minum alkohol hingga mabuk dalam 30 hari terakhir. Sebagian besar alas an anak-anak ini minum alkohol adalah untuk melupakan masalah mereka (23%), dan karena mereka minum alkohol untuk bersenang-senang (21%). Selain alkohol, ternyata sekitar 7% dari anak-anak ini juga pernah menghisap ganja, dan sekitar 24% dari pelajar ini sudah aktif secara seksual, padahal sebagian besar anak-anak ini tidak mempunyai pengetahuan tentang HIV/AIDS dan cara penularannya.


(56)

2. Sikap terhadap Risiko HIV/AIDS

Pengetahuan dan sikap melalui berbagai cara dapat mempengaruhi perilaku individu, termasuk perilaku seksual. Dalam konteks pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS, maka sangat penting untuk mengetahui secara jelas tentang penyakit tersebut dan cara-cara pencegahannya. Informasi tentang pengetahuan seks yang diperoleh dari suatu kelompok dapat menentukan perilaku seksual dan dapat digunakan sebagai acuan untuk mengubah perilaku seksual kelompok tersebut.

Penelitian yang dilakukan oleh Mariyah (1992) terhadap perilaku seksual buruh bangunan migran di Denpasar menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi responden untuk mencari pekerja seks diantaranya yaitu karena pengaruh teman dan mengendornya norma-norma yang diyakini. Selain itu, keyakinan yang kuat dapat mencegah terjadinya perilaku seksual berisiko (menggunakan jasa pekerja seks dan berganti-ganti pasangan). Penelitian yang dilakukan oleh Godin dkk. (2005) dan Stulhofer dkk. (2007) juga menyatakan bahwa sikap dan norma sosial dapat mempengaruhi perilaku pencegahan seseorang terhadap HIV-AIDS (penggunaan kondom).

Di sisi lain, hasil Survei Surveilans Perilaku (SSP) 2002 menemukan banyak kelompok yang berisiko sadar bahwa perilaku seksual mereka rentan terhadap penularan HIV. Namun pada mereka yang merasa berisiko tertular HIV ini persentase perilaku seksual yang tidak aman justru lebih besar, yaitu tidak pakai kondom ketika berhubungan seks komersil, dibanding mereka yang merasa tidak berisiko. Dari responden yang pernah berhubungan seks komersil tanpa menggunakan kondom,


(57)

69% supir/kernet truk dan 65% pelaut/ABK merasa mereka berisiko tertular HIV (Puslitkes UI, 2003).

3. Tindakan atau Praktik

Sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain, yaitu adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. Praktik atau tindakan dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan menurut kualitasnya, yaitu : a) praktik terpimpin (guided response), apabila subjek atau seseorang telah melakukan sesuatu tetapi masih tergantung pada tuntunan atau menggunakan panduan; b) praktik secara mekanisme (mechanism), apabila subjek atau seseorang telah melakukan atau mempraktikkan sesuatu hal secara otomatis maka disebut praktik atau tindakan mekanis; dan c) adopsi (adaption) adalah suatu tindakan atau praktik yang sudah berkembang, artinya apa yang dilakukan tidak sekadar rutinitas atau mekanisme saja, tetapi sudah dilakukan modifikasi, atau tindakan atau perilaku yang berkualitas.

Sebuah penelitian yang dilakukan Sasongko (2000) di Jakarta tentang efek perlindungan kondom dalam pencegahan infeksi HIV/AIDS telah dilakukan dengan mengikuti 245 pasangan heteroseksual dimana salah satu dantara pasangan tersebut mengidap HIV. Studi tersebut memperlihatkan bahwa kondom digunakan secara konsisten dalam setiap hubungan seks dan tidak ditemukan adanya penularan HIV kepada pasangannya. Sedangkan pada 121 pasangan heteroseksual lainnya yang tidak


(58)

menggunakan kondom secara konsisten mempunyai daya perlindungan efektif terhadap terjadinya penularan HIV.

2.7. Landasan Teori

Teori Health Belief Model (HBM) dari Becker & Rosenstock mengatakan bahwa ada 4 (empat) faktor yang dianggap berpengaruh terhadap perilaku kesehatan, yaitu (Smet, 1994; Damayanti, 2004):

Variabel demografi; seperti usia, jenis kelamin, ras, pekerjaan, dan sebagainya. Variabel sosio-psikologis; seperti kepribadian, sosial-ekonomi, dan sebagainya. Variabel struktural; seperti pengetahuan, pengalaman, dan sebagainya.

Cues to action; pengaruh dari luar dalam mempromosikan perilaku kesehatan yang disarankan, seperti pemberian informasi melalui media massa, artikel, surat kabar dan majalah, saran dari ahli, dan sebagainya.

2.8. Kerangka Konsep Penelitian

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian 1. Pengetahuan

2. Sikap

Upaya Pencegahan HIV/AIDS Sosiodemografi:

1. Umur 2. Pendidikan 3. Lama bekerja


(59)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian survei dengan menggunakan desain sekat silang (cross sectional study), yaitu penelusuran sesaat, artinya subyek diamati hanya sesaat atau satu kali. Untuk memperolah informasi tentang variabel dependen dan variabel independen maka pengukuran dilakukan bersama-sama pada saat penelitian dengan menggunakan kuesioner (Sugiyono, 2005).

Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau. 3.2.2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian dilaksanakan pada bulan Februari – Agustus 2012.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh PSK di Kabupaten Rokan Hilir yang berjumlah 104 orang.


(60)

3.3.2. Sampel

Sampel adalah seluruh PSK di Kabupaten Rokan Hilir dengan besar sampel adalah sama dengan populasi yaitu 104 orang.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Teknik Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan berpedoman pada kuesioner kepada PSK. Pengambilan data dilakukan oleh peneliti dan dibantu oleh 8 orang enumerator yang sebelumnya telah dilatih, yaitu Mahasiswa Akademi Kebidanan Tuti Rahayu Bagansiapiapi.

3.4.2. Data Sekunder

Data Sekunder diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Rokan Hilir. 3.4.3. Uji Validitas dan Uji Reliabilitas

Uji validitas dan reliabilitas instrumen akan dilakukan pada 30 orang PSK yang ada di lokasi prostitusi Kecamatan Bagan Sinembah. Uji validitas dilakukan untuk membuktikan bahwa alat yang dibuat untuk mengukur adalah benar-benar mengukur apa yang ingin diukur. Uji validitas merupakan suatu ukuran yang menunjukkan tingkat kesahihan suatu instrumen. Sebuah instrumen dikatakan valid jika mampu mengukur apa yang diinginkan atau dapat mengungkap data dari variabel yang diteliti secara tepat (Riduwan, 2008).


(61)

Uji Validitas

Pengujian validitas menggunakan koefisien korelasi pearson (pearson’s product moment coefficient of correlation). Dasar keputusan uji validitas dalam penelitian ini adalah dengan membandingkan p-value kurang dari alpha 0,05 maka item pernyataan dikatakan valid, sebaliknya jika p-value lebih besar dari alpha 0,05 maka item pernyataan tidak valid. Dasar pengambilan keputusan uji validitas juga dilakukan dengan membandingkan koefisien korelasi dengan angka kritis (r-tabel=0,361). Jika koefisien korelasi lebih besar dari r-tabel maka item pernyataan valid, sebaliknya jika koefisien korelasi kurang dari r-tabel maka item pernyataan tidak valid.

Uji Reliabilitas

Uji reliabilitas diukur dengan menggunakan Alpha Cronbach untuk mengetahui konsistensi internal antar variabel dalam instrumen. Dengan kata lain, uji reliabilitas akan mengindikasikan apakah instrumen-instrumen yang dipergunakan dalam penelitian ini layak dan berkaitan atau tidak. Apabila nilai Alpha Cronbach mendekati 1, maka hal ini menunjukkan bahwa alat ukur yang digunakan sudah sangat baik (reliable) atau jawaban responden akan cenderung sama walaupun diberikan kepada responden tersebut dalam bentuk pertanyaan yang berbeda (konsisten), sedangkan jika berada di atas 0.8 adalah baik, tetapi bila berada di bawah nilai 0.6 tidak baik atau tidak reliable (Riduwan, 2008).


(62)

3.5. Definisi Operasional

Umur adalah lama masa hidup responden terhitung dari waktu kelahirannya sampai saat berlangsungnya kegiatan penelitian, dalam hitungan tahun.

Pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang diselesaikan oleh responden.

Lama bekerja adalah lama masa bekerja responden, yaitu terhitung dari mulai sebegai bekerja sebagai pekerja seks komersial sampai saat berlangsungnya kegiatan penelitian, dalam hitungan tahun

Pengetahuan adalah segala sesuatu informasi yang diperoleh dari proses belajar tentang penggunaan kondom untuk pencegahan penyakit HIV/AIDS.

Sikap adalah kecenderungan PSK untuk memberikan pendapat setuju dan tidak setuju tentang penggunaan kondom untuk mencegah penyakit HIV/AIDS.

Upaya pencegahan HIV/AIDS adalah tindakan PSK dalam penggunaan kondom secara konsisten pada saat berhubungan seks untuk pencegahan penyakit HIV/AIDS di Kabupaten Rokan Hilir.

3.6. Metode Pengukuran 1. Umur

Variabel umur diukur dengan menggunakan kuesioner. Umur responden dikategorikan menjadi (Berger, 1990):

Remaja, bila usia responden di bawah 20 tahun Dewasa, bila usia responden ≥ 20 tahun.


(63)

2. Pendidikan

Pendidikan, berdasarkan Program Pendidikan Wajib Belajar 9 Tahun dikategorikan menjadi 2 kelompok yaitu:

Tinggi, jika ijazah terakhir minimal SLTA/sederajat Rendah, jika ijazah terakhir SD-SLTP/sederajat 3. Lama Kerja

Variabel lama kerja diukur dengan menggunakan kuesioner. Lama kerja responden dikategorikan menjadi (Istijanto, 2010):

Lama kerja < 5 tahun Lama kerja ≥ 5 tahun 4. Pengetahuan

Pengukuran variabel pengetahuan didasarkan pada skala ordinal dengan jumlah pertanyaan untuk mengukur tingkat pengetahuan ada 11 (sebelas). Bila responden dapat menjawab dengan benar diberi nilai 1. Sehingga skor tertinggi yang dapat diperoleh adalah 12. Kemudian variabel pengetahuan dikategorikan sebagai berikut (Arikunto, 2009) :

Pengetahuan tidak baik, bila total skor responden 0-6 Pengetahuan baik, bila total skor responden 7-11 5. Sikap

Pengukuran variabel sikap didasarkan pada skala ordinal dengan jumlah pertanyaan sebanyak 11 (Sebelas). Jawaban setuju diberi nilai 2, kurang setuju nilai 1, dan tidak


(64)

setuju nilai 0. Selanjutnya ditetapkan nilai skor tertinggi 22. Variabel sikap dikategorikan sebagai berikut (Arikunto, 2009) :

Sikap tidak baik, apabila total skor responden 0-11 Sikap baik, apabila total skor responden 12-22 6. Upaya pencegahan HIV/AIDS

Variabel upaya pencegahan HIV/AIDS dikategorikan sebagai berikut:

0 : Upaya pencegahan tidak baik, bila tidak selalu menggunakan kondom kepada pelanggan pada saat berhubungan seks.

: Upaya pencegahan baik, bila selalu menggunakan kondom kepada pelanggan pada saat berhubungan seks.

Tabel 3.1 Variabel, Alat Ukur, Jumlah Indikator, Hasil dan Skala Ukur Nama Variabel Indikator Cara

Pengukuran Hasil Ukur

Skala Ukur

Umur 1 Kuesioner

Remaja (< 20 tahun)

Dewasa (≥ 20 tahun). Ordinal

Pendidikan 1 Kuesioner

Rendah (SD-SLTP)

Tinggi (SLTA-S1). Ordinal

Lama Kerja 1 Kuesioner

< 5 tahun

≥ 5 tahun Ordinal

Pengetahuan 11 Kuesioner Tidak Baik (skor 0-6) Baik (skor 7-11) Ordinal

Sikap 11 Kuesioner

Tidak Baik (skor 0-11).

Baik (skor 12-22). Ordinal

Upaya pencegahan

HIV/ AIDS 5 Kuesioner

Tidak baik (tidak selalu pakai kondom).

Baik (selalu pakai kondom)


(65)

3.7. Metode Analisis Data 3.7.1. Analisis Univariat

Tujuan analisis univariat adalah untuk menjelaskan distribusi frekuensi dari masing-masing variabel independen (sosiodemografi, pengetahuan, dan sikap) dan variabel dependen (upaya pencegahan HIV/AIDS).

Analisis Bivariat

Tujuan analisis bivariat adalah untuk menentukan kandidat model analisis multivariat. Masing-masing variabel independen dihubungkan dengan variabel dependen. Bila hasil uji bivariat diperoleh nilai p < 0,05, berarti ada hubungan secara signifikan antara variabel bebas (sosiodemografi, pengetahuan, sikap) dengan variabel terikat (upaya pencegahan HIV/AIDS). Bila nilai p < 0,25, maka variabel tersebut masuk dalam model analisis multivariat. Analisis bivariat dilakukan dengan menggunakan uji chi-square, dan melakukan perhitungan Rasio Prevalensi pada setiap variabel.

Analisis Multivariat

Analisis multivariat untuk mencari faktor yang paling dominan (variabel bebas) berhubungan dengan variabel terikat yang ditunjukkan dari nilai koefisien regresi (B) yang sudah distandardisasi, yaitu nilai beta. Analisis multivariat dilakukan dengan menggunakan uji regresi logistik.


(66)

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokalisasi di Kecamatan Bangko

Kecamatan Bangko merupakan kecamatan yang paling banyak kasus AIDS, yaitu sebanyak 9 (23,7%) dari 39 kasus. Namun jumlah penderita HIV/AIDS dapat digambarkan seperti fenomena gunung es, dimana jumlah penderita yang dilaporkan jauh lebih sedikit daripada jumlah yang sebenarnya. Dapat dikatakan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di Kabupaten Rokan Hilir terutama di Kecamatan Bangko belum dapat diketahui secara pasti yang sebenarnya (Profil Dinas Kesehatan Propinsi Riau, 2011).

Lokasi prostitusi di Kecamatan Bangko merupakan salah satu lokasi yang terbesar di Kabupaten Rokan Hilir, dimana banyak mempekerjakan pekerja seks komersial (PSK) yang jumlahnya setiap tahun terus meningkat. Tahun 2010 terdapat 98 orang PSK dan pada akhir Desember 2011 jumlah tersebut meningkat menjadi 108 PSK. Tetapi angka tersebut bukanlah suatu angka yang pasti, dikarenakan adanya kesulitan untuk dapat mengumpulkan data yang tepat dan akurat serta tingginya turn over PSK dari satu kota ke kota lain.

Keberadaan lokasi prostitusi di Kecamatan Bangko tidak secara resmi diakui oleh Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir. Artinya tidak ada dokumen yang menjelaskan status kawasan tersebut, walaupun dalam pelaksanaanya aktivitas prostitusi di tempat


(67)

tersebut tetap berjalan. Beberapa kali muncul wacana dari Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir untuk menutup lokasi prostitusi tersebut, walaupun sampai saat ini belum ada satupun kebijakan Pemerintah Kabupaten Rokan Hilir yang secara resmi melarang keberadaan lokasi tersebut. Hingga saat ini pelaksanaan prostitusi masih tetap berjalan.

4.2. Analisis Univariat 4.2.1. Umur

Umur responden yang dinyatakan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 4 (empat) kategori, seperti yang terlihat pada Tabel 4.1. di bawah ini.

Tabel 4.1. Distribusi Responden Berdasarkan Kelompok Umur di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau

No. Umur (Tahun) f Proporsi (%)

1. ≤ 20 32 30,8

2. 21-25 26 25,0

3. 26-30 32 30,8

4. ≥ 31 14 13,5

Jumlah 104 100,0

Berdasarkan Tabel 4.1 diketahui bahwa usia responden dalam penelitian ini didominasi oleh responden dengan usia ≤ 20 tahun dan 26 -30 tahun, yaitu masing-masing sebesar 30,8%, sementara terendah adalah responden dengan usia ≥ 14 tahun (13,5%).

4.2.2. Pendidikan

Pendidikan responden yang dinyatakan dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 3 (tiga) kategori, seperti yang terlihat pada Tabel 4.2. di bawah ini


(1)

0 .0

104 100.0

0 .0

104 100.0

Missing Cases Total

Unselected Cases Total

If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

a.

Dependent Variable Encoding

0 1 Original Value

0 1

Internal Value

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

77 0 100.0

27 0 .0

74.0 Observed

0 1 Upaya Pencegahan Overall Percentage Step 0

0 1

Upaya Pencegahan Percentage Correct Predicted

Constant is included in the model. a.

The cut value is .500 b.

Variables in the Equation

-1.048 .224 21.954 1 .000 .351

Constant Step 0

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variables not in the Equation

9.343 1 .002

7.446 1 .006

16.107 1 .000

17.743 1 .000

28.115 4 .000

Umur Lama Pengetahuan Sikap Variables

Overall Statistics Step

0


(2)

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

30.124 4 .000

30.124 4 .000

30.124 4 .000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

88.989a .251 .369

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Estimation terminated at iteration number 6 because parameter estimates changed by less than .001. a.

Classification Tablea

68 9 88.3

17 10 37.0

75.0 Observed

0 1 Upaya Pencegahan Overall Percentage Step 1

0 1

Upaya Pencegahan Percentage Correct Predicted

The cut value is .500 a.

Variables in the Equation

.830 .892 .866 1 .352 2.294

.628 .567 1.225 1 .268 1.873

1.407 .555 6.428 1 .011 4.084

1.512 .543 7.752 1 .005 4.535

-4.756 1.582 9.034 1 .003 .009

Umur Lama Pengetahuan Sikap Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: Umur, Lama, Pengetahuan, Sikap. a.


(3)

0 .0

104 100.0

0 .0

104 100.0

Missing Cases Total

Unselected Cases Total

If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

a.

Dependent Variable Encoding

0 1 Original Value

0 1

Internal Value

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

77 0 100.0

27 0 .0

74.0 Observed

0 1 Upaya Pencegahan Overall Percentage Step 0

0 1

Upaya Pencegahan Percentage Correct Predicted

Constant is included in the model. a.

The cut value is .500 b.

Variables in the Equation

-1.048 .224 21.954 1 .000 .351

Constant Step 0

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variables not in the Equation

7.446 1 .006

16.107 1 .000

17.743 1 .000

27.839 3 .000

Lama Pengetahuan Sikap Variables

Overall Statistics Step

0


(4)

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

29.191 3 .000

29.191 3 .000

29.191 3 .000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

89.922a .245 .359

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001. a.

Classification Tablea

68 9 88.3

16 11 40.7

76.0 Observed

0 1 Upaya Pencegahan Overall Percentage Step 1

0 1

Upaya Pencegahan Percentage Correct Predicted

The cut value is .500 a.

Variables in the Equation

.833 .537 2.405 1 .121 2.300

1.512 .546 7.651 1 .006 4.534

1.663 .527 9.967 1 .002 5.274

-3.646 .889 16.809 1 .000 .026

Lama Pengetahuan Sikap Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: Lama, Pengetahuan, Sikap. a.


(5)

0 .0

104 100.0

0 .0

104 100.0

Missing Cases Total

Unselected Cases Total

If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

a.

Dependent Variable Encoding

0 1 Original Value

0 1

Internal Value

Block 0: Beginning Block

Classification Tablea,b

77 0 100.0

27 0 .0

74.0 Observed

0 1 Upaya Pencegahan Overall Percentage Step 0

0 1

Upaya Pencegahan Percentage Correct Predicted

Constant is included in the model. a.

The cut value is .500 b.

Variables in the Equation

-1.048 .224 21.954 1 .000 .351

Constant Step 0

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variables not in the Equation

16.107 1 .000

17.743 1 .000

26.327 2 .000

Pengetahuan Sikap Variables

Overall Statistics Step

0


(6)

Block 1: Method = Enter

Omnibus Tests of Model Coefficients

26.796 2 .000

26.796 2 .000

26.796 2 .000

Step Block Model Step 1

Chi-square df Sig.

Model Summary

92.316a .227 .333

Step 1

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Estimation terminated at iteration number 5 because parameter estimates changed by less than .001. a.

Classification Tablea

68 9 88.3

16 11 40.7

76.0 Observed

0 1 Upaya Pencegahan Overall Percentage Step 1

0 1

Upaya Pencegahan Percentage Correct Predicted

The cut value is .500 a.

Variables in the Equation

1.627 .535 9.258 1 .002 5.086

1.668 .522 10.199 1 .001 5.303

-2.561 .474 29.130 1 .000 .077

Pengetahuan Sikap Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variable(s) entered on step 1: Pengetahuan, Sikap. a.


Dokumen yang terkait

Hubungan Pengetahuan dan Sikap Wanita Pekerja Seks Komersial Dengan Tindakan Pencegahan Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) Di Bandar Baru Kecamatan Sibolangit Tahun 2012

4 47 154

Pengaruh Pengetahuan, Sikap dan Upaya Pencegahan terhadap Kejadian Iritasi Kulit pada Pekerja Pengemasan Ikan di Kecamatan Tanjung Tiram Kabupaten Batu Bara

0 42 173

Hubungan Sosiodemografi, Pengetahuan, dan Sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) dengan Upaya Pencegahan HIV/AIDS di Kecamatan Bangko Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau

0 80 120

Pengetahuan Dan Sikap Pekerja Seks Komersial (PSK) Tentanginfeksi Menular Seksual (IMS) Di Desa Naga Kesiangan Kecamatan Tebing Tinggi Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2010

4 49 92

Tingkat Pengetahuan Wanita Pekerja Seks Komersial (PSK) Tentang Kesehatan Reproduksi di Lokasi Pantai Nirwana Wilayah Kecamatan Puskesmas Tembilahan Kota (Riau) Tahun 2008

3 31 62

Hubungan Perilaku Pekerja Seks Komersial Dengan Kejadian Penyakit Sifilis Dan HIV Di Lokalisasi Perbatasan Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir Tahun 2008

1 58 92

Hubungan Patron Klien antara Petani Sawit Lahan Gambut dengan Buruh Tani di Desa Rokan Baru Kecamatan Pekaitan Kabupaten Rokan Hilir

6 73 110

Karakteristik Kepribadian Pekerja Seks Komersial (PSK) Berdasarkan Tes Grafis dan Tes Wartegg

1 4 2

Analisa Hubungan Kecelakaan Lalu Lintas Dengan Volume Dan Kapasitas Jalan di Ruas Jalan Rantau Bais - Ujung Tanjung Kabupaten Rokan Hilir Propinsi Riau

0 0 14

Hubungan Pemberian Makanan Pendamping Asi Dini dengan Status Gizi Bayi 0-11 Bulan di Puskesmas Bangko Rokan Hilir The Association Between Complementary Feeding of Breast Milk And Health of Infants 0-11 M0nths In Puskesmas Bangko Rokan Hilir

0 0 6