CERITA SILAT.doc 2681KB Mar 29 2010 05:00:21 AM

CERITA SILAT
SERIAL BU KEK SIAN SU (12)

KISAH PARA PENDEKAR
PULAU ES
OLEH:
ASMARAMAN S KHO PING HO
UNTUK KOLEKSI PRIBADI

DIKUMPULKAN OLEH
WAHYU WIDODO

Kaisar Kian Liong atau Chien Lung merupakan kaisar Kerajaan Ceng-tiauw (Mancu) yang
paling terkenal dan paling besar sepanjang sejarah Bangsa Mancu, semenjak bangsa yang
tadinya dianggap bangsa liar di utara itu menguasai Tiongkok mulai tahun 1644. Kaisar Kian
Liong adalah seorang kaisar yang telah terkenal semenjak dia masih menjadi pangeran,
dihormati dan dikagumi oleh rakyat dari semua lapisan, bahkan dicinta oleh para pendekar
karena pangeran itu memang berjiwa gagah perkasa, mencinta rakyat jelata, adil dan
bijaksana. Oleh karena itu, setelah dia diangkat menjadi kaisar dalam tahun 1735, pada
waktu itu dia baru berusia sembilan belas tahun, boleh dibilang seluruh rakyat
mendukungnya. Biarpun dia juga seorang Bangsa Mancu, namun cara hidupnya, sikapnya

dan
jalan
pikirannya
adalah
seorang
Han
tulen.
Baru saja dia memerintah selama lima tahun, sudah nampak kemajuan-kemajuan pesat
dalam pemerintahannya. Pemberontakan-pemberontakan rakyat padam dan kehidupan
rakyat mulai makmur. Taraf kehidupan rakyat kecil terangkat dan mulailah rakyat mengenal
pembesar dan pejabat sebagai bapak-bapak pelindung, bukan sebagai pemeras dan
penindas
seperti
di
waktu-waktu
yang
lampau.
Tidak mungkin seorang manusia dapat bertindak tanpa ada yang menentangnya. Kalau
seorang kaisar bertindak bijaksana terhadap rakyat, melindungi rakyat, secara otomatis dia
harus menentang penindasan, harus menentang pembesar-pembesar yang korup dan yang

menindas rakyat. Sebaliknya, kalau seorang kaisar berpihak kepada penindasan dan
korupsi, tentu saja berarti diapun menjadi penindas rakyat. Dalam hal pertama, dengan
sendirinya kaisar akan ditentang oleh mereka yang merasa dirugikan oleh keadilan kaisar
yang tentu saja dapat ditegakkan dengan kekerasan, dia akan ditentang oleh para koruptor
yang merasa terhalang dan terhenti sumber kemuliaannya. Dan sebaliknya, menindas rakyat
tentu
akan
dihadapi
dengan
pemberontakan
di
sana-sini.
Akan tetapi, ternyata Kaisar Kian Liong yang muda itu memilih untuk menjadi pelindung
rakyat dan menghadapi para koruptor dan penindas dengan kekerasan dan keadilan. Inilah
yang membuat rakyat mendukungnya dan para pendekar di empat penjuru juga
mendukungnya. Kenyataan inilah yang membuat pemerintahannya menjadi kuat. Sejarah
menyatakan bahwa dengan dukungan rakyat jelata, pemerintah menjadi kuat, sebaliknya
kalau ditentang rakyat, hanya mengandalkan bala tentara saja, pemerintah akan menjadi
rapuh.
Kaisar Kian Liong pada waktu itu, kurang lebih tahun 1740 setelah lima tahun dia menjadi

kaisar, seolah-olah merupakan bintang yang mengeluarkan sinar terang. Sinarnya menerangi
hati rakyat sampai jauh ke pelosok-pelosok, bahkan sinar itu terasa sekali di tempat yang
terpencil
sekalipun,
seperti
di
Pulau
Es.
Pulau Es adalah sebuah pulau terpencil jauh di utara, sebuah pulau di antara ribuan pulau
kecil yang berserakan di sekitar Lautan Kuning, Lautan Timur dan Lautan Jepang. Pulau Es
ini merupakan pulau rahasia dan jarang ada manusia yang tahu di mana letaknya yang tepat,
jarang pula ada yang pernah menyaksikannya, apalagi mendarat di sana. Akan tetapi
namanya sudah terkenal sekali, terutama di kalangan para pendekar di dunia kang-ouw.
Bahkan Pulau Es menjadi semacam dongeng bagi mereka, menjadi semacam nama yang
mereka kagumi, hormati, akan tetapi juga takuti. Siapakah orangnya yang tidak segan dan
gentar mendengar nama Pulau Es, yang menjadi tempat Istana Pulau Es dengan
penghuninya Pendekar Super Sakti atau juga Pendekar Siluman, penghuni Pulau Es?
Pendekar ini yang namanya Suma Han, memiliki kesaktian seperti dewa dalam dongeng,
pernah menggegerkan dunia kang-ouw dan karena dia merupakan seorang pendekar sejati


yang bijaksana dan budiman, maka dia dipuja-puja oleh para pendekar sebagai seorang
datuk
yang
dikagumi.
Para pembaca dari cerita-cerita terdahulu yang menjadi serial dari kisah mengenai Pulau Es
tentu telah mengenal siapa itu Pendekar Super Sakti Suma Han yang hidup dengan tenteram
dan tenang di Pulau Es bersama kedua orang isterinya yang tercinta. Isterinya yang pertama
adalah Puteri Nirahai, seorang puteri berdarah keluarga Kaisar Mancu yang amat gagah
perkasa dan agung, yang karena cinta kasihnya yang mendalam terhadap suaminya, telah
rela meninggalkan kehidupan di istana sebagai puteri dan juga sebagai panglima yang
banyak jasanya, rela hidup di tempat sunyi itu bersama suami dan madunya.
Madunya itu, isteri ke dua dari Pendekar Super Sakti, juga bukan orang sembarangan.
Wanita ini namanya Lulu, sebenarnya juga seorang puteri Bangsa Mancu walaupun bukau
keluarga kaisar seperti Puteri Nirahai. Juga Lulu ini memiliki kepandaian yang hebat karena
ia pernah menjadi majikan Pulau Neraka! Dalam hal ilmu silat, agaknya ia tidak kalah jauh
dibandingkan dengan madunya itu, apalagi setelah keduanya menjadi isteri Pendekar Super
Sakti dan menerima bimbingan sang suami yang memiliki kepandaian seperti dewa itu.
Bagaimanakah Suma Han dapat hidup bersama dua orang isterinya dalam keadaan rukun
dan tenteram? Mengapa kedua orang isterinya itu tidak saling cemburu atau iri? Dapatkah
Pendekar Super Sakti Suma Han membagi-bagi cinta kasihnya kepada dua orang isterinya

itu?
Sesungguhnya, tidak mungkin cinta kasih dibagi-bagi! Cinta kasih itu memancar dari batin
dan terasa oleh siapapun juga. Demikian pula cinta kasih Suma Han terhadap dua orang
isterinya, sebulat hatinya dan tidak berat sebelah. Kedua orang wanita itu merasa benar akan
hal ini dan oleh karena itu merekapun tidak pernah merasa iri atau cemburu. Bahkan kedua
orang wanita ini saling mencinta seperti kakak beradik sendiri saja. Tidak ada keinginan
untuk mengejar pemuasan kesenangan dirinya sendiri saja bagi cinta kasih. Yang ada
hanyalah kemesraan, belas kasih, dan kalaupun ada suatu keinginan, kalau boleh
dinamakan keinginan, maka keinginan itu mungkin hanya satu, yakni ingin melihat orang
yang dikasihinya itn berbahagia! Hanya orang yang memiliki sinar cinta kasih di dalam
batinnya sajalah yang akan mengenal cinta kasih, yang akan mengenal kebahagiaan dalam
hidupnya. Bahagia adalah tidak adanya sedikitpun konflik batin atau konflik lahir. Bahagia
adalah keadaan hebas dari ikatan apapun juga, jadi batinnya hening dan tidak mempunyai
apa-apa walaupun boleh jadi secara lahiriah dia memiliki segalanya. Dan karena batin tidak
memiliki apa-apa, tidak terikat apa-apa inilah maka dia telah memiliki segala-galanya!
Siapakah sebenarnya pendekar yang disebut Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman,
atau juga Tocu (Majikan) Pulau Es itu? Orang macam apakah dia itu? Suma Han adalah
seorang yang kini telah tua sekali. Usianya telah mendekati seratus tahun, atau tepatnya
sembilan puluh lima tahun! Seorang kakek yang bertubuh tinggi sedang, perutnya tidak
gendut, kaki tangannya masih nampak kokoh kuat walaupun kakinya hanya sebelah saja.

Kaki kirinya buntung sebatas paha dan untuk melangkah dia dibantu oleh tongkat.
Rambutnya panjang terurai, tidak pernah digelung, dibiarkan terurai di pundak. Akan tetapi
rambut itu terpelihara sekali, bersih dan halus seperti benang-benang perak yang mengkilap
kalau tertimpa cahaya matahari. Selain rambutnya, juga alisnya, kumis dan jeuggotnya
semua telah putih. Tidak ada sehelaipun yang hitam. Namun wajahnya masih nampak segar
kemerahan, matanya masih awas dan tajam pandangannya, walaupun bersinar lembut
sekali. Pendengarannya masih amat baik, juga giginya tidak ompong. Pendeknya panca
indranya masih tidak banyak menurun, masih kuat. Kesehatannya memang amat

mengagumkan. Tidak pernah dia sakit. Tentu saja, usia tua telah membuat tubuhnya agak
layu dan tenaga otot dan tulangnya tidaklah sekuat dahulu lagi. Pakaiannya sederhana, akan
tetapi selalu bersih dan rapi berkat rawatan kedua orang isterinya yang amat mencintanya.
Dan dalam usia hampir satu abad itu, harus diakui bahwa masih membayang bekas
ketampanan wajah

Pendekar tua ini dihormati dan disegani oleh semua tokoh kang-ouw karena dia memang
lihai bukan main. Banyak sekali ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, di antaranya yang
hebat-hebat adarah Ilmu Hwi-yang Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Api), Swat-im Sin-ciang
(Tangan Sakti Inti Salju), Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) yang dimainkan
dengan tongkatnya, dan terutama sekali Ilmu Soan-hong Lui-kun (Silat Sakti Badai Petir)

yang membuat tubuhnya dapat bergerak sedemikian cepatnya seperti pandai menghilang
saja. Dan di samping ilmu silat tinggi yang banyak ragamnya, juga pendekar ini mempunyai
kekuatan sihir yang luar biasa, yang membuat dia dijuluki Pendekar Siluman!
Isterinya yang pertama, Puteri Nirahai juga sudah tua sekali, selisihnya hanya beberapa
tahun dengan suaminya. Nirahai ini berdarah Mancu aseli, dan sudah beberapa kali
namanya menjadi terkenal ketika ia menjadi panglima dan menggerakkan pasukan
pemerintah menumpas pemberontakan-pemberontakan dengan hasil baik. Ia bukan saja
pandai ilmu silat, akan tetapi juga mahir dalam ilmu perang. Ia mewarisi ilmu-ilmu dari dua
orang pendekar wanita yang berjuluk Mutiara Hitam dan Tok-siauw-kwi yang menjadi ibu
kandung Pendekar Suling Emas, maka Nirahai ini amat lihai dengan Ilmu-ilmu Sin-coa-kun
(Ilmu Silat Ular Sakti), Pat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Delapan Setan), Pat-sian Kiam-hoat
(Ilmu Pedang Delapan Dewa) yang digabungnya dengan Pat-mo Kiam-hoat, juga senjata
rahasianya Siang-tok-ciam (Jarum Beracun Harum) amat berbahaya. Di waktu mudanya,
Nirahai cantik sekali, dengan pakaian bergaya Mancu dan topi bulu selalu menghias rambut
kepalanya yang dahulunya panjang dan hitam berombak akan tetapi sekarang telah menjadi
putih itu. Dan di dalam usianya yang sembilan puluh tahun lebih, ia masih belum kehilangan
kerampingan tubuhnya dan kecantikan wajahnya masih membayang pada garis-garis
mukanya. Wataknya halus akan tetapi tegas, agung dan agak tinggi hati karena ia memiliki
darah
bangsawan

tinggi
di
tubuhnya.
Isteri ke dua yang bernama Lulu, sesungguhnya tidak dapat dikatakan isteri pertama atau ke
dua di antara kedua wanita ini karena mereka tidak merasa berbeda dalam tingkat menjadi
isteri-isteri Pendekar Super Sakti, juga merupakan seorang nenek yang luar biasa lihainya.
Karena ia pernah menjadi ketua Pulau Neraka, maka sampai tuapun Lulu lebih suka
mengenakan pakaian serba hitam yang sederhana namun bersih dan rapi. Ia juga berdarah
Mancu yang lihai sekali karena ia telah mewarisi ilmu-ilmu simpanan dari Pendekar Suling
Emas, terutama sekali Ilmu Hong-in Bun-hoat (Silat Sastera Hujan Angin) dan Toat-beng
Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nyawa), dua ilmu yang berasal dari manusia dewa Bu Kek
Siansu. Watak Lulu ini keras dan ganas, namun ia berjiwa pendekar dan dalam membela
keadilan ia seperti seekor naga betina yang pantang undur. Di waktu mudanya, ia pernah
meliar sampai menjadi ketua Pulau Neraka, akan tetapi akhirnya ia dapat “dijinakkan” oleh
Pendekar Super Sakti dan menjadi isterinya. Usianya hanya setahun lebih muda dari Nirahai,
sehingga ia kini sudah berusia sembilan puluh tahun dan menjadi seorang nenek yang
gerak-geriknya
masih
gesit.


Demikianlah keadaan suami isteri yang sudah tua renta itu. Karena mereka sudah tua,
mereka tidak mau lagi memusingkan diri dengan urusan dunia dan sudah bertahun-tahun
mereka bertiga tidak meninggalkan Pulau Es, hidup tenteram dan tenang di tempat terasing
itu, dan setiap hari lebih banyak duduk bersamadhi di kamar masing-masing. Urusan rumah
tangga ditangani oleh keluarga yang lebih muda, yaitu tiga orang cucu mereka yang tinggal
di Pulau Es untuk belajar ilmu dari kakek dan nenek-nenek mereka.
Bagi para pembaca yang telah mengenal keluarga Pu1au Es, tentu tahu bahwa Puteri
Nirahai dan Suma Han mempunyai seorang putera yang bernama Suma Kian Bu yang juga
pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan sepak terjangnya sehingga dia
mendapatkan julukan Pendekar Siluman Kecil! Pendekar ini, selain mewarisi ilmu-ilmu dari
Pulau Es, juga mempunyai sebuah ilmu yang membuat dia terkenal sekali, yaitu Ilmu Sin-ho
Coan-in, dan juga Ilmu Jouw-sang-hui-teng (Terbang Di Atas Rumput). Suma Kian Bu ini
menikah dengan seorang pendekar wanita pula bernama Teng Siang In yang pandai ilmu
silat dan ilmu sihir. Suami isteri pendekar ini sekarang tinggal di lembah Sungai Huang-ho, di
luar kota Cin-an, di dusun dekat hutan yang sunyi dan indah, hidup tenteram sebagai petani
yang juga berdagang rempah-rempah dan hasil bumi ke kota Cin-an. Mereka hanya
mempunyai seorang putera yang kini telah berusia sepuluh tahun, bernama Suma Ceng
Liong.
Lulu juga mempunyai seorang putera dengan Suma Han, yaitu Suma Kian Lee yang usianya
setahun lebih tua daripada Suma Kian Bu. Suma Kian Lee menikah dengan seorang

pendekar wanita yang berwatak keras dan ganas, puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo iblis yang
amat jahat, yang bernama Kim Hwee Li, cantik jelita dan berpakaian serba hitam, namun
berjiwa pendekar. Suami isteri ini hidup saling mencinta dan keliaran Kim Hwee Li dapat
dijinakkan oleh suaminya yang tercinta, yaitu Suma Kian Lee yang berwatak halus lembut
dan bijaksana. Suami isteri ini sekarang telah berusia hampir lima puluh tahun dan tinggal di
Thian-cin sebelah selatan kota raja di mana mereka membuka toko obat. Suami isteri ini
telah mempunyai dua orang anak, seorang anak perempuan berusia delapan belas tahun
bernama Suma Hui dan seorang anak laki-laki bernama Suma Ciang Bun yang sudah
berusia lima belas tahun.
Tiga orang cucu inilah, yaitu Suma Hui yang berusia delapan belas tahun, Suma Ciang Bun
yang berusia lima belas tahun, dan Suma Ceng Liong yang berusia sepuluh tahun, yang kini
menemani kakek dan kedua orang nenek mereka di Pulau Es. Orang tua mereka
menempatkan anak-anak itu di Pulau Es, bukan hanya untuk menerima pendidikan dari
kakek nenek mereka, mewarisi semua ilmu Pulau Es sebagai ahli waris-ahli waris, juga di
samping itu untuk menemani dan menghihur hati tiga orang tua renta yang hidup kesepian
itu.
Selain tiga orang tua renta dan tiga orang cucu mereka itu, di Pulan Es masih terdapat lima
orang pelayan, dua orang wanita dan tiga orang pria. Mereka ini tidak termasuk murid, hanya
pelayan-pelayan biasa biarpun mereka juga tidak urung terpercik sedikit ilmu dari keluarga
berilmu itu dan biarpun mereka itu tadinya hanya kaum nelayan kasar belaka namun kini

mereka telah memiliki kekuatan yang akan mengejutkan orang biasa. Demikianlah sekelumit
tentang
para
penghuni
Pulau
Es
pada
waktu
cerita
ini
terjadi.
Pulau itu sendiri merupakan pulau yang penuh dengan batu karang yang diselimuti es
sehingga selalu nampak putih dan hawanya dingin sekali. Di situ tidak dapat ditanami
tumbuh-tumbuhan, oleh karena itu kebutuhan pangan dari tumbuh-tumbuhan para penghuni
harus didatangkan dari pulau-pulau lain di sekitar daerah lautan itu, dan hal ini dikerjakan

oleh para pelayan. Sebulan sekalipun cukuplah untuk berbelanja sayur-sayuran, kebutuhan
makanan lain seperti daging dapat mereka peroleh dari ikan-ikan di laut. Pulau itu cukup
besar, ada lima hektar luasnya dan dari merupakan dataran yang di bagian tengahnya
berbukit. Di tengah pulau itu nampaklah sebuah bangunan kuno yang kokoh kuat, kelihatan
sederhana
saking
tuanya.
Bangunan besar itu memang dahulunya merupakan sebuah istana. Dan karena kini para
penghuninya kekurangan tenaga untuk merawat, maka tembok di luar istana itu sudah lama
tidak dikapur, bahkan kapurnya ada yang terlepas nampak bata yang tua dan besar tebal. Di
depan istana terdapat pintu yang besar dan kokoh. Kalau pintu ini dibuka, nampaklah
ruangan depan istana kuno itu yang luas. Sampai kini, bagian dalam istana yang dijadikan
tempat tinggal masih terpelihara baik-baik dan masih nampak indah walaupun perabotperabot rumahnya amat kuno. Tentu saja tidak sekuno bangunan itu sendiri. Ruangan depan
itu masih terpelihara, nampak bersih dan perabot-perabotnya yang kuno itu menimbulkan
pandangan yang nyeni dan indah. Dindingnya terawat dan dikapur putih. Lukisan-lukisan
kuno yang tentu merupakan benda langka dan mahal di kota, menghias dinding, bersaing
dengan tulisan-tulisan pasangan yang merupakan huruf-huruf indah dalam kalimat-kalimat
bersajak, perpaduan yang amat indah dari coretan huruf dan keindahan sajak. Lantai
ruangan itu terbuat dari batu mengkilap bersih. Perabot-perabot seperti meja kursi dan
lemari-lemari kayu terbuat daripada kayu besi yang kuat, terukir nyeni berbentuk kepala
naga. Piring-piring hiasan, guci-guci berukir naga dan burung hong dan bunga-bunga
menghias ruangan itu. Ada tiga buah pintu di ruangan depan yang luas itu. Pintu tengah yang
terbesar menuju ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil di kanan kiri menembus ke
halaman samping dan ke sebuah lorong yang menuju ke bangunan kecil. Di sudut ruangan,
juga merupakan penghias yang selain mendatangkan keindahan juga keangkeran, terdapat
sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata. Akan tetapi senjatasenjata itu bukan sekedar hiasan belaka, karena melihat betapa senjata-senjata itu
mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan runcingnya, mudah diketahui bahwa senjatasenjata
itu
adalah
benda-benda
pilihan
yang
ampuh!
Keadaan di sebelah dalam istana ini, setelah pintu depan ditutup, tidaklah sedingin di luar.
Dan istana yang dari luar hanya mendatangkan rasa serem karena pautasnya dihuni oleh
setan-setan dan iblis-iblis, ternyata di sebelah dalamnya amat bersih dan terawat, juga enak
ditinggali, walaupun harus diakui bahwa hawanya amat dingin. Perabot-perabot rumah yang
serba kuno memenuhi seluruh ruangan, dan istana itu mempunyai banyak kamar tidur, juga
ruangan makan, ruangan duduk dan perpustakaan. Ruangan paling belakang merupakan
semacam lian-bu-thia (ruangan berlatih silat) yang enak untuk berlatih silat.
Demikianlah penggambaran singkat tentang Pulau Es, istananya dan penghuni-penghuninya,
dan suasana di pulau itu selalu tenteram dan wajah para penghuninya selalu nampak cerah.
Di pulau inilah, Pulau Es yang terkenal sebagai dongeng, sebagai tempat yang ditakuti dan
juga disegani, cerita ini dimulai!

“Bun-koko, ajarkan padaku Swat-im Sin-ciang! Kenapa engkau begini pelit untuk
mengajarnya kepadaku, Bun-koko?” terdengar rengekan seorang anak laki-laki berusia
sepuluh tahun. Suaranya nyaring dan biarpun dia merengek dan memohon, namun jelas dia
bukan seorang anak manja atau cengeng. Anak ini bertubuh tinggi besar bagi seorang anak
berusia sepuluh tahun, wajahnya agak lonjong dengan dagu runcing namun garisnya kuat
membayangkan keteguhan hati, sepasang matanya amat tajam seperti mata harimau,
alisnya tebal dan mulutnya selalu membayangkan senyum nakal. Anak ini adalah Suma
Ceng Liong, putera dan anak tunggal dari pendekar Suma Kian Bu atau Pendekar Siluman
Kecil dan isterinya, Teng Siang In. Para pembaca cerita SULING EMAS DAN NAGA
SILUMAN tentu masih ingat betapa suami isteri ini baru memperoleh keturunan setelah
mereka berdua berhasil membunuh seekor ular hijau yang besar dan mengambil sebuah
benda sebesar telur ayam kecil yang disebut cu (mustika). Oleh karena itu, setelah Teng
Siang In mengandung dan kemudian melahirkan anak, anak itu diberi nama Ceng Liong
(Naga Hijau) untuk menyatakan perasaan bersyukur kepada ular hijau itu yang mereka
anggap membantu mereka dapat memperoleh keturunan setelah lebih sepuluh tahun
menikah
dan
belum
juga
dikaruniai
putera.
Pagi hari itu, hawa masih luar biasa dinginnya bagi orang biasa, akan tetapi tidak begitu
terasa mengganggu bagi para penghuni Pulau Es yang sudah terbiasa. Ceng Liong sudah
berada di luar istana bersama kedua orang kakaknya, yaitu putera dan puteri Suma Kian Lee
yang
merupakan
kakak-kakak
misannya.
“Ah, Liong-te, bukan aku pelit, akan tetapi sesungguhnya aku sendiri belum mahir Ilmu Swatim Sin-ciang. Kakek sedang memperdalam Ilmu Hwi-yang Sin-ciang kepadaku dan baru
memberi dasar-dasarnya saja dari Ilmu Swat-im Sin-ciang. Kalau mau mempelajari ilmu itu,
mintalah kepada cici,” jawab Suma Ciang Bun. Pemuda putera Suma Kian Lee ini berwatak
halus dan pendiam seperti ayahnya, biarpun usianya baru lima belas tahun akan tetapi
sikapnya serius dan tindak-tanduknya selalu berhati-hati. Wajahnya bulat dengan kulit muka
agak kecoklatan tidak seputih kulit muka Ceng Liong dan matanya lebar, membayangkan
kesungguhan dan kejujuran. Pemuda ini persis seperti ayahnya di waktu muda, baik wajah
maupun
sikapnya.
Mendengar jawaban kakaknya itu, Ceng Liong lalu menoleh kepada Suma Hui. “Hui-cici,
bolehkah aku belajar Swat-im Sin-ciang darimu?” Sikap dan kata-kata Ceng Liong terhadap
gadis itu berbeda daripada sikapnya terhadap Ciang Bun. Terhadap Ciang Bun, Ceng Liong
yang lincah itu kadang-kadang berani bergurau, akan tetapi menghadapi dara itu dia tidak
berani main-main. Suma Hui ini memang bisa bersikap jenaka dan baik sekali, akan tetapi
kadang-kadang, kalau sedang “kumat” menurut istilah Ceng Liong, dara itu bisa menjadi
galak dan tidak segan-segan untuk menyerang dan menghukum kenakalan Ceng Liong
dengan kata-kata maupun dengan cubitan dan jeweran! Karena inilah maka Ceng Liong
agak takut untuk menggoda dan selalu bersikap hormat seperti layaknya seorang adik
terhadap
saudara
yang
lebih
tua,
kalau
bicara
dengan
Suma
Hui.
Dara itu mengerutkan alisnya ketika mendengar permintaan Ceng Liong. Alis yang hitam
kecil dan panjang melengkung seperti dilukis saja, di atas wajah yang berkulit putih
kemerahan, wajah yang berdagu runcing, bermata tajam dan bening, dengan bulu mata
panjang lentik, hidung mancung dan mulut kecil yang bibirnya selalu merah membasah,
wajah yang manis! Memang Suma Hui seorang dara yang manis, seperti ibunya di waktu
muda, akan tetapi juga wataknya yang keras, lincah, kadang-kadang ganas dan liar
walaupun pada dasarnya watak itu gagah dan selalu menentang segala yang tidak benar
dan jahat. Dara berusia delapan belas tahun ini sungguh amat menarik hati, bagaikan

setangkai bnnga yang sedang mulai mekar mengharum, memiliki daya tarik yang amat kuat
sehingga setiap gerakan anggauta tubuhnya yang manapun, kerling mata, senyum bibir,
gerakan cuping hidung, gerakan kepala atau tangan, semua itu mempunyai daya tarik yang
indah
tersendiri.
“Ceng Liong, apakah engkau sudah melupakan semua nasihat kakek dan kedua orang
nenek kita yang bijaksana? Ilmu silat tidak mungkin dipelajari secara serampangan atau
sembarangan saja. Belajar ilmu silat seperti membangun rumah, harus dimulai dari dasarnya
dulu. Tanpa dasar dan kerangka yang kokoh kuat, jangan harap akan dapat menguasai ilmu
silat dengan sempurna. Mempelajari gerakan-gerakannya saja memang mudah, akan tetapi
semua itu hanya akan menjadi gerakan-gerakan kosong untuk menggertak orang belaka,
tanpa isi yang bermutu. Engkau tergesa-gesa hendak mempelajari Swat-im Sin-ciang,
apakah kaukira mempelajari ilmu itu sama mudahnya dengan membuat istana pasir di pantai
saja? Engkau harus bersabar dan mengikuti semua pelajaran dengan seksama, jangan ingin
melangkah
terlalu
jauh
kalau
kakimu
belum
kuat.
Mengerti?”
“Mengerti, ibu guru!” tiba-tiba Ciang Bun yaug menjawab. Adik ini biarpun pendiam dan
serius, namun dia amat sayang kepada Ceng Liong dan kiranya hanya dia yaug berani
membantah atau mengejek Suma Hui karena dia tahu bahwa encinya itu terlalu amat sayang
kepadanya sehingga tidak akan pernah memarahinya. Melihat Ceng Liong tidak diajari ilmu
itu malah diberi nasihat dan teguran, hati Ciang Bun membela dan diapun mengejek encinya
yang
bersikap
seperti
seorang
guru
memberi
kuliah.
“Hushh!” Suma Hui mendengus kepada adik kandungnya. “Aku tidak bicara denganmu!”
“Engkau tidak mau mengajarnya, bilang saja tidak mau, kenapa masih harus menegurnya?”
Ciang
Bun
membela
Ceng
Liong.
“Huh, engkau yang tolol!” Suma Hui membanting kaki kirinya. Sungguh kebiasaan ini persis
kebiasaan ibunya di waktu muda, hanya bedanya kalau Hwee Li, ibunya, suka membantingbanting kaki kanan, dara ini membanting-banting kaki kiri kalau hatinya sedang kesal. “Bunte, engkau ini hanya akan merusak watak Ceng Liong saja dengan cara-caramu yang
memanjakannya. Engkau sendiri tentu tahu betapa bahayanya mengajarkan Swat-im Sinciang pada orang yang belum kuat benar sin-kangnya. Engkau sendiri baru memperdalam
Hwi-yang Sin-ciang, bagaimana mungkin anak sebesar Ceng Liong ini dilatih Swat-im Sinciang? Apa kau ingin melihat Liong-te celaka dengan mempelajari ilmu itu sebelum
waktunya?”
Ciang Bun maklum bahwa melawan encinya ini, tak mungkin dia akan menang berdebat,
maka dia lalu diam saja, tidak dapat membantah lagi. Melihat ini, Ceng Liong lalu berkata,
“Aih, sudahlah, enci Hui, Bun-ko hanya main-main saja dan akupun tadi hanya minta dengan
iseng-iseng
saja.”
Suma Hui memang mudah kesal dan marah, akan tetapi iapun mudah sekali melupakan
kemarahannya. Ia menarik napas panjang dan wajahnya yang cantik manis itu nampak
ramah lagi. “Adikku yang baik, ketahuilah bahwa biarpun Ilmu Swat-im Sin-ciang tidak dapat
dikata lebih tinggi tingkatnya dari pada Hwi-yang Sin-ciang, akan tetapi mempelajari kedua
ilmu itu di Pulau Es, tentu saja Hwi-yang Sin-ciang jauh lebih mudah. Kita tinggal di tempat ini
secara otomatis telah berlatih. Di dalam tubuh kita sudah ada kelengkapan-kelengkapan
untuk menyesuaikan diri dengan hawa di luar tubuh. Daya kekuatan melawan dingin di
tempat ini bekerja sepenuhnya dan ditambah dengan latihan-latihan, maka otomatis kita

mudah sekali mengerahkan tenaga panas untuk menahan serangan hawa dingin di pulau ini.
Maka, dengan latihan melawan hawa dingin, kita mudah saja dapat menguasai Hwi-yang
Sin-ciang yang mengandalkan tenaga panas di tubuh. Sebaliknya, karena kita sudah biasa
mengerahkan hawa panas melawan serangan dingin, agak sukarlah bagi kita untuk
menguasai Swat-im Sin-ciang. Ilmu ini lebih mudah dipelajari di tempat-tempat panas karena
otomatis daya tahan dalam tubuh kita bergerak melawan udara panas. Mari kita berlatih,
Bun-te. Engkau berlatih Hwi-yang Sin-ciang dan aku berlatih Swat-im Sin-ciang. Biarlah adik
Ceng Liong menyaksikan dan memperhatikan baik-baik agar kelak setelah tiba waktunya dia
belajar,
dia
sudah
tahu
cukup
banyak.”
Mereka bertiga lalu berjalan menuju ke ujung pulau di sebelah barat. Setelah kini lenyap
kekesalan hatinya, Suma Hui menggandeng tangan kedua orang adiknya itu dan mereka
berjalan dengan gembira menuju ke ujung pulau itu di mana terdapat sebuah teluk kecil.
Teluk ini banyak mengandung gumpalan-gumpalau es yang mengambang di atas air laut.
“Ceng Liong, coba kaulatih Sin-coa-kun yang telah kaupelajari dari nenek Nirahai!” kata
Suma Hui. “Aku mendengar dari nenek bahwa engkau berbakat sekali dalam ilmu silat
tangan kosong. Coba mainkanlah agar kami melihatnya.”

Kakek itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, masih menatap wajah kedua
orang isterinya itu berganti-ganti. “Kalian memang benar. Kematian hanya merupakan
kelanjutan daripada kehidupan. Hidup takkan mungkin pernah terpisah dari pada mati. Ada
hidup tentu ada mati seperti ada awal tentu ada akhir, walaupun kematian bukan merupakan
akhir segala-galanya. Orang sesungguhnya tidak takut akan kematian itu sendiri, melainkan
ngeri karena harus berpisah dari segala-galanya yang disayangnya, harus terlepas dari
segala macam bentuk pengikatan manis dalam hidupnya. Kematian adalah suatu hal yang
wajar. Jadi, kalian sama sekali tidak pernah merasa ngeri menghadapi kematian?”
“Nanti dulu, suamiku,” kata nenek Nirahai. “Kita sekarang ini masih segar-bugar, masih sehat
walaupun usia kita telah mendekati satu abad, akan tetapi mengapa kita bicara tentang
kematian? Kalau kematian itu merupakan suatu kewajaran, dan kalau kita tidak takut
menghadapinya, perlu apa kita membicarakannya seperti orang yang ketakutan
menghadapinya?”
Kini kakek Suma Han tertawa. Suara ketawanya masih seperti suara ketawa orang muda
dan giginyapun masih baik sehingga ketika dia tertawa, wajahnya nampak jauh lebih muda
walaupun
rambut,
kumis
dan
jenggotnya
telah
putih
semua.
“Engkau masih dapat tertawa seperti itu akan tetapi bicara tentang kematian. Sungguh tidak
lucu!”
Nenek
Lulu
berkata.
Ucapan isterinya yang biasanya galak ini membuat Suma Han semakin gembira tertawa.
“Kita membicarakan kematian bukan karena takut, melainkan membicarakannya sebagai
suatu hal yang tak terhindarkan dan suatu hal yang amat akrab di dalam hatiku.

Sesungguhnya, bukankah kita bertiga ini sudah lama mati? Mati dalam hidup, yaitu mati
daripada segala ikatan yang memberatkan batin. Kita bertiga sudah berusia begini lanjut.
Kiranya jarang ada yang dapat mencapai usia selanjut kita dan hal ini terjadi karena cara
hidup kita yang bersih dan selalu menjaga diri tidak menyalahi hukum-hukum kehidupan dan
mempunyai tertib diri. Terutama sekali, karena kita bertiga hidup berbahagia. Kalau tadi aku
bertanya, aku hanya ingin mendengar kepastian bahwa kalian berdua tidak takut akan
kematian yang sudah berada di depan mata karena usia kita yang sudah sangat tua. Kita
tidak mungkin hidup tanpa akhir, jasmani kita akan melapuk dan melemah dimakan usia....”
“Sudahlah, suamiku. Perlu apa kita bicara tentang kematian? Bukan berarti bahwa aku takut
menghadapi kematian. Tidak, sejak dahulu aku tidak takut. Sudah berapa puluh kali kita
semua menghadapi ancaman maut, namun tidak sekalipun kita merasa takut, bukan? Nah,
kalau
ada
yang
kutakuti,
hanya
satu,
yaitu....”
“Heh-heh, engkau....? Engkau.... takut....? Aih, adik Lulu, siapa bisa percaya kalau engkau
mengatakan bahwa engkau takut? Aku yakin akan keberanian dan ketabahanmu, sehingga,
andaikata Giam-lo-ong sendiri muncul di depanmu, tentu akan kausambut dia dengan
senyum mengejek.” Nirahai mencela dengan kelakar karena memang nenek ini sudah tahu
benar akan keberanian madunya yang tidak pernah mengenal takut itu.
“Benar, enci, aku memang takut akan suatu hal. Aku takut kalau-kalau aku akan mati sebagai
seekor harimau betina yang telah ompong dan kehilangan cakar kakinya.”
Suma

Han

menatap

wajah

isterinya

ini

lalu

bertanya,

“Apa

maksudmu?”

“Semenjak kecil aku mempelajari ilmu silat. Memang tidak sia-sia karena ilmu itu telah
banyak menolongku di waktu dahulu, dan kini dapat pula kuturunkan kepada anak cucu.
Akan tetapi, memikirkan semua itu lalu membayangkan bahwa aku kelak akan mati dalam
keadaan lemah dan sakit-sakitan, sungguh.... ngeri juga hatiku. Aku ingin mati sebagai
seekor harimau betina yang gagah perkasa, biarpun sudah tua, seekor harimau betina yang
mati dalam amukannya dikeroyok segerombolan serigala misalnya! Tidak mati sakit dan
lemah
menyedihkan....”
Nenek Nirahai mengangguk-angguk. “Tepat! Akupun seringkali merasa ngeri membayangkan
mati dalam keadaan seperti ini. Berilah aku pasukan, aku akan maju perang membasmi
gerombolan jahat, pengacau-pengacau dan pemberontak. Biarkan aku gugur dalam
pertempuran, mati dengan pedang di tangan, bukan mati sebagai seorang nenek yang
lumpuh
dan
lemah
sakit-sakitan.
Hih,
mengerikan!”
Mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang.
“Aihh, kiranya setua ini kalian masih saja menyimpan kekerasan di dalam sanubari kalian.
Belum cukupkah kekeruhan yang kita lakukan selama kita hidup, mengandalkan ilmu-ilmu
kekerasan
yang
ada
pada
kita?”
“Akan tetapi, bukan kita yang mencari kekerasan. Kita hanya menanggapi saja, menghadapi
lawan yang merajalela bertindak sewenang-wenang dengan ilmu mereka. Kita hanya
membela si lemah yang tertindas, menentang si kuat yang lalim,” kedua orang isterinya
menjawab
hampir
berbareng.
Pendekar tua itu mengangguk-angguk. “Aku tidak akan membantah pendapat kalian,

walaupun kebenaran pendapat itu hanya menjadi hasil pandangan sebelah saja. Sekarang
kita
hidup
tenang
dan
tenteram,
mengapa
merindukan
kekerasan?”
“Suamiku, jangan salah duga,” kata nenek Lulu. “Aku tidak merindukan kekerasan, hanya
aku ingin mati sebagai seorang gagah. Biarpun sudah tua begini, ngeri aku membayangkan
mati
sebagai
seorang
nenek
yang
lemah
dan
berpenyakitan.”
Suaminya mengangguk-angguk. “Harapan sih boleh saja, akan tetapi yang menentukan
adalah kenyataan. Memang kematian telah berada di depan mata, dan aku merasa lega
bahwa kita bertiga akan berani menghadapinya dengan bebas rasa takut.”
“Suamiku, sudahlah, tidak enak rasanya bicara tentang kematian selagi kita masih hidup.
Apakah engkau ingin minum air buah seperti biasa?” tanya Nirahai. Setelah menghentikan
samadhi mereka yang kadang-kadang sampai makan waktu tiga hari tiga malam, mereka
bertiga suka memulai makan dengan minum air buah. Suma Han mengangguk dan Nirahai
lalu menggunakan kedua tangannya untuk bertepuk dan tidak lama kemudian muncullah
seorang pelayan wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun. Nirahai lalu menyuruh
pelayan itu menghidangkan air buah dan makanan-makanan lembut dan ringan untuk
mengisi perut mereka yang kosong. Setelah mereka bertiga mengisi perut yang kosong
dengan sari buah dan makanan-makanan ringan, Suma Han bertanya, “Di manakah cucucucu
kita?
Kenapa
tidak
ada
suara
mereka
di
dalam?”
“Mereka tentu berada di luar istana,” kata nenek Nirahai. “Aku mulai memikirkan apakah tidak
sebaiknya kalau mereka itu sekali waktu disuruh melakukan perjalanan ke kota raja?
Keadaan negara sedang aman tenteram, baik sekali kalau mereka itu meluaskan
pemandangan
dan
pengetahuan
pergi
ke
kota
raja.”
“Menurut berita yang dibawa oleh para pelayan, memang kaisar muda Kian Liong amat
bijaksana,” kata Suma Han. “Syukurlah kalau akhirnya negara memiliki seorang kaisar yang
benar-benar bijaksana dan dapat membuat rakyat hidup adil makmur, negara kuat dan
keamanan hidup terjamin. Betapa sejak dahulu aku merindukan keadaan seperti itu.”
“Semenjak masih muda sekali, ketika masih menjadi pangeran, memang Pangeran Kian
Liong sudah nampak sebagai seorang yang bijaksana,” kata nenek Nirahai.
“Aku jadi ingin sekali melihat kota raja dalam keadaan makmur seperti sekarang,” kata nenek
Lulu.
“Sebaiknya panggil mereka itu masuk, aku ingin bicara dengan mereka,” kata kakek itu.
“Biar aku yang mencari mereka!” Nenek Lulu bangkit dari lantai dan dengan langkah masih
gesit nenek ini lalu meninggalkan ruangan samadhi dan keluar dari istana mencari tiga orang
cucunya.

“Jangan lepaskan pandang matamu dari tubuh lawan, terutama sepasang pundaknya dan
gerak kakinya. Gerakan sendiri tidak perlu kita ikuti dengan mata, melainkan dengan
perasaan saja, karena itulah maka gerakan perlu dilatih agar menjadi otomatis sehingga
seluruh pandang mata dan perhatian kita tak pernah terlepas daripada gerakan lawan.”
Demikian Suma Hui memberi nasihat kepada kedua orang adiknya. Kemudian dara yang
cantik manis ini lalu mengeluarkan sepasang pedang dan mulai memainkan sepasang
pedang ini dalam Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis). Namanya
saja menyeramkan, akan tetapi sesungguhnya ilmu pedang ini amat hebat, dahsyat dan
kalau dimainkan oleh seorang dara seperti Suma Hui nampak indah seolah-olah dara itu
bukan sedang bersilat melainkan sedang menari-nari saja. Sepasang pedangnya lenyap
bentuknya dan berobah menjadi dua gulung sinar yang saling belit dan saling sambung.
Ciang Bun dan Ceng Liong nonton dengan penuh kagum. Memang indah sekali tarian
pedang yang dimainkan oleh Suma Hui itu. Bagi orang-orang tidak mengerti, atau yang ilmu
silatnya masih rendah, tentu akan memandang ringan dan akan mengira bahwa itu hanya
merupakan tarian pedang yang indah saja akan tetapi yang tidak berbahaya kalau dipakai
dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Perkiraan seperti itu sungguh akan membuat
orangnya kecelik bukan main. Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu bukan hanya indah
dipandang, akan tetapi juga amatlah dahsyatnya, dan merupakan ilmu pedang yang sukar
dicari bandingnya di dunia persilatan pada waktu itu. Saking asyiknya Suma Hui bersilat
pedang dan kedua orang adiknya nonton dengan hati kagum, mereka bertiga sampai tidak
melihat adanya perubahan aneh yang terjadi di lautau di sekitar Pulau Es. Ternyata pada
pagi hari itu, tidak seperti biasanya, nampak belasan buah layar bermunculan di sekitar
pulau, bahkan sebuah perahu besar di antara sekian banyak perahu itu telah memasuki teluk
dan
mendarat!
“Bagus!
“Cantik

Bagus
jelita

dan

indah
seperti

sekali!”
bidadari!”

Suara pujian-pujian dan tertawa gembira itu mengejutkan tiga orang cucu Pendekar Super
Sakti. Tentu saja Suma Hui cepat menghentikan permainan pedangnya dan menyimpan
sepasang pedang itu di sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Dua orang anak
laki-laki itupun cepat menengok dan mereka bertiga kini berhadapan dengan tujuh orang lakilaki yang berloncatan turun dari perahu, sedangkan di atas perahu besar itu masih terdapat
beberapa orang anak buah perahu. Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu telah dua
tahun berada di Pulau Es dan mereka belum pernah melihat ada perahu asing mengunjungi
pulau, maka mereka memandang dengan penuh keheranan dan mengira bahwa tentu
mereka ini merupakan tamu-tamu kakek mereka. Akan tetapi, Suma Hui mengerutkan
alisnya yang hitam karena dara yang sudah berusia delapan belas tahun ini, sebagai puteri
suami isteri pandekar, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang
termasuk dalam kelompok kaum sesat. Hal ini mudah saja dikenalnya, dari cara mereka
berpakaian, dari wajah yang penuh dengan watak keras itu, dan terutama sekali dari sikap
mereka yang kelihatan sombong, mengagulkan diri, dan juga tidak sopan. Hatinya sudah
dipenuhi rasa tidak suka melihat betapa tujuh orang yang dihadapinya itu memandang
kepadanya dengan cengar-cengir dan menyeringai memuakkan. Suara pujian akan
kecantikannya tadi mengandung kekurangajaran, walaupun tujuh orang itu bukan muda lagi,

antara empat puluh sampai enam puluh tahun. Namun, dari gerakan mereka ketika
berloncatan turun tadi, mudah diketahui bahwa mereka itu rata-rata pandai main silat.
Seorang di antara mereka yang usianya kurang lebih empat puluh tahun melangkah maju
sambil tertawa. Laki-laki ini kurus tinggi dan berkulit hitam, mukanya kecil seperti muka tikus,
kumisnya melintang dan kedua ujungnya melengkung ke bawah, di punggungnya nampak
tergantung
sebatang
golok,
sikapnya
congkak
bukan
main.
“Ha-ha, Nona manis. Siapakah engkau? Sungguh tak kusangka, di tempat kosong seperti ini
akan bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik manis dan memiliki kepandaian
menari amat indah lagi. Aih, nona, daripada hidup di tempat terasing seperti ini, mari kau ikut
saja denganku dan menjadi muridku yang terkasih. Ha-ha-ha! Jangan khawatir, menjadi
murid Sian-to (Dewa Golok) hidupmu tentu akan senang!” Berkata demikian, orang ini
mengulur lengannya yang panjang dan jari-jari tangannya mencoba untuk mencolek ke arah
dada
Suma
Hui.
“Jahanam....!” Suma Hui memaki dan hanya dengan sedikit melangkah ke belakang saja,
colekan itu mengenai tempat kosong. Dara itu membanting-banting kaki kirinya beberapa kali
dan sinar matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada orang
yang memakai julukau Dewa Golok itu. Kalau dara ini sudah membanting-banting kaki kiri, itu
tandanya berbahaya sekali karena ia sudah marah bukan main. Akan tetapi, orang bermuka
tikus itu memang tak tahu diri saking congkaknya. Memang, sebagai seorang jagoan, entah
sudah berapa banyaknya orang yang dia robohkan karena tidak taat kepadanya dan hal ini
membuat dia menjadi tekebur sekali dan tidak sudi menghargai orang lain, selalu
memandang rendah dan merasa bahwa dialah jagoan paling hebat di dunia.
“Eh, eh, engkau memaki?” Bentaknya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram ke
depan, dan kembali cengkeraman itu ditujukan ke arah dada Suma Hui.
“Setan!” Makian ini keluar dari mulut kecil Suma Ceng Liong dan tiba-tiba saja tubuhnya
sudah menerjang ke depan. Biarpun usianya baru sepuluh tahun, akan tetapi dia adalah
putera Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Sejak kecil, bahkan sejak dapat berjalan kaki,
dia sudah digembleng oleh ayah dan ibunya sehingga ilmu silat sudah mendarah daging
padanya! Tubuhnya juga digembleng menjadi kuat. Apalagi selama dua tahun ini, sejak
berusia delapan tahun, dia digembleng oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai dan menerima
petunjuk-petunjuk dari kakeknya. Tentu saja dia bukanlah anak laki-laki berusia sepuluh
tahun sembarangan saja! Terjangannya itu memakai perhitungan dan dilakukan dengan
pengerahan tenaga. Tubuh yang sudah dua tahun menahan dinginnya Pulau Es itu telah
dapat menghimpun tenaga panas yang cukup kuat dan ketika dia menerjang, dia telah
mempergunakan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Taufan) yang dipelajarinya
dari ayahnya. Tubuhnya meluncur ke depan dan kedua kakinya melakukan tendangan
terbang. Si muka tikus terkejut sekali, mencoba untuk menangkis, akan tetapi tangkisannya
dapat dipatahkan oleh kaki kiri Ceng Liong sedangkan kaki kanan tetap meluncur
menghantam
perut.
“Dukkk....!” Tubuh Dewa Golok itu terjengkang dan terbanting keras. Agaknya belakang
kepalanya terbanting cukup keras karena ketika dia bangkit duduk, kepalanya bergoyanggoyang dan sepasang matanya menjadi agak juling. Akau tetapi dia sudah marah sekali dan
sambil berteriak dia sudah mencabut golok dari punggungnya, lalu bangkit berdiri. Akan
tetapi, Ceng Liong sudah menyeruduk lagi ke depan, sekali ini dia membuat serangan
dengan jurus dari Sin-coa-kun, tangan kirinya yang membentuk kepala ular itu “mematuk” ke

arah dada lawan yang baru hendak bangkit berdiri dengan kepala masih pening.
“Tukkk!” Dan tubuh itu kembali terjengkang, kini golok yang dipegangnya terlepas dan dia
roboh pingsan karena pukulan itu merupakan totokan yang disertai hawa pukulan
panas.Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya enam orang lain yang

tadi turun dari perahu. Mereka itu adalah orang-orang yang biasa
mempergunakan kekerasan dan merupakan orang-orang terkenal di dunia
kang-ouw. Tentu saja mereka pernah melihat orang-orang pandai, akan tetapi
baru sekarang mereka melihat betapa seorang teman mereka yang mereka
tahu cukup tangguh itu roboh pingsan melawan seorang anak kecil, hanya
dalam dua gebrakan saja!

Seorang yang bertubuh gendut, perutnya besar sekali sampai seperti gajah bunting bengkak,
dan biarpun tubuhnya tidak dapat dikatakan pendek namun besar perutnya membuat dia
nampak pendek, segera melangkah maju. Orang ini memiliki tenaga besar, hal ini dapat
dirasakan ketika kakinya dibanting ke atas tanah sampai tanah itu tergetar. Dia termasuk
seorang di antara mereka yang merasa penasaran melihat rekannya roboh sedemikian
mudahnya oleh seorang anak kecil, maka begitu maju diapun segera menubruk ke arah
Ceng
Liong.
“Dukkk!” Si gendut itu terkejut dan meloncat kemba1i ke belakang ketika ada tangan yang
amat kuat menangkis lengannya. Kiranya pemuda remaja belasan tahun yang bermuka bulat
itu yang menangkisnya, bukan sembarang tangkisan karena si gendut ini merasa tadi betapa
ada kekuatan besar dalam tangan kecil itu yang mendorongnya. Dengan mata melotot dia
memandang pemuda remaja itu. Seorang pemuda belasan tahun yang kelihatannya masih
hijau.
Dia
menjadi
penasaran
sekali.
“Engkau berani melawanku?” bentaknya, dan tanpa menanti jawaban lagi si gendut ini
langsung saja melakukan serangan dahsyat. Agaknya dia ingin memamerkan kepandaiannya
dan ingin membalas kekalahan temannya tadi, ingin merobohkan Ciang Bun dengan sekali
pukul. Maka begitu menyerang dia telah menggerakkan kaki tangannya, pertama-tama
kakinya menendang kuat ke arah perut pemuda itu lalu disusul pukulan beruntun dengan
kedua tangannya mengarah leher dan kepala Ciang Bun. Tiga serangan berantai itu amat
cepat dan kuatnya, dan si gendut sudah merasa yakin bahwa pemuda remaja itu pasti tidak
akan mampu menghindarkan diri dan tentu satu di antara serangannya itu akan mengenai
sasaran.
Akan tetapi, dia dan teman-temannya kecelik. Ciang Bun yang melihat sambaran kaki tangan
itu sudah dapat mengukur dari sambaran anginnya bahwa si gendut ini biarpun jauh lebih
lihai daripada si Dewa Golok tadi, tetap saja hanya besar mulut dan besar tenaga otot
belaka. Maka diapun tidak mengelak, melainkan sengaja menangkis sambil mengerahkan
tenaga
Hwi-yang
Sin-ciang
di
kedua
tangannya.

“Duk-tak-takk!” Tiga kali tendangan dan pukulan itu ditangkis oleh lengan yang mengandung
tenaga sin-kang panas itu dan akibatnya, tubuh gendut itu terlempar ke belakang.
“Bresss! Ngekkk!” Bunyi pertama adalah bunyi daging pinggulnya menghantam tanah dan
bunyi ke dua adalah bunyi perut gendutnya yang terbanting. Yang membuat dia tidak dapat
bangkit dengan cepat dan hanya meringis kesakitan adalah berat badannya sendiri yang
membuat
bantingan
itu
menjadi
berat
dan
hebat
sekali.
Kini semua orang memandang terbelalak. Kiranya kemenangan anak laki-laki kecil tadi
melawan si Dewa Golok bukan hanya merupakan hal yang kebetulan saja, melainkan karena
memang anak-anak ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Tosu berusia enam puluhan
tahun yang agaknya menjadi pimpinan kelompok orang yang turun dari perahu itu kini
melangkah maju. Tosu ini wajahnya merah, bahkan matanya juga agak kemerahan, mulutnya
tersenyum sinis dan dia maju sambil mengebut-ngebutkan lengan bajunya yang lebar.
Jubahnya berwarna kuning dan di dadanya ada gambaran bulat lambang Im Yang.
“Siancai.... siancai....!” katanya dengan alim. “Kiranya di tempat sunyi ini terdapat orangorang muda yang pandai. Sungguh mengagumkan sekali. Orang-orang muda, siapakah
kalian dan apa hubunganmu dengan tocu (majikan pulau) dari Pulau Es?”
Karena masih menduga bahwa mungkin sekali mereka ini adalah kenalan-kenalan kakeknya
walaupun hal ini sungguh amat meragukan, maka Suma Hui lalu menjawab, “Tocu Pulau Es
adalah
kakek
kami.”
Terdengar seruan-seruan kaget mendengar pengakuan ini dan tosu itu juga berseru,
“Siancai! Kiranya kalian adalah cucu-cucu dari Pendekar Siluman Suma Han?”
“Kakekku adalah Pendekar Super Sakti, bukan siluman!” Tiba-tiba Ceng Liong membentak.
Bagi keluarga ini, julukan Pendekar Siluman dari kakek mereka dianggap kurang sedap dan
lebih membanggakan kalau kakek mereka dijuluki Pendekar Super Sakti. Akan tetapi
anehnya, Ceng Liong sendiri tidak merasa keberatan dengan julukan ayah kandungnya, yaitu
Pendekar
Siluman
Kecil
Suma
Kian
Bu.
“Bagus! Kebetulan sekali kalau begitu! Sebelum menebang batangnya, lebih baik menebangi
cabang-cabang dan ranting-rantingnya lebih dulu!” Kata-kata ini belum dapat dimengerti atau
ditangkap artinya oleh Suma Hui ketika tiba-tiba saja tosu itu sudah menyerangnya dengan
hebat. Gerakan tosu ini cepat dan kuat sekali, sungguh sama sekali tidak boleh disamakan
dengan dua orang terdahulu yang dirobohkan oleh Ceng Liong dan Ciang Bun. Jelaslah
bahwa tosu ini lihai sekali dan memiliki ilmu silat tinggi. Dan memang sesungguhnyalah. Tosu
ini adalah seorang tokoh dari partai Im-yang-pai dan memiliki ilmu silat yang tinggi dan
tenaga sin-kang yang kuat. Kalau tidak lihai, tentu dia tidak akan dipercaya untuk memimpin
rombongan
orang-orang
gagah
dalam
perahu
itu.
Suma Hui telah memiliki tingkat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua
adiknya. Dara ini selain lincah dan cepat, juga memiliki kecerdikan. Dalam menghadapi
serangan tosu itu, ia bersikap tenang saja dan dengan waspada ia mengikuti gerakan lawan
yang melakukan serangan. Tosu itu menamparnya dengan tangan kiri, akan tetapi tamparan
yang dilakukan dengan keras itu hanya merupakan pancingan atau gertakan belaka,
sedangkan yang lebih berbahaya adalah tangan kanannya yang melakukan dorongan lembut
saja ke arah dadanya. Dorongan inilah yang berbahaya karena Suma Hui dapat merasakan

kekuatan besar yang panas tersembunyi dalam dorongan lembut itu! Dalam sekejap mata
saja dara perkasa inipun maklum bahwa lawannya menggunakan sin-kang yang keras atau
panas,
maka
iapun
sudah
siap
untuk
menyambutnya.
Ia sengaja membiarkan dirinya terpancing, mengangkat lengan kanannya untuk menangkis
tamparan tangan kiri lawan seolah-olah ia tidak tahu bahwa dorongan tangan kanan lawan
itulah
yang
berbahaya.
“Plakk!” Lengan kanannya menangkis tamparan dan pada saat itu, dorongan tangan kanan
lawan yang kuat dan panas itupun menyambar masuk. Suma Hui mengerahkan tenaga
Swat-im Sin-ciang ke dalam lengan kirinya dan iapun menangkis dorongan itu sambil
mengerahkan
sebagian
dari
tenaga
dingin.
“Dukk....!”
Pertemuan kedua tangan dan lengan itu membuat si tosu terdorong ke belakang beberapa
langkah dan biarpun dia tidak sampai terguling jatuh, akan tetapi tubuhnya menggigil dan
mukanya seketika menjadi pucat. Matanya terbelalak memandang kepada wajah dara itu,
seolah-olah tidak percaya. Dia sendiri adalah ahli sin-kang dan telah menguasai tenaga Im
dan Yang dari ilmu partainya, akan tetapi di tempat dingin seperti Pulau Es itu, di mana dia
sudah harus mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin, dia tahu bahwa tidak
mungkin dia mempergunakan Im-kang atau tenaga dingin di tempat ini. Karena itu, dia tadi
telah mempergunakan tenaga panas atau Yang-kang ketika menyerang lawan. Siapa kira,
dara itu malah mempergunakan tenaga dingin yang amat kuat untuk melawannya, membuat
tubuhnya seketika kedinginan! Tosu Im-yang-pai itu menjadi penasaran sekali. Cepat dia
mengerahkan tenaga untuk mengusir hawa dingin itu, kemudian dia mengeluarkan teriakan
nyaring dan menyerang lagi kalang kabut dengan amat dahsyatnya. Namun Suma Hui telah
siap siaga dan menyambut serangan-serangannya dengan lincah, bukan hanya mengelak
dan menangkis, bahkan juga balas menyerang dengan sengit. Dara ini telah
mempergunakan Ilmu Toat-beng Bian-kun yang lembut namun dahsyat itu. Tentu saja tosu
Im-yang-pai iku tidak mengenal ilmu silat ini dan segera dia mulai terdesak hebat.
“Pergilah!” Suma Hui berseru nyaring dan tangan kirinya yang kecil itu menyambar halus ke
arah leher lawan. Tosu itu cepat berusaha mengelak dan balas memukul, akan tetapi tibatiba dia berteriak kaget karena tahu-tahu tangan itu sudah menyambar dan mengenai ujung
pundaknya,
biarpun
dia
sudah
melempar
tubuh
ke
belakang.
“Brettt!” Jubahnya di bagian pu