PENTINGANYA MENGHARGAI HAK ANAK

PENTINGANYA MENGHARGAI HAK ANAK
Seminar dan lokakarya nasional dengan Tema “Peran organisasi perempuan dalam
mewujudkan tatanan masyarakat Indonesia baru dan memenuhi hak hak anak sebagai
wujud keluarga sakinah” telah digelar awal
Juni lalu di kampus Universitas
Muhammadiyah Malang, Jawa Timur. Seminar ini merupakan kerjasama antara lembaga
Pengkajian dan pengembangan PP Aisyiyah, Pusat studi wanita dan kemasyarakatan
UMM, dan Pimpinan Wilayah Aisyiyah jawa Timur.
Seminar diikuti oleh lebih kurang 150 peserta berasal dari Pimpinan Pusat Aisyiyah,
Pimpinan Wilayah Aisyiyah se Jawa dan Indonesia timur, PDM se Jawa Timur, PDA se
Jawa Timur dan para pemerhati masalah anak.
Acara dibuka dengan sambutan dari PP Aisyiyah dalam hal ini diwakili oleh Prof Dr.
Siti Dawiesah Ismadi, M. Sc. Sambutan dari PP Muhamamdiyah diampaikan
Dr.Hajriyanto Y Thohari. Acara berisi ceramah, diskusi, dan rapat komisi serta diskusi
hasil sidang komisi. Ceramah diisi beberapa praktisi dalam masalah anak dan wanita, PP
Aisyiyah, dan mereka yang bergerak di bidang perlndungan anak dan wanita.
Penceramahnya antara lain : Dr.Suyono Yahya dari UNICEF Cabang Indonesia,
Dr.Achie Luhulima dari LIPI Jakarta,Prof Dr Siti Chamamah Suratno dari PP Aisyiyah,
Dra.farida Hanum, Dra.Sugiarti MSi, M. Si, Saad Ibrahim, Sanituti Hariadi (LPA Jatim),
dan DR Malichah Mucharrom MSc.
Dalam ceramahya Dr Suyono Yahya mengatakan bahwa masalah hak hak anak ini

sudah diratifikasi oleh RI. Perjalanan konvensi hak hak anak ini dimulai dari
dideklarasikannya konvensi ini pada tahun 1929. Kemudian pada than 1959 diulangi lagi
menjadi konvensi masalah anak. Kemudian diikuti dengan Konvensi hak hak anak.
Dalam pembahasan Konvensi ini Indonesia terlibat aktif dan bahkan dimasukkan sebagai
negara pihak, atau negara pengusul konvensi. Pada dasarnya Konvensi hak hak anak ini
senafas dengan Deklarasi hak asasi manusia. Pada dasarnya hak asasi manusia
mempunyai dua segi, yakni hak politik, hak civil, dan hak sosial , budaya, ekonomi. Pada
saat ini negara yang belum meratifikasi masih banyak. Isu perlindungan hak anak ini juga
terkait dengan isu HAM dan isu lingkungan. Jadi dengan demikian isu tentang hak anak
ini sudah menjadi bagian dari globalisasi.
Konvensi hak anak ini dimasyarakatkan untuk menyiapkan agar suatu negara
nantinya lebih mudah meratifikasi Konvensi hak asasi manusia. Ini merupakan
pembiasaan lebih awal. Indonesia meratifikasi Konvensi hak anak ini pada tahun 1990,
dan menjadi 20 negara pertama yang melakukan ratifikasi. Dalam Konvensi hak anak
pasal 44 disebutkan bahwa dengan diratifikasinya Konvensi ini berarti mengundang
intervensi Internasional untuk mengawasi pelaksanaan Konvensi ini di suatu negara.
Konvensi dibagi menjadi Preambule, yakni landasan dan dasar pemikiran mengapa perlu
ada hak anak. Anak perlu dan harus berkembang secara bermartabat..Untuk itu dibangun
standar sandar. Isi Konvensi dibagi menjadi 3 bagian. Pertama berisi ketentuan mengenai
hak anak. Ini ada pada pasal 1 sampai dengan pasal 43. Anak didefinisikan, dalam

Konvensi ini, berumur 0 sampai 18 Tahun. Dalam Undang undang RI anak berusia 18
tahun atau sudah menikah. Untuk pria usia nikah 18 tahun dan untuk wanita 16 tahun..
Anak harus mendapatkan hak haknya untuk hidup, survival, dan hak bermain. Dalam
indeks pembangunan manusia yang dinilai dengan standar standar antara lain : longivity
(kelamaan hidup), knowledge, pendapatan untuk hidup layak, Indonesia berada pada

urutan 162 dari 192 negara. Dalam indeks pembangunan manusia dana yang digunakan
Indonesia dalam membangun manusia baru 3 % dari anggaran yang ada.
Bagian kedua dari Konvensi ini adalah ketentuan mengenai monitoring dan
implementasi.Dalam kenyataan anak perempuan nasibnya masih tidak sebaik anak laki
laki. Anak perempuan masih kurang gizi dan masih digunakan sebagai tenaga kerja.
Konvensi ini menekankan penghapusan kekerasan terhadap anak perempuan. Dalam
pertemuah khusus mengenai anak, ada beberapa prinsip yang dikemukakan: prinsip di
tempat pertama (first), pembebasan dari peperangan dan kekerasan, kesempatan dan
berpartisipasi, penghilangan eksploatasi.Untuk mencapai tujuan ini diperlukan beberapa
stategi. Antara lain, pemajuan kehidupan yang sehat, Quality education, Protection of
abuse (perlindungan dari serangan ), exploitation and violence (kekerasan).
Negara-negara di dunia harus melakukan usaha untuk kehidupan yang layak bagi
anak. Pemerintah Indonesia merencanakan aksi untuk pemenuhan hak-hak anak.
Sementara itu di lain kesempatan Dr Achie Luhulima menerngkan tentang

perlindungan anak ditinjau dari konvensi hak anak dan penghapusan diskriminasi.
Konvensi tentang segala bentuk diskriminasi terhadap wanita diratifikasi oleh UU no 7
Tahun 1984. Dalam mukadimahnya disebutkan beberapa dokumen yang menyatakan
bahwa diskriminasi masih tetap ada. Diskriminasi ini menyebabkan terjadinya hambatan
untuk berpartisipasi dalam bidang ekonomi, sosial, dan budaya. Perlu diadakannya
perubahan peran tradisional pria – wanita. Dalam konvensi tersebut dikandung beberapa
prinsip sebagai berikut : Prinsip persamaan substantif, nondiskrimiansi, kewajiban
negara. Konvensi mengakui beberapa hal, perbedaan biologis, yakni tentang fungsi
reproduksi wanita.. Kemudian perbedaan perlakuan terhadap wanita yang berbasis jender.
Hal ini mengakibatkan kerugian terhadap si wanita. Kemudian perbedaan kondisi dan
posisi pria – wanita. Untuk menyamakan antara pria – wanita digunakan sebuah model
persamaan , yakni model formal. Model lain yang digunakan ialah model standar tunggal.
Kemudian model proteksionis.Dalam model ini diakui bahwa wanita diperlakukan selaku
pihak yang inferior. Kemudian model substantif.Dalam model ini harus dilakukan usaha
untuk peduli pada kesempatan yang sama antara pria – wanita. Kemudian akses yang
sama antara pria – wanita.. Jika diringkas maka harus ada persamaan substantif, yaitu
untuk mengatasi perbedaan kesenjangann dan keadaan yang merugikan wanita.
Kemudian pendekatan koreksi, yakni wanita bisa memanfaatkan peluang yang sama.
Yang ditentang dalam konvensi ini adalah diskriminasi atau segala bentuk pembedaan
dan pembatasan terhadap wanita.

Kemudian berlaku pula asas atau prinsip kewajiban negara. Lembaga hukum dan
pembuat kebijaksanaan harus mencegah diskriminasi, melarang diskriminasi, dan
melaksanakan sanksi bagi yang melanggarnya. Titik-titik strategis dalam penegakan
nondiskriminasi ini terletak pada para penegak hukum, hakim, jaksa, polisi dan aparat
hukum lainnya.
Sementara itu PP Aisyiyah dalam hal ini diwakili oleh ketuanya Prof Dr Siti
Chamamah Suratno memberikan ceramah. Ceramah Dr Chamamah berisi tentang tugas
keluarga, yakn penyiapan generasi masa depan. Pada saat ini Indonesia dalam situasi
kritis. Ada 40 juta rakyat miskin dan 45 juta rakyat sangat miskin.Selain itu angka
kriminalitas tinggi, Drop out sekolah makin banyak, anak anak jalanan jumlahnya
bertambah.Aisyiyah, sebagaimana disarankan oleh Dr Chamamah, harus bergerak untuk
menanggulangi krisis ekonomi, hukum, kesehatan, pendidikan, dsb. Keadaan buruk ini

semua merupakan dampak dari krisis. Lebih payah lagi, setelah kita digoncang dalam
badai krisis kita harus masuk dalam arus globalisasi. Dalam globalisasi persaingan
masuknya tawaran tenaga kerja meningkat. Sementara kualifikasi tenaga kerja kita sangat
rendah. Tantangan utama kita adalah membentuk masyarakat yang unggul dalam
masayarakat modern. Ada beberapa hal yang harus dilakukan dalam penanggulangan
krisis ini. Tindakan tindakan sosial yang bisa diambil bersifat pilihan. Kemudian hak dan
kemampuan berdasarkan pilihan, masyarakat modern adalah masayarakat yang

mempunyai sifat bergerak dan melembaga serta menuju profesionalisme dan spesialisasi,
Keluarga sakinah atau happy family sangat diperlukan dalan menghadapi kehidupan
mendatang. Suami – istri harus berada dalam relasi yang pas. Hubungan keduanya
bersifat komplementer. Kedekatan hubungan suami istri ini bisa berfungsi untuk
menghantarkan generasi yang unggul. Maka untuk mencapi hal ini wanita harus
diberdayakan dan perannya harus ditingkatkan. Untuk mencapai tujuan tersebut persepsi
terhadap perempuan harus diperbaiki, sikap positif terhadap perempuan ditingkatkan,
kepercayaan terhadap kerja perempuan, serta kesadarasn fungsi perempuan dalam
masyarakat.
Menurut Dr Chamamah, Aisyiyah bisa menjangkau semua itu. Aisyiyah punya peran
yang kongkret, terutama pada anak-anak. Untuk itu perlu dibuat juklak dan juknisnya.
Menurut Dr Chamamah seminar dan lokakarya ini merupakan rangkaian sidang tanwir
dimana dalam sidang tanwir tersebut Aisyiyah akan membahas tentang Indonesia Baru.
Tetapi untuk mewujdukan masyarakat yang menghargai teerhadap perempuan ini
mempunyai banyak kendala. Kendalanya adalah berkembangnya ide-ide feminisme yang
ekstrem seperti single parents, kemudian berkembangnya poligami yang didorong oleh
nafsu. Maka kriteria yang baik untuk mengukur kualitas seseorang adalah berdasar
kriteria taqwanya.
.Sementara itu Dr HM Sa’ad Ibrahim dalam ceramahnya meninjau hak hak anak
dalam perspektif Islam. Peninjauan dari segi islam perl;u dilakukan akrena dalam

kenyataannya 1,2 milyar jiwa, atau 19,6 % dari populasi penduduk dunia, memeluk
agama Islam. Paradigma yang perlu ditekankan adalah paradigma tauhid. Karena dari
sinilah keseluruhan ajaran Islam mendapatkan pijakannya. Tauhid merupakan esensi
islam yang dirumuskan dalam la ilaaha Illallahu. Paradigma ini mengandung kosnekuesni
vertikal dan horisontal. Konsekuensi pertama berupa tuntutaan agar jangan sekali kali
manusia menjadikan selain Allah sebagai Tuhan.Konsekuensi kedua berupa kemerdekaan
, kesetaraan, keadilan dan persaudaraan antar sesama manusia. Ini berarti anti destruksi
dan anti eksploatasi.
Salah satu pemilih hak ini adalah anak. Pengabaian terhadap hak hak anak dalam arti
tidak dilaksanakannya kewajiban orang tua kepada mereka, mengandung makna
pensubordinasian yang selalu berati memberikan keabsahan terhadap segala bentuk
tindakan destruktif dan eksploatatif, hal ini jelas bertentangan dengan paradigma tauhid.
Pandangan manusia dalam islam merupakan pandangan yang optimistis. Manusia
memiliki fitrah atau esensi dasar. Pada dasarnya manusia itu baik. Manusia dipandang
mampu mengatasi berbagai kecenderungan negatif dalam menempuh hidupnya.Dalam
fitrah ini manusia memliki kecenderungan asasi pada kebenaran , kebaikan , keindahan,
sebagai implikasi akidah tauhid mereka. Akan tetapi bentangan kanvas rohani manusia
juga mewarisi sketsa orang tuanya secara psikis genetik. Sketsa psikis genetik ini baik

buruknya tergantung pada kebaikburukan orang tua mereka. Jika totalitas psikis genetik

oarng tua mereka baik, maka baik pula warisan psikis genetik mereka.
Islam mengajarkan untuk memberi hak hidup kepada anak, juga hak waris, serta hak
untuk tetap dalam fitrah Allah. Kemudian juga hak untuk mendapat kasih sayang .Islam
mengatur ini semua sehingga hak-hak anak tidak terlanggar.Ceramah dari Dr Sa’ad
Ibrahim ini ditutup denga kesimpulan bahwa dalam perspektif Islam anak dilahirkan
dalam keadaan fitrah, yakni memiliki potensi dasar atau kecenderungan kepada
kebenaran, kebaikan dan keindahan. Selain itu mereka juga mendapatkan warisan psikis
genetis orang tuanya. Tapi manusia punya free will, dan pilihan pilihannya itu
dipertanggungjawabkan. Hak-hak anak harus direspon dengan paradigma tauhid.
Sementara itu dalam ceramahnya, Dra Farida Hanum,MSi membahas tentang
lingkungan yang beresiko bagi anak.Menurut Dra Farida Hanum sebenarnya lingkungan
yang beresiko bagi anak dimulai pada masa prenatal atau masa sebelum kelahiran. Hal
ini menyangkut kesiapan oran tua dalam aspek ekonomi, biologis dan
psikologis.Kemudian resiko pasca kelahiran manyangkut resioka masa bayi dan masa
kanak kanak. Kemudian masa yang rawan bagi anak adalah pada masa bermain, masa
usia sekolah, serta masa remaja. Setelah menjadi manusia., anak akan dihadapkan resiko
ketika masa dewasa dan masa tua. Kesemua fase kehidupan manusia penuh dengan
resiko. Untuk itu diperlukan langkah langkah untuk mencegah agar resiko resiko tadi
tidak membahayakan pekermbangan baik fisik maupun psikisnya.
Acara seminar dan lokakarya nasional dilanjutkan dengan rapat komisi yang

membahas tentang rencana program yang akan dijalankan oleh Aisyiyah dalam
memenuhi kebutuhan pemenuhan hak hak anak dan antidiskriminasi terhadap
perempuan. Para peserta dibagi menjadi tiga komisi.Komisi I membicarakan tentang
kebijakan pimpinan. Komisi II membahas perumusan isu dan program dan komisi III
membahas tenang pengembangan jaringan. Kemudian hasil komisi ini disidangplenokan
untuk dibahas oleh segenap peserta.
Sebelum acaar ditutup, Dr H Malichah Mucharrom , MSc menyampaikan tentang
Aliansi Pita Putih Indonesia. Aliansi ini merupakan kegiatan yang diselenggarakan oleh
berbagai perkumpulan, termasuk Asiyiyah. Aliansi ini punya tujuan untuk mencegah
kematian ibu hamil dan masa nifas. Aisyiyah termasuk di dalam aliansi ini dan Dr H
Malichah Mucharrom termasuk salah satu ketua presidiumnya.
Dalam acara penutupan Dra Noordjanah Djohantini dari LPP PP Aisyiyah
mengatakan bahwa program progaram Aisyiyah selama ini merambah bidang bidang
yang kongkret yang ada di masayarakat.Oleh sebab itu dalam merencanakan program dan
melaksanakan hasil hasil lokakarya ini diharapkan juga menyentuh hal hal yang kongkret
yang terjadi di masayarakat. Dengan visi yang demikian maka program Aisyiyah akan
menjadi program yang membumi dan kehadiran Aiyiyah bisa memberi manfaat banyak
bagi masyarakat. (Nafi’)
Sumber:
Suara Muhammadiyah

Edisi 13 2002