Sense of Crisis Pendidik
Sense of Crisis Pendidik
Dr. H. Arief Rachman, M.Pd.
Sekitar tahun 70-an, pria kelahiran Malang 19 April 1942 ini sering muncul di TVRI
membawakan acara pelajaran Bahasa Inggris. Ayah dari tiga orang anak yang semuanya
telah meraih gelar sarjana ini menyelesaikan pendidikan S-1 s.d. S-3 di IKIP Jakarta.
Selain itu ia juga menempuh berbagai pendidikan singkat di luar negeri. Saat ini ia
mengabdi sebagai dosen di almamaternya yang telah berubah menjadi Universitas Negeri
Jakarta (UNI), di samping sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Selama sepuluh tahun ia menjabat sebagai Kepala SMU Lab. School IKIP
Jakarta, yaitu sejak 1991 sampai dengan 2001, selain menjadi penatar LEMHANAS sejak
1995.
Sejak mahasiswa ia aktif berorganisasi. Puncak aktivitasnya semasa menjadi
mahasiswa adalah ketika ia menjabat sebagai Biro Hubungan Luar Negeri Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Aktivitasnya yang luas dalam organisasi
kemahasiswaan mengantarkannya menjadi salah seorang tokoh demonstran angkatan 66.
Karena itu, tidak terlalu diherankan bahwa mantan PR III IKIP Jakarta yang terkenal dekat
dengan mahasiswanya ini menjadi anggota berbagai organisasi, seperti KORPRI, KAHMI,
ICMI, PGRI, YPMI, selain menjadi anggota MPR RI. Memulai kariernya sebagai Guru
Bahasa Inggris di SMP tahun 1964 sampai dengan 1978. Ia juga pernah menjadi dosen
luar biasa Fakultas Pasca Sarjana FMIPA Universitas Indonesia, dan tahun 1982 sampai
dengan 1985 menjadi pengajar pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Menanggapi istilah pendidikan eksperimental yang mencuat, ia tidak tahu dengan
istilah itu. Menurutnya, kata eksperimental berkonotasi melakukan eksperimen
(percobaan). Bisa gagal bisa berhasil. Ia lebih memilih istilah pendidikan khusus. Meski
kemungkinan yang dimaksud eksperimental di sini adalah diujicobakan dulu. Sehingga ada
kemungkinan berhasil dan ada kemungkinan tidak. "Nah, itu yang saya tidak setuju.
Masak diujicobakan, bagaimana nanti kalau gagal? Kan mereka bisa jadi korban", katanya.
Namun, lanjutnya, kalau yang disebut experience learning, belajar melalui
pengalaman, itu memang betul. Experience learning adalah suatu metode di mana anak
diajak belajar melalui pengalaman. Contoh, anak-anak diberitahu bahwa air mendidih pada
1000 Celcius, dia harus lihat dan coba. Itu eksperimen namanya, bukan eksperimental.
Mungkin eksperimental yang dimaksud di sini adalah metode atau pilihan-pilihan
model pendidikan yang secara diametral berbeda dengan model pendidikan sekolah
konvensional pada umumnya. Tetapi saya tidak setuju dengan terminologi pendidikan
eksperimental. Paling tepat, kita sebut saja sekolah khusus. Seperti sekolah khusus untuk
anak-anak jalanan, sekolah khusus anak kurban bencana alam, daerah pengungsian atau
daerah konflik, itu lebih sesuai.
Daripada memakai istilah eksperimental, katanya, mending memakai istilah sekolah
alternatif. Dan khusus anak "cemerlang" yang memiliki kecepatan lebih dalam belajar, itu
dinamakan kelas akselerasi, bukan sekolah alternatif. Itu semacam program layanan bagi
anak-anak yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Jadi sekolah pelayanan untuk situasi,
kondisi, dan potensi khusus. Maka paling tepat disebut pendidikan untuk pelayanan khusus
bagi anak-anak yang berada di daerah-daerah dan situasi khusus, umpamanya daerah
trauma, daerah kritis, dan dearah konflik.Termasuk untuk anak-anak yang mempunyai
kecepatan berpikir harus dibedakan dengan anak-anak biasa. Atau, mungkin dia lamban
sekali, itu harus ada program pendidikan khusus. Jadi, pendidikan untuk anak-anak khusus
seperti itu memang harus "dipotong" polanya, disesuaikan dengan suatu pola yang sesuai
dengan ukuran badan dia.
"Umpamanya ada anak yang punya kecepatan berpikir 100 km/jam, lantas kita batasi
20 km/jam, kan anak itu tidak bisa berprestasi atau kesulitan dalam mengembangkan diri.
Mereka cepat bosan bahkan bisa jadi frustrasi," ia mencontohkan. Untuk anak-anak yang
berada di daerah konflik, tentunya tidak bisa disamakan dengan anak-anak di daerah
normal. Prinsipnya, pendidikan itu harus mempertimbangkan, pertama, kemampuan anak
itu; kedua, umur; ketiga, situasi anak; dan keempat, materi yang diberikan itu relevan atau
tidak. Keempat poin ini sangat penting untuk diperhatikan.
Kalau yang sekarang sudah resmi itu dinamakan kelas akselerasi. Di beberapa
sekolah itu dibuat kelas akselerasi. Kelas ini dikhususkan buat anak-anak "cemerlang"
akademis. Kelas akselerasi itu adalah suatu kelas yang memberikan waktu yang cepat
untuk materia yang sama dengan pengayaan-pengayaan bagi anak-anak yang mempunyai
kemampuan untuk mengunyah materi pelajaran lebih cepat. Sehingga dia bisa berprestasi
optimal. Sehingga dia tidak menjadi orang-orang yang kesal karena harus menunggu anakanak yang biasa-biasa saja. Dengan kelas akselerasi ini, anak "cemerlang" bisa
mengoptimalkan keinginannya sesuai dengan kecepatan yang dia mampui. Mereka pun
dididik agar tidak merasa lebih pintar dari teman-temannya. Kelas ini lebih dimaksudkan
agar mereka lebih terlayani. Perasaannya sama saja dengan yang lain-lain.
Dalam situasi krisis seperti sekarang ini ia berharap kepada semua pendidik agar
tidak boleh berpikiran biasa-biasa saja. Dia harus mempunyai sense of crisis. Harus ada
kesadaran bahwa saat ini sedang terjadi krisis di segala bidang. Kita jangan menganggap
bahwa semua anak itu bisa bayar uang masuk sekolah. Sebab tidak semua orangtua anak
itu punya uang masuk sekolah, termasuk ketepatan dalam membayar SPP. Pertama, para
pendidik harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. Kedua, seandainya
mengajar anak-anak di daerah kumuh, harus memperhatikan cara bicara dengan mereka.
Jadi sense of crisis atau kesadaran bahwa kita sedang berada dalam masa krisis itu
merupakan salah satu keberhasilan memproses suatu upaya pendidikan secara benar.
Kesadaran seperti sekarang ini bisa kita kategorikan sebagai situasi khusus, di mana
penanganannya juga harus dengan metode-metode dan pendekatan-pendekatan khusus
pula.
Di beberapa segmen masyarakat pendidikan khusus ini sangat diperlukan. Untuk itu,
pertama kita harus punya data. Kira-kira berapa persen yang kita bisa berikan pendidikan
secara reguler, berapa persen yang harus kita berikan kepada pendidikan khusus atau
alternatif terhadap reguler itu. Kalau sudah diketahui data dan persentasenya, langkah
selanjutnya kita harus membuat suatu pola yang berbeda. Mungkin materinya sama, tetapi
pendekatannya agak lain. Contohnya, untuk anak-anak jalanan, mereka tidak bisa belajar
dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 16.00 sore. Paling-paling belajar hanya 2,5 jam sudah
cukup. Karena itu, evaluasinya pun harus berbeda dan legalitas dari sertifikat yang mereka
dapatkan pun harus berbeda. Tetapi yang paling penting pendidikan itu tidak boleh
berhenti, itu harus terus berjalan.
Mencermati merebaknya anak jalanan, sebetulnya juga sama artinya kita mencermati
sosok manusia yang memiliki sejumlah potensi dan sejumlah kebutuhan. Karena anak-anak
jalanan adalah juga manusia. Anak jalanan ini adalah produk keadaan sosial ekonomi yang
tidak terlalu diuntungkan. Seandainya semua orangtua itu punya pekerjaan, mungkin anak
jalanan tidak ada. Tetapi sekarang fakta menunjukkan bahwa mencari pekerjaan itu susah.
Jadi kita juga harus mempunyai kepedulian ke sana.
Model penanganannya jelas berbeda dengan pendidikan reguler. Antara daerah satu
dengan daerah lainnya, model penanganan anak jalanan juga berbeda. Misalnya, anak
jalanan yang ada di Tanjung Priok (Jakarta Utara) mungkin agak berbeda dengan anak
jalanan di daerah Senen (Jakarta Pusat). Perbedaannya mungkin dari segi waktu,
pendekatan serta materi-materi yang harus diberikan kepada mereka. Hanya, dari semua
pendidikan ini, saya pikir yang sangat penting adalah tidak boleh dilupakan pemindahan
atau transfer pemahaman nilai-nilai manusia, budi pekerti, dan tatakrama. Itu yang nomor
satu. Jangan memandaikan anak itu dulu, tetapi yang harus diberikan kepada mereka
adalah kejujuran, tanggung jawab, senang belajar, serta perasaan ingin tahu. Dan sedikit
demi sedikit mempunyai pemahaman bahwa konflik itu pada suatu saat akan berakhir.
Bahwa anak jalanan itu juga akan berakhir. Kita semua harus kembali kepada keadaan
reguler secara menyeluruh.
Untuk pendidikan anak jalanan ini, nomor satu pembentukan watak. Karakter dulu.
Kalau karakter atau watak itu sudah terbentuk, lalu sekaligus kita memberikan hal-hal
yang sifatnya praktis. Supaya mereka bisa cepat berdiri di atas kaki mereka sendiri. Supaya
nanti pada suatu saat, dengan keterbatasan yang mereka miliki, mereka bisa survive.
Pembentukan karakter itu sendiri memerlukan kurikulum khusus. Kurikulum khusus ini
memuat antara lain permainan, perhatian, pembelajaran, penyaluran minat, kesenian,
ketrampilan, dsb.
Masalah keterbatasan fasilitas pendidikan tidak bisa dijadikan alasan berhentinya
proses pendidikan. Apa saja yang ada di situ bisa dimanfaatkan untuk proses belajar
mengajar. Yang penting di situ harus ada apa yang dinamakan kegiatan pendidikan. Jadi
meskipun anak-anak itu harus belajar di lapangan, biarkan saja, nggak apa-apa. Anak-anak
belajar di tepi sungai atau belajar di bawah pohon-pohon rindang, tidak masalah. Tetapi
harus ada gurunya dan guru ini tidak perlu lulusan guru. Asal mereka bisa memberikan apa
saja kepada anak-anak itu sehingga di dalam satu hari anak itu mempunyai suatu kesadaran
bahwa saya harus menggali sebuah pengetahuan, saya harus meningkatkan ketrampilan,
hidup ini harus punya tanggung jawab, harus punya agama, harus mempunyai suatu hal
yang bisa dikembangkan dari diri sendiri sebagai hobi, apakah itu olahraga, kesenian,
pecinta alam, kepemimpinan atau apa saja. (bahan: Gerbang)
Sumber: SM-02-2005
Dr. H. Arief Rachman, M.Pd.
Sekitar tahun 70-an, pria kelahiran Malang 19 April 1942 ini sering muncul di TVRI
membawakan acara pelajaran Bahasa Inggris. Ayah dari tiga orang anak yang semuanya
telah meraih gelar sarjana ini menyelesaikan pendidikan S-1 s.d. S-3 di IKIP Jakarta.
Selain itu ia juga menempuh berbagai pendidikan singkat di luar negeri. Saat ini ia
mengabdi sebagai dosen di almamaternya yang telah berubah menjadi Universitas Negeri
Jakarta (UNI), di samping sebagai dosen luar biasa pada Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Selama sepuluh tahun ia menjabat sebagai Kepala SMU Lab. School IKIP
Jakarta, yaitu sejak 1991 sampai dengan 2001, selain menjadi penatar LEMHANAS sejak
1995.
Sejak mahasiswa ia aktif berorganisasi. Puncak aktivitasnya semasa menjadi
mahasiswa adalah ketika ia menjabat sebagai Biro Hubungan Luar Negeri Pengurus Besar
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Aktivitasnya yang luas dalam organisasi
kemahasiswaan mengantarkannya menjadi salah seorang tokoh demonstran angkatan 66.
Karena itu, tidak terlalu diherankan bahwa mantan PR III IKIP Jakarta yang terkenal dekat
dengan mahasiswanya ini menjadi anggota berbagai organisasi, seperti KORPRI, KAHMI,
ICMI, PGRI, YPMI, selain menjadi anggota MPR RI. Memulai kariernya sebagai Guru
Bahasa Inggris di SMP tahun 1964 sampai dengan 1978. Ia juga pernah menjadi dosen
luar biasa Fakultas Pasca Sarjana FMIPA Universitas Indonesia, dan tahun 1982 sampai
dengan 1985 menjadi pengajar pada Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).
Menanggapi istilah pendidikan eksperimental yang mencuat, ia tidak tahu dengan
istilah itu. Menurutnya, kata eksperimental berkonotasi melakukan eksperimen
(percobaan). Bisa gagal bisa berhasil. Ia lebih memilih istilah pendidikan khusus. Meski
kemungkinan yang dimaksud eksperimental di sini adalah diujicobakan dulu. Sehingga ada
kemungkinan berhasil dan ada kemungkinan tidak. "Nah, itu yang saya tidak setuju.
Masak diujicobakan, bagaimana nanti kalau gagal? Kan mereka bisa jadi korban", katanya.
Namun, lanjutnya, kalau yang disebut experience learning, belajar melalui
pengalaman, itu memang betul. Experience learning adalah suatu metode di mana anak
diajak belajar melalui pengalaman. Contoh, anak-anak diberitahu bahwa air mendidih pada
1000 Celcius, dia harus lihat dan coba. Itu eksperimen namanya, bukan eksperimental.
Mungkin eksperimental yang dimaksud di sini adalah metode atau pilihan-pilihan
model pendidikan yang secara diametral berbeda dengan model pendidikan sekolah
konvensional pada umumnya. Tetapi saya tidak setuju dengan terminologi pendidikan
eksperimental. Paling tepat, kita sebut saja sekolah khusus. Seperti sekolah khusus untuk
anak-anak jalanan, sekolah khusus anak kurban bencana alam, daerah pengungsian atau
daerah konflik, itu lebih sesuai.
Daripada memakai istilah eksperimental, katanya, mending memakai istilah sekolah
alternatif. Dan khusus anak "cemerlang" yang memiliki kecepatan lebih dalam belajar, itu
dinamakan kelas akselerasi, bukan sekolah alternatif. Itu semacam program layanan bagi
anak-anak yang memiliki kepintaran di atas rata-rata. Jadi sekolah pelayanan untuk situasi,
kondisi, dan potensi khusus. Maka paling tepat disebut pendidikan untuk pelayanan khusus
bagi anak-anak yang berada di daerah-daerah dan situasi khusus, umpamanya daerah
trauma, daerah kritis, dan dearah konflik.Termasuk untuk anak-anak yang mempunyai
kecepatan berpikir harus dibedakan dengan anak-anak biasa. Atau, mungkin dia lamban
sekali, itu harus ada program pendidikan khusus. Jadi, pendidikan untuk anak-anak khusus
seperti itu memang harus "dipotong" polanya, disesuaikan dengan suatu pola yang sesuai
dengan ukuran badan dia.
"Umpamanya ada anak yang punya kecepatan berpikir 100 km/jam, lantas kita batasi
20 km/jam, kan anak itu tidak bisa berprestasi atau kesulitan dalam mengembangkan diri.
Mereka cepat bosan bahkan bisa jadi frustrasi," ia mencontohkan. Untuk anak-anak yang
berada di daerah konflik, tentunya tidak bisa disamakan dengan anak-anak di daerah
normal. Prinsipnya, pendidikan itu harus mempertimbangkan, pertama, kemampuan anak
itu; kedua, umur; ketiga, situasi anak; dan keempat, materi yang diberikan itu relevan atau
tidak. Keempat poin ini sangat penting untuk diperhatikan.
Kalau yang sekarang sudah resmi itu dinamakan kelas akselerasi. Di beberapa
sekolah itu dibuat kelas akselerasi. Kelas ini dikhususkan buat anak-anak "cemerlang"
akademis. Kelas akselerasi itu adalah suatu kelas yang memberikan waktu yang cepat
untuk materia yang sama dengan pengayaan-pengayaan bagi anak-anak yang mempunyai
kemampuan untuk mengunyah materi pelajaran lebih cepat. Sehingga dia bisa berprestasi
optimal. Sehingga dia tidak menjadi orang-orang yang kesal karena harus menunggu anakanak yang biasa-biasa saja. Dengan kelas akselerasi ini, anak "cemerlang" bisa
mengoptimalkan keinginannya sesuai dengan kecepatan yang dia mampui. Mereka pun
dididik agar tidak merasa lebih pintar dari teman-temannya. Kelas ini lebih dimaksudkan
agar mereka lebih terlayani. Perasaannya sama saja dengan yang lain-lain.
Dalam situasi krisis seperti sekarang ini ia berharap kepada semua pendidik agar
tidak boleh berpikiran biasa-biasa saja. Dia harus mempunyai sense of crisis. Harus ada
kesadaran bahwa saat ini sedang terjadi krisis di segala bidang. Kita jangan menganggap
bahwa semua anak itu bisa bayar uang masuk sekolah. Sebab tidak semua orangtua anak
itu punya uang masuk sekolah, termasuk ketepatan dalam membayar SPP. Pertama, para
pendidik harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. Kedua, seandainya
mengajar anak-anak di daerah kumuh, harus memperhatikan cara bicara dengan mereka.
Jadi sense of crisis atau kesadaran bahwa kita sedang berada dalam masa krisis itu
merupakan salah satu keberhasilan memproses suatu upaya pendidikan secara benar.
Kesadaran seperti sekarang ini bisa kita kategorikan sebagai situasi khusus, di mana
penanganannya juga harus dengan metode-metode dan pendekatan-pendekatan khusus
pula.
Di beberapa segmen masyarakat pendidikan khusus ini sangat diperlukan. Untuk itu,
pertama kita harus punya data. Kira-kira berapa persen yang kita bisa berikan pendidikan
secara reguler, berapa persen yang harus kita berikan kepada pendidikan khusus atau
alternatif terhadap reguler itu. Kalau sudah diketahui data dan persentasenya, langkah
selanjutnya kita harus membuat suatu pola yang berbeda. Mungkin materinya sama, tetapi
pendekatannya agak lain. Contohnya, untuk anak-anak jalanan, mereka tidak bisa belajar
dari pukul 07.00 pagi sampai pukul 16.00 sore. Paling-paling belajar hanya 2,5 jam sudah
cukup. Karena itu, evaluasinya pun harus berbeda dan legalitas dari sertifikat yang mereka
dapatkan pun harus berbeda. Tetapi yang paling penting pendidikan itu tidak boleh
berhenti, itu harus terus berjalan.
Mencermati merebaknya anak jalanan, sebetulnya juga sama artinya kita mencermati
sosok manusia yang memiliki sejumlah potensi dan sejumlah kebutuhan. Karena anak-anak
jalanan adalah juga manusia. Anak jalanan ini adalah produk keadaan sosial ekonomi yang
tidak terlalu diuntungkan. Seandainya semua orangtua itu punya pekerjaan, mungkin anak
jalanan tidak ada. Tetapi sekarang fakta menunjukkan bahwa mencari pekerjaan itu susah.
Jadi kita juga harus mempunyai kepedulian ke sana.
Model penanganannya jelas berbeda dengan pendidikan reguler. Antara daerah satu
dengan daerah lainnya, model penanganan anak jalanan juga berbeda. Misalnya, anak
jalanan yang ada di Tanjung Priok (Jakarta Utara) mungkin agak berbeda dengan anak
jalanan di daerah Senen (Jakarta Pusat). Perbedaannya mungkin dari segi waktu,
pendekatan serta materi-materi yang harus diberikan kepada mereka. Hanya, dari semua
pendidikan ini, saya pikir yang sangat penting adalah tidak boleh dilupakan pemindahan
atau transfer pemahaman nilai-nilai manusia, budi pekerti, dan tatakrama. Itu yang nomor
satu. Jangan memandaikan anak itu dulu, tetapi yang harus diberikan kepada mereka
adalah kejujuran, tanggung jawab, senang belajar, serta perasaan ingin tahu. Dan sedikit
demi sedikit mempunyai pemahaman bahwa konflik itu pada suatu saat akan berakhir.
Bahwa anak jalanan itu juga akan berakhir. Kita semua harus kembali kepada keadaan
reguler secara menyeluruh.
Untuk pendidikan anak jalanan ini, nomor satu pembentukan watak. Karakter dulu.
Kalau karakter atau watak itu sudah terbentuk, lalu sekaligus kita memberikan hal-hal
yang sifatnya praktis. Supaya mereka bisa cepat berdiri di atas kaki mereka sendiri. Supaya
nanti pada suatu saat, dengan keterbatasan yang mereka miliki, mereka bisa survive.
Pembentukan karakter itu sendiri memerlukan kurikulum khusus. Kurikulum khusus ini
memuat antara lain permainan, perhatian, pembelajaran, penyaluran minat, kesenian,
ketrampilan, dsb.
Masalah keterbatasan fasilitas pendidikan tidak bisa dijadikan alasan berhentinya
proses pendidikan. Apa saja yang ada di situ bisa dimanfaatkan untuk proses belajar
mengajar. Yang penting di situ harus ada apa yang dinamakan kegiatan pendidikan. Jadi
meskipun anak-anak itu harus belajar di lapangan, biarkan saja, nggak apa-apa. Anak-anak
belajar di tepi sungai atau belajar di bawah pohon-pohon rindang, tidak masalah. Tetapi
harus ada gurunya dan guru ini tidak perlu lulusan guru. Asal mereka bisa memberikan apa
saja kepada anak-anak itu sehingga di dalam satu hari anak itu mempunyai suatu kesadaran
bahwa saya harus menggali sebuah pengetahuan, saya harus meningkatkan ketrampilan,
hidup ini harus punya tanggung jawab, harus punya agama, harus mempunyai suatu hal
yang bisa dikembangkan dari diri sendiri sebagai hobi, apakah itu olahraga, kesenian,
pecinta alam, kepemimpinan atau apa saja. (bahan: Gerbang)
Sumber: SM-02-2005