Pengaruh kepribadian dan sense of humor terhadap psychological well-being: studi pada jurnalis di DKI Jakarta

(1)

i Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Psikologi sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh :

IRLIENE FEBRIANA

NIM : 109070000144

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

v

D) Pengaruh Kepribadian dan Sense of Humor terhadap Psychological Well-Being (Studi pada Jurnalis di DKI Jakarta)

E) xiii + 110 + lampiran

F) Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh kepribadian the HEXACO model of personality (honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, & openness to experience) dan sense of humor (humor production, social uses of humor, attitudes toward humor and humorous people, & uses of humor for coping) serta variabel demografis (usia, jenis kelamin, penghasilan, & intensitas pekerjaan) terhadap psychological well-being jurnalis di DKI Jakarta.

Sampel berjumlah 150 orang jurnalis di DKI Jakarta yang diambil dengan teknik non-probability sampling, yakni accidental sampling. Ryffs Psychological Well-Being Scales, Skala HEXACO Personality Inventory-Revised (HEXACO-PI-R) yang dikembangkan oleh Lee dan Ashton, dan Multidimensional Sense of Humor Scale (MSHS) yang dikembangkan oleh Thorson dan Powell digunakan sebagai instrument pengumpulan data dan diadaptasi ke bahasa Indonesia. Pengujian validitas item menggunakan uji CFA dengan bantuan software LISREL 8.7, selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan analisis regresi linear berganda dengan bantuan software SPSS 19.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hipotesis mayor diterima, artinya terdapat pengaruh yang signifikan antara kepribadian the HEXACO model of personality, sense of humor, dan variabel demografis (usia, jenis kelamin, penghasilan, dan intensitas pekerjaan) terhadap psychological well-being. Hasil uji hipotesis minor menunjukkan opennes to experience, honesty-humility, penghasilan, dan intensitas pekerjaan sebagai prediktor yang signifikan untuk psychological well-being.

Pada hasil kategorisasi psychological well-being pada penelitian ini menunjukkan bahwa hasil sebaran paling banyak berada pada kategori rendah. Memperhatikan kondisi fisik dan menjaga kesehatan psikologis adalah suatu keharusan agar manusia dapat menjalankan hidupnya dengan bahagia, tenang, dan mampu mengatasi segala masalah maupun tekanan yang datang. Penelitian Ryff (1989) mengenai psychological well-being menyatakan, seseorang yang jiwanya sejahtera tidak sekadar bebas dari tekanan atau masalah mental. Lebih dari itu, ia juga memiliki penilaian positif terhadap dirinya dan mampu bertindak secara otonomi, serta tidak mudah hanyut oleh pengaruh lingkungan. Bila hal ini dikaitkan dengan dunia pekerjaan, maka tingkat psychological well-being seseorang akan berguna dalam komitmen individu, produktivitas kerja individu, target-target dalam pekerjaan, hubungan dengan rekan kerja, serta penguasaan lingkungan kerja (Horn, Taris, Schaufeli, & Schreurs, 2004).


(6)

vi

D) Influence of Personality and Sense of Humor to Psychological Well-Being (Study for Journalists in Jakarta)

E) xiii + 110 + attachment

F) This study has been done for knowing influence of personality the HEXACO model of personality (honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, & openness to experience) and sense of humor (humor production, social uses of humor, attitudes toward humor and humorous people, & uses of humor for coping) also demographic variables (age, sex, income, & job intensity) to journalist’s psychological well-being in Jakarta.

There was 150 journalists in Jakarta as sample that was taken by non-probability sampling techniques, the techniques are accidental sampling. Ryff’s Psychological Well -Being Scales, HEXACO Personality Inventory-Revised Scales (HEXACO-PI-R) which was improved by Lee and Ashton, and Multidimensional Sense of Humor Scales (MSHS) which are improved by Thorson and Powell, used for collecting data instrument and be adapted to Indonesian. Validity examination item use CFA test with software LISREL 8.7, then data was analyzed by use multiple linear regression analysis with software SPSS 19.

The result showed that major hypothesis is accepted, means there are significant influences between personality the HEXACO model of personality, sense of humor, and demographic variable (age, sex, income, & job intensity) to psychological well-being. Result of minor hypothesis showed openness to experience, honesty-humility, income, and job intensity as significant predictor for psychological well-being.

The categorization results of psychological well-being in this study indicate that most of the result distribution is in the low category. Consider the physical condition and maintain psychological health is a must for humans to live her/his life with a happy, calm, and able to overcome all the problems and pressures that come. Ryff (1989) research on the psychological well-being states, someone whose soul is prosperous not only free from pressure or problems. More than that, he/she also has a positive assessment of him and able to act autonomously, also not easily washed away by the influence of the

environment. If it is associated with the world of work, then levels of person’s

psychological well-being would be useful in an individual commitment, individual work productivity, targets in the work, relationships with colleagues, and also control of the work environment (Horn, Taris, Schaufeli, & Schreurs, 2004).


(7)

vii

diberikan-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul

“Pengaruh Kepribadian dan Sense of Humor terhadap Psychological Well-Being (Studi pada Jurnalis di DKI Jakarta)”. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan Nabi kita semua, nabi Muhammad SAW. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penulis menyampaikan terima kasih kepada :

1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, periode 2014-2019, Prof.Dr. Abdul Mujib, M.Ag, M.Si, beserta jajarannya.

2. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, periode 2009-2013, Jahja Umar, Ph.D, beserta jajarannya.

3. Dosen Pembimbing I Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si dan Dosen Pembimbing II S. Evangeline I. Suaidy, M.Si, Psi., terima kasih Ibu atas segala bimbingan, arahan, masukkan serta kritik yang membangun, dan juga waktu yang diberikan selama masa penelitian skripsi ini.

4. Dosen Pembimbing Akademik Solicha, M.Si., terima kasih Ibu atas segala perhatian, bimbingan dan nasehat selama penulis menjalani perkuliahan.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, terima kasih atas ilmu dan pengetahuan yang telah diberikan, sekaligus seluruh karyawan fakultas yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian skripsi.

6. Para jurnalis di DKI Jakarta yang telah bersedia memberikan waktunya untuk diwawancara dan membantu mengisi angket penelitian yang penulis berikan.


(8)

viii

terkasih. Terima kasih atas segala yang telah dilakukan dan atas setiap cinta yang terpancar serta doa dan restu yang selalu mengiringi tiap langkah penulis.

8. Anhar Rizki Affandi, yang senantiasa ada di kala suka maupun duka, melantunkan doa serta mengusahakan segala macam bantuan terkait penyelesaian skripsi ini. Terima kasih atas semua yang telah dilakukan serta telah senantiasa menguatkan, memberikan dukungan dan motivasi.

9. Arif, Wisti, dan Isnidiniyah yang telah membantu mengarahkan penulis dalam proses pengolahan data skripsi ini.

10. Kelas D Psikologi 2009. Terima kasih teman-teman atas segala kisah kasih, canda tawa dan persahabatan terhebat bersama kalian selama ini.

11. Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih atas segala dukungan dan bantuan yang telah diberikan untuk membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis menerima saran serta kritik yang membangun. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat dan pengetahuan bagi pembaca. Terimakasih. Wassalam

Jakarta, Oktober 2014


(9)

ix

“Tidak ada masalah yang terlalu besar untuk dihadapi,

tidak ada langkah yang terlalu panjang untuk dijalani, dan tidak ada orang yang terlalu sulit untuk dihadapi, ketika kita mampu

menyikapi setiap peristiwa yang terjadi dengan hati yang jernih

dan kepala dingin.”

-Setengah Isi Setengah Kosong-

Skripsi ini kupersembahkan untuk ayah dan ibu,

dan juga untuk orang-orang yang kucintai.


(10)

x

HALAMAN PENGESAHAN... iv

ABSTRAK... v

KATA PENGANTAR... vii

MOTTO DAN PERSEMBAHAN... ix

DAFTAR ISI... x

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR GAMBAR... xiii

BAB 1. PENDAHULUAN... 1-18 1.1. Latar Belakang Masalah... 1

1.2. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 13

1.2.1. Pembatasan masalah... 14

1.2.2. Perumusan masalah... 15

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian... 16

1.3.1. Tujuan penelitian... 16

1.3.2. Manfaat penelitian... 17

1.4. Sistematika Penulisan... 17

BAB 2. LANDASAN TEORI... 19-52 2.1. Psychological Well-Being... 19

2.1.1. Definisi psychological well-being... 19

2.1.2. Dimensi psychological well-being... 21

2.1.3. Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being... 25

2.1.4. Pengukuran psychological well-being... 31

2.1.5. Penelitian terdahulu... 32

2.2. Kepribadian (Personality)... 33

2.2.1. Definisi kepribadian (personality)... 33

2.2.2. Definisi the HEXACO model of personality... 35

2.2.3. Pengukuran the HEXACO model of personality... 36

2.2.4. Penelitian terdahulu... 37

2.3. Sense of Humor... 38

2.3.1. Definisi humor... 38

2.3.2. Jenis-jenis humor... 39

2.3.3. Definisi kepekaan terhadap humor (sense of humor)... 41

2.3.4. Dimensi sense of humor... 43

2.3.5. Pengukuran sense of humor... 44

2.3.6. Penelitian terdahulu... 45

2.4. Kerangka Berpikir... 46

2.5. Hipotesis Penelitian... 51

2.5.1. Hipotesis mayor... 51

2.5.2. Hipotesis minor... 51

BAB 3. METODE PENELITIAN... 53-76 3.1. Populasi, Sampel, dan Teknik Pengambilan Sampel... 53


(11)

xi

3.4.2. Uji validitas skala the HEXACO model of personality... 61

3.4.2.1. Honesty-humility... 61

3.4.2.2. Emotionality... 62

3.4.2.3. Extraversion... 64

3.4.2.4. Agreeableness... 65

3.4.2.5. Conscientiousness... 65

3.4.2.6. Openness to experience... 67

3.4.3. Uji validitas skala sense of humor... 68

3.4.3.1. Humor production... 68

3.4.3.2. Social uses of humor... 69

3.4.3.3. Attitudes toward humor and humorous people... 69

3.4.3.4. Uses of humor for coping... 70

3.5. Teknik Analisis Data... 71

3.6. Prosedur Penelitian... 75

BAB 4. HASIL PENELITIAN... 77-96 4.1. Karakteristik Responden Penelitian... 77

4.2. Hasil Analisis Deskriptif... 79

4.3. Kategorisasi Hasil Penelitian... 81

4.3.1. Kategorisasi psychological well-being... 81

4.3.2. Kategorisasi honesty-humility... 82

4.3.3. Kategorisasi emotionality... 82

4.3.4. Kategorisasi extraversion... 82

4.3.5. Kategorisasi agreeableness... 83

4.3.6. Kategorisasi conscientiousness... 83

4.3.7. Kategorisasi openness to experience... 84

4.3.8. Kategorisasi humor production... 84

4.3.9. Kategorisasi social uses of humor... 85

4.3.10. Kategorisasi attitudes toward humor and humorous people... 85

4.3.11. Kategorisasi uses of humor for coping... 86

4.4. Uji Hipotesis Penelitian... 86

4.4.1. Uji regresi berganda... 86

4.4.2. Pengujian proporsi varians pada masing-masing variabel independen.. 93

BAB 5. KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN... 97-111 5.1. Kesimpulan... 97

5.2. Diskusi... 98

5.3. Saran... 108

5.3.1. Saran metodologis... 109

5.3.2. Saran praktis... 110

DAFTAR PUSTAKA... 112 LAMPIRAN...


(12)

xii

Tabel 3.3.2. Blue Print Skala The HEXACO Model of Personality... 57

Tabel 3.3.3. Blue Print Skala Sense of Humor... 58

Tabel 3.3.4. Skor Skala Model Likert... 59

Tabel 3.4.1. Muatan Faktor Psychological Well-Being... 61

Tabel 3.4.2.1. Muatan Faktor Honesty-Humility... 62

Tabel 3.4.2.2. Muatan Faktor Emotionality... 63

Tabel 3.4.2.3. Muatan Faktor Extraversion... 64

Tabel 3.4.2.4. Muatan Faktor Agreeableness... 65

Tabel 3.4.2.5. Muatan Faktor Conscientiousness... 66

Tabel 3.4.2.6. Muatan Faktor Openness to Experience... 67

Tabel 3.4.3.1. Muatan Faktor Humor Production... 68

Tabel 3.4.3.2. Muatan Faktor Social Uses of Humor... 69

Tabel 3.4.3.3. Muatan Faktor Attitudes Toward Humor and Humorous People... 70

Tabel 3.4.3.4. Muatan Faktor Uses of Humor for Coping... 71

Tabel 4.1. Karakteristik Responden Penelitian... 77

Tabel 4.2. Deskripsi Statistik Variabel Penelitian... 80

Tabel 4.3. Pedoman Interpretasi Skor... 81

Tabel 4.3.1. Kategorisasi Psychological Well-Being... 81

Tabel 4.3.2. Kategorisasi Honesty-Humility... 82

Tabel 4.3.3. Kategorisasi Emotionality... 82

Tabel 4.3.4. Kategorisasi Extraversion... 82

Tabel 4.3.5. Kategorisasi Agreeableness... 83

Tabel 4.3.6. Kategorisasi Conscientiousness... 83

Tabel 4.3.7. Kategorisasi Openness to Experience... 84

Tabel 4.3.8. Kategorisasi Humor Production... 84

Tabel 4.3.9. Kategorisasi Social Uses of Humor... 85

Tabel 4.3.10. Kategorisasi Attitudes Toward Humor and Humorous People... 85

Tabel 4.3.11. Kategorisasi Uses of Humor for Coping... 86

Tabel 4.4.1.1. RSquare... 87

Tabel 4.4.1.2. ANOVAb... 87

Tabel 4.4.1.3. Koefisien Regresi... 88


(13)

(14)

1

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini berisi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

1.1 Latar Belakang Masalah

Informasi saat ini menjadi suatu kebutuhan yang sangat penting dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia. Rasa ingin tahu yang merupakan sifat dasar manusia menjadi faktor pendorong terbesar akan kebutuhan tersebut. Manusia mencari informasi untuk pelbagai tujuan hidup. Selain menambah pengetahuan yang dapat memperluas cakrawala berpikir, informasi juga berperan sebagai salah satu sumber pertimbangan dalam pengambilan keputusan untuk mempertahankan hidup dan memperbaiki mutu kehidupan (Hidayat & Prakosa, 1997).

Media pers sebagai penyedia informasi bagi masyarakat tidak dapat melakukan perannya tanpa adanya jurnalis. Jurnalis adalah ujung tombak media pers yang menyediakan informasi bagi masyarakat (Hidayat & Prakosa, 1997). Jurnalis dengan pengetahuan jurnalistiknya dapat mengolah informasi yang berguna dan memilah informasi yang sesuai dengan kaidah jurnalistik (Ishwara, 2005). Hubungan itu jelas menempatkan jurnalis sebagai faktor terpenting karena mereka yang paling berperan dalam memberikan informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat.


(15)

Tanggung jawab sebagai seorang jurnalis sangatlah besar karena jurnalis merupakan penghubung antara sumber berita dan masyarakat luas. Akurasi merupakan satu hal penting dalam kerja seorang jurnalis, lemahnya akurasi dapat menyebabkan tidak tepatnya penggunaan data, fakta, dan nama sehingga melahirkan kesalahan dalam sebuah berita dan masyarakat pun mendapatkan informasi yang salah. Jurnalis yang tidak mampu menyampaikan informasi secepatnya ke kantor dan menyebabkan berita tidak muncul di media tempat ia bekerja keesokan harinya akan berisiko kehilangan pekerjaannya. Hal ini disebabkan karena surat kabar mereka akan berisi berita-berita yang tidak aktual sehingga pada akhirnya akan ditinggalkan oleh para pembacanya (Muflih, 1997).

Kebebasan pers saat ini menuntut lebih banyak agar jurnalis mampu mengerahkan segenap pikiran dan tenaga untuk memberikan kepada masyarakat. Akibatnya, media pers yang mempekerjakan jurnalis meminta kontribusi yang maksimal mulai dari hasil karya hingga tuntutan jam kerja yang tidak beraturan. Sehingga, hal tersebut membuat jurnalis menghadapi pelbagai tekanan psikis yang memang menjadi risiko ketika berkecimpung di dunia jurnalistik.

Tekanan psikis bagi seorang jurnalis mulai dari diri sendiri dalam hubungan sosial masyarakat, keluarga, lingkungan kerja baik dari perusahaan yang menuntut lebih kinerja namun tidak menyelaraskan dengan insentif yang sepadan, hingga tuntutan dalam mencari dan mengolah informasi yang disajikan ke masyarakat. Bahkan, kasus terkecil tidak naiknya berita jurnalis yang dikirimkan ke redaksi, juga membuat tekanan (Ari, 2012). Selain itu, banyak kendala yang sering muncul dalam usahanya mengumpulkan informasi untuk


(16)

membuat sebuah berita, diantaranya waktu yang terbatas, sulitnya mendapatkan sudut pandang dari peristiwa yang diliput serta sumber-sumber yang tidak kooperatif (Ishwara, 2005).

Psikolog Irma S. Martam dari Yayasan Pulih, mengatakan bahwa jurnalis adalah profesi yang rentan terkena gangguan psikologis, ini karena pola kerjanya yang berada di bawah tekanan baik dari segi deadline pembuatan berita serta kemungkinan tekanan dari lingkungan peliputan yang cenderung merupakan kondisi-kondisi abnormal (Susanto, 2009). Jurnalis yang bertugas di aura negatif seperti meliput kasus perampokan, pembunuhan, mayat dari segala kasus, seringnya menyaksikan kejadian-kejadian traumatis seperti kerusuhan atau bencana alam dan sebagainya, tentu akan dapat menimbulkan pengaruh psikologis dalam diri jurnalis. Beragam kekerasan (informasi negatif) yang sering dilaporkan jurnalis dalam kerjanya bisa saja membekas dalam pikiran bawah sadar.

AL Tompkins (dalam Hight & McMahon, 2006) dari Poynter Institut untuk Studi Media di Amerika Serikat menulis pernyataan berikut ini tidak lama setelah terjadinya serangan pada tahun 2001 di New York dan Washington, “Para wartawan, wartawan foto, sound engineer, juru suara dan produser lapangan sering kali bekerja bahu-membahu dengan para petugas darurat. Gejala-gejala stres traumatis dari para wartawan sangat mirip dengan para petugas kepolisian dan para petugas pemadam kebakaran yang bekerja segera setelah terjadinya suatu tragedi. Namun, para wartawan biasanya menerima sedikit sekali dukungan setelah mereka memasukkan peliputan mereka. Sementara para pekerja


(17)

keselamatan publik ditawari (dukungan psikologis) setelah trauma, sedangkan para wartawan hanya ditugaskan untuk mencari berita lain.”

Sebuah penelitian menyebutkan tiga dari sepuluh jurnalis mengalami Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) setelah bekerja dalam tugas-tugas yang berbahaya, depresi, kecemasan, dan masalah dalam hubungan interpersonal juga dilaporkan terjadi (Witchel, 2005). Penemuan tersebut didukung oleh penelitian dari Anthony Feinstein, John Owen & Nancy Blair (2002) yang menemukan bahwa hampir 30 persen jurnalis yang ditempatkan di daerah konflik menunjukkan tanda-tanda Post-Traumatic Stress.

Dalam literatur psikologi terapan, pekerjaan jurnalis, di samping pekerjaan supir, pelawak, ataupun tentara, termasuk dalam kategori rentan penyakit dan memiliki harapan hidup rendah. Sebab, pekerjaan menjadi seorang jurnalis memiliki pola kerja yang tidak mengenal waktu, mereka harus siap meliput kapanpun ada peristiwa penting terjadi. Hal tersebut membuat waktu istirahat mereka berkurang, terlebih lagi mereka harus memenuhi tenggat waktu (deadline) pengumpulan berita yang diberikan perusahaan. Penelitian membuktikan bahwa desakan waktu kronis memberikan pengaruh tidak baik pada sistem cardiovascular, sehingga menyebabkan terjadinya serangan jantung prematur dan tekanan darah tinggi (Friedman & Rosenman dalam Munandar, 2001). Selain itu, pekerjaan jurnalis yang selalu dikejar deadline tersebut telah mendorong akumulasi stres yang bisa menimbulkan penyakit syaraf (Broto, 2008).

Profesi jurnalis juga memiliki risiko ancaman keselamatan yang tinggi. Kekerasan terhadap jurnalis bukanlah hal yang baru terjadi di Indonesia. Aliansi


(18)

Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat angka kekerasan terhadap jurnalis mengalami peningkatan. Berdasarkan data yang dirilis AJI Indonesia, selama kurun waktu lima tahun terakhir, yaitu tahun 2008 - 2012, terjadi 89 kasus kekerasan fisik yang dialami oleh jurnalis. Kasus kekerasan yang menimpa jurnalis Indonesia beragam, mulai larangan peliputan, serangan fisik, teror dan intimidasi, hingga serangan peretas. Aksi kekerasan terhadap para jurnalis pun masih terus berlanjut pada tahun 2013 (Bambani, Rahardjo, Dwiyanto, Saefullah & Wulandari, 2013).

Selain itu, setiap tahun ada saja jurnalis yang meninggal karena dibunuh. Tentu motif pelaku karena terpengaruh atas pemberitaan yang ditulisnya. Delapan kasus pembunuhan jurnalis itu yang kasusnya tidak terselesaikan adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (jurnalis Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (jurnalis Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997) dan Agus Mulyawan (jurnalis Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999). Juga ada Muhammad Jamaluddin (jurnalis kamera TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar (jurnalis RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), dan Herliyanto (jurnalis lepas tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006). Sementara Adriansyah Matrais Wibisono (jurnalis TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010) dan Alfred Mirulewan (jurnalis tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010) (Winarno, 2014).


(19)

Permasalahan lain yang juga menambah beban kerja jurnalis adalah rendahnya tingkat kesejahteraan. Rendahnya gaji jurnalis juga disebabkan banyak perusahaan pers yang belum layak memenuhi standar perusahaan pers yang ideal atau sehat, yaitu sebuah perusahaan pers yang mampu memberikan gaji yang memadai kepada jurnalisnya, memiliki struktur karier yang jelas bagi jurnalisnya serta jaminan kesejahteraan lainnya. Berdasarkan data dari AJI Jakarta, secara keseluruhan total pengeluaran, perusahaan media di Indonesia masih relatif lebih rendah porsi pengeluran gaji untuk pegawainya (Rosadi, 2014). Hal yang sama juga dikatakan oleh Erik Tanjung, Koordinator Divisi Serikat Pekerja AJI Jakarta bahwa upah jurnalis Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara paling murah bila dibandingkan dengan beberapa negara Asia Tenggara (Sutanto, 2013).

Upah layak untuk jurnalis pemula di Jakarta pada 2014 sebesar Rp 5,7 juta per bulan. Namun, kenyataannya rata-rata upah jurnalis di Jakarta saat ini masih di bawah standar upah layak. Sebagian besar media di Jakarta menggaji jurnalisnya di kisaran Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per bulan. Bahkan ada media di Jakarta menggaji di bawah Upah Minimum Provinsi di Jakarta sebesar Rp 2,2 juta (Rahadi, 2014).

Lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers hanya membuahkan sebuah harapan dan belum menyentuh secara baik nasib akan perlindungan hukum maupun dari negara itu sendiri serta kesejahteraan jurnalis, padahal peran dan kontribusi jurnalis tidak dapat diabaikan karena mempunyai peran yang sangat strategis sebagai wahana komunikasi massa, penyebar informasi, dan pembentuk opini dalam pelbagai sektor kehidupan. Sebagai pilar


(20)

penting dari industri media, nasib jurnalis seharusnya mendapat perhatian yang pantas dari pelaku industri media. Apalagi jika mengingat beban yang dipikulkan undang-undang kepada pekerja media, yaitu menjadi alat kontrol sosial, selain menjalankan fungsi pendidikan dan hiburan (Manan, 2011).

Berdasarkan pemaparan diatas, bahwa menjadi jurnalis berarti memasuki kawasan kerja yang bebannya berlipat-lipat dan rentan terhadap konflik. Tidak jarang dalam keseharian pekerjaannya mereka sering dihadapkan pada dilema antara mencari informasi dan menjaga keselamatan diri. Bekerja menjadi jurnalis memerlukan kualifikasi baik secara profesi maupun psikologis sehingga mampu bertahan dengan situasi penuh tekanan.Hal ini yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk meneliti mengenai bagaimana keadaan psychological well-being jurnalis dengan segala risiko, tuntutan, dan tanggung jawab dalam pekerjaannya. Psychological well-being merujuk pada perasaan seseorang mengenai aktifitas kehidupan sehari-hari. Perasaan ini dapat berkisar dari kondisi mental negatif (misalnya: ketidakpuasan hidup, kecemasan, dan sebagainya) sampai ke kondisi mental positif (misalnya: realisasi potensi atau aktualisasi diri) (Bradburn, 1995).

Penelitian mengenai psychological well-being (Ryff dalam Nurhayati, 2010) menyatakan, seseorang yang jiwanya sejahtera tidak sekadar bebas dari tekanan atau masalah mental. Lebih dari itu, ia juga memiliki penilaian positif terhadap dirinya dan mampu bertindak secara otonomi, serta tidak mudah hanyut oleh pengaruh lingkungan. Bila hal ini dikaitkan dengan dunia pekerjaan, maka tingkat psychological well-being seseorang akan berguna dalam komitmen individu, produktivitas kerja individu, target-target dalam pekerjaan, hubungan


(21)

dengan rekan kerja, serta penguasaan lingkungan kerja (Horn, Taris, Schaufeli, & Schreurs, 2004).

Ryff (1995) mengemukakan enam komponen fungsi psychological well-being mencakup, evaluasi positif seseorang mengenai diri dan masa lalu (self-acceptance), pertumbuhan dan perkembangan individu (personal growth), kepercayaan mengenai tujuan dan makna hidup individu (purpose in life), kualitas hubungan dengan individu lain (positive relations with other), kapasitas untuk mengatur kehidupan dan diri seseorang secara efektif (environmental mastery), dan perasaan self-determination (autonomy).

Berdasarkan Ryff dan Singer (2002), psychological well-being berkaitan dengan faktor usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan, status sosial-ekonomi, dan latar belakang budaya. Kelompok usia yang terdiri dari tiga bagian: dewasa muda, dewasa menengah, dan dewasa akhir. Ryff dan Singer menemukan adanya perbedaan psychological well-being, khususnya pada dimensi penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, tujuan hidup, dan otonomi. Lalu, kelompok wanita lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan pertumbuhan pribadi daripada kelompok pria. Kelompok yang berpendidikan tinggi memiliki dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi yang lebih tinggi dibandingkan kelompok yang berpendidikan rendah. Status sosial-ekonomi berhubungan dengan dimensi penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan pertumbuhan pribadi. Selanjutnya, pada budaya Barat dan Timur juga memberikan pengaruh yang berbeda. Dimensi yang lebih berorientasi pada diri sendiri (penerimaan diri dan otonomi) lebih menonjol dalam konteks budaya


(22)

Barat, sedangkan dimensi yang berorientasi pada orang lain (seperti hubungan positif dengan orang lain) lebih menonjol pada budaya Timur.

Menurut Davis (dalam Rahayu, 2008), individu dengan tingkat penghasilan tinggi, status menikah, dan mempunyai dukungan sosial tinggi akan memiliki psychological well-being yang lebih tinggi. Berdasarkan faktor-faktor demografis yang telah dijelaskan, penulis menggunakan faktor usia, jenis kelamin, penghasilan, dan intensitas pekerjaan sebagai variabel demografis untuk ikut dianalisis pengaruhnya terhadap psychological well-being. Alasannya, karena faktor demografis tersebut sesuai karakteristik profesi sebagai seorang jurnalis.

Faktor lain yang juga dapat mempengaruhi psychological well-being seseorang adalah dukungan sosial, evaluasi terhadap pengalaman hidup, locus of control (LOC), religiusitas, dan kepribadian (Ryff, 1989; Ryff, 1994; Ryff & Essex, 1992; Sarafino, 2011). Selain itu, dalam beberapa penelitian ditemukan bahwa sense of humor terbukti dapat meningkatkan baik kesejahteraan fisik maupun psikologis seseorang (Martin, 2001; Kuiper, Martin, Olinger, Kazarian, & Jetté, 1998; Herzog & Strevey, 2008).

Kepribadian adalah salah satu prediktor paling kuat dan konsisten terhadap well-being. Ada juga beberapa bukti hubungan genetik antara kepribadian dan well-being (Weiss, Bates, & Luciano dalam Aghababaei & Arji, 2013). Penelitian yang mendukung pernyataan tersebut adalah Costa dan McCrae (1980), menemukan bahwa kepribadian extraversion dan neuroticism berhubungan secara signifikan dengan psychological well-being. Oleh karena itu, penulis menjadikan


(23)

kepribadian sebagai independent variable pertama untuk dianalisis pengaruhnya terhadap psychological well-being dalam studi pada jurnalis di DKI Jakarta.

Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk memahami kepribadian. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah teori trait. Pendekatan keterampilan dan trait terhadap kepribadian berusaha mencari beberapa dimensi utama yang dapat menggambarkan pola respons seseorang. Jumlah dimensi itu masih diperdebatkan. Pendekatan faktor terhadap kepribadian dari Cattell melihat perlu adanya 16 trait. Eysenck yakin bahwa teori harus mendasarkan seleksi faktor-faktor tersebut, dan ia menganggap bahwa semua trait berasal dari tiga sistem biologis, yaitu extraversion, neuroticism, dan psychoticism. Tetapi banyak peneliti setuju bahwa lima dimensi cukup memuaskan untuk diterapkan di sebagian besar situasi–disebut Big Five, yang terdiri dari extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan openness to experience. Peneliti lain membantah klaim bahwa kepribadian yang baik hanya dijelaskan oleh lima faktor. Ashton, mendorong kasus untuk enam faktor, model, HEXACO (Ashton & Lee dalam John, Robins, & Pervin, 2008). Enam faktor tersebut yaitu honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openess to experience.

Dalam penelitian ini, penulis lebih memilih untuk menggunakan pendekatan the HEXACO model of personality dari Lee dan Ashton (2007) untuk memahami kepribadian pada studi jurnalis di DKI Jakarta karena mengacu pada hasil penelitian Naser Aghababaei dan Akram Arji (dalam Journal of Personality and Individual Differences, 2013), dimana dalam penelitian tersebut mereka


(24)

membandingkan dua model dengan serangkaian hierarchical regressions. Pada model pertama Big Five dimasukkan, dan kemudian dimensi HEXACO ditambahkan untuk menguji validitas tambahan. Dengan efek dari Big Five dikendalikan, dimensi HEXACO masih signifikan memprediksi semua aspek psychological well-being. Namun, dengan faktor-faktor HEXACO dikendalikan, Big Five gagal untuk secara signifikan memprediksi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, dan tujuan hidup, tetapi berhasil memprediksi penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, dan penerimaan diri.

Sheehy (dalam Hasanat dan Subandi, 1998) dalam penelitiannya, menemukan bahwa kemampuan untuk melihat humor merupakan salah satu hal yang dapat digunakan untuk mengatasi krisis dalam hidup, sebagai perlindungan terhadap perubahan dan ketidaktentuan. Hubungan antara sense of humor dan

kecemasan sebagai krisis dalam kehidupan individu dikaji oleh O’Connel (dalam

Hasanat dan Subandi, 1998) dengan menyatakan bahwa melalui humor seseorang dapat menjauhkan diri dari situasi yang mengancam dan memandang masalah dari sudut kelucuannya untuk mengurangi kecemasan dan rasa tidak berdaya. Penelitian lain yang hampir serupa, yaitu penelitian Thorson dan Powell (1993) yang mengatakan bahwa rasa humor berkorelasi positif dengan adaptasi pada hidup yang aman, selain itu diperoleh korelasi negatif antara rasa humor dengan adaptasi yang buruk.

Menurut Ancok (1996), ada studi yang mempelajari bahwa humor dapat menimbulkan gairah baru. Perasaan senang dan punya selera humor yang cukup dalam menjalani kehidupan dapat meningkatkan produktivitas di dalam pekerjaan


(25)

dan mempertahankan hubungan baik dalam sosial (sebagai alat kontrol sosial). Selain itu, McGee dan Shevlin (2009) yang melakukan penyelidikan mengenai keinginan dalam bersosialisasi (social desirability), menemukan bahwa sense of humor termasuk dalam karakteristik kepribadian yang dinilai paling menguntungkan dalam kehidupan interpersonal individu. Kemampuan ini memupuk empati individu untuk lebih memahami lingkungannya dan menyadarkan kebutuhan untuk bersosialisasi dengan individu lainnya, sehingga kebahagiaan mengenai pemaknaan hidupnya dapat pula tercapai.

Berdasarkan beberapa penelitian di atas inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk meneliti lebih jauh lagi mengenai respon humor yang ada

pada jurnalis dalam menghadapi permasalahan dalam pembahasan ‘psychological well-being-nya’. Sehingga, penulis menjadikan variabel sense of humor sebagai independent variable kedua untuk dianalisis pengaruhnya terhadap psychological well-being dalam studi pada jurnalis di DKI Jakarta.

Sampel yang diambil oleh penulis dalam penelitian ini adalah pria dan wanita yang bekerja sebagai jurnalis di wilayah DKI Jakarta. Alasan penulis memilih kota DKI Jakarta sebagai area penelitian karena Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta adalah ibu kota negara Indonesia. Wilayah metropolitan Jakarta (Jabotabek) yang berpenduduk sekitar 28 juta jiwa, merupakan metropolitan terbesar di Asia Tenggara atau urutan kedua di dunia. Jakarta juga merupakan pusat bisnis, politik, dan kebudayaan, serta tempat berdirinya kantor-kantor pusat BUMN, perusahaan swasta, dan perusahaan asing. Kota ini juga menjadi tempat kedudukan lembaga-lembaga pemerintahan dan kantor sekretariat ASEAN.


(26)

Jakarta merupakan kota dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat. Penduduk yang bermukim di Jakarta pun memiliki tingkat ekonomi yang beragam, mulai dari tingkat ekonomi menengah ke atas sampai menengah ke bawah pun ada di Jakarta. Selain itu, agama yang dianut oleh penduduk DKI Jakarta beragam. Jumlah penduduk dan komposisi etnis di Jakarta pun selalu berubah dari tahun ke tahun. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, tercatat bahwa setidaknya terdapat tujuh etnis besar yang mendiami Jakarta. Jakarta merupakan pusat kegiatan sosial dan budaya yang paling lengkap memiliki sarana, prasarana terbaik dalam bidang pendidikan, budaya, olah raga, kesehatan, dan juga fasilitas pariwisatanya dibandingkan kota-kota lain di Indonesia. Bahkan, sampai saat ini, Jakarta masih dijadikan tujuan utama masyarakat sebagai tempat untuk mengejar masa depan. Para pendatang dari daerah luar Jakarta berbondong-bondong untuk tinggal, belajar, dan bekerja di ibukota.

Berangkat dari fenomena-fenomena yang telah dipaparkan di atas tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui “Apakah Kepribadian dan Sense of Humor berpengaruh terhadap Psychological Well-Being (Studi pada Jurnalis di DKI Jakarta) ?”.

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah

Dalam sebuah karya ilmiah sangat diperlukan adanya pembatasan dan perumusan masalah. Hal ini dimaksudkan agar dalam penulisan tidak menyimpang dari sasaran yang ingin dicapai.


(27)

1.2.1 Pembatasan masalah

a. Psychological well-being merupakan kondisi berfungsinya dengan penuh potensi-potensi sejati individu dalam menjalani tantangan eksistensial kehidupan (Ryff & Keyes, 1995) dilihat berdasarkan pada tingkat penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

b. Kepribadian adalah keseluruhan cara seorang individu bereaksi dan berinteraksi dengan individu lain (Robbins & Timothy, 2008). Teori yang dipakai penulis dalam penelitian ini adalah The HEXACO Model of Personality (Lee & Ashton, 2007), yaitu tipe kepribadian yang terdiri dari enam dimensi, honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness dan openness to experience.

c. Sense of humor ialah cara memandang dan berinteraksi dengan dunia melalui filter berupa hiburan, tawa, dan keceriaan (Martin et.al., 2003; Thorson & Powell, 1993). Sense of humor terdiri dari 4 dimensi, yaitu humor production, uses of humor for coping, social uses of humor dan attitudes toward humor and humorous people.


(28)

d. Sampel penelitian ini adalah pria dan wanita yang bekerja sebagai jurnalis di wilayah DKI Jakarta, dengan dua kelompok rentang usia yang dibatasi oleh Hurlock (1980) yaitu usia dewasa awal (20 - 39 Tahun) dan usia dewasa madya (40 - 59 Tahun).

1.2.2 Perumusan masalah

Berdasarkan hal-hal di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah ada pengaruh antara kepribadian the HEXACO model of personality dan sense of humor terhadap psychological well-being jurnalis ?

2. Apakah ada pengaruh kepribadian the HEXACO model of personality honesty-humility, emotionality, extraversion, agreeableness, conscientiousness, dan openness to experience terhadap psychological well-being jurnalis ?

3. Apakah ada pengaruh sense of humor humor production, social uses of humor, attitudes toward humor and humorous people, dan uses of humor for coping terhadap psychological well-being jurnalis ?

4. Apakah ada pengaruh faktor demografis usia, jenis kelamin, penghasilan, dan intensitas pekerjaan terhadap psychological well-being jurnalis ?


(29)

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh kepribadian dan sense of humor serta faktor demografis terhadap psychological well-being jurnalis.

1.3.2 Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis, yaitu sebagai berikut :

1. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah literatur pengetahuan dalam bidang psikologi, khususnya Psikologi Klinis. Selain itu, dapat dijadikan sebagai salah satu sumber informasi dan acuan dalam pengembangan bagi penelitian selanjutnya, khususnya mengenai pengaruh kepribadian dan sense of humor terhadap psychological well-being jurnalis.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat, yaitu menambah wawasan bagi masyarakat umum terutama bagi para jurnalis, mengenai pengaruh kepribadian dan sense of humor terhadap psychological well-being, pentingnya menjaga psychological well-being bagi seseorang, dapat membantu untuk mengembangkan diri ke arah yang lebih positif serta memahami pentingnya humor dalam lingkungan kerja dan juga kemampuan mengatasi pelbagai masalah dan tekanan dengan lebih efektif sehingga dapat mencapai jiwa (psikologis) yang sehat.


(30)

1.4 Sistematika Penulisan

Penulisan hasil penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan skripsi Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan sistematika sebagai berikut :

BAB 1 : Pendahuluan, menguraikan tentang latar belakang dilakukannya penelitian mengenai pengaruh kepribadian dan sense of humor terhadap psychological well-being jurnalis, pembatasan dan perumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB 2 : Landasan Teori, menguraikan sejumlah teori yang digunakan dalam penelitian diantaranya :

1. Penjabaran dan definisi psychological well-being, faktor-faktor yang mempengaruhi psychological being, dimensi psychological well-being, pengukuran psychological well-well-being, dan penelitian terdahulu; definisi kepribadian, definisi the HEXACO model of personality, pengukuran the HEXACO model of personality, dan penelitian terdahulu; definisi humor, jenis-jenis humor, definisi sense of humor, dimensi sense of humor, pengukuran sense of humor, dan penelitian terdahulu.

2. Kerangka berpikir dan hipotesis.

BAB 3 : Metode Penelitian, menguraikan tentang populasi dan sampel penelitian, variabel penelitian, definisi konseptual dan operasional, teknik pengumpulan data, uji instrumen, prosedur penelitian, dan teknik analisis data.


(31)

BAB 4 : Hasil Penelitian, menguraikan tentang hasil pengolahan dari data yang terkumpul dari penelitian ini, meliputi gambaran umum dari subjek penelitian, serta hasil penelitian yang telah dilaksanakan.

BAB 5 : Kesimpulan, Diskusi dan Saran, pada bagian ini menguraikan tentang kesimpulan, diskusi dan saran dari hasil penelitian.


(32)

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini akan dipaparkan tentang teori yang digunakan dalam penelitian ini, pengukurannya, kerangka berpikir, dan hipotesis penelitian.

2.1 Psychological Well-Being

2.1.1 Definisi psychological well-being

Secara umum, ada dua konsep atau pengertian tentang psychological well-being. Konsep pertama disampaikan oleh Bradburn (dalam Ryff, 1989) yang mengartikan psychological well-being sebagai kebahagiaan (happiness). Ia membuat penelitian untuk mengetahui pengaruh perubahan-perubahan sosial secara makro, misalnya perubahan dalam tingkat pendidikan, pola tenaga kerja, dan ketegangan politik terhadap kondisi psikologis individu. Saat menjabarkan kondisi psikologis individu, Bradburn (1969) menggunakan kebahagiaan yang dirujuk dari istilah eudaimonia (kebahagiaan yang dikemukakan oleh Aristoteles). Dimana menurut buku yang ditulis Aristoteles (berjudul ‘Nicoman Ethics’, 1947), mengatakan bahwa eudaimonia merupakan hal tertinggi yang dapat diraih manusia. Dalam penelitian tersebut,kebahagiaan dioperasionalkan sebagai adanya keseimbangan antara afek positif dan negatif.

Konsep kedua mengartikan well-being sebagai kepuasan hidup. Istilah kedua ini juga didapatkan dari penelitian yang tidak secara khusus mengukur psychological well-being. Life Satisfaction Index atau sering disingkat dengan


(33)

istilah LSI (Neugarten, Havighurst & Tobin dalam Ryff, 1989) misalnya, ditujukan untuk mengetahui perbedaan antara individu yang sukses dengan yang tidak pada kelompok lanjut usia. Alat ukur LSI ini tidak digunakan untuk mengukur psychological well-being tetapi kondisi psikologis individu sukses dan tidak sukses, yang diukur dalam alat ukur ini serupa dengan apa yang ingin digali dari konsep psychological well-being.

Menurut Ryff dan Keyes (1995), psychological well-being adalah saat dimana seseorang dapat hidup dengan bahagia berdasarkan pengalaman hidupnya dan bagaimana mereka memandang pengalaman tersebut berdasarkan potensi yang mereka miliki. Evaluasi terhadap pengalaman akan dapat menyebabkan seseorang menjadi pasrah terhadap keadaan yang membuat psychological well-being-nya rendah, atau berusaha memperbaiki keadaan hidupnya yang akan membuat psychological well-being-nya meningkat. Sehingga, individu dengan psychological well-being berarti tidak hanya individu yang terbebas dari hal-hal yang menjadi indikator mental negatif, akan tetapi mengetahui potensi-potensi positif yang ada pada dirinya.

Psychological well-being memimpin individu untuk menjadi kreatif dan memahami apa yang sedang dilakukannya (Bartram & Boniwell, 2007). Menurut Snyder dan Lopez (2002), psychological well-being bukan hanya merupakan ketiadaan penderitaan, namun psychological well-being meliputi keterikatan aktif dalam dunia, memahami arti dan tujuan dalam hidup dan hubungan seseorang pada objek ataupun orang lain.


(34)

Ryff (1989) menyimpulkan bahwa individu berusaha berpikir positif tentang dirinya meskipun mereka sadar akan keterbatasan-keterbatasan dirinya (penerimaan diri). Mereka juga mencoba mengembangkan dan menjaga kehangatan dan rasa percaya dalam hubungan interpersonal (hubungan positif dengan orang lain) dan membentuk lingkungan mereka, sehingga kebutuhan pribadi dan keinginannya dapat terpenuhi (penguasaan lingkungan). Ketika mempertahankan individualitas dalam konteks sosial makro, individu juga mengembangkan self-determination dan kewibawaan (otonomi). Upaya yang paling penting adalah menemukan makna dari tantangan yang telah dilalui dan dari upaya-upaya yang dilakukan dalam menghadapinya (tujuan hidup). Terakhir, mengembangkan bakat dan kemampuan secara optimal (pertumbuhan pribadi) merupakan yang paling utama dalam psychological well-being (Ryff, 1989).

Berdasarkan penjelasan di atas, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa psychological well-being merupakan kondisi psikologis ideal seseorang yang sejahtera ketika individu dapat menerima kekuatan dan kelemahan diri apa adanya, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, mampu mengendalikan lingkungan, dan terus bertumbuh secara personal.

2.1.2 Dimensi psychological well-being

Menurut Ryff (1989) psychological well-being adalah gambaran kesehatan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologis positif (positive psychological functioning) individu tersebut. Adapun kriteria individu yang mempunyai psychological well-being yang baik, yaitu :


(35)

1. Penerimaan diri (self-acceptance)

Seorang individu dikatakan memiliki nilai yang tinggi dalam dimensi penerimaan diri apabila ia memiliki sikap yang positif terhadap dirinya sendiri, menghargai dan menerima pelbagai aspek yang ada pada dirinya, baik kualitas diri yang baik maupun yang buruk. Selain itu, orang yang memiliki nilai penerimaan diri yang tinggi juga dapat merasakan hal yang positif dari kehidupannya di masa lalu (Ryff & Keyes, 1995). Sebaliknya, seseorang dikatakan memiliki nilai yang rendah dalam dimensi penerimaan diri apabila ia merasa kurang puas terhadap dirinya sendiri, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi pada kehidupannya di masa lalu, memiliki masalah dengan kualitas tertentu dari dirinya, dan berharap untuk menjadi orang yang berbeda dari dirinya sendiri (Ryff & Keyes, 1995).

2. Hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others)

Seseorang yang memiliki hubungan positif dengan orang lain mampu membina hubungan yang hangat dan penuh kepercayaan dengan orang lain. Selain itu, individu tersebut memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain, dapat menunjukkan empati, afeksi, dan intimitas, serta memahami prinsip memberi dan menerima dalam hubungan antar pribadi (Ryff & Keyes, 1995). Sebaliknya, Ryff dan Keyes (1995) mengemukakan bahwa seseorang yang kurang baik dalam dimensi hubungan positif dengan orang lain ditandai dengan tingkah laku yang tertutup dalam berhubungan dengan orang lain, sulit untuk bersikap


(36)

hangat, peduli, dan terbuka dengan orang lain, terisolasi dan merasa frustasi dalam membina hubungan interpersonal, tidak berkeinginan untuk berkompromi dalam mempertahankan hubungan dengan orang lain. 3. Otonomi (autonomy)

Ciri utama dari seorang individu yang memiliki otonomi yang baik antara lain dapat menentukan segala sesuatu seorang diri (self-determining) dan mandiri. Ia mampu untuk mengambil keputusan tanpa tekanan dan campur tangan orang lain. Selain itu, orang tersebut memiliki ketahanan dalam menghadapi tekanan sosial, dapat mengatur tingkah laku dari dalam diri, serta dapat mengevaluasi diri dengan standar personal (Ryff & Keyes, 1995). Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki otonomi akan sangat memperhatikan dan mempertimbangkan harapan dan evaluasi dari orang lain, berpegang pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting, serta bersikap konformis terhadap tekanan sosial (Ryff & Keyes, 1995).

4. Penguasaan lingkungan (environmental mastery)

Seseorang yang baik dalam dimensi penguasaan lingkungan memiliki keyakinan dan kompetensi dalam mengatur lingkungan. Ia dapat mengendalikan pelbagai aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, serta mampu memilih dan menciptakan lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan dan nilai-nilai pribadi. Sebaliknya, seseorang yang memiliki penguasaan


(37)

lingkungan yang kurang baik akan mengalami kesulitan dalam mengatur situasi sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah atau meningkatkan kualitas lingkungan sekitarnya, kurang peka terhadap kesempatan yang ada di lingkungannya dan kurang memiliki kontrol terhadap lingkungan (Ryff & Keyes, 1995).

5. Tujuan hidup (purpose in life)

Seseorang yang memiliki nilai tinggi dalam dimensi tujuan hidup memiliki rasa keterarahan (directedness) dalam hidup, mampu merasakan arti dari masa lalu dan masa kini, memiliki keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta memiliki tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup (Ryff & Keyes, 1995). Sebaliknya, seseorang yang kurang memiliki tujuan hidup akan kehilangan makna hidup, memiliki sedikit tujuan hidup, kehilangan rasa keterarahan dalam hidup, kehilangan keyakinan yang memberikan tujuan hidup, serta tidak melihat makna yang terkandung untuk hidupnya dari kejadian di masa lalu (Ryff & Keyes, 1995).

6. Pertumbuhan pribadi (personal growth)

Seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang baik ditandai dengan adanya perasaan mengenai pertumbuhan yang berkesinambungan dalam dirinya, memandang diri sendiri sebagai individu yang selalu tumbuh dan berkembang, terbuka terhadap pengalaman-pengalaman baru, memiliki kemampuan dalam menyadari potensi diri yang dimiliki, dapat merasakan peningkatan yang terjadi pada diri dan tingkah lakunya setiap waktu, serta dapat berubah menjadi pribadi yang lebih efektif dan memiliki


(38)

pengetahuan yang bertambah (Ryff & Keyes, 1995). Sebaliknya, seseorang yang memiliki pertumbuhan pribadi yang kurang baik akan merasa dirinya mengalami stagnansi, tidak melihat peningkatan dan pengembangan diri, merasa bosan dan kehilangan minat terhadap kehidupannya, serta merasa tidak mampu dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku yang lebih baik (Ryff & Keyes, 1995).

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being Faktor-faktor yang mempengaruhi psychological well-being, antara lain :

1. Faktor demografis

Beberapa faktor demografis yang mempengaruhi psychological well-being antara lain adalah sebagai berikut :

a) Usia

Ryff dan Keyes (1995) mengemukakan bahwa perbedaan usia mempengaruhi perbedaan dalam dimensi-dimensi psychological well-being. Dalam penelitiannya, Ryff dan Keyes (1995) menemukan bahwa dimensi penguasaan lingkungan dan dimensi otonomi mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia, terutama dari dewasa muda hingga dewasa madya. Dimensi hubungan positif dengan orang lain juga mengalami peningkatan seiring bertambahnya usia. Sebaliknya, dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi memperlihatkan penurunan seiring bertambahnya usia, penurunan ini terutama terjadi pada dewasa madya hingga dewasa akhir. Dari penelitian tersebut menunjukkan tidak adanya perbedaan yang


(39)

signifikan dalam dimensi penerimaan diri selama usia dewasa muda hingga dewasa akhir.

b) Jenis kelamin

Penelitian Ryff (dalam Ryff & Keyes, 1995) menemukan bahwa dibandingkan pria, wanita memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan yang positif dengan orang lain dan dimensi pertumbuhan pribadi.

c) Status sosial-ekonomi

Meliputi besarnya income (penghasilan) keluarga, tingkat pendidikan, keberhasilan pekerjaan, kepemilikan materi, status sosial di masyarakat. Ryff dan Singer (2002) menemukan bahwa gambaran psychological well-being yang lebih tinggi dan jabatan tinggi dalam pekerjaan, terutama untuk dimensi tujuan hidup dan pertumbuhan pribadi. Adanya kesuksesan-kesuksesan termasuk (materi) dalam kehidupan merupakan faktor protektif yang penting dalam menghadapi stres, tantangan, dan musibah. Sebaliknya, mereka yang kurang mempunyai pengalaman keberhasilan akan mengalami kerentanan pada psychological well-being-nya.

Data yang diperoleh dari Wisconsin Longitudinal Study memperlihatkan gradasi sosial dalam kondisi well-being pada dewasa madya. Data tersebut memperlihatkan bahwa pendidikan tinggi dan status pekerjaan meningkatkan psychological well-being, terutama pada dimensi penerimaan diri dan dimensi tujuan hidup (Ryff, 1994).


(40)

Mereka yang menempati kelas sosial yang tinggi memiliki perasaan yang lebih positif terhadap diri sendiri dan masa lalu mereka, serta lebih memiliki rasa keterarahan dalam hidup dibandingkan dengan mereka yang berada di kelas sosial yang lebih rendah.

d) Budaya

Penelitian mengenai psychological well-being yang dilakukan di Amerika dan Korea Selatan menunjukkan bahwa responden di Korea Selatan memiliki skor yang lebih tinggi pada dimensi hubungan positif dengan orang lain dan skor yang rendah pada dimensi penerimaan diri. Hal ini dapat disebabkan oleh orientasi budaya yang lebih bersifat kolektif dan saling ketergantungan. Sebaliknya, responden Amerika memiliki skor yang tinggi dalam dimensi pertumbuhan pribadi (untuk responden wanita) dan dimensi tujuan hidup (untuk responden pria), serta memiliki skor yang rendah dalam dimensi otonomi, baik pria maupun wanita (Ryff, 1994).

2. Dukungan sosial

Menurut Davis (dalam Rahayu, 2008), individu-individu yang mendapatkan dukungan sosial memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi. Dukungan sosial sendiri diartikan sebagai rasa nyaman, perhatian, penghargaan, atau pertolongan yang dipersepsikan oleh seorang individu yang didapat dari orang lain atau kelompok (Cobb, 1976; Gentry & Kobasa, 1984; Wallston, Alagna, DeVellis & DeVellis, 1983; Wills, 1974 dalam Sarafino, 2011). Dukungan ini dapat berasal dari pelbagai


(41)

sumber, diantaranya pasangan, keluarga, teman, rekan kerja, dokter, maupun organisasi sosial.

3. Evaluasi terhadap pengalaman hidup

Ryff (1989) mengemukakan bahwa pengalaman hidup tertentu dapat mempengaruhi kondisi psychological well-being seorang individu. Pengalaman-pengalaman tersebut mencakup pelbagai bidang kehidupan dalam pelbagai periode kehidupan.

Evaluasi individu terhadap pengalaman hidupnya memiliki pengaruh yang penting terhadap psychological well-being (Ryff & Keyes, 1995). Pernyataan ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ryff dan Essex (1992) mengenai pengaruh interpretasi dan evaluasi individu pada pengalaman hidupnya terhadap kesehatan mental. Interpretasi dan evaluasi pengalaman hidup diukur dengan mekanisme evaluasi diri oleh Rosenberg (dalam Ryff & Essex, 1992) dan dimensi-dimensi psychological well-being digunakan sebagai indikator kesehatan mental individu. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa mekanisme evaluasi diri ini berpengaruh pada psychological well-being individu, terutama dalam dimensi penguasaan lingkungan, tujuan hidup, dan hubungan positif dengan orang lain.

4. Locus of control (LOC)

Locus of control didefinisikan sebagai suatu ukuran harapan umum seseorang mengenai pengendalian (kontrol) terhadap penguatan (reinforcement) yang mengikuti perilaku tertentu (Rotter dalam Anastasi,


(42)

2007). Robinson et.al. (dalam Rahayu, 2008) mengemukakan bahwa locus of control dapat memberikan peramalan terhadap well-being seseorang. Individu dengan locus of control internal pada umumnya memiliki tingkat psychological well-being yang lebih tinggi dibanding individu dengan locus of control eksternal.

5. Faktor religiusitas

Penelitian-penelitian mengenai psikologi dan religiusitas yang dilakukan antara lain oleh Ellison dan Levin (1998), Ellison et.al. (2001), Koenig (2004), Krause dan Ellison (2003), menemukan hubungan positif antara religiusitas dan psychological well-being (Flannelly, Koenig, Ellison, Galek & Krause, 2006). Kemudian, Chatters dan Ellison (dalam Levin, 1994) juga menemukan adanya kaitan antara keterlibatan religius (religious involvement) dengan well-being.

Dalam penelitian yang berjudul “Religious Involvement Among Older African Americans” yang ditulis oleh Levin (1994) ditemukan beberapa hal yang menunjukkan fungsi psikososial dari agama yang antara lain : 1) Doa dapat berperan penting sebagai coping dalam menghadapi masalah pribadi, 2) Partisipasi aktif dalam kegiatan keagamaan dapat berdampak pada persepsi rasa penguasaan lingkungan dan meningkatkan self-esteem, 3) Keterlibatan religius merupakan prediktor evaluasi kepuasan hidup.


(43)

6. Kepribadian

Individu yang memiliki banyak kompetensi pribadi dan sosial, seperti penerimaan diri, mampu menjalin hubungan yang harmonis dengan lingkungan, coping skill yang efektif cenderung terhindar dari konflik dan stress. Para ahli berpendapat bahwa variabel kepribadian merupakan komponen dari kesejahteraan psikologis. Hal ini ditunjukkan salah satunya dari penelitian yang dilakukan Costa dan McCrae pada tahun 1980 yang menyimpulkan bahwa kepribadian extraversion dan neuroticsm berhubungan secara signifikan dengan kesejahteraan psikologis (Andrew & Robinson dalam Nurhayati, 2010).

7. Sense of humor

Penelitian dengan sampel nonklinis telah menunjukkan bahwa individu dengan humor tinggi menampilkan tingkat yang lebih rendah dari distress dan umumnya terlibat dalam interaksi yang lebih positif dengan lingkungannya (Deaner & McConatha, 1993; Kuiper & Martin, 1993 dalam Kuiper, Martin, Olinger, Kazarian, & Jetté, 1998). Kedua jenis temuan dapat dilihat sebagai indikator peningkatan psychological well-being. Sehubungan dengan tingkat distress, individu dengan rasa humor yang lebih besar melaporkan tingkat yang lebih rendah dari stres yang dirasakan dan tingkat yang lebih rendah dari pengaruh depresi (Deaner & McConatha, 1993; Frecknall, 1994; Kuiper & Martin, 1993 dalam Kuiper et.al., 1998). Individu tersebut juga berinteraksi dengan lingkungan mereka dengan cara yang lebih positif, membuat penilaian kognitif yang


(44)

lebih fasilitatif atau mengevaluasi situasi, dan menilai hasil dari peristiwa dengan cara yang lebih positif (Kuiper et.al., 1995; Kuiper, Martin, & Olinger, 1993). Akibatnya, individu dengan humor tinggi melaporkan tingkat yang lebih tinggi dari afek positif dan tingkat yang lebih rendah dari afek negatif (Kuiper et.al., 1995; Martin et.al., 1993).

2.1.4 Pengukuran psychological well-being

Pada umumnya untuk mengukur psychological well-being di beberapa penelitian sebelumnya, para peneliti menggunakan skala baku yang dibuat oleh Ryff (1996) yaitu Ryffs Psychological Well-Being Scales dengan versi aslinya berjumlah 120 item, selain itu terdapat versi lainnya yaitu 84, 52, 42, dan 18 item yang umumnya dengan jumlah item yang sama pada setiap aspeknya.

Secara teoritis Ryff’s PWB Scales adalah instrument yang secara khusus mengukur enam dimensi dari psychological well-being, dimensi tersebut meliputi: penerimaan diri (self-acceptance), hubungan positif dengan orang lain (positive relations with others), otonomi (autonomy), penguasaan lingkungan (environmental mastery), tujuan hidup (purpose in life), dan pertumbuhan pribadi (personal growth).

Pengukuran pada penelitian ini menggunakan alat ukur Ryff’s PWB Scales (1995) yang terdiri dari 18 item pernyataan, dimana item-item tersebut terdiri atas: 3 item mengukur dimensi self-acceptance, 3 item mengukur dimensi positive relations with others, 3 item mengukur dimensi autonomy, 3 item mengukur dimensi environmental mastery, 3 item mengukur dimensi purpose in life dan 3 item mengukur dimensi personal growth.


(45)

Pada penelitian ini, penulis menggunakan Ryff’s PWB Scales versi 18 item yang telah diadaptasi dari instrument bakunya yang berbahasa Inggris kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Selain itu, penulis juga melakukan modifikasi pada skala model likert, dimana pada skala aslinya menggunakan skala model likert dengan rentangan enam point dimodifikasi menjadi rentang skala empat point, untuk menghindari bias dan mempermudah subjek dalam merespon item.

2.1.5 Penelitian terdahulu

Ada beberapa penelitian terdahulu yang meneliti tentang psychological well-being. Berikut beberapa penelitian mengenai psychological well-being : Bradburn (dalam Ryff, 1989), meneliti tentang perubahan sosial pada level makro (perubahan yang terjadi akibat tekanan politik, urbanisasi, pekerjaan, dan pendidikan). Menurutnya, tujuan tertinggi yang ingin diraih individu adalah kebahagiaan. Kebahagiaan berdasarkan pendapat Bradburn berarti adanya keseimbangan afek positif dan negatif. Selain itu, Bradburn, Neugarten, Havigurst, dan Tobin (dalam Ryff, 1989) juga mengukur kesejahteraan sosial pada masa usia lanjut. Ia membuat alat ukur Life Satisfaction Index (LSI) untuk membedakan individu lanjut usia yang termasuk successful aging dan yang tidak. Pada pengukuran ini, psychological well-being diterjemahkan sebagai kepuasan hidup.


(46)

2.2 Kepribadian (Personality)

2.2.1 Definisi kepribadian (personality) Eysenck (dalam Suryabrata, 2010) mengatakan :

Personality is the sum-total of actual or potential behavior-pattern of the organism as determined by heredity and environment; it originates and develops through the functional interaction of the four main sectors into which these behavior patterns are or the conative sector (character), the affective sector (temperament), and the somatic sector (constitution).

Kepribadian adalah total-jumlah dari aktual atau potensial pola-perilaku organisme yang ditentukan oleh keturunan dan lingkungan, tetapi berasal dan berkembang pemikiran interaksi fungsional dari empat sektor utama dimana pola-pola perilaku atau sektor konatif (karakter), sektor afektif (temperamen), dan sektor somatik (konstitusi).

Istilah kepribadian (personality) memiliki beberapa arti, menurut disiplin ilmu psikologi yang diambil dari beberapa rumusan teori kepribadian terkemuka seperti Gordon Allport (dalam Friedman & Schustack, 2006) mendefinisikan bahwa kepribadian merupakan organisasi dinamis dalam sistem psikofisik individu yang menentukan caranya yang khas untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Carl Rogers (dalam Rathus, 2010) mengungkapkan bahwa kepribadian merupakan pola yang teratur dan konsisten dari persepsi mengenai diri yang ada dalam pengalaman individu. R.B. Cattel (dalam Chaplin, 2005) mengatakan kepribadian yaitu segala sesuatu yang memungkinkan diperolehnya


(47)

suatu ramalan mengenai perbuatan apa yang akan dilakukan seseorang dalam situasi tertentu.

Personality adalah tingkah laku yang ditampakkan ke lingkungan sosial (kesan mengenai diri yang diinginkan agar dapat ditangkap oleh lingkungan sosial) (Alwisol, 2009). Sedangkan menurut John dan Pervin (2001), kepribadian mewakili karakteristik individu yang terdiri dari pola-pola pikiran, perasaan, dan perilaku yang konsisten. Definisi tersebut memiliki arti yang cukup luas yang membolehkan kita untuk fokus pada banyak aspek yang berbeda pada setiap orang. Pada waktu yang bersamaan, hal tersebut menganjurkan kita untuk konsisten pada pola tingkah laku dan kualitas dalam diri orang tersebut yang diukur secara teratur.

Ada beberapa pendekatan yang dikemukakan oleh para ahli untuk memahami kepribadian. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah teori trait. Pendekatan keterampilan dan trait terhadap kepribadian berusaha mencari beberapa dimensi utama yang dapat menggambarkan pola respons seseorang. Jumlah dimensi itu masih diperdebatkan. Pendekatan faktor terhadap kepribadian dari Cattell melihat perlu adanya 16 trait. Eysenck yakin bahwa teori harus mendasarkan seleksi faktor-faktor tersebut, dan ia menganggap bahwa semua trait berasal dari tiga sistem biologis, yaitu extraversion, neuroticism, dan psychoticism. Tetapi banyak peneliti setuju bahwa lima dimensi cukup memuaskan untuk diterapkan di sebagian besar situasi–disebut Big Five, yang terdiri dari extraversion, agreeableness, conscientiousness, neuroticism, dan openness to experience. Peneliti lain membantah klaim bahwa kepribadian yang


(48)

baik hanya dijelaskan oleh lima faktor. Ashton, mendorong kasus untuk enam faktor, model, HEXACO (Ashton & Lee dalam John, Robins, & Pervin, 2008). Enam faktor tersebut yaitu Honesty-Humility (H), Emotionality (E), eXtraversion (X), Agreeableness (A), Conscientiousness (C), dan Openess to Experience (O).

Dalam penelitian ini, penulis lebih memilih untuk menggunakan pendekatan the HEXACO model of personality dari Lee dan Ashton (2007) untuk memahami kepribadian pada studi jurnalis di DKI Jakarta karena mengacu pada hasil penelitian Naser Aghababaei dan Akram Arji (dalam Journal of Personality and Individual Differences, 2013), dimana dalam penelitian tersebut mereka membandingkan dua model dengan serangkaian hierarchical regressions. Pada model pertama Big Five dimasukkan, dan kemudian dimensi HEXACO ditambahkan untuk menguji validitas tambahan. Dengan efek dari Big Five dikendalikan, dimensi HEXACO masih signifikan memprediksi semua aspek psychological well-being. Namun, dengan faktor-faktor HEXACO dikendalikan, Big Five gagal untuk secara signifikan memprediksi otonomi, hubungan positif dengan orang lain, dan tujuan hidup, tetapi berhasil memprediksi penguasaan lingkungan, pertumbuhan pribadi, dan penerimaan diri.

2.2.2 Definisi the HEXACO model of personality

Struktur kepribadian HEXACO adalah tipe kepribadian yang terdiri dari enam dimensi, dikembangkan oleh Ashton dan Lee dari beberapa studi leksikal (Lee & Ashton, 2007). Enam faktor atau dimensi tersebut yaitu Honesty-Humility (H), Emotionality (E), eXtraversion (X), Agreeableness (A), Conscientiousness (C), dan Openess to Experience (O).


(49)

Tipe kepribadian model HEXACO mirip dengan tipe kepribadian big five sehubungan dengan tiga dimensi extraversion, agreeableness, dan openness to experience. Perubahan yang penting adalah pada penambahan dimensi kepribadian baru yaitu honesty-humility, yang mewakili perbedaan individu dalam kecenderungan untuk menjadi tulus, adil, dan sederhana dibandingkan manipulatif, serakah, dan megah. Kedua perubahan yang paling penting adalah rotasi big five pada dimensi honesty-humility dan emotionality (De Vries, 2011).

HEXACO-PI-R menilai enam faktor kepribadian dari HEXACO, masing-masing dari faktor memuat empat aspek, atau karakteristik kepribadian yang sempit. Tambahan 25 aspek yang sempit, disebut altruism, yang juga termasuk dan menampilkan perpaduan dari faktor honesty-humility, emotionality, dan agreeableness. Empat aspek dalam setiap faktor yang mengikuti adalah sebagai berikut :

Tabel 2.2.2 Dimensi & Aspek The HEXACO Model of Personality

DIMENSI ASPEK

Honesty-Humility Tulus dalam bertindak, keadilan dalam hukum, tidak serakah, dan hidup sederhana.

Emotionality Rasa takut, kecemasan, ketergantungan, dan sentimental. Extraversion Harga diri sosial, keberanian sosial, suka bergaul, dan

keaktifan.

Agreeableness Memaafkan, bersikap lemah lembut, fleksibilitas, dan kesabaran.

Conscientiousness Keteraturan, ketekunan, kesempurnaan, dan kebijaksanaan.

Openness to Experience

Apresiasi estetika karya seni, rasa ingin tahu, kreativitas, dan hal yang tidak biasa.

2.2.3 Pengukuran the HEXACO model of personality

Pengukuran the HEXACO model of personality pada penelitian ini menggunakan alat ukur HEXACO Personality Inventory-Revised (HEXACO-PI-R), yaitu


(50)

operasionalisasi kuesioner dari model kepribadian enam dimensi HEXACO Lee dan Ashton. Skala ini menggunakan 60 item berdasarkan enam dimensi yaitu Honesty-Humility (H), Emotionality (E), eXtraversion (X), Agreeableness (A), Conscientiousness (C), dan Openness to Experience (O).

2.2.4 Penelitian terdahulu

Berikut ringkasan penelitian terdahulu mengenai sense of humor terhadap psychological well-being. Penelitian Naser Aghababaei dan Akram Arji (2013), menyimpulkan bahwa dari HEXACO, extraversion berkorelasi paling kuat terhadap psychological well-being. Faktor honesty-humility terkait dengan tingkat yang lebih tinggi psychological well-being, dengan subfaktor honesty (aspek sincerity dan fairness) beroperasi sebagai pendorong utama untuk hubungan ini.

Dalam penelitian tersebut Naser Aghababaei dan Akram Arji (2013) membandingkan dua model kepribadian, yaitu Big Five dan HEXACO dengan hierarchical regressions. Pada model pertama Big Five dimasukkan, dan kemudian dimensi HEXACO ditambahkan untuk menguji validitas tambahan. Dengan efek dari Big Five dikendalikan, dimensi HEXACO masih signifikan memprediksi seluruh aspek psychological well-being. Namun, dengan faktor-faktor HEXACO dikendalikan, Big Five gagal untuk secara signifikan memprediksi autonomy, positive relations with others, dan purpose in life, tapi berhasil memprediksi environmental mastery, personal growth, dan self-acceptance.


(51)

2.3 Sense of Humor 2.3.1 Definisi humor

Seligman dan Peterson (2004) mendefinisikan humor sebagai berikut :

Humor is as an umbrella for all funny phenomena, including the capacities to perceive, interpret, enjoy, create, and relay incongruous communications.”

Humor ialah istilah yang mencakup semua fenomena yang lucu, termasuk kemampuan untuk melihat, menginterpretasi, menikmati, menciptakan, serta menyampaikan hal yang tidak lazim.

Definisi di atas sejalan dengan definisi dari Sarwono (dalam Rumondor, 2007) yang mendefinisikan humor sebagai segala sesuatu baik keadaan, perbuatan, maupun perkataan yang bisa menimbulkan kesan lucu sehingga memancing reaksi tertawa. Agar menimbulkan kesan lucu maka perlu persyaratan tertentu, yaitu adanya kepekaan terhadap humor (sense of humor) pada pihak yang melihat kejadian humor tersebut.

Menurut Setiawan (dalam Rahmanadji, 2007), humor itu kualitas untuk menghimbau rasa geli atau lucu, karena keganjilannya atau ketidakpantasannya yang menggelikan; paduan antara rasa kelucuan yang halus di dalam diri manusia dan kesadaran hidup yang iba dengan sikap simpatik. Chaplin (2005) mengartikan humor dalam dua arti, pertama, sikap menyenangkan, ramah-tamah, baik hati, dan sopan santun. Kedua, seberang sekresi atau pengeluaran zat kelenjar atau sekresi organisasi.


(52)

Menurut Martin (2001) dalam perspektif psikologis :

Humor is a rather broad and multifaceted concept, which can be theoretically and operationally defined in a number of ways. It involves cognitive, emotional, behavioral, psychophysiological, and social aspects.”

Humor merupakan konsep yang luas dan memiliki banyak aspek yang dapat didefinisikan secara teoritis maupun operasional dengan pelbagai cara. Misalnya

aspek kognitif, emosional, perilaku, dan aspek sosial. Kata “humor” dapat

digunakan untuk menunjuk pada stimulus misalnya film komedi, proses mental misalnya persepsi atau penciptaan inkongruenitas yang menghibur, atau respon misalnya tawa.

Tawa adalah ekspresi perilaku yang paling umum dari pengalaman yang berkaitan dengan humor. Tawa melibatkan suatu pola pernapasan-suara-perilaku tertentu yang memiliki hubungan dengan faktor psikofisiologis tertentu. Humor dan tawa biasanya berhubungan dengan keadaan emosi yang menyenangkan. Secara kognitif, humor melibatkan persepsi dari inkongruenitas atau paradoks

dalam konteks “bermain-main”. Sebagai suatu fenomena sosial, humor dan tawa memainkan peranan penting dalam komunikasi interpersonal dan ketertarikan, sementara sense of humor atau kepekaan terhadap humor dapat menjadi komponen penting dalam kompetensi sosial (Martin, 2001).

2.3.2 Jenis-jenis humor


(53)

1. Jenis gerak (slapstick)

Humor jenis ini sangat sederhana dan mudah sehingga tidak memerlukan pemikiran yang canggih. Karena itu humor jenis ini bisa ditangkap oleh hampir semua orang. Contoh dari humor jenis ini ialah film kartun

anak-anak “Tom & Jerry”, Charlie Chaplin dan karakter The Three Stooges, misalnya pada adegan kepala dipukul dengan panci, wajah dilempar dengan kue.

2. Jenis intelektual

Humor jenis ini memerlukan pemikiran dan daya tangkap tertentu untuk mencernanya. Contoh humor jenis ini misalnya pada teka-teki : dalam bahasa Inggris, kucing adalah cat (baca : ket), apa bahasa Inggrisnya kucing yang bisa menempel ? (jawab : lengket).

Humor jenis ini mengandalkan asosiasi-asosiasi dan harapan-harapan yang dibangun atau dikembangkan pada awal cerita dan ditutup dengan klimaks yang aneh atau tidak terduga pada akhir cerita. Faktor latar belakang sosial-budaya, pengetahuan, dan pengalaman dari si pembuat humor maupun pendengarnya sangat berpengaruh pada sukses atau tidaknya humor jenis ini.

3. Jenis gabungan

Humor jenis ini menggabungkan gerak, busana, dengan kata-kata. Humor ala Srimulat dan Ekstravaganza termasuk dalam jenis ini. Misalnya seseorang dengan busana pembantu namun berbicara tentang bisnis dengan bergaya seperti bos. Atau seorang kakek-kakek berpakaian


(1)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 9.610 10.140 .948 .345

HP .109 .099 .116 1.100 .273

SUH -.112 .104 -.116 -1.080 .282

ATH -.028 .097 -.024 -.290 .773

UHC .084 .089 .087 .944 .347

HH .225 .084 .217 2.667 .009

EMO .151 .086 .140 1.770 .079

EX .004 .095 .004 .045 .964

AG .038 .091 .035 .416 .678

CO .050 .094 .045 .530 .597

OE .374 .104 .337 3.594 .000

Gender -.705 1.428 -.037 -.493 .622

P1 -.180 1.965 -.010 -.091 .927

P2 -4.771 2.013 -.256 -2.370 .019

IP1 -5.237 2.302 -.294 -2.275 .025

IP2 -3.727 2.341 -.206 -1.592 .114

Usia 2.159 2.577 .063 .838 .404

a. Dependent Variable: PWB

Regresi Proporsi

Variables Entered/Removedb

Model Variables Entered

Variables

Removed Method

1

CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUHa

. Enter

2 OEa . Enter

3 Gendera . Enter

4 P1a . Enter

5 P2a . Enter

6 IP1a . Enter

7 IP2a . Enter

8 Usiaa . Enter

a. All requested variables entered. b. Dependent Variable: PWB


(2)

Model Summary

Model

R R Square

Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

Change Statistics R Square

Change F Change df1 df2 Sig. F Change

dim ensi on0

1 .445a .198 .146 8.26146 .198 3.833 9 140 .000

2 .509b .260 .206 7.96533 .062 11.603 1 139 .001

3 .512c .262 .203 7.98060 .003 .469 1 138 .495

4 .536d .287 .224 7.87423 .025 4.753 1 137 .031

5 .560e .313 .248 7.75544 .026 5.229 1 136 .024

6 .571f .326 .256 7.70965 .013 2.620 1 135 .108

7 .582g .339 .265 7.66457 .013 2.593 1 134 .110

8 .585h .343 .263 7.67310 .003 .702 1 133 .404

a. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH b. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE

c. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE, Gender d. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE, Gender, P1 e. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE, Gender, P1, P2 f. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE, Gender, P1, P2, IP1 g. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE, Gender, P1, P2, IP1, IP2 h. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE, Gender, P1, P2, IP1, IP2, Usia


(3)

ANOVAi

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 2354.772 9 261.641 3.833 .000a

Residual 9555.231 140 68.252

Total 11910.003 149

2 Regression 3090.948 10 309.095 4.872 .000b

Residual 8819.055 139 63.446

Total 11910.003 149

3 Regression 3120.789 11 283.708 4.455 .000c

Residual 8789.213 138 63.690

Total 11910.003 149

4 Regression 3415.519 12 284.627 4.590 .000d

Residual 8494.484 137 62.004

Total 11910.003 149

5 Regression 3730.034 13 286.926 4.770 .000e

Residual 8179.968 136 60.147

Total 11910.003 149

6 Regression 3885.783 14 277.556 4.670 .000f

Residual 8024.220 135 59.439

Total 11910.003 149

7 Regression 4038.097 15 269.206 4.583 .000g

Residual 7871.905 134 58.746

Total 11910.003 149

8 Regression 4079.435 16 254.965 4.331 .000h

Residual 7830.568 133 58.876

Total 11910.003 149

a. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH b. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE

c. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE, Gender d. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE, Gender, P1 e. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE, Gender, P1, P2 f. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE, Gender, P1, P2, IP1 g. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE, Gender, P1, P2, IP1, IP2

h. Predictors: (Constant), CO, AG, HP, EMO, ATH, HH, EX, UHC, SUH, OE, Gender, P1, P2, IP1, IP2, Usia


(4)

Coefficientsa

Model

Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1 (Constant) 13.421 9.009 1.490 .139

HP .105 .102 .112 1.023 .308

SUH -.066 .109 -.068 -.604 .547

ATH .038 .103 .032 .374 .709

UHC .180 .086 .187 2.084 .039

HH .222 .089 .215 2.492 .014

EMO .185 .088 .171 2.117 .036

EX -.063 .097 -.056 -.649 .518

AG -.069 .083 -.064 -.829 .408

CO .198 .096 .179 2.057 .042

2 (Constant) 2.221 9.288 .239 .811

HP .115 .099 .123 1.166 .246

SUH -.106 .106 -.110 -1.005 .317

ATH .015 .099 .012 .149 .881

UHC .085 .088 .088 .970 .334

HH .219 .086 .211 2.545 .012

EMO .139 .086 .128 1.622 .107

EX -.070 .093 -.062 -.747 .456

AG .083 .091 .078 .913 .363

CO .117 .096 .106 1.226 .222

OE .358 .105 .323 3.406 .001

3 (Constant) 3.066 9.387 .327 .744

HP .118 .099 .126 1.187 .237

SUH -.104 .106 -.108 -.984 .327

ATH .011 .100 .010 .115 .908

UHC .071 .090 .074 .785 .434

HH .224 .087 .217 2.592 .011

EMO .132 .086 .122 1.535 .127

EX -.071 .093 -.064 -.760 .448

AG .090 .092 .085 .979 .329

CO .114 .096 .103 1.187 .237

OE .367 .106 .331 3.457 .001

Gender -.999 1.460 -.053 -.685 .495

4 (Constant) 3.480 9.264 .376 .708

HP .134 .098 .144 1.372 .172

SUH -.112 .105 -.116 -1.070 .287

ATH .018 .098 .015 .181 .856

UHC .080 .089 .084 .902 .369

HH .201 .086 .194 2.331 .021

EMO .108 .086 .099 1.254 .212

EX -.063 .092 -.056 -.679 .498

AG .070 .091 .066 .766 .445

CO .095 .095 .086 .995 .321

OE .379 .105 .342 3.614 .000

Gender -.640 1.450 -.034 -.442 .660

P1 2.924 1.341 .164 2.180 .031

5 (Constant) 6.949 9.249 .751 .454

HP .122 .097 .131 1.265 .208

SUH -.109 .103 -.112 -1.051 .295

ATH -.006 .097 -.005 -.059 .953

UHC .067 .088 .070 .765 .446


(5)

EMO .139 .086 .128 1.620 .107

EX -.054 .091 -.049 -.600 .550

AG .064 .090 .060 .711 .478

CO .088 .094 .079 .934 .352

OE .392 .103 .354 3.791 .000

Gender -.959 1.435 -.050 -.668 .505

P1 -.429 1.973 -.024 -.217 .828

P2 -4.650 2.033 -.249 -2.287 .024

6 (Constant) 7.312 9.198 .795 .428

HP .145 .097 .155 1.492 .138

SUH -.130 .103 -.135 -1.257 .211

ATH -.003 .097 -.002 -.030 .976

UHC .083 .088 .086 .939 .349

HH .210 .084 .203 2.492 .014

EMO .132 .085 .122 1.549 .124

EX -.025 .092 -.023 -.274 .785

AG .049 .090 .045 .539 .591

CO .063 .095 .056 .662 .509

OE .399 .103 .360 3.880 .000

Gender -.917 1.427 -.048 -.643 .521

P1 -.162 1.969 -.009 -.082 .935

P2 -4.663 2.021 -.250 -2.307 .023

IP1 -2.172 1.342 -.122 -1.619 .108

7 (Constant) 12.222 9.639 1.268 .207

HP .114 .098 .122 1.163 .247

SUH -.109 .104 -.113 -1.049 .296

ATH -.025 .097 -.021 -.256 .799

UHC .095 .088 .099 1.081 .282

HH .222 .084 .214 2.633 .009

EMO .145 .085 .134 1.705 .091

EX -.015 .092 -.013 -.159 .874

AG .030 .090 .028 .330 .742

CO .055 .094 .049 .581 .562

OE .370 .104 .334 3.565 .001

Gender -.823 1.420 -.043 -.580 .563

P1 -.066 1.958 -.004 -.033 .973

P2 -4.748 2.010 -.255 -2.362 .020

IP1 -5.187 2.299 -.291 -2.256 .026

IP2 -3.765 2.338 -.208 -1.610 .110

8 (Constant) 9.610 10.140 .948 .345

HP .109 .099 .116 1.100 .273

SUH -.112 .104 -.116 -1.080 .282

ATH -.028 .097 -.024 -.290 .773

UHC .084 .089 .087 .944 .347

HH .225 .084 .217 2.667 .009

EMO .151 .086 .140 1.770 .079

EX .004 .095 .004 .045 .964

AG .038 .091 .035 .416 .678

CO .050 .094 .045 .530 .597

OE .374 .104 .337 3.594 .000

Gender -.705 1.428 -.037 -.493 .622


(6)

P2 -4.771 2.013 -.256 -2.370 .019

IP1 -5.237 2.302 -.294 -2.275 .025

IP2 -3.727 2.341 -.206 -1.592 .114

Usia 2.159 2.577 .063 .838 .404