Pengaruh Sense of Humor terhadap Stres pada Remaja dari Kelas Akselerasi di Kota Medan

(1)

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

OLGA SEPTANIA SIMATUPANG

101301082

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP 2013/2014


(2)

Pengaruh sense of humor terhadap stres pada remaja dari kelas akselerasi di Kota Medan

Olga Septania Simatupang dan Dra. Elvi Andriani Jusuf, M.Si,.psikolog

ABSTRAK

Siswa akselerasi adalah siswa yang memiliki tingkatan intelektual di atas rata-rata. Mereka memiliki berbagai tuntutan yang harus dipenuhi, sehingga sering menimbulkan stres. Stres muncul ketika individu mempersepsikan adanya jarak antara tuntutan yang ada dengan sumber biologis, psikologis, maupun social mereka. Humor merupakan konsep kognitif, emosional, perilaku dan aspek social berkaitan dengan kejenakaan. Humor sering digunakan sebagai strategi mengatasi masalah yang menimbulkan stres. Penggunaan humor sering dikaitkan dengan strategi coping stres. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Penelitian ini menggunakan sampel dari dua sekolah akselerasi di Kota Medan yakni SMP Plus AL-Azhar dan SMP Santo Thomas. Sebagai hasil penelitian diperoleh bahwa remaja dari kelas akselerasi di Kota Medan memiliki tingkatan stress dalam kategori sedang (90.69%) dengan tingkatan sense of humor dalam kategori tinggi (97.67%), namun pengaruh sense

of humor terhadap stress pada remaja dari kelas akselerasi tidak diterima. Hal ini

berarti bahwa tingkatan stress pada remaja dari kelas akselerasi di Kota Medan tidak dipengaruhi oleh tingkatan sense of humor yang tinggi namun lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti bagaimana cara individu dalam menghadapi situasi stres, tipe kepribadian, dan hubungan interpersonal individu. Kata kunci: Sense of humor, stres remaja, kelas Akselerasi


(3)

The influence of sense of humour to stress in adolescent of acceleration class in Medan

Olga Septania Simatupang and Dra. Elvi Andriani Jusuf, M.Si,.psikolog

ABSTRACT

Acceleration students arestudents that have the above average levels of intellectual. They have many demands that have to be fulfilled, so this situation often causes stress. Stress inccured whensomeone perceives a distance between

the demands with theindividual’s biological, psychological, and social sources. Humor is the concept of cognitive, emotional, behavioral, and social aspects that related to humor. Humor often used as a strategy to cope the stress. Using of humor is always related to the strategic of coping stress. The methods used in this research is quantitative research methods.This research using sample from two acceleration schools in Medan, that is SMP Plus Al-Azhar and SMP Santo Thomas.Through this study, want to see the stress level of the adolescents of Acceleration class in Medan and how far is the influence of sense of humor-as one of the strategies to cope the problem-to their stress levels. As the research results obtained that the adolescents from the class of accelerated in Medan have medium levels of stress (90.69%) with a high degree of sense of humour (97.67%), but the correlation of sense of humor to stress in adolescents from acceleration class was not accepted. This means that the level of stress in adolescents of acceleration class in Medan is not affected by the high degree of sense of humor but are more influenced by other factors, as how do individuals face the stress situation, personality type, and interpersonal relationship.


(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas karunia serta pertolongan-Nya dalam penyelesaian skripsi ini. Penyusunan skripsi dengan

judul “Pengaruh Sense of Humor terhadap Stres pada Remaja dari Kelas

Akselerasi di Kota Medan” ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Psikologi Fakultas Psikologi USU Medan.

Saya menyadari bahwa tanpa bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak saya tidak akan dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu saya mengucapkan terimakasih kepada:

1. Prof. Dr. Irmawati, psikolog, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara

2. Ibu Dra. Elvi Andriani Jusuf , M.Si,.psikolog, selaku Dosen Pembimbing Skripsi. Saya berterimakasih atas bimbingan, kesabaran, nasehat, waktu serta ide-ide yang telah disediakan untuk saya mulai dari seminar hingga penyelesaian skripsi ini

3. Ibu Lili Garliah M.Si.,psikolog selaku Dosen Pembimbing Akademik yang telah memberikan waktu, semangat, motivasi, serta segala dorongan selama masa perkuliahan di Fakultas Psikologi USU.

4. Untuk keluarga tercinta mama, papa, ka Bherty, abang Chitra, dan abang Weldy yang telah mendoakan sepanjang waktu, memberikan semangat,


(5)

5. Untuk sahabat-sahabat saya yang telah mendukung selama ini, Eva Violesia, Karin Ambarita, Elienz Vidella, Yoseva Okta Naibaho, Yulian Astri, dan Sri Saputri terimakasih untuk keceriaan dan semangat yang telah kita ciptakan selama 3 tahun ini. Terimakasih banyak karena telah mengajarkan saya banyak hal. Terimakasih atas dukungan, bantuan, sertawaktu yang telah kalian berikan.

6. Untuk kakak Erika dan abang Pangeran yang telah banyak membantu saya dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih untuk doa, waktu, semangat, dorongan yang telah diberikan hingga penyelesaian skripsi ini.

Akhir kata saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini.Saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan skripsi ini.Terimakasih

Medan, 7 Febuari 2014


(6)

DAFTAR ISI

Abstrak ... ii

Abstract ... iii

Kata Pengantar ... iv

Daftar isi ... vi

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG ... 1

B. RUMUSAN MASALAH ... 12

C. TUJUAN PENELITIAN ... 12

D. MANFAAT PENELITIAN ... 13

E. SISTEMATIKA PENELITIAN ... 13

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. SENSE OF HUMOR 1. Humor ... 15

2. Fungsi Humor ... 16

3. Definisi Sense of Humor ... 17

4. Aspek Sense of Humor ... 18

B. STRES 1. Definisi Stres ... 19


(7)

3. Penyebab Stres ... 21

4. Jenis-Jenis Stres ... 23

5. Coping Stres ... 23

6. Jenis-Jenis Coping Stress ... 24

C. REMAJA 1. Definisi Remaja ... 25

2. Tugas Perkembangan Remaja ... 25

3. Karakteristik Perkembangan Emosi Remaja ... 26

4. Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja ... 28

D. PENDIDIKAN AKSELERASI 1. Definisi Akselerasi ... 31

2. Karakteristik Anak Berbakat ... 32

3. Persyaratan Remaja Kelas Akselerasi di Indonesia ... 35

4. Kelebihan dan Kekurangan Penyelenggaraan Kelas Akselerasi di Indonesia ... 36

E. PERMASALAHAN PADA ANAK BERBAKAT ... 39

F. PENGARUH SENSE OF HUMOR TERHADAP STRES PADA REMAJA KELAS AKSELERASI DI KOTA MEDAN ... 41

G. HIPOTESA PENELITIAN ... 45

BAB III METODE PENELITIAN A. IDENTIFIKASI VARIABEL ... 46 B. DEFINISI OPERASIONAL


(8)

2. Sense of Humor ... 48

C. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL ... 49

D. METODE PENGUMPULAN DATA ... 50

E. UJI COBA ALAT UKUR 1. Validitas Alat Ukur ... 54

2. Reliabilitas Alat Ukur ... 55

F. PROSEDUR PELAKSANAAN PENELITIAN ... 56

G. METODE ANALISIS DATA ... 58

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN A. GAMBARAN UMUM RESPONDEN ... 60

B. ANALISIS DATA ... 61

C. HASIL PENELITIAN ... 63

D. PEMBAHASAN ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN ... 69

B. SARAN ... 70


(9)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Blue Print Skala Sense of Humor 52

Tabel 2 Blue Print Skala Stres 53

Tabel 3 Responden Berdasarkan Jenis Kelamin 60

Tabel 4 Uji Reliabilitas 61

Tabel 5 Deskripsi Data Penelitian 63

Tabel 6 Kategorisasi Variabel Stres 63

Tabel 7 Kategorisasi Variabel Sense of Humor 64


(10)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran A Kuesioner

Lampiran B TabulasiJawabanResponden Lampiran C UjiReliabilitas

Lampiran D UjiAsumsi Lampiran E Regresi Linier


(11)

Pengaruh sense of humor terhadap stres pada remaja dari kelas akselerasi di Kota Medan

Olga Septania Simatupang dan Dra. Elvi Andriani Jusuf, M.Si,.psikolog

ABSTRAK

Siswa akselerasi adalah siswa yang memiliki tingkatan intelektual di atas rata-rata. Mereka memiliki berbagai tuntutan yang harus dipenuhi, sehingga sering menimbulkan stres. Stres muncul ketika individu mempersepsikan adanya jarak antara tuntutan yang ada dengan sumber biologis, psikologis, maupun social mereka. Humor merupakan konsep kognitif, emosional, perilaku dan aspek social berkaitan dengan kejenakaan. Humor sering digunakan sebagai strategi mengatasi masalah yang menimbulkan stres. Penggunaan humor sering dikaitkan dengan strategi coping stres. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kuantitatif. Penelitian ini menggunakan sampel dari dua sekolah akselerasi di Kota Medan yakni SMP Plus AL-Azhar dan SMP Santo Thomas. Sebagai hasil penelitian diperoleh bahwa remaja dari kelas akselerasi di Kota Medan memiliki tingkatan stress dalam kategori sedang (90.69%) dengan tingkatan sense of humor dalam kategori tinggi (97.67%), namun pengaruh sense

of humor terhadap stress pada remaja dari kelas akselerasi tidak diterima. Hal ini

berarti bahwa tingkatan stress pada remaja dari kelas akselerasi di Kota Medan tidak dipengaruhi oleh tingkatan sense of humor yang tinggi namun lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti bagaimana cara individu dalam menghadapi situasi stres, tipe kepribadian, dan hubungan interpersonal individu. Kata kunci: Sense of humor, stres remaja, kelas Akselerasi


(12)

The influence of sense of humour to stress in adolescent of acceleration class in Medan

Olga Septania Simatupang and Dra. Elvi Andriani Jusuf, M.Si,.psikolog

ABSTRACT

Acceleration students arestudents that have the above average levels of intellectual. They have many demands that have to be fulfilled, so this situation often causes stress. Stress inccured whensomeone perceives a distance between

the demands with theindividual’s biological, psychological, and social sources. Humor is the concept of cognitive, emotional, behavioral, and social aspects that related to humor. Humor often used as a strategy to cope the stress. Using of humor is always related to the strategic of coping stress. The methods used in this research is quantitative research methods.This research using sample from two acceleration schools in Medan, that is SMP Plus Al-Azhar and SMP Santo Thomas.Through this study, want to see the stress level of the adolescents of Acceleration class in Medan and how far is the influence of sense of humor-as one of the strategies to cope the problem-to their stress levels. As the research results obtained that the adolescents from the class of accelerated in Medan have medium levels of stress (90.69%) with a high degree of sense of humour (97.67%), but the correlation of sense of humor to stress in adolescents from acceleration class was not accepted. This means that the level of stress in adolescents of acceleration class in Medan is not affected by the high degree of sense of humor but are more influenced by other factors, as how do individuals face the stress situation, personality type, and interpersonal relationship.


(13)

A. LATAR BELAKANG

Pendidikan merupakan suatu bentuk layanan yang dapat membantu pihak-pihak terkait baik dalam hal meningkatkan potensi di dalam diri, mempersiapkan diri untuk memasuki jenjang-jenjang karir berikutnya, hingga mencapai prestasi tertentu. Berdasarkan UU RI No. 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa pendidikan merupakan wadah pengembangan potensi juga harus memiliki kepekaan terhadap variasi potensi yang dimiliki oleh indvidu. Hal ini sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Hak

Anak yakni “..khusus bagi anak menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan yang memiliki keunggulan juga berhak

mendapatkan pendidikan khusus” Kebutuhan-kebutuhan khusus yang dimiliki

oleh seorang anak, tentu dikarenakan keunikan yang mereka miliki dari anak-anak normal pada umumnya

Suparno & Purwanto (2007) menyebutkan bahwa terdapat banyak sekali variasi serta derajat kelainan dari anak-anak berkebutuhan khusus yang mencakup anak-anak dengan kelainan fisik, mental-intelektual, sosial-emosional, maupun masalah akademik. Anak-anak berkebutuhan khusus tidak hanya berkisar pada potensi yang berada di bawah rata-rata namun juga termasuk anak-anak yang memiliki potensi di atas rata-rata.


(14)

Anak yang memiliki potensi di atas rata-rata bila dibandingkan dengan anak-anak pada umumnya sering dikenal dengan sebutan anak-anak berbakat (Gifted child).

Sidney P. Marland (1972) mendefinisikan anak berbakat sebagai mereka yang

memiliki kemampuan yang menonjol untuk berkinerja tinggi. Menurut pengertian tradisional, giftedness didasarkan pada inteligensi general yang biasanya diukur dengan tes inteligensi dan anak dikategorikan sebagai gifted jika mendapatkan angka di atas level tertentu. Namun seiring dengan perkembangan jaman, keterbakatan seseorang bukan merupakan suatu keadaan yang statis, di mana pengklasifikasiannya hanya berdasarkan pada level IQ seseorang. Perkembangan cara berpikir mengenai giftedness ini terjadi di kalangan pendidik seiring dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Renzulli, Gardner dan Sternberg terhadap perkembangan usaha-usaha artistik dan kreatif, perkembangan fungsi otak,

multiple intelligences, serta perkembangan talen di mana hasil penelitian tersebut

menyimpulkan bahwa giftedness merupakan konsep yang lebih dari sekedar kemampuan yang tinggi (High ability)

Berdasarkan Teori Renzulli(1978, dalam Akbar dan Hawadi 2002) yang disebut dengan “Three Dimensional Model” atau “Three –ring Conception” tentang keterbakatan, Renzulli menyebutkan bahwa keterbakatan mencakup tiga dimensi yang saling berkaitan, yaitu (a) kecakapan di atas rata-rata, (b) kreativitas, dan (c) komitmen pada tugas. Teori tersebut memberikan penekanan pada interaksi ketiga cluster tersebut daripada berfokus hanya pada salah satu cluster.


(15)

Sehubungan dengan karakteristik yang dimiliki oleh anak berbakat tersebut maka tidak dapat dipungkiri bahwa mereka membutuhkan layanan pendidikan yang sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Layanan pendidikan bagi anak berbakat yang paling popular adalah Layanan Akselerasi. Program Akselerasi adalah suatu program pendidikan yang diberikan bagi remaja yang memiliki kecerdasan dan kemampuan luar biasa untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih awal dari waktu yang ditentukan (Departemen Pendidikan Nasional, dalam Hawadi, 2004). Pada program sekolah dasar yang seharusnya 6 tahun menjadi 5 tahun dan pada sekolah lanjutan yang seharusnya 3 tahun menjadi 2 tahun. Depdiknas menyatakan bahwa kemampuan setiap remaja tidaklah sama sehingga para remaja yang memiliki perkembangan kecerdasan lebih tinggi dari yang lain diberikan suatu media untuk mendidik mereka secara khusus sesuai dengan potensi yang dimilikinya (Depdiknas: 2004).

Layanan Akselerasi merupakan bentuk pelayanan yang memiliki tujuan positif yakni untuk memenuhi kebutuhan anak berbakat. Satu sisi layanan ini memiliki kelebihan namun di sisi lain layanan ini juga memiliki kelemahan. Hasil penelitian yang dilakukan Ablard, dkk (1994) menemukan bahwa materi pembelajaran yang menantang dalam kelas menimbulkan kemajuan belajar anak, selain itu menurut Alsa (2007) remaja yang mengikuti program akselerasi di SMA mempunyai Grade Point Average yang lebih tinggi, mendapat lebih banyak beasiswa, dan mempunyai aspirasi karir yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan remaja lain yang tidak mengikuti program akselerasi, di sisi lain Sourther


(16)

positif terhadap perkembangan akademik remaja, tapi tidak berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan emosional remaja.

Sebagai remaja dari kelas akselerasi, mereka memiliki tugas perkembangan selayaknya remaja pada umumnya.Havinghurst (1961) menyatakan bahwa tugas perkembangan merupakan suatu hal yang muncul pada periode tertentu dalam rentang kehidupan individu yang apabila individu berhasil menyelesaikan tugas perkembangannya maka hal tersebut akan menjadi penentu keberhasilan individu dalam menghadapi tugas perkembangan pada fase selanjutnya. Salah satu yang menjadi tugas perkembangan remaja berhubungan dengan perkembangan sosialnya menurut Hurlock (2010) adalah membina hubungan yang baru dan baik dengan teman-teman sebayanya, namun tingginya tuntutan dari kelas akselerasi mengakibatkan anak tidak memiliki waktu untuk berhubungan dengan teman-teman sebayanya.Materi pembelajaran yang menantang mengakibatkan anak semakin berusaha semaksimal mungkin untuk mempertahankan prestasi mereka di kelas sehingga seringkali anak lebih banyak menghabiskan waktu untuk belajar daripada berhubungan dengan teman-temannya. Hal ini mengakibatkan anak tidak berkesempatan untuk mengembangkan kemampuan sosial mereka.

Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, beberapa anak mengakui bahwa mereka kurang mampu untuk bersosial dengan teman-teman lainnya karena beberapa anggapan dari teman-teman bukan akselerasi, misalnya mereka sering diolok-olok oleh siswa dari kelas regular karena mengenakan seragam yang


(17)

terasa dalam pergaulan antara mereka dengan siswa bukan akselerasi.Meskipun begitu, beberapa anak dapat berinteraksi dengan baik dengan teman-teman dari kelas regular lainnya.

Selain itu permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan emosional adalah kelas akselerasi sering menimbulkan kesenjangan sosial karena memiliki fasilitas pribadi dan anak bertumbuh dalam kelas tersendiri sehinggaanak terbiasa berteman dengan teman-teman yang sama (homogen), padahal di dalam sekolah juga terdapat kelas regular. Hal ini mengakibatkan anak yang secara emosional belum matang sering menganggap diri lebih pintar dari teman-teman lainnya, lebih elitis, dan lebih istimewa (Winanti, 2007).

Widyasari (2008) mengemukakan bahwa untuk dapat melakukan penyesuaian sosial yang baik, maka perlu untuk memiliki kematangan emosional. Masalah yang muncul adalah bahwa kebanyakan program akselerasi di Indonesia kurang menyentuh ranah afektif atau emosional anak (Alsa, 2007). Berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan, terdapat sekolah tidak memberikan kegiatan ekskul (ekstrakulikuler) terhadap anak sehingga anak sering menghabiskan waktunya sebagian besar untuk belajar di sekolah sedangkan di sekolah lainnya anak diberikan kesempatan untuk mengikuti kegiatan ekskul seperti pramuka, PMR, kegiatan olahraga seperti sepak bola atau voli, namun terdapat anak yang mengaku malas untuk mengikuti kegiatan tersebut misalnya karena waktu yang terlalu sore atau hari kegiatan yang jatuh pada hari libur dan adapula yang mengaku bahwa sekolah terlalu jauh dari rumah sehingga cenderung malas untuk


(18)

remaja awal bersifat lebih sensitif dan reaktif terhadap berbagai peristiwa ataupun situasi sosial. Remaja dapat menunjukkan berbagai pergolakan emosi yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, keluarga, bahkan teman-teman sebaya. Bila aktivitas-aktivitas yang dijalani di sekolah tidak memadai untuk memenuhi tuntutan gejolak energinya, maka remaja seringkali meluapkan kelebihan energinya ke arah yang negatif seperti muncul konflik, stres, oversensitif, serta tidak tenggang rasa. Anak mungkin memiliki intelektual yang tinggi dibandingkan anak seumurannya, mereka dapat mendahului kelompok umurnya namun secara emosional mereka mungkin dapat tergolong normal atau bahkan mungkin tertunda

(Keyes, 1990; Landau 1990)

Hal yang juga menjadi permasalahan bagi Remaja dari kelas akselerasi menurut Buescher dan Higham (1990) adalah disonansi antara apa yang mereka lakukan dengan apa yang diharapkan. Anak sering diperhadapkan dengan berbagai ekspektasi, saran, kritik bahkan serangan emosional dari orang lain. Karakteristik utama yang dimiliki oleh remaja adalah mereka sangat rentan terhadap berbagai masukan-masukan tersebut sehingga mereka akan sangat terpengaruh dengan bagaimana orang lain menilai dirinya termasuk bagaimana ekspektasi orangtua dan guru bahkan masyarakat terhadap keterbakatan yang dimilikinya. Orangtua seringkali menyalahgunakan penggunaan kata berbakat pada anak, di mana anak dianggap sebagai anak yang cerdas dan selalu dituntut untuk memberikan hasil yang selalu sempurna. Hal inilah yang seringkali


(19)

Hal-hal yang dihadapi oleh Remaja dari kelas akselerasi tersebut tidak jarang dapat menimbulkan stres. Menurut Olpin (1997)beberapa remaja dilaporkan mengalami stres terhadap standar akademik, khawatir terhadap manajemen waktu, serta prihatin terhadap peringkat. Penelitian yang dilakukan oleh Andini

(2006)dengan judulPerbedaan Tingkat Stres Pada Remaja dari kelas akselerasi di

SDN Kendangsari 1 Surabayayang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan antara remaja yang mengikuti kelas akselerasi dengan yang tidak mengikuti akselerasi, di mana remaja yang mengikuti kelas akselerasi memiliki tingkat stres yang lebih tinggi dibandingkan remaja yang tidak mengikuti kelas akselerasi. Berdasarkan penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa kebanyakan siswa mengalami stres berkaitan dengan tuntutan belajar yang tinggi serta penyelesaian tugas dan masa sekolah yang serba dipercepat.

Menurut Sarafino (2008) stresdidefinisikan sebagai suatu keadaan yang mengancam kondisi biologis, psikologis dan sosial seseorang. Seyle (dalam Warga, 1983) membagi stres menjadi dua tipe area yaitu eustresdan distres.

Eustresadalah pengalaman stres yang menyenangkan, yang biasanya muncul

ketika seseorang mendapatkan kesuksesan dan kemenangan contohnya seperti menjadi juara kelas, ataupun memenangkan suatu perlombaan. Bagi remaja dari kelas akselerasi sendiri, pengalaman Eustres contohnya seperti ketika remaja dihadapkan padamateri pembelajaran yang menantang atau ketika memperoleh prestasi yang baik (Alsa, 2007).


(20)

biasanya muncul ketika seseorang mendapatkan kegagalan. Pengalaman Distres pada remaja dari kelasakselerasi seperti penolakan teman sebaya. Anak memiliki tingkat intelektualitas yang tinggi sehingga cenderung suka mengkritisi oranglain maupun diri sendiri,selain itu tingginya tuntutan tugas pada anak mengakibatkan anak lebih sering menghabiskan waktu untuk belajar baik di rumah maupun di sekolah. Hal ini yang sering mengakibatkan anak dicap sombong oleh teman-temannya. Selain itu pengalaman distress lainnya adalahketidakmatangan emosional. Anak mungkin mengalami percepatan dari segi kognitif, namun dari segi emosional anak tetap berada pada tahap perkembangannya. Ketidakmatangan emosional dapat mengakibatkan munculnya perilaku yang negatif misalnya anaknya merasa tertekan oleh tuntutan tugas yang tinggi sehingga anak menjadi malas belajar, sering menyalahkan guru atas soal yang terlalu sulit atau terlalu mudah ataupun menjauhkan diri dari pergaulan.

Masalah selanjutnya yang dapat menimbulkan stres pada remaja dari kelas akselerasi adalah terjadinya disonansi antaraapa yang menjadi ekspektasi dari lingkungan dengan apa yang menjadi kompetensi anak. Selaku remaja yang sangat sensitif terhadap ekspektasi dari lingkungannya (seperti orangtua atau guru) anak sering mengalami dilema antara mengikuti apa yang diharapkan oleh lingkungan atau menjalankan peranannya sebagaimana komptensi yang ia mliki. Anak mungkin sudah melakukan kewajibannya secara maksimal, namun anak sering merasa gagal karena ternyata usahanya tidak memenuhi ekspektasi dari


(21)

Ketika individu menghadapi pengalaman stres, maka mereka dapat memanifestasikannya dalam bentuk perilaku, pola pikir, emosi bahkan respon fisiologis (Sarafino, 1990).Respon fisiologis yang muncul berupa gejala fisik antara lain seperti gangguan jantung, tekanan darah tinggi (hipertensi), tegang otot, sakit kepala, pernafasan tersenggal-senggal, perut mual, susah tidur, gangguan menstruasi, mengalami impoten. Sedangkan gejala secara psikologis antara lain seperti, perasaan gugup dan cemas, peka dan mudah tersinggung, gelisah, kelelahan yang hebat, enggan melakukan kegiatan, kemampuan kerja dan penampilan yang menurun, perasaan takut, pemusatan diri yang berlebihan, hilangnya spontanitas, mengasingkan diri dari kelompok dan pobia (Waitz,

Stromme, Railo, 1983).

Pengalaman distress merupakan kondisi yang tidak menyenangkan karena akan mengancam kondisi seseorang. Kondisi tersebut mengakibatkan seseorang berusaha untuk menangani stresnya, hal ini bertujuan agar seseorang dapat menurunkan tegangan yang dirasakan. Beragam upaya dilakukan oleh individu untuk menghadapi kejadian-kejadian yang berpengaruh terhadap stres. Ketika seseorang menghadapi suatu kejadian yang memunculkan stres, maka seseorang tersebut perlu untuk mengatasinya dengan cara mengatasi situasinya, hal inilah yang disebut sebagai perilaku koping (Coping Stress). Coping stress dilakukan agar suatu situasi yang mengakibatkan stres tidak berlangsung secara terus-menerus dan akan berdampak buruk bagi individu. Ketika individu memusatkan perhatiannya kepada masalah dan berusaha untuk mengatasi situasi tersebut atau mengubah keadaan maka strategi ini disebut dengan strategi berpusat pada


(22)

masalah atau Problem Focused Coping, sedangkan strategi koping yang berfokus pada emosi atau Emotion Focused Coping merupakan strategi di mana inidividu berusaha untuk menghilangkan emosi yang berhubungan dengan situasi stress meskipun keadaan stress tidak dapat diubah (Lazarus & Folkman, 1984).

Davidson (2006) menambahkan strategi coping yang berfokus pada emosi

merupakan strategi coping yang berfokus pada emosi yaitu upaya untuk mengurangi berbagai reaksi emosional negatif yaitu dengan cara menciptakan emosi positif dalam diri. Ketika individu mengalami situasi yang tidak menyenangkan maka perasaan akan didominasi oleh emosi negatif sehingga mengalami kesedihan dan distress. Menurut Durand dan Barlow (2006) emosi negatif individu dapat diatasi dengan mengelola emosi positif yang dimiliki seseorang. Menurut Freud, Lefcourt et al (1995) salah satu yang menjadi strategi koping yang berfokus pada emosi adalah humor. Humor dinilai dapat menimbulkan emosi positif, karena humor dapat menyebabkan seseorang tersenyum atau tertawa serta memunculkan ekspresi wajah positif (Hasanat dan Subandi, 1998)

Martin (2003) menyatakan bahwa definisi humor dapat merujuk pada

berbagai pengertian, pertama humor sebagai sebuah stimulus seperti film, komik, sinetron komedi; kedua humor sebagai sebuah proses mental seperti persepsi individu terhadap situasi lucu; dan ketiga humor sebagai sebuah respon individu seperti tertawa atau tersenyum. Ruch (1996) menambahkanhumor merujuk pada


(23)

humor dapat menjadi sebuah tindakan agresif dan permusuhan. Keberadaan Humor dalam diri individu dapat dijadikan menjadi sebuah cara bagaimana seseorang mengatasi stresnya.

Rim (1998) menemukan bahwa terdapat hubungan antara humor dan

defensive mechanisms, hubungan ini digambarkan sebagai sebuah proses

minimization” misalnya seseorang melihat sesuatu dari sisi terangnya, dan

sebagai proses “reversal” misalnya seseorang mencari sisi kelucuan dari suatu situasi distresing.Mishkinsly (1997) menambahkan bahwa Humor merupakan bentuk dari “courage mechanism” yang sama dengan defense mechanisms di mana humor merupakan suatu media untuk menghadapi suatu aspek-aspek yang tidak menyenangkan dari suatu realita, namun perbedaannya dengan defense

mechanisms adalah di mana humor berlandaskan pada proses kognitif dan humor

tidak menolak tuntutan dari realita.

Tertawa sebagai manifestasi dari humor merupakan sebuah terapi yang dapat melepaskan ketegangan dan kecemasan (Kuiper andMartin 1998; Lefcourt et al.

1995; Moran 1996; Moran and Massan 1999; Yovetich et al. 1990).Mengingat

bahwa stres yang dialami oleh remaja di kelas akselerasi seringkali menimbulkan ketidaknyamanan, maka maka humor hadir untuk membantu individu dalam menghadapi efek negatif yang ditimbulkan oleh stres (Abel 1998; Labbott et al.

1990; Martin and Dobbin 1988; Martin and Lefcourt 1983). Sebuah studi

menyatakan bahwa sense of humor (rasa humor) yang baik berhubungan dengan relaksasi otot, mengontrol rasa sakit dan ketidaknyamanan, munculnya mood positif, dan secara keseluruhan memunculkan kesehatan psikologis (psychological


(24)

health) termasuk self-concept yang sehat (Deaner and McConatha 1993; Hudak et al. 1991; Kuiper and Martin 1993;Kuiper et al.1992; Kuiper et al. 1995; Labbott et al. 1990; Martin et al.1993; Overholser 1991; Prerost and Ruma 1987;

Ruch and Kohler 1998;Thorson et al. 1997).Berdasarkan pada pembahasan di atas

maka dapat disimpulkan bahwa humor dapat membantu individu untuk mengatasi berbagai situasidistress yang dihadapinya.

Berdasarkan penjelasan di atas maka muncul pertanyaan Apakah terdapat pengaruhSense of Humorterhadap Strespada remaja dari kelas akselerasiSMA di kota Medan? Mengacu kepada pertanyaan tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “PengaruhSense of Humordengan terhadap Strespada remaja dari kelas Akselerasi SMA di Kota Medan”

A. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:

- Apakah terdapat pengaruh sense of humor terhadap stres pada remaja dari kelas akselerasi di Kota Medan?

B. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui adakah pengaruh sense


(25)

C. MANFAAT PENELITIAN

Penelitian ini memiliki beberapa manfaat, yakni: 1. Manfaat teoritis

Penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dalam ilmu Psikologi, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan dan Psikologi Pendidikan terutama mengenai bagaimana pengaruhsense of humorterhadapstres pada remaja dari kelasakselerasi di Kota Medan

2. Manfaat Praktis

Adapun manfaat praktis dari penelitian ini adalah penelitian ini dapat dijadikan sebagai saran dan masukan kepada Anak Akselerasi untuk mempergunakan sense of humorsebagai strategi koping ketika menghadapi situasi stres

D. SISTEMATIKA PENELITIAN

Adapun sistematika penulisan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I : Pendahuluan

Berisi uraian singkat mengenai latar belakang permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan

BAB II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori yang melandasi variabel penelitian, pengaruh antar variabel-variabel, serta hipotesa penelitian


(26)

BAB III : Metode Penelitian

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai identifikasi variabel, definisi operasional dari masing-masing variabel, populasi, sampel, metode pengambilan data, uji coba alat ukur, prosedur pelaksanaan penelitian serta metode analisis data.

BAB IV:

Bab ini berisikan tentang gambaran hasil penelitian serta pembahasan penelitian.

BAB V:


(27)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. SENSE OF HUMOR

1. Humor

Istilah Humor berawal dari istilah yang berarti cairan. Pengertian ini berasal dari doktrin ilmu Faal kuno mengenai empat macam cairan, seperti darah, lendir, cairan empedu kuning dan cairan empedu hitam. Selama berabad-abad, keempat cairan ini dianggap dapat menentukan tingkat tempramen seseorang.

Menurut Martin (2001) dalam perspektif psikologis, humor merupakan konsep yang luas dan memiliki banyak aspek yang dapat didefinisikan secara teoritis maupun operasional. Beberapa aspek dalam hal ini seperti aspek kognitif, emosional, perilaku, dan aspek sosial. Kata „humor‟ dapat digunakan untuk menunjuk pada stimulus (misalnya film atau kisah komedi), proses mental (misalnya persepsi atau penciptaan inkongruenitas yang menghibur), atau respon (misalnya tertawa)

Tawa merupakan bentuk ekspresi dari pengalaman seseorang terhadap humor.

Martin (2001) menyatakan bahwa tertawa dapat disebabkan oleh adanya hal yang

positif dan juga hal-hal negatif (seperti keanehan dari orang lain) selain itu tertawa dapat menujukkan perasaan superior terhadap orang lain (Plato&Aristoteles, dalam Martin, 2001).


(28)

Secara umum, humor dan tawa berhubungan dengan keadaan emosi yang menyenangkan dengan kata lain humor merupakan istilah yang digunakan untuk mendefinisikan perilaku tersenyum atau tertawa karena hal-hal yang positif. Tertawa yang disebabkan oleh hal-hal yang negatif misalnya meledek, merendahkan orang lain, dan menggoda bukan merupakan bentuk humor (Martin, 2001)

Humor sering digunakan sebagai strategi untuk mengatasi (coping) masalah yang menimbulkan stres (Hay, 2001). Hal ini didukung dengan adanya penelitian terhadap tawanan perang (POWs/Prisoners of War) yang menemukan bahwa humor merupakan hal yang penting pada orang-orang yang menjadi tahanan di Vietnam (Henman, 2001). Menggunakan humor dalam mengatasi masalah akan membantu individu untuk berhubungan dengan masalahnya dan mampu mengurangi beban mereka (Nezlek&Derks, 2001)

2. Fungsi Humor

Klein (1989) menyatakan bahwa humor memiliki beberapa fungsi, antara

lain:

1. Humor memberikan individu kekuatan

2. Humor membantu individu untuk mengatasi perubahan dan ketidakpastian 3. Humor menyediakan beberapa perspektif, dan


(29)

Mindess (dalam Hartanti, 2002) berpendapat bahwa fungsi humor yang paling penting dan paling fundamental adalah kekuatannya untuk membebaskan diri dari banyak rintangan dan pembatasan dalam kehidupan sehari-hari. Humor dapat melepas individu dari berbagai tuntutan yang dapat dialami dan dapat membebaskannya dari perasaan inferioritas.

Bila digunakan secara cermat, humor dapat menciptakan suasana yang lebih rileks, memacu komunikasi pada persoalan-persoalan sensitif, menjadi sumber wawasan suatu konflik, membantu mengatasi pola sosial yang kaku dan formal, serta mempermudah pengungkapan perasaan atau impuls dengan cara aman dan tidak mengancam (Herkowitz, dalam hartanti, 2002).

3. DefinisiSense of Humor

Sense of Humor (rasa akan humor) adalah kemampuan seseorang untuk

menggunakan humor sebagai cara menyelesaikan masalah, keterampilan menciptakan humor, dan kemampuan menghargai atau menanggapi humor (Hartanti, 2002). Thorson & Powell (1993) menyatakan bahwa sense of humor merupakan konsep yang multidimensional, yang berarti sense of humor yang dimiliki oleh seseorang tidak hanya ditunjukkan melalui satu dimensi seperti kemampuan seseorang untuk menciptakan humor melainkan juga menunjukkan dimensi lainnya seperti kemampuan bereaksi, menghargai, bahkan menyelesaikan masalah menggunakan humor.


(30)

Menurut Hurlock (1990) individu yang memiliki sense of humor mampu mengembangkan pemahaman diri yang realistis serta mampu memandang dirinya secara realistis pula. Meskipun individu diperhadapkan dengan situasi yang tidak disukainya, namun dengan sense of humor yang dimiliki individu dapat melakukan pengembangan diri, penerimaan diri serta mampu menambah kematangan psikisnya. Kartono (1979) menyatakan bahwa individu yang memiliki sense of humor yang baik memiliki kepribadian yang matang.

4. Aspek-aspek Sense of Humor

Menurut Thorson & Powell (1997, dalam Hartanti 2002), sense of humor terdiri dari beberapa aspek yakni:

a. Humor production

Kemampuan untuk menemukan humor pada setiap peristiwa berhubungan dengan perasaan diterima oleh lingkungan

b. Coping with humor

Bagaimana individu menggunakan humor untuk mengatasi emosional dan situasi yang mengandung stresful pada individu

c. Humor appreciation

Kemampuan untuk mengapresiakan humor yang dihubungkan dengan

internal locus of control seseorang, sebuah indikasi dari seberapa banyak

individu mempersepsikan setiap peristiwa lucu sebagai bagian dari perilaku orang lain


(31)

B. STRES 1. Definisi Stres

Sarafino (1999) mengartikan stres adalah kondisi yang disebabkan oleh

interaksi antara individu dengan lingkungan,menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi yang bersumber pada sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang.Sependapat dengan Sarafino, Santrock (2003) mendefinisikan stres adalah respon individu terhadap keadaan atau kejadian yang memicu stres (stressor), yang mengancam dan mengganggu kemampuan seseorang untuk menanganinya atau coping. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya interaksi antara individu dengan keadaan yang menimbulkan stres (seperti ketidaksesuaian antara keinginan dengan kenyataan)

2. Aspek Stres

Sarafino (1999) membagi dua aspek stres, yaitu :

1. Aspek Biologis

Setiap individu akan mengalami suatu kondisi yang mengancam. Kondisi tersebut dapat menimbulkan reaksi fisiologis di dalam tubuh individu seperti detak jantung yang meningkat, dsb. Seyle (dalam Sarafino, 2002) menyebutkan terdapat serangkaian reaksi fisiologis yang disebut dengan


(32)

a. Alarm Reaction

Merupakan tahap pertama tubuh terhadap bahaya. Pada tahapan ini tubuh mulai memobilisasi sumber-sumber daya tubuh

b. Stages of Resistence

Merupakan tahapan di mana tubuh mulai beradaptasi dengan stres yang ada. Keterbangkitan fisik mulai berkurang, namun masing tetap lebih tinggi dari kondisi normal

c. Stage of Exhaustion

Pada tahapan ini ketegangan fisiologis yang muncul lebih lama dan berulang, sehingga dapat mengakibatkan kekebalan tubuh yang menurun serta simpanan energi tubuh juga berkurang.

2. Aspek Psikologis

Ada 3 gejala psikologis yang dirasakan ketika seseorang sedang mengalami stres. Ketika gejala tersebut adalah gejala kognisi, gejala emosi, dan gejala tingkah laku.

a. Gejala kognisi

Gangguan daya ingat (menurunnya daya ingat, mudah lupa dengan suatu hal), perhatian dan konsentrasi yang berkurang sehingga seseorang tidak fokus dalam melakukan suatu hal, merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala kognisi


(33)

b. Gejala emosi

Mudah marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu, merasa sedih dan depresi merupakan gejala-gejala yang muncul pada aspek gejala emosi

c. Gejala tingkah laku

Tingkah laku negatif yang muncul ketika seseorang mengalami stres pada aspek gejala tingkah laku adalah mudah menyalahkan orang lain dan mencari kesalahan orang lain, suka melanggar norma karena dia tidak bisa mengontrol perbuatannya dan bersikap tak acuh pada lingkungan, dan suka melakukan penundaan pekerjaan.

3. Penyebab Stres

Menurut Musbakin (2005) seseorang perlu untuk mengetahui penyebab atau sumber-sumber stres, hal ini bertujuan agar individu mampu mengendalikan sumber stres sehingga tidak menimbulkan kerugian. Berikut adalah beberapa penyebab dari stres, antara lain:

1. Kerja/ Belajar/ Tugas-tugas Rumah Tangga

Contohnya: Memiliki kegiatan yang terlalu banyak atau terlalu sedikit untuk dilakukan, tidak dihargai seperti tidak mendapatkan ucapan terimakasih, tidak memiliki keterampilan untuk menyelesaikan pekerjaan, menghadapi tantangan yang terlalu banyak atau bahkan kurang tertantang, tidak ada tujuan dari apa yang dilakukan, memiliki keraguan apakah yang


(34)

ia lakukan merupakan keinginannya atau tidak, terlalu perfeksionis dan kaku

2. Keluarga

Contohnya: Merasa tidak memiliki keluarga dekat, keluarga memiliki tanggungan yang berat, jarang memiliki quality time bersama keluarga, keluarga sering diwarnai dengan kekerasan, dan keuangan keluarga memprihatinkan

3. Masyarakat/teman/komunitas

Contohnya: Mempunyai teman yang tidak cukup banyak, kurang mampu bersosialisasi, tidak memiliki teman yang dapat dipercaya

4. Karakter Kepribadian

Contohnya: Tipikal yang sering merasa gelisah, khawatir, merasa tertekan dan terancam, tidak melatih dan mengelola diri secara teratur, tidak menyukai diri sendiri karena merasa memiliki fisik dan kondisi kejiwaan yang tidak baik), cenderung pesimis (sulit termotivasi, agak sinis dan menginginkan yang terburuk), sulit tertawa atau tidak memiliki sense of


(35)

4. Jenis-Jenis Stres

Menurut Seyle (dalam Warga,1983) stres dikelompokkan menjadi dua, yakni:

1. Distres : diartikan sebagai segala pengalaman negatif yang dirasakan oleh

individu. Seseorang mengalami distres saat ia berhadapan dengan kegagalan atau kondisi yang menyakitkan

2. Eustres: merupakan pengalaman menyenangkan seperti kemenangan dan

keberhasilan.

5. Coping stres

Stres merupakan kejadian yang mengancam keadaan psikologis maupun fisiologis seseorang. Keadaan yang mengancam mengakibatkan individu perlu untuk berusaha mengatasi kondisi stres yang menganggu dirinya. Usaha ini dikenal dengan sebutan coping stress. Coping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan stres, termasuk upaya penyelesaian masalah dan mekanisme pertahanan ego yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart, 2007). Seseorang dapat mengatasi stresnya dengan cara yang adaptif dan maladaptif. Hal ini dinyatakan oleh Brunner&Sudden (2002) di mana mekanisme coping merupakan suatu proses dalam pengaturan individu dalam menyelesaikan masalahnya baik yang adaptif maupun maladaptif.

Mekanisme coping adaptif mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar

dalam mencapai tujuan seperti berbicara dengan orang lain, teknik relaksasi, latihan seimbang dan aktivitas konstruktif. Mekanisme koping maladaptif menghambat fungsi integrasi, memecahkan pertumbuhan, menurunkan otonomi,


(36)

cenderung menguasi lingkungan, seperti makan berlebihan atau bahkan tidak makan, belanja berlebihan, dan berhenti bekerja. (Brunner&Suddarth, 2002)

6. Jenis-jenis Coping Stress

Menurut Lazarus & Folkman (1984) terdapat dua strategi dalam melakukan

coping antara lain:

1. Problem-Focused coping

Merupakan usaha mengatasi stresdengan cara mengatur atau mengubah masalah yang dihadapi dan mengatur lingkungan sekitarnya yang menyebabnya terjadinya tekanan. Individu cenderung menggunakan

problem focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang

menurut individu dapat dikontrolnya.

2. Emotion-Focused coping

Merupakan usaha mengatasi stres dengan cara mengatur respon emosional dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang dianggap penuh dengan tekanan. Individu cenderung menggunakan emotion focused coping ketika menurut seseorang masalah tersebut sulit untuk dikontrol.


(37)

C. REMAJA 1. Definisi Remaja

Remaja atau adolescence berasal dari bahasa latin adolescare yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Bobak, 2004). Menurut Sudrajat (2008) Remaja merupakan masa transisi, artinya masa remaja merupakan masa peralihan di antara periode anak-anak dan dewasa. Pada sebagian besar masyarakat, masa remaja umumnya dimulai pada usia 10-13 tahun dan berakhir pada usia 18-22 tahun (Notoatdmojo, 2007)

Hurlock (2008) menyatakan bahwa remaja merupakan fase pertumbuhan dan

perkembangan ketika seseorang berada pada rentang usia 11-18 tahun. Remaja umumnya dibagi menjadi tiga tingkatan yaitu remaja awal (11-15 tahun), remaja menengah (16 – 18 tahun), dan remaja akhir (19 – 20 tahun) (Marcia, 1989 dalam

Sprinthall & Collins, 2002). Dalam fase perkembangannya, remaja tidak terlepas

dari tugas perkembangan yang akan mempengaruhi kehidupannya. Menurut

Havinghurst (1961) kemampuan individu untuk menyelesaikan tugas

perkembangannya, akan menjadi penentu keberhasilannya dalam menyelesaikan tugas perkembangan pada fase perkembangan selanjutnya.

2. Tugas Perkembangan Remaja

Tugas perkembangan merupakan kemampuan yang harus dikuasai oleh individu agar ia mampu untuk mengatasi permasalahan yang timbul dalam fase perkembangannya. Menurut Havighurst (dalam Yusuf, Syamsu, 2001), remaja memiliki beberapa tugas perkembangan antara lain:


(38)

1. Mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita

2. Mencapai peran sosial pria dan wanita

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakannya secara efektif

4. Mencapai kemandirian emosional dari orangtua dan orang-orang dewasa 5. Mencapai jaminan kemandirian ekonomi

6. Memilih dan mempersiapkan karir (pekerjaan) 7. Mempersiapkan pernikahan dan berkeluarga

8. Mengembangkan keterampilan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan bagi warga Negara

9. Mencapai tingkah laku yang bertanggung jawab secara sosial

10. Memperoleh perangkat-perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangan ideologi

11. Beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa

3. Karakteristik Perkembangan Emosi Remaja

Menurut Ali (2004) terdapat beberapa karakteristik perkembangan emosi remaja yang dibagi ke dalam empat periode, yaitu:

a) Periode pra remaja

Pada periode ini perubahan fisik belum tampak jelas, tetapi pada remaja putri biasanya memperlihatkan penambahan berat badan yang cepat


(39)

sehingga mudah tersinggung dan cengeng, tetapi juga cepat merasa senang atau bahkan meledak-ledak

b) Periode remaja awal

Pada periode ini tampak adanya perubahan fungsi alat kelamin. Karena adanya perubahan yang tampak nyata, banyak remaja yang mengalami kesukaran untuk menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan tersebut sehingga tidak jarang mereka cenderung menyendiri dan merasa terasing, mendapat kurang perhatian dari orang lain, serta merasa tidak ada orang yang memperdulikannya.

c) Periode remaja tengah

Pada periode ini, tanggung jawab remaja terhadap hidupnya tampak semakin meningkat di mana mereka harus mampu memikul sendiri masalah mereka. Tuntutan yang diterima oleh remaja seringkali berasal dari orangtua maupun dari masyarakat sehingga tidak jarang dapat menimbulkan masalah bagi para remaja di mana terdapat kontradiksi antara apa yang sering terjadi di masayakat dengan nilai-nilai moral yang mereka ketahui, hal ini tidak jarang mengakibatkan keraguan mengenai apa yang mereka anggap benar, baik maupun pantas untuk dikembangkan. d) Periode remaja akhir

Selama periode ini, remaja sudah mulai memandang dirinya sebagai orang dewasa serta mampu menunjukkan pemikiran, sikap dan perilaku yang semakin dewasa. Oleh karena itu orangtua dan masyarakat mulai memberikan kepercayaan kepada mereka


(40)

4. Karakteristik Perkembangan Sosial Remaja

Menurut Wong (2009) terdapat beberapa karakteristik perkembangan sosial remaja yang dikelompokkan ke dalam beberapa, yakni:

1. Hubungan dengan orang tua

Selama masa remaja, hubungan orangtua dengan anak berubah dari menyayangi menjadi persamaan hak. Proses untuk mencapai kemandirian seringkali melibatkan kekacauan dan ambiguitas karena baik orangtua maupun remaja belajar untuk menampilkan peran yang baru dan menjalankannya sampai selesai, sementara pada saat yang bersamaan seringkali penyelesaiannya diliputi dengan kerenggangan yang menyakitkan. Pada saat remaja menuntuk hak mereka untuk mengembangkan hak-hak istimewanya, mereka seringkali menciptakan ketengangan di dalam rumah. Mereka menentang kendali orangtua dan konflik dapat muncul pada hamper semua situasi atau masalah

2. Hubungan dengan teman sebaya

Meskipun orangtua memberikan pengaruh utama terhadap kehidupan remaja namun teman sebaya dianggap lebih berperan penting ketika masa remaja dibandingkan masa kanak-kanak. Kelompok teman sebaya memberikan remaja perasaan kekuatan dan kekuasaan.

a) Kelompok teman sebaya


(41)

mungkin agar mendapatkan penerimaan kelompok seperti model berpakaian, gaya rambut, tata bahasa dan seleras musik. Seringkali mereka mengorbankan individualitas dan tuntutan diri. Segala sesuatu pada remaja diukur oleh reaksi teman sebayanya.

b) Sahabat

Hubungan personal antara satu orang dengan orang lain yang berbeda biasanya terbentuk antara remaja sesame jenis. Hubungan ini lebih dekat dan lebih stabil daripada hubungan yang dibentuk pada masa kanak-kanak pertengahan, dan penting untuk pencarian identitas. Seorang sahabat meruapakan pendengar terbaik, yaitu tempat di mana remaja dapat mencoba menjalani suatu peran atau beberapa peran dalam waktu yang bersamaan, mereka saling memberikan dukungan satu sama lain.

Hurlock (2008) menyatakan bahwa masa remaja memiliki beberapa

karakteristik tertentu yang membedakannya dengan periode sebelum dan sesudahnya. Beberapa karakteristiknya antara lain:

1. Masa remaja merupakan periode penting

Segala akibat langsung maupun tidak langsung berpengaruh terhadap periode di masa mendatang. Dalam perkembangan remaja, segala aspek perkembangan adalah penting baik fisik, psikologis, maupun sosial

2. Masa remaja merupakan periode peralihan


(42)

lebih dewasa dan meninggalkan sifat-sifat yang kekanakan, selain itu anak juga akan mempelajari perilaku baru untuk menggantikan perilaku dan sikap yang sudah ditinggalkan

3. Masa remaja merupakan periode perubahan

Perubahan yang dimaksud adalah perubahan emosi, proporsi tubuh, minat, perilaku dan nilai yang dianut. Perubahan-perubahan tersebut akan mempengaruhi perkembangan psikologis anak, terkhusus bagaimana cara mereka memandang diri mereka

4. Masa remaja merupakan masa mencari identitas

Erickson menyatakan bahwa pembetukan identitas diri akan

mempengaruhi perilaku remaja. Pembentukan identitas akan dipengaruhi oleh perubahan fisik, kognitif, psikologis, serta lingkungan remaja seperti pola asuh orangtua, guru dan kondisi lingkungan remaja

5. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan

Banyak anggapan bahwa masa remaja merupakan masa bermasalah, berantakan, tidak rapi, dsb. Anggapan ini yang seringkali membuat pertentangan dengan orangtuan dan antara orangtua dan anak terjadi jarak yang menghalangi anak untuk meminta bantuan orangtua untuk menghadapi berbagai masalahnya

6. Masa remaja sebagai masa yang tidak realistis


(43)

7. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Remaja akan melakukan peran baru menjadi sosok orang dewasa dalam berperilaku serta bersikap dan bertindak, kondisi ini yang akan mengakibatkan remaja membentuk citra agar mereka terlihat seperti orang dewasa. Hal ini ditunjukkan dari bagaimana mereka berpakaian, bagaimana mereka berbicara selayaknya orang dewasa. Tidak jarang remaja juga berpikir bahwa merokok, menggunakan obat-obatan terlarang merupakan indikasi citra seorang sebagai orang dewasa.

D. PENDIDIKAN AKSELERASI 1. Definisi Akselerasi

Istilah Akselerasi memiliki arti pemberian perlakuan apapun yang memungkinkan remaja yang cerdas dan berbakat untuk menyelesaikan sekolahnya secara cepat sesuai dengan tingkat kemampuan dan kematangannya, sehingga mereka dapat menyelesaikan pendidikan formalnya dalam waktu yang lebih singkat atau pada usia yang lebih muda (Alsa,2007). Akselerasi diberikan untuk memelihara minat remaja terhadap sekolah, mendorong remaja agar mencapai prestasi akademik yang baik, dan untuk menyelesaikan pendidikan dalam tingkat yang lebih tinggi bagi keuntungan dirinya maupun masyarakat (Felhusen,


(44)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan Akselerasi adalah suatu program pendidikan percepatan yang disesuaikan dengan keterbakatan anak yang memiliki potensi melebihi anak-anak pada umumnya.

2. Karakteristik Anak Berbakat

Pendidikan Akselerasi secara umum diberikan kepada anak-anak berbakat, berikut adalah karakteristik anak-anak berbakat menurut JosephRenzulli (1978, dalamAkbar & Hawadi 2002) berdasarkan teorinya yang disebut Three-Ring Conception:

1. Above Average Ability (Kemampuan di atas rata-rata)

Kemampuan di atas rata-rata menggambarkan mencakup dua hal yakni kemampuan secara umum dan kemampuan secara spesifik.

a. Kemampuan umum terdiri dari kapasitas untuk memproses informasi, untuk mengintegrasikan pengalaman, dan hal ini terlihat dalam respons yang cocok dan adaptif dalam situasi baru, serta kemampuan dalam berpikir abstrak. Contohnya:

Kemampuan verbal dan logika hitungan Hitungan spasial

Daya ingat Kelancaran kata


(45)

b. Kemampuan secara spesifik terdiri dari kemampuan dalam menampilkan satu atau lebih aktivitas yang khusus dan bersifat terbatas. Hal ini terlihat pada kemampuan dalam mengekspresikannya pada situasi kehidupan sehari-hari seperti kemampuan dalam bidang kimia, matematika, balet, komposisi musik, patung dan fotografi. Setiap kemampuan spesifik dapat lagi dipecah ke dalam daerah yang khusus, seperti portrait photography,

astrophotography, photojournalism, dan sebagainya. Pengukuran dapat

juga dilakukan dengan tes prestasi atau tes khusus dalam bidang tersebut.

2. Task Commitment (komitmen terhadap tugas)

Komitmen terhadap tugas menunjukkan adanya energi yang dibawa ke dalam beberapa tugas atau permasalahan khusus atau area-area spesifik dan diikuti dengan satu atau lebih hal-hal berikut ini:

1. Kapasitas terhadap level ketertarikan yang tinggi, antusias, daya tarik yang kuat, keterlibatan yang tinggi pada beberapa masalah khusus, area belajar, atau bentuk dari ekspresi individu

2. Kapasitas pada ketekunan, daya tahan, penentuan, kerja keras, berdedikasi praktis, self-confidence, ego dan belief yang kuat dalam kemampuan individu untuk menyelesaikan pekerjaan yang utama, bebas dari perasaan inferior, atau memiliki pergerakan untuk berprestasi

3. Kemampuan untuk mengidentifikasi permasalahan yang signifikan di dalam area khusus dan mampu masuk ke dalam saluran utama komunikasi


(46)

dan menunjukkan perkembangan yang baru pada beberapa area yang diberikan

4. Membuat standar yang tinggi terhadap pekerjaan, terbuka terhadap kritikan baik dari diri sendiri maupun dari lingkungan eksternal, dan mengembangkan sense of quality (rasa akan kualitas) dan rasa akan kesempurnaan atas pekerjaan yang dimiliki individu dan pekerjaan dari orang lain

Ciri-ciri pada cluster ini adalah ciri yang tidak mudah dan objektif, namun komponen tersebut merupakan komponen utama dari keterbakatan. Renzulli (dalam Sternberg& Davidson, 1986)

3. Creativity (Kreatifitas)

Kreatifitas dapat diikuti oleh satu atau lebih dari beberapa hal berikut ini: individu fasih, secara fleksibel, original, dan mampu untuk mengembangkan pemikiran, termasuk juga menjadi:

1. Terbuka terhadap pengalaman dan menerima pengalamaan yang baru dan berbeda (meskipun tidak irasional) yang terdapat dalam pemikiran, tindakan atau merupakan hasil dari individu dan orang lain

2. Memiliki rasa ingin tahu (Curious), petualang, dan “mentally playful” dan memiliki keinginan untuk mengambil resiko dalam pemikiran dan tindakan, bahkan menjadi individu dengan tujuan yang tidak dapat dihalangi


(47)

3. Sensitif terhadap karakteristik yang detail dan eksetika dari ide-ide dan memiliki keinginan untuk bertindak dan bereaksi terhadap stimulus eksternal dan terhadap ide-ide dirinya maupun perasaannya

Menurut Renzulli keterbakatan merupakan interaksi antara ketiga cluster di atas, dengan kata lain anak berbakat adalah mereka yang memiliki semua ciri-ciri pada cluster tersebut dan menampilkannya sebagai potensi yang dimiliki ke segala bidang.

3. Persyaratan Remaja Kelas Akselerasi di Indonesia

Peserta Kelas Akselerasi di Indonesia memiliki beberapa persyaratan menurut Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah (2003), yakni:

1. Informasi data objektif, yang diperoleh dari pihak sekolah berupa skor akademis dan pihak psikolog berupa skor hasil pemeriksaan psikologis. Skor akademis diperoleh dari:

a. Nilai ujian nasional dari sekolah sebelumnya, dengan rata-rata 8,0 ke atas baik untuk SMP maupun SMA, sedangkan untuk SD tidak dipersyaratkan;

b. Tes kemampuan akademis, dengan nilai sekurang-kurangnya 8,0; c. Rapor, nilai rata-rata seluruh mata pelajaran tidak kurang dari 8,0.

Skor psikologis diperoleh dari hasil pemeriksaan psikologis yang meliputi tes inteligensi umum, tes kreativitas, dan inventori keterikatan pada tugas. Peserta yang lulus tes psikologi adalah


(48)

kategori jenius (IQ ≥ 140) atau mereka yang memiliki kemampuan intelektual umum dengan kategori cerdas (IQ ≥ 125) yang ditunjang oleh kreativitas dan keterikatan terhadap tugas dalam kategori di atas rata-rata.

2. Informasi data subyektif, yaitu nominasi yang diperoleh dari diri sendiri, teman sebaya, orangtua, dan guru sebagai hasil dari pengamatan dari sejumlah ciri-ciri keberbakatan.

3. Kesehatan fisik, ditunjukan dengan surat keterangan sehat dari dokter. 4. Kesediaan calon remaja percepatan dan persetujuan orangtua, yaitu

pernyataan tertulis dari pihak penyelenggara program percepatan belajar untuk remaja dan orangtuanya tentang hak dan kewajiban serta hal-hal yang dianggap perlu dipatuhi untuk menjadi peserta program percepatan belajar

4. Kelebihan dan Kekurangan Penyelenggaraan Kelas Akselerasi di Indonesia

Kehadiran kelas Akselerasi di Indonesia memang memberikan kesempatan pada anak berbakat untuk mendapatkan pendidikan sesuai dengan potensi mereka yang berbeda pada anak umumnya, namun di sisi layanan ini juga memiliki kekurangan. Berikut adalah kelebihan dan kekurangan dari penyelenggaraan Kelas Akselerasi SMA di Indonesia berdasarkan pidato yang disampaikan oleh


(49)

a. Kelebihan Layanan Akselerasi

Menurut Alsa (2007) terdapat beberapa kelebihan Layanan Akselerasi di Indonesia, antara lain:

1. Materi pelajaran yang menantang akan meningkatkan minat belajar sehingga kemajuan belajar menjadi lebih cepat (Hasil Penelitian Ablard, 1994)

2. Remaja yang mengikuti program akselerasi di SMA mempunyai

Grade Point Average yang lebih tinggi, mendapat lebih banyak

beasiswa, dan mempunyai aspirasi karir lebih tinggi daripada remaja yang tidak mengikuti program akselerasi (Hasil Penelitian

Brody dan Benbow dalam Pyryt, 1999)

3. Program akselerasi membuat remaja cerdas dan berbakat menyukai kegiatan belajar mereka, dan meningkatkan harga diri mereka.

(Gross, 1999)

4. Waktu belajar remaja SMA kelas akselerasi yang diperpendek dari tiga tahun menjadi dua tahun membuat aktivitas belajar remaja kelas akselerasi menjadi padat, jumlah jam belajar di sekolah lebih banyak dibandingkan dengan jumlah jam belajar remaja kelas reguler. Aktivitas belajar yang padat menjadikan remaja kelas akselerasi mampu melakukan regulasi diri dalam belajar (Alsa, 2006)

5. Beban dan tugas belajar di dalam dan di luar jam sekolah ternyata menjadi stresor positif (eustres) bagi remaja kelas akselerasi.


(50)

b. Kekurangan Layanan Akselerasi

Menurut Alsa (2007) selain memiliki kelebihan, Layanan Akselerasi juga memiliki beberapa kekurangan antara lain:

1. Kendala utama yang paling nyata bagi sekolah dan guru untuk mengembangkan ranah afektif remaja, adalah padatnya kurikulum, sistem ujian nasional, dan ketidaksiapan guru menggunakan metode pembelajaran yang variatif

2. Penyelenggaraan kelas akselerasi adalah tidak dipenuhinya persyaratan IQ minimal remaja kelas akselerasi. Penelitian yang dilakukan oleh Rejeki (2005) di Solo, Alsa (2006) di Yogyakarta, dan Nuraida, dkk. (2007) di Jakarta, menemukan beberapa remaja SMA kelas akselerasi tidak memenuhi IQ minimal yang dipersyaratkan

3. Belajar tidak sekedar menguasai ilmu pengetahuan, tapi berfikir, mencari dan menggali pengetahuan, mengerti, menilai, dan membandingkan

4. Anak sering bermasalah dalam penyesuaian sosial (Gibson, 1980) serta penyesuaian emosional (Richardson dan Benbow, 1990) 5. Program Akselerasi berpengaruh positif terhadap perkembangan

akademik remaja, tapi tidak berpengaruh terhadap perkembangan sosial dan emosional remaja. Sourther dan Jones (1991)


(51)

6. Percepatan pendidikan dari 3 tahun menjadi 2 tahun hanya terjadi pada ranah kognitif (pengetahuan dan intelek) dan tidak terjadi pada ranah afektif dan ranah psikomotorik

7. Pemberian pengalaman belajar dengan melibatkan remaja dalam kehidupan masyarakat, di instansi, kunjungan ke museum, atau pembelajaran oleh tokoh masyarakat, maupun pengalaman belajar melalui kegiatan eksplorasi, hampir tidak pernah dilakukan (pembelajaran kurang kontekstual)

E.PERMASALAHAN PADA ANAK BERBAKAT

Berdasarkan ciri-ciri keterbakatan yakni kemampuan berpikir tingkat tinggi, kritis, kreativitas, movitasi maka menjadi implikasi munculnya kebutuhan anak yang berbeda dengan kebutuhan anak pada umumnya. Potensi yang unggul tersebut dapat menjadi predisposisi terhadap munculnya berbagai masalah, sehingga keterbakatan anak dapat menjadikan anak rentan terhadap munculnya masalah, terutama jika anak tidak memperoleh akses untuk memenuhi kebutuhannya sebagai anak berbakat. Menurut Seagoe (dalam Hawadi, 1985), ciri-ciri tertentu pada anak berbakat dapat atau mungkin mengakibatkan timbulnya masalah-masalah tertentu seperti:

1. Kemampuan berpikir tingkat tinggi dapat mengarah ke sikap ragu-ragu (skeptis) dan sikap kritis baik terhadap diri maupun lingkungan


(52)

2. Kemampuan kreatif dan minat untuk melakukan hal-hal baru dapat menyebabkan anak berbakat tidak menyukai atau cepat bosan terhadap tugas rutin

3. Perilaku ulet dan terara pada tujuan yang sering tampak pada anak berbakat ke arah keinginan untuk memaksakan atau mempertahankan pendapatnya

4. Kepekaan dari anak berbakat dapat membuatnya mudah tersinggung atau peka terhadap kritik orang lain

5. Semangat yang tinggi, kesiagaan mental dan prakarsanya dapat membuatnya kurang sabar atau kurang toleran jika tidak ada kegiatan atau kurang tampak kemajuan dalam kegiatan yang sedang berlangsung 6. Dengan kemampuan dan minatnya yang beragam, anak berbakat

membutuhkan keluwesan dan dukungan untuk dapat menjajaki dan mengembangkan minat-minatnya

7. Keinginan anak untuk mandiri dalam belajar dan bekerja, kebutuhan kebebasan dapat menimbulkan konflik karena tidak mudah menyesuaikan diri atau tunduk terhadap tekanan orang tua atau teman sebaya. Ia dapat juga merasa ditolak atau kurang dimengerti oleh lingkungannya.


(53)

F. PENGARUH SENSE OF HUMOR TERHADAP STRES PADA REMAJA DARI KELAS AKSELERASI DI KOTA MEDAN

Masa Remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Menurut Hurlock (2008) masa remaja merupakan masa yang penting, hal ini dikarenakan tugas perkembangan di masa sebelum dan sesudah masa remaja akan menentukan keberhasilan seseorang dalam menjalani fase-fase perkembangan selanjutnya.

Layanan Akselerasi merupakan layanan percepatan. Artinya adalah bahwa segala perlakuan yang diterima oleh anak mengalami percepatan baik waktu yang digunakan untuk menyelesaikan sekolah maupun waktu penyelesaian tugas yang diberikan oleh sekolah (Alsa, 2007). Hal ini yang ditemukan menjadi masalah bagi remaja dari kelas akselerasi terutama yakni bagi perkembangan sosial remaja

(Gibson, 1980)

Sebagai remaja, mereka memiliki beberapa tugas perkembangan. Salah satu tugas perkembangan menurut Hurlock (2010) adalah mencapai hubungan baru dan lebih matang dengan teman sebaya. Namun ternyata tuntutan dari sekolah mengenai tugas-tugas yang diberikan menjadi penghalang anak untuk melaksanakan tugas perkembangannya tersebut. Kondisinya adalah bahwa setiap hari anak akan diberikan tugas dengan frekuensi belajar yang banyak. Alsa (2007) menyatakan bahwa sebagai anak berbakat mereka senang dengan pelajaran-pelajaran menantang yang diberikan. Ketika anak diperhadapkan dengan materi


(54)

eustres(kondisi stres yang menyenangkan). Namun ternyata dengan keberadaan tugas yang begitu banyak, anak harus menerima resiko bahwa mereka dianggap kurang sosial dan angkuh oleh teman-teman sebayanya (Alsa, 2007). Anggapan ini tidak tanpa alasan. Anak akan menghabiskan waktu untuk belajar dan mengerjakan tugas, baik pada jam sekolah maupun ketika berada di rumah. Hal inilah yang mengakibatkan anak seolah terisolasi dan tidak mau bergabung dengan teman-teman sebayanya. Kondisi seperti ini yang akan mengganggu perkembangan sosial pada anak. Satu sisi mereka memiliki tugas perkembangan untuk membina relasi dengan teman-teman sebayanya namun di sisi lain mereka memiki tuntutan tugas yang tidak dapat dihindari.

Menurut Buescher dan Higham (1990) salah satu yang menjadi karakteristik remaja adalah mereka sangat rentan dengan berbagai kritik, saran dan serangan emosional dari orang lain. Kondisi seperti ini seringkali mengakibatkan anak ingin menjadi sempurna dan mengingat bahwa sejak kecil mereka selalu memiliki keinginan untuk melakukan tugas secara sempurna dan hal ini menjadi kebiasaan hingga ia remaja. Menjadi sempurna dalam segala hal tidaklah selalu positif, terbukti bahwa anak sering mengalami disonansi antara apa yang sesungguhnya mereka lakukan dengan kualitas pekerjaan yang diharapkan. Anak barangkali mengaku bahwa mereka sudah mengerjakan sesuatu secara maksimal, namun ternyata lingkungan tidak mengakui hal yang sama. Alsa (2007) menyatakan bahwa semakin berbakat anak, semakin banyak pihak yang ikut campur terhadap


(55)

„keterbakatan‟ pada anak berbakat, di mana anak berbakat wajib menunjukkan performan yang selalu sempurna.

Berbagai permasalahan ini seringkali dapat mengancam kondisi individu. Hal tersebut terjadi karena individu merasa bahwa antara keinginan dengan kenyataan yang ia miliki ternyata tidak sejalan. Kondisi ini dikenal dengan Stres. Sarafino (2007) mendefinisikan stres sebagai kondisi yang menimbulkan persepsi jarak antara individu dengan tuntutan yang ada. Ketika seseorang mengalami stres maka yang sering terjadi adalah seseorang mengalami kondisi tegang yang menimbulkan ketidaknyamanan.

Ketika seseorang mengalami stres, maka ia akan memanifestasikannya ke dalam beberapa aspek. Menurut Sarafino (2007) stres memiliki beberapa aspek yakni biologis (sakit kepala berlebihan, tidak nafsu makan, dll); kognisi (daya ingat menurun, perhatian dan konsentrasi menurun); emosi (mudah marah, cemas) dan tingkah laku (menyalahkan orang lain dan melanggar norma). Kondisi stres yang dialami oleh seseorang perlu untuk ditangani, tujuannya adalah agar ketidaknyamanan yang dirasakannya dapat berkurang. Hal inilah yang dikenal sebagai coping stres. Coping Stress merupakan upaya yang diarahkan untuk menatalaksanaan stres (stuart, 2007)

Beberapa penelitian seringkali menghubungkan antara penggunaan humor sebagai coping stres yang ada pada seseorang. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Eva Binti Nurhanifah terhadap siswa akselerasi di SMA Negeri Surabaya


(56)

koefisien korelasi antara kedua variabel tersebut adalah -0.402 yang berarti bahwa jika skor sense of humor tinggi, maka tingkat stres menjadi rendah. Meredith (dalam Kartono, 1979: 134) menambahkan bahwa humor merupakan salah satu ciri dari pribadi yang matang. Individu yang memiliki humor sanggup untuk menertawakan hal-hal yang tidak disenangi, termasuk diri sendiri, namun demikian tetap mencintainya. Seseorang yang menyukai humor tidak mungkin tidak memiliki sense of humor (rasa akan humor). Sense of humor merupakan kemampuan seseorang untuk menciptakan, menghargai dan menggunakan humor untuk menyelesaikan masalah (Hartanti, 2002). Para Psikolog Perkembangan menyatakan bahwa sense of humor yang didapatkan pada masa kanak-kanak dan akan membantu anak untuk mengatasi kejadian-kejadian yang mengakibatkan stres (stresor)Bariaud, 1989; Martin, 1989; McGhee, 1979, 1980, 1994; Simons, McCluskey-Fawcett, & Papini, 1986)

Permasalahan yang dialami oleh Remaja dari kelas akselerasi yang berhubungan dengan perkembangan sosialnya tidak jarang mengakibatkan anak menjadi sulit untuk bergaul dengan teman-teman sebayanya dikarenakan tuntutan tugas yang besar (Alsa, 2007). Bariud et al., (1989) menyatakan bahwa dengan menggunakan sense of humor pada usia sekolah, anak akan mampu berhubungan dengan teman-teman sebayanya, berkomunikasi, serta mampu memahami peristiwa kehidupannya.


(57)

bahwakamu cerdas‟ di sisi lain orangtua selalu mengharapkan hasil yang sempurna dari anaknya (Alsa, 2007). Permasalahan inilah yang sering memunculkan stres pada anak. Penelitian yang dilakukan oleh Kuper et.al (1993) memperoleh hasil bahwa ketika seseorang menggunakan humor maka ia akan memiliki persepsi yang lebih positif terhadap masalah yang dihadapinya selain itu juga akan membuat perspektif alternatif dari masalah yang dialaminya, individu secara emosional akan membuat jarak antara dirinya dengan stressor dan akan menurunkan perasaan-perasaan negatif terhadap permasalahan yang dialaminya.

Penggunaan sense of humor bagi remaja dari kelas akselerasi tentunya memberikan banyak keuntungan, mengingat bahwa permasalahan yang dialami seringkali mengakibatkan perasaan tidak nyaman yang dikenal dengan stres. Kelly (2002) menyatakan bahwa dengan menggunakan sense of humor, maka seseorang memiliki 3 keuntungan besar yakni pertama, penggunaan sense of humor membantu individu membentuk hubungan sosial yang baik; kedua, humor memiliki efek secara tidak langsung terhadap stres individu, dan yang ketiga, tertawa yang merupakan ekspresi dari pengalaman terhadap humor terbukti dapat mengurangi ketegangan syaraf akibat stres

E. HIPOTESA PENELITIAN

Berdasarkan pemaparan di atas, adapun hipotesa dari penelitian ini adalah terdapat pengaruh Sense of Humor terhadap stres pada Remaja dari kelas akselerasi di Kota Medan


(58)

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian sangat menentukan suatu penelitian karena menyangkut cara yang benar dalam pengumpulan data, analisa data, dan pengambilan kesimpulan hasil penelitian (Hadi, 2000). Peneltian ini merupakan jenis penelitian Korelasional yaitu penelitian atau penelaahan hubungan dua variabel atau lebih pada suatu situasi atau sekelompok subjek (Soekidjo, 2002). Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana pengaruh sense of humor terhadap stres pada remaja dari kelas akselerasi di Kota Medan. Tujuan penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (S. Suryabrata, 1997). Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara kuantitatif dengan menggunakan skala kuesioner.

A. IDENTIFIKASI VARIABEL

Identifikasi variabel penelitian merupakan langkah penetapan variabel-variabel utama yang menjadi fokus dalam penelitian serta penentuan fungsinya masing-masing (Azwar, 2000). Adapun variabel yang terlibat dalam penelitian ini, antara lain:

Variabel Tergantung (dependent variable) : stres Variabel Bebas (independet variable) : Sense of Humor


(59)

B. DEFINISI OPERASIONAL

1. Stres

Stres adalahmunculnya gejala biologis (sakit kepala berlebihan, tidur tidak nyenyak, gangguan pencernaan, hilangnya nafsu makan, gangguan kulit, dan produksi keringat yang berlebihan di seluruh tubuh), gejala kognisi (menurunnya daya ingat, mudah lupa terhadap suatu hal, kurang perhatian dan konsentrasi sehinnga sulit untuk fokus dalam melakukan suatu hal, gejala emosi (mudah marah, kecemasan berlebihan terhadap segala sesuatu, merasa depresi dan sedih), dan gejala perilaku (menyalahkan orang lain dan mencari kesalahan orang lain, suka melanggar norma, bersikap acuh tak acuh pada lingkungan, dan suka menunda pekerjaan)

Aspek yang digunakan adalah gejala stres, yakni:

a. Gejala Kognisi: gangguan daya ingat, perhatian, dan konsentrasi sehingga individu tidak konsentrasi dalam melakukan suatu hal

b. Gejala Emosi: mudah marah, kecemasan yang berlebihan terhadap segala sesuatu, merasa sedih dan depresi

c. Gejala Tingkah Laku: menyalahkan orang lain, mencari kesalahan orang lain, suka melanggar norma, tidak mampu mengontrol perilakunya dan bersikap acuh tak acuh terhadap lingkungan, suka menunda pekerjaan. Dalam penelitian ini, hanya difokuskan pada aspek psikologis dari stres sesuai dengan pendapat Sarafino (1994). Data mengenai tingkatan stres diperoleh dari Skala Strespada Remaja Kelas Akselerasiyang disusun dengan format


(60)

Skala ini berisikan 22 aitem dengan 9 aitem unfavorable dan 13 favorable. Skor tinggi pada skor total menandakan tingginya tingkatan stres pada responden sedangkan skor rendah pada skor total menandakan rendahnya tingkatan stres pada responden

2. Sense of Humor

Sense of Humor merupakan kemampuan seseorang untuk menggunakan

humor untuk menyelesaikan masalah, keterampilan seseorang untuk menciptakan humor, dan kemampuan menghargai atau menanggapi humor.

Pengukuran tingkatan sense of humor dalam penelitian ini menggunakan alat ukur MSHS (TheMultidimensional Sense of Humor Scale) yang telah dialih bahasakan oleh peneliti berdasarkan teori Thorson dan Powell(1997).Skala ini berisikan 24 aitem dengan 16 aitem favorable dan 8 aitem unfavorable. Skor tinggi pada skor total menandakan tingginya tingkatan sense of humor pada responden sedangkan skor rendah menandakan rendahnya tingkatan sense of

humor pada responden.Aspek yang digunakan dalam Skala Sense of humor ini

adalah:

1. Humor Production: kemampuan untuk menemukan humor pada setiap

peristiwa

2. Coping with Humor: kemampuan individu untuk menggunakan humor


(61)

3. Humor Appreciation: kemampuan individu untuk menghargai setiap humor yang ada dalam kehidupan sehari-hari

4. Attitude Toward Humor: kecenderungan untuk tersenyum dan tertawa

pada setiap situasi yang lucu

C. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL

1. Populasi

Populasi adalah seluruh penduduk atau individu yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama. Populasi memiliki karakteristik yang dapat diperkirakan dan diklasifikasikan sesuai dengan keperluan penelitian. Sedangkan sampel merupakan bagian atau sejumlah cuplikan tertentu yang diambil dari suatu populasi dan diteliti secara rinci (Hadi, 2000).

Penelitian ini ditujukan kepada populasi Remaja Kelas Akselerasi di Kota Medan yakni SMA Plus Sutomo 1, SMP Santo Thomas, SMA Plus Al-Azhar Medan, dan SMP Plus Al-Azhar, namun dengan keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti maka peneliti hanya menggunakan sebagian dari keseluruhan populasi yang dapat merepresentasikan populasi tersebut atau yang dikenal dengan sampel.


(1)

Durand, V. M. & Barlow, D.H. (2006). Intisari Psikologi Abnormal Edisi Ke-4.Penerjemah: Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Edi Purwanto (2007). Hakikat Layanan bagi Anak Berkebutuhan Khusus.

Gibson, J.T. (1980). Psychology for The Classroom. Second edition. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-H

Gifted education and Talent Development by Nova Scotia Education (2006). p.29

Hadi, S. (2000). Metodologi research. (Jilid I – IV). Yogyakarta: Andi Offset

Hallahan, D.P & Kauffman, J. M. (1988). Exceptional Children. 4th edition. Prentice Hall: Engelwood Cliffs, New Jersey.

Hardman, M. L., Drew, CJ., & Egan, M. W. (1996). Human Exceptionality: Society, schoold and family. (5th ed.), Needham Heights, MA: Allyn & Bacon

Hartanti, (2002). Peran Sense of Humor dan Dukungan Sosial Pada Tingkat Depresi Penderita Dewasa Pasca Stroke. Anima: Indonesia Psychological Journal, Vol. 17, No.2

_________ (2005). Pengaruh Teknik Relaksasi Terhadap Skala Nyeri Pada Pasien Post Sectio Caesar di Ruang Mawar BP RSUD Bojonegoro Kabupaten Temanggung (Skripsi). Semarang: Universitas Muhummadiyah Semarang


(2)

Hasanat, N. U., & Subandi. (1998). Pengembangan Alat Kepekaan TerhadapHumor. Jurnal Psikologi. 1: 17-25.

Havighurst, Robert J .(1961). Human Development and Education. Longmans. Green and Co. New York

Havighurst, R. (1972). Development Task and Education (3rd ed.). New York: McKay

Hawadi, R. A. (2004). Akselerasi, A-Z Informasi Program Percepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual. Jakarta: PT. Grasindo

Hay, J. (2001). The Pragmatics of Humor Support. Humor, 14, 55-82

Henman, L. (2001). Humor as Coping Mechanism: Lessons from POWs. Humor, 14, 83-94.

Hurlock, E.B (2008) Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga

Hurlock (1990). Psikologi Perkembangan Edisi 5. Jakarta : Erlangga

Johana E. Purwitasari. (2005). Psikolterapi Pendekatan Konvensional dan Kontemporal. (Yogjakarta: Pustaka belajar)

Johnsen, S. K.(2004). Identifying Gifted Students: A practical Guide. Waco, TX: Prufrock Press

Klein, A. (1989). The Healing Power of Humor. New York: Jeremy P. Trachea/ Putnam.


(3)

Kuiper, N. A., Martin, R. A., & Olinger, L. J. (1993). Coping Humour, stres, and cognitive appraisals. Canadian Journal of Behavioural Science, 25, 81-96

_______________________________________ (1998). Is Sense of Humor a Positive Personality Characteristic? In Ruch, W. (ed.), The Sense of Humor: Explorations of a Personality Characteristic. Berlin/ New York: Mouton de Gruyter, 159-178

Kuiper, Nicholas A., Sandra D. McKenzie, and Kristine A. Belanger (1995). Cognitive Appraisals and Individual Differences in Sense of Humor: Motivational and affective implications. Personality and Individual Differences 19, 359 – 372.

Lefcourt, Herbet M., Karina Davidson, Kenneth M. Prkachin, and David E. Mills (1997). Humor as a stres moderator in the prediction of blood pressure obtained during five stresful tasks. Journal of Research in Personality 31, 523 – 542

Marcia, J.E (1989). Identity and intervention. Journal of Adolescence. Markam Sumarmo.(2003).Psikologi Klinis, Jakarta: UI Press

Martin, Rod A. (1996). The Situational Humor Response Questionnaire (SHRQ) and Coping Humor Scale (CHS): A decade of research findings. Humor: International Journal of Humor Research 9 (3/4), 251 – 272.


(4)

Musbakin, imam. (2005). Kiat-Kiat Sukses Melawan Stres.

Nezlek, J., & Derks, P. (2001). Use of Humor as a coping Mchanism, Psychological Adjustment, and social Interaction. Humor, 14, 395-413

Notoatmodjo, S. (2007). Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta : PT. Rineka Cipta

______________(2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Edisi revisi. Jakarta: PT. Rineka Cipta.

Olpin, M. N (1997). Perceived stres levels and sources of stres among college students: Methods, frequency, and effectiveness of managing stres by college students. Dissertation Abstracts International Section A: Humanities & Social Sciences, 57, 4279.

Ormrod, J. E (2003). Educational Psychology, Developing Learners. New Jersey: Upper Saddle River. Al, Inc

Santrock, J.W. (2003). Perkembangan Remaja. Jakarta : Erlangga

Sarafino, E. (1990). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. New York: John Wiley & Sons

____________ (1994). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. Ney York: John Wiley & Sons. Inc

_____________. (1999). The Hassles Assessment Scale for Students in Collage: Measuring the frequency and unpleasantness of and dwelling on stresful events. Journal of American College Health.


(5)

____________ (2002). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. Fifth Edition.

Simon, B., Sidney (1972). Values Clarification; a hand Book of Practical Strategies for Teacher ad Students Hard Publishing Company, New York

Southern, W. T and Jones, E. D (1991). The Academic Acceleration of Gifted Children. New York: Teachers Colleges Press

Supangat. (2007) Statistika dalam Kajian Deskriftif, Inferensi dan Non parametric . Edisi Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Sudrajat (2008). Lesson Study untuk meningkatkan Proses dan Hasil Pembalajaran. Tersedia: http://akhmadsudrajat.wordpres.com

Suryabrata, Sumadi (1997), Metode Penelitian, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Stuart, G. W & Laraia, M. T (2005). Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 8th edition. St. Louis: Mosby Bokk Inc

Warga, R.G. (1983). Personal Awareness A Psychology of Adjustment. Third Edition. Boston: Houghton Mifflin Company. Waitz, Grete; Stromme, Sigmund; Railo, Willi S. Conquer Stress with Grete Waitz, (terjemahan Sinta A. W). Bandung: Angkasa.

Weinberg, Robrt S: Gould, Daniel (2003). Foundations of Sport and Exercise Psychology, 3rd edition. Champaign, Il. : Human Kinetics


(6)

Widyasari, C. (2008). Program Pengembangan Kompetensi SOsial untuk Remaja Siswa Kelas Akselerasi. Tesis magister pada PPMPP Universitas Muhammadiyah Surakarta: tidak diterbitkan

Winanti, dkk. (2007). “Gambaran Kecerdasan Emosional Siswa Berbakat di Kelas Akselerasi SMA di Jakarta”. Jurnal Psikolog Vol. 5 No. 1, Juni 2007 Wong, Donna L. (2004). Pedoman Klinis Keperawatan Pediatrik Edisi 4. Jakarta :

EGC

Yusuf, S.(2001). Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : PT Remaja Rosdakarya.