Pendekatan Irfani dalam Istimbat Hukum
Pendekatan Irfani dalam Istimbat Hukum
DRS. H. ISMAIL THAIB
Dari sini jadilah al-'irfaniyah dipandang bahwa dia ditegakkan di atas pluralitas bukan kesatuan,
di mana di sana tidak ada satu madzhab 'irfani, tetapi berbilang/sejumlah madzhab. Dalam
kenyataannya, pnomena plural dan perbedaan dalam lapangan gnosis adalah gejala lama. Para
tokoh gereja yang memerangi orang-orang telah gnostic telah tersadarkan oleh para pengikut
“Valentin”, tokoh dari Iskandariah, meninggal tahun 161 M. Berkenaan dengan mereka itu,
Uskup Irenee, Uskup Lota Lion awal tahun 177 AD (M), telah mengatakan: “Mustahil untuk
menjumpai dua atau tiga orang dari mereka yang mengatakan sesuatu yang sama sekitar topik
yang sama. Mereka saling membatalkan dengan bentuk yang mutlak, baik dalam tingakatn katakata ataupun tingkatan perkara-perkara”. Lihat: Serge Hutin, Les gnosuques, Collection que-je
(Paris: Presses Universitaires, [s.a.] P.5). Demikianlah, dengan mengecualikan Mandaiyah dan
Manawiyah yang masing-masing dari keduanya membentuk suatu agama yang berdiri sendiri,
maka gnosis-gnosis yang lain menampilkan dirinya tidak sebagai agama-agama baru, tetapi
sebagai "dimensi batin bagi syari'at yang berdiri tegak" (Ibid, p. 57).
Jelaslah bahwa adanya saling interpense antara gnose dengan gnosticisme membuat perbedaan
antara keduanya merupakan kepentingan metodologis. Hal itu sebagaimana yang dikukuhkan
oleh muktamar yang diselenggarakan oleh para peneliti spesialis dalam lapangan ini pada bulan
April/Nisan tahun 1966 di kota Missine, Itali. Pendapat dalam muktamar ini telah menetapkan
pentingnya pembedaan antara gnose sebagai pengetahuan terhadap rahasia-rahasia ketuhanan,
yang khusus dimiliki oleh orang-orang pilihan tertentu, dengan gnosticisme sebagai aliran
keagamaan yang muncul pada abad II AD secara khusus (Christian Jamber, La Logique des
orientaus, [Paris: Editions du Seuil, 1983], p. 171) dan yang disebutkan bahwasanya dia sebagai
penguat terhadap macam pengetahuan di atas pengetahuan akal dan yang lebih tinggi darinya, dia
merupakan pengetahuan batin yang bukan hanya berkenaan dengan perkara-perkara agama saja,
tetapi juga berkenaan dengan segala yang bersifat rahasia dan tersembunyi, seperti sihir, astrologi
dan kimia ...etc. Ini dari satu segi, dan dari segi lain terjadi perubahan, mulai dekade awal dari
abad ini, dia merupakan metode interaksi para peneliti Eropa dengan pnomena gnosticisme.
Setelah dia dipandang dari sudut pandang gereja secara khusus sepanjang abad-abad yang lalu,
yang memandang bahwa dia adalah bid'ah yang berbahaya yang wajib diperangi, maka para
peneliti masakini (kontemporer) berupaya menggali hakekat dari pnomena ini, dan faktor-faktor
penyebab topicalnya dan hal itu dengan memfungsikan metode-metode modern, dan di baris
terdepannya adalah metode pnomenologi yang menganalisis pnomena dan mendeskripsikannya
serta berupaya memahaminya dari dalam; juga dengan memfungsikan metode kritik sejarah yang
mengkaji pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan/teori-teori gnosticisme dan tinjauan
rasional komparatif.
Dalam kenyataannya adalah bahwa macam (gnosticisme) ini memiliki "pembagian kerja" yang
membebaskannya, di mana dalam gnosticisme itu terdapat dua sisi yang berbeda, yaitu: gnose
sebagai konteks/sikap terhadap alam, dan gnose sebagai teori/pandangan untuk menafsirkan alam
dan manusia, permulaan dan akhir keduanya. Meskipun kedua sisi itu saling bertalian dan saling
mendukung, sehingga tampak gnose sebagai konteks/sikap merupakan mahkota bagi gnose
sebagai pandangan/teori, dan tampak gnose sebagai pandangan/teori merupakan landasan bagi
gnose sebagai konteks/sikap, dan bahwa sejarah pnomena gnose sudah dikenal, paling
tidak/minimal sejak masa kejayaan gnosticisme pada abad II AD, yang merupakan dua arus
yang saling menyempurnakan/melengkapi, tetapi saling berbeda: salah satunya melindungi sisi
sikap, baik sikap individu, kejiwaan, pemikiran dan perbuatan, yang tersimpul dalam penolakan
terhadap alam dan berusaha keras untuk berhubungan dengan Tuhan dan masuk bersamanya
dalam semacam kesatuan. Yang keduanya, mengandung sisi penafsiran, penakwilan dan upaya
untuk memperkokoh pandangan/teori keagamaan yang bersifat falsafi guna menjelaskan
perkembangan makhluk dari awal sampai akhir.
Yang kita perlukan dalam pengantar ini adalah mengemukakan secara garis besar (global)
berkenaan dengan kedua sisi ini dengan bersumber pada referensi baru dan teks-teks lama yang
asli, sambil menghindari penunjukan, baik secara dekat atau pun jauh, kapada gnose dan
gnosticisme-gnosticisme yang ada dalam Islam. Jika pembaca meninjau, yakni melihat adanya
kesesuaian antara segi ini atau itu dengan apa yang dikenal dan pendapat-pendapat para
mutashowwif Islam, atau pandangan-pandangan Syi'ah Imamiyah dan Ismailiyah, serta para
filsuf dan kalangan bathiniyah dan isyroqiyah (illuminasi), maka pengantar ini akan berarti telah
mewujudkan perhatiannya dengan bentuk yang berlipatganda, yaitu: Pengantar pada gnose dalam
Islam dan sekaligus menyingkap asal-usul kesejarahannya. Adapun jika pembaca tidak dapat
melihat sesuatu dari hal itu, kami sungguh berharap semoga pembaca menjumpai dalam
pengantar ini sesuatu yang memudahkan untuk terjun bersama kami ke dalam gelombang
pemikiran gnosis ('irfani) dalam Islam dengan berbagai kecenderungan dan arus-arusnya.
Kita mulai dengan gnose sebagai sikap.
IRFAN SEBAGAI PENDIRIAN (2)
Sebagaimana telah kita katakan, ‘irfan adalah dari satu sisinya merupakan sikap terhadap alam
(Dalam alinea ini kita gunakan sebagai landasan: Puech, En quite de la gnose, vol. I.), yaitu suatu
sikap jiwa, pemikiran dan "eksistensi", tidak itu saja tetapi juga sikap umum terhadap alam yang
mencakup kehidupan, perjalanan hidup dan tempat kembali. Sifat umum yang menjadi ciri dari
sikap ini adalah berpaling dan lari dari alam dan mengadukan situasi manusia di dalamnya, serta
selanjutnya diikuti oleh mempermasalahkan pengagungan individu dan subjektifitas, yaitu
pengagungan “al-'arif” terhadap "ego"nya.
Sikap ini awal mulanya bertolak dari kegelisahan dan perasaan takut terhadap realitas yang sang
'arif mendapatkan jiwanya terjatuh di dalamnya, yaitu: realitas yang didalamnya dia hidup
sebagai jiwa yang terbelenggu dalam badan, dan sebagai individu yang terkurung bingkai dalam
masyarakat, sehingga dia tidak mendapatkan selain sesuatu yang buram dan keruh, selain sesuatu
yang membuatnya merasa bahwa dirinya terkurung dan diperbudak. Maka tampaklah alam
baginya seluruhnya jahat dan jadilah problema pokoknya, bahkan satu-satunya problema adalah
problema kejahatan dalam alam: Kenapa alam mengandung kejahatan? Kenapa dia harus
menantang kejahatan di dalamnya? Apakah gerangan sumbernya?
Dari kesadaran terhadap situasi inilah, sikap ‘irfan mulai, dan dari permakluman penentangan
terhadap situasi inilah dia bertolak: Pertama dengan menampakkan keterdesakan dan keluhan
terhadapnya, kemudian pada akhirnya menyatakan ketaksukaan dan permusuhan terhadapnya
dengan memperlihatkan sikap respek dan penentangan terhadapnya. Orang ‘arif, ketika menolak
situasi ini dalam keadaannya sebagai realitas ekstrinsik, dia juga menolaknya sebagai kesadaran
instrinsik : dia menolaknya sebagai syarat kehidupan dan menolak dirinya sebagai wujud yang
harus patuh kepada syarat ini. Dari sinilah merebaknya rasa keterasingan dalam bentuk yang
berlipat ganda: Dia merasakan keterasingan dalam dunia yang dia lihat asing secara sempurna.
Oleh karena itu dia mengarahkan perbedaan dirinya dan alam ini kepada keterpisahan dan
keterputusan dari alam itu. Dari sinilah munculnya ungkapan yang diulang-ulang oleh
kebanyakan dari kalangan orang-orang ‘arif terdahulu: "Jika kamu berada dalam alam, kamu
bukanlah bagian dari alam itu", saya asing di dalamnya dan asing darinya.
Perasaan-perasaan "'arif" dengan keterasingan adalah perasaan-perasan perpaduan yang
mengandung hal-hal yang memiliki perpaduan yang dikandung oleh kata "asing". Sang 'Arif
merasa bahwa dia asing dari alam ini: dia bukan bagian darinya, dia hanya semata dilemparkan
ke dalamnya oleh sesuatu lemparan. Pada suatu waktu dia juga menyadari situasi keasingan ini,
yakni merasakan keterasingan situasinya. Persoalan di sini tidak berhubungan dengan perasaanperasaaan keterasingan pada eskalasi sosial dan psikologi saja, tetapi sang “'arif” menjumpai
dirinya asing dari alam sebagai keseluruhan, asing dari alam semesta yang dia jumpai dirinya di
dalamnya dan terkurung olehnya. Dia asing darinya, karena dia merasa bahwa dirinya bukan
bagian dari alam itu, karena dia berbeda dari alam, baik secara essensi maupun
tabiat/karakternya. Selanjutnya, pensifatan asing juga merebak pada alam dan pada kekuatan
yang menciptakan dan mengaturnya, sebagaimana merebak pula pada setiap bagian dari alam itu
yang diletakkan pada posisi sebagai sesuatu yang merubah "aku/ego": yaitu aku/egonya 'arif,
secara sempurna seperti dari apa yang digambarkan bahwa dia terletak di luar atau di atasnya.
Demikianlah, pertama dia ada di dalam alam, kemudian kedua ada pada kebalikannya, dan ketiga
berada di luarnya, sang "'arif" membatasi letaknya dan memperkenalkan diri mengikuti
subjektifitasnya dalam posisinya sebagai orang asing. Tingkatan-tingkatan keasingan inilah yang
dialaminya sesuai dengan fase-fase yang ditempuhnya dalam perenungan 'irfaninya.
Demikianlah, jika keasingan sang 'arif dibatasi dalam tingkatan pertama dan kedua sebagai
hubungan negatif antara dia dengan alam (dia asing dari alam dan alam pun asing dari dia), maka
pada tingkat ketiga mengambil makna mutlak, yaitu makna positif secara sempurna. Keasingan
pada tingkatan ini bukanlah keasingan yang berkenaan dengan situasi, tidak pula berhubungan
dengan sesuatu yang lain, tetapi dia membatasi alam dalam dan dengan subjektifitasnya yang
lepas dan posisinya lebih tinggi dari alam.
Dari sinilah timbulnya kecenderungan yang liar, yang menguasai sang ‘arif, yang
membangkitkan kerinduannya untuk pergi meninggalkan alam ini, untuk membebaskan diri dari
cengkraman dan belenggunya, serta pergi jauh darinya, pergi ke tempat di mana dia dapat
mengembalikan kesempurnaan kebebasannya/kemerdekaannya, kesempumaan kepemilikan
terhadap dirinya sendiri. Demikianlah sang 'arif disertai oleh harapan yang bergelora untuk
menjadi dirinya sendiri, untuk mengembalikan ketergantungan pada dirinya, untuk kemudian ikut
dengan "alam yang lain", yaitu alam yang tinggi yang lepas dari ruang dan waktu, alam
"kehidupan hakiki", alam tentram, sempuma dan bahagia, alam yang dia berada di dalamnya,
keluar darinya dan kembali kepadanya, bahkan alam yang pada hakekatnya tidak berpisah
denganya walau sejenak pun. Secara ringkas, sang 'arif bekerja sepanjang fase-fase kerja
kerasnya pada sikap 'irfani, guna menyingkap keberadaannya yang hakiki di sela-sela
meninggalkan bentuk yang diberikan padanya dari dirinya pada situasinya dalam alam yang
menjaminnya. Dia berusaha untuk mengetahui, bahkan untuk memperbaharui pengetahuannya
terhadap hakikatnya dan keakuan sesungguhnya yang asli. Kemudian dia berusaha untuk kembali
menjadi apa yang pada hakekatnya harus ada padanya. Sesungguhnya sikap 'irfani tersimpul pada
pencarian tentang subjektifitas, tentang hakekat dan essensinya yang asli.
Dari sini timbul tiga pertanyaan yang saling bertalian yang menyimpulkan bentuk sikap 'irfani,
bahkan seluruh bentuk 'irfani, sebagai sikap dan pandangan. Hal itu, bahwa sang 'arif ketika
meletakkan hakekat letak pertanyaan dan mempertanyakan: "Siapa saya?", pada waktu yang
sama terlontar tiga pertanyaan: "Dari mana saya datang?". "Dimana saya sekarang?" Dan "akan
kemana saya pulang?" ltulah dia ma'rifat, bahkan itu pula 'irfan, yang sang 'arif berusaha untuk
mencapai dan menguasainya, bukan dari sela-sela perenungannya terhadap alam. Bagaimana bisa
dia mendapatkan jawaban dalam alam, sedangkan alam itu asing dan semuanya jahat? Tidak
pula dia mendapatkan jawaban dengan menggunakan indra dan akalnya, karena bagaimana dia
bisa mengandalkan keduanya, sedangkan keduanya bertalian dengan alam ini? Jika demikian
maka yang bisa dilakukan sang 'arif hanyalah berkeinginan keras dan berobsesi untuk
mendapatkan pengetahuan yang diharapkannya secara langsung dari kekuatan tinggi yang dia
terikat padanya dan berusaha untuk mengikutinya. Dari sini sang 'arif mulai memfungsikan
agama dan pengetahuan-pengetahuan keagamaan untuk mendorong sikap 'irfani kepada
jangkauannya yang lebih jauh, kepada pencarian keabadian, untuk kembali kepadatempat
tinggalnya yang asli. Agama mengemukakan padanya sejarah sebelum dan sesudah sejarahnya:
maka dari situlah dia tahu bahwa dia telah ada sebelum keberadaannya yang tergadaikan dalam
alam ini. Dan bahwasanya dia datang ke alam ini dari alam lain yang terletak di luar alam ini dan
lepas dari batasan-batasan ruang dan waktu. Demikianlah, dengan mudah dia merasa puas, atau
dirinya masib terus merasa puas, bahwa dirinya secara alamiah bergantung pada alam yang lain
yang terletak di luar kejadian dan tidak patuh pada logikanya, dan selanjutnya dzat hakikinya
adalah secara sempurna dari alam lain, yaitu; alam abadi.
Inilah konsepsi yang dikukuhkan sang 'arif pada dirinya tentang dirinya yang membuatnya sadar,
bahkan merasa puas bahwa dia tidak bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi dalam alam,
sehingga dia melihat dirinya "terbebas" (tidak bersalah), bagai tidak bersalahnya anak kecil, atau
bagai tidak bersalahnya Adam sebelum keluar dari sorga. Lalu semakin bertambah terpuaskan
dengan kenyataan bahwa keberadaannya yang tergadaikan dalam alam ini adalah sesuatu yang
tidak alami, sesuatu yang bertentangan dengan: hakekatnya yang abadi. Selanjutnya,
maka mesri "ketenatuhan" yang menimpanya, dan yang mengharuskan dia
mcnmggalkan alam abadi dan beriindung pada alam im yang dipenuhi oleh
kejahataa, pasri hal itumerupakan akibat dan dosa, akibat dan kesalahannya. Jika
demikian, maka dia harus mmengetahui sikap, posisi, dia hams bekeija demi
membebaskan din. Demikianlah dia semakin bertambah rindu untuk kembali
kepada keadaannya yang asli. Dia sungguh menggambarkan "kebangkitan dan
perilimplinan" bahwa hal itu adalah kembali kepada keadaan terdahulu yang
tinggi, keadaan kebebasan sempuma, keadaan di mana dia menanggalkan
pakaiannya, melapas pakaian kulitnya, lalu dia membebaskan din dan badannya
dan dan segala yang mengikatnya ke alam ini, untuk kembali kepada keadaan
yang dia milild sebelum dia lahir, bahkan kembali kepada keadaan sebelum
tubuhnya terbenhik. Itu adalah "regenerasi" atau kelahiran kembali, itulah tempat
kembali.
Kini sang *arif telah tahu dan mana dia datang, dan dia tahu bahwa tempat
kembalinya yang hakiki yang di dalamnya dia akan tertiebas dan penjara alam ini
adalah kembali ke tempat dan mana dia datang. Dalam kembalinya ini dan di
tempat kembalinya ituJah satu-satunya yang memungkinkan dia terbebas. Diajuga
telah mengetahui akan ke mana dia, dan dia tidak akan tinggal diam melainkan
hams menempuh perjalanan. Dia tahu bahwa jalan itu sulit dan rumit, dan dia
hanis menenipub dan melampauinya fase demi fase. Bahwa untuk membebaskan
din dan alam ini, yang pertama sekali dia dituntut untuk menghimpun
keterpecahan jiwanya, dia harus mengembalikan kepadanya kesatuannya yang
telah dipecahbelah oleh match dan dipisah-pisahkan oleh badan. Dia harus
bekerja untuk menyelematkannya dan alam kelengahan dan kesfa-siaan yang dia
tenggelam di dalamnya. Jika demikian, maka yang pertama kali hanis
dilakukannya adalah rekoleksi dengan mengembalikan kesatuannya dan
mengembalikan struktur keberadaan nihnya, dan itulah langkah pertama, langkah
yang pokok utamanya: ma 'rifatunnafsi (mengenal din).
Jika demikian, maka pembebasan dan penyelamatan din, keduanya dimulai
dan mengenal din, dengan pengenalan bukan sebagai bagian dan alam, tetapi
sebagai wujud yang lebih tinggi dan alam itu, dan dan karakteristik yang bukan
karakteristiknya. DemikianlaK jika manusia telah mengenal dirinya, jika dia
mampu menghimpunnya dan berbagai pecahan materi dan membebaskannya dan
penjara badannya, maka dia akan mengenal asal dan mana dia memancar, asalnya
yang bersifat samawi, bersifat ialahi yang abadi. Maka dia pun semakin
bertambah rindu kepada asalnya, manakala bertambah mengenal nya. Dan akan
tenis mengadakan komunikasi dengannya, sampai datang padanya saat di mana
dia merasa bahwa dirinya berada dalam jarak denganNya serentang dua ujung
busur atau lebih dekat lagi. Kemudian setelah itu datang saat dalam mana yang
merindu bersatu dengan yang dirindu, itulah saat "fana", atau menyatunya sang
*arif dengan asalnya.
ItuJah dia-sikap/posisi 'irfani, sebagaimana dia itu jelas sekali, sebagai
sikap/posisi individual, sikap/posisi perorangan demi pembebasannya sebagai
individual, dan lebih dari itu dia merupakan sikap "aristokiasi". Demikianlah,
bahwa macam pembebasan ini, atau macam jalan untuk pembebasan ini, bukan
10
dalam jangkauan pemahaman orang-orang pada urnumnya terhadap kepercayaan
'arif, tetapi dia terbatas pada pandangannya terhadap yang terbaik, terhadap yang
khusus, terhadap yang pilihan, mereka orang-orang yang dipilih Alloh, Hal itu
karena kerika manusia menjadi 'arif, dalam arti yang telah kita jelaskan, dia
benibah menjadi ruh (nous) yang miuni, benibah menjadi yang ada yang
bergantung .pada yang pilihan dan anak-cucu manusia yang membentuk kelas
Pmtematiques (para ruhaniawan) yang kemudian beibeda dan Psychiques(pan
psikiater), mereka yang memiliki jiwa yang memerlukan jiwa yang menjadi nih
yang tinggi, dan secara lebih cerroat berbeda dan Hyligues (orang-orang
materialis), atau charnets (orang-orang fisikis), mereka yang hanya (mempercayai
asal manusia) fisik-fisik, bahkan tanah saja. Dan sinilah penyebab adanya
peibedaan ini, dan menetapkan bahwa hal itu tidak boleh diperlihatkan dengan
jelas kepada orang-orang secara umum berkenaan dengan hakikat-hakikat yang
tersingkap padanya, karena mereka tidak akan memehaminya, karena mereka
bukan dan maqomnya (tingkatannya~evelnya). Jika demikian, maka dia hams
berhati-hati sekali, sehingga jangan sampai menyebarkan rahasia yang tersingkap
padanya, kecuali pada jamaah(kelompok) pilihan dan kalangan "salUcin " (orangorang yang menjalani laku guna mencapaima'rifat) yang membetnuk kelas "el it",
mereka orang-orang yang hanya mereka sendirilah yang tahu hakekat din mereka,
sebingga mereka mampu untuk mendapatkan ma'rifat(pengetahuan) berkenaan
dengan batm-batin perkara : maka 'irfan berbeda dengan "ilmu", karena 'irfan
adalah ma'rifat dengan "batin", sementara "ilmu" adalah semata-mata ma'rifat
dengan "lahir".
Jika demikian, apa kandungan ma'rifat "bathiniyah" ini? Sualu pertanyaan
yang mengalihkan kita dari 'irfan sebagai sikap dan penunjang kepada 'frfaniah
sebagai pandangan* sebagai madzbab falsafat agama. Tetapi -kita ingin
menegaskan sekali lagi bahwa kita tidak mengernukakan sesuatu pun dari kita
dalam analisis pnomenologi ini bagi sikap 'irfani. Peranan kita telah terbatas pada
seroata terjemah dan simpulandengan stil bahasa Arab yang kita usahakan dengan
keras agar dapat difah~ni dengan jelas. Adapun sumber yang kita kutip, telah kita
sebutkan dalam footnot terdahulu, dan unsur-unsur analisisaya tidak menyerap
dari mutashowwif Islam, tetapi dari teks-teks pare 'irfaniyyin terdahulu sebelum
munculnya Islam. Adapun sumber pemikiran sentralnya dalam sikap *irfani,
adalah pemikiran "turun dan kembalinya jiwa", tentang hal itu seorang peneliti
Eropa mengatakan sebagai berikut :"0rang-orang 'irfaniyyin dari kalangan orangorang Babilonia telah menjadikan mitos astrologi besar yang khusus dengan
turunnya jiwa dan kenaikannya : "Jiwa turun dari langit tmggi mengharungi
lingkran-lingkaran tujuh orbitasi bintang, pada setiap orbit masing-masing bintang
itu dia mendapatkan persiapan-persiapan khusus, dan setelah mati menempuh
proses sebaliknya, lalu jiwa-jiwa itu naik dan pada setiap orbit bintang dia
meninggalkan apa yang dahulu diambil darinya. Adapun pemikiran / gagasan
pembebasan yang membebaskan jiwanya oleh penyelamat yang menyelamatkan
bagian-bagian- cahayanya yang terpecah-pecah pada makhiuk-makhiuk dunia
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17-02
DRS. H. ISMAIL THAIB
Dari sini jadilah al-'irfaniyah dipandang bahwa dia ditegakkan di atas pluralitas bukan kesatuan,
di mana di sana tidak ada satu madzhab 'irfani, tetapi berbilang/sejumlah madzhab. Dalam
kenyataannya, pnomena plural dan perbedaan dalam lapangan gnosis adalah gejala lama. Para
tokoh gereja yang memerangi orang-orang telah gnostic telah tersadarkan oleh para pengikut
“Valentin”, tokoh dari Iskandariah, meninggal tahun 161 M. Berkenaan dengan mereka itu,
Uskup Irenee, Uskup Lota Lion awal tahun 177 AD (M), telah mengatakan: “Mustahil untuk
menjumpai dua atau tiga orang dari mereka yang mengatakan sesuatu yang sama sekitar topik
yang sama. Mereka saling membatalkan dengan bentuk yang mutlak, baik dalam tingakatn katakata ataupun tingkatan perkara-perkara”. Lihat: Serge Hutin, Les gnosuques, Collection que-je
(Paris: Presses Universitaires, [s.a.] P.5). Demikianlah, dengan mengecualikan Mandaiyah dan
Manawiyah yang masing-masing dari keduanya membentuk suatu agama yang berdiri sendiri,
maka gnosis-gnosis yang lain menampilkan dirinya tidak sebagai agama-agama baru, tetapi
sebagai "dimensi batin bagi syari'at yang berdiri tegak" (Ibid, p. 57).
Jelaslah bahwa adanya saling interpense antara gnose dengan gnosticisme membuat perbedaan
antara keduanya merupakan kepentingan metodologis. Hal itu sebagaimana yang dikukuhkan
oleh muktamar yang diselenggarakan oleh para peneliti spesialis dalam lapangan ini pada bulan
April/Nisan tahun 1966 di kota Missine, Itali. Pendapat dalam muktamar ini telah menetapkan
pentingnya pembedaan antara gnose sebagai pengetahuan terhadap rahasia-rahasia ketuhanan,
yang khusus dimiliki oleh orang-orang pilihan tertentu, dengan gnosticisme sebagai aliran
keagamaan yang muncul pada abad II AD secara khusus (Christian Jamber, La Logique des
orientaus, [Paris: Editions du Seuil, 1983], p. 171) dan yang disebutkan bahwasanya dia sebagai
penguat terhadap macam pengetahuan di atas pengetahuan akal dan yang lebih tinggi darinya, dia
merupakan pengetahuan batin yang bukan hanya berkenaan dengan perkara-perkara agama saja,
tetapi juga berkenaan dengan segala yang bersifat rahasia dan tersembunyi, seperti sihir, astrologi
dan kimia ...etc. Ini dari satu segi, dan dari segi lain terjadi perubahan, mulai dekade awal dari
abad ini, dia merupakan metode interaksi para peneliti Eropa dengan pnomena gnosticisme.
Setelah dia dipandang dari sudut pandang gereja secara khusus sepanjang abad-abad yang lalu,
yang memandang bahwa dia adalah bid'ah yang berbahaya yang wajib diperangi, maka para
peneliti masakini (kontemporer) berupaya menggali hakekat dari pnomena ini, dan faktor-faktor
penyebab topicalnya dan hal itu dengan memfungsikan metode-metode modern, dan di baris
terdepannya adalah metode pnomenologi yang menganalisis pnomena dan mendeskripsikannya
serta berupaya memahaminya dari dalam; juga dengan memfungsikan metode kritik sejarah yang
mengkaji pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan/teori-teori gnosticisme dan tinjauan
rasional komparatif.
Dalam kenyataannya adalah bahwa macam (gnosticisme) ini memiliki "pembagian kerja" yang
membebaskannya, di mana dalam gnosticisme itu terdapat dua sisi yang berbeda, yaitu: gnose
sebagai konteks/sikap terhadap alam, dan gnose sebagai teori/pandangan untuk menafsirkan alam
dan manusia, permulaan dan akhir keduanya. Meskipun kedua sisi itu saling bertalian dan saling
mendukung, sehingga tampak gnose sebagai konteks/sikap merupakan mahkota bagi gnose
sebagai pandangan/teori, dan tampak gnose sebagai pandangan/teori merupakan landasan bagi
gnose sebagai konteks/sikap, dan bahwa sejarah pnomena gnose sudah dikenal, paling
tidak/minimal sejak masa kejayaan gnosticisme pada abad II AD, yang merupakan dua arus
yang saling menyempurnakan/melengkapi, tetapi saling berbeda: salah satunya melindungi sisi
sikap, baik sikap individu, kejiwaan, pemikiran dan perbuatan, yang tersimpul dalam penolakan
terhadap alam dan berusaha keras untuk berhubungan dengan Tuhan dan masuk bersamanya
dalam semacam kesatuan. Yang keduanya, mengandung sisi penafsiran, penakwilan dan upaya
untuk memperkokoh pandangan/teori keagamaan yang bersifat falsafi guna menjelaskan
perkembangan makhluk dari awal sampai akhir.
Yang kita perlukan dalam pengantar ini adalah mengemukakan secara garis besar (global)
berkenaan dengan kedua sisi ini dengan bersumber pada referensi baru dan teks-teks lama yang
asli, sambil menghindari penunjukan, baik secara dekat atau pun jauh, kapada gnose dan
gnosticisme-gnosticisme yang ada dalam Islam. Jika pembaca meninjau, yakni melihat adanya
kesesuaian antara segi ini atau itu dengan apa yang dikenal dan pendapat-pendapat para
mutashowwif Islam, atau pandangan-pandangan Syi'ah Imamiyah dan Ismailiyah, serta para
filsuf dan kalangan bathiniyah dan isyroqiyah (illuminasi), maka pengantar ini akan berarti telah
mewujudkan perhatiannya dengan bentuk yang berlipatganda, yaitu: Pengantar pada gnose dalam
Islam dan sekaligus menyingkap asal-usul kesejarahannya. Adapun jika pembaca tidak dapat
melihat sesuatu dari hal itu, kami sungguh berharap semoga pembaca menjumpai dalam
pengantar ini sesuatu yang memudahkan untuk terjun bersama kami ke dalam gelombang
pemikiran gnosis ('irfani) dalam Islam dengan berbagai kecenderungan dan arus-arusnya.
Kita mulai dengan gnose sebagai sikap.
IRFAN SEBAGAI PENDIRIAN (2)
Sebagaimana telah kita katakan, ‘irfan adalah dari satu sisinya merupakan sikap terhadap alam
(Dalam alinea ini kita gunakan sebagai landasan: Puech, En quite de la gnose, vol. I.), yaitu suatu
sikap jiwa, pemikiran dan "eksistensi", tidak itu saja tetapi juga sikap umum terhadap alam yang
mencakup kehidupan, perjalanan hidup dan tempat kembali. Sifat umum yang menjadi ciri dari
sikap ini adalah berpaling dan lari dari alam dan mengadukan situasi manusia di dalamnya, serta
selanjutnya diikuti oleh mempermasalahkan pengagungan individu dan subjektifitas, yaitu
pengagungan “al-'arif” terhadap "ego"nya.
Sikap ini awal mulanya bertolak dari kegelisahan dan perasaan takut terhadap realitas yang sang
'arif mendapatkan jiwanya terjatuh di dalamnya, yaitu: realitas yang didalamnya dia hidup
sebagai jiwa yang terbelenggu dalam badan, dan sebagai individu yang terkurung bingkai dalam
masyarakat, sehingga dia tidak mendapatkan selain sesuatu yang buram dan keruh, selain sesuatu
yang membuatnya merasa bahwa dirinya terkurung dan diperbudak. Maka tampaklah alam
baginya seluruhnya jahat dan jadilah problema pokoknya, bahkan satu-satunya problema adalah
problema kejahatan dalam alam: Kenapa alam mengandung kejahatan? Kenapa dia harus
menantang kejahatan di dalamnya? Apakah gerangan sumbernya?
Dari kesadaran terhadap situasi inilah, sikap ‘irfan mulai, dan dari permakluman penentangan
terhadap situasi inilah dia bertolak: Pertama dengan menampakkan keterdesakan dan keluhan
terhadapnya, kemudian pada akhirnya menyatakan ketaksukaan dan permusuhan terhadapnya
dengan memperlihatkan sikap respek dan penentangan terhadapnya. Orang ‘arif, ketika menolak
situasi ini dalam keadaannya sebagai realitas ekstrinsik, dia juga menolaknya sebagai kesadaran
instrinsik : dia menolaknya sebagai syarat kehidupan dan menolak dirinya sebagai wujud yang
harus patuh kepada syarat ini. Dari sinilah merebaknya rasa keterasingan dalam bentuk yang
berlipat ganda: Dia merasakan keterasingan dalam dunia yang dia lihat asing secara sempurna.
Oleh karena itu dia mengarahkan perbedaan dirinya dan alam ini kepada keterpisahan dan
keterputusan dari alam itu. Dari sinilah munculnya ungkapan yang diulang-ulang oleh
kebanyakan dari kalangan orang-orang ‘arif terdahulu: "Jika kamu berada dalam alam, kamu
bukanlah bagian dari alam itu", saya asing di dalamnya dan asing darinya.
Perasaan-perasaan "'arif" dengan keterasingan adalah perasaan-perasan perpaduan yang
mengandung hal-hal yang memiliki perpaduan yang dikandung oleh kata "asing". Sang 'Arif
merasa bahwa dia asing dari alam ini: dia bukan bagian darinya, dia hanya semata dilemparkan
ke dalamnya oleh sesuatu lemparan. Pada suatu waktu dia juga menyadari situasi keasingan ini,
yakni merasakan keterasingan situasinya. Persoalan di sini tidak berhubungan dengan perasaanperasaaan keterasingan pada eskalasi sosial dan psikologi saja, tetapi sang “'arif” menjumpai
dirinya asing dari alam sebagai keseluruhan, asing dari alam semesta yang dia jumpai dirinya di
dalamnya dan terkurung olehnya. Dia asing darinya, karena dia merasa bahwa dirinya bukan
bagian dari alam itu, karena dia berbeda dari alam, baik secara essensi maupun
tabiat/karakternya. Selanjutnya, pensifatan asing juga merebak pada alam dan pada kekuatan
yang menciptakan dan mengaturnya, sebagaimana merebak pula pada setiap bagian dari alam itu
yang diletakkan pada posisi sebagai sesuatu yang merubah "aku/ego": yaitu aku/egonya 'arif,
secara sempurna seperti dari apa yang digambarkan bahwa dia terletak di luar atau di atasnya.
Demikianlah, pertama dia ada di dalam alam, kemudian kedua ada pada kebalikannya, dan ketiga
berada di luarnya, sang "'arif" membatasi letaknya dan memperkenalkan diri mengikuti
subjektifitasnya dalam posisinya sebagai orang asing. Tingkatan-tingkatan keasingan inilah yang
dialaminya sesuai dengan fase-fase yang ditempuhnya dalam perenungan 'irfaninya.
Demikianlah, jika keasingan sang 'arif dibatasi dalam tingkatan pertama dan kedua sebagai
hubungan negatif antara dia dengan alam (dia asing dari alam dan alam pun asing dari dia), maka
pada tingkat ketiga mengambil makna mutlak, yaitu makna positif secara sempurna. Keasingan
pada tingkatan ini bukanlah keasingan yang berkenaan dengan situasi, tidak pula berhubungan
dengan sesuatu yang lain, tetapi dia membatasi alam dalam dan dengan subjektifitasnya yang
lepas dan posisinya lebih tinggi dari alam.
Dari sinilah timbulnya kecenderungan yang liar, yang menguasai sang ‘arif, yang
membangkitkan kerinduannya untuk pergi meninggalkan alam ini, untuk membebaskan diri dari
cengkraman dan belenggunya, serta pergi jauh darinya, pergi ke tempat di mana dia dapat
mengembalikan kesempurnaan kebebasannya/kemerdekaannya, kesempumaan kepemilikan
terhadap dirinya sendiri. Demikianlah sang 'arif disertai oleh harapan yang bergelora untuk
menjadi dirinya sendiri, untuk mengembalikan ketergantungan pada dirinya, untuk kemudian ikut
dengan "alam yang lain", yaitu alam yang tinggi yang lepas dari ruang dan waktu, alam
"kehidupan hakiki", alam tentram, sempuma dan bahagia, alam yang dia berada di dalamnya,
keluar darinya dan kembali kepadanya, bahkan alam yang pada hakekatnya tidak berpisah
denganya walau sejenak pun. Secara ringkas, sang 'arif bekerja sepanjang fase-fase kerja
kerasnya pada sikap 'irfani, guna menyingkap keberadaannya yang hakiki di sela-sela
meninggalkan bentuk yang diberikan padanya dari dirinya pada situasinya dalam alam yang
menjaminnya. Dia berusaha untuk mengetahui, bahkan untuk memperbaharui pengetahuannya
terhadap hakikatnya dan keakuan sesungguhnya yang asli. Kemudian dia berusaha untuk kembali
menjadi apa yang pada hakekatnya harus ada padanya. Sesungguhnya sikap 'irfani tersimpul pada
pencarian tentang subjektifitas, tentang hakekat dan essensinya yang asli.
Dari sini timbul tiga pertanyaan yang saling bertalian yang menyimpulkan bentuk sikap 'irfani,
bahkan seluruh bentuk 'irfani, sebagai sikap dan pandangan. Hal itu, bahwa sang 'arif ketika
meletakkan hakekat letak pertanyaan dan mempertanyakan: "Siapa saya?", pada waktu yang
sama terlontar tiga pertanyaan: "Dari mana saya datang?". "Dimana saya sekarang?" Dan "akan
kemana saya pulang?" ltulah dia ma'rifat, bahkan itu pula 'irfan, yang sang 'arif berusaha untuk
mencapai dan menguasainya, bukan dari sela-sela perenungannya terhadap alam. Bagaimana bisa
dia mendapatkan jawaban dalam alam, sedangkan alam itu asing dan semuanya jahat? Tidak
pula dia mendapatkan jawaban dengan menggunakan indra dan akalnya, karena bagaimana dia
bisa mengandalkan keduanya, sedangkan keduanya bertalian dengan alam ini? Jika demikian
maka yang bisa dilakukan sang 'arif hanyalah berkeinginan keras dan berobsesi untuk
mendapatkan pengetahuan yang diharapkannya secara langsung dari kekuatan tinggi yang dia
terikat padanya dan berusaha untuk mengikutinya. Dari sini sang 'arif mulai memfungsikan
agama dan pengetahuan-pengetahuan keagamaan untuk mendorong sikap 'irfani kepada
jangkauannya yang lebih jauh, kepada pencarian keabadian, untuk kembali kepadatempat
tinggalnya yang asli. Agama mengemukakan padanya sejarah sebelum dan sesudah sejarahnya:
maka dari situlah dia tahu bahwa dia telah ada sebelum keberadaannya yang tergadaikan dalam
alam ini. Dan bahwasanya dia datang ke alam ini dari alam lain yang terletak di luar alam ini dan
lepas dari batasan-batasan ruang dan waktu. Demikianlah, dengan mudah dia merasa puas, atau
dirinya masib terus merasa puas, bahwa dirinya secara alamiah bergantung pada alam yang lain
yang terletak di luar kejadian dan tidak patuh pada logikanya, dan selanjutnya dzat hakikinya
adalah secara sempurna dari alam lain, yaitu; alam abadi.
Inilah konsepsi yang dikukuhkan sang 'arif pada dirinya tentang dirinya yang membuatnya sadar,
bahkan merasa puas bahwa dia tidak bertanggungjawab atas kejahatan yang terjadi dalam alam,
sehingga dia melihat dirinya "terbebas" (tidak bersalah), bagai tidak bersalahnya anak kecil, atau
bagai tidak bersalahnya Adam sebelum keluar dari sorga. Lalu semakin bertambah terpuaskan
dengan kenyataan bahwa keberadaannya yang tergadaikan dalam alam ini adalah sesuatu yang
tidak alami, sesuatu yang bertentangan dengan: hakekatnya yang abadi. Selanjutnya,
maka mesri "ketenatuhan" yang menimpanya, dan yang mengharuskan dia
mcnmggalkan alam abadi dan beriindung pada alam im yang dipenuhi oleh
kejahataa, pasri hal itumerupakan akibat dan dosa, akibat dan kesalahannya. Jika
demikian, maka dia harus mmengetahui sikap, posisi, dia hams bekeija demi
membebaskan din. Demikianlah dia semakin bertambah rindu untuk kembali
kepada keadaannya yang asli. Dia sungguh menggambarkan "kebangkitan dan
perilimplinan" bahwa hal itu adalah kembali kepada keadaan terdahulu yang
tinggi, keadaan kebebasan sempuma, keadaan di mana dia menanggalkan
pakaiannya, melapas pakaian kulitnya, lalu dia membebaskan din dan badannya
dan dan segala yang mengikatnya ke alam ini, untuk kembali kepada keadaan
yang dia milild sebelum dia lahir, bahkan kembali kepada keadaan sebelum
tubuhnya terbenhik. Itu adalah "regenerasi" atau kelahiran kembali, itulah tempat
kembali.
Kini sang *arif telah tahu dan mana dia datang, dan dia tahu bahwa tempat
kembalinya yang hakiki yang di dalamnya dia akan tertiebas dan penjara alam ini
adalah kembali ke tempat dan mana dia datang. Dalam kembalinya ini dan di
tempat kembalinya ituJah satu-satunya yang memungkinkan dia terbebas. Diajuga
telah mengetahui akan ke mana dia, dan dia tidak akan tinggal diam melainkan
hams menempuh perjalanan. Dia tahu bahwa jalan itu sulit dan rumit, dan dia
hanis menenipub dan melampauinya fase demi fase. Bahwa untuk membebaskan
din dan alam ini, yang pertama sekali dia dituntut untuk menghimpun
keterpecahan jiwanya, dia harus mengembalikan kepadanya kesatuannya yang
telah dipecahbelah oleh match dan dipisah-pisahkan oleh badan. Dia harus
bekerja untuk menyelematkannya dan alam kelengahan dan kesfa-siaan yang dia
tenggelam di dalamnya. Jika demikian, maka yang pertama kali hanis
dilakukannya adalah rekoleksi dengan mengembalikan kesatuannya dan
mengembalikan struktur keberadaan nihnya, dan itulah langkah pertama, langkah
yang pokok utamanya: ma 'rifatunnafsi (mengenal din).
Jika demikian, maka pembebasan dan penyelamatan din, keduanya dimulai
dan mengenal din, dengan pengenalan bukan sebagai bagian dan alam, tetapi
sebagai wujud yang lebih tinggi dan alam itu, dan dan karakteristik yang bukan
karakteristiknya. DemikianlaK jika manusia telah mengenal dirinya, jika dia
mampu menghimpunnya dan berbagai pecahan materi dan membebaskannya dan
penjara badannya, maka dia akan mengenal asal dan mana dia memancar, asalnya
yang bersifat samawi, bersifat ialahi yang abadi. Maka dia pun semakin
bertambah rindu kepada asalnya, manakala bertambah mengenal nya. Dan akan
tenis mengadakan komunikasi dengannya, sampai datang padanya saat di mana
dia merasa bahwa dirinya berada dalam jarak denganNya serentang dua ujung
busur atau lebih dekat lagi. Kemudian setelah itu datang saat dalam mana yang
merindu bersatu dengan yang dirindu, itulah saat "fana", atau menyatunya sang
*arif dengan asalnya.
ItuJah dia-sikap/posisi 'irfani, sebagaimana dia itu jelas sekali, sebagai
sikap/posisi individual, sikap/posisi perorangan demi pembebasannya sebagai
individual, dan lebih dari itu dia merupakan sikap "aristokiasi". Demikianlah,
bahwa macam pembebasan ini, atau macam jalan untuk pembebasan ini, bukan
10
dalam jangkauan pemahaman orang-orang pada urnumnya terhadap kepercayaan
'arif, tetapi dia terbatas pada pandangannya terhadap yang terbaik, terhadap yang
khusus, terhadap yang pilihan, mereka orang-orang yang dipilih Alloh, Hal itu
karena kerika manusia menjadi 'arif, dalam arti yang telah kita jelaskan, dia
benibah menjadi ruh (nous) yang miuni, benibah menjadi yang ada yang
bergantung .pada yang pilihan dan anak-cucu manusia yang membentuk kelas
Pmtematiques (para ruhaniawan) yang kemudian beibeda dan Psychiques(pan
psikiater), mereka yang memiliki jiwa yang memerlukan jiwa yang menjadi nih
yang tinggi, dan secara lebih cerroat berbeda dan Hyligues (orang-orang
materialis), atau charnets (orang-orang fisikis), mereka yang hanya (mempercayai
asal manusia) fisik-fisik, bahkan tanah saja. Dan sinilah penyebab adanya
peibedaan ini, dan menetapkan bahwa hal itu tidak boleh diperlihatkan dengan
jelas kepada orang-orang secara umum berkenaan dengan hakikat-hakikat yang
tersingkap padanya, karena mereka tidak akan memehaminya, karena mereka
bukan dan maqomnya (tingkatannya~evelnya). Jika demikian, maka dia hams
berhati-hati sekali, sehingga jangan sampai menyebarkan rahasia yang tersingkap
padanya, kecuali pada jamaah(kelompok) pilihan dan kalangan "salUcin " (orangorang yang menjalani laku guna mencapaima'rifat) yang membetnuk kelas "el it",
mereka orang-orang yang hanya mereka sendirilah yang tahu hakekat din mereka,
sebingga mereka mampu untuk mendapatkan ma'rifat(pengetahuan) berkenaan
dengan batm-batin perkara : maka 'irfan berbeda dengan "ilmu", karena 'irfan
adalah ma'rifat dengan "batin", sementara "ilmu" adalah semata-mata ma'rifat
dengan "lahir".
Jika demikian, apa kandungan ma'rifat "bathiniyah" ini? Sualu pertanyaan
yang mengalihkan kita dari 'irfan sebagai sikap dan penunjang kepada 'frfaniah
sebagai pandangan* sebagai madzbab falsafat agama. Tetapi -kita ingin
menegaskan sekali lagi bahwa kita tidak mengernukakan sesuatu pun dari kita
dalam analisis pnomenologi ini bagi sikap 'irfani. Peranan kita telah terbatas pada
seroata terjemah dan simpulandengan stil bahasa Arab yang kita usahakan dengan
keras agar dapat difah~ni dengan jelas. Adapun sumber yang kita kutip, telah kita
sebutkan dalam footnot terdahulu, dan unsur-unsur analisisaya tidak menyerap
dari mutashowwif Islam, tetapi dari teks-teks pare 'irfaniyyin terdahulu sebelum
munculnya Islam. Adapun sumber pemikiran sentralnya dalam sikap *irfani,
adalah pemikiran "turun dan kembalinya jiwa", tentang hal itu seorang peneliti
Eropa mengatakan sebagai berikut :"0rang-orang 'irfaniyyin dari kalangan orangorang Babilonia telah menjadikan mitos astrologi besar yang khusus dengan
turunnya jiwa dan kenaikannya : "Jiwa turun dari langit tmggi mengharungi
lingkran-lingkaran tujuh orbitasi bintang, pada setiap orbit masing-masing bintang
itu dia mendapatkan persiapan-persiapan khusus, dan setelah mati menempuh
proses sebaliknya, lalu jiwa-jiwa itu naik dan pada setiap orbit bintang dia
meninggalkan apa yang dahulu diambil darinya. Adapun pemikiran / gagasan
pembebasan yang membebaskan jiwanya oleh penyelamat yang menyelamatkan
bagian-bagian- cahayanya yang terpecah-pecah pada makhiuk-makhiuk dunia
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 17-02