Pendekatan Irfani dalam Istimbat Hukum
Pendekatan Irfani dalam Istimbat Hukum
DRS. H. ISMAIL THAIB
Pengantar Redaksi:
Tulisan Prof. Drs. H. Asymuni Abdurrahman yang dimuat dalam rubrik Manhaj Tarjih pada SM
No. 8 Th. ke 87; 16-30 April 2002 M (3 Shafar-17 Shafar 1423 H) memperoleh tangapan dari H.
Ismail Thaib. Penulis sebelum memberi tanggapan terlebih dahulu mengemukakan tulisan AlJabiri dalam kitabnya yang bernama “Bunyatul Aqli Al-Arabi”, sehingga soal Irfani menjadi
gamblang. Berikut ini uraiannya:
Apakah ‘Irfan Itu?
(Suatu Pengantar) (1)
Al-'irfan, dalam bahasa Arab adalah mashdar (akar kata) dan 'arafa. Kata al-'irfan dan kata alma'rifah adalah semakna. Lisanul 'Arab menyebutkan: 'al-'irfan = al-'ilm (ilmu, pengetahuan).
'arafahu (ia telah mengetahui) -ya'rifuhu (ia mengetahui) - 'irfanan - dan ma'rifatan (ilmu,
pengetahuan). Kata al-'irfan muncul di kalangan para shufi Islam untuk menunjukkan pada
mereka terhadap jenis ma'rifat yang lebih tinggi, yang dilontarkan/dimasukkan pada kalbu dalam
bentuk “kasyf” atau "ilham". Hanya saja istilah ini belum tersebar penggunaannya dalam
literatur-literatur shufi, kecuali pada periode-periode akhir. Sejak permulaan di kalangan shufi
terdapat perbedaan antara ma'rifat (pengetahuan) yang diusahakan dengan indra atau dengan akal,
atau dengan keduanya sekaligus dengan ma'rifat yang dihasilkan melalui “al-kasyf” dan
"al-'ayan". Demikianlah kita menjumpai Dzun Nun al-Mishri yang wafat tahun 245 H
mengklasifikasi ma'rifat kepada tiga macam, yaitu : (1) ma'rifat tauhid : yaitu ma'rifat khusus bagi
orang-orang mukmin yang mukhlis (sejati); (2) ma'rifat argumentatif dan uraian: yaitu makhrifat
khusus pada kalangan hukama (orang-orang bijak, filsuf), bulago (retoris) dan para ulama sejati;
dan (3) ma'rifat sifat al-wahdaniyyat : makrifat yang demikian itu khusus bagi para kekasih Allah
yang mukhlis (sejati) yang menyaksikan Allah dengan kalbu-kalbu mereka, sehingga Al-Haqq
(Tuhan) menampakkan hakikat kebenaran pada mereka yang tidak ditampakkannya pada seorang
pun dari kalangan para ilmuwan yang lain (Kami Mushthofa asy-Syaibi, Ash-Shillah bainat
Tashowwuf wat Tasyayyu' (al-Qohiroh: Darul Ma'arif; 1969), p. 363, mengutip dari; Tadzkirotul
Auliya (terjemahan ke dalam bahasa Arab) (Leiden, Beril, 1905-1907), Jilid I, p. 111.). AlQusyairi menisbatkan kepada Abi Ali ad-Daqqoq kata-katanya :"Dan orang-orang, ada ashbabun
naqli wal atsar (ahli Naqli), dan ada para pakar akal dan pikir (Ahli ro'yu). Sementara para syeikh
kelompok ini (=para shufi), mereka meningkat di atas semua kelompok ini. Sesuatu yang gaib.
bagi orang-orang hal itu bagi mereka tampak jelas. Pengetahuan-pengetahuan yang bagi makhluk
yang menjadi tujuan, bagi mereka sudah ada dari Allah SWT. Mereka ahli mencapai hakekat,
sedangkan orang-orang adalah ahli mencari pembuktian (Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi,
ar-Risalah, (Beirut; Darul Kitab al-‘Arobi, [t.t]), p. 180-181). Para shufi dalam membedakan
antara derajat-derajat yang tiga berkenaan dengan ma'rifat, burhaniyah, bayaniyah dan 'irfaniyah~
telah memfungsikan penggunaan kata "yaqin" yang disebutkan dalam Al-Qur'an, yang diiringi
dengan kata "haqq" dalam firman Allah Ta'ala: ……. (Sesungguhnya yang disebutkan ini adalah
benar-benar haqqul yaqin [al-Waqi’ah, 57-95]); dan dengan kata “‘ilm” dalam firman Allah
Ta'ala : ……..(Janganlah begitu, jika kalian mengetahui secara 'ilmal yaqin [at-takatsur, 102:5]);
kemudian dengan kata “’ain” dalam firman Allah Ta'ala: …… (Kemudian kalian benar-benar
akan melihatnya dengan 'ainal yaqin [at-Takatsur, 102 : 7]). Al-Qusyairi menjelaskan perbedaan
ini :"'Ilmul yaqin” berdasar keharusan istilah mereka adalah sesuatu yang memenuhi syarat "alburhan", '"Ainal yaqin" adalah pengetahuan yang memenuhi kriteria "al-bayan", dan haqqul
yaqin adalah ilmu yang memenuhi sifat "al-'ayan". 'llmul yaqin adalah bagi para ahli rasio, 'ainal
yaqin adalah bagi para ahli ilmu pengetahuan, dan haqqul yaqin adalah bagi para ahli ma'rifat
(Ibid: p. 44. Kita akan kembali pada perbedaan antara al-bayan, al-Burhan dan al-‘irfan yang
dikemukakan al-Qusyairi pada fasal yang akan datang). Perbedaan antara al-burhan dengan al-
'irfan, mencapai puncaknya dalam kebudayaan Arab Islam pada kalangan mutashowwif penganut
faham isyroq, seperti as-Suhrowardi yang memisahkan secara jelas dan menarik antara "alhikmah at-bahtsiyyah" yang ditegakkan di atas deduksi, penelitian dan pembuktian, dan "alhikmah al-isyroqiyah" yang ditegakkan di atas "al-kasyf" dan "al-isyroq" . Dia menjadikan
Aristoteles sebagai pemimpin yang pertama dan Plato pemimpin yang kedua (As-Suhrowardi, AlMuthorohat, alinea ke 141. Dia mengatakan: “Pemimpin para penganut faham al-isyroq adalah
Plato dan pemimpin penganut al-masyai adalah Aristoteles).
Kenyataannya, perbedaan antara al-burhan, atau metode pandangan akal dengan al-'irfan, atau
metode ilham dan kasyf, telah dikenal beberapa abad sebelum Islam. Di antara yang
menunjukkan hal itu ialah bahwa "Amlikho", dari negeri Kalkhis : 'Anjar, yang disebutkan oleh
sebagian sumber, yang hidup antara abad kedua dan ketiga AD (Anno Domino = setelah kelahiran
Isa), dia adalah salah seorang dari kalangan para filsuf Timur paling terkemuka yang
membedakan dengan jelas antara metode (sistem) filsafat Aristoteles dengan metode (sistem)
filsafat Hermes. Dia telah mengatakan dalam surat yang ditujukan kepada muridnya :"Jika kamu
dihadapkan pada masalah filsafat, maka kita akan menetapkan/menghukuminya buat kamu sesuai
dengan metode/sistem filsafat Hermes yang digunakan oleh Plato dan Pitagoras pada masa dulu
untuk menetapkan falsafat mereka berdua” (Disebutkan dalam: Yusuf Hauroni, al-Binyah alDzihniyah al-Hadloriyah fi al-Masyriq al Mutawassithi al-Asyiawi al-Qodim, (Beirut, Dal alNahar, 1978), p. 26, dikutip dari: Jamblique, Des mysteces d’Egypte (Paris, Societe des editions
des belles lettres, 1966), p. 41). Dan diketahui, bahwa Amlikho ini adalah Jamblichus, dia salah
seorang dari kalangan para filsuf penganut faham Hermes yang menjalankan peranan besar dalam
pembentukan falsafat Hermesiah (Lihat: P. Festugide, La revelation d’Hermes Trismogiste (Paris:
Societe des editions des belles lettres, 1981), vols, I: 2), dan dia dikenal di kalangan para
penerjemah dan para pengarang Arab.
Hanya saja perbedaan antara metode Aristoteles dengan metode Hermes tidak khusus pada
Amlikho sendiri saja, tetapi tampak pada masa itu seluruhnya. Bahkan mungkin dikatakan secara
umum, bahwa al-'irfan, adalah struktur pengetahuan yang tersebar pada masa Helenisme dengan
ketiga periodenya, yang membentang dari akhir abad IV Be seiring masa Yunani Murni sampai
dengan pertengahan abad VII AD seiring dengan munculnya Islam dan tersebarnya penaklukanpenaklukan. Masa Helenisme adalah masa Yunani-Romawi campuran, menyusul masa Yunani
Murni yang dikenal berakhir bersama meninggalnya lskandar Macedonia dan tercabik-cabiknya
imperiumnya. Helenisme dinisbatkan kepada Helienes, yaitu orang-orang Grics atau orang-orang
Yunani. Pada masa yang membentang dari abad IV BC (Bifore Christ = Sebelum Kelahiran Isa)
sampai abad VII AD, tersebar aliran-aliran filsafat berikut: Stoaisme, Epiqurisme, dan aliranaliran skeptis yang diikuti oleh segi-segi yang mengarah kepada ekleksi dan segi-segi yang
mengarah kepada diniyyah irfaniyah, Stoaism Mutakhir, Neo Pitagorism, Epiqurism Mutakhir,
dan falsafah Helenis Yahudi, menyusul kemudian Neo Platonisme dan aliran-aliran 'lrfani Timur.
Hal itu menunjukkan bahwa pada masa ini disaksikan adanya penolakan luas terhadap
rasionalitas Yunani, lalu tersebarlah "rasionalitas masa depan (Lihat: Muhammad Abid al-Jabiri,
Takwin al-‘Aql al-‘Arobi, Silsilah Naqd al-‘Aql al-‘Arobi, (Beirut: Dar al-Tholi’ah, 1984, Jld. I,
Fsl. 8), dan pencarian “al-‘irfan” menjadi perhatian seluruh masa ini. Demikianlah, maka "al'irfan" adalah struktur pengetahuan dan metode/sistem dalam mengusahakan pengetahuan dan
memandang terhadap alam dan juga sikap terhadapnya, yang berpindah kepada kebudayaan Arab
Islam dan kebudayaan-kebudayaan yang tersebar sebelum Islam di Timur Dekat, dan dengan cara
yang khusus di Mesir, Suriyah, Palestina dan Irak (Ibid, Jld I, Fsl. 9). Jika demikian, maka dalam
pengantar ini kita akan memperkenalkan kandungan "al-'irfan" sebelum dia berpindah ke dalam
Islam, untuk kemudian setelah itu, dalam fasal berikut, kita akan melihat, bagaimana dia berhasil
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berfungsinya dalam kebudayaan Arab Islam dengan
analisis landasan-landasan metodologisnya dan penonjolan tanda-tanda pokok untuk dipandang
oleh orang yang menghormatinya.
Dalam bahasa asing (non Arab), al-'irfan disebut/dinamakan dengan gnose, dan kata itu dari
bahasa Yunani, asalnya gnosis dan artinya: al-ma'rifah (pengetahuan). Juga digunakan dalam
makna ilmu dan hikmah. Hanya saja sesuatu yang membedakan al-'irfan adalah bahwa dari segi
ma'rifat (mengetahui) perkara-perkara keagamaan secara khusus, dan bahwasanya dari segi lain
merupakan ma'rifat (pengetahuan) yang dianggap oleh pemiliknya lebih tinggi dan pengetahuan
orang-orang mukmin yang sederhana, dan lebih tinggi dari ma'rifat (pengetahuan) para
ulama/sarjana agama yang mereka itu bersandar pada pandangan akal (= para teolog dan para
mutakallimun). Demikianlah kata tersebut digunakan pada abad II dan III AD untuk
menunjukkan pada makna mengetahui perkara-perkara agama, yang merupakan pengetahuan
yang lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan yang ditetapkan oleh gereja. Dari sinilah
munculnya gnosticisme - yang disini kita sebut dengan nama 'irfaniyah - yaitu sejumlah arus-arus
keagamaan yang keberadaannya terhimpun dan dinyatakan: "bahwa ma'rifat hakiki terhadap
Allah dan urusan-urusan keagamaan, adalah ma'rifat yang ditegakkan di atas pendalaman
kehidupan ruhani dan bersandar pada hikmah dalam suluk/laku, yang memberikan
qudroh/kekuasaan/kemampuan untuk menggunakan kekuatan yang hal itu termasuk
medan/lapangan irodah (kehendak). Dengan demikian, maka 'irfan itu tegak berdasarkan
mempersenjatai irodah/kehendak, bukan berdasar pada kemampuan akal, bahkan bisa dikatakan
bahwa ‘irfan itu tegak berdasar pada menjadikan irodah/kehendak sebagai ganti dari akal.
Hanya saja gnostiques (orang-orang gnostiq), tidak hanya membatasi pengakuan mereka bahwa
pengetahuan mereka terhadap hakikat keagamaan lebih tinggi dari segala pengetahuan yang lain,
tetapi mereka juga berambisi untuk menyamakan/menyesuaikan antara semua agama-agama dan
menyingkap keistimewaannya yang dalam melalui pengetahuan batin yang sempurna terhadap
perkara-perkara agama yang mereka dapatkan secara langsung melalui latihan dan pemberian
teladan (Andre Lalande, Vocabulaire technique et critique de la philosophie, Revue par MM. Les
membres et correpondants de lasociete Francaise de philosophie, g’ ed, societe de philpsophie
(Paris: Presses Universitaires de France, 1980). Arus-arus gnosis ("irfaniyah) di Eropa sampai
masa baru-baru ini, telah dianggap sebagai gerakan-gerakan keagamaan baru yang
menyimpang dan mencuat dari dalam kepercayaan Masehi. Hanya saja kajian-kajian barumenjelaskan dengan tidak menerima keraguan/dengan tidak meragukan, bahwa gnosis ('irfan),
telah ada sebelum Masehi itu sendiri dan bahwasanya hal itu maju pesat sampai abad II dan I BC.
Ini dari satu segi. Dari segi lain, para sejarawan agama-agama di Eropa sekarang ini, mereka tidak
melakukan apa yang dilakukan oleh para sejarawan sebelumnya, memandang gnosticisme
('irfaniyah) sebagai gerakan yang bertalian dengan kepercayaan Masehi semata, bahkan pada
masa ini, dari muslim sendiri memandang bahwa gnosticisme ('irfaniyah) adalah pnomena umum
yang dikenal oleh tiga agama samawi: Yahudi, Masehi dan Islam, sebagaimana dikenal juga oleh
agama-agama berhala, bahkan dari agama-agama itu ada agama-agama yang berdiri dengan
berlandas pada gnosis (‘irfan), seperti agama Manawiyah (Manu?) dan Mandaiyah (Manda?)
(Mandaniyah adalah agama gnosis yang masih ada di Irak, di Wasith. Kata mandaiyah dari kata
mandaya, dan maknanya dalam bahasa Armenia: al-‘irfan dalam arti gnose. Lihat: Henry Charles
Puech, La quitie de la gnose, [Paris]: Gallimard, 1978, vol. I, p. 234). Dari sini jadilah al'irfaniyah dipandang bahwa dia ditegakkan di atas pluralitas bukan kesatuan, di mana di sana
tidak ada satu madzhab 'irfani, tetapi berbilang/sejumlah madzhab. Dalam kenyataannya,
pnomena plural dan perbedaan dalam lapangan gnosis adalah gejala lama. Para tokoh gereja yang
memerangi orang-orang telah gnostic telah tersadarkan oleh para pengikut “Valentin”, tokoh dari
Iskandariah, meninggal tahun 161 M. Berkenaan dengan mereka itu, Uskup Irenee, Uskup Lota
Lion awal tahun 177 AD (M), telah mengatakan: “Mustahil untuk menjumpai dua atau tiga orang
dari mereka yang mengatakan sesuatu yang sama sekitar topik yang sama. Mereka saling
membatalkan dengan bentuk yang mutlak, baik dalam tingakatn kata-kata ataupun tingkatan
perkara-perkara”. Lihat: Serge Hutin, Les gnosuques, Collection que-je (Paris: Presses
Universitaires, [s.a.] P.5). Demikianlah, dengan mengecualikan Mandaiyah dan Manawiyah yang
masing-masing dari keduanya membentuk suatu agama yang berdiri sendiri, maka gnosis-gnosis
yang lain menampilkan dirinya tidak sebagai agama-agama baru, tetapi sebagai "dimensi batin
bagi syari'at yang berdiri tegak" (Ibid, p. 57).
Jelaslah bahwa adanya saling interpense antara gnose dengan gnosticisme membuat perbedaan
antara keduanya merupakan kepentingan metodologis. Hal itu sebagaimana yang dikukuhkan
oleh muktamar yang diselenggarakan oleh para peneliti spesialis dalam lapangan ini pada bulan
April/Nisan tahun 1966 di kota Missine, Itali. Pendapat dalam muktamar ini telah menetapkan
pentingnya pembedaan antara gnose sebagai pengetahuan terhadap rahasia-rahasia ketuhanan,
yang khusus dimiliki oleh orang-orang pilihan tertentu, dengan gnosticisme sebagai aliran
keagamaan yang muncul pada abad II AD secara khusus (Christian Jamber, La Logique des
orientaus, [Paris: Editions du Seuil, 1983], p. 171) dan yang disebutkan bahwasanya dia sebagai
penguat terhadap macam pengetahuan di atas pengetahuan akal dan yang lebih tinggi darinya, dia
merupakan pengetahuan batin yang bukan hanya berkenaan dengan perkara-perkara agama saja,
tetapi juga berkenaan dengan segala yang bersifat rahasia dan tersembunyi, seperti sihir, astrologi
dan kimia ...etc. Ini dari satu segi, dan dari segi lain terjadi perubahan, mulai dekade awal dari
abad ini, dia merupakan metode interaksi para peneliti Eropa dengan pnomena gnosticisme.
Setelah dia dipandang dari sudut pandang gereja secara khusus sepanjang abad-abad yang lalu,
yang memandang bahwa dia adalah bid'ah yang berbahaya yang wajib diperangi, maka para
peneliti masakini (kontemporer) berupaya menggali hakekat dari pnomena ini, dan faktor-faktor
penyebab topicalnya dan hal itu dengan memfungsikan metode-metode modern, dan di baris
terdepannya adalah metode pnomenologi yang menganalisis pnomena dan mendeskripsikannya
serta berupaya memahaminya dari dalam; juga dengan memfungsikan metode kritik sejarah yang
mengkaji pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan/teori-teori gnosticisme dan tinjauan
rasional komparatif.
Dalam kenyataannya adalah bahwa macam (gnosticisme) ini memiliki "pembagian kerja" yang
membebaskannya, di mana dalam gnosticisme itu terdapat dua sisi yang berbeda, yaitu: gnose
sebagai konteks/sikap terhadap alam, dan gnose sebagai teori/pandangan untuk menafsirkan alam
dan manusia, permulaan dan akhir keduanya. Meskipun kedua sisi itu saling bertalian dan saling
mendukung, sehingga tampak gnose sebagai konteks/sikap merupakan mahkota bagi gnose
sebagai pandangan/teori, dan tampak gnose sebagai pandangan/teori merupakan landasan bagi
gnose sebagai konteks/sikap, dan bahwa sejarah pnomena gnose sudah dikenal, paling
tidak/minimal sejak masa kejayaan gnosticisme pada abad II AD, yang merupakan dua arus
yang saling menyempurnakan/melengkapi, tetapi saling berbeda: salah satunya melindungi sisi
sikap, baik sikap individu, kejiwaan, pemikiran dan perbuatan, yang tersimpul dalam penolakan
terhadap alam dan berusaha keras untuk berhubungan dengan Tuhan dan masuk bersamanya
dalam semacam kesatuan. Yang keduanya, mengandung sisi penafsiran, penakwilan dan upaya
untuk memperkokoh pandangan/teori keagamaan yang bersifat falsafi guna menjelaskan
perkembangan makhluk dari awal sampai akhir.
Yang kita perlukan dalam pengantar ini adalah mengemukakan secara garis besar (global)
berkenaan dengan kedua sisi ini dengan bersumber pada referensi baru dan teks-teks lama yang
asli, sambil menghindari penunjukan, baik secara dekat atau pun jauh, kapada gnose dan
gnosticisme-gnosticisme yang ada dalam Islam. Jika pembaca meninjau, yakni melihat adanya
kesesuaian antara segi ini atau itu dengan apa yang dikenal dan pendapat-pendapat para
mutashowwif Islam, atau pandangan-pandangan Syi'ah Imamiyah dan Ismailiyah, serta para
filsuf dan kalangan bathiniyah dan isyroqiyah (illuminasi), maka pengantar ini akan berarti telah
mewujudkan perhatiannya dengan bentuk yang berlipatganda, yaitu: Pengantar pada gnose dalam
Islam dan sekaligus menyingkap asal-usul kesejarahannya. Adapun jika pembaca tidak dapat
melihat sesuatu dari hal itu, kami sungguh berharap semoga pembaca menjumpai dalam
pengantar ini sesuatu yang memudahkan untuk terjun bersama kami ke dalam gelombang
pemikiran gnosis ('irfani) dalam Islam dengan berbagai kecenderungan dan arus-arusnya.
Kita mulai dengan gnose sebagai sikap. (Bersambung)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2002
DRS. H. ISMAIL THAIB
Pengantar Redaksi:
Tulisan Prof. Drs. H. Asymuni Abdurrahman yang dimuat dalam rubrik Manhaj Tarjih pada SM
No. 8 Th. ke 87; 16-30 April 2002 M (3 Shafar-17 Shafar 1423 H) memperoleh tangapan dari H.
Ismail Thaib. Penulis sebelum memberi tanggapan terlebih dahulu mengemukakan tulisan AlJabiri dalam kitabnya yang bernama “Bunyatul Aqli Al-Arabi”, sehingga soal Irfani menjadi
gamblang. Berikut ini uraiannya:
Apakah ‘Irfan Itu?
(Suatu Pengantar) (1)
Al-'irfan, dalam bahasa Arab adalah mashdar (akar kata) dan 'arafa. Kata al-'irfan dan kata alma'rifah adalah semakna. Lisanul 'Arab menyebutkan: 'al-'irfan = al-'ilm (ilmu, pengetahuan).
'arafahu (ia telah mengetahui) -ya'rifuhu (ia mengetahui) - 'irfanan - dan ma'rifatan (ilmu,
pengetahuan). Kata al-'irfan muncul di kalangan para shufi Islam untuk menunjukkan pada
mereka terhadap jenis ma'rifat yang lebih tinggi, yang dilontarkan/dimasukkan pada kalbu dalam
bentuk “kasyf” atau "ilham". Hanya saja istilah ini belum tersebar penggunaannya dalam
literatur-literatur shufi, kecuali pada periode-periode akhir. Sejak permulaan di kalangan shufi
terdapat perbedaan antara ma'rifat (pengetahuan) yang diusahakan dengan indra atau dengan akal,
atau dengan keduanya sekaligus dengan ma'rifat yang dihasilkan melalui “al-kasyf” dan
"al-'ayan". Demikianlah kita menjumpai Dzun Nun al-Mishri yang wafat tahun 245 H
mengklasifikasi ma'rifat kepada tiga macam, yaitu : (1) ma'rifat tauhid : yaitu ma'rifat khusus bagi
orang-orang mukmin yang mukhlis (sejati); (2) ma'rifat argumentatif dan uraian: yaitu makhrifat
khusus pada kalangan hukama (orang-orang bijak, filsuf), bulago (retoris) dan para ulama sejati;
dan (3) ma'rifat sifat al-wahdaniyyat : makrifat yang demikian itu khusus bagi para kekasih Allah
yang mukhlis (sejati) yang menyaksikan Allah dengan kalbu-kalbu mereka, sehingga Al-Haqq
(Tuhan) menampakkan hakikat kebenaran pada mereka yang tidak ditampakkannya pada seorang
pun dari kalangan para ilmuwan yang lain (Kami Mushthofa asy-Syaibi, Ash-Shillah bainat
Tashowwuf wat Tasyayyu' (al-Qohiroh: Darul Ma'arif; 1969), p. 363, mengutip dari; Tadzkirotul
Auliya (terjemahan ke dalam bahasa Arab) (Leiden, Beril, 1905-1907), Jilid I, p. 111.). AlQusyairi menisbatkan kepada Abi Ali ad-Daqqoq kata-katanya :"Dan orang-orang, ada ashbabun
naqli wal atsar (ahli Naqli), dan ada para pakar akal dan pikir (Ahli ro'yu). Sementara para syeikh
kelompok ini (=para shufi), mereka meningkat di atas semua kelompok ini. Sesuatu yang gaib.
bagi orang-orang hal itu bagi mereka tampak jelas. Pengetahuan-pengetahuan yang bagi makhluk
yang menjadi tujuan, bagi mereka sudah ada dari Allah SWT. Mereka ahli mencapai hakekat,
sedangkan orang-orang adalah ahli mencari pembuktian (Abdul Karim bin Hawazin al-Qusyairi,
ar-Risalah, (Beirut; Darul Kitab al-‘Arobi, [t.t]), p. 180-181). Para shufi dalam membedakan
antara derajat-derajat yang tiga berkenaan dengan ma'rifat, burhaniyah, bayaniyah dan 'irfaniyah~
telah memfungsikan penggunaan kata "yaqin" yang disebutkan dalam Al-Qur'an, yang diiringi
dengan kata "haqq" dalam firman Allah Ta'ala: ……. (Sesungguhnya yang disebutkan ini adalah
benar-benar haqqul yaqin [al-Waqi’ah, 57-95]); dan dengan kata “‘ilm” dalam firman Allah
Ta'ala : ……..(Janganlah begitu, jika kalian mengetahui secara 'ilmal yaqin [at-takatsur, 102:5]);
kemudian dengan kata “’ain” dalam firman Allah Ta'ala: …… (Kemudian kalian benar-benar
akan melihatnya dengan 'ainal yaqin [at-Takatsur, 102 : 7]). Al-Qusyairi menjelaskan perbedaan
ini :"'Ilmul yaqin” berdasar keharusan istilah mereka adalah sesuatu yang memenuhi syarat "alburhan", '"Ainal yaqin" adalah pengetahuan yang memenuhi kriteria "al-bayan", dan haqqul
yaqin adalah ilmu yang memenuhi sifat "al-'ayan". 'llmul yaqin adalah bagi para ahli rasio, 'ainal
yaqin adalah bagi para ahli ilmu pengetahuan, dan haqqul yaqin adalah bagi para ahli ma'rifat
(Ibid: p. 44. Kita akan kembali pada perbedaan antara al-bayan, al-Burhan dan al-‘irfan yang
dikemukakan al-Qusyairi pada fasal yang akan datang). Perbedaan antara al-burhan dengan al-
'irfan, mencapai puncaknya dalam kebudayaan Arab Islam pada kalangan mutashowwif penganut
faham isyroq, seperti as-Suhrowardi yang memisahkan secara jelas dan menarik antara "alhikmah at-bahtsiyyah" yang ditegakkan di atas deduksi, penelitian dan pembuktian, dan "alhikmah al-isyroqiyah" yang ditegakkan di atas "al-kasyf" dan "al-isyroq" . Dia menjadikan
Aristoteles sebagai pemimpin yang pertama dan Plato pemimpin yang kedua (As-Suhrowardi, AlMuthorohat, alinea ke 141. Dia mengatakan: “Pemimpin para penganut faham al-isyroq adalah
Plato dan pemimpin penganut al-masyai adalah Aristoteles).
Kenyataannya, perbedaan antara al-burhan, atau metode pandangan akal dengan al-'irfan, atau
metode ilham dan kasyf, telah dikenal beberapa abad sebelum Islam. Di antara yang
menunjukkan hal itu ialah bahwa "Amlikho", dari negeri Kalkhis : 'Anjar, yang disebutkan oleh
sebagian sumber, yang hidup antara abad kedua dan ketiga AD (Anno Domino = setelah kelahiran
Isa), dia adalah salah seorang dari kalangan para filsuf Timur paling terkemuka yang
membedakan dengan jelas antara metode (sistem) filsafat Aristoteles dengan metode (sistem)
filsafat Hermes. Dia telah mengatakan dalam surat yang ditujukan kepada muridnya :"Jika kamu
dihadapkan pada masalah filsafat, maka kita akan menetapkan/menghukuminya buat kamu sesuai
dengan metode/sistem filsafat Hermes yang digunakan oleh Plato dan Pitagoras pada masa dulu
untuk menetapkan falsafat mereka berdua” (Disebutkan dalam: Yusuf Hauroni, al-Binyah alDzihniyah al-Hadloriyah fi al-Masyriq al Mutawassithi al-Asyiawi al-Qodim, (Beirut, Dal alNahar, 1978), p. 26, dikutip dari: Jamblique, Des mysteces d’Egypte (Paris, Societe des editions
des belles lettres, 1966), p. 41). Dan diketahui, bahwa Amlikho ini adalah Jamblichus, dia salah
seorang dari kalangan para filsuf penganut faham Hermes yang menjalankan peranan besar dalam
pembentukan falsafat Hermesiah (Lihat: P. Festugide, La revelation d’Hermes Trismogiste (Paris:
Societe des editions des belles lettres, 1981), vols, I: 2), dan dia dikenal di kalangan para
penerjemah dan para pengarang Arab.
Hanya saja perbedaan antara metode Aristoteles dengan metode Hermes tidak khusus pada
Amlikho sendiri saja, tetapi tampak pada masa itu seluruhnya. Bahkan mungkin dikatakan secara
umum, bahwa al-'irfan, adalah struktur pengetahuan yang tersebar pada masa Helenisme dengan
ketiga periodenya, yang membentang dari akhir abad IV Be seiring masa Yunani Murni sampai
dengan pertengahan abad VII AD seiring dengan munculnya Islam dan tersebarnya penaklukanpenaklukan. Masa Helenisme adalah masa Yunani-Romawi campuran, menyusul masa Yunani
Murni yang dikenal berakhir bersama meninggalnya lskandar Macedonia dan tercabik-cabiknya
imperiumnya. Helenisme dinisbatkan kepada Helienes, yaitu orang-orang Grics atau orang-orang
Yunani. Pada masa yang membentang dari abad IV BC (Bifore Christ = Sebelum Kelahiran Isa)
sampai abad VII AD, tersebar aliran-aliran filsafat berikut: Stoaisme, Epiqurisme, dan aliranaliran skeptis yang diikuti oleh segi-segi yang mengarah kepada ekleksi dan segi-segi yang
mengarah kepada diniyyah irfaniyah, Stoaism Mutakhir, Neo Pitagorism, Epiqurism Mutakhir,
dan falsafah Helenis Yahudi, menyusul kemudian Neo Platonisme dan aliran-aliran 'lrfani Timur.
Hal itu menunjukkan bahwa pada masa ini disaksikan adanya penolakan luas terhadap
rasionalitas Yunani, lalu tersebarlah "rasionalitas masa depan (Lihat: Muhammad Abid al-Jabiri,
Takwin al-‘Aql al-‘Arobi, Silsilah Naqd al-‘Aql al-‘Arobi, (Beirut: Dar al-Tholi’ah, 1984, Jld. I,
Fsl. 8), dan pencarian “al-‘irfan” menjadi perhatian seluruh masa ini. Demikianlah, maka "al'irfan" adalah struktur pengetahuan dan metode/sistem dalam mengusahakan pengetahuan dan
memandang terhadap alam dan juga sikap terhadapnya, yang berpindah kepada kebudayaan Arab
Islam dan kebudayaan-kebudayaan yang tersebar sebelum Islam di Timur Dekat, dan dengan cara
yang khusus di Mesir, Suriyah, Palestina dan Irak (Ibid, Jld I, Fsl. 9). Jika demikian, maka dalam
pengantar ini kita akan memperkenalkan kandungan "al-'irfan" sebelum dia berpindah ke dalam
Islam, untuk kemudian setelah itu, dalam fasal berikut, kita akan melihat, bagaimana dia berhasil
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan berfungsinya dalam kebudayaan Arab Islam dengan
analisis landasan-landasan metodologisnya dan penonjolan tanda-tanda pokok untuk dipandang
oleh orang yang menghormatinya.
Dalam bahasa asing (non Arab), al-'irfan disebut/dinamakan dengan gnose, dan kata itu dari
bahasa Yunani, asalnya gnosis dan artinya: al-ma'rifah (pengetahuan). Juga digunakan dalam
makna ilmu dan hikmah. Hanya saja sesuatu yang membedakan al-'irfan adalah bahwa dari segi
ma'rifat (mengetahui) perkara-perkara keagamaan secara khusus, dan bahwasanya dari segi lain
merupakan ma'rifat (pengetahuan) yang dianggap oleh pemiliknya lebih tinggi dan pengetahuan
orang-orang mukmin yang sederhana, dan lebih tinggi dari ma'rifat (pengetahuan) para
ulama/sarjana agama yang mereka itu bersandar pada pandangan akal (= para teolog dan para
mutakallimun). Demikianlah kata tersebut digunakan pada abad II dan III AD untuk
menunjukkan pada makna mengetahui perkara-perkara agama, yang merupakan pengetahuan
yang lebih tinggi daripada ilmu pengetahuan yang ditetapkan oleh gereja. Dari sinilah
munculnya gnosticisme - yang disini kita sebut dengan nama 'irfaniyah - yaitu sejumlah arus-arus
keagamaan yang keberadaannya terhimpun dan dinyatakan: "bahwa ma'rifat hakiki terhadap
Allah dan urusan-urusan keagamaan, adalah ma'rifat yang ditegakkan di atas pendalaman
kehidupan ruhani dan bersandar pada hikmah dalam suluk/laku, yang memberikan
qudroh/kekuasaan/kemampuan untuk menggunakan kekuatan yang hal itu termasuk
medan/lapangan irodah (kehendak). Dengan demikian, maka 'irfan itu tegak berdasarkan
mempersenjatai irodah/kehendak, bukan berdasar pada kemampuan akal, bahkan bisa dikatakan
bahwa ‘irfan itu tegak berdasar pada menjadikan irodah/kehendak sebagai ganti dari akal.
Hanya saja gnostiques (orang-orang gnostiq), tidak hanya membatasi pengakuan mereka bahwa
pengetahuan mereka terhadap hakikat keagamaan lebih tinggi dari segala pengetahuan yang lain,
tetapi mereka juga berambisi untuk menyamakan/menyesuaikan antara semua agama-agama dan
menyingkap keistimewaannya yang dalam melalui pengetahuan batin yang sempurna terhadap
perkara-perkara agama yang mereka dapatkan secara langsung melalui latihan dan pemberian
teladan (Andre Lalande, Vocabulaire technique et critique de la philosophie, Revue par MM. Les
membres et correpondants de lasociete Francaise de philosophie, g’ ed, societe de philpsophie
(Paris: Presses Universitaires de France, 1980). Arus-arus gnosis ("irfaniyah) di Eropa sampai
masa baru-baru ini, telah dianggap sebagai gerakan-gerakan keagamaan baru yang
menyimpang dan mencuat dari dalam kepercayaan Masehi. Hanya saja kajian-kajian barumenjelaskan dengan tidak menerima keraguan/dengan tidak meragukan, bahwa gnosis ('irfan),
telah ada sebelum Masehi itu sendiri dan bahwasanya hal itu maju pesat sampai abad II dan I BC.
Ini dari satu segi. Dari segi lain, para sejarawan agama-agama di Eropa sekarang ini, mereka tidak
melakukan apa yang dilakukan oleh para sejarawan sebelumnya, memandang gnosticisme
('irfaniyah) sebagai gerakan yang bertalian dengan kepercayaan Masehi semata, bahkan pada
masa ini, dari muslim sendiri memandang bahwa gnosticisme ('irfaniyah) adalah pnomena umum
yang dikenal oleh tiga agama samawi: Yahudi, Masehi dan Islam, sebagaimana dikenal juga oleh
agama-agama berhala, bahkan dari agama-agama itu ada agama-agama yang berdiri dengan
berlandas pada gnosis (‘irfan), seperti agama Manawiyah (Manu?) dan Mandaiyah (Manda?)
(Mandaniyah adalah agama gnosis yang masih ada di Irak, di Wasith. Kata mandaiyah dari kata
mandaya, dan maknanya dalam bahasa Armenia: al-‘irfan dalam arti gnose. Lihat: Henry Charles
Puech, La quitie de la gnose, [Paris]: Gallimard, 1978, vol. I, p. 234). Dari sini jadilah al'irfaniyah dipandang bahwa dia ditegakkan di atas pluralitas bukan kesatuan, di mana di sana
tidak ada satu madzhab 'irfani, tetapi berbilang/sejumlah madzhab. Dalam kenyataannya,
pnomena plural dan perbedaan dalam lapangan gnosis adalah gejala lama. Para tokoh gereja yang
memerangi orang-orang telah gnostic telah tersadarkan oleh para pengikut “Valentin”, tokoh dari
Iskandariah, meninggal tahun 161 M. Berkenaan dengan mereka itu, Uskup Irenee, Uskup Lota
Lion awal tahun 177 AD (M), telah mengatakan: “Mustahil untuk menjumpai dua atau tiga orang
dari mereka yang mengatakan sesuatu yang sama sekitar topik yang sama. Mereka saling
membatalkan dengan bentuk yang mutlak, baik dalam tingakatn kata-kata ataupun tingkatan
perkara-perkara”. Lihat: Serge Hutin, Les gnosuques, Collection que-je (Paris: Presses
Universitaires, [s.a.] P.5). Demikianlah, dengan mengecualikan Mandaiyah dan Manawiyah yang
masing-masing dari keduanya membentuk suatu agama yang berdiri sendiri, maka gnosis-gnosis
yang lain menampilkan dirinya tidak sebagai agama-agama baru, tetapi sebagai "dimensi batin
bagi syari'at yang berdiri tegak" (Ibid, p. 57).
Jelaslah bahwa adanya saling interpense antara gnose dengan gnosticisme membuat perbedaan
antara keduanya merupakan kepentingan metodologis. Hal itu sebagaimana yang dikukuhkan
oleh muktamar yang diselenggarakan oleh para peneliti spesialis dalam lapangan ini pada bulan
April/Nisan tahun 1966 di kota Missine, Itali. Pendapat dalam muktamar ini telah menetapkan
pentingnya pembedaan antara gnose sebagai pengetahuan terhadap rahasia-rahasia ketuhanan,
yang khusus dimiliki oleh orang-orang pilihan tertentu, dengan gnosticisme sebagai aliran
keagamaan yang muncul pada abad II AD secara khusus (Christian Jamber, La Logique des
orientaus, [Paris: Editions du Seuil, 1983], p. 171) dan yang disebutkan bahwasanya dia sebagai
penguat terhadap macam pengetahuan di atas pengetahuan akal dan yang lebih tinggi darinya, dia
merupakan pengetahuan batin yang bukan hanya berkenaan dengan perkara-perkara agama saja,
tetapi juga berkenaan dengan segala yang bersifat rahasia dan tersembunyi, seperti sihir, astrologi
dan kimia ...etc. Ini dari satu segi, dan dari segi lain terjadi perubahan, mulai dekade awal dari
abad ini, dia merupakan metode interaksi para peneliti Eropa dengan pnomena gnosticisme.
Setelah dia dipandang dari sudut pandang gereja secara khusus sepanjang abad-abad yang lalu,
yang memandang bahwa dia adalah bid'ah yang berbahaya yang wajib diperangi, maka para
peneliti masakini (kontemporer) berupaya menggali hakekat dari pnomena ini, dan faktor-faktor
penyebab topicalnya dan hal itu dengan memfungsikan metode-metode modern, dan di baris
terdepannya adalah metode pnomenologi yang menganalisis pnomena dan mendeskripsikannya
serta berupaya memahaminya dari dalam; juga dengan memfungsikan metode kritik sejarah yang
mengkaji pendapat-pendapat dan pandangan-pandangan/teori-teori gnosticisme dan tinjauan
rasional komparatif.
Dalam kenyataannya adalah bahwa macam (gnosticisme) ini memiliki "pembagian kerja" yang
membebaskannya, di mana dalam gnosticisme itu terdapat dua sisi yang berbeda, yaitu: gnose
sebagai konteks/sikap terhadap alam, dan gnose sebagai teori/pandangan untuk menafsirkan alam
dan manusia, permulaan dan akhir keduanya. Meskipun kedua sisi itu saling bertalian dan saling
mendukung, sehingga tampak gnose sebagai konteks/sikap merupakan mahkota bagi gnose
sebagai pandangan/teori, dan tampak gnose sebagai pandangan/teori merupakan landasan bagi
gnose sebagai konteks/sikap, dan bahwa sejarah pnomena gnose sudah dikenal, paling
tidak/minimal sejak masa kejayaan gnosticisme pada abad II AD, yang merupakan dua arus
yang saling menyempurnakan/melengkapi, tetapi saling berbeda: salah satunya melindungi sisi
sikap, baik sikap individu, kejiwaan, pemikiran dan perbuatan, yang tersimpul dalam penolakan
terhadap alam dan berusaha keras untuk berhubungan dengan Tuhan dan masuk bersamanya
dalam semacam kesatuan. Yang keduanya, mengandung sisi penafsiran, penakwilan dan upaya
untuk memperkokoh pandangan/teori keagamaan yang bersifat falsafi guna menjelaskan
perkembangan makhluk dari awal sampai akhir.
Yang kita perlukan dalam pengantar ini adalah mengemukakan secara garis besar (global)
berkenaan dengan kedua sisi ini dengan bersumber pada referensi baru dan teks-teks lama yang
asli, sambil menghindari penunjukan, baik secara dekat atau pun jauh, kapada gnose dan
gnosticisme-gnosticisme yang ada dalam Islam. Jika pembaca meninjau, yakni melihat adanya
kesesuaian antara segi ini atau itu dengan apa yang dikenal dan pendapat-pendapat para
mutashowwif Islam, atau pandangan-pandangan Syi'ah Imamiyah dan Ismailiyah, serta para
filsuf dan kalangan bathiniyah dan isyroqiyah (illuminasi), maka pengantar ini akan berarti telah
mewujudkan perhatiannya dengan bentuk yang berlipatganda, yaitu: Pengantar pada gnose dalam
Islam dan sekaligus menyingkap asal-usul kesejarahannya. Adapun jika pembaca tidak dapat
melihat sesuatu dari hal itu, kami sungguh berharap semoga pembaca menjumpai dalam
pengantar ini sesuatu yang memudahkan untuk terjun bersama kami ke dalam gelombang
pemikiran gnosis ('irfani) dalam Islam dengan berbagai kecenderungan dan arus-arusnya.
Kita mulai dengan gnose sebagai sikap. (Bersambung)
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 16 2002