Pendekatan Irfani dalam Istimbat Hukum
Pendekatan Irfani dalam Istimbat Hukum
DRS. H. ISMAIL THAIB
Demikianlah dari bagian pertama mimpinya, dan berhubungan dengan "permulaan". sebagaimana
kita lihat. Adapun bagian kedua berhubungan dengan "tempat kembali", dimulai dengan
penegasan bahwa manusia yang mengenal dirinya, yakni mengenal tempat asal-usul sumbernya,
dan mengenal bahwa dia adalah yang ada yang abadi (karena keberadaannya turun dari manusia
langit anak Allah), manusia ini berhubungan dengan kebaikan dan menerima kebaikan dan tempat
kembalinya adalah keabadian dalam alam yang baik dan indah, yaitu alam yang semuanya
kehidupan dan cahaya. Adapun manusia yang masih tetap terikat pada tubuhnya, tubuh ini turun
kepadanya dan kesalahan kerinduan dan cinta, "kesalahan cinta", maka tempat kembalinya adalah
kematian yang gelap, dan dia berhak mendapatkan siksaan, karena dia telah hidup menjadi budak
tubuhnya, yaitu tubuh yang kembali kepada alam yang asalnya dari kegelapan pertama.
Demikianlah jalan pembebasan dimulai dengan mengenal diri/jiwa, dan inilah 'irfan, satu-satunya
jalan pembebasan.
Setelah ini datanglah pembicaraan tentang kehidupan akhirat, dan dimulai dengan petunjuk
bahwa ketika maut menimpa seseorang, tubuhnya menjadi kaku, bentuknya hilang dari
pandangan, tabiatnya yang dihilangkan oleh maut, pergi mengikuti syetan, sementara kekuatan
penginderaannya kembali kepada asalnya, masing-masing kembali kepada sumber dari mana dia
datang (= alam bintang-bintang/planet). Adapun kekuatan kemarahan dan syahwatnya kembali
kepada alam (= materi). Demikianlah sehingga tidak ada yang tersisa, selain jiwa, yang kemudian
naik ke langit, kembali ke asalnya, dan dalam perjalanan naiknya dia melampaui tujuh
petala/cakrawala langit. Pada masing-masing petala yang dilalui dia tinggalkan apa yang dulu dia
tempelkan dari petala itu ketika dia menjadi bagian dari manusia langit yang turun. Demikianlah
dia mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu, hingga akhirnya dia telanjang dan bersih lalu
sampai ke langit kedelapan, kemudian masuk ke hadirat "yang kuat" yang tinggi yang dekat
dengan yang maha tinggi (= para malaikat muqorrobun) dan dia menjadi semisalnya dan kembali
kepada Allah untuk menyatu dengannya. ltulah titik tuju 'irfan. Demikian itulah ringkasan mimpi
Hermes.
Pengantar ini diakhiri oleh Al-Jabiri dengan tiga tinjauan:
Pertama adalah: bahwa teks pokok dalam leteratur Hermes yang padat ini menghimpun unsurunsur terpenting yang membentuk apa yang mungkin disebut dengan nama struktur - induk bagi
madzhab-madzhab 'irfaniah yang sebelumnya telah kita katakan bahwasanya dia ditegakkan di
atas pluralitas, sehingga sampai kepada derajat yang bersamanya sulit bagi peneliti untuk
mendapatkan dalam barisan para gnosis "dua atau tiga orang mereka mengatakan sesuatu yang
sama tentang topik yang sama". Ini dapat difahami, oleh karena itu, 'irfan sebagaimana kita lihat
adalah sikap pribadi, atau untuk mentransfer "pengalaman pribadi". Tetapi bersamaan dengan itu,
sesungguhnya seluruh apa yang dikatakan para gnosis dengan perbedaan madzhab mereka,
mungkin mengembalikannya pada suatu bentuk, atau dengan yang lain dikembalikan kepada
suatu pemikiran atau kepada banyak pemikiran/ide yang dikandung oleh teks ini. Seperti contoh
atas hal itu menunjukkan kepada apa yang dikatakan oleh para shufi Islam tentang ahwal dan
maqomat mereka yang sumbernya terdapat dalam mikrajnya jiwa "sang 'arif”, mengharungi
langit-langit yang tujuh, sehingga dia meninggalkan pada masing-masingnya apa yang telah
digantungkan padanya pada hari di mana dia sedang menjadi bagian dan manusia langit ketika
yang akhir ini turun. Masih ada teks-teks Hermes yang lain yang membuat "maqomat" dua belas,
berdasarklan jumlah bintang-bintang yang masing-masing maqom memiliki kekhususan dengan
sifat tercela yang termasuk sifat-sifat jiwa yang kebalikannya' sifat-sifat terpuji. Demikian pula
"alam atom" menurut para mutashowwif Islam, dia mendapatkan sumbernya pada pemikiran/ide
"kekuatan" yang dalam teks-teks Hermes mengandung makna-makna yang darinya terbuat
semacam idea Platonisme yang memiliki sifat ketuhanan. Adapun kisah "tempat awal dan tempat
kembali" menurut golongan Ismailiyah dan para Filosuf Batiniah, seperti lbnu Arobi misalnya,
maka dia disalin secara langsung dan kandungan kisah yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh
Hermes dalam mimpi tersebut. Secara garis besar, mungkin dapat dikatakan bahwa tak ada satu
pemikiran pun yang telah dikatakan oleh para gnosis Islam, melainkan terdapat apa yang menjadi
asasnya pada teks contoh ini, dan pembaca akan mendapatkan makna dari hal itu pada fasal-fasal
berikut.
Adapun tinjauan kedua berhubungan dengan karakter yang menjadi ciri leteratur-leteratur
Hermesisme secara umum, yaitu ekleksi dan talfiq, yaitu: mengambil dari berbagai madzhab
filsafat dan dari berbagai agama. Para gnosis memetik buah dan apa yang mereka ambil dari sanasini dengan bentuk dan gambaran-gambaran yang beraneka ragam sesuai dengan arah pemikiran
mereka dalam suatu saat. Bersamaan dengan itu arah-arah gnosisme terbesar tidak lebih dari/tidak
melampaui tiga arah: (1) Arah tujuan yang dikuasai oleh sikap gnosisi/'irfani sebagai usaha,
dalam masyarakat Islam diwakili oleh para shufi, khusus para penganut ahwal dan "syathohat" .
(2) Arah tujuan yang didominasi oleh karakteristik falsafat, dan dalam Islam diwakili oleh
"tashowwuf rasional" yang kita jumpai pada Al-Farobi dalam pandangannya tentang
kebahagiaan. Dalam bentuk yang lebih jelas dan lebih luas dapat dijumpai pada lbnu Sina dalam
falsafat masyriqiyahnya. (3) Adapun arah tujuan ketiga adalah didominasi oleh pemaparan
legenda, yang kita jumpai pada para Filosuf kalangan orang-orang Ismailiyah dan para shufi
batiniyah. Arah tujuan/orientasi yang tiga ini dia satu-satunya bukan yang lainnya, yang kita
maksud dengan "'irfan" dalam buku ini. Ini berarti bahwa pnomena rasa batin yang lain yang
masalahnya ditakwilkan kepada perasaan seni atau pengalaman citarasa yang berbeda-beda yang
masuk pada lingkaran seni adalah pnomena yang berada di luar topik kita, dia bukan ‘irfan, dalam
makna istilah, tentang sesuatu. Memang, sungguh banyak dari leteratur-literatur shufi yang
memaparkan pada kita bentuk-bentuk sastra seni level tinggi, tetapi apa yang menjadi perhatian
kita di sini bukan bentuk seni yang diungkapkan oleh "'arif” tentang apa yang disebut oleh para
mutashowwif/shufi dengan "intuisi", tetapi yang kita perhatikan adalah kandungannya, yakni ideide, pandangan-pandangan yang keluar darinya, dan macam argumentasi yang memproduknya
atau melahirkannya. 'Irfan, dalam pengertian adalah pengetahuan, bukan seni.
Adapun tinjauan ketiga dan yang terakhir berhubungan dengan metode interaksi kita dengan
leteratur-literatur 'irfaniyah dalam Islam. Telah kita bincangkan pemikiran 'irfani dalam Islam
yang berkisar sekitar persoalan-persoalan tertentu yang dianggap persoalan pokok dari segi
epistemologi, yaitu persoalan-persoalan yang melandasi 'irfan sebagai struktur gnosis. Dan telah
kita rinci di dalamnya antara yang bersandar pada metode dengan yang bersandar pada
penglihatan dengan pengetahuan bahwa rincian ini merupakan uraian metodologis lebih banyak
ketimbang yang lainnya. Intervensi antara metode dengan penglihatan merupakan kenyataan
pokok pada setiap struktur gnosis, yang dia itu lebih nampak dalam 'irfan. Ini dari satu segi, dan
dari segi lain kita lebih mencermati pada menonjolnya pakaian Islam (yang bersifat keagamaan
dan politik) yang dipakai oleh para gnosis Islam pada gnosisme mereka. Dengan kata lain, kita
menegaskan kualitas yang difungsikan para gnosis Islam pada teks-teks Islam, untuk pengabdian
terhadap arah tujuan madzhab keagamaan mereka dan satu segi, dan kualitas yang mereka
fungsikan pada warisan 'irfani lama demi pengabdian terhadap kecenderungan politik dan
madzhab mereka dalam lingkaran Islam dan segi lainnya. Akhirnya, yang bukan terakhir, kita
sangat mencermati untuk menjauhi pengaruh perasaan kelompok, sehingga kita meringankan
kritikan ke derajat serendah mungkin, berkenaan dengan kritik terhadap madzhab-madzhab yang
masih dipeluk dalam suatu bentuk atau bentuk yang lain oleh kelompok ini atau oleh kelompokkelompok keagamaan yang ada di tanah air orang Arab. Adapun ketika masalah berhubungan
dengan individu-individu yang interaksi kritik bersama mereka tidak terpengaruh oleh perasaan
kelompok mana pun dalam kondisi yang ringan, maka kita telah mengadaptasikan tanpa ikatanikatan selain kritik ilmiah objektif. Ini kembali kepada kenyataan bahwa kita menganggap apa
yang ditinggalkan oleh mereka sebagai individu-individu adalah milik bagi semuanya/milik
bersama, bukan milik kelompok atau jamaah tertentu. Dengan kecermatan menjaga untuk
menjauhi pengaruh perasaan sektarian, maka kita tidak dapat membersihkan diri kita dari matamata orang yang keluar dari pemikiran sektarian. Hal itu karena orang yang hidup dalam
masyarakat yang bukan sektarian tidak mampu melibat pada seluruh reaksi yang kadang keluar
dari orang yang hidup dalam masyarakat sektarian.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 20-02
DRS. H. ISMAIL THAIB
Demikianlah dari bagian pertama mimpinya, dan berhubungan dengan "permulaan". sebagaimana
kita lihat. Adapun bagian kedua berhubungan dengan "tempat kembali", dimulai dengan
penegasan bahwa manusia yang mengenal dirinya, yakni mengenal tempat asal-usul sumbernya,
dan mengenal bahwa dia adalah yang ada yang abadi (karena keberadaannya turun dari manusia
langit anak Allah), manusia ini berhubungan dengan kebaikan dan menerima kebaikan dan tempat
kembalinya adalah keabadian dalam alam yang baik dan indah, yaitu alam yang semuanya
kehidupan dan cahaya. Adapun manusia yang masih tetap terikat pada tubuhnya, tubuh ini turun
kepadanya dan kesalahan kerinduan dan cinta, "kesalahan cinta", maka tempat kembalinya adalah
kematian yang gelap, dan dia berhak mendapatkan siksaan, karena dia telah hidup menjadi budak
tubuhnya, yaitu tubuh yang kembali kepada alam yang asalnya dari kegelapan pertama.
Demikianlah jalan pembebasan dimulai dengan mengenal diri/jiwa, dan inilah 'irfan, satu-satunya
jalan pembebasan.
Setelah ini datanglah pembicaraan tentang kehidupan akhirat, dan dimulai dengan petunjuk
bahwa ketika maut menimpa seseorang, tubuhnya menjadi kaku, bentuknya hilang dari
pandangan, tabiatnya yang dihilangkan oleh maut, pergi mengikuti syetan, sementara kekuatan
penginderaannya kembali kepada asalnya, masing-masing kembali kepada sumber dari mana dia
datang (= alam bintang-bintang/planet). Adapun kekuatan kemarahan dan syahwatnya kembali
kepada alam (= materi). Demikianlah sehingga tidak ada yang tersisa, selain jiwa, yang kemudian
naik ke langit, kembali ke asalnya, dan dalam perjalanan naiknya dia melampaui tujuh
petala/cakrawala langit. Pada masing-masing petala yang dilalui dia tinggalkan apa yang dulu dia
tempelkan dari petala itu ketika dia menjadi bagian dari manusia langit yang turun. Demikianlah
dia mulai menanggalkan pakaiannya satu persatu, hingga akhirnya dia telanjang dan bersih lalu
sampai ke langit kedelapan, kemudian masuk ke hadirat "yang kuat" yang tinggi yang dekat
dengan yang maha tinggi (= para malaikat muqorrobun) dan dia menjadi semisalnya dan kembali
kepada Allah untuk menyatu dengannya. ltulah titik tuju 'irfan. Demikian itulah ringkasan mimpi
Hermes.
Pengantar ini diakhiri oleh Al-Jabiri dengan tiga tinjauan:
Pertama adalah: bahwa teks pokok dalam leteratur Hermes yang padat ini menghimpun unsurunsur terpenting yang membentuk apa yang mungkin disebut dengan nama struktur - induk bagi
madzhab-madzhab 'irfaniah yang sebelumnya telah kita katakan bahwasanya dia ditegakkan di
atas pluralitas, sehingga sampai kepada derajat yang bersamanya sulit bagi peneliti untuk
mendapatkan dalam barisan para gnosis "dua atau tiga orang mereka mengatakan sesuatu yang
sama tentang topik yang sama". Ini dapat difahami, oleh karena itu, 'irfan sebagaimana kita lihat
adalah sikap pribadi, atau untuk mentransfer "pengalaman pribadi". Tetapi bersamaan dengan itu,
sesungguhnya seluruh apa yang dikatakan para gnosis dengan perbedaan madzhab mereka,
mungkin mengembalikannya pada suatu bentuk, atau dengan yang lain dikembalikan kepada
suatu pemikiran atau kepada banyak pemikiran/ide yang dikandung oleh teks ini. Seperti contoh
atas hal itu menunjukkan kepada apa yang dikatakan oleh para shufi Islam tentang ahwal dan
maqomat mereka yang sumbernya terdapat dalam mikrajnya jiwa "sang 'arif”, mengharungi
langit-langit yang tujuh, sehingga dia meninggalkan pada masing-masingnya apa yang telah
digantungkan padanya pada hari di mana dia sedang menjadi bagian dan manusia langit ketika
yang akhir ini turun. Masih ada teks-teks Hermes yang lain yang membuat "maqomat" dua belas,
berdasarklan jumlah bintang-bintang yang masing-masing maqom memiliki kekhususan dengan
sifat tercela yang termasuk sifat-sifat jiwa yang kebalikannya' sifat-sifat terpuji. Demikian pula
"alam atom" menurut para mutashowwif Islam, dia mendapatkan sumbernya pada pemikiran/ide
"kekuatan" yang dalam teks-teks Hermes mengandung makna-makna yang darinya terbuat
semacam idea Platonisme yang memiliki sifat ketuhanan. Adapun kisah "tempat awal dan tempat
kembali" menurut golongan Ismailiyah dan para Filosuf Batiniah, seperti lbnu Arobi misalnya,
maka dia disalin secara langsung dan kandungan kisah yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh
Hermes dalam mimpi tersebut. Secara garis besar, mungkin dapat dikatakan bahwa tak ada satu
pemikiran pun yang telah dikatakan oleh para gnosis Islam, melainkan terdapat apa yang menjadi
asasnya pada teks contoh ini, dan pembaca akan mendapatkan makna dari hal itu pada fasal-fasal
berikut.
Adapun tinjauan kedua berhubungan dengan karakter yang menjadi ciri leteratur-leteratur
Hermesisme secara umum, yaitu ekleksi dan talfiq, yaitu: mengambil dari berbagai madzhab
filsafat dan dari berbagai agama. Para gnosis memetik buah dan apa yang mereka ambil dari sanasini dengan bentuk dan gambaran-gambaran yang beraneka ragam sesuai dengan arah pemikiran
mereka dalam suatu saat. Bersamaan dengan itu arah-arah gnosisme terbesar tidak lebih dari/tidak
melampaui tiga arah: (1) Arah tujuan yang dikuasai oleh sikap gnosisi/'irfani sebagai usaha,
dalam masyarakat Islam diwakili oleh para shufi, khusus para penganut ahwal dan "syathohat" .
(2) Arah tujuan yang didominasi oleh karakteristik falsafat, dan dalam Islam diwakili oleh
"tashowwuf rasional" yang kita jumpai pada Al-Farobi dalam pandangannya tentang
kebahagiaan. Dalam bentuk yang lebih jelas dan lebih luas dapat dijumpai pada lbnu Sina dalam
falsafat masyriqiyahnya. (3) Adapun arah tujuan ketiga adalah didominasi oleh pemaparan
legenda, yang kita jumpai pada para Filosuf kalangan orang-orang Ismailiyah dan para shufi
batiniyah. Arah tujuan/orientasi yang tiga ini dia satu-satunya bukan yang lainnya, yang kita
maksud dengan "'irfan" dalam buku ini. Ini berarti bahwa pnomena rasa batin yang lain yang
masalahnya ditakwilkan kepada perasaan seni atau pengalaman citarasa yang berbeda-beda yang
masuk pada lingkaran seni adalah pnomena yang berada di luar topik kita, dia bukan ‘irfan, dalam
makna istilah, tentang sesuatu. Memang, sungguh banyak dari leteratur-literatur shufi yang
memaparkan pada kita bentuk-bentuk sastra seni level tinggi, tetapi apa yang menjadi perhatian
kita di sini bukan bentuk seni yang diungkapkan oleh "'arif” tentang apa yang disebut oleh para
mutashowwif/shufi dengan "intuisi", tetapi yang kita perhatikan adalah kandungannya, yakni ideide, pandangan-pandangan yang keluar darinya, dan macam argumentasi yang memproduknya
atau melahirkannya. 'Irfan, dalam pengertian adalah pengetahuan, bukan seni.
Adapun tinjauan ketiga dan yang terakhir berhubungan dengan metode interaksi kita dengan
leteratur-literatur 'irfaniyah dalam Islam. Telah kita bincangkan pemikiran 'irfani dalam Islam
yang berkisar sekitar persoalan-persoalan tertentu yang dianggap persoalan pokok dari segi
epistemologi, yaitu persoalan-persoalan yang melandasi 'irfan sebagai struktur gnosis. Dan telah
kita rinci di dalamnya antara yang bersandar pada metode dengan yang bersandar pada
penglihatan dengan pengetahuan bahwa rincian ini merupakan uraian metodologis lebih banyak
ketimbang yang lainnya. Intervensi antara metode dengan penglihatan merupakan kenyataan
pokok pada setiap struktur gnosis, yang dia itu lebih nampak dalam 'irfan. Ini dari satu segi, dan
dari segi lain kita lebih mencermati pada menonjolnya pakaian Islam (yang bersifat keagamaan
dan politik) yang dipakai oleh para gnosis Islam pada gnosisme mereka. Dengan kata lain, kita
menegaskan kualitas yang difungsikan para gnosis Islam pada teks-teks Islam, untuk pengabdian
terhadap arah tujuan madzhab keagamaan mereka dan satu segi, dan kualitas yang mereka
fungsikan pada warisan 'irfani lama demi pengabdian terhadap kecenderungan politik dan
madzhab mereka dalam lingkaran Islam dan segi lainnya. Akhirnya, yang bukan terakhir, kita
sangat mencermati untuk menjauhi pengaruh perasaan kelompok, sehingga kita meringankan
kritikan ke derajat serendah mungkin, berkenaan dengan kritik terhadap madzhab-madzhab yang
masih dipeluk dalam suatu bentuk atau bentuk yang lain oleh kelompok ini atau oleh kelompokkelompok keagamaan yang ada di tanah air orang Arab. Adapun ketika masalah berhubungan
dengan individu-individu yang interaksi kritik bersama mereka tidak terpengaruh oleh perasaan
kelompok mana pun dalam kondisi yang ringan, maka kita telah mengadaptasikan tanpa ikatanikatan selain kritik ilmiah objektif. Ini kembali kepada kenyataan bahwa kita menganggap apa
yang ditinggalkan oleh mereka sebagai individu-individu adalah milik bagi semuanya/milik
bersama, bukan milik kelompok atau jamaah tertentu. Dengan kecermatan menjaga untuk
menjauhi pengaruh perasaan sektarian, maka kita tidak dapat membersihkan diri kita dari matamata orang yang keluar dari pemikiran sektarian. Hal itu karena orang yang hidup dalam
masyarakat yang bukan sektarian tidak mampu melibat pada seluruh reaksi yang kadang keluar
dari orang yang hidup dalam masyarakat sektarian.
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 20-02