Pendekatan Irfani dalam Istimbat Hukum

Pendekatan Irfani dalam Istimbat Hukum
DRS. H. ISMAIL THAIB
s
Irfan Sebagai Teori dan Legenda (3)
Sikap 'irfani sebagaimana telah kita deskripsikan pada paragraf yang lalu/di muka,
melontarkan problem filsafat, yaitu problem kejahatan dalam alam. Hal itu menunjukkan
bahwa sang ‘arif, ketika menempatkan subjektifitasnya dalam menghadapi alam, di mana
badannya ada di dalamnya, sementara dia mengembalikan jiwanya kepada asal llahinya,
memisahkannya secara sempurna dan mutlak antara Tuhannya Yang Maha Tinggi yang
bersih dari segala hubungan dengan alam, dengan alam ini sendiri. Kemudian
melontarkan problem asal kejadian alam dengan sumber kejahatan yang ada di dalamnya.
Literatur-literatur ‘irfani lama mengemukakan dua jawaban untuk problem ini: Pertama,
cenderung ke arah filsafat dan menyatakan dahulunya materi, yakni wujud alam dengan
sendirinya sejak azali, di samping Tuhan Yang Maha Tinggi yang bersih dari segala
hubungan dengannya. Untuk memecahkan problem pertumbuhan alam dari materi ini
segi ini menyatakan prinsip ketiga yang menjadi penengah antara Tuhan Yang Maha
Tinggi dengan alam materi, yang menguasai penciptaan alam, sehingga Dia menjadi
Tuhan Pencipta yang bertanggungjawab atas adanya alam dengan kejahatan yang ada di
dalamnya. Dengan demikian terbentuklah tiga prinsip: (1) Tuhan Yang Maha Tinggi yang
bersih dari segala hubungan dengan alam, (2) materi azali, (3) Tuhan Pencipta yang
kadang-kadang disebut dengan "anak pertama" bagi Tuhan, atau "Anak Allah", dan dia

adalah "akal universal". Demikianlah, maka Tuhan menjadi ada dua Tuhan; Tuhan Baik
yang kasih dan ramah..... dan sejenisnya, dan Tuhan Jahat yang pemaksa sangat keras
siksanya.... dan seterusnya. Dan pembebasan diri adalah dengan beramal demi
menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan Tuhan yang terakhir, dari alam, materinya,
keinginan-keinginannya dan tipuan-tipuannya, dan kemudian naik, naiknya jiwa ke
hadirat Tuhan Yang Maha Tinggi, di mana pada akhirnya jiwanya bersatu dengan Tuhan
ini. Segi falsafi inilah yang ditempuh oleh Nomenous al-Afami pendiri faham Neo
Platonis, dengan kedua cabangnya: Timur dan Magribi (Marokko), dan salah seorang dari
kalangan para filsuf yang kepada mereka Hermesisme menyandarkan falsafat teoritiknya.
(Berkenaan dengan Nominous, lihat: Al-Jabiri, Tkwin al-’Aql-‘Arobi, J. I. p. 169, dan
Festugiere, Hermetisme et mystique paienne (Paris: Aubier, 1957, Partie I). Dalam hal ini
telah diikuti, dengan sebagian perbedaan, oleh para filsuf yang biasanya mereka
mengarang (dalam karangan mereka) terkandung Neo Platonisme, baik mereka dari
kalangan para filsuf Magribi, seperti Plotinus, para komentator Aristoteles seperti
lskandar, maupun para filsuf Timur seperti Buzaidun, Amlikho, Perikles, Purpurius ashShuri, Al-Farobi dan lbnu Sina. Merekalah para filsuf yang bekerja di atas "akal/rasio"
'irfan, sehingga mereka menempuh perjalanan "rasio" dalam pemikiran 'irfani mereka dan
mereka mempopulerkan madzhab falsafat ekleksi mereka dengan macam "tashawwuf
'aqli" pada permulaan seperti dapat kita lihat pada lbnu Sina (Lihat: bagian 3, fasal 2 dari
buku ini).
Adapun jawaban kedua yang dikemukakan oleh literatur-literatur 'irfaniyah mengenai

problem kejahatan mengarah kepada segi mithos, saya maksud bahwasanya jawaban itu
berdasar pada mitos sebagai sarana untuk menjelaskan sumber kejahatan. Hal ini
dilakukan dengan merujuk kepada kesalahan yang ditanggung oleh manusia pertama,
manusia langit. Demikianlah para penganut segi/paradigma ini bertolak dari pendapat

dengan satu prinsip yang mereka sebut dengan nama "an-nur/cahaya" yang menciptakan
alam atas perintah darinya, bertolak dan terpisahnya kegelapan darinya yang dia menjadi
karakter atau materi pertama yang dari materi itu akan terbentuk alam. Kemudian
"cahaya" mencipta, yang dengan ungkapan teks-teks lama "cahaya melahirkan" yang dia
itu adalah satu-satunya Tuhan, yang merupakan kesatuan jenis laki-laki dan perempuan
sekaligus, dia melahirkan anaknya yang pertama yang bertugas menciptakan alam dan
dia menjadi Tuhan Pencipta. Kemudian melahirkan anaknya yang kedua, yang dia itu
adalah manusia langit yang akan menanggung kesalahan, sehingga dia menyatu dengan
materi, yang dengan ungkapan teks-teks lama "menikah" dengannya, lalu diikuti dengan
munculnya alam semesta. Dari sini, pembebasan akan terjadi, yaitu pembebasan jiwa dari
materi sebentang rangkaian yang diharungi makhluk dalam kembali kepada asalnya,
sementara alam kembali kepada keadaan sebagaimana keadaan sebelum dia ada: dalam
keadaan cahaya yang meliputi segala dan tidak ada yang lain selainnya. Di sini dalam
kisah "al-mabda wa al-ma'ad" (tempat permulaan dan tempat kembali) ini, terdapat
upaya memfungsikan mitos-mitos Babilonia, Iran, dan Yunani, ditambah dengan

mengambil inspirasi dari kisah penciptaan yang terdapat dalam Taurat.
Di antara teks-teks Hermetisme yang menjelaskan kisah tempat permulaan dan tempat
kembali dengan sarana penceritaan mitos dan yang mungkin disebut sebagai sumber
pertama Hermetisme dalam topik ini, adalah teks yang dikeluarkan oleh Corpus
Hermeticum (Hermes Trismegister, Corpus Hermeticum, trad. Par A.J. Festugiere, vol. I
(Paris: Les belles lettres, 1945-54) dan yang di dalamnya Hermes meriwayatkan apa
yang dilihatnya dalam salah satu penyaksian illuminasinya, dan dalam dialog yang
berlangsung antara dia dengan Tuhan Yang Maha Tmggi, yang dalam mimpi itu
membawa nama Buwamdaris (Buwamdaris dalam literatur-literatur Hermetisme seorang
pribadi yang memerankan berbagai peran yang berbeda-beda: Sesekali dia adalah tuhan
yang maha tinggi, pada kali lain dia adalah suatu kekuatan ketuhanan, yaitu salah satu
malaikat muqorrobin… Dan seterusnya.), sehingga teks itu dinamakan dengan namanya.
Melihat pentingnya teks ini, yaitu kepentingan yang akan menemani pembaca bersama
kami dengan kemajuannya dalam pembacaan materi bagian ini dari buku, kami merasa
perlu untuk menyajikan di sini, terjemahan lengkap tentangnya, setelah simpulan yang
kami percaya bermanfaat terlebih dahulu disajikan ke hadapan pembaca (Dalam simpulan
ini kita bersumber pada resolusi terinci yang diletakkan pada teks terjemahan Corpus
Hermeticum).
Teks dimulai dengan penetapan keutamaan cahaya: Hermes telah melihat dalam mimpi
pertamanya, atau penyaksian kasyafnya, tidak ada perbedaan, cahaya meliputi segala

sesuatu, cahaya yang mulai naik ke atas, untuk menampakkan kegelapan di bawah, dan
berubah menjadi mengeras, itulah yang membentuk alam, atau materi pertama. Hal itu
diikuti oleh pancaran kata ketuhanan yang suci pertama dari cahaya, dan munculnya dua
unsur alam yang keduanya membentuk alam langit, yaitu api dan udara dan keduanya
telah memancar dari alam kering, sementara bumi/tanah dan air masih berbaur dalam
alam bergerak dengan kerja/dengan perbuatan kata yang suci. Setelah ini datang
ungkapan bagian ini dari mimpi: cahaya adalah akal (nous) Tuhan Bapak yang tinggi.
Adapun kata adalah anak pertamanya, adalah Tuhan Pencipta.
Setelah itu datang fase kedua dari pertumbuhan alam, yaitu fase tersusunnya cahaya pada
kondisi yang "kuat" yang tidak terhitung jumlahnya (=seperti Platonisme = gambarangambaran ruhani = malaikat tentara Allah), dan terpisahnya cahaya dan api satu dari

lainnya perpisahan terakhir dan yang akhir ini menetap pada tempatnya yang
mapan/kokoh, dan dia telah naik dari alam dan menuju ke atas, lalu menempel dengan
cahaya. Adapun kini telah terpisah darinya dan menjadi bentuk materi langit. Setelah ini
datang ungkapan bagian dari mimpi ini: Maka alam cahaya yang penuh dengan kekuatan
adalah alam ma'qul (yang terjangkau akal), alam semesta cahaya. Adapun alam indrawi
telah mulai terbentuk dengan kehendak iradah ketuhanan ketika menerima kata suci dan
mulai bekerja untuk meniru alam tinggi yang sangat indah dan mendistribusikan jiwajiwa pada semesta bumi.
Datanglah fase ketiga dan mulai dengan beranaknya Bapak (= Tuhan Tertinggi = cahaya)
yang dia itu laki-laki sekaligus perempuan, cahaya dan kehidupan, bagi akal kedua, yaitu

Tuhan Pencipta, Tuhan Api dan Jiwa, Tuhan inilah yang memimpin penciptaan
pengelolaan-pengelolaan yang tujuh, yaitu planet-planet yang tujuh yang terus berjalan,
yang menjabat pengelolaan alam secara keseluruhan dalam bentuk pengelolaan yang
keras tanpa belas kasih, yang dinamai dengan Destinee (al-Qadar), setelah ini kata suci
meninggalkan alam fisik, yaitu bumi dan air, dan naik kelangit mengikuti saudaranya,
akal. Pencipta dan menyatu dengannya, karena keduanya dari essensi yang sama, dan
bekerja bersama untuk memberikan dorongan pertama bagi perputaran tujuh orbitasi
bintang (=putaran api, bola-bola langit), lalu dia bertolak dengan gerakannya yang
melingkar, sementara bumi dan api telah terpisah satu dari lainnya, kemudian di
bumi/tanah tumbuh binatang-binatang darat dan di air binatang-binatang air dengan
pengaruh gerakan itu.
Fase keempat dimulai dengan munculnya manusia langit (=insan kamil = insan pertama =
Adam sorga) yang dilahirkan oleh akal awal (=tuhan tertinggi) dalam bentuknya lalu dia
mencintainya karena dia adalah bentuknya dan memberinya penguasaan terhadap seluruh
makhluknya. Insan Langit ini ingin dia berdiri sendiri di depan saudaranya Tuhan
Pencipta, sebagai pencipta sesuatu dan dengan izin Tuhan Bapak (=Yang Tinggi) maka
dia masuk kepada bola/planet penciptaan/makhluk (= alam bola/planet tujuh = alam
penciplaan/makhluk dalam menghadapi alam amar yang dia itu merupakan alam kata
suci), maka dia melihat pengelolaan yang tujuh (= jiwa planet-planet yang tujuh yang
beredar) dan dibebani dengannya dan menerimanya dengan senang hati lalu dia

mengusahakan tabi'at/alamnya. Dia keluar dari lingkaran bola tujuh dan menjulur ke
bawah pada alam (= bumi/tanah dan air) gambarannya memantul di atas air dan
bayangannya terlukis di bumi/tanah, lalu dia dicintai oleh alam, dan dia melihat
bayangannya/gambarannya memantul di atas air, kemudian dia mengaguminya dan dia
suka bertempat di bumi (= di mana bayangan bentuknya yang indah terpantul =
narcissus), lalu dia turun, dia diterima oleh alam sebagai kekasihnya lalu keduanya saling
bepelukan dan menyatu sebagai kesatuan perkawinan. Ini adalah kejatuhan atau
kesalahan. Akibatnya, akibat dari kejatuhan ini, adalah bahwa manusia sejak saat itu akan
menjadi yang ada yang berpadu: hancur tubuhnya yang kembali kepada alam, abadi
essensi aslinya yang kembali kepada manusia langit. Demikianlah dia sekaligus tepenjara
oleh qodar dan sebagai tuan atasnya.
Di sinilah mulai proses pembentukan dan pertumbuhan di atas bumi: hal itu bahwa
manusia langit, yang turun ke bumi yang menyatu dengannya dalam persatuan cinta dan
kasih mempersubur kekasihnya, lalu lahirlah pada suatu waktu tujuh Adam (= keberadaan
manusia), yang masing-masing mereka sekaligus laki-laki dan perempuan. Mereka
menandingi jumlah dan tabiat-tabiat mereka, jumlah dan tabiat-tabiat pengelola yang

tujuh. Mereka adalah Adam-Adam yang tubuh mereka bergantung pada unsur-unsur yang
empat yang dan unsur-unsur itu mereka tersusun. Sementara jiwa-jiwa mereka
bergantung kepada manusia langit yang terbagi pada mereka kepada dua bagian; jiwa dan

akal, setelah dalam kedua bagian ini terkandung kehidupan dan cahaya yang diturunkan
kepadanya dan ayahnya. Tetaplah semua keberadaan alam indrawi dalam keadaan seperti
ini sampai berakhir putaran yang tidak terbatas.
Ketika berakhirnya putaran ini dengan kehendak Tuhan Tertinggi dan kata/titah dariNya
terbagilah keberadaan seluruh alam binatang dan manusia ini kepada dua jenis: jenis lakilaki dan jenis perempuan. Dengan kerja perlindungan llahi dan dengan mediasi himpunan
bola-bola langit, mulailah proses populasi dan perbanyakan keberadaan yang hidup, yang
masing-masing sesuai dengan jenisnya.
Demikianlah dari bagian pertama mimpinya, dan berhubungan dengan "permulaan".
sebagaimana kita lihat. Adapun bagian kedua berhubungan dengan "tempat kembali",
dimulai dengan penegasan bahwa manusia yang mengenal dirinya, yakni mengenal
tempat asal-usul sumbernya, dan mengenal bahwa dia adalah yang ada yang abadi
(karena keberadaannya turun dari manusia langit anak Allah), manusia ini berhubungan
dengan kebaikan dan menerima kebaikan dan tempat kembalinya adalah keabadian dalam
alam yang baik dan indah, yaitu alam yang semuanya kehidupan dan cahaya. Adapun
manusia yang masih tetap terikat pada tubuhnya, tubuh ini turun kepadanya dan
kesalahan kerinduan dan cinta, "kesalahan cinta", maka tempat kembalinya adalah
kematian yang gelap, dan dia berhak mendapatkan siksaan, karena dia telah hidup
menjadi budak tubuhnya, yaitu tubuh yang kembali kepada alam yang asalnya dari
kegelapan pertama. Demikianlah jalan pembebasan dimulai dengan mengenal diri/jiwa,
dan inilah 'irfan, satu-satunya jalan pembebasan.

Setelah ini datanglah pembicaraan tentang kehidupan akhirat, dan dimulai dengan
petunjuk bahwa ketika maut menimpa seseorang, tubuhnya menjadi kaku, bentuknya
hilang dari pandangan, tabiatnya yang dihilangkan oleh maut, pergi mengikuti syetan,
sementara kekuatan penginderaannya kembali kepada asalnya, masing-masing kembali
kepada sumber dari mana dia datang (= alam bintang-bintang/planet). Adapun kekuatan
kemarahan dan syahwatnya kembali kepada alam (= materi). Demikianlah sehingga tidak
ada yang tersisa, selain jiwa, yang kemudian naik ke langit, kembali ke asalnya, dan
dalam perjalanan naiknya dia melampaui tujuh petala/cakrawala langit. Pada masingmasing petala yang dilalui dia tinggalkan apa yang dulu dia tempelkan dari petala itu
ketika dia menjadi bagian dari manusia langit yang turun. Demikianlah dia mulai
menanggalkan pakaiannya satu persatu, hingga akhirnya dia telanjang dan bersih lalu
sampai ke langit kedelapan, kemudian masuk ke hadirat "yang kuat" yang tinggi yang
dekat dengan yang maha tinggi (= para malaikat muqorrobun) dan dia menjadi
semisalnya dan kembali kepada Allah untuk menyatu dengannya. ltulah titik tuju 'irfan.
Demikian itulah ringkasan mimpi Hermes.
Pengantar ini diakhiri oleh Al-Jabiri dengan tiga tinjauan:
Pertama adalah : bahwa teks pokok dalam leteratur Hermes yang padat ini
menghimpun imsur-unsur terpenting yang membentuk apa yang mungkin disebut
dengan nama struktur - induk bagi roadzhab-madzhab 'irfaniah yang sebelumnya
telah kita katakan bahwasanya dia ditegakkan di atas pluralitas, sehingga sampai


kepada derajat yang bersamanya sulit bagi peneliti untuk mendapatkan dalam barisan
para gnosis "dua atau tiga orang mereka mengatakan sesuatu yang sama tentang topik
yang sama". Ini dapat difahami, oteh karena itu, 'iifan sebagaimana kita lihal adalab
sikap pribadi, atau untuk mentransfer "pengalaman pribadi". Tetapi bersamaan
dengan itu, sesungguhnya seluruh apa yang dikatakan para gnosis dengan perbedaan
madzhab mereka, mungkin mengembalikannya pada suatu bentuk, atau dengan yang
lain dikembalikan kepada suatu pemikiran atau kepada banyak pemikiTan/ide yang
dikandung oleh teks ini. Seperti contoh atas hal itu menunjukkan kepada apa yang
dikatakan oleh para shufi Islam tentang ahwal dan maqomat mereka yang sumbernya
terdapat dalam mikrajnya jiwa " sang 'ari~, mengbarungi langit-langit yang tujuh,
sehingga dia meninggalkan pada masing-masingnya apa yang telah digantungkan
padanya pada hari di mana dia sedang menjadi bagian dan manusia langit ketika yang
akhir ini turun. Masih ada teks-teks Hermes yang lain yang membuat "maqomat"
dua belas, berdasarklan jumJah bintang-bintang yang masing-masing maqom
memiliki kekhususan dengan sifat tercela yang termasuk sifat-sifat jiwa yang
kebalikannya' sifat-sifat terpuji. Demikian pula "alam atom" menurut para
17
mutashowwif Islam, dia mendapatkan sumbernya pada pemildran/ide "kekuatan"
yang dalam teks-teks Hermes mengandung makna-makna yang darinya terbuat
semacam idea Platonisme yang memiliki sifat ketuhanan... Adapun kisah "tempat

awal dan tempat kembali" menurut golongan IsmaUiyah dan para Filosuf Batiniah,
seperti lbnu Arobi misalnya, maka dia disalin secara langsung dan kandungan kisah
yang sama sebagaimana diriwayatkan oleh Hermes dalam mimpi tersebut. Secara
garis besar, mungkin dapat dikatakan bahwa tak ada satu pemikiran pun yang telah
dikatakan oleh para gnosis Islam, melainkan terdapat apa yang menjadi asasnya pada
teks contoh ini, dan pembaca akan mendapatkan makna dan hal itu pada fasal-fasal
benkut.
Adapun tinjauan kedua berhubungan dengan karakter yang menjadi ciri leteraturleteratur Hermesisme secara urnum, yaitu ekieksi dan talfiq, yaitu : mengambil dan
berbagai madzhab filsafat dan dari berbagai agama. Para gnosis memetik buah dan
apa yang mereka ambil dari sana-sini dengan bentuk dan gambaran-gambaran yang
beraoeka ragam sesuai dengan arah pemikiran mereka dalam suatu saat. Bersamaan
dengan itu arah-arah gnosisme terbesar ridak lebih dari/tidak meiampaui tiga arah :
(1) Arah tujuan yang dikuasai oleh sikap gnosisi/'irfani sebagai usaha, dalam
masyarakat Islam diwakili oleh para shufi, khusus para penganut attwal dan
"syathohat" . (2) Arah tujuan yang didominasi oleh karakteristik falsafat, dan dalam
Islam diwakili oleb "tashowwuf rasional" yang kita jumpai pada AJ-Farobi dalam
pandangannya tentang kebahagiaan. Dalam bentuk yang lebih jelas dan lebih luas
dapat dijumpai pada lbnu Sina dalam falsafat masyriqiyahnya. (3) Adapun arah
tujuan ketiga adalah didominasi oleh pemaparan legenda, yang kita jumpai pada para
Filosuf kalangan orang-orang Ismailiyah dan para shufi batiniyah. Arah

tujuan/orientasi yang tiga ini dia satu-satunya bukan yang lainnya, yang kita maksud
dengan "'irfan" dalam buku ini./ Ini berarti bahwa pnomena rasa batin yang lain yang
masalahnya ditakwilkan kepada perasaan seni atau pengalaman citarasa yang

berbeda-beda yang masuk pada lingkaran seni adalah pnomena yang berada di luar
topik kita, dia bukan • irfan, dalam makna istilah, tentang sesuatu. Memang, sungguh
banyak dari leteratur-literatur shufi yang memaparkan pada kita bentuk-bentuk sastra
seni level tinggi, tetapi apa yang menjadi perbatian kita di sini bukan bentuk seni
yang diungkapkan oleh "'arif' tentang apa yang disebut oleh para mutashowwif/shufi
dengan "intuisi", tetapi yang kita perhatikan adalah kandungannya, yakni ide-ide,
pandangan-pandangan yang keluar darinya, dan macam argumentasi yang
memproduknya atau melahirkannya. 'Irfan, dalam pengertian adalah pengetahuan,
bukan seni.
Adapun tinjauan ketiga dan yang terakhir berhubungan dengan metode interaksi
kita dengan leteratur-literatur 'irfaniyah dalam Islam. Telah kita bincangkan
pemikiran 'irfani dalam Islam yang berkisar sekitar persoalan-persoalan tertentu yang
dianggap persoalan pokok dari segi epistemologi, yaitu persoalan-persoalan yang
melandasi 'irfan sebagai struktur gnosis. Dan telah kita rinci di dalamnya antara yang
bersandar pada metode dengan yang bersandar pada penglihatan dengan pengetahuan
bahwa rincian ini merupakan uraian metodologis lebih banyak ketimbang yang
18
lainnya. Intervensi antara metode dengan penglihatan merupakan kenyataan pokok
pada setiap stmktur gaosis.yang dia itu lebih nampak dalam 'irfan. Ini dan satu segi,
dan dan segi lam kita lebib meacennati pada menonjolnya pakaian Islam (yang
bersifat keagamaan dan politik) yang dipakai oleh para gnosis Islam pada gnosisme
mereka. Dengan kata lain, kita menegaskan kualitas yang difungsikan para gnosis
Islam pada teks-teks Islam ,untuk pCTgabdian terhadap arah tujuan madzhab
keagamaan mereka dan satu segi, dan kualitas yang mereka fungsikan pada warisan
'irfani lama demi pengabdian terhadap kecenderungan politik dan madzhab mereka
dalam lingkaran Islam dan segi lainnya. Akhirnya, yang bukan terakhir, kita sangat
mencermati untuk menjauhi pengaruh perasaan kelompok, selungga kita meringankan
kritikan ke derajat serendah mungkin, berkenaan dengan kritik terhadap madzhab*
madzhab yang masih dipeluk dalam suatu bentuk atau bentuk yang lain oleh
kelompok ini atau oleh kelompok-kelompok keagamaan yang ada di tanah air orang
Arab. Adapun ketika masalah berhubungan dengan individu-individu yang interaksi
kritik bersama mereka ridak terpengaruh oleh perasaan kelompok mana pun dalam
kondisi yang ringan, maka kita telah mengadaptasikan tanpa ikatan-ikatan selain
kritik ilmiah objektif. Ini kembali kepada kenyataan bahwa kita menganggap apa
yang ditinggalkan oleh mereka sebagai individu-iondividu adalah milik bagi
sernuanya/milik bersama, bukan milik kelompok atau jamaah tertentu. Dengan
kecennatan menjaga untuk menjauhi pengaruh prasaan sektarian, maka kita tidak
dapat membersihkan diri kita dari mata-mata orang yang keluar dari pemikiran
sektarian. Hal itu karena orang yang hidup dalam mayarakat yang bukan sektarian
tidak mampu melibat pada seluruh reaksi yang kadang keluar dari orang yang hidup
dalam masyarakat sektarian.
Sumber: SM-19-2002