Dinamika Leksikon Proses Padi Menjadi Beras dalam Bahasa Bali di Desa Batugunung Karangasem.

(1)

1

Dinamika Leksikal Proses Padi Menjadi Beras dalam Bahasa Bali di Desa Bukit, Karangasem

Oleh: Ni Made Suryati

Prodi Sastra Bali, Fakultas Sastra, Univrsitas Udayana

1. Pendahuluan

Kemajuan teknologi di bidang pertanian, perkebunan, perindustrian, struktur bangunan, dan berbagai bidang kehidupan lainnya membawa dampak perubahan dalam lingkungan masyarakat penutur suatu bahasa. Misalnya, suatu wilayah yang dulunya merupakan hutan belantara dirombak oleh masyarakat yang berdekatan dengan wilayah hutan. Hutan itu ditanami sirih, kopi, cengkeh, vanili, dan sebagainya. Hal ini akan berdampak terhadap keadaan air di wilayah itu, dulunya air selalu ada, baik pada musim hujan maupun pada musim panas, sekarang sudah tidak demikian lagi. Begitu pula masyarakat di pedesaan yang tanah pertaniannya, dulu ditanami jagung, palawija, dan padi berubah menjadi tanah perkebunan cengkeh, jeruk, dan sebagainya (Suryati, 2012: 6—7).

Seiring dengan perubahan-perubahan di atas, maka bahasa yang merupakan sarana untuk menyampaikan ide pikiran, hal-hal yang ada di lingkungannya akan mengalami perubahan. Salah satu unsur bahasa yang sangat dipengaruhi oleh kondisi di atas adalah unsur leksikal. Menurut Fill dan Peter Muhlhausler (2001: 2), leksikal suatu bahasa merupakan bagian yang paling jelas menggambarkan lingkungan fisik dan sosial penuturnya. Bidang yang

mengkaji hubungan antara bahasa dengan lingkungan fisik dan sosial penuturnya, Disajikan pada Forum Kerja Sama Prodi Sastra Daerah Antar Universitas (Unud-UGM-UI- UNS pada ytanggal 27 Agustus 2015


(2)

2

dewasa ini dikenal dengan istilah ekolinguistik. Edwar Sapir juga menekankan bahwa keadaan saling berhubungan antara bahasa dengan lingkungannya hanya dalam tataran leksikal (Fill dan Peter Muhlhausler, 2001: 2).

Menurut Tzeporah Berman, perubahan itu bisa jadi pada tahapan leksikal masih dikenal, tetapi sudah kehilangan referennya atau kemungkinan leksikal dan referennya sudah tidak dikenal lagi (Fill dan Peter Muhlhausler, 2001: 264). Hal tersebut di atas, diasumsikan dapat juga terjadi dalam bahasa Bali.

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas, pada kesempatan ini dibahas menganai “Dinamika Leksikon Proses Padi Menjadi Beras dalam Bahasa Bali di Desa Bukit, Karangasem”. Hal yang menarik dari tulisan ini adalah mencermati sejarah pertanian khususnya padi di Desa Bukit dan diikuti oleh kemajuan teknologi. Desa Bukit, pada jaman dahulu sebagian besar wilayahnya terdiri atas persawahan dengan ditanami padi varietas padi gondrong yang berasnya disebut beras Bali. Setelah adanya kemajuan di bidang perkebunan dan pertanian, jenis padi yang ditanam oleh masyarakat adalah padi IR, PB, C4, dan sebagainya. Jarang sekali masyarakat menanam padi Bali. Sementara itu, dengan kemajuan di bidang perkebunan, hampir seluruh sawah-sawah berubah menjadi kebun jeruk keprok, rambutan, cengkeh, dan tumbuhan lainnya. Di samping itu, dengan kemajuan di bidang teknologi, alat untuk memproses padi menjadi beras juga mulai diperkenalkan, sehingga leksikon yang mendukung proses perubahan padi menjadi beras dapat diasumsikan bergeser penggunaannya, bahkan di kalangan anak muda sudah banyak yang tidak mengenal lagi. Oleh karena itu pada


(3)

3

kesempatan ini akan dibahas tiga permasalahan, yaitu (1) leksikon apa saja yang menbentuk proses perubahan padi menjadi beras ? (2) bagaimanakah bentuk leksikon proses padi menjadi beras? (3) adakah perubahan pemakaian leksikon proses padi menjadi beras? Dengan terjawabnya ketiga permasalahan tersebut, diharapkan dapat diketahui dinamika leksikon proses padi menjadi beras dalam bahasa Bali di Desa Bukit, Karangasem.

2. Teori, Metode, dan Sumber Data

Untuk mengkaji permasalahan tersebut, diperlukan teori, metode, serta sumber data yang digunakan dalam analisis. Berikut disajikan uraian masing-masing.

2.1 Teori

Teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori struktural yang dikembangkan pertama kali oleh Ferdinand de Saussure seorang liguis berkebangsaan Swiss. Pandangan-pandangannya tentang linguistik dituangkan oleh muridnya yang bernama Charles Bally dan Albert Sechehaye dalam sebuah buku yang berjudul Cours de Linguistiqui General (1916).

Teori ini beranggapan bahwa setiap bahasa memiliki perangkat-perangkat bahasa dari perangkat yang paling kecil sampai perangkat yang paling besar, yaitu dari perangkat bunyi dipelajari oleh fonologi; morfem dan kata dipelajari oleh morfologi; frasa, klausa, dan kalimat dipelajari oleh sintaksis. Keenam perangkat bahasa itu tersusun dalam sebuah wacana. Masing-masing perangkat bahasa itu memiliki sistem, tetapi antara perangkat yang satu dengan perangkat yang lainnya


(4)

4

memiliki keterkaitan. Hubungan keterkaitan perangkat-perangkat itu disebut dengan struktur. Berkaitan dengan pembahasan bentuk leksikon dalam tulisan ini maka yang digunakan adalah perangkat linguistik yang merupakan bidang morfologi.

Teori ini juga disertai dengan pendekatan ekolinguistik untuk mengetahui dinamika leksikonnya karena dinamika leksikon proses padi menjadi beras sangat dipengaruhi oleh ekologi baik tumbuh-tumbuhan maupun aktivitasnya.

2.3 Metode dan Teknik

Pengumpulan data untuk keperluan tulisan ini digunakan metode cakap dengan dibantu teknik catat (Sudaryanto, 1988: 2—7). Untuk analisis data digunakan metode distribusional yaitu suatu metode yang menganalisis data dengan menghubungkan unsur-unsur bahasa yang terdapat di dalam bahasa itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 13). Di samping itu analisis dilakukan juga dengan membandingkan data yang dipahami oleh usia muda, usia dewasa, dan usia tua. Kemudian dihitung prosentase penyusutannya. Hasil analisis disajikan dengan metode formal dan informal dengan teknik induktif dan deduktif secara silih berganti.

2.4 Sumber Data

Jenis data yang digunakan dalam analisis tulisan ini adalah data primer. Data primer bersumber dari pemakai bahasa Bali di Desa Bukit, Karangasem. Untuk mengetahui dinamika leksikon bahasa Bali, dipilih 15 informan. Lima


(5)

5

orang usia tua, yaitu umur 51—70 tahun; usia dewasa 26—50 tahun lima orang, dan usia muda dari umur 15—25 tahun.

3. Analisis Dinamika Leksikal Proses Padi Menjadi Beras dalam Bahasa Bali di Desa Bulit, Karangasem

Pada bagian analisis, sesuai dengan pernasalahan, dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) inventarisasi leksikal proses padi menjadi beras; (2) bentuk leksikal proses padi menjadi beras; dan (3) dinamika leksikal proses padi menjadi beras. Masing-masing diuraikan berikut ini.

3.1 Inventarisasi Leksikal Proses Padi Menjadi Beras dalam Bahasa Bali di Desa Bukit, Karangasem

Berbicara inventarisasi leksikal proses padi menjadi beras, tentu leksikal yang diinventarisasi adalah leksikal verba saja, namun dalam tulisan ini juga akan diinventarisasi leksikal yang berkaitan dengan proses padi menjadi beras yang berupa nomina yang merupakan alat-alat yang digunakan untuk mendukung proses padi menjadi beras. Oleh karena itu ada dua kategori yang diinventarisasi yaitu leksikal verba dan leksikal nomina. Di samping itu fungsi dari masing-masing leksikal itu juga dijelaskan. Keduanya disajikan berikut ini.

3.1.1 Leksikal Verba Proses Padi Menjadi Beras

Leksikal yang mendukung proses perubahan padi menjadi beras ditemukan sebagai berikut.

1) Ngerendeng /NerendeN/ „merontokkan biji padi jenis padi yang terdahulu yang berasnya disebut beras Bali dengan menggunakan rendeng /rendeN/’.


(6)

6

2) Ngedig/NEdig/, nigtig/nigtig/ „merontokkan biji padi jenis padi C4, IR, PB dari batangnya dengan memukul-mukulkan padi di atas balai yang sudah disediakan‟.

3) Napin /napin/ nampi baik untuk padi yang baru dirontokkan dari batangnya maupun padi yang sudah ditumbuk untuk memisahkan beras dan dedaknya‟. 4) Nebuk /nEbuk/ „ menumbuk padi baik dengan lesung /lEsuN/ maunpun

ketungan /kEtuNan/’.

5) Ngelesung /NelEsuN/ „menumbuk dengan menggunakan lesung /lEsuN/. 6) Nyeksek /ñeksek/ „memisahkan beras yang besar-besar dengan yang kecil-kecil

dengan menggunakan nyiru dengan cara menggerak-gerakkan nyiru mengarah ke depan bawah atau memisahkan beras dari dedak halusnya‟.

7) Ngindang /Nindang/ „memilih butiran padi yang masih tersisa diantara butiran beras-beras dengan menggunakan nyiru yang diputar-putar (ada yang memutar ke kanan ada yang ke kiri tergantung kebiasaan pelakunya). Gerakan ini juga bisa mengelompokkan beras yang besar-besar dan memisahkan dengan butiran yang lebih kecil.

8) Nyeruh /ñEruh/ „membersihkan padi yang sudah menjadi beras agar menjadi lebih putih dan bersih dengan cara ditumbuk lagi. Biasanya supaya mau lebih bersih, beras ditumbuk dengan kulit jagung.

9) Nyidi /ñidi / „mengayak beras untuk memisahkan beras yang kecil-kecil sekali atau bisa juga untuk memisahkan dedaknya yang halus..

10) Nyelip /ñElip/ „memproses padi menjadi beras dengan menggunakan mesin penggiling‟


(7)

7

3.1.2 Leksikal Nomina Proses Padi Menjadi Beras

Leksikal nomina yang ada hubungannya dengan proses dari padi menjadi beras disajikan berikut ini.

1) Belulang /bElulang/ „kulit sapi yang dikeringkan, yang digunakan sebagai alas untuk merontokkan butiran-butiran padi dari dahannya (ngerendeng).

2) Rendeng /rendeN/ ‘alat yang digunakan untuk merontokkan padi dari dahannya, terbuat dari bambu yang ujungnya ada dipasangi besi ada yang tidak’.

3) Padi /padi/ „padi‟

4) Jijih /jijih/ „padi yang sudah dirontokkan dari batangnya (biasanya padi yang menghasilkan jenis beras Bali‟

5) Gabah /gabah/ „padi yang sudah dirontokkan (biasanya jenis padi C4, IR, PB)‟.

6) Buntar /buntar/ „lingkaran besi yang dipasang diujung bambu yang dipakai merontokkan butiran padi agar tajam sehingga dengan cepat dapat merontokkan biji-biji padi dari dahannya.

7) Kumarang /kumaraN/, ngiu /Niu/„nyiru‟.

8) Lesung /lEsuN/ ’ lumbang terbuat dari batu atau kayu, lubangnya berbentuk bulat ‟.

9) Ketungan /kEtuNan/ „lumbang terbuat dari kayu dengan lubang segi empat panjang, dan dapat digunakan untuk menumbuk sampai lebih dari lima orang, tergantung panjangnya ketungan ‟


(8)

8

11) Baas galih /baas galih/ „beras yang besar-besar atau utuh butirannya‟.

12) Baas remuk /baas rEmuk/ „ beras remuk/hancur‟. Beras ini biasanya disebabkan oleh padi yang akan ditumbuk kurang dijemur.

13) Mincid /mincid/„padi yang setelah ditumbuk, ada bagian berasnya kecil-kecil sekali‟.

14) Oot pesak /oot pEsak/ ‟dedak yang diperoleh dari hasil ngerendeng’.

15) Oot dekdek /oot dEkdEk/ „dedak halus yang dihasilkan berdasarkan tumbukan padi yang terakhir.

16) Latah/latah/ „padi yang sudah ditumbuk menjadi beras, tetapi ada beberapa butir yang tidak lepas kulitnya (belum menjadi beras)‟

17) Sidi /sidi/ ‟ayakan‟ digunakan untuk memisahkan beras yang kecil-kecil atau menjatuhkan dedak halusnya‟.

18) Bedeg /bEdeg/, galar /galar/ „alat yang dipakai alas untuk merontokkan padi jenis C4, IR, PB, dan yang sejenis‟.

19) Pengerukan /pENErukan/ „alat semacam sendok tetapi tidak ada tangkainya terbuat dari batok kelapa, digunakan untuk menyendok padi yang sudah ditumbuk dari dalam lumbang‟.

20) Selip /sElip/ ‘alat pemroses padi menjadi beras mesin giling’

3.2 Bentuk Leksikal Proses Padi Menjadi Beras dalam Bahasa Bali di Desa Bukit, Karangasem

Berbicara bentuk leksikon, sudah tentu ada kaitannya dengan morfologi. Bentuk leksikon dapat dibedakan menjadi dua, yaitu bentuk dasar dan bentuk


(9)

9

turunan. Bentuk dasar adalah bentuk leksikal yang belum mengalami proses morfologis, sedangkan bentuk turunan adalah bentuk yang sudah mengalami proses morfologis (Ramlan, 1980: 27—51). Proses morfofogis dalam bahasa Bali, pada umumnya dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan (Granoka dkk., 1996). Afiksasi dapat berupa prefiksasi, infiksasi, sufiksasi, konfiksasi, dan imbuhan gabung.

Bentuk leksikal proses padi menjadi beras dapat diketahui berdasarkan data leksikonal yang disajikan pada 3.1.

3.2.1 Leksikal Bentuk Dasar

Leksikal proses padi menjadi beras yang merupakan bentuk dasar dalam bahasa Bali umumnya merupakan nomina sebagai penunjang untuk melakukan kegiatan proses mengubah padi menjadi beras. Beberapa contoh disajikan berikut ini.

(1) Belulang /bElulaN/ „kulit sapi yang dikeringkan‟ (2) Rendeng/rendeN/ ’alat untuk merontokkan padi‟ (3) Sidi /sidi/ „ayakan‟

(4) Latah /latah/ „butiran padi yang sudah ditumbuk tetapi kulitnya tidak lepas.

Kalau diperhatikan keempat contoh di atas, semuanya merupakan bentuk dasar karena keempat contoh tersebut tidak dapat dipecah lagi ke dalam bentuk yang leih kecil yang bermakna. Jika keempat leksikal di atas dipecah-pecah akan menjadi fonem-fonem yang tidak punya arti. Oleh karena itu keempat contok di atas merupakan bentuk dasar.


(10)

10 Contoh lainnya:

(5) Elu /Elu/ „antan‟.

(6) Mincid /mincid/ „beras yang kecil-kecil‟

(7) Jijih /jijih/ ‘padi yang sudah dirontokkan‟

3.2.2 Leksikal Bentuk Turunan

Berdasarkan inventarisasi leksikal proses padi menjadi beras dalam bahasa Bali di Desa Bukit, Karangasem dapat diketahui, bahwa bentuk turunan leksikal proses padi menjadi beras terdiri atas bentuk berafiks yaitu dengan prefiks dan imbuhan gabung, serta bentuk kompositum (pemajemukan). Berikut disajikan uraiannya.

3.2.2.1 Leksikal Berafiks

Leksikal bentuk berafiks ada dua macam, yaitu leksikal berprefiks dan leksikal berimbuhan gabung. Keduanya disajikan berikut ini.

1) Leksikal Berprefiks {N-}

Berdasarkan data, leksikal berprefiks terdiri atas leksikal verba yang menunjukkan aktivitas untuk memproses padi menjadi beras. Berikut disajikan datanya.

(8) Ngerendeng /NerendeN/ ‘merontokkan padi dengan rendeng /rendeN/. (9) Napin /napin/ „menampi‟

(10) Nebuk /nEbuk/ ‘;menumbuk‟ (11) Nyidi /ñidi/ „mengayak‟


(11)

11

(13) Ngedig /NEdig/ „merontokkan padi dengan memukulkan bagian buah padi ke dalama balai yang memang untuk perontok padi‟.

(14) Ngindang /NindaN/ „memilih butiran padi yang masih tersisa diantara butiran beras-beras dengan menggunakan nyiru yang diputar-putar‟. Data (8—14) merupakan bentuk berprefiks karena bentuk dasarnya mendapat imbuhan pada awal bentuk dasar. Data (8) bentuk dasarnya rendeng mendapat alomorf /N-/; data (9) bentuk dasarnya tapin /tapin/ „tampi‟ mendapat alomorf /n-/; data (10) bentuk dasarnya tebuk /tEbuk/ „tumbuk‟ mendapat alomorf /n-/; data (11) bentuk dasarnya sidi /sidi/ „ayakan‟ mendapat alomorf /ñ-/; data (12) bentuk dasarnya lesung /lEsuN/ „lumbang‟ mendapat alomorf /N-/, data (13) bentuk dasarnya gedig /gEdig/ „pukul‟, dan data (14) bentuk dasarnya indang /indaN/juga mendapat alomorf /N-/. Kalau diperhatikan ketujuh contoh di atas, nampak alomorf /N-/ muncul apabila bentuk dasarnya diawali oleh konsonan /r, l, g/ dan vokal /i/; alomorf /n-/ muncul apabila bentuk dasarnya diawali konsonan /t/; dan alomorf /ñ-/ muncul apabila bentuk dasarnya diawali oleh konsonan /s/. Jika dilihat distribusi ketiga alomor, maka alomorf /N-/ memiliki distribusi paling luas. Dengan demikian leksikalketujuh leksikal di atas dapat dikatakan leksikal berprefiks {N-}.

2) Leksikal Berimbuhan Gabung {pE--- ---N-/-an}

Leksikal dalam bentuk berimbuhan gabung hanya ditemukan satu data, yaitu pengerukan /pENErukan/ ’alat yang dipakai menyendok padi yang sudah ditumbuk dari lumbang berasal dari bentuk asal keruk /kEruk/


(12)

12

konfiks {pE--- ---/-an} sehingga menjadi /pENErukan/. Karena proses pembentukan leksikal ini pertama dibentuk dengan prefix, kemudian dibentuk fengan konfiks maka disebut leksikal berimbuhan gabung.

3.2.2.2 Leksikal Berbetuk Kata Majemuk

Leksikal berbentuk kata majemuk adalah leksikal yang dibentuk oleh dua kata yang membentuk satu kesatuan makna yang utuh. Beberapa contoh disajikan berdasarkan data yang ditemukan.

(15) Oot pesak /oot pEsak/„dedak kasar‟. (16) Oot dekdek /oot dEkdEk/ „dedak halus. (17) Baas remuk /baas rEmuk/„beras hancur‟.

(18) Baas galih /baas galih/ „beras yang utuh dan besar-besar‟.

Contoh (15—18) dapat dikatakan bentuk leksikal majemuk karena keempatnya masing-masing terdiri atas dua kata yang membentuk satu kesatuan makna yang utuh. Kalau dilihat dari hubungan unsur-unsurnya, keempat leksikal majemuk di atas termasuk leksikal majemuk tidak setara karena salah satu unsurnya tidak dapat menggantikan fungsi leksikal di atas atau salah satu unsurnya menjelaskan unsur yang lainnya..

3.3 Dinamika Leksikal Proses Padi Menjadi Beras dalam bahasa Bali di Desa Bukit Karangasem

Berbicara masalah dinamika leksikal proses padi menjadi beras sudah tertu berkaitan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada leksikal yang ada


(13)

13

kaitannya dengan proses padi menjadi beras. Perubahannya meliputi perubahan yang menuju ke arah lebih berkembang (progresif) atau ke arah kurang berkembang. Pada bagian teori dikatakan bahwa tulisan ini juga menggunakan pendekatan ekolinguistik. Itu berarti bahwa seperti apa yang sudah disajikan pada pendahuluan, kehadiran leksikal itu sangat dipengaruhi oleh ekologi alam dan lingkungan, sosial-budaya, aktivitas, dan sebagainya. Karena pembicaraan di sini adalah proses padi menjadi beras tentu berkaitan dengan jenis tumbuhan yang menunjang aktivitas terkait dengan proses padi menjadi beras.

Pada 3.1 sudah diinventarisasi leksikal yang berhubungan dengan aktivitas proses padi menjadi beras dan nomina yang mendukung aktivitas tersebut. Pada bagian ini dibahas bagaimana perkembangan leksikal-leksikal tersebut.

Mennurut informan yang tergolong tua, pada mulanya tidak dikenal istilah selip /sElip/, nyelip / ñElip/, padi PB, padi C4, padi IR, dan yang sejenisnya. Kira-kira sekitar tahun 1975-an mulai diperkenalkan varietas jenis padi unggulan yang masa tanamnya lebih cepat, sehingga masyarakat mulai menanam jenis padi baru dan mulai meninggalkan jenis padi Bali. Seiring dengan itu, mulai diperkenalkan peralatan untuk menggiling beras sehingga muncul leksikal baru di atas.

Dengan demikian, dari 10 leksikal aktivitas dan 20 leksikal nomina yang ada kaitannya dengan proses padi menjadi beras 100% leksikal itu dikenal oleh semua golongan generasi tua.


(14)

14

Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan kemajuan perkebunan, para petani di Desa Bukit mulai mengalihfungsikan sawahnya menjadi perkebunan, diantaranya kebun jeruk, cengkeh, vanili, rambutan, sehingga aktivitas yang selama ini dijalani oleh masyarakat sudah berubah. Secara faktual, sampai saat ini hanya ada beberapa orang yang menanam padi, sehingga pada generasi dewasa sudah mulai tidak mengenal beberapa leksikal proses padi menjadi beras. Dari lima informan, pengetahuannya tidak seragam. Hal itu disebabkan karena (1) Informan yang kebetulan memiliki peralatannya masih mengetahui leksikal-leksikal itu, Misalnya /lEsuN/, /Elu/, /kumaraN/Niu/ sedangkan informan yang tidak memiliki peralatannya sudah tidak mengetahui leksikal itu. (2) Pemahaman seseorang akan pelajaran bahasa Bali di Sekolah juga mempengaruhi variasi pengetahuan leksikal yang berkaitan dengan proses padi menjadi beras, maksudnya informan yang saat menjadi murid benar-benar memperhatikan pelajarannya akan mengetahui beberapa istilah tersebut walaupun sudah tidak memiliki atau tidak pernah melakukan aktivitas tersebut. (3) Beberapa leksikal masih dipakai dalam aktivitas lain sehingga peralatan yang mendukung masih dikenal bagi informan yang melakukan aktivitas, tetapi informan yang tidak melakukan aktivitasnya sudah mulai tidak mengenal lagi misalnya /napin/, / ñidi/, /sidi/. Beberapa leksikal yang sudah tidak dikenal oleh beberapa informan adalah /NErendeN/, /rendeN/, /buntar/, /NElEsuN/, /ñeksek/, /kEtuNan/, pENErukan/. Dengan demikian, pada generasi dewasa leksikal proses padi menjadi beras sudah mengalami penyusutan sekitar 20 %.


(15)

15

Pada generasi muda, kebertahanan leksikal itu juga sama disebabkan oleh ketiga faktor yang sudah dijelaskan pada uraian generasi dewasa. Dari lima informan generasi muda yang ditanya tentang ketiga puluh leksikal yang berhubungan dengan proses padi menjadi beras juga pemahamannya berbeda.

Dua informan mengetahui leksikal aktivitas hanya dua yaitu / ñidi/ dan /ñElip/, sedangkan delapan leksikal aktivitas lainnya sama sekali tidak dikenal. Leksikal nominanya yang berjumlah 20 hanya dikenal 5 buah, yaitu /padi/, /jijih/, /gabah/, /sElip/ , dan /baas remuk/.

Tiga orang informan lainnya masih mengetahui lebih banyak leksikal yang ada kaitannya dengan proses padi menjadi beras. Leksikal yang umumnya sudah mulai tidak dikenal lagi yang berkaitan dengan aktivitasnya adalah /NErendeN/, /NElEsuN/, / ñeksek/, /NindaN/, dan / ñEruh/. Leksikal nominanya yang sudah mulai menyusut atau tidak dikenal pada umumnya adalah /bElulaN/, /redeN/, /buntar/, /kEtuNan/, /mincid/, /latah/, /baas galih/, dan /oot pEsak/. Dengan demikian, penyusutan leksikal pada generasi muda rata-rata sekitar 40 %.

4. Simpulan

Berdasarkan uraian pada bagian di atas dapat dibuat simpulan sebagai berikut.

1) Inventarisasi leksikal proses padi menjadi beras ditemukan 30 leksikal yang terdiri atas 10 leksikal yang menyatakan aktivitas dan 20 nomina sebagai pendukungnya.


(16)

16

2) Bentuk leksikal proses padi menjadi beras terdiri atas leksikal bentuk dasar, berprefiks, berimbuhan gabung, dan kata majemuk.

3) Dimamika leksikal proses pembentukan pai menjadi beras, pada generasi tua ada penambahan sehingga pada generasi tua rata-rata memiliki pengetahuan 100%, pda generasi dewasa rata-rata pengalami penyusutan sekitar 20 %, dan pada generasi muda penyusutannya meningkat menjadi sekitar 40%.

Daftar Pustaka

Fill, Alwin dan Peter Muhlhausler (editor). 2001. The Ecolinguistics Reader: Language Ecology and Environment. London and New York: Continuum. Granoka, Ida Wayan dkk. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar:

Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Ramlan, M. l980. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: UP Karyono.

Saussure, F. de. 1989. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sudaryanto. l993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan. Yogyakarta; Duta Wacana University Press.

Suryati, Ni Made. 2012. “Variasi Fonologis dan Leksikal Bahasa Lio di Flores, Nusa Tenggara Timur: Kajian Dialek Geografi”. Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.


(1)

11

(13) Ngedig /NEdig/ „merontokkan padi dengan memukulkan bagian buah padi ke dalama balai yang memang untuk perontok padi‟.

(14) Ngindang /NindaN/ „memilih butiran padi yang masih tersisa diantara butiran beras-beras dengan menggunakan nyiru yang diputar-putar‟. Data (8—14) merupakan bentuk berprefiks karena bentuk dasarnya mendapat imbuhan pada awal bentuk dasar. Data (8) bentuk dasarnya rendeng mendapat alomorf /N-/; data (9) bentuk dasarnya tapin /tapin/ „tampi‟ mendapat alomorf /n-/; data (10) bentuk dasarnya tebuk /tEbuk/ „tumbuk‟ mendapat alomorf /n-/; data (11) bentuk dasarnya sidi /sidi/ „ayakan‟ mendapat alomorf /ñ-/; data (12) bentuk dasarnya lesung /lEsuN/ „lumbang‟ mendapat alomorf /N-/, data (13) bentuk dasarnya gedig /gEdig/ „pukul‟, dan data (14) bentuk dasarnya indang /indaN/‘ juga mendapat alomorf /N-/. Kalau diperhatikan ketujuh contoh di atas, nampak alomorf /N-/ muncul apabila bentuk dasarnya diawali oleh konsonan /r, l, g/ dan vokal /i/; alomorf /n-/ muncul apabila bentuk dasarnya diawali konsonan /t/; dan alomorf /ñ-/ muncul apabila bentuk dasarnya diawali oleh konsonan /s/. Jika dilihat distribusi ketiga alomor, maka alomorf /N-/ memiliki distribusi paling luas. Dengan demikian leksikalketujuh leksikal di atas dapat dikatakan leksikal berprefiks {N-}.

2) Leksikal Berimbuhan Gabung {pE--- ---N-/-an}

Leksikal dalam bentuk berimbuhan gabung hanya ditemukan satu data, yaitu pengerukan /pENErukan/ ’alat yang dipakai menyendok padi yang sudah ditumbuk dari lumbang berasal dari bentuk asal keruk /kEruk/


(2)

12

konfiks {pE--- ---/-an} sehingga menjadi /pENErukan/. Karena proses pembentukan leksikal ini pertama dibentuk dengan prefix, kemudian dibentuk fengan konfiks maka disebut leksikal berimbuhan gabung.

3.2.2.2 Leksikal Berbetuk Kata Majemuk

Leksikal berbentuk kata majemuk adalah leksikal yang dibentuk oleh dua kata yang membentuk satu kesatuan makna yang utuh. Beberapa contoh disajikan berdasarkan data yang ditemukan.

(15) Oot pesak /oot pEsak/ „dedak kasar‟. (16) Oot dekdek /oot dEkdEk/ „dedak halus. (17) Baas remuk /baas rEmuk/ „beras hancur‟.

(18) Baas galih /baas galih/ „beras yang utuh dan besar-besar‟.

Contoh (15—18) dapat dikatakan bentuk leksikal majemuk karena keempatnya masing-masing terdiri atas dua kata yang membentuk satu kesatuan makna yang utuh. Kalau dilihat dari hubungan unsur-unsurnya, keempat leksikal majemuk di atas termasuk leksikal majemuk tidak setara karena salah satu unsurnya tidak dapat menggantikan fungsi leksikal di atas atau salah satu unsurnya menjelaskan unsur yang lainnya..

3.3 Dinamika Leksikal Proses Padi Menjadi Beras dalam bahasa Bali di Desa Bukit Karangasem

Berbicara masalah dinamika leksikal proses padi menjadi beras sudah tertu berkaitan dengan perubahan-perubahan yang terjadi pada leksikal yang ada


(3)

13

kaitannya dengan proses padi menjadi beras. Perubahannya meliputi perubahan yang menuju ke arah lebih berkembang (progresif) atau ke arah kurang berkembang. Pada bagian teori dikatakan bahwa tulisan ini juga menggunakan pendekatan ekolinguistik. Itu berarti bahwa seperti apa yang sudah disajikan pada pendahuluan, kehadiran leksikal itu sangat dipengaruhi oleh ekologi alam dan lingkungan, sosial-budaya, aktivitas, dan sebagainya. Karena pembicaraan di sini adalah proses padi menjadi beras tentu berkaitan dengan jenis tumbuhan yang menunjang aktivitas terkait dengan proses padi menjadi beras.

Pada 3.1 sudah diinventarisasi leksikal yang berhubungan dengan aktivitas proses padi menjadi beras dan nomina yang mendukung aktivitas tersebut. Pada bagian ini dibahas bagaimana perkembangan leksikal-leksikal tersebut.

Mennurut informan yang tergolong tua, pada mulanya tidak dikenal istilah selip /sElip/, nyelip / ñElip/, padi PB, padi C4, padi IR, dan yang sejenisnya. Kira-kira sekitar tahun 1975-an mulai diperkenalkan varietas jenis padi unggulan yang masa tanamnya lebih cepat, sehingga masyarakat mulai menanam jenis padi baru dan mulai meninggalkan jenis padi Bali. Seiring dengan itu, mulai diperkenalkan peralatan untuk menggiling beras sehingga muncul leksikal baru di atas.

Dengan demikian, dari 10 leksikal aktivitas dan 20 leksikal nomina yang ada kaitannya dengan proses padi menjadi beras 100% leksikal itu dikenal oleh semua golongan generasi tua.


(4)

14

Dalam perkembangan selanjutnya, seiring dengan kemajuan perkebunan, para petani di Desa Bukit mulai mengalihfungsikan sawahnya menjadi perkebunan, diantaranya kebun jeruk, cengkeh, vanili, rambutan, sehingga aktivitas yang selama ini dijalani oleh masyarakat sudah berubah. Secara faktual, sampai saat ini hanya ada beberapa orang yang menanam padi, sehingga pada generasi dewasa sudah mulai tidak mengenal beberapa leksikal proses padi menjadi beras. Dari lima informan, pengetahuannya tidak seragam. Hal itu disebabkan karena (1) Informan yang kebetulan memiliki peralatannya masih mengetahui leksikal-leksikal itu, Misalnya /lEsuN/, /Elu/, /kumaraN/Niu/ sedangkan informan yang tidak memiliki peralatannya sudah tidak mengetahui leksikal itu. (2) Pemahaman seseorang akan pelajaran bahasa Bali di Sekolah juga mempengaruhi variasi pengetahuan leksikal yang berkaitan dengan proses padi menjadi beras, maksudnya informan yang saat menjadi murid benar-benar memperhatikan pelajarannya akan mengetahui beberapa istilah tersebut walaupun sudah tidak memiliki atau tidak pernah melakukan aktivitas tersebut. (3) Beberapa leksikal masih dipakai dalam aktivitas lain sehingga peralatan yang mendukung masih dikenal bagi informan yang melakukan aktivitas, tetapi informan yang tidak melakukan aktivitasnya sudah mulai tidak mengenal lagi misalnya /napin/, / ñidi/, /sidi/. Beberapa leksikal yang sudah tidak dikenal oleh beberapa informan adalah /NErendeN/, /rendeN/, /buntar/, /NElEsuN/, /ñeksek/, /kEtuNan/, pENErukan/. Dengan demikian, pada generasi dewasa leksikal proses padi menjadi beras sudah mengalami penyusutan sekitar 20 %.


(5)

15

Pada generasi muda, kebertahanan leksikal itu juga sama disebabkan oleh ketiga faktor yang sudah dijelaskan pada uraian generasi dewasa. Dari lima informan generasi muda yang ditanya tentang ketiga puluh leksikal yang berhubungan dengan proses padi menjadi beras juga pemahamannya berbeda.

Dua informan mengetahui leksikal aktivitas hanya dua yaitu / ñidi/ dan /ñElip/, sedangkan delapan leksikal aktivitas lainnya sama sekali tidak dikenal. Leksikal nominanya yang berjumlah 20 hanya dikenal 5 buah, yaitu /padi/, /jijih/, /gabah/, /sElip/ , dan /baas remuk/.

Tiga orang informan lainnya masih mengetahui lebih banyak leksikal yang ada kaitannya dengan proses padi menjadi beras. Leksikal yang umumnya sudah mulai tidak dikenal lagi yang berkaitan dengan aktivitasnya adalah /NErendeN/, /NElEsuN/, / ñeksek/, /NindaN/, dan / ñEruh/. Leksikal nominanya yang sudah mulai menyusut atau tidak dikenal pada umumnya adalah /bElulaN/, /redeN/, /buntar/, /kEtuNan/, /mincid/, /latah/, /baas galih/, dan /oot pEsak/. Dengan demikian, penyusutan leksikal pada generasi muda rata-rata sekitar 40 %.

4. Simpulan

Berdasarkan uraian pada bagian di atas dapat dibuat simpulan sebagai berikut.

1) Inventarisasi leksikal proses padi menjadi beras ditemukan 30 leksikal yang terdiri atas 10 leksikal yang menyatakan aktivitas dan 20 nomina sebagai pendukungnya.


(6)

16

2) Bentuk leksikal proses padi menjadi beras terdiri atas leksikal bentuk dasar, berprefiks, berimbuhan gabung, dan kata majemuk.

3) Dimamika leksikal proses pembentukan pai menjadi beras, pada generasi tua ada penambahan sehingga pada generasi tua rata-rata memiliki pengetahuan 100%, pda generasi dewasa rata-rata pengalami penyusutan sekitar 20 %, dan pada generasi muda penyusutannya meningkat menjadi sekitar 40%.

Daftar Pustaka

Fill, Alwin dan Peter Muhlhausler (editor). 2001. The Ecolinguistics Reader: Language Ecology and Environment. London and New York: Continuum. Granoka, Ida Wayan dkk. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali. Denpasar:

Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Ramlan, M. l980. Morfologi: Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta: UP Karyono.

Saussure, F. de. 1989. Pengantar Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sudaryanto. 1988. Metode Linguistik Bagian Kedua: Metode dan Teknik Pengumpulan Data. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sudaryanto. l993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan. Yogyakarta; Duta Wacana University Press.

Suryati, Ni Made. 2012. “Variasi Fonologis dan Leksikal Bahasa Lio di Flores, Nusa Tenggara Timur: Kajian Dialek Geografi”. Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.