Zat ekstraktif kayu raru dan pengaruhnya terhadap penurun kadar gula darah secara in vitro

ZAT EKSTRAKTIF KAYU RARU DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PENURUN KADAR GULA DARAH
SECARA IN VITRO

GUNAWAN TRISANDI PASARIBU

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Zat Ekstraktif Kayu Raru dan
Pengaruhnya Terhadap Penurun Kadar Gula Darah Secara In Vitro adalah karya
saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi dimana pun. Sumber informasi yang berasal
atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain
telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Gunawan Pasaribu
NRP E251070071

3

ABSTRACT
GUNAWAN TRISANDI PASARIBU. The Wood Extractives of Raru and It’s
Influences on Reducing Blood Sugar Level by In Vitro Testing. Under direction
of WASRIN SYAFII and LATIFAH K. DARUSMAN
Raru stem barks are widely used as additional materials of nira (sugar palm) in
order to make them more durable and to enrich the taste of toddy traditional
beverages such as tuak (Batak’s beverages). The traditional knowledge from
Sumatra reported that raru could reduce the blood sugar level. The aim of this
research is to acquire the effectiveness of raru stem bark extractives on reducing
blood sugar level by evaluated the inhibition of alpha glucosidase activity. Then
isolated and identified compounds of raru stem bark’s extract which has

antidiabetic properties by in vitro testing. There are four species of raru founded
from exploration in five locations in Sumatra i.e. Cotylelobium melanoxylon
Pierre, Shorea balanocarpoides Sym, Cotylelobium lanceolatum Craib, and
Vatica perakensis King. All of the raru species contained flavonoid, saponin and
tannin, and the crude extract obtained from reflux and maceration method has
been able to inhibited alpha glucosidase 88 to 97%. From the screening step,
Shorea crude extract had the best performance, equivalent with the inhibition
activity of patented drug -Glucobay- 97%. The maximum spectrum of bioactive
component gained from UV-Vis spectroscopy of Shorea was 288.6 nm. Infra red
spectrum could identified the aromatic functional group were -OH, C-H, C=C, CO and C-H. GCMS spectroscopy showed the molecule weight was 390, and the
molecule formula was C20H22O8. Based on those spectroscopy data and Nuclear
Magnetic Resonance analysis, the plausible compound was 4-Glucosyl-3, 4’, 5trihydroxystilbene.
Key words: Raru, stem bark, extractives, antidiabetic, alpha glucosidase

4

RINGKASAN
GUNAWAN TRISANDI PASARIBU. Zat Ekstraktif Kayu Raru dan
Pengaruhnya Terhadap Penurun Kadar Gula Darah secara In Vitro. Dibimbing
oleh WASRIN SYAFII dan LATIFAH K. DARUSMAN.

Raru merupakan sebutan untuk jenis-jenis kulit kayu yang ditambahkan
pada nira aren yang bertujuan untuk meningkatkan cita rasa dan kadar alkohol
serta mengawetkan minuman tradisional tuak.
Dalam berbagai literatur
disebutkan bahwa ada beberapa jenis kayu yang digolongkan sebagai kayu raru,
antara lain Shorea maxwelliana King, Shorea faguetiana Heim. Cotylelobium
melanoxylon Pierre., Vatica songa V.Sl. dari famili dipterocarpaceae dan Garcinia
sp. dari famili Guttifera. Sebagian masyarakat Tapanuli juga mengenal kulit kayu
raru sebagai obat diabetes.
Diabetes melitus adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana
glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan
keadaan hiperglikemia. Kadar gula darah berhubungan dengan kemampuan
pankreas dalam memproduksi insulin yang berfungsi mengubah glukosa menjadi
glikogen. Diabetes atau kencing manis sering disebut sebagai penyakit akibat
kelainan hormon ini, akibatnya tubuh menjadi tidak dapat menyerap glukosa dari
darah.
Enzim α-glukosidase memiliki nama kimia α-D-glukosida glukohidrolase
merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan glukosa di dalam usus halus
manusia. Enzim ini membantu dalam pemecahan rantai polisakarida pada ikatan
α(1-6) pada setiap titik percabangan yang tidak dapat dipecahkan oleh enzim

fosforilase. Produk dari aktivitas enzim ini adalah polimer (α1-4) tak bercabang
dan satu glukosa. Reaksi ini terjadi setelah aktivitas glikogen phosporilase dan
glikogen transferase terjadi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengetahui kandungan bioaktif
kulit kayu raru, mengetahui efek farmakologis ekstraktif kulit kayu raru terhadap
penurunan kadar gula darah melalui aktivitas inhibisi alfa glukosidase serta
mengisolasi dan mengidentifikasi komponen bioaktif yang berperan dalam
penurunan kadar gula darah.
Penyelidikan tentang pemanfaatan kulit kayu raru dan teknik pemanenan
di masyarakat sebagai obat dan bentuk pemanfaatan lainnya dilakukan melalui
wawancara mendalam (depth interview) dan diskusi.
Kulit kayu digiling menggunakan hammer mill dan disaring untuk
menghasilkan serbuk 40-60 mesh. Serbuk kulit kayu raru diekstraksi dengan dua
teknik yakni secara maserasi (perendaman) dengan etanol 70% dan refluks
(penggodokan) dengan pelarut air selama 3 jam pada suhu 1000C. Ekstrak
kemudian disaring dan dipekatkan dengan rotary vacum evaporator .
Pengujian enzimatik dilakukan secara in-vitro pada ekstrak kasar dan
fraksi-fraksi hasil pemisahan. Enzim yang digunakan adalah α-glucosidase. Uji
inhibisi α-glukosidase dilakukan dengan cara larutan enzim dibuat dengan
melarutkan 1.0 mg α-glukosidase dalam buffer fosfat (pH 7.0) yang mengandung

bovin serum albumin. Sebelum digunakan, sebanyak 1 mL larutan enzim tersebut
diencerkan 25 kali dengan buffer fosfat (pH 7.0). Campuran reaksi terdiri dari 250
L p-nitrofenil α-D-glukopiranosa sebagai substrat, 490 L buffer fosfat (pH 7.0)

5

dan 10 L larutan sampel dalam DMSO. Setelah campuran reaksi diinkubasi
selama 5 menit, 250 L larutan enzim ditambahkan dan selanjutnya diinkubasi
selama 15 menit. Reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 1000 L natrium
karbonat dan p-nitrofenol yang dihasilkan dibaca absorbansinya pada 400 nm.
Sampel yang diuji dilarutkan dalam pelarut DMSO dengan konsentrasi
1%. Larutan standar yang dibuat dengan konsentrasi yang sama dengan larutan
sampel, dengan melarutkan tablet Acarbose (Glucobay) dalam aquadest dan HCl
2N kemudian disentrifus, selanjutnya supernatan digunakan untuk membuat
larutan standar. Persen inhibisi dapat dihitung dari persamaan: [(C – S)/ C] x
100%. Dengan S= absorbansi sampel (S1-S0 dengan S1= absorbansi sampel
dengan penambahan enzim dan S0= absorbansi sampel tanpa penambahan enzim)
dan C= absorbansi kontrol (DMSO), tanpa sampel (kontrol-blanko).
Uji Kualitatif Fitokimia Ekstrak meliputi uji alkaloid, saponin, flavonoid,
triterpenoid atau steroid, tanin dan hidroquinon. Fraksinasi dilakukan dengan

menggunakan kromatografi lapis tipis analitik, kromatografi kolom kilas,
kromatografi lapis tipis preparatif dan kromatografi dua dimensi. Identifikasi
dengan dengan menggunkan Spektrofotometer UV-Vis, FTIR, GCMS dan NMR.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari eksplorasi jenis raru di Sumatera
Utara dan Riau diperoleh 4 (empat) jenis raru antara lain Cotylelobium
melanoxylon Pierre, Shorea balanocarpoides Symington, Cotylelobium
lanceolatum Craib, dan Vatica perakensis King.. Hasil penapisan fitokimia secara
umum menunjukkan bahwa ekstrak mengandung senyawa golongan flavonoid,
tanin dan saponin. Aktivitas inhibisi kulit kayu raru berkisar antara 88-97 % dan
inhibisi terbaik adalah dari jenis Shorea balanocarpoides. Aktivitas inhibisi
glucobay sebesar 97%. Hasil spektrum UV-Vis dari senyawa meunjukkan λ maks
288.6 nm dan spektrum infra merah mengindikasikan adanya gugus –OH, C-H,
C=C, C-O dan C-H aromatik. Dari hasil spektrometri GCMS diketahui adanya
dua peak yang sangat berdekatan (peak 15.76 dan 15.89). Berat molekul senyawa
adalah 390 dengan rumus molekulnya C20H22O8. Dari data ini dan bantuan C dan
NMR, diduga struktur senyawa aktifnya adalah senyawa 4-Glucosyl-3,4',5trihydroxystilbene yang termasuk golongan fenolik.

6

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa
mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya imiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

7

ZAT EKSTRAKTIF KAYU RARU DAN PENGARUHNYA
TERHADAP PENURUN KADAR GULA DARAH
SECARA IN VITRO

GUNAWAN TRISANDI PASARIBU

Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada
Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2009

8

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ervizal Amzu, MS.

9

Judul Tesis

: Zat Ekstraktif Kayu Raru dan Pengaruhnya Terhadap Penurun
Kadar Gula Darah secara In Vitro

Nama


: Gunawan Trisandi Pasaribu

NRP

: E 251070071

Disetujui,
Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr

Prof. Dr. Ir. Latifah K. Darusman, MS

Ketua

Anggota

Diketahui


Ketua Program Studi / Mayor

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan

Dr. Ir. Dede Hermawan, MSc.

Tanggal Ujian : 27 Agustus 2009

Prof.Dr.Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S

Tanggal lulus:

10

PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas
segala berkat dan anugrah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya
ilmiah yang berjudul ‘Zat Ekstraktif Kayu Raru dan Pengaruhnya Terhadap

Penurun Kadar Gula Darah secara In Vitro’ yang merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Mayor Ilmu dan Teknologi
Hasil Hutan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Terimakasih dan penghargaan yang tulus penulis ucapkan kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr., selaku Ketua Komisi Pembimbing dan
Prof.Dr.Ir. Latifah K. Darusman, MS., selaku Anggota Komisi Pembimbing
yang telah banyak memberi bimbingan, masukan dan saran dalam berbagai
kesempatan diskusi yang terkait dengan penelitian ini, dan Dr. Ir. Ervizal
Amzu, MS selaku penguji luar komisi yang ikut menyumbangkan
pemikirannya untuk penyempurnaan karya ilmiah ini.
2. Departemen Kehutanan atas beasiswa yang diberikan sehingga penulis dapat
menjalani pendidikan di Program Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan,
Sekolah Pacasarjana IPB.
3. Kepala Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli atas bantuan dana penelitian
yang diberikan.
4. Staf Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah,
Simalungun, Staf Balai TNBT di Tanah Lakat untuk bantuan eksplorasi bahan
penelitian.
5. Peneliti dan staf di Laboratorium Pusat Studi Biofarmaka IPB yang telah
banyak membantu selama pelaksanaan penelitian, Pak Edy Dj.,MSi, Mba
Salina,S.Si., Pak Rafi, M.Si, Pak Waras, M.Si., Pak Zaim, M.Si., Ibu Nunuk,
Nio, Endi dan Pak Mul.
6. Peneliti dan staf di Laboratorium Pusat Penelitian Kimia - LIPI Serpong yang
telah banyak membantu dalam spektroskopi, Dr. Hanafi, Puspa D.
Lotulung,M.Sc, Sofa, S.Si.
7. Bapak AKBP Jaswanto di Laboratorium Forensik Mabes Polri untuk bantuan
spektroskopi GCMS.
8. Staf di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Fahutan IPB yang telah banyak
membantu dalam preparasi sampel penelitian.
9. Rekan-rekan Pascasarjana ‘ANTECH’ 2007, [Gerald, Sukma, Yusro, Yetvi,
Loly dan Erna] M.Si., atas segala bantuan dan kebersamaan selama ini.
Kepada teman-teman di PS Charisma HKBP Paledang Bogor untuk dukungan
doa selama ini dan adik-adik di Perwira 10.
10. Keluarga Besar Pasaribu (Siborongborong) dan Keluarga Besar Hutagalung
(Sibolga). Teristimewa buat istri tercinta (Risdawati Hutagalung) dan buah
hati tersayang (Johansen Partogi Pasaribu) atas dukungan, doa dan
pengorbanannya selama penulis menjalani studi.
11. Berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, untuk semua
dorongan dan bantuan yang diberikan.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan
terutama dalam bidang kehutanan.
Bogor, Agustus 2009
Gunawan Trisandi Pasaribu

11

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Siborongborong pada tanggal 27 Mei 1977 sebagai
anak kelima dari pasangan S. Pasaribu (alm.) dan M. br. Nababan (alm.).
Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Teknologi Hasil Hutan, Fakultas
Kehutanan IPB, lulus pada tahun 2000. Kesempatan untuk melanjutkan ke
program magister pada Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, Sekolah
Pascasarjana IPB pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan diperoleh dari
Departemen Kehutanan Republik Indonesia.
Penulis bekerja sebagai peneliti di Balai Penelitian Kehutanan Aek Nauli,
Badan Litbang Kehutanan, DEPHUT sejak tahun 2002 dan ditempatkan di
Pematang Siantar. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab peneliti ialah
teknologi hasil hutan, khususnya hasil hutan bukan kayu.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada
Program Mayor Ilmu dan Teknologi Hasil Hutan, penulis menyusun tesis dengan
judul ‘Zat Ekstraktif Kayu Raru dan Pengaruhnya Terhadap Penurun Kadar Gula
Darah secara In Vitro’ di bawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr.,
sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Prof.Dr.Ir. Latifah K. Darusman, MS.,
sebagai anggota Komisi Pembimbing.
Selama mengikuti program S2, penulis aktif sebagai anggota Masyarakat
Peneliti Kayu Indonesia (MAPEKI). Karya ilmiah berjudul Aktivitas Inhibisi
Alfa Glukosidase dari Zat Ekstraktif Kulit Kayu Raru (Vatica perakensis King)
telah dipresentasikan pada Seminar Nasional MAPEKI di Bandung pada tanggal
23-25 Juli 2009. Karya tersebut merupakan bagian dari riset tesis penulis.

12

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL......................................................................................

xi

DAFTAR GAMBAR.................................................................................

xii

DAFTAR LAMPIRAN........................................................... ..................

xiii

PENDAHULUAN
Latar Belakang................................................................................

1

Rumusan Masalah...........................................................................

3

Tujuan Penelitian............................................................................

3

Hipotesis.........................................................................................

3

Manfaat Penelitian..........................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA
Etnobotani.......................................................................................

4

Kulit Kayu Raru..............................................................................

4

Ekstraktif.........................................................................................

6

Pemanfaatan Ekstraktif...................................................................

7

Pemanfaatan Ekstraktif sebagai Obat.............................................

8

Pemanfaan Ekstraktif sebagai Obat Diabetes.................................

10

Diabetes..........................................................................................

11

Enzim α-Glukosidase......................................................................

13

BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat..........................................................................

14

Bahan dan Alat................................................................................

14

Metode Penelitian............................................................................

14

Penyiapan bahan...............................................................................

14

Penelitian Etnobotani.......................................................................

15

Ekstraksi...........................................................................................

15

Uji inhibisi α-glukosidase.................................................................

15

Uji fitokimia ekstrak .........................................................................

16

Fraksinasi dan Identifikasi Senyawa.................................................

17

HASIL DAN PEMBAHASAN.....................................................................
SIMPULAN DAN SARAN...........................................................................
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................
LAMPIRAN..................................................................................................

20
38
39
44

13

DAFTAR TABEL

Halaman
1

Sistem reaksi pengujian................................................................................

16

2

Hasil eksplorasi............................................................................................. 22

3

Hasil uji fitokimia ekstrak kulit kayu raru.................................................... 26

4

Penggabungan dalam fraksi-fraksi................................................................ 29

5

Aktivitas inhibisi alfa glukosidase Rf target................................................. 30

6

Pengecekan nilai Rf dari KLTp..................................................................... 31

7

Prakiraan spektrum infra merah dari senyawa.............................................. 34

14

DAFTAR GAMBAR

Halaman
1

Pohon raru (Cotylelobium melanoxylon Pierre)..........................................

5

2

Foto daun ....................................................................................................

21

3

Rendemen ekstrak beberapa jenis raru dengan perbedaan metode
ekstraksinya................................................................................................

4

25

Aktivitas inhibisi alfa glukosidase ekstrak kasar raru dengan metode ekstraksi
yang berbeda.......................................................................................... ...

27

5

Kromatografi lapis tipis dengan variasi campuran pelarut pengembang.....

28

6

Persen inhibisi alfa glukosidase fraksi shorea..............................................

30

7

Spektrum serapan senyawa tunggal dalam etanol p.a................................... 33

8

Spektrum FTIR senyawa............................................................................... 34

9

Spektrum GCMS senyawa............................................................................ 35

10 Senyawa 4-Glucosyl-3,4',5-trihydroxystilbene............................................. 36

15

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman
1 Bagan alir penelitian..................................................................................... 44
2 Rendemen ekstrak beberapa jenis Raru........................................................ 45
3 Aktivitas inhibisi α-glukosidase ekstrak kasar Raru..................................... 46
4 Persen inhibisi alfa glukosidase fraksi Shorea.............................................. 47
5 Pergeseran kimia (Chemical shift) H-NMR.................................................

48

6 Pergeseran kimia (Chemical shift) C-NMR.................................................

49

7 13C NMR......................................................................................................

50

8 1H NMR.......................................................................................................

56

16

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Hutan merupakan sumber daya alam yang mempunyai empat fungsi utama
yaitu sebagai penyangga tanah dan air (fungsi hidrologis), penyangga iklim bumi,
sumber keanekaragaman hayati serta modal atau penunjang pembangunan. Hasil
hutan digolongkan sebagai hasil hutan kayu dan hasil hutan bukan kayu,
disamping jasa lingkungan dan sumber plasma nutfah. Hasil hutan bukan kayu
dapat dibagi berdasarkan kelompok besar yang meliputi hasil hutan bukan kayu
(HHBK) berbasis biomassa contohnya kayu bakar. Produk HHBK lainya adalah
komoditi rotan dan bambu, buah yang dapat dimakan, tumbuhan obat, resin dan
lateks, hidupan liar dan produk turunannya (Thadani, R. 2001).
Dalam rangka mengurangi tekanan terhadap hutan, dilakukan berbagai
upaya peningkatan efisiensi pemanfaatan hasil hutan. Hal pertama yang dilakukan
adalah dengan peningkatan rendemen pengolahan kayu di hutan maupun di
industri pengolahan. Diharapkan dengan peningkatan rendemen, akan mengurangi
limbah pengolahan dan menurunkan laju degradasi hutan.

Saat ini telah

dikembangkan berbagai upaya diversifikasi produk dari kayu ke produk non kayu,
misalnya pemanfaatan batang sawit, batang kelapa dan berbagai kelompok palma
lainnya.

Pemanfaatan jenis-jenis kurang dikenal (lesser known species) dan

limbah sekarang ini tidak masalah lagi karena kemajuan teknologi pengolahan
kayu yang semakin tinggi. Pemanfaatan semua bagian kayu mulai dari daun,
batang dan ranting menjadi pilihan saat ini agar nilai tambah sumber daya hutan
dapat maksimal.

Pemanfaatan semua komponen kimia kayu ke depan akan

semakin berkembang, dimana tidak hanya sebatas untuk produksi papan, pulp,
kertas saja, akan tetapi akan dikembangkan sebagai sumber bahan kimia alami
seperti sumber etanol, vitamin C, arang aktif, dll.
Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu belum dikembangkan secara maksimal
sebagai bagian dari pengelolaan sumberdaya hutan yang berkelanjutan. Statistik
dan informasi tentang potensi dan pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan jasa
lingkungan masih sangat terbatas.

17

Hutan tropis Indonesia memiliki sumber senyawa metabolit sekunder yang
dapat dan telah digunakan sebagai sumber bahan baku obat tradisional (Zuhud,
1994). Tanaman obat merupakan salah satu andalan masa depan dalam
pengembangan agribisnis di Indonesia. Kualitas produk tanaman obat ditentukan
oleh kandungan senyawa bioaktif yang merupakan hasil metabolisme sekunder
dari tanaman. Perumusan sistem agribisnis tumbuhan obat yang handal perlu
dimulai dengan memadukan konsep panen biomassa dengan panen senyawa
bioaktif. Data yang menghubungkan kehomogenan sifat fisik yang digabungkan
dengan manajemen (sosial ekonomi) disebut juga dengan konsep bioregional.
Selama tiga dekade terakhir telah terjadi pertumbuhan pengobatan bahan
alam yang cukup substansial di berbagai belahan dunia. Saat ini, 80 % populasi di
negara berkembang menggunakan obat berbasis bahan alam untuk kebutuhan
pelayanan kesehatan, dengan alasan pengobatan semacam ini tersedia secara luas
dan mudah untuk mendapatkannya. WHO telah memprediksikan bahwa pada
dekade yang akan datang, persentase yang sama dari penduduk dunia tetap akan
menggunakan obat bahan alam. Pada banyak negara berkembang, penggunaan
obat bahan alam didukung oleh efek samping dari obat bahan kimia, berikut
semakin besarnya akses publik tentang informasi kesehatan. Saat ini, pengobatan
berbasis tanaman memiliki pangsa pasar sekitar 30 % (WHO, 2005).
Obat dari bahan alam (tumbuhan) dapat disejajarkan dengan obat modern
dengan melalui serangkaian pembuktian ilmiah melalui kajian komponen
bioaktifnya. Menurut Puslitbang Biomedis dan Farmasi (2007), ada tiga kategori
sediaan obat alami yang ditetapkan BPOM, yaitu jamu, herbal terstandar, dan
fitofarmaka. Jamu merupakan sediaan alami dengan bahan baku tanaman obat
dalam bentuk sederhana yang khasiat penggunaannya berdasarkan pada data atau
pengalaman empiris secara turun temurun. Herbal terstandar merupakan sediaan
obat alami yang telah terstandarsisasi dan lolos uji preklinik (uji khasiat dan
toksisitas pada hewan percobaan). Fitofarmaka merupakan sediaan alami dengan
bahan baku tanaman obat yang telah terstandardisasi dan lolos uji preklinis dan uji
klinis (pada pasien). Seperti halnya kulit kayu raru (sebutan untuk beberapa
kelompok kayu Dipterocarpaceae) menurut pengalaman masyarakat lokal,
diyakini dapat digunakan sebagai bahan obat diabetes. Oleh karena itu perlu

18

dilakukan

penelitian

ilmiah

untuk

membuktikan

pernyataan

tersebut.

Pengetahuan kandungan bioaktif akan meyakinkan para profesi medis untuk
menggunakan obat dari bahan alam di sarana pelayanan kesehatan.
Rumusan Masalah
Dalam rangka mencari sumber-sumber obat alami, diperlukan penelitian
tentang kandungan bioaktif dari jenis tanaman hutan. Salah satu sumber tersebut
adalah kulit kayu raru yang secara tradisional telah digunakan oleh masyarakat
sebagai obat anti diabetes (penurun kadar gula darah). Untuk itu, perlu dilakukan
kajian ilmiah untuk membuktikan kearifan tradisional ini tentang khasiat obatnya.
Berdasarkan uraian diatas, yang menjadi rumusan permasalahan adalah
bagaimana potensi senyawa yang terkandung dalam ekstrak beberapa jenis kulit
kayu raru dan kemampuan ekstrak kulit kayu raru dalam menurunkan kadar gula
darah.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
a. Melakukan eksplorasi jenis-jenis raru.
b. Mengetahui kandungan bioaktif kulit kayu raru.
c. Mengetahui efek farmakologis ekstraktif kulit kayu raru terhadap penurunan
kadar gula darah melalui inhibisi alfa glukosidase.
d. Mengisolasi dan mengidentifikasi komponen bioaktif yang berperan dalam
penurunan kadar gula darah.
Hipotesis
a. Beberapa kulit kayu raru berpotensi sebagai sumber bahan bioaktif
b. Ekstrak dari beberapa kulit kayu raru dapat menurunkan kadar gula darah
Manfaat Penelitian
a. Diperolehnya data dan informasi jenis-jenis raru.
b. Diperolehnya data dan infomasi tentang kandungan bioaktif dalam kulit kayu
raru.
c. Diperolehnya bahan alami sebagai salah satu sumber obat penurun kadar gula
darah.

19

TINJAUAN PUSTAKA
Etnobotani
Etnobotani merupakan ilmu botani mengenai pemanfaatan tumbuhan dalam
keperluan sehari-hari dan adat suku bangsa.

Studi etnobotani tidak hanya

mengenai data botani taksonomis saja, tetapi juga menyangkut pengetahuan
botani yang bersifat kedaerahan, berupa tinjauan interpretasi dan asosiasi yang
mempelajari hubungan timbal balik antara manusia dengan tumbuhan, serta
menyangkut pemanfaatan tumbuhan tersebut lebih diutamakan untuk kepentingan
budaya dan kelestarian sumber daya alam (Darmono, 2007). Ahli etnobotani
bertugas mendokumentasikan dan menjelaskan hubungan kompleks antara budaya
dan penggunaan tumbuhan dengan fokus utama pada bagaimana tumbuhan
digunakan, dikelola, dan dipersepsikan pada berbagai lingkungan masyarakat,
misalnya sebagai makanan, obat, praktik keagamaan, kosmetik, pewarna, tekstil,
pakaian, konstruksi, alat, mata uang, sastra, ritual, serta kehidupan sosial.
Penggunaan data tentang tumbuhan obat tradisional yang berasal dari hasil
penyelidikan etnobotani merupakan salah satu cara yang efektif dalam
menemukan bahan-bahan kimia baru dan berguna dalam pengobatan (Ersam,
2005). Raru sudah dikenal secara luas oleh masyarakat Tapanuli sebagai
campuran dalam minuman tuak. Pencampuran ini diyakini dapat mengawetkan
dan meningkatkan kadar alkohol dari nira aren yang dikonsumsi sebagai minuman
tradisional. Sebagian masyarakat Tapanuli juga mengenal kulit kayu raru ini
sebagai obat diabetes.

Kulit Kayu Raru
Kulit kayu merupakan jaringan batang pohon yang penting setelah kayu.
Jaringan ini tersusun dari beberapa tipe sel dan strukturnya kompleks bila
dibandingkan dengan kayu. Secara umum, kulit kayu terbagi atas bagian kulit
luar dan bagian dalam. Komponen-komponen utama kulit dalam adalah unsurunsur tapisan, sel-sel parenkim. Unsur-unsur tapisan berfungsi melakukan
transportasi cairan dan makanan ke seluruh bagian-bagian tanaman. Kulit luar
terutama terdiri dari periderm atau lapisan-lapisan gabus melindungi jaringan-

20

jaringan kayu terhadap kerusakan mekanik dan menjaganya dari organismeorganisme perusak kayu, variasi suhu dan kelembaban (Fengel dan Wagener,
1995). Menurut Haygreen dan Bowyer (1999) kulit kayu tersusun oleh bahanbahan kimia diantaranya selulosa 23.7%, hemiselulosa 24.9%, lignin 50.0%,
ekstraktif 13.0% dan abu 0.9%
Raru merupakan sebutan untuk jenis-jenis kulit kayu yang ditambahkan
pada nira aren yang bertujuan untuk meningkatkan cita rasa dan kadar alkohol
(Santiyo, 2006).

Menurut laporan Balai Penyelidikan Kehutanan, 1954

disebutkan bahwa ada beberapa jenis kayu yang digolongkan sebagai kayu raru,
antara lain Shorea maxwelliana King, Vatica songa V.Sl. dari famili
dipterocarpaceae dan Garcinia sp. dari famili Guttifera. Penelitian Erika, 2005
menyebutkan bahwa jenis Shorea faguetiana Heim. termasuk juga sumber kulit
raru. Penelitian Pasaribu, et.al. (2007) menemukan bahwa salah satu kulit kayu
raru yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah diidentifikasi sebagai
Cotylelobium melanoxylon Pierre.

Lebih lanjut disebutkan bahwa jenis ini

memiliki komponen kimia kayu berturut-turut adalah sebagai berikut :
hemiselulosa 29,26%, alphaselulosa 37,35%, lignin 22,26% dan pentosan 17,31%.
Selanjutnya kadar ekstraktif kayu raru yang larut dalam air dingin 3,19%, air
panas 9,08%, alkohol benzene 1,76, NaOH 1% 19,27%.

Gambar 1 Pohon raru (Cotylelobium melanoxylon Pierre).

21

Penambahan kulit raru pada tuak, dimaksudkan agar rasa dan alkoholnya
cocok (Ikegami, 1997). Selanjutnya Soerianegara, (1987) menambahkan bahwa
kulit digunakan oleh masyarakat lokal untuk mencegah buih pada nira aren dan
untuk menghambat peragian pada minuman tuak.

Ekstraktif
Zat ekstraktif atau metabolit sekunder kayu meliputi sejumlah senyawa
besar yang berbeda yang dapat diekstraksi dari kayu dengan pelarut netral baik
yang polar maupun non-polar. Kandungan dan komposisi ekstraktif berbeda-beda
diantara spesies kayu. Variasi ekstraktif juga dipengaruhi oleh tapak geografi dan
musim (Fengel dan Wagener, 1995).
Zat ekstraktif merupakan bahan pengisi pada sel tanaman yang sebagian
besar terdapat pada lumen kayu dan sebagian kecil pada dinding sel.
Keberadaannya tidak merupakan ikatan kimia, hanya secara fisik saja di dalam
dinding sel.

Sifat ini mengakibatkan ekstraktif mudah sekali dilarutkan atau

diekstraksi dengan menggunakan bahan pelarut netral atau air, etanol, metanol,
aseton, etil asetat, eter, heksana, benzena dan lainnya.
Sjostrom (1995) dan Achmadi (1989) menyatakan bahwa secara kimiawi,
zat ekstraktif kayu dapat digolongkan dalam tiga bagian, yaitu:
1. Komponen-komponen alifatik (lemak dan lilin)
Berbagai macam senyawa alifatik yang terdapat dalam resin seperti nalkana, alkohol lemak, asam lemak, lemak (ester gliserol), lilin (ester dari
alkohol), suberin (poliestolida). Kelompok alkana dan alkohol relatif sedikit,
bersifat lipofilik dan mantap. Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester
dan merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum
maupun kayu daun lebar. Ester dari alkohol lainnya, biasanya berupa alkohol
alifatik atau terpenoid alami yang dikenal sebagai lilin.
2. Terpena dan terpenoid
Terpena merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit isoprena
(2-metilbutadiena) menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi.
Menurut jumlah unit isoprena yang menyusunnya, terpena dapat dibagi
menjadi monoterpena (n=2), seskuiterpena (n=3), diterpena (n=4), triterpena

22

(n=6), tetraterpena (n=8) dan politerpena (n>8). Terpena adalah hidrokarbon
murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus fungsi seperti hidroksil,
karbonil, karboksil dan ester. Contoh dari terpenoid adalah poliprenol. Zat
ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis terpena, dari
monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena yang tergolong
sangat langka. Sedangkan pada kayu daun lebar mengandung terpena yang
lebih tinggi, monoterpena ditemukan hanya pada kayu tropis saja
(Sandermann, 1966 dalam Fengel dan Wagener, 1995). Terpena yang paling
penting adalah α-pinena, β-pinena, dan limonena yang terdapat pada semua
kayu daun jarum, camfena, mircena dan β-felandrena. Beberapa monoterpena
merupakan unsur pokok oleoresin dari beberapa kayu tropika. Salah satu yang
paling menonjol adalah kamfor dari Cinnamomum camphora.
3. Senyawaan fenolik
Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dibuat menurut lima
kelas, yaitu a) tanin terhidrolisis, produk hidrolisisnya adalah asam galat dan
elagat serta gula, biasanya glukosa sebagai produk utama, b) tanin
terkondensasi (flavonoid), merupakan polifenol yang mempunyai rantai
karbon C6C3C6, contohnya krisin dan taksifolin, c) lignan merupakan dimer
dari dua unit fenil propana (C6C3), contohnya konidendrin, pinoresinol dan
asam plikatat, d) stilbena (1,2-difeniletilena), mempunyai ikatan ganda
terkonjugasi sehingga komponen-komponennya bersifat sangat reaktif,
contohnya pinosilvin, e) tropolon; mempunyai kekhasan berupa cincin karbon
beranggota tujuh yang tidak jenuh, contohnya α, β, dan τ-tujaplisin yang
disolasi dari Thuja plicata.

Pemanfaatan Ekstraktif
Pemanfaatan zat ekstraktif sat ini sudah sangat luas yang dapat digolongkan
berdasarkan penggunaannya antara lain:
a. Sumber bahan kimia. Sumber bahan kimia yang melimpah diperoleh dari
proses penyadapan pohon pinus dan jenis konifer lainnya yang akan
menghasilkan rosin, terpentin dan tall oil. Penyadapan pada pohon karet juga
akan menghasilkan lateks yang banyak digunakan dalam industri. Ekstraksi

23

pada kulit dan kayu dengan pelarut akan menghasilkan asam fenolat, terpen,
lignan, lilin dan zat warna.
b. Sebagai bahan perekat. Penggunaan yang paling memberikan harapan saat ini
dan dimasa depan adalah penggantian fenol dalam resin fenol-formaldehida
untuk memproduksi papan komposit. Penggunaan tanin yang diekstraksi dari
kulit kayu mulai berkembang penggunaannya pada industri perekatan. Sumber
ekstrak tanin terutama dari jenis akasia.
c. Sebagai bahan pangan. Ekstraktif dari daun akan menghasilkan minyak atsiri,
klorofil, karotenoid dan protein daun. Bagian dari daun terutama dari famili
Leguminosae dengan proses pengeringan dan pelumatan dapat digunakan
sebagai pakan ternak.
d. Sebagai bahan obat.

Isolasi senyawa aktif dapat dilakukan pada berbagai

bagian dari pohon.

Seperti halnya isolasi flavonoid dihidrokuersetin dan

kuersetin yang diekstrak dari kulit Douglas fir (Pseudotsuga menziesii) dan
western larch (Larix occidentalis) kemungkinan besar cocok sebagai
antioksidan (Fengel dan Wagner, 1995).

Pemanfaatan Ekstraktif sebagai Obat
Tumbuhan obat adalah semua tumbuhan baik yang sudah dibudidayakan
maupun yang belum dibudidayakan yang dapat digunakan sebagai obat (Sandra
dan Sjahril 1994). Pemanfaatan tumbuhan obat sudah banyak di Indonesia yang
dikenal banyak dalam bentuk jamu-jamuan. Di sisi lain, pemanfaatan obat dari
tumbuhan hutan belum banyak dilakukan, padahal potensi sumberdaya hutan
sebagai sumber daya obat sangatlah tinggi.
Salah satu jenis tumbuhan hutan yang sudah dikenal luas pemanfaatannya adalah
Taxus brevifolia. Suwandi (2007) menyebutkan bahwa fungsi senyawa
adalah sebagai antikanker.

taxol dari

Taxus brevifolia

Taxol merupakan senyawa toxoid yang mempunyai aktivitas antikanker. Selain itu,

taxol juga memberi harapan sebagai antitumor yang lain seperti breast, head, neck, lung, colon
tumours. Taxol dikatakan merupakan antikanker yang lebih unggul dibanding dengan antikanker
lain, karena mempunyai mekanisme memblok pembelahan sel kanker. Saat ini kulit kayu pohon
Taxus brevifolia merupakan bahan baku resmi yang telah disetujui FDA. Taxol terutama
digunakan untuk ovarian cancer juga aktif terhadap platinium-resistant ovarian cancer yang
dalam penelitian memberikan respon 28% dari 28 pasien.

24

Tumbuhan dari famili Moraceae merupakan sumber utama senyawa
flavonoida, aril-benzofuran, stilben tersubsitusi gugus isoprenil dan oksigenasi.
Famili Clusiacea (Guttiferea) dikenal sebagai sumber senyawa santon, kumarin,
benzofenon dan biflavonoid yang tersubstitusi gugus isoprenil oksigenasi.
Beberapa keunggulan kimiawi tumbuhan tropika Indonesia, meliputi tiga spesies
tumbuhan dari genus Artocarpus (Moraceae), yang terdapat di hutan tropika
Sumatera Barat, yaitu Artocarpus bracteata dan Artocarpus dadah dan
Artocarpus altilis asal Sri Lanka dan Taiwan sudah dilaporkan, sedangkan asal
Indonesia belum pernah diteliti. Taksa ini dikenal sebagai sumber utama senyawa
fenolat turunan flavonoida, aril-benzofuran, stilbenoid dan santon turunan
flavonoida, terdiri dari 40 genus dan tidak kurang dari 3000 spesies, dari sejumlah
senyawa yang dihasilkan mempunyai aktivitas biologi, sebagai promotor
antitumor, antibakteri, antifungal, antiimflamatori, antikanker dan lain-lain.
Keragaman kimiawi yang dihasilkan oleh ketiga spesies tersebut, seperti berikut
ini; Artocarpus dadah, dari spesies ini telah ditemukan dua kelompok utama yang
lazim, yaitu kelompok non-fenolat terdiri dari tiga turunan triterpenoid, yakni
lupeol, lupeol asetat dan β-sitosterol dan dari kelompok fenolat yang termasuk
turunan turunan flavan-3-ol, yaitu afzelekin-3-O-α-L-ramnosida. Afinitas kimiawi
tumbuhan yang dilaporkan dari Artocarpus dadah termasuk kelompok langka dari
tumbuhan genus Artocarpus yang dikenal sebagai sumber utama senyawa flavon
di atau tri-oksigenasi dan terisoprenilasi pada posisi C-3, sebaran senyawa seperti
pada Artocarpus dadah.
Elin, et.al.(2006) telah melakukan penelitian efek minyak atsiri kulit kayu
dan daun kayu manis (Cinnamomum burmanni) terhadap bakteri dan fungi. Salah
satu kandungannya adalah minyak atsiri yang terdapat baik dalam kulit kayu
maupun daunnya. Pada umumnya minyak atsiri berkhasiat antimikroba, oleh
karena itu dilakukan pengujian aktivitas terhadap bakteri dan jamur.

Hasil

menunjukkan bahwa minyak atsiri kulit batang mempunyai aktivitas yang kuat
terhadap semua bakteri dan fungi uji sedangkan minyak atsiri daun aktif terhadap
semua bakteri uji tetapi tidak aktif terhadap dua marga fungi yaitu Aspergillus dan
Scedosporium. Aktivitas antibakteri minyak atsiri kulit batang paling kuat
terhadap Bacillus subtilis dengan konsentrasi hambat minimum 0,62% sedangkan

25

aktivitas antifungi terkuat terhadap Candida albicans dengan konsentrasi hambat
minimum 1%.
Wen, et.al (2004) menyatakan bahwa ekstrak etanol dari kulit Cryptomeria
japonica D. Don menunjukkan aktivitas antibakteri yang baik. Sembilan senyawa
mencakup tujuh diterpenoids (ferruginol, asam isopimaric, iguestol, isopimarol,
phyllocladan-16α-ol, sandaracopimarol dan sugiol) dan dua steroid (β-sitosterol
dan β-sitostenone) telah diisolasi dengan HPLC dari subfraksi aktif dari fraksi
larut hexan.

Enam senyawa memperlihatkan antibakteri aktivitas sempurna;

kemampuan mereka mengurangi aktivitas bakteri sebagai berikut: ferruginol>
asam isopimaric> sugiol> sandara copimarol> iguestol> isopimarol. Ferruginol
memiliki aktivitas antibakteri yang paling kuat di dalam semua senyawa.

Pemanfaatan Ekstraktif sebagai Antidiabetes
Senyawa aktif alkaloid dan flavonoid memiliki aktivitas hipoglikemik atau
penurun kadar gula darah. Sedangkan senyawa tanin dan saponin dapat dipakai
sebagai antimikroba (bakteri dan virus). Seperti halnya mahoni (Swietenia
mahagoni Jacq.), bijinya mengandung saponin dan flavonoid yang bisa digunakan
sebagai obat hipertensi dan diabetes (Dalimartha, 2001).
Kulit kayu pulai (Alstonia scholaris) mengandung alkaloid ditanin,
ekitamin (ditamin), ekitanin, ekitamidin, alstonin, ekiserin, ekitin, ekitein, porfirin
dan triterpen. Daun mengandung pikrinin. Sedangkan bunga pulai mengandung
asam ursolat dan lupeol.

Ekstrak kulit kayu ini memiliki aktivitas

antihiperglikemia yang baik. Kulit kayu dikeringkan dengan cara dijemur atau
pemanasan (Dalimartha, 2001).
Agung (1998) telah melakukan telaah fitokimia dan uji efek antidiabetik
ekstrak-ekstrak air, n-heksana, etil asetat dan etanol herba sambiloto (Androgaphis
paniculata Nees.). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak air dan ekstrak
etanol dengan dosis 0,5 g/kg bobot badan memperlihatkan efek antidiabetik pada
tikus putih jantan jantan galur Sprague Dawley, yang diuji dengan metode uji
toleransi glukosa. Dalam ekstrak air dan ekstrak etanol ditemukan senyawa
golongan diterpenoid.

26

Pada penelitian Ragavan dan Krishnakumari (2006), tentang pengaruh
ekstrak kulit batang Terminalia arjuna menunjukkan bahwa ekstrak etanol dari
kulit batang secara nyata dapat menurunkan glukosa darah tikus dari
302,62±22,35 menjadi 82,50 ±4,72 dan menurunkan aktivitas glukosa-6-phosfat,
fruktosa-1,

6-disphospatase,

aldosa

dan

meningkatkan

aktivitas

kultur

phospoglukoisomerase dan heksokinase.
Hasil penelitian Sokeng, et.al (2005) tentang pengaruh ekstrak etanol kulit
batang Bridelia ndellensis menyebutkan bahwa tidak ada efek hiperglikemik pada
tikus setelah perlakuan. Akan tetap ekstrak dari fraksi etilasetat-disklorometan
berpengaruh nyata dalam menurunkan glukosa darah tikus.

Diabetes
Diabetes melitus (DM) adalah kelainan metabolisme karbohidrat, di mana
glukosa darah tidak dapat digunakan dengan baik, sehingga menyebabkan
keadaan hiperglikemia. Kadar gula darah berhubungan dengan kemampuan
pankreas dalam memproduksi insulin yang berfungsi mengubah glukosa menjadi
glikogen. Diabetes atau kencing manis sering disebut sebagai penyakit akibat
kelainan hormon ini, akibatnya tubuh menjadi tidak dapat menyerap glukosa dari
darah (Hembing, 2005).
DM merupakan kelainan endokrin yang terbanyak dijumpai. Penderita
DM mempunyai risiko untuk menderita komplikasi yang spesifik akibat
perjalanan penyakit ini, yaitu retinopati (bisa menyebabkan kebutaan), gagal
ginjal, neuropati, aterosklerosis (bisa menyebabkan stroke), dan penyakit arteria
koronaria (Coronary artery disease).

Prevalensi DM sulit ditentukan karena

standar penetapan diagnosisnya berbeda-beda. Berdasarkan kriteria American
Diabetes Association (ADA), sekitar 10,2 juta orang di Amerika Serikat (AS)
menderita DM dan yang tidak terdiagnosis sekitar 5,4 juta. Dengan demikian,
diperkirakan lebih dari 15 juta orang di AS menderita DM. Sementara itu, di
Indonesia prevalensi DM sebesar 1,5-2,3% penduduk usia >15 tahun, bahkan di
daerah Manado prevalensi DM sebesar 6,1%. Menurut anjuran PERKENI yang
sesuai dengan anjuran ADA 1997, DM bisa diklasifikasikan secara etiologi

27

menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes dalam kehamilan, dan diabetes
tipe lain (Widijanti A. dan Bernard T.R. 2008).
1. Diabetes Tipe 1, atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent
Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel β pankreas (reaksi
autoimun). Bila kerusakan sel beta telah mencapai 80-90% maka gejala DM
mulai muncul. Perusakan sel beta ini lebih cepat terjadi pada anak-anak
daripada dewasa. Sebagian besar penderita DM tipe 1 mempunyai antibodi
yang menunjukkan adanya proses autoimun, dan sebagian kecil tidak terjadi
proses autoimun. Kondisi ini digolongkan sebagai type 1 idiopathic. Sebagian
besar (75%) kasus terjadi sebelum usia 30 tahun, tetapi usia tidak termasuk
kriteria untuk klasifikasi.
2. Diabetes tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non
insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi
penurunan kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance)
dan disfungsi sel beta. Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin
yang cukup untuk mengkompensasi insulin resistance. Kedua hal ini
menyebabkan terjadinya defisiensi insulin relatif. Gejala minimal dan
kegemukan sering berhubungan dengan kondisi ini, yang umumnya terjadi pada
usia > 40 tahun. Kadar insulin bisa normal, rendah, maupun tinggi, sehingga
penderita tidak tergantung pada pemberian insulin.
3. DM dan kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah kehamilan
normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal
mempertahankan euglycemia). Faktor risiko GDM: riwayat keluarga DM,
kegemukan, dan glikosuria. GDM ini meningkatkan morbiditas neonatus,
misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi
karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang
pertumbuhan bayi dan makrosomia. Frekuensi GDM kira-kira 3-5% dan para
ibu tersebut meningkat resikonya untuk menjadi DM di masa mendatang.

Enzim α-Glukosidase

28

Enzim α-glukosidase memiliki nama kimia α-D-glukosida glukohidrolase
merupakan enzim yang berperan dalam pembentukan glukosa di dalam usus halus
manusia. Enzim ini membantu dalam pemecahan rantai polisakarida pada ikatan
α(1-6) pada setiap titik percabangan yang tidak dapat dipecahkan oleh enzim
fosforilase. Produk dari aktivitas enzim ini adalah polimer (α1-4) tak bercabang
dan satu glukosa. Reaksi ini terjadi setelah aktivitas glikogen phosporilase dan
glikogen transferase terjadi.
Perkembangan yang terus meningkat pada ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam dunia biokimia dan kedokteran, memberikan dampak pada penemuan
senyawa baru yang dapat menghambat α-glikosidase secara tepat guna dan cepat.
Senyawa ini disebut dengan inhibitor α-glukosidase (IAG), yang mempunyai
aplikasi yang sangat luas, seperti informasi mekanisme kerja enzim α-glikosidase.
Hal ini dapat terjadi karena bentuk dan fungsi senyawa IAG yang mirip terhadap
enzim α-glukosidase. Dalam dua dekade ini telah banyak dilakukan penelitian
untuk mencari dan mengembangkan inhibitor α-glukosidase. Saat ini telah
dilaporkan banyak inhibitor α-glukosidase yang baru dan efektif, seperti acarbose
dan voglibose dari mikroorganisme serta 1-deoxynojirimycin dari tanaman
(Asano et al. 1995 dalam Liu, 2006).
Acarbose dan miglitol adalah inhibitor α-glukosidase. Pada prinsipnya
mekanisme kerja kedua inhibitor hampir sama yaitu memperlambat pemecahan
disakarida, polisakarida dan karbohidrat kompleks lainnya menjadi monosakarida.
Pembuatan glukosa secara enzimatis dan absorpsi glukosa selanjutnya ditunda,
dan nilai glukosa darah setelah makan, yang tinggi pada pasien diabetes tipe II,
dapat dikurangi dengan IAG. Perbedaan antara keduanya adalah bahwa pada
miglitol absorpsi terjadi secara sistematis dan tidak di metabolisme di dalam
tubuh, akan tetapi di ekskresikan oleh ginjal. IAG tidak mencegah absorpsi
karbohidrat dan gula kompleks, tetapi mereka menunda absorpsinya. Kelemahan
dari agen inhibitor ini adalah harus dimakan bersama makanan dan mempunyai
efek samping pada pembentukan gas di perut (Neal 2002).

29

BAHAN DAN METODE

Waktu Dan Tempat
Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2008-Juni 2009:
1. Laboratorium Pengolahan dan Pemanfaatan Hasil Hutan, BPK Aek Nauli.
2. Laboratorium Kimia Hasil Hutan Fakultas Kehutanan IPB.
3. Laboratorium Uji Biofarmaka, Pusat Studi Biofarmaka IPB, Taman Kencana
Bogor.
4. Laboratorium Kimia, Lembaga Ilmu Pengetahuaan Indonesia, Serpong.

Bahan dan Alat
Bahan penelitian berupa 5 (lima) jenis kulit kayu raru yang diambil dari
Kawasan Hutan Kabupaten Tapanuli Tengah adalah Cotylelobium melanoxylon
Pierre, dari Kabupaten Simalungun adalah Shorea balanocarpoides Symington,
dari Kabupaten Tapanuli Utara Cotylelobium lanceolatum Craib, dari Kabupaten
Bengkalis adalah Cotylelobium melanoxylon Pierre dan dari Kabupaten Indragiri
Hulu, Propinsi Riau adalah Vatica perakensis King. Bahan lain yang dibutuhkan
antara lain : etanol, metanol, aquades, eter, NH4OH, NaOH, HCl, H2SO4, kertas
saring, anhidrida asetat, pereaksi Meyer, Dragendrof, Wagner, enzim αglucosidase, acarbose (glucobay).
Peralatan yang diperlukan antara lain hammer mill, alat-alat gelas, alat-alat
ekstraksi, rotary vacum evaporator, botol uji, pipet ukur, mikropipet, neraca
analitik, inkubator, spektofotometer, KLT, coloumn flash chromatogaphy, Gas
Chromatography Mass Spectroscopy (GCMS) dan Nuclear Magnetic Resonance
(NMR) JNM ECA 500.

Metode Penelitian
Penyiapan bahan
Bahan penelitian kulit kayu diperoleh dengan cara menguliti pohon yang
masih berdiri sebanyak 5 kg.

Kemudian daunnya diambil untuk keperluan

identifikasi jenis yang akan dikirimkan ke Herbarium Bogoriense, Botani LIPI,
Cibinong. Kulit selanjutnya dikeringkan dengan oven pada suhu ± 500C.

30

Penelitian Etnobotani
Dilakukan penyelidikan tentang pemanfaatan kulit kayu raru di
masyarakat sebagai obat dan bentuk pemanfaatan lainnya.

Dilakukan juga

penyelidikan tentang teknik pemanenannya melalui wawancara mendalam (depth
interview) dan diskusi.

Ekstraksi
Kulit kayu digiling menggunakan hammer mill dan disaring untuk
menghasilkan serbuk 40-60 mesh. Serbuk kulit kayu raru diekstraksi dengan dua
teknik yakni secara maserasi (perendaman) dengan etanol 70% dan refluks
(penggodokan) dengan pelarut air selama 3 jam pada suhu 1000C.

Ekstrak

kemudian disaring dan dipekatkan dengan rotary vacum evaporator (Lampiran 1).
Rendemen ekstrak dihitung dengan rumus :
Rendemen =

x 100%
bobot ekstrak pekat (g)
bobot sampel yg diekstrak (g)
Uji Inhibisi α-Glukosidase

Pengujian enzimatik dilakukan secara in-vitro pada ekstrak kasar dan
fraksi-fraksi hasil pemisahan (Sutedja, 2003). Enzim yang digunakan adalah αglukosidase (SIGMA G 3651-250UN).
Uji inhibisi α-glukosidase dilakukan dengan cara larutan enzim dibuat
dengan melarutkan 1.0 mg α-glukosidase dalam buffer fosfat (pH 7.0) yang
mengandung bovin serum albumin. Sebelum digunakan, sebanyak 1 mL larutan
enzim tersebut diencerkan 25 kali dengan buffer fosfat (pH 7.0). Campuran reaksi
terdiri dari 250 L p-nitrofenil α-D-glukopiranosa (SIGMA N 1377-5G) sebagai
substrat, 490 L buffer fosfat (pH 7.0) dan 10 L larutan sampel dalam DMSO.
Setelah campuran reaksi diinkubasi selama 5 menit, 250

L larutan enzim

ditambahkan dan selanjutnya diinkubasi selama 15 menit. Reaksi enzim
dihentikan dengan penambahan 1000 L natrium karbonat dan p-nitrofenol yang
dihasilkan dibaca absorbansinya pada 400 nm.
Sampel yang diuji dilarutkan dalam pelarut DMSO dengan konsentrasi
1%. Larutan standar yang dibuat dengan konsentrasi yang sama dengan larutan
sampel, dengan melarutkan tablet Acarbose (Glucobay) dalam aquadest dan HCl

31

2N kemudian disentrifus, selanjutnya supernatan digunakan untuk membuat
larutan standar. Sistem reaksi pengujian selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Sistem reaksi pengujian
Ekstrak
DMSO
Buffer
Substrat
Buffer
Enzim
Na2CO3

Blanko ( l) Kontrol (+) ( l) Kontrol (-) ( l)
10
10
10
490
490
490
250
250
250
Inkubasi pada penangas air 370C selama 5 menit
250
250
250
0
Inkubasi pada penangas air 37 C selama 15 menit
1000
1000
1000

Sampel ( l)
10
490
250
250
1000

Persen inhibisi dapat dihitung dari persamaan: [(C – S)/ C] x 100%.
Dengan S=