Zat Ekstraktif Kayu Nangka (Arthocarpus Heterophyllus Lam) Dan Pengaruhnya Terhadap Nilai Kalor

ZAT EKSTRAKTIF KAYU NANGKA
(Arthocarpus heterophyllus Lam) DAN PENGARUHNYA
TERHADAP NILAI KALOR

DITA AMILYA

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Zat Ekstraktif Kayu
Nangka (Arthocarpus heterophyllus Lam) dan Pengaruhnya terhadap Nilai Kalor
adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut
Pertanian Bogor.

Bogor, September 2014

Dita Amilya
NIM E24100048

ABSTRAK
DITA AMILYA. Zat Ekstraktif Kayu Nangka (Arthocarpus heterophyllus Lam)
dan Pengaruhnya terhadap Nilai Kalor. Dibimbing oleh WASRIN SYAFII.
Kayu merupakan biomassa yang dapat digunakan sebagai salah satu
sumber energi alternatif. Namun nilai kalor kayu tergantung pada sifat fisis dan
kimianya. Penelitian ini menjelaskan tentang zat ekstraktif kayu nangka, dan
pengaruhnya terhadap nilai kalor pada beberapa tingkat kelarutan. Pelarut yang
digunakan terdiri dari n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton. Setiap tingkat
ekstraksi, residu serbuk diuji niai kalornya. Zat ekstraktif yang diperoleh berkisar
antara 0.23-4.03%. Hasil analisis proksimat terdiri dari pengujian kadar air
sebesar 8.54-13.84%, kadar zat terbang 71.36-79.31%, kadar abu 1.07-1.31%,
karbon terikat 19.48-27.35%, dan nilai kalor kayu 4 171.5-4 501.5 kkal/kg. Zat

ekstraktif berpengaruh terhadap nilai kalor kayu. Semakin rendah kandungan zat
ekstraktif, nilai kalor kayu juga semakin rendah.
Kata Kunci : ekstraktif, nilai kalor, analisis proksimat, kepolaran pelarut.

ABSTRACT
DITA AMILYA. Extractive from Nangka (Arthocarpus heterophyllus Lam) and
Its Influence to Wood Caloric Value. Supervised by WASRIN SYAFII.
Wood is one of the biomass that can be used for alternative energy
resources. However, caloric value of wood varies depending on its physical and
chemical properties. This research describes nangka wood extractive substances
and their effects on the heating value at some level of solubility. The solvent used
consist of n-hexan solvent, ethyl acetat, ethyl ether, and aceton. Each level of
extraction, residues have measured for caloric value. The result of extractive
substances obtained range from 0.23-4.03%. The result of proximate analysis
consist of moisture content at the rate of 8.54-13.84%, 71.36-79.31% volatile
matter content, 1.07-1.31% ash content, 19.48-27.35% fix carbon, and caloric
value of wood 4 171.5-4 501.5 kkal/kg. Extractive affected to the caloric value of
wood. The lower extractive substance, caloric value of wood will lower too.
Keywords: extractive, heating value, proximate analysis, solvent solubillity.


ZAT EKSTRAKTIF KAYU NANGKA
(Arthocarpus heterophyllus Lam) DAN PENGARUHNYA
TERHADAP NILAI KALOR

DITA AMILYA

Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kehutanan
pada
Departemen Hasil Hutan

DEPARTEMEN HASIL HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2014

PRAKATA
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang selalu

melimpahkan rahmat dan karuniaNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian ini dengan judul Zat Ekstraktif Kayu Nangka (Arthocarpus
heterophyllus Lam) dan Pengaruhnya terhadap Nilai Kalor. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2014, di Laboratorium Kimia Hasil
Hutan, Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor,
dan Laboratorium Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor serta Balai Penelitian Ternak Bogor,
Kementerian Pertanian.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Wasrin Syafii,
M.Agr selaku pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan dalam
mengerjakan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada kedua
orang tua Bapak Asril, Ibu Mimi Angrianti, Kakak Hengky Angra, Fadly Gustian,
dan Adik Arief Fahdi, serta Gemilang Tanisan yang telah memberikan semangat.
Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada teman-teman Fahutan 47, THH 47
khususnya divisi KHH 47, sahabat dan semua pihak yang telah membantu
pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.
Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat memenuhi tujuan
penyusunan serta memberikan manfaat bagi pembaca sekalian. Semoga karya
ilmiah ini bermanfaat.


Bogor, September 2014
Dita Amilya

DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vi

DAFTAR LAMPIRAN

vi

PENDAHULUAN

1


Latar Belakang

1

Tujuan Penelitian

1

Manfaat Penelitian

1

METODE PENELITIAN

2

Waktu dan Tempat Penelitian

2


Bahan Penelitian

2

Alat Penelitian

2

Prosedur Penelitian

2

Persiapan Bahan Baku (TAPPI T257 om-85)

2

Pengukuran Kadar Air (TAPPI T 12 os-75)

2


Ekstraksi dan Fraksinasi

3

Penentuan Kadar Zat Ekstraktif

4

Pengujian Nilai Kalor

4

Analisis Proksimat

4

Kadar Zat Terbang

4


Kadar Abu

4

Karbon Terikat

5

Analisis Data

5

HASIL DAN PEMBAHASAN

5

Kandungan Zat Ekstraktif

5


Pengaruh Zat Ekstraktif terhadap Nilai Kalor

6

Karakteristik Kayu sebagai Bahan Energi Biomassa

9

SIMPULAN DAN SARAN

12

Simpulan

12

Saran

12


DAFTAR PUSTAKA

12

LAMPIRAN

15

RIWAYAT HIDUP

17

DAFTAR TABEL
1 Kadar zat ekstraktif kayu nangka

5

2 Penurunan nilai kalor pada setiap fraksi kelarutan zat ekstraktif

7

3 Karakteristik bahan baku kayu sebagai energi biomassa

10

DAFTAR GAMBAR
1 Skema proses maserasi bertingkat serbuk kayu nangka

3

2 Nilai kalor pada beberapa jenis serbuk kayu nangka

7

3 Hubungan antara nilai kalor dengan karbon terikat

11

DAFTAR LAMPIRAN
1 Hasil pengujian nilai kalor

15

2 Hasil identifikasi/determinasi tumbuhan

16

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Energi fosil saat ini masih banyak digunakan masyarakat dan industri di
Indonesia, diantaranya minyak bumi, batubara, dan gas alam. Meningkatnya
konsumsi energi menyebabkan ketersediaan bahan bakar fosil semakin terbatas
karena sifatnya yang tidak dapat diperbaharui (nonrenewable). Biomassa
merupakan salah satu sumber energi alternatif yang sangat potensial, salah
satunya adalah kayu. Sifat yang menguntungkan dari bahan bakar kayu adalah
sumber energi yang dapat dimanfaatkan secara lestari karena sifatnya yang dapat
diperbaharui (renewable resource), relatif tidak mengandung unsur sulfur
sehingga tidak menyebabkan polusi udara sebagaimana yang terjadi pada bahan
bakar fosil, dan energi biomassa juga meningkatkan efisiensi pemanfaatan limbah
pertanian. Akan tetapi menurut Haygreen dan Bowyer (1986), kayu memiliki
karakteristik yang beragam, misalnya kadar ekstraktif yang berbeda untuk setiap
jenis dan berpengaruh terhadap nilai kalor yang dihasilkan.
Nilai kalor kayu ditentukan oleh jenis kayu, berat jenis, kadar air, dan
komposisi kimia kayu khususnya kadar lignin dan kadar ekstraktif. Zat ekstraktif
merupakan komponen kimia minor dalam biomassa, tetapi dapat berkontribusi
terhadap nilai kalor. Hal ini disebabkan oleh tingginya nilai kalor zat ekstraktif,
yaitu sekitar 7 764 kkal/kg (Gaur et al. 1998). Sementara itu berdasarkan
Haygreen et al. (2003), adanya resin dalam kayu mempengaruhi nilai kalor yang
dihasilkan. Kayu yang mengandung resin memiliki nilai kalor yang lebih tinggi
dibanding dengan kayu yang tidak mengandung resin. Sebagai contoh, oleoresin
mempunyai nilai kalor tinggi yaitu sebesar 8 500 kkal/kg (Iswanto 2008). Hal
yang sama disampaikan oleh Richardson et al. (2002) bahwa zat ekstraktif
kelompok resin, terpen, dan lilin memiliki nilai kalor yang tinggi.
Zat ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda yang
dapat diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan nonpolar
(Fengel dan Wangener 1984). Kapasitas terlarutnya zat ekstraktif berdasarkan
sifat keterlarutannya dalam suatu pelarut berbeda-beda, sehingga diduga adanya
keragaman nilai kalor serbuk dari setiap kelarutan zat ekstraktif kayu nangka.
Pemilihan kayu nangka didasarkan pada kadar zat ekstraktif yang cukup tinggi,
berdasarkan klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia yaitu lebih dari 4%
(Lestari dan Pari 1990).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan zat ekstraktif kayu
nangka, dan pengaruhnya terhadap nilai kalor pada berbagai tingkat kelarutan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan informasi ilmiah tentang
pengaruh zat ekstraktif kayu nangka terhadap nilai kalor kayu.

2

METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret hingga Juli 2014. Kegiatan
penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Departemen Hasil
Hutan Fakultas Kehutanan IPB dan Laboratorium Bidang Botani Pusat Penelitian
Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Bogor, serta Balai
Penelitian Ternak Bogor, Kementerian Pertanian.
Bahan Penelitian
Bahan yang digunakan yaitu kayu Nangka bagian teras, umur 22 tahun
yang berasal dari daerah sekitar Sukabumi, Jawa Barat, air destilata, dan kertas
saring. Sedangkan beberapa bahan kimia yang diperlukan untuk penelitian ini
antara lain pelarut n-heksana, etil asetat, etil eter, aseton, dan alkohol 70%.
Alat Penelitian
Alat yang digunakan adalah golok, willey mill, saringan bertingkat, oven,
desikator, penjepit besi, timbangan analitik, toples, rotary vacum evaporator,
erlenmeyer, gelas ukur, kertas saring, alumunium foil, cawan petri, pengaduk kaca,
pipet volume 10 ml, label, cawan abu 50-100 ml, electric muffle furnace, dan
corong kaca, serta pengujian nilai kalor menggunakan alat Bomb Calorimeter.
Prosedur Penelitian
PersiapanBahan Baku(TAPPI T257 om-85)
Sampel kayu yang diambil adalah bagian kayu teras. Kayu dicacah hingga
menjadi serpih kemudian dikering udarakan. Giling potongan kecil kayu dengan
menggunakan willey mill. Serbuk yang dihasilkan disaring dengan menggunakan
saringan bertingkat hingga mendapatkan serbuk berukuran 40-60 mesh. Serbuk
kemudian disimpan dalam wadah tertutup rapat.
Pengukuran Kadar Air (TAPPI T 12 os-75)
Serbuk kayu nangka sebanyak 2 g (BA) dikeringkan dalam oven
pengering selama 24 jam pada suhu 103 ± 2 ºC atau hingga berat keringnya
konstan. Serbuk didinginkan dalam desikator dan ditimbang (BKT). Kadar air
dinyatakan sebagai berat air terhadap berat kering contoh uji yang dinyatakan
dalam persen.
Kadar air dihitung dengan rumus:

Dengan, BA = Berat serbuk awal (g)
BKT = Berat serbuk kering oven (g)

3
Ekstraksi dan Fraksinasi
Metode ekstraksi yang digunakan dalam penelitian ini adalah ekstraksi
maserasi bertingkat dengan modifikasi urutan tingkat kelarutan. Proses ekstraksi
maserasi dilakukan dengan cara mengesktrak 2000 g serbuk ke dalam pelarut nheksana dengan perbandingan 1:3 hingga terendam selama 24 jam dan diaduk
dengan menggunakan pengaduk kaca. Sampel disimpan dalam wadah yang
tertutup. Selanjutnya, dilakukan penyaringan dengan menggunakan kertas saring
dan corong kaca. Penggantian pelarut dilakukan setiap harinya sampai diperoleh
filtrat yang bening. Residu hasil penyaringan yang diperoleh dikeringkan untuk
menghilangkan sisa pelarut n-heksana, dan diambil sebanyak 8 g untuk pengujian
nilai kalor dan analisis proksimat. Residu dimaserasi kembali dengan
menggunakan pelarut etil asetat sampai diperoleh filtrat yang bening sebagaimana
proses maserasi dengan menggunakan pelarut n-heksana. Hal yang sama
dilakukan pula pada pelarut etil eter dan aseton sampai diperoleh filtrat yang
bening. Skema ekstraksi digambarkan pada bagan berikut ini:

Gambar 1 Skema proses maserasi bertingkat serbuk kayu nangka

Filtrat hasil maserasi dari masing-masing pelarut yang diperoleh
dipekatkan dengan menggunakan vacum rotary evaporator hingga mencapai 1000
ml yang nantinya digunakan untuk penentuan kadar zat ekstraktif.

4
Penentuan Kadar Zat Ekstraktif
Sebanyak 10 ml larutan ekstrak n-heksana, dan larutan hasil fraksinasi
terlarut dalam etil asetat, etil eter, serta aseton yang telah diuapkan dikeringkan
dalam cawan petri dengan oven pada suhu ± 40-60 °C sampai diperoleh berat
konstannya. Kadar zat ekstraktif yang diperoleh dari hasil ekstraksi dan fraksinasi
bertingkat dihitung dengan menggunakan rumus berikut :
Kandungan Ekstraktif =
Dengan, Wa = berat padatan ekstraktif (g)
Wb = berat kering oven serbuk (g)
Pengujian Nilai Kalor
Pengukuran nilai kalor dilakukan terhadap serbuk awal (serbuk
mengandung zat ekstraktif), serbuk bebas fraksi n-heksana (S1), serbuk bebas
fraksi n-heksana, dan etil asetat (S2), serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat,
dan etil eter (S3), dan serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan
aseton (S4). Alat yang digunakan adalah Parr 6400 calorimeter. Sebanyak 1 g
kering oven sampel diikat dengan kawat halus lalu dimasukkan ke dalam tempat
pembakaran pada kalorimeter. Kemudian dicatat perubahan nilai kalor yang
terjadi.
Analisis Proksimat
Analisis proksimat meliputi kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, dan
karbon terikat. Pengujian ini mengacu dari beberapa standar seperti kadar air
(TAPPI T 12 os-75), kadar zat terbang (ASTM E-872), kadar abu (ASTM D1102), dan karbon terikat (ASTM D3175).
Kadar Zat Terbang
Cawan porselen yang sudah diberi tanda ditimbang beratnya. Sebanyak 1
g serbuk kering oven dimasukkan ke dalam cawan porselen. Panaskan sampel
pada suhu 950 oC di dalam tanur listrik selama 7 menit, pindahkan ke dalam
desikator selama 15 menit kemudian timbang. Kadar zat terbang yang diperoleh
dihitung dengan menggunakan rumus berikut:

Dengan, Wa = Berat serbuk kering oven (g)
Wb = Berat serbuk setelah 7 menit (g)
Kadar Abu
Cawan abu kosong dibersihkan dan dipanaskan pada suhu 525 ± 25 ºC
selama 30-60 menit. Setelah pemanasan dinginkan cawan dalam desikator.
Sebanyak 1 g serbuk kering oven dimasukkan ke dalam cawan abu. Panaskan
sampel pada suhu 100 ºC lalu tingkatkan suhu hingga mencapai 525 ºC secara
bertahap hingga terjadi karbonisasi tanpa pembakaran. Pembakaran selesai apabila
partikel hitam telah hilang. Kadar abu yang diperoleh dihitung dengan
menggunakan rumus berikut :

5

Dengan, A
B

= Berat abu (g)
= Berat kering oven serbuk (g)

Karbon Terikat
Karbon terikat memiliki peranan yang cukup penting dalam menentukan
kualitas biomassa. Kadar karbon terikat dihitung dengan menggunakan rumus
berikut:
KT = 1 – KA – ZT – KAB
Dengan, KT = karbon terikat
KA = kadar air
ZT = zat terbang
KAB = kadar abu
Analisis Data
Proses pengolahan data penelitian ini dilakukan dengan Microsoft excel
2007 terhadap rata-rata nilai dari masing-masing dua ulangan untuk analisis
kandungan zat ekstraktif, analisis proksimat, dan pengukuran nilai kalor kayu
nangka.

HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Zat Ekstraktif
Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil kadar ekstraktif yang diperoleh
dipengaruhi oleh jenis senyawa yang terdapat dalam sampel dan kelarutan
senyawa tersebut dalam pelarut yang digunakan. Ekstraktif dari semua bagian
yang larut pada pelarut etil asetat memiliki nilai tertinggi yaitu 4.03%, dan
ektraktif yang larut dalam pelarut n-heksana memiliki nilai terendah yaitu 0.23%.
Ekstraksi pada fraksi etil eter dan aseton masing-masingnya sebesar 1.47 dan
1.94%.
Tabel 1 Kadar zat ekstraktif kayu nangka
Jenis Ekstraktif
Berat padatan (g)
Fraksi n-heksana
4.05
Fraksi etil asetat
72.54
Fraksi etil eter
25.66
Fraksi aseton
34.07
Total
136.32

Kadar ekstraktif (%)
0.23
4.03
1.47
1.94
7.67

Ekstrak terlarut n-heksana paling rendah karena umumnya keberadaan
senyawa non polar cenderung paling sedikit dibandingkan senyawa ataupun fraksi
semipolar dan polar (Meilani 2006). Hal yang sama disampaikan oleh Falah et al.
(2008) bahwa kadar zat ekstraktif yang dihasilkan dari fraksi n-heksana tergolong

6
rendah sebesar 0.28%. Pelarut n-heksana dapat melarutkan senyawa terpenoid,
lilin, lemak, dan volatile oil (Houghton dan Raman 1998). Fraksinasi dengan
pelarut n-heksana menghasilkan fraksi yang lebih sulit untuk dikeringkan (pada
suhu 40-60 oC) daripada fraksi lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh minyak
yang tetap terkandung dalam fraksi n-heksana, seperti yang dikemukakan oleh
Houghton dan Raman (1998) bahwa n-heksana dapat melarutkan minyak tetap
dan stabil.
Tingginya rendemen ekstraksi dengan pelarut etil asetat mungkin
disebabkan oleh sifat etil asetat yang semipolar, sehingga dapat mengekstrak
komponen glikon yang polar dan komponen aglikon yang nonpolar pula sehingga
ekstrak ini memiliki rendemen ekstraksi yang besar (Hardwood dan Moody 1989).
Ditambahkan oleh Tensiska et al. (2007), etil asetat merupakan pelarut semi polar
yang mampu menarik senyawa-senyawa dengan rentang polaritas lebar dari polar
hingga nonpolar. Dengan demikian zat ekstraktif pada kayu nangka didominasi
oleh senyawa semi polar yang terlarut dalam etil asetat seperti alkaloid, aglikon,
terpenoid, flavonoid, dan glikosida. Etil eter juga dapat melarutkan alkaloid serta
aglikon (Houghton dan Raman 1998), dan asam lemak seperti lemak, lilin, resin,
sterol, dan asam resin (Achmadi 1990). Aseton dan etil eter akan melarutkan
senyawa polar seperti tanin, flavonoid, lignan, stilbene dan tropolona (Sjostrom
1991).
Total kadar ekstraktif yang diperoleh dari 2 000 g teras kayu nangka
adalah 7.67% dengan berat padatan 136.32 g. Berdasarkan klasifikasi kelas
komponen kimia kayu yang menyatakan bahwa kadar ekstraktif kayu tergolong
tinggi jika kadar ekstraktif lebih besar dari 4% (Lestari dan Pari 1990), maka
kandungan zat ekstraktif kayu nangka tergolong tinggi.
Rendemen yang dihasilkan dalam proses ekstraksi dipengaruhi oleh jenis
pelarut dan metode yang digunakan (Farrel 1990). Metode ekstraksi yang
digunakan adalah ekstraksi dengan maserasi bertingkat dengan modifikasi urutan
tingkat kelarutan. Maserasi merupakan metode sederhana yang dilakukan dengan
cara merendam serbuk sampel dalam suatu pelarut dan dalam jangka waktu
tertentu. Zat ekstraktif pada setiap jenis kayu dapat diekstrak dengan
menggunakan pelarut-pelarut yang berbeda tergantung sifat dari zat ekstraktif
tersebut dan pelarutnya. Zat ekstraktif bersifat polar dapat terekstrak dalam pelarut
yang bersifat polar, dan sebaliknya. Prinsip ekstraksi adalah pelarutan/pengikatan
zat aktif berdasarkan sifat kelarutannya dalam suatu pelarut (like dissolved like).
Jenis dan mutu pelarut yang digunakan sangat menentukan keberhasilan proses
ekstraksi. Pelarut yang digunakan harus dapat melarutkan zat yang diinginkan,
mempunyai titik didih yang rendah, murah, dan tidak toksik (Ketaren 1986).
Pengaruh Zat Ekstraktif terhadap Nilai Kalor
Nilai kalor merupakan indikator penting dalam menentukan kualitas bahan
baku untuk sumber energi yang bergantung pada komposisi kimia, kadar air, dan
kandungan abu pada kayu (Silva et al. 2011). Menurut Haygreen et al. (2003),
rata-rata nilai kalor pada kayu kering tanur adalah 4500 kkal/kg. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa nilai kalor kayu nangka berekstraktif adalah sebesar 4501.5
kkal/kg berdasarkan berat kering tanurnya, sehingga tergolong baik dan potensial
sebagai sumber energi biomassa. Selain kadar air sebagai faktor utama yang

7

Nilai Kalor (kkal/kg)

mempengaruhi nilai kalor kayu, ekstraktif merupakan faktor penting dalam
menentukan nilai kalor, Semakin tinggi zat ekstraktif, nilai kalor yang dihasilkan
semakin tinggi (Haygreen et al. 2003). Ekstraktif juga berperan dalam
peningkatan nilai kalor suatu bahan bakar. Hasil penelitian mengkonfirmasikan
bahwa zat ekstraktif berpengaruh besar terhadap nilai kalor kayu. Nilai kalor
mengalami penurunan seiring dengan menurunnya kadar zat ekstraktif dalam kayu.
Penurunan nilai kalor ini terjadi karena zat ekstraktif yang terkandung dalam
serbuk telah dihilangkan pada masing-masing tahapan ekstraksi.
4 501.5
4600

4 491.0 4 451.0
4 343.5

4400

4 171.5

4200
4000
S0

S1

S2

S3

S4

Jenis Serbuk Kayu
Gambar 2 Nilai kalor pada beberapa jenis serbuk kayu nangka
Keterangan:

S0 = serbuk kayu kontrol
S1 = serbuk bebas fraksi n-heksana
S2 = serbuk bebas fraksi n-heksana, dan etil asetat
S3 = serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, dan etil eter
S4 = serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton

Nilai kalor yang dihasilkan menurun seiring dengan tahapan ekstraksi
yang dilakukan (Gambar 2). Nilai kalor tertinggi dimiliki oleh serbuk kayu
kontrol yang masih berekstraktif tinggi (S0), dan terus mengalami penurunan
hingga fraksi S4. Berikut tabel penurunan nilai kalor pada setiap fraksi kelarutan
zat ekstraktif:
Tabel 2 Penurunan nilai kalor pada setiap fraksi kelarutan zat ekstraktif
Estimasi nilai
Jenis
Nilai kalor
Kadar zat
Penurunan nilai
kalor zat
sampel (kkal//kg)
ekstraktif (%)
kalor (kkal/kg)
ekstraktif (kal/g)
S0
4 501.5
S1
4 491.0
0.23
10.5
4 565.22
S2
4 451.0
4.03
40.0
992.56
S3
4 343.5
1.47
107.5
7 312.93
S4
4 171.5
1.94
172.0
8 865.80
Keterangan:

S0 = serbuk kayu kontrol
S1 = serbuk bebas fraksi n-heksana
S2 = serbuk bebas fraksi n-heksana, dan etil asetat
S3 = serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, dan etil eter
S4 = serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton

Fraksi S3 mengalami penurunan yang cukup tinggi daripada fraksi S2. Jika
dilihat dari kadar zat ekstraktif yang terlarut etil asetat pada fraksi S2 paling tinggi,
yaitu sebesar 4.03% mengalami penurunan nilai kalor sebesar 0.89%. Sementara

8
kadar ekstraktif fraksi S3 yang terlarut etil eter sebesar 1.47% mengalami
penurunan nilai kalor sebesar 2.42%. Persentase zat ekstraktif S3 lebih rendah
dibandingkan dengan fraksi S2, namun penurunan nilai kalornya lebih besar. Hal
ini diduga disebabkan oleh perbedaan senyawa ekstraktif yang terlarut pada
masing-masing fraksi. Fengel dan Wangener (1984) menyatakan bahwa zat
ekstraktif kayu meliputi sejumlah besar senyawa yang berbeda yang dapat
diekstraksi dari kayu dengan menggunakan pelarut polar dan nonpolar.
Senyawa yang terlarut etil eter lebih berkontribusi terhadap penurunan
nilai kalor, seperti asam lemak, lipid, lilin, resin, dan asam resin, namun dengan
kadar yang lebih rendah karena telah lebih dulu dilarutkan pada fraksi S1 dengan
menggunakan pelarut n-heksana. Selain senyawa ekstraktif tersebut, diduga
terdapat senyawa lain yang memiliki pengaruh yang besar terhadap kalor,
diantaranya adalah beberapa senyawa flavonoid. Senyawa tersebut memiliki
gugus hidroksil sehingga dapat menyebabkan nilai kalor yang dihasilkan rendah,
dengan demikian tingginya penurunan nilai kalor pada fraksi S3 diduga
disebabkan oleh keberadaan beberapa senyawa flavonoid, senyawa-senyawa lipid,
dan lemak yang masih terlarut dalam fraksi. Senyawa lipid memiliki struktur
karbon yang panjang sehingga berpengaruh terhadap nilai kalor, selain itu lemak
juga menghasilkan nilai kalor yang lebih tinggi.
Hawab (2003) menjelaskan bahwa minyak termasuk dalam golongan lipid
dengan ikatan karbon bisa sangat panjang antara C12 sampai C18. Rantai karbon
yang panjang yang terkandung dalam minyak, berpengaruh terhadap nilai kalor
minyak tersebut. Pada reaksi pembakaran setiap karbon diubah menjadi
karbondioksida dengan melepaskan kalor. Makin banyak karbon makin banyak
energi yang dihasilkan. Ditambahkan oleh Wang dan Huffman(1982), ekstrak etil
eter mengandung komponen terpenoid, hidrokarbon, dan lipid. Dimana komponen
organik yang mengandung karbon dan hidrogen menghasilkan energi yang lebih
besar ketika dibakar daripada yang mengandung oksigen. Hal yang sama
disampaikan oleh Richardson et al. (2002) bahwa zat ekstraktif kelompok resin,
terpen, dan lilin memiliki nilai kalor yang tinggi. Sementara senyawa yang terlarut
etil asetat didominasi oleh senyawa fenolik seperti aglikon, glikosida, dan
flavonoid. Menurut Wang dan Huffman(1982), keberadaan beberapa gugus
hidroksil di dalam molekul fenolik kayu akan menghasilkan jumlah panas yang
lebih rendah daripada terpenoid, hidrokarbon, dan lipid.
Total kontribusi terhadap nilai kalor dari senyawa ekstraktif yang bersifat
polar lebih tinggi dibandingkan dengan senyawa ekstraktif lainnya, karakter
energi yang tinggi pada senyawa terlarut eter yang didominasi oleh senyawa
hidrokarbon dan lipid dapat menghasilkan energi yang lebih tinggi apabila
dioksidasi jika dibandingkan dengan komponen organik kayu bukan ekstraktif
seperti selulosa, hemiselulosa, dan lignin (Wang dan Huffman 1982).
Kadar zat ekstraktif terlarut aseton (S4) yaitu sebesar 1.94%, mengalami
penurunan nilai kalor yang paling tinggi sebesar 3.96%. Hal ini diduga
disebabkan oleh keadaan serbuk yang telah benar-benar bebas ekstraktif, dimana
semua zat ekstraktif telah terlarut pada setiap tingkatan ekstraksi. Selain itu juga
dapat disebabkan oleh terdapatnya senyawa ekstraktif yang berkontribusi terhadap
kalor seperti tanin yang terkondensasi karena memiliki struktur ikatan karbon.
Banyaknya senyawa tanin terkondensasi yang terlarut menyebabkan tingginya
penurunan nilai kalor yang terjadi. Waghorn dan McNabb (2003) menyatakan

9
bahwa tanin dibagi menjadi dua kelompok yaitu tanin yang mudah terhidrolisis
dan tanin terkondensasi. Tanin terkondensasi merupakan polimer senyawa
flavonoid dengan ikatan karbon-karbon.
Senyawa yang terlarut pada fraksi aseton adalah komponen senyawa
fenolik. Keberadaan beberapa gugus hidroksil di dalam molekul fenolik kayu akan
menghasilkan jumlah panas yang lebih rendah daripada terpenoid, hidrokarbon,
dan lipid (Wang dan Huffman 1982).Fenolik adalah senyawa yang memiliki satu
atau lebih gugus hidroksil yang menempel di cincin aromatik. Dengan kata lain,
senyawa fenolik adalah senyawa yang sekurang-kurangnya memiliki satu gugus
fenol (Vermerris dan Nicholson 2006). Keberadaan gugus hidroksil menyebabkan
ikatan antar karbon-karbon dalam kayu semakin rendah, sehingga nilai kalor yang
terjadi akan semakin rendah (Susott 1975)
Fraksi terlarut n-heksana (S1) memiliki penurunan nilai kalor yang paling
rendah daripada fraksi yang lain yaitu sebesar 10.5 kkal/kg (0.23%). Kandungan
zat ekstraktif yang terlarut pun paling rendah hanya 0.23%. Nilai kalor fraksi S1
mengalami penurunan yang sama dengan nilai kalornya. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan terlarutnya zat ekstraktif mengakibatkan turunnya nilai kalor yang
dihasilkan. Hal yang sama disampaikan oleh Falah et al. (2008) bahwa kadar zat
ekstraktif yang dihasilkan dari fraksi n-heksana tergolong rendah sebesar 0.28%.
Houghton dan Raman (1998) menyatakan bahwa senyawa yang terlarut n-heksana
didominasi oleh senyawa terpenoid, lilin, lemak, dan volatile oil yang sangat
tinggi kontribusinya dalam meningkatkan nilai kalor kayu karena memiliki
struktur molekul karbon yang panjang. Rendahnya kadar ekstraktif yang diperoleh
menyebabkan rendahnya penurunan nilai kalor yang terjadi.
Nilai kalor zat ekstraktif dapat diduga dengan menghitung selisih penurunan
kalor yang terjadi dibagi persentase kadar zat ekstraktif. Pada fraksi S1 nilai kalor
yang diperoleh adalah sebesar 4 565.22 kal/g. Fraksi S2, S3, dan S4 berturut-turut
adalah 992.56, 7 312.93, dan 8 865.80 kal/g. Hasil ini menunjukkan bahwa fraksi
S1, S2, dan S3 memberikan kontribusi terhadap penurunan nilai kalor. Hal ini
ditunjukkan oleh besarnya nilai kalor yang dihasilkan setiap gram ekstraktifnya.
Namun, rendahnya nilai kalor pada fraksi S2 diduga disebabkan oleh komponen
senyawa ekstraktifnya tidak berpengaruh besar terhadap penurunan nilai kalornya.
Dugaan nilai kalor zat ekstraktif juga dapat menunjukkan bahwa dengan
rendahnya nilai kalor ekstraktif, maka nilai kalor kayu juga akan semakin
menurun. Estimasi nilai kalor tersebut meningkat seiring banyaknya zat ekstraktif
yang terlarut pada tiap fraksi, dimana total zat ekstraktif yang terlarut sebanyak
7.67% diduga menghasilkan nilai kalor sebesar 8 865.80 kal/g.
Karakteristik Kayu sebagai Bahan Energi Biomassa
Karakteristik kayu sebagai energi biomassa dievaluasi berdasarkan hasil
pengujian analisis proksimat. Analisis proksimat bahan energi biomassa mengacu
pada standar ASTM (American Society for Testing Material) yang meliputi
pengujian kadar air, kadar zat terbang, kadar abu, dan kadar karbon terikat.
Pengujian ini berfungsi untuk menduga nilai kalor yang dihasilkan.

10
Tabel 3 Karakteristik bahan baku kayu sebagai energi biomassa
Karbon
Kadar air
Zat terbang
Kadar abu
Jenis
terikat
serbuk
(%)
S0
8.54
71.36
1.21
27.35
S1
11.64
73.33
1.31
25.24
S2
11.66
75.56
1.20
23.13
S3
13.59
77.04
1.27
21.56
S4
13.84
79.31
1.07
19.48
Keterangan:

Nilai kalor
(kkal/kg)
4 501.5
4 491.0
4 451.0
4 343.5
4 171.5

S0 = serbuk kayu kontrol
S1 = serbuk bebas fraksi n-heksana
S2 = serbuk bebas fraksi n-heksana, dan etil asetat
S3 = serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, dan etil eter
S4 = serbuk bebas fraksi n-heksana, etil asetat, etil eter, dan aseton

Komponen volatil (zat teruapkan) lebih dominan dibandingkan dengan
komponen yang lain, hal ini didasari bahwa kandungan volatil pada kayu
umumnya tinggi dibandingkan dengan arang. Komponen utama volatil tersusun
atas CO, H2, dan CO2, dimana zat yang teruapkan masih mengandung zat-zat yang
mudah terbakar (Saputro et al. 2012). Kadar zat terbang pada masing-masing
serbuk berkisar antara 71.36% sampai dengan 79.31% dimana serbuk fraksi S4
memiliki kadar zat terbang tertinggi. Kadar ekstraktif berpengaruh terhadap zat
terbang. Zat terbang terus naik seiring dengan penurunan kadar zat ekstraktif. Hal
ini disebabkan oleh kondisi serbuk yang bebas ekstraktif dimana senyawa karbon
yang terkandung semakin rendah. Hendra dan Pari (2000) menyatakan bahwa
kadar zat terbang yang tinggi akan menurunkan kualitas bahan karena dengan
banyaknya zat terbang, maka kandungan karbon semakin kecil sehingga nilai
kalor yang dihasilkan semakin rendah.
Keberadaan gugus hidroksil dalam senyawa fenolik kayu juga dapat
menyebabkan tingginya zat terbang pada fraksi S4 yang didominasi oleh senyawa
fenolik seperti tanin, flavonoid, dan lignan. Menurut Wang dan Huffman (1982),
senyawa fenolik mengandung gugus hidroksil yang tinggi sehingga sangat
berkontribusi terhadap nilai kalor. Demirbas (2004) menyatakan bahwa proses
pemanasan mengakibatkan terjadinya penurunan berat biomassa karena
terlepasnya zat atau senyawa yang mudah menguap. Kandungan atau zat-zat yang
menguap tersebut diantaranya adalah hidrokarbon, karbon monoksida, karbon
dioksida, hidrogen, dan tar.
Abu berpengaruh terhadap nilai kalor kayu karena dapat menurunkan mutu
bahan bakar. Salah satu unsur utama abu adalah silika, dan pengaruhnya kurang
baik terhadap nilai kalor yang dihasilkan (Satmoko et al. 2013). Semakin rendah
kadar abu, maka semakin baik bahan bakar tersebut. Kandungan abu dalam serbuk
kayu nangka tergolong rendah, yaitu berkisar antara 1.07-1.31%. Kadar abu
kontrol yang masih mengandung zat ekstraktif memiliki nilai kadar abu lebih
tinggi daripada serbuk bebas ekstraktif yaitu sebesar 1.21%. Hal ini disebabkan
oleh keadaan serbuk yang masih berekstraktif, namun setelah dilakukan tahapan
ekstraksi kadar abu juga menurun. Kadar abu yang diperoleh kurang dari 5%
sehingga baik digunakan sebagai sumber energi. Seperti pernyataan Rajvanshi
(1986), bahan baku energi biomassa dengan kadar abu kurang dari 5% termasuk

11
kategori bahan energi biomassa yang baik karena tidak menyebabkan
pembentukan kerak mineral.
Kadar karbon terikat berhubungan dengan nilai kalor.Semakin tinggi kadar
karbon terikat maka nilai kalor semakin tinggi pula karena reaksi oksidasi akan
menghasilkan kalori (reaksi eksothermis). Bahan bakar yang bermutu baik adalah
bahan dengan nilai kalor dan kadar karbon terikat yang tinggi namun kadar abu
rendah (Sudrajat dan Salim 1994).
4600
Nilai Kalor

4500
4400

y = 41.00x + 3434
R² = 0.836

4300
4200
4100
0

5

10
15
20
Karbon Terikat

25

30

Gambar 3 Hubungan antara nilai kalor dengan karbon terikat

Hasil penelitian mengkonfirmasi bahwa karbon terikat berbanding lurus
dengan nilai kalor kayu (Gambar 3), yang ditunjukkan oleh koefisien determinasi
yang tinggi (r = 0.836). Semakin tinggi karbon terikat, nilai kalor yang dihasilkan
semakin tinggi, dan sebaliknya. Penurunan karbon terikat terjadi seiring dengan
penurunan kadar zat ekstraktif yang dikandungnya. Dimana serbuk kontrol yang
belum dihilangkan zat ekstraktifnya memiliki kandungan karbon terikat paling
tinggi yaitu sebesar 27.35%. Setelah diekstraksi dengan pelarut n-heksana kadar
karbon terikatnya berkurang menjadi 25.24%, berikut sampai zat ekstraktifnya
hilang setelah diekstraksi dengan aseton menjadi 19.48%. Tingginya kadar karbon
pada fraksi S1 diduga disebabkan oleh keberadaan senyawa ekstraktif dengan
struktur karbon yang tinggi, seperti lemak dan lipid sehingga nilai karbon terikat
lebih tinggi daripada fraksi S2 yang didominasi oleh senyawa fenolik dengan
struktur karbon yang lebih pendek.
Kadar karbon terikat minimal untuk energi biomassa adalah 16% (stahl et
al. 2004), sehingga kayu nangka tergolong baik untuk sumber energi biomassa
karena kadarnya lebih besar dari 16%. Kadar karbon terikat dipengaruhi oleh
kadar abu dan zat terbang. Semakin tinggi kandungan karbon terikat maka kadar
abu dan zat terbang akan semakin rendah.
Nilai Kalor kayu nangka berdasarkan penelitian Komarayati(1995) adalah
6 487.28 kal/g, dan jika dijadikan arang sebesar 7 183.37 kal/g dengan rendemen
38.74%. Briket arang kayu nangka tergolong baik sebagai energi, mengandung
5.1% kadar air, 3.06% kadar abu, 71.23% karbon terikat, dan 25.51% zat terbang.
Jika dibandingkan dengan hasil penelitian, nilai kalor yang diperoleh lebih rendah
yaitu 4 501,5 kkal/kg, dengan kadar air, karbon terikat, dan zat terbang yang lebih
tinggi.

12

SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Zat ekstraktif berpengaruh besar terhadap nilai kalor kayu. Zat ekstraktif
yang semakin menurun mengakibatkan penurunan nilai kalornya. Nilai kalor kayu
terus menurun dari serbuk awal hingga fraksi bebas n-heksana, etil asetat, etil eter,
dan aseton, masing-masing sebesar 4 501.5, 4 491, 4 451, 4 343.5, dan 4 171.5
kkal/kg. Faktor-faktor lain yang mempengaruhi nilai kalor kayu adalah kadar air,
kadar zat terbang, kadar abu, dan karbon terikat. Hasil analisis proksimat
menunjukkan bahwa kadar air semakin meningkat seiring dengan penurunan zat
ekstraktif, demikian pula dengan kadar zat terbangnya. Namun nilai kalor dan
kadar karbon terikat mengalami penurunan.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan referensi dari literatur, perlu dilakukan
penelitian lanjutan mengenai senyawa aktif yang terkandung dalam zat ekstraktif
pada masing-masing fraksi yang paling berpengaruh pada nilai kalor kayu.

DAFTAR PUSTAKA
Achmadi S. 1990. Kimia Kayu. Bogor (ID): IPB Press.
[ASTM] American Society for Testing Material. 2013. ASTM D-1102. Test
Method for Ash In Wood. USA.
_________________________________________. 2013. ASTM D-3175. Test
Method for Fixed Carbon In Wood. USA.
_________________________________________. 2013. ASTM E-872. Test
Method for Volatile Metter in the Analysis of Particular Wood Fuels. USA.
Buchanan MA. 1963. Extraneous component of wood in: The chemistry of wood
(Browning, BL, Ed). Intersci. Publ: 313-367.
Demirbas A. 2004. Combustion characteristics of different biomass fuels.
Progress in energy and combustion science (30): 219-230.
Ersam T. 2004. Keunggulan Biodiversitas Hutan Tropika Indonesia dalam
Merekayasa Model Molekul Alami. Makalah Seminar Nasional Kimia VI.
Surabaya (ID): Institut Teknologi Sepuluh November.
Falah S, Suzuki T, Katayama T. 2008. Chemical constituents from Swietenia
macrophylla bark and antioxidant activity. Pakistan Journal of Biologicl
Sciences II. (16): 2007-2012.
Farrel KT. 1990. Spices, Condiments and seasonigs. AVI Pubs.Co.Inc.
Westpat.Connecticut. (2); [diunduh 2014 Juli 21]. Tersedia pada:
http://books.google.co.id/book?id.
Fengel D, Wegener G. 1984. Wood: Chemistry, Ultrastructure, Reactions. Berlin
(GE): Walter de Gruyter.
Gaur S, Reed T, Dekker M. 1995. Kayu; Kimia, Ultrastruktur, Reaksi-Reaksi.
Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University Press.

13
Hardwood LM, Moody CJ. 1989. Experimental Organic Chemistry, Principles
and Practice. Oxford (UK): Blackwel Scientific Publications.
Haygreen JG, Bowyer JL, Schmulsky R. 2003. Forest Product and Wood
Sciences An Introduction. Ames (US): IOWA State University Press.
Haygreen JG, Bowyer JL. 1986. Hasil Hutan dan Ilmu Kayu, Suatu Pengantar:
Hadikusumo SA. Penerjemah; Prawirohatmojo S. Editor. Yogyakarta (ID):
UGM Press. Terjemahan dari: Forest Product and Wood Science, an
Introduction.
Harborne JB. 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa
Tumbuhan. Bandung (ID): ITB Press.
Hawab. 2003. Pengantar Biokimia. Malang (ID): Bayumedia Publishing
Hendra, Pari G. 2000. Penyempurnaan Teknologi Pengolahan Arang. Laporan
Hasil Penelitian Hasil Hutan. Balai Penelitian dan Pengembangan kehutanan,
Bogor.
Houghton PJ, Raman A. 1998. Laboratory Handbook for the Fractionation of
Natural Extracts. London (GB): Chapman & Hall.
Iswanto AH. 2008. Sifat Panas, Akustik dan Elektrik pada Kayu. [Karya Tulis].
Medan (ID): USU Press.
Ketaren S. 1986. Teknologi Pengolahan Minyak dan Lemak Pangan. Jakarta (ID):
UI Press.
Komarayati S. 1995. Development of prospect of jackfruit plant evaluated from
charcoal properties and other aspects. J Penelitian Hasil Hutan Indonesia
13(2):45-51.
Lestari SB, Pari G. 1990. Analisis kimia beberapa jenis kayu indonesia. J
Penelitian Hasil Hutan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan
VII(3): 96-100.
Meilani SW. 2006. Uji bioaktivitas zat ekstraktif kayu suren (Toona sureni Merr.)
dan Ki Bonteng (Platea latifolia BL.) menggunakan Brine Shrimp Lethality
Test (BSLT) [Skripsi]. Bogor (ID): IPB Press.
Rajvanshi AK. 1986. Biomass Gasification. Di dalam D: Yogi Goswami, editor;
Nimbkar Agricultural Research Institute. India Phalton (415523): CRC Press.
Hlm 83-102.
Richardson J, Bjorheden R, Hakkila P, Lowe AT, Smith CT. 2002. Bioenergy
from Suistanable Forestry. Boston(US): Kluwer Academic Press.
Saputro DD, Widayat W, Rusiyanto, Saptoadi H, Fauzun. 2012. Karakterisasi
briket dari limbah pengolahan kayu sengon dengan metode cetak panas.
Seminar Nasional Aplikasi Sains Dan Teknologi (SNAST) Periode III
[Internet]. [2012 November 3]. Yogyakarta (ID): hlm 394-400; [diunduh
2014 Agustus 8]. Tersedia pada http://repository.akprind.ac.id/sites/files/
conference -proceedings/2012/fauzun_14393.pdf.
Satmoko MEA, Saputro DD, Budiyono A.2013. Karakterisasi briket dari limbah
pengolahan kayu sengon dengan metode cetak panas. J of Mechanical
Engineering Learning 2(1):1-8.
Silva DA, Gracia RA, Muniz GIB, Weber JC. 2011. Calorific value of Prosopis
africana and Balanites aegyptiaca wood: Relationships with tree growth,
wood density, and rainfall gradients in the West African Sahel. Biomass
Energy. 35:346-353.

14
Sjostrom E. 1991. Wood Chemistry, Fundamentals and Aplications. New York
(US):Academic Press.
Stahl R, Henrich E, Gehrmann HJ, Vodegel S, Koch M. 2004. Definition of
Standar Biomass. Germany (DE): Forschungszentrum Karlsruhe.
Sudrajat R, Soleh S. 1994.Petunjuk Teknis Pembuatan Arang Aktif. Bogor (ID):
Balitbang Kehutanan.
Sunyata A. 2004. Pengaruh Kerapatan dan Suhu Pirolisa terhadap Kualitas
Briket Arang Serbuk Kayu Sengon. Yogyakarta (ID): Fakultas Kehutanan
Institut Pertanian Yogyakarta (INTAN).
Susott RA, Degrott WF, Shafizadeh F. 1975. Heat content of natural fuels. J of
Fire Flammability. 6:311-325.
[TAPPI] Technical Association of Pulp and Paper Industry. 1990. TAPPI Test
Methods. 1991. Atlanta (US): TAPPI Pr.
Tensiska M, Yudiastuti SON. 2007. Pengaruh Jenis Pelarut terhadap Aktivitas
Antioksidan Ekstrak Kasar Isoflavon dari Ampas Tahu. Laporan Penelitian.
Vermerris W, Nicholson R. 2006. Phenolic Compound. Netherlands (NL):
Springer.
Waghorn GC, McNabb WC. 2003. Consequences of plant phenolic compounds
for productivity and health of ruminants. Proc. Nutr. Soc. 62:383-392.
Wang S, Huffman JB. 1982. Effect of extractive on heat content of Malaleuca and
Eucalyptus. Forest Product Research Society. Wood Sci. 15(1):33-38.

15

LAMPIRAN

16

17

RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Balai Tengah pada tanggal 20 Oktober 1991. Penulis
merupakan anak ketiga dari empat bersaudara dari keluarga Bapak Asril dan Ibu
Mimi Angrianti. Pada tahun 2010 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Lintau Buo,
dan pada tahun yang sama diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknologi Hasil
Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI).
Selama menjadi mahasiswa penulis telah mengikuti kegiatan praktek lapang
yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun 2012 di Gunung
Papandayan Garut, Jawa Barat, pada tahun 2013 penulis mengikuti kegiatan
Praktek Pengolahan Hutan (PPH) dengan lokasi di Hutan Pendidikan Gunung
Walat, KPH Cianjur, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan PGT
Sindangwangi, kemudian pada tahun yang sama, penulis mengikuti kegiatan
Praktek Kerja Lapang (PKL) di Industri Pengolahan Hasil Hutan (Kayu) PT.
Estika Tropika Lestari, Tegal Jawa Tengah. Selain aktif mengikuti perkuliahan,
penulis juga aktif dalam kepanitiaan kegiatan kampus seperti divisi Humas
Forestry Exibition, Divisi Humas South East Asia Forest Youth Meeting pada
tahun 2011, dan divisi Humas Three University IPB.
Penulis merupakan anggota Divisi HRD Internasional Forestry Student
Assosiation Local Community IPB (IFSA LC IPB), Anggota PSDM Bem Fakultas
Kehutanan, Pengurus Gentra Kaheman Bidang Fasilitas dan Properti, dan anggota
kelompok minat kimia hasil hutan, Himpunan Profesi Mahasiswa Hasil Hutan
(HIMASILTAN). Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan,
penulis melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Zat
Ekstraktif Kayu Nangka (Arthocarpus heterophyllus Lam) dan Pengaruhnya
terhadap Nilai Kalor” dibawah bimbingan Prof Dr Ir Wasrin Syafii, M.Agr.