HASIL DAN PEMBAHASAN Penatalaksanaan Fisioterapi pada Carpal Tunnel Syndrome (CTS) Dextra di RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Setelah dilakukan proses assessment pada pasien Ny. DA usia 44
tahun dengan diagnosa medis CTS dextra diperoleh permasalahan berupa
nyeri tekan dan gerak pada pergelangan tangan kanan, penurunan LGS
pergelangan tangan kanan, penurunan kekuatan otot dan penurunan
kemampuan
aktivitas
fungsional
sehari-hari.
Setelah
dilakukan
penatalaksanaan fisioterapi selama enam kali, diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Pemeriksaan nyeri
Grafik 4.1 Evaluasi nyeri diam, tekan, dan gerak
6
5
4
nyeri diam
3
nyeri tekan
nyeri gerak
2
1
0
T1
T2
T3
T4
T5
38
T6
39
Evaluasi pemeriksaan nyeri menggunakan skala VDS untuk
mengetahui perubahan nyeri diam, tekan dan gerak selama enam kali
terapi. Hasil evaluasi nyeri diam yang diperoleh tidak ada perubahan, T1
tidak ada nyeri dan T6 tidak ada nyeri juga. Sedangkan pemeriksaan nyeri
tekan dan gerak mengalami perubahan yang menunjukkan hasil membaik.
Nyeri tekan TI tidak begitu berat menjadi T6 ringan dan pada nyeri gerak
hasil yang diperoleh dari pemeriksaan T1 cukup berat menjadi T6 tidak
begitu berat.
2. Pemeriksaan lingkup gerak sendi
Grafik 4.2 Evaluasi lingkup gerak sendi wrist dextra aktif
80
72
72
72
68
70
60
60
60
50
48
47
45
50
48
45
dorsal
40
normal
palmar
30
20
10
0
0
0
0
0
0
Terapi 1
Terapi 2
Terapi 3
Terapi 4
Terapi 5
Terapi 6
0
40
Grafik 4.3 Evaluasi lingkup gerak sendi wrist dextra pasif
75
80
70
75
72
75
65
60
55
60
55
57
55
50
45
50
dorsal
40
normal
30
palmar
20
10
0
0
0
0
0
0
0
Terapi 1 Terapi 2 Terapi 3 Terapi 4 Terapi 5 Terapi 6
Setelah dilakukan terapi sebanyak enam kali telah terjadi
perubahan lingkup gerak sendi wrist joint. Perubahan terjadi pada gerak
aktif dan pasif bidang sagital yaitu palmar dan dorsal fleksi wrist. Pada
pemeriksaan gerak aktif T1 diperoleh
hasil S= 600-00-450 dan T6
sebanyak S= 720-00-600, sehingga peningkatan LGS dorsal fleksi wrist
sebesar 120 dan 150 pada gerak palmar fleksi wrist. Sedangkan pada gerak
pasif juga mengalami peningkatan LGS dari T1 sebesar S= 650-00-450 dan
T6 menjadi S= 750-00-570. Peningkatan gerak pasif pada dorsal fleksi wrist
sebesar 100 dan 120 pada palmar fleksi wrist.
41
3. Pemeriksaan kekuatan otot
Grafik 4.4 Evaluasi pemeriksaan kekuatan otot flexor dan ekstensor wrist
dextra
6
5
4
3
fleksor
2
ekstensor
1
0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
Pemeriksaan kekuatan otot menggunakan MMT dievaluasi setiap
kali terapi yaitu enam kali. Saat terapi pertama hasil pemeriksaan kekuatan
otot diperoleh hasil 4- untuk fleksor dan ekstensor wrist dextra. Sedangkan
pada terapi terakhir pada fleksor dan ekstensor wrist diperoleh hasil 5-.
4. Pemeriksaan kemampuan aktivitas fungsional
Grafik 4.5 Evaluasi kemampuan aktivitas fungsional sehari-hari
4,5
4
3,5
3
2,5
Terapi 1
2
Terapi 2
1,5
Terapi 3
1
Terapi 4
0,5
Terapi 5
0
Terapi 6
42
Berdasarkan grafik perkembangan kemampuan aktivitas fungsional
sehari-hari menggunakan WHDI selama enak kali terapi diperoleh hasil TI
sebanyak 30 dan T6 memperoleh nilai 21 dengan klasifikasi kedua terapi
tersebut kategori sedang. Meskipun berada dalam klasifikasi yang sama
selama enam kali terapi tapi terjadi peningkatan kemampuan aktivitas
kemampuan fungsional. Peningkatan yang terjadi dengan selisih nilai
sebanyak 9 poin. Sehingga menunjukkan perbaikan kondisi selama terapi
yang telah dilakukan.
B. Pembahasan
Berdasarkan pelaksanaan terapi selama enam kali diperoleh hasil
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu penurunan nyeri, peningkatan
lingkup gerak sendi, peningkatan kekuatan otot dan kemampuan aktivitas
fungsional sehari-hari. Selama terapi, perkembangan pasien fluktuatif yaitu
terjadi peningkatan dan penurunan. Hal ini bisa terjadi karena aktivitas pasien
yang terlalu berlebihan, kondisi kesehatan pasien dan intensitas latihan
selama di rumah. Sebagian besar waktu pasien digunakan untuk aktivitas
fungsional sehari-hari. Sehingga fisioterapis tidak dapat memantau setiap hari
kegiatan pasien. Kerjasama yang baik antara pasien, keluarga dan fisioterapis
harus berjalan dengan baik untuk selalu mengingatkan dan memotivasi
pasien.
Terapi yang diberikan berupa US dapat menstimulasi regenerasi saraf
dan konduksi saraf dengan adanya efek anti-inflamatori dari US sehinggga
43
dapat membantu proses penyembuhan saraf yang mengalami kompresi
(Bilgici dkk., 2010). Penurunan nyeri yang terjadi dihasikan melalui aktivasi
threshold pada ujung saraf dengan thermal effect yang juga merangsang
saraf bermielin besar melalui mekanisme gerbang kontrol (Drapper dan
Prentice, 2002). Sedangkan aktivasi mekanoreseptor threshold dan reseptor
sensorik pada muscle spindle dapat meningkatkan LGS. Melalui peningkatan
ekstensibilitas kulit dan otot termasuk juga viskositas jaringan. Akibat terjadi
peningkatan metabolisme lokal sehingga peradangan berkurang melalui setiap
peningkatan suhu 10C. Sedangkan peningkatan LGS dan ekstensibilitas
jaringan diperoleh dari setiap 40 C peningkatan suhu. Efek kimia yang timbul
menyebabkan efek mikrovibrasi dari US yang mana menyebabkan penurunan
nyeri dan perubahan viskoelastisitas otot. Sehingga peningkatan LGS dan
penurunan nyeri diperoleh dari thermal dan mechanical effect (Morishita
dkk., 2014).
Pada penggunaan terapi paraffin yang merupakan campuran paraffin
dan mineral oil memiliki efek hangat yang lebih baik dibandingkan dengan
terapi air dengan suhu yang sama. Efek hangat yang memberikan rasa
nyaman akan meningkatkan aliran darah yang berpengaruh terhadap produksi
analgetik, nyeri akan berkurang yang berakibat relaksai pada otot yang
selanjutnya dapat meningkatkan elastisitas connective tissue (Chang dkk.,
2014). Peningkatan elastisitas dan penurunan nyeri yang terjadi, akan
mempermudah terapi latihan yang dilakukan yaitu stretching exercise dan
resisted excersise.
44
Stretching exercise merupakan suatau tindakan yang digunakan untuk
meningkatkan ekstensibilitas jaringan melalui proses penguluran jaringan dan
meningkatkan fleksibilitas. Manfaat yang diperoleh dari stretching exercise
yaitu menjaga dan meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot,
meningkatkan kemampuan aktifitas fungsional, dan menjaga fleksibilitas
serta ekstensibilitas jaringan (Kisner dan Colby, 2007). Pemberian US dan
paraffin sebelum tindakan stretching exercise membantu mempermudah dan
meningkatkan penguluran jaringan dari efek hangat yang muncul. Rasa
hangat tersebut menyebabkan peningkatan suhu lokal saat terjadinya healing
process sehingga supply oksigen dan nutrisi pada pembuluh darah meningkat.
Akibatnya timbul efek relaksasi otot melalui penurunan muscle spindle dan
merangsang serabut saraf sensorik nosiseptor (Prentice, 2011). Penurunan
nyeri tersebut menyebabkan pergerakan sendi menjadi lebih luas karena
relaksasi dari otot-otot penggerak sendi sehingga memudahkan untuk
dilakukan stretching exercise akibatnya terjadi peningkatan LGS yang
selanjutnya kemampuan aktifitas fungsional sehari-hari dapat meningkat.
Pada grafik 4.4 menunjukkan evaluasi peningkatan kekuatan otot
fleksor dan ekstensor wrist selama enam kali terapi. Peningkatan kekuatan
otot diproleh dari latihan yang dilakukan melaui tahanan yang diberikan baik
secara manual maupun mekanik. Adaptasi latihan tahanan yang diberikan
pada suatu otot merangsang kemampuan maksimal otot untuk berkontraksi
yang mana akan merningkatkan muscle fiber (Kisner dan Colby, 2006).
Peningkatan muscle fiber disebabkan karena peningkatan volume protein
45
kontraktil myofibrillar aktin dan myosin (Schoenfeld, 2010). Saat otot
mendapat rangsangan yang melebihi rangsang yang diterima menyebabkan
kerja myofibril dan ekstraseluler matriks menjadi kacau. Akibatnya rantai
myogenik ikut berubah yang kemudian terjadi peningkatan jumlah dan
ukuran protein myofibril kontraktil aktin dan myosin serta jumlah dari
sarkomer yang selanjutnya peningkatan kekuatan otot meningkat. Maka
peningkatan otot ini berpengaruh terhadap kemampuan fungsional otot dan
kemampuan aktivitas fungsional sehari-hari. Pada penggunaan US dengan
frekuensi 1Mhz, intensitas 1,0 W/cm2 dan waktu terapi 5 menit selama dua
kali seminggu terapi
juga meningkatakan kemampuan fungsional dan
penurunan keluhan yang diderita pada kondisi CTS (Chang dkk., 2014).
Jadi, pemberian terapi tersebut dan manfaat yang diperoleh saling
berkesinambungan untuk dapat tercapainya tujuan sesuai yang telah
ditentukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Setelah dilakukan proses assessment pada pasien Ny. DA usia 44
tahun dengan diagnosa medis CTS dextra diperoleh permasalahan berupa
nyeri tekan dan gerak pada pergelangan tangan kanan, penurunan LGS
pergelangan tangan kanan, penurunan kekuatan otot dan penurunan
kemampuan
aktivitas
fungsional
sehari-hari.
Setelah
dilakukan
penatalaksanaan fisioterapi selama enam kali, diperoleh hasil sebagai berikut:
1. Pemeriksaan nyeri
Grafik 4.1 Evaluasi nyeri diam, tekan, dan gerak
6
5
4
nyeri diam
3
nyeri tekan
nyeri gerak
2
1
0
T1
T2
T3
T4
T5
38
T6
39
Evaluasi pemeriksaan nyeri menggunakan skala VDS untuk
mengetahui perubahan nyeri diam, tekan dan gerak selama enam kali
terapi. Hasil evaluasi nyeri diam yang diperoleh tidak ada perubahan, T1
tidak ada nyeri dan T6 tidak ada nyeri juga. Sedangkan pemeriksaan nyeri
tekan dan gerak mengalami perubahan yang menunjukkan hasil membaik.
Nyeri tekan TI tidak begitu berat menjadi T6 ringan dan pada nyeri gerak
hasil yang diperoleh dari pemeriksaan T1 cukup berat menjadi T6 tidak
begitu berat.
2. Pemeriksaan lingkup gerak sendi
Grafik 4.2 Evaluasi lingkup gerak sendi wrist dextra aktif
80
72
72
72
68
70
60
60
60
50
48
47
45
50
48
45
dorsal
40
normal
palmar
30
20
10
0
0
0
0
0
0
Terapi 1
Terapi 2
Terapi 3
Terapi 4
Terapi 5
Terapi 6
0
40
Grafik 4.3 Evaluasi lingkup gerak sendi wrist dextra pasif
75
80
70
75
72
75
65
60
55
60
55
57
55
50
45
50
dorsal
40
normal
30
palmar
20
10
0
0
0
0
0
0
0
Terapi 1 Terapi 2 Terapi 3 Terapi 4 Terapi 5 Terapi 6
Setelah dilakukan terapi sebanyak enam kali telah terjadi
perubahan lingkup gerak sendi wrist joint. Perubahan terjadi pada gerak
aktif dan pasif bidang sagital yaitu palmar dan dorsal fleksi wrist. Pada
pemeriksaan gerak aktif T1 diperoleh
hasil S= 600-00-450 dan T6
sebanyak S= 720-00-600, sehingga peningkatan LGS dorsal fleksi wrist
sebesar 120 dan 150 pada gerak palmar fleksi wrist. Sedangkan pada gerak
pasif juga mengalami peningkatan LGS dari T1 sebesar S= 650-00-450 dan
T6 menjadi S= 750-00-570. Peningkatan gerak pasif pada dorsal fleksi wrist
sebesar 100 dan 120 pada palmar fleksi wrist.
41
3. Pemeriksaan kekuatan otot
Grafik 4.4 Evaluasi pemeriksaan kekuatan otot flexor dan ekstensor wrist
dextra
6
5
4
3
fleksor
2
ekstensor
1
0
T1
T2
T3
T4
T5
T6
Pemeriksaan kekuatan otot menggunakan MMT dievaluasi setiap
kali terapi yaitu enam kali. Saat terapi pertama hasil pemeriksaan kekuatan
otot diperoleh hasil 4- untuk fleksor dan ekstensor wrist dextra. Sedangkan
pada terapi terakhir pada fleksor dan ekstensor wrist diperoleh hasil 5-.
4. Pemeriksaan kemampuan aktivitas fungsional
Grafik 4.5 Evaluasi kemampuan aktivitas fungsional sehari-hari
4,5
4
3,5
3
2,5
Terapi 1
2
Terapi 2
1,5
Terapi 3
1
Terapi 4
0,5
Terapi 5
0
Terapi 6
42
Berdasarkan grafik perkembangan kemampuan aktivitas fungsional
sehari-hari menggunakan WHDI selama enak kali terapi diperoleh hasil TI
sebanyak 30 dan T6 memperoleh nilai 21 dengan klasifikasi kedua terapi
tersebut kategori sedang. Meskipun berada dalam klasifikasi yang sama
selama enam kali terapi tapi terjadi peningkatan kemampuan aktivitas
kemampuan fungsional. Peningkatan yang terjadi dengan selisih nilai
sebanyak 9 poin. Sehingga menunjukkan perbaikan kondisi selama terapi
yang telah dilakukan.
B. Pembahasan
Berdasarkan pelaksanaan terapi selama enam kali diperoleh hasil
sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai yaitu penurunan nyeri, peningkatan
lingkup gerak sendi, peningkatan kekuatan otot dan kemampuan aktivitas
fungsional sehari-hari. Selama terapi, perkembangan pasien fluktuatif yaitu
terjadi peningkatan dan penurunan. Hal ini bisa terjadi karena aktivitas pasien
yang terlalu berlebihan, kondisi kesehatan pasien dan intensitas latihan
selama di rumah. Sebagian besar waktu pasien digunakan untuk aktivitas
fungsional sehari-hari. Sehingga fisioterapis tidak dapat memantau setiap hari
kegiatan pasien. Kerjasama yang baik antara pasien, keluarga dan fisioterapis
harus berjalan dengan baik untuk selalu mengingatkan dan memotivasi
pasien.
Terapi yang diberikan berupa US dapat menstimulasi regenerasi saraf
dan konduksi saraf dengan adanya efek anti-inflamatori dari US sehinggga
43
dapat membantu proses penyembuhan saraf yang mengalami kompresi
(Bilgici dkk., 2010). Penurunan nyeri yang terjadi dihasikan melalui aktivasi
threshold pada ujung saraf dengan thermal effect yang juga merangsang
saraf bermielin besar melalui mekanisme gerbang kontrol (Drapper dan
Prentice, 2002). Sedangkan aktivasi mekanoreseptor threshold dan reseptor
sensorik pada muscle spindle dapat meningkatkan LGS. Melalui peningkatan
ekstensibilitas kulit dan otot termasuk juga viskositas jaringan. Akibat terjadi
peningkatan metabolisme lokal sehingga peradangan berkurang melalui setiap
peningkatan suhu 10C. Sedangkan peningkatan LGS dan ekstensibilitas
jaringan diperoleh dari setiap 40 C peningkatan suhu. Efek kimia yang timbul
menyebabkan efek mikrovibrasi dari US yang mana menyebabkan penurunan
nyeri dan perubahan viskoelastisitas otot. Sehingga peningkatan LGS dan
penurunan nyeri diperoleh dari thermal dan mechanical effect (Morishita
dkk., 2014).
Pada penggunaan terapi paraffin yang merupakan campuran paraffin
dan mineral oil memiliki efek hangat yang lebih baik dibandingkan dengan
terapi air dengan suhu yang sama. Efek hangat yang memberikan rasa
nyaman akan meningkatkan aliran darah yang berpengaruh terhadap produksi
analgetik, nyeri akan berkurang yang berakibat relaksai pada otot yang
selanjutnya dapat meningkatkan elastisitas connective tissue (Chang dkk.,
2014). Peningkatan elastisitas dan penurunan nyeri yang terjadi, akan
mempermudah terapi latihan yang dilakukan yaitu stretching exercise dan
resisted excersise.
44
Stretching exercise merupakan suatau tindakan yang digunakan untuk
meningkatkan ekstensibilitas jaringan melalui proses penguluran jaringan dan
meningkatkan fleksibilitas. Manfaat yang diperoleh dari stretching exercise
yaitu menjaga dan meningkatkan kekuatan dan daya tahan otot,
meningkatkan kemampuan aktifitas fungsional, dan menjaga fleksibilitas
serta ekstensibilitas jaringan (Kisner dan Colby, 2007). Pemberian US dan
paraffin sebelum tindakan stretching exercise membantu mempermudah dan
meningkatkan penguluran jaringan dari efek hangat yang muncul. Rasa
hangat tersebut menyebabkan peningkatan suhu lokal saat terjadinya healing
process sehingga supply oksigen dan nutrisi pada pembuluh darah meningkat.
Akibatnya timbul efek relaksasi otot melalui penurunan muscle spindle dan
merangsang serabut saraf sensorik nosiseptor (Prentice, 2011). Penurunan
nyeri tersebut menyebabkan pergerakan sendi menjadi lebih luas karena
relaksasi dari otot-otot penggerak sendi sehingga memudahkan untuk
dilakukan stretching exercise akibatnya terjadi peningkatan LGS yang
selanjutnya kemampuan aktifitas fungsional sehari-hari dapat meningkat.
Pada grafik 4.4 menunjukkan evaluasi peningkatan kekuatan otot
fleksor dan ekstensor wrist selama enam kali terapi. Peningkatan kekuatan
otot diproleh dari latihan yang dilakukan melaui tahanan yang diberikan baik
secara manual maupun mekanik. Adaptasi latihan tahanan yang diberikan
pada suatu otot merangsang kemampuan maksimal otot untuk berkontraksi
yang mana akan merningkatkan muscle fiber (Kisner dan Colby, 2006).
Peningkatan muscle fiber disebabkan karena peningkatan volume protein
45
kontraktil myofibrillar aktin dan myosin (Schoenfeld, 2010). Saat otot
mendapat rangsangan yang melebihi rangsang yang diterima menyebabkan
kerja myofibril dan ekstraseluler matriks menjadi kacau. Akibatnya rantai
myogenik ikut berubah yang kemudian terjadi peningkatan jumlah dan
ukuran protein myofibril kontraktil aktin dan myosin serta jumlah dari
sarkomer yang selanjutnya peningkatan kekuatan otot meningkat. Maka
peningkatan otot ini berpengaruh terhadap kemampuan fungsional otot dan
kemampuan aktivitas fungsional sehari-hari. Pada penggunaan US dengan
frekuensi 1Mhz, intensitas 1,0 W/cm2 dan waktu terapi 5 menit selama dua
kali seminggu terapi
juga meningkatakan kemampuan fungsional dan
penurunan keluhan yang diderita pada kondisi CTS (Chang dkk., 2014).
Jadi, pemberian terapi tersebut dan manfaat yang diperoleh saling
berkesinambungan untuk dapat tercapainya tujuan sesuai yang telah
ditentukan.