Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Karakteristik Online Investor di Indonesia T2 912012006 BAB I

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan

teknologi

berpengaruh

terhadap

perkembangan pasar modal di dunia. Secara lebih luas,
teknologi mendukung aktifitas bisnis menjadi lebih efisien
dan

efektif.

Perkembangan

teknologi


di

pasar

modal

ditandai dengan hadirnya fasilitas perdagangan Efek secara
online atau yang lebih dikenal dengan istilah online trading.
Beberapa waktu lalu transaksi di pasar modal hanya bisa
dilakukan oleh investor melalui broker dan dealer. Dengan
hadirnya online trading, investor dapat lebih mudah dalam
bertransaksi karena tidak terkait dengan batas wilayah dan
perbedaan demografis.
Di Indonesia transaksi online trading terus mengalami
peningkatan selama 10 tahun terakhir. Sampai September
2013 terdapat 63 perusahaan efek yang sudah memiliki
fasilitas online trading dari 116 perusahaan yang tercatat di
Bursa Efek Indonesia (BEI) (www.beritasatu.com). hal ini
mengindikasikan


adanya

peningkatan

transaksi

perdagangan Efek melalui online trading setiap tahun yang
diikuti oleh meningkatnya jumlah investor di Indonesia baik
dari domestik maupun dari luar negeri.

Dari data Bursa

Efek Indonesia (BEI) diketahui bahwa sudah lebih dari 50%
atau sudah ada 70 sekuritas yang sudah memiliki fasilitas
online

trading

dari


114
1

sekuritas

yang

ada.

(www.vibiznews.com). Hal ini juga didukung oleh UndangUndang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan
transaksi elektronik dimana online trading merupakan
bagian dari kegiatan transaksi elektronik.
Subagyo, dkk (2010) dalam penelitiannya mengatakan
bahwa BEI sebagai otoritas yang pengelola pasar modal
harus memperhatikan faktor kepuasan,

kepercayaan,

resiko, keuntungan, kemudahan dalam menggunakan dan
kegunaan baik secara langsung maupun tidak langsung

yang berpengaruh terhadap niat untuk menggunakan
(intent to use) sistem online trading.

Berdasarkan hasil

penyebaran kuesioner kepada Anggota

Bursa (AB) dan

investor oleh tim survey dari BAPEPAM-LK (2010) tentang
kesiapan dan kebutuhan infrastruktur perdagangan Efek
secara online (online trading) dapat disimpulkan bahwa
mayoritas responden yang telah menggunakan fasilitas
online trading menunjukan tingkat keaktifan bertransaksi
yang lebih tinggi dibanding responden non online trading
baik

secara

volume


maupun

frekuensi.

Hal

ini

mengindikasikan investor yang menggunakan online trading
atau

online

investor

di

Indonesia


lebih

aktif

dalam

melakukan transaksi perdagangan online dibandingkan
dengan investor yang masih menggunakan jasa broker atau
dealer.
Ada

dua

pendekatan

yang

umum

digunakan


untuk

menganalisis perilaku investor di pasar modal. Studi
keuangan tradisional berasumsi bahwa investor berperilaku
2

rasional dalam pengambilan keputusan, investor akan
berusaha

untuk

(Nofsinger,

2005).

memaksimalkan
Namun

dalam


kekayaan

mereka

kenyataannya

para

investor kerap kali menunjukan perilaku irasional (irrational
behavior)

disamping

sering

melakukan

tindakan


berdasarkan judgment yang jauh menyimpang dari asumsi
rasionalitas (Suryawijaya:4, 2003).
Hal ini berbeda dengan pendekatan keuangan berbasis
perilaku (behavioral finance) yang berasumsi bahwa investor
sering

tidak

rasional

dalam

mengambil

keputusuan

keuangan karena adanya kesalahan dalam proses berpikir
(cognitif bias) dan faktor emosi yang mengakibatkan investor
membuat keputusan yang buruk (Supramono dkk, 2010).
Tujuan


behavioral

finance

adalah

memahami

dan

memprediksi implikasi-implikasi sistematis pasar keuangan
dari

sudut

pandang

psikologi


(Widyastuti,

2013).

Keputusan yang lebih didominasi oleh faktor psikologi akan
mengarah pada hasil keputusan yang bias karena faktor
rasa yang ada pada diri seseorang melebihi pertimbangan
faktor rasio (Supramono & Putlia, 2010).
Salah satu perilaku keuangan yang dipengaruhi oleh faktor
psikologi

adalah

kecenderungan

seseorang

yang

menganggap bahwa kesuksesan mereka merupakan bagian
dari aspek diri mereka seperti talenta atau peramalan,
sementara lebih sering menyalahkan kegagalan sebagai
pengaruh dari luar (Pompian, 2012). Selain itu, Gervais and

3

Odean (2001) dalam penelitiannya menemukan bahwa self
attribution bias merupakan salah satu bentuk bias yang
membuat seseorang menjadi overconfident. Hal ini juga
sejalan

dengan

Kahneman

dan

Tversky

(2002)

yang

menemukan bahwa self attribution bias merupakan sumber
penting dan menjadi pemicu timbulnya overconfidence
investor yang mengakibatkan kerugian dalam transaksi di
pasar modal. Investor yang mengalami bias overconfidence
cenderung menaksir terlalu tinggi (overestimate) dalam
menilai suatu aset financial (Odean,1998; Gervais and
Odean, 2001; Uchida, 2006; Pompian, 2012; Bhandari &
Deaves, 2005).
Overconfidence dan self attribution juga terjadi pada online
investor. Barber dan Odan (2002) dalam penelitiannya
menemukan bahwa investor yang mempunyai pengalaman
investasi positif cenderung untuk melakukan online trading.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa investor yang
sukses dalam melakukan investasi menjadi overconfidence
melalui self attribution bias dengan mengacu pada fenomena
psikologi yang mengaitkan kesuksesan dengan kemampuan
pribadi, bahkan ketika kenyataannya kesuksesan tersebut
disebabkan oleh faktor external.
Studi mengenai faktor demografi pada online investor
dilakukan oleh Barber dan Odean (2002) dan Choi, Libson
dan Metrick (2002) dalam penelitiannya tentang siapa yang
menggunakan online trading dan seperti apakah karakter

4

online investor di Amerika menemukan bahwa investor
muda lebih sering menggunakan internet untuk melakukan
investasi

dan

online

investor

cenderung

untuk

meningkatkan turnover dan terjadi penurunan kinerja
setelah beralih ke online trading.
Selain itu, Uchida (2006) dalam penelitiannya tentang
karakteristik online

investor di Jepang menyimpulkan

bahwa online investor didominasi oleh investor yang berusia
lebih muda dimana laki-laki lebih overconfidence daripada
perempuan

dalam

melakukan

investasi

dan

investor

cenderung lebih sering melakukan online trading ketika
berada

ditempat

kerja.

Lebih

lanjut

Uchida

(2006)

menyimpulkan bahwa online investor lebih cenderung
memilih capital gain dari pada dividen, cenderung memilih
volatilitas tinggi, lebih cenderung menggunakan grafik
pergerakan harga masa saham lalu sebagai referensi dan
cenderung

untuk

memilih

harga

saham

dengan

pertimbangan sendiri atau dengan kata lain online investor
di Jepang lebih aktif, lebih spekuatif dan lebih confidence.
Berdasarkan hasil penelitian dan uraian diatas diketahui
bahwa

overconfidence

dan

self

attribution

bias

mempengaruhi keputusan investasi online investor. Selain
itu diketahui bahwa beberapa faktor demografi seperti
gender, usia, pengalaman investasi, dan status pekerjaan
berpengaruh terhadap online investor

di Amerika dan

Jepang. Juga diketahui preferensi untuk online investor
dalam melakukan transaksi di pasar modal. Oleh karena itu
5

penelitian ini bertujuan untuk melihat karakteristik online
investor di Indonesia.
1.2. Masalah Penelitian
Masalah penelitian dalam penelitian ini yaitu:
1. Apakah ada perbedaan antara karakteristik demografi
online investor dan non online investor di Indonesia?
2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi preferensi
online investor di Indonesia.
3. Apakah terdapat kecenderungan online investor di
Indonesia mengalami bias perilaku Self Attribution dan
Overconfidence
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui gambaran karakteristik demografi online
dan non online investor di Indonesia.
b. Mengetahui

faktor-faktor

yang

mempengaruhi

preferensi online investor di Indonesia.
c. Mengetahui apakah terdapat kecenderungan online
investor

mengalami

bias

overconfidence

attribution dalam melakukan online trading.

6

dan

self