T2 932010007 Full Text

HUBUNGAN KARAKTERISTIK
PERSONAL DAN SUBYEK PENILAI
KINERJA AUDITOR TERHADAP
PENERIMAAN DYSFUNCT IONAL
AUDIT BEHAVIOR
1. PENDAHULUAN
Munculnya kasus fraud pada perusahaan,
seperti kasus Enron (2001) diketahui terjadi perilaku
moral

hazard

diantaranya

adalah

manipulasi

laporan keuangan dimana KAP Arthur Anderson 1
menjadi


auditor

dan

diduga

ikut andil

manipulasi tersebut. Selanjutnya kasus

dalam

Worldcom

(1998) di USA, yaitu terjadinya masalah fundamental
ekonomi berupa besarnya kapasitas telekomunikasi,
sementara

di


USA

sehingga

Worldcom

mengalami

resesi

menggunakan

ekonomi,
sumber

pendanaan dari luar atau berhutang. Kasus Kimia
Farma, (2001) terdapat rekayasa dimana laba bersih
dinilai terlalu besar. Bank Century (2003 – sekarang)
dan terakhir kasus penggelapan dana nasabah oleh
Relationship Manager di Citibank Indonesia (2010)

serta ditutupnya beberapa Kantor Akuntan Publik di

1

KAP Arthur Anderson berdiri sejak 1913. Enron dan Anderson
dituduh
telah
melakukan
kriminal
dalam
bentuk
menghancurkan dokumen bukti keuangan yang berkaitan
dengan investigasi atas kebangkrutan Enron.

1

Indonesia

menjadi


suatu

persoalan

besar

bagi

profesi akuntan publik dan menjadi tantangan berat
untuk memperbaiki citra profesi audit. Fraudulent
financial reporting di suatu perusahaan merupakan

hal yang akan berpengaruh besar terhadap semua
pihak

yang

mendasarkan

keputusannya


atas

informasi dalam laporan keuangan tersebut. Oleh
karena

itu

akuntan

publik

seharusnya

dapat

mendeteksi dan mencegah lebih dini agar tidak
terjadi fraud.
Auditor


bertugas

melakukan

pemeriksaan

untuk dapat mengetahui apakah laporan keuangan
organisasi telah disusun wajar sesuai dengan SAK
yang

berlaku

dan

memberikan

opini

terhadap


kewajaran penyajian laporan keuangan tersebut.
Ada

kalanya

respon

opini

yang

kemungkinan

audit

positif
terjadinya

kurang


mendapatkan

dikarenakan

adanya

penyimpangan

perilaku

oleh seorang auditor dalam proses audit (Donelly et.
al., 2003).

Perilaku menyimpang yang dilakukan oleh
seorang

auditor

kecurangan


dalam

ataupun

bentuk

manipulasi,

penyimpangan

terhadap

standar audit dikenal sebagai perilaku disfungsional
auditor. Kasus suap yang dilakukan oleh Kepala
Bidang Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan
dan

Aset

Daerah


(DPPKAD)

Kota

Bekasi

dan

Inspektur Wilayah Kota Bekasi, yang juga menjabat
Kepala
2

Bawasda

Kota

Bekasi

terhadap


Kepala

Auditoriat BPK Jawa Barat III (2010) dengan tujuan
supaya

hasil audit terhadap

laporan keuangan

dinyatakan wajar tanpa pengecualian sebagai salah
satu contoh perilaku disfungsional auditor. Perilaku
disfungsional

ini

dapat

mempengaruhi

kualitas

audit, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Perilaku

yang

diantaranya

mempunyai

adalah

penghentian

pengaruh

premature

prosedur

sign

audit

langsung
off

secara

atau
dini,

pemerolehan bukti yang kurang, pemrosesan yang
kurang akurat, dan kesalahan dari tahapan-tahapan
audit

(Donelly

Sementara
tidak

et.

perilaku

langsung

al.,

2003;

yang

terhadap

Maryanti,

mempunyai
kualitas

2005).

pengaruh

audit adalah

underreporting of time (Donelly et. al., 2003; Lightner
et. al., 1982; Maryanti, 2005). Sementara itu khusus

dalam

penelitian

ini

penerimaan

perilaku

disfungsional auditor ditunjukkan melalui perilaku
premature sign-off, tidak melaporkan secara tepat

waktu dan perubahan atau penggantian prosedur
audit.

Perilaku-perilaku

tersebut

berpengaruh

negatif terhadap profesi auditor (Donelly et. al.,
2003). Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Public Oversight Board (2000) yang
menyatakan 85% bentuk penyimpangan yang terjadi
adalah penyelesaian langkah-langkah audit yang
terlalu dini tanpa melengkapi keseluruhan prosedur
dan kira-kira 12,2% bentuk penyimpangan yang
terjadi adalah melaporkan waktu audit dengan total

3

waktu yang lebih pendek daripada waktu yang
sebenarnya. Selebihnya bentuk penyimpangan yang
terjadi adalah bukti-bukti yang dikumpulkan kurang
mencukupi dan mengganti prosedur audit yang telah
ditetapkan pada waktu pemeriksaan di lapangan.
Penurunan

kualitas

audit

selanjutnya

akan

berdampak pada ketidakpuasan pengguna jasa audit
terhadap

keabsahan

kebenaran
laporan

informasi
keuangan

menyebabkan

serta
yang

keyakinan

akan

terkandung

dalam

auditan.

terkikisnya

Hal

tingkat

ini

akan

kepercayaan

masyarakat terhadap profesi audit.
Penelitian yang dilakukan oleh Donnelly et. al.,
(2003) menyebutkan bahwa penyebab para auditor
melakukan

penyimpangan

tersebut

adalah

karakteristik personal yang berupa lokus kendali
eksternal (external locus of control), keinginan untuk
berhenti bekerja (turnover intention), dan tingkat
kinerja

pribadi

karyawan

(self

rate

employee

performance) yang dimiliki oleh para auditor. Hasil

penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif
antara external locus of control dan turnover intention
dengan tingkat penerimaan penyimpangan perilaku
dalam audit serta adanya hubungan negatif antara
self

rate

employee

performance

dengan

tingkat

penerimaan penyimpangan perilaku dalam audit.
Sementara
hubungan

4

itu

karakteristik

tidak

langsung

personal

memiliki

dengan

tingkat

penerimaan perilaku disfungsional auditor berupa
komitmen organisasi.
Berbagai

penelitian

tentang

perilaku

disfungsional belum mengkaji peran dari subyek
penilai kinerja sebagai faktor yang berhubungan
dengan

perilaku

karakteristik

tersebut,

personal.

di

luar

Lingkungan

dari

faktor

kerja

yang

menyenangkan sangat penting untuk mendorong
tingkat kinerja karyawan yang paling produktif.
Dalam interaksi sehari-hari, antara atasan dan
bawahan muncul berbagai asumsi dan harapan
yang seringkali berbeda, pada akhirnya perbedaanperbedaan

ini

akan

berpengaruh

pada

tingkat

kinerja dan menjadi menarik untuk diteliti dalam
lingkup profesi auditor eksternal. Subyek penilai
kinerja

auditor merupakan faktor yang penting

dalam hubungannya dengan perilaku disfungsional
auditor. Dengan

menambahkan

variabel subyek

penilai kinerja auditor sebagai faktor yang juga
memiliki hubungan dengan penerimaan perilaku
disfungsional auditor, diharapkan akan diperoleh
gambaran yang lebih komprehensif tentang variasi
penyebab dari penerimaan perilaku auditor yang
menyimpang

dalam

penugasan.

Secara

singkat,

dalam penelitian ini dikembangkan model yang
mengidentikkan karakteristik personal auditor yang
diukur dengan locus of control, turnover intention,
tingkat kinerja pribadi karyawan, dan komitmen
organisasi serta subyek penilai kinerja merupakan

5

faktor yang memiliki hubungan dengan penerimaan
perilaku disfungsional auditor.

2. KAJIAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN
HIPOTESIS
2.1.

Penerimaan Perilaku Disfungsional Auditor
Dalam melaksanakan tugasnya, auditor harus

mengikuti standar audit yang terdiri dari standar
umum, standar pekerjaan lapangan dan standar
pelaporan

serta

kode

etik

akuntan.

Dalam

kenyataan di lapangan, auditor banyak melakukan
penyimpangan terhadap standar audit dan kode
etik. Perilaku ini diperkirakan sebagai akibat dari
adanya karakteristik personal auditor disamping
adanya kemungkinan lainnya. Dampak negatif dari
perilaku ini adalah peluang terjadinya kualitas
audit

secara

negatif

yaitu

keakuratan

dan

reliabilitas. Penyimpangan yang dilakukan auditor
dalam audit dapat dikategorikan sebagai sebuah
perilaku disfungsional dalam audit.
Dysfunctional audit behavior merupakan suatu

bentuk reaksi terhadap lingkungan atau semisal
sistem

pengendalian

(Otley

dan

Pierce,

1995;

Lightner et. al., 1983; Alderman dan Deitrick, 1982
dalam Donelly et. al., 2003). Sistem pengendalian
yang

berlebihan

akan

menyebabkan

terjadinya

konflik dan mengarah pada perilaku disfungsional.

6

Donelly et. al., (2003) menyatakan bahwa sikap
auditor

yang

menerima

perilaku

disfungsional

merupakan indikator perilaku disfungsional aktual.
Dilihat dari aspek adanya penerimaan perilaku
disfungsional oleh auditor, maka diperlukan sebuah
teori yang
alasan

dapat memperkuat dan

para

auditor

menerima

mendukung

penyimpangan

perilaku ini. Adapun dalam bidang psikologi dikenal
sebuah teori yang berkaitan dengan intensi dan
kontrol dari sikap serta perilaku seseorang

yaitu

Theory

yang

of

Planned

Behavior

(TPB)

dikembangkan oleh Ajzen dan Fishbein pada tahun
1988

dan

1991

dimana

minat

dan

perilaku

seseorang (behavioral intention) dipengaruhi oleh
attitude toward the behavior, subjective norm, dan
perceived behavioral control.

Gambar 1. Kerangka Theory of Planned
Behavior (TPB)
Sumber : Ajzen, I. 2006

7

Behavioral
Control Beliefs

Beliefs ,

Normative

masing-masing

Beliefs

memiliki

dan

korelasi

hubungan yang pada akhirnya berpengaruh pada
terbentuknya Attitude toward the behavior, Subjective
norm dan Perceived behavioral control. Ketiga hal

tersebut yang membentuk intensi dan berpengaruh
pula pada perilaku seseorang.
Attitude toward the behavior merupakan sikap

yang mendukung atau menolak yang didorong oleh
ketertarikan atau keyakinan seseorang atas hasil
yang

diharapkan.

penelitian

Dalam

attitude

ini,

kaitannya

toward

the

dengan
behavior

berhubungan dengan locus of control yaitu ketika
keberhasilan
internal

seseorang

atau

akhirnya

eksternal.

mendorong

menerima

atau

ditentukan
Keyakinan

dari

faktor

inilah

yang

seseorang

berperilaku

perilaku

disfungsional

menolak

auditor.
Subjective norm adalah persepsi tekanan sosial

untuk

menggunakan

atau

tidak

menggunakan

perilaku. Subjective norm didapatkan dari normative
beliefs , yaitu persepsi perilaku yang diharapkan dari

referensi seseorang atau kelompok yang penting
seperti

keluarga

menerima

perilaku

dan

teman.

disfungsional

Ketika
auditor

auditor
maka

persepsi tekanan sosial yang akan muncul adalah
adanya pelanggaran prinsip serta kode etik akuntan
publik yang memang dibuat untuk membatasi sikap
8

dan perilaku auditor dalam pelaksanaan tugasnya
agar profesionalitasnya selalu terjaga.
Perceived behavioral control adalah persepsi

seseorang tentang kemampuan orang tersebut untuk
melaksanakan perilaku yang diberikan. Perceived
behavioral control didapatkan dari control beliefs ,

yaitu

persepsi

memfasilitasi

keberadaan

atau

faktor

menghalangi

yang

kinerja

dapat
sebuah

perilaku. Perceived behavioral control muncul ketika
perilaku seseorang bukan lagi dikendalikan oleh diri
sendiri dan juga oleh norma yang berlaku, namun
juga oleh faktor lain diluar itu. Subyek penilai
kinerja auditor dalam hal ini menjadi salah satu
contoh faktor lain diluar kendali individu yang pada
akhirnya memiliki hubungan dengan penerimaan
perilaku disfungsional auditor.
Selain
perilaku

berhubungan

disfungsional

dengan

dalam

penerimaan

audit,

semua

komponen dalam Theory of Planned Behavior (TPB)
juga berkaitan dengan karakteristik personal. Hal ini
terbukti

dari

mengidentifikasi
mempengaruhi

penelitian

Ajzen

faktor-faktor
attitude

(2005)

yang

eksternal

yang

toward

the

behavior,

subjective norm, dan perceived behavioral control ke

dalam tiga kategori, yaitu : faktor personal, faktor
sosial dan faktor informasi. Faktor personal disini
jelas mencakup karakteristik personal yang dapat
dipakai untuk menjelaskan

sikap

dan

perilaku

auditor secara umum.

9

2.2.

Karakteristik Personal
Karakteristik

faktor

yang

personal

secara

unik

merupakan

faktor-

berhubungan

dengan

individual atau ciri yang membedakan seseorang
dengan orang lain (Gibson et.al.,1995; Robbins,
2001; Kreitner dan Kinicki, 2000 dalam Silaban
Adanan,

2009).

Karakteristik

personal

meliputi

kepribadian, gender, kebangsaan dan hasil-hasil
dari proses sosialisasi dan pengembangan sumber
daya manusia seperti komitmen organisasional serta
komitmen profesional (Ford dan Richardson, 1994
dalam Silaban Adanan, 2009). Pada penelitian ini
karakteristik personal auditor yang dikaji adalah
locus of control, tingkat kinerja pribadi karyawan,
turnover intention, dan komitmen organisasi.

2.2.1 Hubungan

antara

karakteristik

personal

dengan penerimaan perilaku disfungsional auditor
a.

Locus

of Control dengan

Penerimaan

Perilaku Disfungsional Auditor
Beu dan Buckley (2001) dengan mengutip
Rotter (1996), menyatakan bahwa locus of control
adalah tingkat keyakinan seseorang akan hasil,
tergantung
tersebut.

pada
Locus

karakter
of

control

atau

perilaku

individu

orang

digolongkan

menjadi dua yaitu internal dan eksternal. Individu
dengan locus of control internal memiliki kemampuan
untuk menghadapi ancaman-ancaman yang timbul
10

dari lingkungan (Brownell, 1978; Robberts et. al.,
1997; Pasewark dan Stawser, 1996 dalam Irwandi,
2002) dan berusaha memecahkan permasalahan
dengan keyakinan mereka yang tinggi. Sebaliknya
individu dengan locus of control eksternal lebih
mudah merasa terancam dan tidak berdaya serta
strategi yang dipilih dalam menyelesaikan sebuah
permasalahan cenderung bersifat reaktif (Ardiansah,
2003).
Beberapa penelitian menunjukkan hubungan
yang kuat antara locus of control eksternal dengan
keinginan untuk melakukan ketidak jujuran atau
manipulasi

untuk

mencapai

tujuan

pribadinya

(Gable dan Dangello, 1994; Coiner, 1985; Solar dan
Bruehl, 1971). Dalam konteks audit, manipulasi
atau

ketidakjujuran

pada

akhirnya

akan

menimbulkan perilaku disfungsional auditor. Hasil
dari perilaku ini adalah penurunan kualitas audit
yang

dapat

dilihat

sebagai

hal

yang

perlu

dikorbankan oleh individu untuk bertahan dalam
lingkungan
dugaan

kerja

bahwa

eksternal

audit.

semakin

individu,

Hal
tinggi

semakin

ini

menghasilkan

locus

besar

of

control

tingkat

penerimaan perilaku disfungsional dalam audit.
H1 : Terdapat hubungan positif antara locus of
control

eksternal

dengan

penerimaan

perilaku

disfungsional dalam ruang lingkup audit

11

b.

Tingkat

dengan

Kinerja

Penerimaan

Pribadi

Perilaku

Karyawan

Disfungsional

Auditor
Kinerja merupakan hasil dari perilaku anggota
organisasi,

dimana

tujuan

aktual yang

dicapai

adalah dengan adanya perilaku. Kinerja adalah hasil
usaha

sendiri

dengan

banyak

faktor

yang

mempengaruhinya. Lee dalam Kartika dan Profita
(2007) menyebutkan bahwa orang akan menyukai
pekerjaan jika mereka termotivasi untuk pekerjaan
tersebut, dan secara psikologi bahwa pekerjaan yang
dilakukan

berarti,

ada

terhadap

pekerjaan

rasa
yang

tanggung

jawab

dilakukan

dan

pengetahuan mereka tentang hasil kerja, sehingga
hasil

pekerjaan

akan

meningkatkan

motivasi,

kepuasan dan kinerja.
Gable dan Dangello (1994) dalam Donelly
et.al., (2003) menjabarkan penyimpangan perilaku

terjadi dalam situasi dimana individu melihat diri
mereka

kurang

memiliki

kemampuan

untuk

mencapai hasil yang diinginkan atau diharapkan
melalui usaha mereka sendiri. Sementara Solar dan
Bruehl

(1971)

dalam

Donelly

et.

al.,

(2003)

menyatakan bahwa individu yang tingkat kinerjanya
dibawah standar memiliki kemungkinan yang lebih
besar

terlibat

perilaku

disfungsional

karena

menganggap dirinya tidak mempunyai kemampuan
untuk bertahan dalam organisasi melalui usaha
sendiri. Oleh karena itu, auditor yang memiliki
12

persepsi

yang

mereka

rendah

akan

terhadap

menunjukkan

tingkat

kinerja

tingkat penerimaan

perilaku disfungsional yang lebih tinggi.
H2 : Terdapat hubungan negatif antara tingkat
kinerja pribadi karyawan dan penerimaan perilaku
disfungsional dalam ruang lingkup audit, dengan
kondisi adanya

locus

of control dan

komitmen

organisasi
c. Turnover Intention dengan Penerimaan Perilaku
Disfungsional Auditor
Turnover Intention terkait dengan keinginan

untuk berhenti atau berpindah bekerja. Memiliki
keinginan untuk berhenti atau berpindah bekerja
dapat membuat seseorang menjadi kurang peduli
terhadap apa

yang dilakukan dalam organisasi

tempat bekerja. Sikap ini dapat mengakibatkan
kinerja yang buruk bagi karyawan tersebut sehingga
dapat

menyebabkan

perilaku.

Individu

meninggalkan

terjadinya
yang

organisasi

penyimpangan

bermaksud

kurang

untuk

memperhatikan

pengaruh balik potensial dari perilaku disfungsional
terhadap

promosi

dan

penilaian

kinerja.

Hasil

penelitian yang dilakukan oleh McEuoy dan Casao,
(1987) dalam Maryanti (2003) menemukan bukti
bahwa

tingkat

turnover

paling

rendah

terjadi

diantara karyawan yang berkinerja baik.

13

Malone dan Roberts (1996) dalam Donelly
et.al.,

(2003)

menyatakan

bahwa

auditor

yang

memiliki keinginan untuk meninggalkan perusahaan
lebih dapat terlibat dalam perilaku disfungsional
karena menurunnya rasa takut akan kemungkinan
jatuhnya sanksi apabila perilaku tersebut terdeteksi.
Lebih lanjut, individu yang berniat meninggalkan
perusahaan dapat dianggap tidak begitu

peduli

dengan dampak perilaku disfungsional terhadap
penilaian kinerja dan promosi. Jadi, auditor yang
memiliki
bekerja

keinginan
dari

yang

tinggi

untuk

perusahaan

akan

lebih

berhenti
menerima

perilaku disfungsional.
H3 : Terdapat hubungan positif antara turnover
intention dengan penerimaan perilaku disfungsional

dalam ruang lingkup audit, dengan kondisi adanya
tingkat kinerja pribadi karyawan, locus of control,
dan komitmen organisasi
2.2.2 Hubungan

Subyek

Penilai Kinerja

dengan

Penerimaan Perilaku Disfungsional Auditor
Penilaian kinerja merupakan suatu sistem
untuk melakukan evaluasi terhadap karyawan yang
dilakukan

oleh

subyek penilai kinerja. Adapun

subyek penilai kinerja memiliki beberapa variasi,
diantaranya adalah penilaian kinerja hanya oleh
atasan kepada bawahan atau mekanisme penilaian
kinerja yang dilakukan oleh semua unsur karyawan,
14

baik atasan, bawahan, rekan sekerja dan termasuk
diri sendiri sebagai penilai. Subyek penilai kinerja
dari berbagai unsur ini diharapkan lebih efektif
untuk dapat melakukan penilaian secara obyektif,
dibandingkan

dengan

penilaian

kinerja

pada

umumnya dimana masih memungkinkan adanya
subyektifitas yang dilakukan oleh seorang atasan
kepada bawahan ataupun sebaliknya.
Dalam konteks audit, mekanisme penilaian
kinerja auditor pada umumnya dilakukan secara top
down oleh partners dan supervisor terhadap senior

dan atau junior staff. Akan tetapi dimungkinkan juga
bahwa penilaian kinerja dilakukan secara bottom up
yaitu

level

staf

melakukan

penilaian

terhadap

supervisor dan partners , disamping dimungkinkan

pula dilakukan penilaian secara horisontal atau
dilakukan oleh rekan sekerja. Melalui subyek penilai
kinerja yang bervariasi inilah yang disinyalir dapat
menimbulkan perilaku disfungsional, terutama jika
ditemukan adanya penilaian kinerja yang kurang
atau bahkan tidak fair dari subyek penilai kinerja,
seperti

menggunakan

faktor

kedekatan

dan

“like/ dislike”. Akibatnya auditor yang merasa kurang

dekat dengan atasan atau rekan sekerja dan merasa
kurang disukai akan cenderung lebih menerima
perilaku disfungsional.
Penilaian kinerja merupakan suatu sistem
formal dan terstrukur yang mengukur, menilai, dan
mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan

15

pekerjaan, perilaku dan hasil, termasuk tingkat
ketidakhadiran. Fokusnya adalah untuk mengetahui
seberapa produktif seorang karyawan dan apakah
karyawan tersebut dapat berkinerja

sama

atau

bahkan lebih efektif pada masa yang akan datang,
sehingga

karyawan, organisasi, dan

semuanya
Jackson,

memperoleh
1996:3).

manfaat

Penilaian

masyarakat

(Schuler

kinerja

dan

merupakan

metode mengevaluasi dan menghargai kinerja yang
paling umum digunakan. Dalam penilaian kinerja
melibatkan

komunikasi

dua

arah

yaitu

antara

pengirim pesan sebagai subyek penilai dan penerima
pesan sebagai obyek penilaian, sehingga komunikasi
dapat

berjalan

menitikberatkan
proses

dengan
pada

pengukuran

baik.

Penilaian

penilaian
sejauh

kinerja

sebagai

mana

kerja

suatu
dari

seseorang atau sekelompok orang dapat bermanfaat
untuk mencapai tujuan yang ada.
H4 : Terdapat hubungan negatif antara subyek
penilai

kinerja

dengan

penerimaan

perilaku

disfungsional dalam ruang lingkup audit
2.2.3 Hubungan Antar Karakteristik Personal di
Luar Hubungan dengan Penerimaan Perilaku
Disfungsional Auditor
a.

Locus of Control dan Tingkat Kinerja

Pribadi Karyawan

16

Perbedaan antara locus of control eksternal dan
internal memudahkan untuk memasukkan dalam

tipe posisi tertentu, sehingga hubungan antara locus
of control dan kinerja tergantung pada tugas yang

diberikan. Spector (1982) dalam Donelly et.al., (2003)
menyatakan bahwa locus of control internal lebih
cocok untuk pekerjaan yang membutuhkan keahlian
dan teknik yang tinggi, sedangkan locus of control
eksternal lebih cocok untuk pekerjaan yang tidak

membutuhkan keahlian. Hyatt dan Parwitt (2001)
dalam

Donelly et.al.,

(2003)

menemukan

bukti

bahwa locus of control internal diasosiasikan dengan
peningkatan kinerja. Lingkungan pekerjaan audit
memerlukan karakteristik profesional dan teknis
maka locus of control internal memberikan kinerja
yang lebih tinggi. Semakin luas subyek penilai
kinerja,

semakin

kecil

penerimaan

perilaku

disfungsional auditor.
b.

Locus of Control dan Turnover Intention

Hasil penelitian Andrisani dan Nestle (1976);
Organ dan Greene (1974); Harvey (1971) dalam
Donelly et.al., (2003) menyatakan tentang keinginan
untuk berhenti bekerja yang dimiliki oleh individu
dengan

locus

of

control

internal,

lebih

rendah

dibandingkan dengan dengan individu yang memiliki
locus of control eksternal. Secara spesifik, locus of
control eksternal dianggap memperlihatkan tingkat

yang lebih tinggi dalam keinginan untuk berhenti

17

bekerja atau mencari alternatif pekerjaan lain dan
belum terwujud dalam bentuk perilaku nyata.
c.

Tingkat Kinerja Pribadi Karyawan dan

Turnover Intention

McEvoy dan Cascio (1987) dalam Donelly
et.al., (2003) menyatakan bahwa turnover paling

rendah ditemukan pada karyawan yang berkinerja
sangat bagus. Auditor yang memiliki kinerja yang
tinggi akan dipromosikan, sementara bagi yang tidak
mampu mencapai standar kerja minimum akhirnya
akan dikeluarkan dari perusahaan. Berdasarkan
temuan ini, diharapkan bahwa kinerja karyawan
akan berbanding terbalik dengan keinginan untuk
berhenti bekerja.
d.

Komitmen

Organisasi

dan

Locus

of

Control

Penelitian yang dilakukan oleh Luthans et.al.,
(1987); Kinicki dan Vecchio (1994) telah menemukan
adanya pengaruh locus of control terhadap komitmen
organisasi. Ketika individu dengan locus of control
internal

bergabung

dengan

perusahaan,

kecenderungannya adalah memiliki komitmen yang
lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan
locus of control eksternal. Hal ini disebabkan individu

dengan locus of control internal memiliki anggapan
mereka akan berhasil apabila mereka loyal terhadap
organisasi dan mau bekerja keras serta memiliki
18

komitmen yang tinggi dalam mencapai hasil yang
diinginkan.
e.

Komitmen

Organisasi

dan

Tingkat

Kinerja Pribadi Karyawan
Mowdey

et.al.,

(1974)

mengatakan

bahwa

karyawan yang berkomitmen tinggi memiliki kinerja
yang lebih baik dibandingkan karyawan yang kurang
memiliki komitmen. Sementara Ferris (1981) dalam
Donelly et.al., (2003) menemukan bahwa kinerja
profesional akuntan junior berhubungan dengan
tingkat komitmen mereka pada organisasi. Nouri
dan Parker (1998) dalam Donelly et.al., (2003)
menemukan komitmen pada organisasi berdampak
secara

positif

pada

kinerja.

Dalam

penelitian

terbaru, karyawan dengan komitmen yang lebih
besar diharapkan memberikan kinerja yang lebih
baik.
f.

Komitmen

Organisasi

dan

Turnover

Intention

Mowdey et.al., (1982) dalam Donelly et.al.,
(2003) memprediksikan dan menemukan bahwa
perilaku individu yang memiliki komitmen tinggi
pada organisasi memiliki dampak keinginan berhenti
bekerja lebih rendah. Mathieu dan Zajac (1990)
dalam Donelly et.al., (2003) menggambarkan bahwa
komitmen

pada

organisasi

berhubungan

positif

19

dengan kehadiran dan berhubungan negatif dengan
keterlambatan dan pergantian karyawan.
Komitmen Organisasi merupakan alat prediksi
yang sangat baik untuk beberapa perilaku penting,
diantaranya adalah perputaran karyawan, kesetiaan
karyawan kepada nilai organisasi dan keinginan
untuk

melakukan

pekerjaan

ekstra

(untuk

melakukan pekerjaan melebihi apa yang seharusnya
dikerjakan). Robbins (2003) dalam Petronila dan
Irawati (2006) mengartikan komitmen organisasi
adalah sampai tingkat mana seseorang karyawan
memihak

pada

suatu

organisasi

tertentu

dan

tujuannya, dan berniat memelihara keanggotaan
dalam organisasi tersebut. Sementara Robbins dan
Coulter (1996) dalam Petronila dan Irawati (2006)
mengartikan
orientasi

komitmen

pada

seseorang

organisasi

karyawan

adalah

terhadap

kesetiaannya, identifikasinya, dan keterlibatannya di
dalam organisasi tersebut.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, diperoleh
sebuah

gambaran

model

teoritis

yang

menggambarkan hubungan antar variabel adalah
sebagai berikut :

20

Gambar 2. Model Penelitian

3. METODE PENELITIAN
Sumber data penelitian ini adalah auditor yang
bekerja di Kantor Akuntan Publik (KAP) di Kota
Semarang dan Surakarta. Cuplikan sampel dipilih
dengan menggunakan metode convenience sampling,
Pada

penelitian

ini terdapat 25 indikator,

maka

jumlah sampel minimum yang dibutuhkan adalah
sebanyak 125. Data yang digunakan adalah data
primer berupa data demografi responden, karakteristik
personal,

mekanisme

penerimaan
Pengumpulan

perilaku
data

penilaian

kinerja,

disfungsional
dilakukan

dengan

dan

auditor.
cara

menyebarkan kuesioner kepada responden.

21

Tabel 1. Variabel, Definisi dan Indikator Empiris
Variabel
Locus of
control
eksternal

Komitmen
organisasi

22

Definisi
Individu dengan locus of
control eksternal lebih
mudah merasa terancam
dan tidak berdaya serta
strategi yang dipilih
dalam menyelesaikan
sebuah permasalahan
cenderung bersifat
reaktif (Ardiansah, 2003)
Orientasi seseorang
karyawan terhadap
kesetiaannya,
identifikasinya, dan
keterlibatannya di dalam
organisasi tersebut.
Robbins dan Coulters
(1996) dalam Petronila
dan Irawati (2006).

Indikator Empiris
Keberhasilan dalam
pekerjaan dilihat
dari:
1. Keberuntungan
2. Usaha dari diri
sendiri

Pengukuran
Skala likert
dengan skor
1–7

1. Kepedulian
terhadap
organisasi
2. Kebanggaan
terhadap
organisasi
3. Dedikasi
terhadap
organisasi
4. Kesesuaian
dengan nilai-nilai
organisasi

Skala likert
dengan skor
1-7

Tabel 1. Variabel, Definisi dan Indikator Empiris (lanjutan)
Variabel
Tingkat
kinerja
pribadi
karyawan

Definisi
Hasil usaha sendiri
dengan banyak faktor
yang mempengaruhinya,
tingkat kinerja pribadi di
bawah rata-rata atau di
atas rata-rata. Kartika,
Indri & Profita Wijayanti
(2006).

Turnover
Intention

Keinginan untuk
berhenti atau berpindah
bekerja. Robbins dalam
Petronila dan Irawati
(2006).

Indikator Empiris
Pengukuran
1. Perencanaan
Skala likert
dengan skor
(menentukan
1–7
tujuan,
kebijakan)
2. Investigasi
(inventarisasi,
pengenalan dan
pengumpulan
informasi)
3. Koordinasi
(berinteraksi dan
bertukar
informasi dgn
pihak lain)
4. Pengawasan
(perintah
pimpinan
maupun supervisi
bawahan)
5. Kepegawaian
(promosi, rotasi,
mutasi)
6. Perwakilan
(mewakili
kepentingan
organisasi secara
umum)
1. Bekerja sampai
Skala likert
dengan skor
pensiun
1–7
2. Bekerja paling
tidak 2 tahun lagi
3. Bekerja paling
tidak 5 tahun lagi

23

Tabel 1. Variabel, Definisi dan Indikator Empiris (lanjutan)
Variabel
Subyek
Penilai
Kinerja

Definisi
Suatu sistem untuk
melakukan penilaian
terhadap karyawan.

Penerimaan
perilaku
disfungsion
al

Penerimaan perilaku
disfungsional
merupakan suatu
bentuk reaksi terhadap
lingkungan atau
semisal sistem
pengendalian (Otley dan
Pierce, 1995; Lightner
et. al., 1983; Alderman
dan Deitrick, 1982
dalam Donelly et. al.,
2003).

24

Indikator Empiris
1. Penilaian kinerja
hanya oleh
atasan
2. Penilaian kinerja
hanya oleh
bawahan
3. Penilaian kinerja
oleh atasan dan
bawahan,
4. Penilaian kinerja
oleh atasan dan
teman sekerja
5. Penilaian kinerja
oleh atasan,
bawahan, dan
teman sekerja
6. Penilaian kinerja
oleh diri sendiri,
atasan, bawahan,
dan teman
sekerja
1. Pengunduran diri
2. Perubahan/pengg
antian prosedur
audit
3. Ketidaktepatan
memberikan
laporan audit

Pengukuran
Skala likert
dengan skor
1–7

Skala likert
dengan skor
1-7

Teknik, alat, dan langkah analisis
Data mengenai demografi responden digunakan
untuk

menganalisa

deskriptif

dari

responden.

Pengujian validitas dan reliabilitas dalam penelitian ini
dilakukan

dengan

menggunakan

SPSS18.00.

Sementara untuk melakukan pengujian hubungan
antar variabel menggunakan Structural Equation Model
(SEM) dari paket software statistic LISREL 8.8.

4.

PEMBAHASAN

4.1

Deskripsi Responden dan Uji Klasik Indikator
Kuesioner yang telah disebarkan berjumlah 150

kuesioner dengan jumlah 132 kuesioner kembali dan
129 kuesioner yang dapat diolah. Untuk mengetahui
karakteristik dari sampel, berikut ini akan disajikan
statistik deskriptif dari responden.

25

Tabel 2. Demografi Responden
Frekuensi

Persentase

Laki-laki

94

73%

Perempuan

35

27%

20 s.d 30 tahun

77

60%

30 s.d 40 tahun

23

18%

> 40 tahun

29

22%

D3

46

36%

S1

70

54%

S2

9

7%

S3

4

3%

Akuntansi

93

72%

Non Akuntansi

36

28%

Junior Staf

55

43%

Senior Staf

61

47%

Supervisor

12

9%

1

1%

Jenis Kelamin

Umur Responden

Jenjang Pendidikan

Jurusan

Posisi terakhir dalam
pekerjaan

Manajer

26

Tabel 3. Statistik Deskriptif

Variabel
Locus of Control
Komitmen Organisasi
Tingkat Kinerja
Pribadi Karyawan
Turnover Intention
Subyek Penilai Kinerja
Penerimaan Perilaku
Disfungsional

Cron.
Alpha
0.861
0.861

75.90
37.69

Std.
Dev.
14.215
9.959

0.889
0.728
0.911

28.16
11.49
26.23

9.222
3.790
8.075

7
3
6

48
21
41

0.901

60.08

14.960

14

92

Mean

Min

Max

40
9

119
61

Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas dan reliabilitas dari setiap konstruk
yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
bantuan

software

SPSS

18.0.

Uji

validitas

menggunakan Corrected Item to Total Correlation. Data
dikatakan valid jika nilai koefisien corrected item – total
correlation > 0.30. Sementara uji reliabilitas dengan

menggunakan

Cronbach’s

Alpha,

dimana

data

dikatakan reliabel jika koefisien bernilai minimal 0,60
atau lebih. Berdasarkan pernyataan diatas, dasar
pengambilan keputusan uji validitas dan reliabilitas
dapat disimpulkan sebagai berikut :



Locus of Control

Terdapat 13 (tiga belas) pertanyaan indikator
yang valid dan 5 (lima) pertanyaan indikator
yang tidak valid, namun reliabilitas

dari

kuesioner masih terjaga. (Lampiran 3)

27



Komitmen Organisasi
Terdapat 8 (delapan) pertanyaan indikator
yang valid dan 1 (satu) pertanyaan indikator
yang tidak valid, namun reliabilitas

dari

kuesioner masih terjaga. (Lampiran 3)



Tingkat Kinerja Pribadi Karyawan
Dari 7 (tujuh) pertanyaan indikator semuanya
valid dan reliabel. (Lampiran 3)



Turnover Intention
Ketiga

pertanyaan

indikator

valid

dan

reliabilitas kuesioner tetap terjaga. (Lampiran
3)



Subyek Penilai Kinerja
Dari 6 (enam) pertanyaan indikator semuanya
valid dan reliabilitas tetap terjaga. (Lampiran
3)



Penerimaan Perilaku Disfungsional Auditor
Terdapat 14 (empat belas) item pertanyaan
indicator

yang

kesemuanya

valid

dan

reliabilitas kuesioner tetap terjaga. (Lampiran
3)

28

Pengujian Kecocokan Model
Model yang digunakan dalam penelitian ini
menggunakan metode estimasi Maximum Likelihood.
Metode ini merupakan metode estimasi yang sering
digunakan untuk analisis data dengan menggunakan
metode

SEM

dengan

program

Lisrel

8.8.

Untuk

pengujian selanjutnya sesuai dengan Joreskog dan
Sorbom (1996), model yang harus diuji dan dianalisis
terlebih dahulu adalah model pengukuran. Setelah
model pengukuran diuji selanjutnya dilakukan analisis
dan pengujian model struktural. Metode ini digunakan
untuk mengetahui apakah model pengukuran yang
telah diuji dan dianalisis dapat menjelaskan model
struktural.
Tahapan

ini

ditujukan

untuk

mengevaluasi

tingkat kecocokan antara data dengan model, model
pengukuran serta signifikasi koefisien dari model
struktural dengan menggunakan SEM dengan aplikasi
LISREL 8.8. Hasil perhitungan pengujian kecocokan
keseluruhan model dapat dilihat pada Tabel 4 berikut :

29

Tabel 4. Uji Kecocokan Model Keseluruhan

Kriteria

Hasil Estimasi
Model

RMSEA

0,00*

NFI

0,19

NNFI

0,55

CFI

0,57

IFI

0,62

RFI

0,15

RMR

0,079

GFI dan AGFI

GFI = 0,71

AGFI = 0,69

Indikator
Tingkat
Kecocokan
0,90
>0,90
>0,90
>0,90
>0,90
< 0.05
GFI >0,90
(good fit);
0,90 < GFI
>0,80
(marginal fit)
AGFI = 0 – 1

Ket : *signifikan

Dari tabel di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Memperhatikan
approximation

nilai

root-mean-square

(RMSEA)

yaitu

error

0,00

of

maka

kesimpulannya adalah model SEM layak untuk
digunakan.
2. Nilai dari NFI, NNFI, CFI, IFI dan RFI tidak
menunjukkan bahwa model fit.
3. Pada

output

terlihat

standardized

RMR

yang

melebihi dari kriteria GOF sehingga menunjukkan
model yang tidak fit.
4. Nilai GFI = 0,71 dan AGFI = 0,69 berada di antara
nilai 0 dan 1, namun berada di bawah 0,90
sehingga model belum fit.

30

Hasil Pengujian Hipotesis
Gambar 3 menunjukkan nilai koefisien jalur
persamaan model struktural, sehingga dapat dilihat
hubungan antar variabel.

Gambar 3. Structural Equation Model dengan Koefisien Jalur

Koefisien jalur diatas menunjukkan ada atau
tidaknya hubungan langsung maupun tidak langsung
antara

karakteristik personal dan

subyek penilai

kinerja dengan penerimaan perilaku disfungsional.
Hubungan

langsung

dengan

penerimaan

perilaku

disfungsional terlihat dari hipotesis yang terbentuk, di
luar

itu

merupakan

hubungan

antar

variabel

karakteristik personal yang secara tidak langsung
berhubungan

dengan

penerimaan

perilaku

disfungsional.
Nilai koefisien determinan yang dilihat dari R2
berfungsi untuk menunjukkan seberapa jauh masingmasing

variabel

independen

mampu

menjelaskan
31

variabel dependen. Hal ini dapat dilihat dalam Tabel 5
sebagai berikut :
Tabel 5. Model Persamaan Struktural
Persamaan
1

KO = 0.58*LC, Errorvar.= 0.0039 , R² = 0.77
(0.61)
(0.0089)
0.95
0.44

2

KP = 1.01*KO + 0.99*LC, Errorvar.= 0.0010,
R² = 0.99
(2.48) (1.59)
0.41
0.62
TI = 2.71*KO - 0.89*KP + 1.00*LC,
Errorvar.= 0.0010, R² = 0.99
(10.22) (8.16) (7.86)
0.26
-0.11
0.13

3

4

PD = 1.62*KP - 0.27*TI - 1.17*LC - 0.12*SP, Errorvar.=
0.0010, R² = 0.98
(3.14) (2.17) (5.74) (3.46)
0.52
-0.13
-0.20
-0.035

Hasil pengolahan data di atas menunjukan
bahwa

secara

keseluruhan

karakteristik

personal

(locus of control eksternal, tingkat kinerja pribadi
karyawan,
intention)

komitmen
tidak

organisasi,

berhubungan

turnover

dan

dengan

penerimaan

disfungsional dalam ruang lingkup audit. Hal yang
menjadi penyebab kondisi ini dapat dilihat dari data
demografi

responden

dimana

sebagian

besar

responden merupakan auditor staf. Auditor dalam
level

staf

pengambilan

tidak

memiliki

keputusan

kewenangan
terutama

penerimaan perilaku disfungsional auditor.
32

dalam

mengenai

Locus of control eksternal tidak berhubungan

dengan dengan penerimaan perilaku disfungsional
auditor diduga karena auditor dengan kesadarannya
mengetahui bahwa keberhasilan yang diperolehnya
tidak murni dari dirinya sendiri melainkan berasal dari
pihak luar yaitu organisasi tempat bekerja beserta
dengan

orang-orang

yang

ada

dalam

pekerjaan

tersebut (teman sekerja, pimpinan, dan klien). Jika
pada kajian teori disebutkan bahwa seseorang dengan
locus of control eksternal identik dengan manipulasi

yang

berujung

disfungsional

pada

maka

penerimaan

dugaan

berikutnya

perilaku
berkaitan

dengan hasil pengujian hipotesis ini adalah auditor
memiliki keyakinan dan ketaatan penuh pada aturan
yang mengikat kerja auditor serta konsekuensi jika
aturan-aturan tersebut dilanggar.
Tingkat
berhubungan

kinerja

pribadi

dengan

karyawan

penerimaan

tidak

perilaku

disfungsional dalam ruang lingkup audit, dengan
kondisi

adanya

locus

of

control

dan

komitmen

organisasi diduga karena dilihat dari data demografi
responden yang sebagian besar adalah auditor staf
yang berada pada level junior dan senior maka para
auditor ini dengan kesadarannya melakukan yang
terbaik untuk menunjukkan kinerjanya dengan terus
berkomitmen pada organisasi tempat bekerja. Auditor
merasa perlu mematuhi semua aturan kode etik dan
standar profesi yang menjadi acuan utama dalam
berperilaku, sehingga dalam kasus ini kemungkinan

33

perilaku disfungsional dalam lingkup audit itu dapat
terjadi adalah kecil.
Turnover intention tidak berhubungan dengan

penerimaan

perilaku

disfungsional

dalam

ruang

lingkup audit, dengan kondisi adanya tingkat kinerja
pribadi karyawan, locus of control, dan komitmen
organisasi diduga juga disebabkan oleh sebagian besar
responden yang berada di level staf, auditor ini
sebagian

besar

sedang

memulai

merintis

karir

pekerjaannya sehingga belum ada dalam pemikiran
mereka

mengenai

perilaku

disfungsional

yang

dilakukan dalam lingkup audit.
Hasil lain dalam penelitian ini adalah adanya
variasi

yang

kecil

dalam

hal

pengisian

jawaban

kuesioner. KAP dengan jumlah karyawan yang besar
ternyata

memiliki

jawaban

yamg

sama

dalam

pengisian kuesioner, demikian pula dengan KAP yang
memiliki jumlah karyawan sedikit.

34

5.

PENUTUP

Simpulan
Penelitian

ini

merupakan

perluasan

studi

mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan
keputusan auditor menerima perilaku disfungsional
dalam ruang lingkup

audit. Perluasan

dilakukan

dengan menguji secara simultan hubungan antara
karakteristik

individual

auditor

(locus

of

control,

komitmen organisasi, turnover intention dan tingkat
kinerja pribadi karyawan) dan subyek penilai kinerja
terhadap penerimaan perilaku disfungsional dalam
audit. Studi ini dilakukan di KAP yang berada di Kota
Semarang dan Surakarta, Propinsi Jawa Tengah mulai
pada level junior sampai dengan manajer auditor.
Karakteristik personal auditor yang meliputi
Locus of Control, Tingkat Kinerja Pribadi Karyawan,

Turnover Intention dan Komitmen Organisasi tidak
memiliki

hubungan

dengan

Penerimaan

Perilaku

Disfungsional dalam ruang lingkup audit. Auditor
akan menggunakan keyakinan dan kesadaran penuh
dalam berperilaku dengan mempertimbangkan normanorma subyektif yang membatasi dan mengikat tiap
fungsi audit yang dilakukan oleh auditor, sehingga
segala hal yang dilakukan dan berkaitan dengan
pelaksanaan

audit

tentunya

dilaksanakan

sesuai

dengan tanggung jawab dan kesadaran akan semua
risikonya.

35

Subyek

penilai

kinerja

memiliki

negatif dengan Penerimaan Perilaku

hubungan

Disfungsional

dalam ruang lingkup audit, itu berarti bahwa di dalam
KAP sudah terdapat mekanisme penilaian kinerja. Di
samping itu auditor merasa bahwa subyek penilai
kinerja turut menentukan evaluasi atas pekerjaan
mereka, ketika penilaian tidak secara rutin dilakukan
atau jika subyek penilai kinerja hanya pada level
setara maka dimungkinkan akan terjadi penerimaan
perilaku disfungsional dalam ruang lingkup audit.
Sehingga dapat dilihat bahwa variabel ini justru lebih
menjadi pertimbangan para auditor dalam melakukan
penerimaan perilaku disfungsional atau tidak.

Implikasi
Implikasi yang muncul adalah bahwa penelitian
seperti ini akan memperoleh hasil yang berbeda jika
dilakukan terhadap responden yang berada di level
yang lebih tinggi daripada staf, karena auditor dalam
level staf hanya dapat menuruti perintah dari atasan
sebagai contoh level supervisor, manajer atau partner
karena level-level tersebut lebih memiliki kewenangan
dalam hal pengambilan keputusan yang berhubungan
dengan

penerimaan

ruang lingkup audit.

36

perilaku

disfungsional

dalam

DAFTAR PUSTAKA
1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.
11.

12.

Ajzen, Icek., 1991. “The Theory of Planned Behavior.
Organizational Behavior and Human Decision Processes”.
Volume 5.
Amaliah, Khusnul., 2008. “Peranan Sikap, Norma
Subyektif dan Perceived Behavioral Control dalam
Memprediksi Intensi Mahasiswa untuk Bersepeda di
Kampus”.
Ayu, Dyah L.W.A., 2006. “Penciptaan Sistem Penilaian
Kinerja yang Efektif dengan Assesment Centre”. Jurnal
Manajemen Vol. 6, No.1,
Universitas Maranatha
Bandung.
Arens, Alvin A and James K.L., 1995. “Auditing An
Integrated Approach, 4th ed”. New Jersey : Prentice
Hall,Inc.
Basuki dan Krisna Yunika., 2006. “Pengaruh Tekanan
Anggaran Waktu terhadap Perilaku Disfungsional Auditor
dan Kualitas Audit pada Kantor Akuntan Publik di
Surabaya”. Jurnal MAKSI Vol. 6, No. 2, Universitas
Diponegoro Semarang.
Donnelly, David P., Jeffrey J.Q, and David O., 2003.
“Auditor Acceptance of Dysfunctional Audit Behavior : An
Explanatory
Model
Using
Auditors’
Personal
Characteristics”. Journal of Behavioral Research In
Accounting : vol. 15 : 87-107.
Ferdinand,
Augusty.,
2002.
“Structural Equation
Modeling dalam Penelitian Manajemen : Aplikasi Modelmodel Rumit dalam Penelitian untuk Tesis Magister dan
Disertasi Doktor”.
Harini, Dwi., Agus W dan Indah A., 2010. “Analisis
Penerimaan Auditor Atas Dysfunctional Audit Behavior :
Sebuah Pendekatan Karakteristik Personal Auditor”.
Jurnal Akuntansi dalam SNA XIII Purwokerto.
Irawati, Yuke., Thio A dan Mukhlasin., 2005. “Hubungan
Karakteristik
Personal
Auditor
Terhadap
Tingkat
Penerimaan Penyimpangan Perilaku Dalam Audit”. Jurnal
Akuntabilitas Vol. 6, No. 1 : 1-13.
Joreskog, Karl G and Sorbom., 1996. “LISREL 8 : User’s
Reference Guide”.
Kartika, Indri dan Provita W., 2007. “Locus of Control
Sebagai Anteseden Hubungan Kinerja Pegawai dan
Penerimaan Perilaku Disfungsional Audit”. Jurnal SNA X
Makassar.
Marietza, Fenny., 2008. “Analisis Pengaruh Faktor-Faktor
Internal dan Eksternal Auditor Terhadap Perilaku

37

13.
14.
15.
16.
17.
18.

19.

38

Disfungsional Auditor pada Kantor Akuntan Publik di
Surabaya”
Ramayah., 2004. “Technology Acceptance : An Individual
Perspective Current and Future Research in Malaysia”.
Riduwan., 2009. “Metode dan Teknik Menyusun Proposal
Penelitian : untuk Mahasiswa S-1, S-2, dan S-3”.
Sekaran, Uma., 2006. “Metodologi Penelitian untuk
Bisnis”. Edisi keempat. Salemba Empat.
Silaban, Adanan., 2009. “Perilaku Disfungsional Auditor
Dalam Pelaksanaan Program Audit”.
Wijanto, Setyo Hari., 2008. “Structural Equation Modeling
dengan Lisrel 8.8 : Konsep dan Tutorial”.
http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/04/penilaiankinerja-karyawan-definisi.html.
“Penilaian
Kinerja
Karyawan : Definisi, Tujuan dan Manfaat”. Diakses
tanggal 28 Oktober 2011.
http://www.antaranews.com/berita/1280918253/kpkrekonstruksi-kasus-suap-di-pemkot-bekasi.
“KPK Rekonstruksi Kasus Suap di Pemkot Bekasi”.
Diakses tanggal 1 Desember 2011.