Evaluasi Otonomi Daerah Di Jawa Barat Tahun 2007: Berdasarkan Indeks Pemerintahan Berbasis Governance.

EVALUASI OTONOMI DAERAH DI JAWA BARAT TAHUN 2007:
BERDASARKAN INDEKS PEMERINTAHAN BERBASIS GOVERNANCE1

Dede Mariana, Caroline Paskarina, dan Widya Setiabudhi

ABSTRACT
The policy of decentralisation and local autonomy is not a new phenomenon in Indonesia,
but in more than a century, the implementation of this policy is more oriented toward
elite’s interests instead of public’s interest. Therefore, evaluation to the implementation of
decentralisation and local autonomy policy is necessary to obtain objective information as
input to improve local autonomy implementation in the future. Measurement fo
Governance-Based Index in West Java Province in this research used indicatiors such as
citizen participation, government orientation, social development, and economic
management. The result indicated that governance quality in West Java Province in 2007
is 58,57, which is mediate category. Indicator with lowest score (54,68) is government
orientation, meanwhile the highest score (63,71) is obtain by citizen participation. In the
future, comprehensive effort are needed to revise relationship among stakeholders to
achieve synergic relationship. Trust as foundation of governance relationship is build
through law enforcement, bureaucracy reform, and elimination of corruption, collution,
and nepotism in public affairs.
Keywords: local autonomy evaluation, governance-based index


Pengantar
Otonomi daerah merupakan salahsatu agenda reformasi yang hingga saat ini masih
menjadi wacana yang hangat diperdebatkan. Semangat kebebasan dan pengakuan akan
identitas lokal yang mendasari prinsip otonomi daerah pascareformasi seolah
menimbulkan euforia di tingkat daerah, sehingga muncul idiom “raja kecil”, “bos lokal”,
dll untuk merefleksikan hubungan pusat dan daerah yang ditandai dengan kuatnya posisi
tawar daerah berhadapan dengan pemerintah pusat. Namun, di sisi lain, berbagai inovasi
dan best practices pun bermunculan dari daerah. Jembrana, Sidoarjo, Sragen, Blitar,
1

Ditulis ulang/versi ringkas dari penelitian tentang Pengukuran Indeks Pemerintahan Berbasis Governance
sebagai indikator evaluasi otonomi daerah di Jawa Barat

1

Indramayu, Solok, dll. menjadi beberapa contoh daerah yang berhasil menerapkan
pembaharuan dalam tata kelola pemerintahannya, khususnya yang terkait dengan
penyelenggaraan pelayanan publik dan reformasi birokrasi. Keberhasilan daerah-daerah ini
membawa harapan bahwa dengan otonomi daerah, akan ada perbaikan dalam kehidupan

masyarakat di daerah.
Kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah bukanlah hal baru di Indonesia karena
sejak tahun 1803 telah diberlakukan Decentralizatie Wet. Namun, pada kenyataannya
hingga lebih dari seabad, kebijakan desentralisasi lebih banyak berorientasi pada
kepentingan elit dan bukan kepentingan masyarakat. Karena itulah, evaluasi terhadap
pelaksanaan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah menjadi penting untuk dilakukan
agar dapat diperoleh informasi yang obyektif sebagai bahan perbaikan pelaksanaan
otonomi daerah di masa mendatang.
Penyelenggaraan pemerintahan secara desentralistis pada dasarnya menyangkut
transfer kewenangan dari pusat ke daerah, maupun dari pemerintah kepada institusiinstitusi non pemerintah. Karena itu, pada praktiknya, desentralisasi senantiasa dikaitkan
dengan manajemen pemerintahan berbasis governance sebagai salahsatu model
manajemen pemerintahan yang mensyaratkan adanya jejaring kerja dan kemitraan di
antara seluruh stakeholders atau pemangku kepentingan, baik pemerintah, pelaku usaha,
maupun masyarakat (civil society).
Sebagian besar evaluasi terhadap suatu kebijakan atau program cenderung bersifat
sentralistis, hanya memandang hambatan terhadap kebijakan atau program tersebut. Oleh
karena itu, diperlukan metodologi evaluasi yang melibatkan penerima manfaat dari
kebijakan atau program tersebut sebagai narasumber. Dengan demikian, evaluasi berguna
untuk mencari pola proses sosial dan hasil (outcome), memahami persoalan di sekitar


2

kelebihan dan kelemahan kebijakan atau program, merumuskan dan memperbaiki
metodologi evaluasi kebijakan atau program, juga memberi landasan dan alternatif
pemecahan masalah bagi tindakan selanjutnya oleh para pengambil kebijakan2.
Keberhasilan penyelenggaraan governance seyogianya dapat diukur agar diperoleh
informasi yang obyektif mengenai kapasitas penyelenggaraan pemerintahan, baik dalam
melaksanakan kewenangannya, mengalokasikan sumber-sumberdaya publik, serta
memberikan pelayanan publik yang berkualitas bagi warga masyarakatnya. Melalui
pengukuran ini, masyarakat dapat mengetahui sejauhmana upaya yang dilakukan
pemerintah telah sesuai dengan harapan dan tuntutan mereka, yang pada gilirannya akan
menentukan

sikap

masyarakat

apakah

akan


mendukung

atau

menolak

pola

penyelenggaraan pemerintahan tersebut. Sementara bagi para pelaku usaha, pengukuran
governance menjadi bahan masukan untuk menentukan keputusan-keputusan bisnis
mereka, misalnya apakah daerah yang bersangkutan cukup prospektif bagi investasi atau
tidak. Bagi pemerintah, pengukuran indeks pemerintahan berbasis governance menjadi
salahsatu bahan untuk mengevaluasi kinerja pemerintahan yang selama ini dilaksanakan.
Dalam kaitannya dengan penyelenggaraan pemerintahan di daerah, pengukuran
indeks pemerintahan yang berbasis pada indikator-indikator governance menjadi relevan
sebagai salahsatu alat ukur untuk menilai pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah.
Dalam era desentralisasi, tata kelola pemerintahan daerah menjadi ujung tombak bagi
peningkatan kesejahteraan masyarakat karena pemerintah daerah berada lebih dekat
dengan masyarakat, sehingga diharapkan dapat lebih memahami kebutuhan masyarakat

dan dapat lebih responsif dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Desentralisasi dalam
pengertian transfer atau pelimpahan kewenangan baru akan bermakna bila disertai dengan
2

Miller (1991) dalam Fahmi Wibawa dan Moch. Yunus (eds). Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun
Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Surabaya : Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi, 2004.

3

peningkatan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam bidang-bidang
yang merupakan pelayanan dasar, seperti pendidikan, kesehatan, daya beli, dan
infrastruktur.

Berbagai Model Evaluasi Otonomi Daerah
Dalam
kelembagaan,

kajian-kajian
pemerintah


pemerintahan
dimaknai

yang

sebagai

bersifat

institusi

atau

institusionalisme
lembaga

atau

sedangkan


pemerintahan adalah kerja pemerintah. Inilah yang dimaknai sebagai konsep government.
Dalam arti luas, government diartikan sebagai lembaga-lembaga yang bertanggung jawab
membuat keputusan kolektif bagi masyarakat, sementara dalam arti sempit, government
adalah pejabat politik paling tinggi dalam lembaga-lembaga itu, yaitu presiden, perdana
menteri, dan menteri3. Pemahaman tentang pemerintah dalam konsep ini menempatkan
pemerintah sebagai aktor dominan bahkan aktor utama dalam penyelenggaraan
pemerintahan. Keputusan kolektif dalam masyarakat dibuat sendiri oleh seorang pimpinan,
misalnya presiden atau kepala daerah, atau oleh satu kelompok (misalnya kabinet).
Peranan masyarakat terbatas sebagai kelompok sasaran dalam pelaksanaan kebijakan,
bahkan partisipasi masyarakat dimaknai secara sempit hanya sebagai formalitas dalam
mendukung legitimasi kebijakan yang dibuat pemerintah.
Secara umum, istilah government lebih mudah dipahami sebagai pemerintah yaitu
lembaga beserta aparaturnya yang mempunyai tanggung jawab untuk mengurus negara
dan menjalankan kehendak rakyat, kecenderungannya lebih tertuju pada lembaga eksekutif
atau kepresidenan (executive heavy)4. Selanjutnya ditegaskan bahwa wacana mengenai

3

Mochtar Mas’oed. “Desentralisasi dan Good Governance”. Dalam Good Governance : Untuk Daulat Siapa
?. Edy Soehardono. Yogyakarta : Forum LSM DIY bekerja sama dengan YAPPIKA. 2001, hal. 19.

4
Satish Chandra Mishra. The Economic and Politics of Good Governance : Notes Towards an Anatomy.
Makalah. Jakarta : Bappenas. 2000, hal. 3.

4

government lebih mengarah pada meminimalkan peran negara dan mempromosikan peran
sektor swasta atau limitation of the state’s roles5. Terdapat pula diskusi mengenai
reformasi aparatur negara (civilservice reform) namun hal ini tidak lebih dari bagian
agenda ekonomi untuk penyesuaian struktural (structural adjustment).
Wacana government adalah fenomena yang berkembang pada abad 20 di mana
negara memegang hegemoni kekuasaan atas rakyat6. Ketika negara (pemerintah)
memegang hegemoni maka tertib sosial cenderung ditegakkan secara hierarkhis dan
birokratis, dan kurang mengandalkan pada mekanisme spontan yang dapat berlangsung
dari dalam masyarakat, oleh kekuatan yang ada pada masyarakat itu sendiri.
Kegagalan konsep sentralisasi menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma
pemerintahan yang semula menekankan pada institusi pemerintah (government) menjadi
governance, yakni suatu konsep yang memandang pemerintahan sebagai suatu proses yang
tidak lagi bersifat intra bureaucratic anality (perspektif yang melihat aktivitas dan
kekuasaan pemerintahan di dalam dirinya sendiri). Kinerja pemerintahan harus dilihat dari

interaksi dan relasi antara berbagai faktor dan aktor di luar birokrasi.
Konsep governance dimunculkan sebagai alternatif model dan metode governing
(proses pemerintahan) yang lebih mengandalkan pada pelibatan seluruh elemen
masyarakat, baik pemerintah, semi pemerintah, atau non pemerintah, seperti lembaga
bisnis, LSM, komunitas, atau lembaga. Dengan cara pandang itu, sekat-sekat formalitas
negara atau pemerintah menjadi terabaikan.
Konsep governance melihat kegiatan, proses atau kualitas memerintah, bukan
tentang struktur pemerintahan, tetapi kebijakan yang dibuat dan efektivitas penerapan

5

Mishra. Loc.Cit.
Baca lebih lanjut dalam Francis Fukuyama. The Great Discruption : Human Nature and the Reconstruction
of Social Order. New York : The Free Press. 1999 dan Manuel Castells. The Information Age : Economy,
Society and Culture Vo. II Th ePower of Identity. Massachusetts : Blackwell Publishers Ltd. 1997.
6

5

kebijakan itu7. Kebijakan bukan dibuat oleh seorang pemimpin atau satu kelompok

tertentu melainkan muncul dari proses konsultasi antara berbagai pihak yang terkena oleh
kebijakan itu. Dalam konsep ini, pemerintah bukan satu-satunya aktor dan tidak selalu
menjadi pelopor dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai fungsi pengelolaan
masyarakat yang kompleks, governance melibatkan relasi antara berbagai kekuatan dalam
negara, yakni pemerintah (state), civil society, economic society, dan political society.
Pengukuran mengenai indeks tata kelola pemerintahan, khususnya yang berbasis
governance sudah mulai dilakukan sejak tahun 1998 melalui indeks yang disusun oleh Jeff
Huther dan Anwar Shah. Namun, selain indeks tersebut, sebenarnya ada sejumlah
pendekatan yang dapat digunakan untuk menyusun indeks pemerintahan berbasis
governance. Setidaknya terdapat 4 (empat) pendekatan dalam menyusun indeks
governance, yakni: (1) pendekatan geometric mean index yang digunakan oleh Huther dan
Shah (1998)8; (2) pendekatan unobserved component yang digunakan oleh Kaufmann,
Kraay, dan Lobaton (1999)9; (3) pendekatan principal component analysis yang digunakan
oleh Toatu (2004)10; serta (4) pendekatan arithmetic mean index yang digunakan oleh
Manning, Mukherjee, dan Gokcekus (2000)11.
Sekalipun terdapat 4 (empat) pendekatan berbeda, namun pada dasarnya keempat
pendekatan tersebut menekankan pada dimensi kuantitatif dari tata kelola pemerintahan
yang bersumber dari pengukuran terhadap indikator agregat (indikator komposit) yang

7


Mas’oed, op.cit., hal. 19.
Jeff Huther and Anwar Shah. 1998. Applying a Simple Measure of Good Governance to the Debate on
Fiscal Decentralization. Washington, DC : World Bank
9
Daniel Kaufmann, Aart Kraay, dan Pablo Zoido-Labaton. 1999. Agregating Governance Indicators.
Washington, DC : World Bank.
10
Ronald Duncan, Teuea Toatu, dan Azmat Gani. 2004. A Conceptual Framework for the Development of a
Composite Governance Index for the Pacific Island Countries. Pacific Institute of Advanced Studies in
Development and Governance.
11
N. Manning, R. Mukherjee, dan O. Gokcekus, 2000. Public Officials and their Institutional Environment.
Washington, D.C : World Bank.
8

6

dibentuk dari sejumlah tolok ukur. Pengukuran terhadap indikator-indikator agregat ini
kemudian diinterpretasikan, sehingga potensi subyektivitas dan bias memang tetap ada,
terutama ketika menentukan pembobotan untuk tiap indikator. Karena itu, pendekatan
kualitatif tetap diperlukan sebagai penyeimbang dan pelengkap analisis terhadap hasil
pengukuran kuantitatif.
Secara umum, keempat pendekatan tersebut membangun indikator-indikator
governance dengan berlandaskan pada konsep governance yang mensyaratkan adanya
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, dan penegakan hukum (rule of law). Penjabaran
dari keempat prasyarat ini kemudian melahirkan sejumlah model indikator, antara lain
yang dibuat oleh Huther dan Shah (1998) sebagai berikut :
1. Citizen participation (partisipasi warga)  partisipasi warga, dengan tolok ukur:
a. Kebebasan politik : mengukur kemampuan warga untuk mempengaruhi
kualitas tata pemerintahan yang mereka peroleh.
b. Stabilitas politik : mengukur kemampuan warga untuk berpartisipasi dalam
pembuatan kebijakan.
2. Government orientation (orientasi pemerintah)  keberpihakan pemerintah terhadap
kebutuhan warga masyarakat, terutama dalam kinerja pelayanan publik (penyediaan
barang dan jasa publik), dengan tolok ukur:
a. Efisiensi yudisial/penegakan hukum
b. Efisiensi birokrasi
c. Tingkat korupsi.
3. Social development (pembangunan sosial)  tolok ukur:
a. Indeks Pembangunan Manusia
b. Distribusi pendapatan
7

4. Economic management (pengelolaan ekonomi)  kemampuan pemerintah dalam
mengelola perekonomian diukur melalui indikator kinerja yang mencakup kebijakan
fiskal (ratio hutang dan pendapatan/GDP); kebijakan moneter (independensi bank
sentral); dan kebijakan perdagangan (orientasi keluar).
Tolok ukur:
a. Orientasi keluar : tingkat investasi
b. Independensi Bank Sentral
c. Rasio hutang dengan pendapatan
Sejalan dengan model di atas, Kaufmaan, Kraay, dan Lobaton (2002) menyusun
indeks governance dengan berpatokan pada indikator-indikator sebagai berikut:
1. Voice and accountability : mengukur sejauhmana warga masyarakat dapat
berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan serta independensi media.
2. Political stability : mengukur keberlangsungan pemerintahan, termasuk jaminan bahwa
pemerintahan

yang

berlangsung

tidak

akan

digantikan

melalui

mekanisme

inkonstitusional.
3. Government effectiveness : mengukur kualitas pelayanan publik, kinerja birokrasi,
kompetensi birokrasi, independensi birokrasi, dan kredibilitas pemerintah dalam
melaksanakan kebijakan.
4. Regulatory quality : mengukur keberpihakan kebijakan-kebijakan publik untuk
menciptakan iklim usaha yang kondusif.
5. Rule of law : mengukur sejauhmana hukum dapat ditegakan melalui mekanisme
peradilan yang adil dan akuntabel.
6. Control of corruption : mengukur sejauhmana kasus-kasus korupsi, penyuapan, dan
sejenisnya dapat ditangani oleh institusi penegak hukum.
8

Perangkat indikator yang sejenis juga digunakan dalam penelitian yang dilakukan
Ronald Duncan, Teuea Toatu, dan Azmat Gani (2004). Ketiga peneliti tersebut
menggunakan indikator-indikator agregat yang tersusun dari komponen-komponen sebagai
berikut:
Tabel 1
Indeks Governance versi Principal Component Analysis
Indeks
1. Indeks Rule of Law

2. Indeks Government Effectiveness

3. Indeks Social Development
4. Indeks Regulatory Quality

a)
b)
c)
d)
a)
b)
c)
a)
b)
a)
b)

Indikator
Kebebasan Politik
Stabilitas Politik
Efektivitas Lembaga Peradilan
Independensi Media
Efisiensi Birokrasi
Pengelolaan ekonomi
Tingkat korupsi
Indeks Pembangunan Manusia
Distribusi Pendapatan
Kapasitas institusi keuangan
Daya saing

Sumber : Duncan, Toatu, dan Gani (2004)
Model yang keempat dikemukakan oleh Manning, Mukherjee dan Gokcekus
(2000) dalam penelitiannya tentang indeks governance untuk negara-negara di Asia
Pasifik, dengan karakteristik khusus bagi negara-negara yang tergolong miskin. Model
yang ditawarkan berbasis pada metode perhitungan rata-rata aritmatika dengan
berpedoman pada kinerja organisasi. Indeks governance disusun dengan mencakup kriteria
sebagai berikut: (1) rule credibility; (2) policy credibility; dan (3) resource adequacy and
predictability. Ketiga indikator ini mencerminkan faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi kinerja organisasi pemerintahan.
Secara khusus, pengukuran Indeks Governance juga pernah dilakukan di Indonesia
ketika UU No. 22 Tahun 1999 baru diberlakukan. Pengukuran ini dilaksanakan dalam
bentuk Governance and Decentralization Surveys (GDS) yang dilaksanakan pada tahun
9

2002 di sekitar 177 kabupaten/kota di seluruh wilayah Indonesia. Indikator yang
digunakan dalam survei ini mencakup isu-isu governance seperti: (1) akuntabilitas; (2)
partisipasi; (3) penegakan hukum; (4) keadilan; (5) responsivitas politisi; (6) tingkat KKN;
serta (7) kualitas pelayanan publik. Berbeda dari model-model sebelumnya yang
melakukan pengukuran indeks governance untuk tingkat pemerintah pusat (nasional),
GDS melakukan pengukuran indeks governance untuk tingkat pemerintah kabupaten/kota
dalam kaitannya dengan pelaksanaan desentralisasi.
Dalam kaitan dengan evaluasi otonomi daerah, model sejenis juga pernah
dikembangkan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat, seperti yang dilakukan oleh
Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM, atau
Yayasan Harkat Bangsa yang bekerjasama dengan Partnership for Governance Reform in
Indonesia. Evaluasi dan monitoring otonomi daerah yang dilaksanakan Jawa Pos
menggunakan parameter-parameter sebagai berikut12 :
1. Parameter Kinerja Politik :
a. Kesinambungan politik
b. Partisipasi publik
c. Akuntabilitas
2. Paramater Pengembangan Ekonomi :
a. Pertumbuhan ekonomi
b. Pemerataan ekonomi
c. Pemberdayaan ekonomi lokal
d. Pemberdayaan ekonomi lemah
3. Parameter Pelayanan Publik :

12

Wibawa dan Yunus, ibid.

10

a. Kesehatan
b. Pendidikan
c. Pelayanan administrasi dasar
Ketiga parameter ini kemudian dijabarkan secara operasional ke dalam pengukuran
kinerja fungsional dan kinerja alokasi sumber daya (distributif)13. Kinerja fungsional
berkaitan dengan kinerja representasi; kinerja legislasi; kinerja kontrol; dan kinerja
penganggaran. Kinerja distributif berkaitan dengan isu-isu kebijakan strategis, seperti
kebijakan pro-pendidikan; pro-kesehatan; pro-orang miskin; pro-pemerataan ekonomi; dan
pro-lingkungan hidup.
Indikator tersebut tidak jauh berbeda dengan yang digunakan oleh UGM,
perbedaannya, UGM lebih menitikberatkan indikator-indikator tersebut untuk menilai
praktik good governance. Indikator yang digunakan tersebut adalah sebagai berikut14:
1. Profesionalisme dan Kinerja Birokrasi Pemerintah
a. Netralitas
b. Keadilan
c. Efisiensi
d. Responsivitas
e. Kualitas Pelayanan
f. Akuntabilitas
2. Kinerja Lembaga Legislatif
a. Penyusunan Anggaran
b. Penyusunan Perda
13

Ibid.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. Teladan dan Pantangan dalam Tata Kepemerintahan
yang Baik. Yogyakarta : PSKK, 2002.

14

11

c. Pengawasan
3. Penegakan Hukum
4. Penanggulangan Kemiskinan
Kedua kelompok indikator tersebut memunculkan pengukuran terhadap hasil
penerapan desentralisasi, antara lain partisipasi publik, pemberdayaan ekonomi, dan
penanggulangan kemiskinan. Berbeda dari kedua studi terdahulu, studi yang dilakukan
Yayasan Harkat Bangsa dengan metode diskusi expert meeting menggunakan indikator
untuk mengukur pemahaman stakeholders tentang paradigma dan konsep otonomi daerah
yang

diterapkan.

Sementara

aspek

implementasi

tetap

terfokus

pada

bidang

politik/pemerintahan (birokrasi), ekonomi, dan pelayanan publik. Secara rinci, indikator
evaluasi otonomi daerah yang digunakan oleh Yayasan Harkat Bangsa adalah sebagai
berikut15:
1. Aspek Kewenangan :
a. Pemahaman konsepsi
b. Pemetaan potensi konflik
2. Dinamika hubungan Kepala Daerah-DPRD
3. Kelembagaan daerah
4. Pengawasan dan pembinaan
5. Birokrasi
6. Desentralisasi fiskal
7. Pelayanan publik
Model pengukuran Indikator Good Governance juga mulai dikembangkan oleh
Bappenas yang meliputi 14 prinsip tata kepemerintahan yang baik, yakni: (1) wawasan ke
15

Indra J. Piliang, Dendi Ramdani, dan Agung Pribadi. Otonomi Daerah : Evaluasi dan Proyeksi. Jakarta :
Yayasan Harkat Bangsa, 2003.

12

Depan (visionary); (2) keterbukaan dan transparansi (openness and transparency); (3)
partisipasi masyarakat (participation); (4) tanggung gugat (accountability); (5) supremasi
hukum (rule of law); (6) demokrasi (democracy); (7) profesionalisme dan kompetensi
(profesionalism and competency); (8) daya tanggap (responsiveness); (9) keefisienan dan
keefektifan (efficiency and effectiveness); (10) desentralisasi (decentralization); (11)
kemitraan dengan dunia usaha swasta dan masyarakat (private sector and civil society
partnership); (12) komitmen pada pengurangan kesenjangan (commitment to reduce
inequality); (13) komitmen pada perlindungan lingkungan hidup (commitment to
environmental protection); dan (14) komitmen pada pasar yang fair (commitment to fair
market). Setiap variabel dijabarkan ke dalam indikator minimal, perangkat pendukung
indikator, dan penerapannya.
Berbagai model yang diungkapkan di atas memiliki persamaan, yakni seluruhnya
berbasis pada governance. Perbedaannya terletak pada ruang lingkup dan metode
pengukurannya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa model evaluasi otonomi
daerah dapat disusun dengan berbasis pada kinerja tata kepemerintahan (governance),
terutama untuk meningkatkan obyektivitas metode evaluasi karena penilaian dari unsurunsur stakeholders menjadi dasar evaluasi. Model yang dikembangkan Bappenas
sebenarnya sudah cukup komprehensif, namun belum didukung oleh metode pengukuran
yang sederhana yang dapat diaplikasikan oleh seluruh level pemerintahan. Karena itu, di
Jawa Barat dikembangkan model Indeks Pemerintahan berbasis governance. Luaran
(output) berupa indeks ini dapat dijadikan sebagai tolok ukur yang relatif valid untuk
mengevaluasi otonomi daerah dengan mempertimbangkan persepsi dari unsur-unsur lain di
luar pemerintah, sekaligus dapat menjadi bahan masukan dalam perencanaan
pembangunan di daerah.

13

Indeks Pemerintahan berbasis Governance
Indeks Pemerintahan berbasis governance yang dapat dikembangkan untuk
mengevaluasi otonomi daerah, tersusun dari indikator-indikator sebagai berikut:
1. Citizen participation (partisipasi publik)  partisipasi warga, dengan tolok ukur:
a. Kebebasan politik : mengukur kemampuan warga untuk mempengaruhi kualitas
tata pemerintahan yang mereka peroleh.
b. Stabilitas politik : mengukur kemampuan warga untuk berpartisipasi dalam
pembuatan kebijakan.
Partisipasi warga menjadi indikator dalam menilai kadar tata kelola pemerintahan
karena konsep ini menggambarkan esensi dari penerapan demokrasi dalam tata kelola
pemerintahan. Demokrasi sebagai paradigma dalam penyelenggaraan pemerintahan
memiliki banyak model, antara lain yang bercorak model perwakilan, model
deliberatif, bahkan model komunitarian. Pada prinsipnya, keseluruhan varian atau
model demokrasi yang ber/kembang berfokus pada perluasan ruang partisipasi publik
secara substantif untuk turut berperan dalam proses pengambilan keputusan dan
pembuatan kebijakan-kebijakan strategis.
Demokrasi secara substantif menghendaki adanya keterlibatan secara aktif dan otonom
dari seluruh komponen masyarakat karena dengan demikian, aspirasi masyarakat dapat
diketahui secara pasti. Di sisi lain, dengan adanya partisipasi masyarakat, maka kadar
legitimasi pemerintah yang berkuasa dapat dipertahankan bahkan ditingkatkan karena
partisipasi biasanya sejalan dengan transparansi dan akuntabilitas. Partisipasi akan
muncul manakala ada keterbukaan dan partisipasi akan menghasilkan pemerintahan
yang akuntabel, yang senantiasa diarahkan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat.

14

Berdasarkan konsepsi tersebut, maka partisipasi publik didefinisikan sebagai
keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan yang terkait dengan kepentingan
publik, seperti penyusunan rencana pembangunan (musrenbang), pemilihan umum,
atau pemilihan lokal. Umumnya partisipasi dalam kegiatan-kegiatan publik dapat
diobservasi di level pemerintahan terendah, yang mencakup baik partisipasi pasif
maupun aktif dari masyarakat yang bermukim dalam suatu wilayah. Partisipasi aktif
maupun pasif diperoleh datanya dari data primer melalui kuesioner yang disebarkan
pada responden rumah tangga.
Selain berupa data primer, pengukuran tingkat partisipasi juga dapat diukur melalui
data sekunder berupa data jumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) dan LSM dalam
suatu periode tertentu. Data ini dapat menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat,
meskipun potensi biasnya cukup besar karena bertambahnya jumlah ormas dan LSM
belum tentu mengindikasikan peningkatan partisipasi karena bisa saja organisasiorganisasi tersebut terbentuk bukan secara otonom dari masyarakat.
2. Government orientation (orientasi pemerintah)  keberpihakan pemerintah terhadap
kebutuhan warga masyarakat, terutama dalam kinerja pelayanan publik (penyediaan
barang dan jasa publik), dengan tolok ukur:
a. Efisiensi yudisial/penegakan hukum
b. Efisiensi birokrasi
c. Tingkat korupsi
Indikator ini mengukur sejauhmana pemerintah memiliki komitmen untuk
melaksanakan fungsi-fungsi pemerintahan dengan optimal, termasuk dalam
meningkatkan kualitas pelayanan publik. Secara umum, fungsi pemerintahan
mencakup fungsi regulasi, fungsi pembangunan/pemberdayaan, dan fungsi

15

pelayanan publik. Ketiga ini akan optimal bila didukung oleh sumberdaya yang
memadai, baik dari sisi sumberdaya manusia, dana, maupun sarana dan prasarana.
Keseluruhan sumberdaya ini perlu dikelola dengan efektif dan efisien agar kualitas
pelayanan publiknya bisa semakin meningkat. Di sisi lain, kinerja pemerintah
daerah juga diukur dari kapasitasnya untuk menegakan hukum. Fungsi penegakan
hukum ini diperlukan untuk menunjukkan komitmen pemerintah dalam
menerapkan kebijakan-kebijakan yang telah dibuatnya. Selain itu, konsistensi
dalam penegakan hukum juga dapat membantu memulihkan kepercayaan
masyarakat pada figur-figur otoritas (pemegang kewenangan).
Isu korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi salahsatu indikator untuk mengukur
netralitas pemerintahan terhindar dari praktek-praktek korupsi, kolusi dan
nepotisme birokrasi.
3. Social development (pembangunan sosial)  mengukur pelaksanaan pembangunan
dalam kaitannya dengan peningkatan kualitas sumberdaya manusia, tolok ukur:
a. Pembangunan Manusia
b. Distribusi pendapatan
Indikator ini merupakan alat ukur untuk menganalisis sejauhmana kinerja
pemerintah daerah dalam melaksanakan kebijakan, program, dan kegiatan-kegiatan
untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dalam paradigma pembangunan
yang berkelanjutan, kualitas pembangunan diukur dari peningkatan kualitas
sumberdaya manusia yang tercermin dalam capaian Indeks Pembangunan Manusia
(IPM) yang merupakan indeks komposit dari indikator pendidikan, kesehatan, dan
ekonomi.

16

Dalam pengukuran indeks pemerintahan berbasis governance, indeks komposit
IPM tetap digunakan dengan modifikasi indikator untuk bidang ekonomi, berupa
indeks kemiskinan dan indeks kesenjangan. Keduanya digunakan untuk mengukur
tingkat kemiskinan dan kesenjangan dalam bidang ekonomi, yang juga berkaitan
dengan pemerataan pembangunan. Tolok ukur distribusi pendapatan merujuk pada
persoalan seberapa jauh pendapatan terdistribusikan secara merata di antara
kelompok-kelompok masyarakat.
4. Economic management (pengelolaan ekonomi)  kemampuan pemerintah daerah
dalam mengelola perekonomian diukur melalui indikator kinerja yang mencakup
kebijakan fiskal; kebijakan moneter; dan kebijakan perdagangan.
Tolok ukur:
a. Kapasitas fiskal daerah.
b. Tingkat investasi.
Indikator ini berupaya mengukur sejauhmana birokrasi pemerintah daerah melalui
kebijakan, program, dan kegiatannya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.
Isu kapasitas fiskal daerah berkaitan dengan kemampuan daerah untuk menggali
potensi sumberdaya daerah sebagai penghasil keuangan daerah. Namun, perlu
dipahami bahwa otonomi daerah tidak hanya berorientasi pada peningkatan PAD,
tetapi lebih pada pemerataan pertumbuhan ekonomi. Karena itu, kapasitas fiskal
daerah juga perlu diukur dari proporsi penggunaan APBD agar tidak lebih banyak
digunakan untuk kepentingan internal birokrasi.
Isu pertumbuhan investasi yang menjadi salahsatu tolok ukur bukan sekedar
menunjuk pada persoalan dinamisasi perekonomian tapi juga transformasi gaya
hidup masyarakat. Dalam kaitan otonomi penting untuk dicermati; apakah tata

17

kelola pemerintahan daerah meningkatkan biaya-biaya investasi atau sebaliknya;
apakah otonomi memunculkan perda-perda baru bermasalah atau sebaliknya;
apakah otonomi menjadikan masyarakat semakin produktif atau sebaliknya.
Secara sederhana, komponen pengukuran yang digunakan untuk mengukur Indeks
Pemerintahan berbasis governance adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Komponen Pengukuran
No.
1.

Variabel
Indikator
Partisipasi
publik Kebebasan politik
(citizen
participation)

-

Tolok Ukur
Akses informasi
Kebebasan berekspresi
Aktivitas
berkelompok/berorganisasi
Perlakuan
yang
adil
(non
diskriminatif)
Tingkat partisipasi
Jaminan kebebasan berusaha
Potensi konflik
Kepercayaan masyarakat pada
institusi pemerintahan
Kepercayaan masyarakat pada figur
otoritas
Orientasi perda
Konsistensi penegakan hukum
Kapasitas penegakan hukum
Struktur organisasi
Kinerja birokrasi
Kompetensi birokrasi
Alokasi anggaran
Kualitas pelayanan publik
Jumlah korupsi
Domain korupsi
Bentuk-bentuk korupsi
Pencapaian IPM

-

Pendapatan per kapita
Indeks Gini (kesenjangan)
Kapasitas PAD
Kontribusi PAD
Rasio pendapatan dan belanja
Realisasi investasi
Kontribusi investasi

-

Stabilitas politik

-

2.

Orientasi pemerintah Efisiensi
yudisial
(government
(penegakan hukum)
orientation)
Efisiensi birokrasi

Tingkat korupsi

3.

Pembangunan sosial Pembangunan
(social development) Manusia
Distribusi Pendapatan

4.

Pengelolaan ekonomi Kapasitas fiskal daerah
(economic
management)
Tingkat investasi

18

Penerapan Indeks Pemerintahan berbasis Governance: Kasus Jawa Barat
Model Indeks Pemerintahan berbasis governance tersebut kemudian diujiterapkan
untuk mengevaluasi otonomi daerah di Jawa Barat. Melalui metode survei, kualitas
governance diukur berdasarkan persepsi well-informed persons tentang berbagai indikator
governance yang dikembangkan. Penilaian responden terhadap kualitas governance
menggunakan skala ordinal yang memiliki rentang antara 1 sampai dengan 5 di mana
semakin tinggi angka yang diberikan, maka semakin tinggi/baik persepsi responden
terhadap pernyataan/unsur yang dinilai.
Well-informed persons yang menjadi responden dalam uji terap adalah sebagai
berikut:
1. Unsur government atau birokrasi, termasuk di dalamnya unsur Pemerintah Provinsi
Jawa Barat, DPRD Provinsi Jawa Barat, Kejaksaan Tinggi, Pengadilan Tinggi,
Kepolisian Daerah, Komando Daerah Militer, KPUD dan KPID.
2. Unsur pasar/market (pelaku usaha), diwakili oleh asosiasi-asosiasi pengusaha seperti
APINDO dan KADINDA Jawa Barat
3. Unsur Civil Society, yang terdiri dari para akademisi, para profesional di bidang
hukum, LSM, partai politik, tokoh agama, mahasiswa dan kalangan pers.
Kualitas governance secara keseluruhan merupakan agregat dari nilai-nilai variabel
governance yang ditetapkan. Dalam hal ini secara formal kualitas governance dirumuskan
sebagai berikut:

G

aCP  bGO  cSD  dSD
4

Di mana:
G = indeks kualitas governance
CP = variabel partisipasi warga
19

GO = variabel orientasi pemerintah
SD = variabel pembangunan masyarakat
EM = variabel pengelolaan ekonomi
a = skor indeks CP
b = skor indeks GO
c = skor indeks SD
d =skor indeks EM
Sedangkan nilai-nilai a, b, c dan d diperoleh melalui penghitungan rata-rata responden
terhadap indikator-indikator dari keempat variabel governance.
Proses penilaian governance berada dalam konteks Pemerintah Provinsi Jawa
Barat. Dengan demikian harus dapat dipastikan bahwa responden tidak akan keliru atau
salah paham dalam memberikan penilaian, jangan sampai responden menilai kinerja
governance pemerintah Provinsi Jawa Barat tetapi sebenarnya yang dia nilai adalah kinerja
dari sebuah pemerintah kabupaten atau pemerintah kota atau pemerintah pusat. Kekeliruan
ini dapat terjadi mengingat tidak semua unsur stakeholders dari pemerintah Provinsi Jawa
Barat memahami kewenangan atau urusan apa saja yang sebenarnya menjadi milik
pemerintah Provinsi Jawa Barat dan mana yang bukan. Misalnya menyangkut pelayanan
publik, berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, kewenangan atau urusan yang menyangkut
penyelenggaraan pendidikan sekolah dasar (SD) dan pelayanan langsung dari Pusat
Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) merupakan kewenangan atau urusan dari pemerintah
kabupaten/kota. Bila saja ada responden yang menilai pelayanan langsung dari Puskesmas
yang ada di wilayah provinsi Jawa Barat buruk kemudian yang bersangkutan menilai
bahwa buruknya pelayanan tersebut terkaiat langsung dengan performa governance
pemerintah Provinsi Jawa Barat maka tentu penilaian tersebut salah alamat.

20

Berdasarkan pengolahan data yang terkumpul melalui survei pada responden,
diperoleh nilai Indeks Pemerintahan berbasis governance untuk masing-masing variabel,
sebagai berikut:
Tabel 3
Hasil Pengukuran Indeks Pemerintahan berbasis Governance
di Provinsi Jawa Barat tahun 2007
Variabel

Nilai

Partisipasi publik (citizen participation)

63.71429

Orientasi pemerintah (government orientation)

54.67574

Pembangunan sosial (social development)

58.29365

Pengelolaan ekonomi (economic management)

59.84127

Indeks Pemerintahan

58.57048

Sumber: Hasil Penelitian, 2007

Berdasarkan tabel tersebut, diperoleh bahwa kualitas tata kepemerintahan di
Provinsi Jawa Barat pada tahun 20007 berdasarkan penilaian responden adalah sebesar
58.57. Bila merujuk pada tipologi kualitas governance yang dikembangkan The Urban
Governance Initiative (TUGI) yang membuat tipologi berikut:
Tabel 4
Tipologi Kualitas Governance Model TUGI
Range
85 – 100
65 – 84

50 -64
35 – 49
0 – 35

Makna

Sangat Baik
Baik (Tetapi masih memiliki kesempatan untuk
ditingkatkan)
Cukup (Dapat Melakukan Lebih baik lagi)
Buruk (Dibutuhkan komitmen dan upaya yang lebih besar
lagi)
Sangat Buruk (Ada sesuatu yang salah dalam
penyelenggaraan governance di tempat itu)

Maka kualitas governance di Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 sebesar 58,57
masuk ke dalam kategori Cukup. Sedangkan untuk masing-masing variabel governance
21

maka nilai terendah (54.68) diperoleh oleh variabel orientasi pemerintah (government
orientation) sedangkan nilai tertinggi (63.71) adalah variabel partisipasi publik (citizen
participation).
Tabel 5
Hasil Pengukuran Indeks Pemerintahan berbasis Governance
di Provinsi Jawa Barat tahun 2007 Berdasarkan Kelompok Responden
No

Unsur Responden

Variabel Governance
CP

GO

SD

EM

Total

1

Birokrasi (Government)

66.67

55.24

60.56

68.52

62.75

2

Dunia Usaha (Market)

54.17

54.13

56.11

62.22

56.66

3

Masyarakat (Civil Society)

65.03

54.90

57.89

59.03

59.21

Sumber: Hasil Penelitian, 2007

Bila kita perhatikan tabel tersebut, terdapat perbedaan di antara well-informen
persons dalam menilai governance, seperti dugaan semula unsur pemerintah akan
memberikan penilaian yang lebih tinggi dan penilaian terendah diberikan oleh kalangan
dunia usaha (pasar). Pemerintah menilai variabel pengelolaan ekonomi (EM) sebagai unsur
governance yang memiliki nilai tertinggi dan variabel orientasi pemerintah (OG) mendapat
penilaian paling rendah. Demikian pula bagi kalangan dunia usaha bahwa variabel
pengelolaan ekonomi (EM) sebagai unsur governance yang memiliki nilai tertinggi dan
variabel orientasi pemerintah (OG) mendapat penilaian paling rendah. Namun berbeda
dengan dua kelompok ini kalangan civil society menilai variabel partisipasi publik (CP)
sebagai unsur governance yang memiliki nilai tertinggi sedangkan variabel orientasi
pemerintah (OG) juga mendapat penilaian paling rendah.
Berkenaan dengan hubungan antara ketiga pilar governance yaitu pemerintah,
pelaku usaha (pasar) dan civil society serta yang berkenaan dengan isu-isu strategis yang
harus ditangani agar tercipta sinergitas antara ketiga unsur tadi, terungkap temuan menarik.
22

Penilaian dari ketiga unsur stakeholders menunjukkan masih belum terwujudnya sinergitas
dalam hubungan governance. Hubungan ini masih bersifat koordinatif dan simbolis, baru
sebatas pada tindakan-tindakan yang temporer, padahal seharusnya sinergitas tersebut
berjalan secara terencana dan proporsional. Hal ini terjadi karena belum terwujudnya
saling percaya (mutual trust) di antara unsur-unsur governance, sehingga unsur yang satu
seringkali masih mencurigai adanya kepentingan tersembunyi di balik perilaku unsur
lainnya. Belum tuntasnya penanganan kasus-kasus korupsi, seringkali digunakan sebagai
alasan belum terbentuknya kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Sebaliknya,
pelaku usaha masih belum sepenuhnya percaya pada pemerintah karena ketidakmampuan
pemerintah dalam memberikan jaminan kepastian hukum bagi mereka dalam berusaha.
Hal inilah yang menjadi salahsatu penyebab keengganan pelaku usaha untuk berinvestasi,
karena menganggap bahwa ekonomi biaya tinggi (high cost economy) belum sepenuhnya
berhasil dihapuskan oleh pemerintah, meskipun sudah ada perubahan dalam mekanisme
pelayanan publik melalui sistem pelayanan satu atap dan satu pintu.
Dalam rangka mensinergikan hubungan antara pemerintah, pelaku usaha, dan
masyarakat, responden pada umumnya menyarankan agar pemerintah memperbaiki sikap
mental birokrat sekaligus meningkatkan kinerja aparatur negara. Prosedur birokratis perlu
dipangkas untuk memudahkan kalangan pelaku usaha dan masyarakat dalam melakukan
usahanya. Transparansi APBD perlu segera dilaksanakan karena pada hakikatkan APBD
adalah dokumen publik dan perlu diketahui oleh publik sehingga publik mengetahui
alokasi anggaran yang secara langsung diperuntukan bagi kepentingan publik. Hal ini
mempengaruhi proses penegakan hukum dan juga menandakan pengelolaan administrasi
yang tidak sehat. Kepedulian pelaku usaha terhadap masyarakat sekitarnya juga
ditingkatkan. Di sisi lain, pihak pemerintah juga perlu menjamin regulasi-regulasi yang

23

berlaku agar konsisten diberlakukan, hal ini terkait langsung dengan kepastian ilkim usaha
bagi para pelaku usaha.

Penutup

Secara keseluruhan model pengukuran Indeks Pemerintahan berbasis Governance
ini dapat dioperasionalkan untuk mengukur kualitas governance suatu pemerintahan
sebagai refleksi dari kapasitas daerah dalam menerapkan otonomi daerahnya. Meskipun
sebagaimana layaknya bahwa dalam survei yang bersifat perception-based terdapat unsur
subjektivitas, namun dengan menggunakan konsep well-informed persons subjektivitas
tersebut diharapkan tidak akan menimbulkan bias berarti bagi evaluasi. Diakui bahwa
pengukuran ini secara statistik tidak memiliki tingkat signifikansi yang tinggi karena
memang pengukuran ini lebih bertujuan untuk melakukan uji terap model Indeks
Pemerintahan berbasis Governance, untuk itu disarankan dilakukan survei yang lebih luas
lagi yang melibatkan stakeholders yang lebih besar.
Meskipun secara metodologis hasil pengukuran ini cenderung bersifat indikatif
ketimbang konklusif (indicative rather than conclusive), hasil uji terap ini menghasilkan
beberapa isu menarik sebagaimana terungkap pada hasil analisis dari proses penilaian
governance. Hasil analisis terhadap hubungan antar-stakeholders yang terungkap dari hasil
pengumpulan data menunjukkan bahwa relasi governance belum sinergis karena
rendahnya tingkat kepercayaan (trust) antar-stakeholders. Relasi yang berimbang dalam
nuansa kemitraan juga belum dirasakan oleh para responden karena masih ada kalangan
yang merasa dieksploitasi oleh kalangan lain atau hanya dimanfaatkan peran sertanya
untuk justifikasi kebijakan pemerintah. Di masa mendatang, perlu ada upaya yang
komprehensif untuk membenahi relasi antar-stakeholders ini agar lebih sinergis.

24

Kepercayaan sebagai landasan dari relasi governance perlu dibangun melalui penegakan
hukum, peningkatan kinerja birokrasi pemerintah, serta pemberantasan kasus korupsi,
kolusi, dan nepotisme secara tegas. Ketiganya merupakan bagian dari indikator orientasi
pemerintah yang menurut persepsi para stakeholders (pemerintah, dunia usaha, dan civil
society) tergolong rendah. Karena itu, upaya pembenahan relasi governance diarahkan
untuk memperbaiki orientasi pemerintah agar lebih peka terhadap kebutuhan dan tuntutan
masyarakat, termasuk dalam hal transparansi dan akuntabilitas.

Cisangkuy, Agustus 2007

25

DAFTAR PUSTAKA

Bappenas. 2001. Kompilasi Bahan-bahan Diskusi Rutin Public Good Governance. Jakarta
: Sekretariat Pengembangan Public Good Governance Bappenas.
Duncan, Ronald, Teuea Toatu, dan Azmat Gani. 2004. A Conceptual Framework for the
Development of a Composite Governance Index for the Pacific Island Countries.
Pacific Institute of Advanced Studies in Development and Governance.
Huther, Jeff and Anwar Shah. 1998. Applying a Simple Measure of Good Governance to
the Debate on Fiscal Decentralization. Washington, DC : World Bank.
Kaufmann, Daniel, Aart Kraay, dan Pablo Zoido-Labaton. 1999. Agregating Governance
Indicators. Washington, DC : World Bank.
Kooiman, Jan (ed). 1993. Modern Governance : New Government-Society Interactions.
London, Newbury Park, New Delhi : Sage Publications.
Manning, N., R. Mukherjee, dan O. Gokcekus, 2000. Public Officials and their
Institutional Environment. Washington, D.C : World Bank.
Mishra, Satish Chandra. 2000. The Economic and Politics of Good Governance : Notes
Towards an Anatomy. Makalah. Jakarta : Bappenas.
Piliang, Indra J., Dendi Ramdani, dan Agung Pribadi. 2003. Otonomi Daerah : Evaluasi
dan Proyeksi. Jakarta : Yayasan Harkat Bangsa.
Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan UGM. 2002. Teladan dan Pantangan dalam
Tata Kepemerintahan yang Baik. Yogyakarta: PSKK.
Soehardono, Edy. 2001. Good Governance : Untuk Daulat Siapa ?. Yogyakarta : Forum
LSM DIY bekerja sama dengan YAPPIKA.
Syaukani (dkk). 2002. Otonomi dalam Negara Kesatuan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Wanandi, Jusuf. 1999. Good Governance dan Kaitannya dengan Stabilitas Dalam Negeri
dan Kawasan : Agenda Masa Depan. Jurnal Analisis Tahun XXVII No. 3.
Wibawa, Fahmi dan Moch. Yunus (eds). 2004. Inovasi sebagai Referensi: Tiga Tahun
Otonomi Daerah dan Otonomi Award. Surabaya : Jawa Pos Institute of ProOtonomi.

26