Analisis Evaluasi Pembangunan Ekonomi Daerah Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Dairi)

(1)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

ANALISIS EVALUASI PEMBANGUNAN EKONOMI

DAERAH PASCA OTONOMI DAERAH

(STUDI KASUS: KABUPATEN DAIRI)

SKRIPSI

Diajukan oleh:

ANDI DERMA R.PURBA

060501080

EKONOMI PEMBANGUNAN

Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi

Medan

2010


(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

PENANGGUNG JAWAB SKRIPSI

Nama : Andi Derma R.Purba

NIM : 060501080

Departemen : Ekonomi Pembangunan

Konsentrasi : Ekonomi Perencanaan Regional

Judul : Analisis Evaluasi Pembangunan Ekonomi Daerah Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Dairi)

Tanggal : __________________ Pembimbing,

NIP. 19560112 198503 1 002 (Drs,Syahrir Hakim


(3)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

BERITA ACARA UJIAN

Hari : Sabtu

Tanggal : 20 Maret 2010

Nama : Andi Derma R.Purba NIM : 060501080

Departemen : Ekonomi Pembangunan

Konsentrasi : Ekonomi Perencanaan Regional

Judul : Analisis Evaluasi Pembangunan Ekonomi Daerah Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Dairi)

Ketua Departemen Pembimbing Skripsi

(Wahyu Ario Pratomo,SE,M.Ec)

NIP. 19730408 199802 1 001 NIP. 19560112 198503 1 002 (Drs.Syahrir Hakim Nasution,M.Si)

Penguji I Penguji II

(H.B.Tarmizi,SE,SU)

NIP. 19530412 198103 1 006 NIP. 19490808 198103 1 001 (Drs.Rahmat Sumanjaya Hsb,M.Si)


(4)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI

MEDAN

PERSETUJUAN ADMINISTRASI AKADEMIK

Nama : Andi Derma R. Purba NIM : 060501080

Departemen : Ekonomi Pembangunan

Konsentrasi : Ekonomi Perencanaan Regional

Judul : Analisis Evaluasi Pembangunan Ekonomi Daerah Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Dairi)

Tanggal : __________________ Ketua Departemen

NIP. 19730408 199802 1 001 (Wahyu Ario Pratomo,SE,M.Ec)

Tanggal : __________________ Dekan

NIP. 19550810 198303 1 004 (Drs.Jhon Tafbu Ritonga,M.Ec)


(5)

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat pembangunan ekonomi daerah Kabupaten Dairi pasca kebijakan otonomi daerah diberlakukan, yakni sejak 1 Januari 2001. Adapun tujuan mendasar dikeluarkannya kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan di setiap daerah kabupaten/kota di Indonesia. Antara lain, mendorong kegiatan perekonomian daerah sehingga memiliki basis ekonomi yang bisa diandalkan, memantapkan posisi perekonomian daerah, mengentaskan kemiskinan, menekan angka pengangguran, dan menghapuskan kesenjangan pembangunan antardaerah.

Adapun data yang digunakan untuk menunjang analisis dalam penelitian ini adalah dalam bentuk time series (runtun waktu) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara dengan fokus utama Kabupaten Dairi. Dari 15 kecamatan yang ada di Kabupaten Dairi, maka ada 13 kecamatan yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Berdasarkan tujuan kebijakan otonomi daerah di atas, maka metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan alat analisis Tipologi Klassen untuk menggambarkan posisi perekonomian masing-masing kecamatan di Kabupaten Dairi yang diteliti, Location Quotient (LQ) untuk mengetahui basis ekonomi sektoral di Kabupaten Dairi, Head Count Index untuk mengetahui tingkat kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Dairi, Indeks Pengangguran untuk melihat tingkat pengangguran di Kabupaten Dairi, dan Williamson Index untuk mengetahui tingkat ketimpangan pembangunan di Kabupaten Dairi.

Kata Kunci: Pembangunan Ekonomi, Otonomi Daerah, Tipologi Daerah, Location Quotient, Head Count Index, Indeks Pengangguran, Williamson Index.


(6)

ABSTRACT

This research attempts to evaluate rate of regional economic development for Dairi Regency after district autonomy practice that is on January 1st 2001. The basic aim of this policy to increase social welfare for all of regency/city in Indonesia. Such as, to stimulate region economy activity to has substantial economic base, to improve region economic position, to fight the poverty, to decrease rate of unemployment, and to destroy gap of development while the region.

The data used in this research to help analysis are time series (secondary data) obtained from central board of statistics Province of North Sumatera with priority on Dairi Regency only. From 15 district in Dairi Regency, 13 district will be analysis on this research.

Based on the aim of district autonomy, the analysis methods applied in this research are Klassen Typology to show economic position of each of district in Dairi Regency include, Location Quotients (LQ) to know economic sectoral base Dairi Regency, Head Count Index to describe rate of poverty in Dairi Regency, Unemployment Index to explain rate of unemployment in Dairi Regency, and Williamson Index to describe rate of development gap in Dairi Regency.

Keywords: Economic Development, District Autonomy, Klassen Typology, Location Quotients, Unemployment Index, Head Count Index, Williamson Indeks.


(7)

KATA PENGANTAR

Pujian, hormat, dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas anugerah dan berkat yang tiada terukur telah penulis terima selama ini. Bukan kuat dan gagah penulis untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini, tetapi semuanya hanya oleh karena kasih, tuntunan, dan penyertaanNya yang sempurna. Terimakasih untuk hikmat yang Tuhan berikan dalam mengatasi berbagai kesulitan yang terjadi selama penulisan skripsi ini. Engkau tak pernah membiarkan penulis berjalan sendiri. Terimakasih Tuhan.

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk dapat mengikuti ujian meraih gelar sarjana (S-1) di Fakultas Ekonomi, Departemen Ekonomi Pembangunan, Universitas Sumatera Utara.

Adapun judul skripsi ini adalah “Analisis Evaluasi Pembangunan Ekonomi Daerah Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Dairi)”.

Selama menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan dan dukungan baik dalam bentuk moril maupun materi. Maka pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Bapak Drs.Jhon Tafbu Ritonga,M.Ec, sebagai Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Wahyu Ario Pratomo,SE,M.Ec, sebagai Ketua Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Dosen Wali penulis.


(8)

3. Bapak Dr.Irsyad Lubis Phd, sebagai Sekretaris Departemen Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara.

4. Bapak Drs.Syahrir Hakim Nasution,M.Si, sebagai Dosen Pembimbing bagi penulis dalam penulisan skripsi ini sampai dengan selesainya.

5. Bapak Drs,HB.Tarmizi,SU, sebagai Dosen Pembanding I yang telah memberikan saran-saran untuk menyempurnakan skripsi ini.

6. Drs.Rahmat Sumanjaya,M.Si, sebagai Dosen Pembanding II yang juga telah memberikan saran-saran untuk menyempurnakan skripsi ini.

7. Staf-staf pengajar yang turut membimbing penulis selama perkuliahan dan staf pegawai yang membantu dalam urusan administrasi di Fakultas Ekonomi pada khususnya dan Universitas Sumatera Utara pada umumnya. 8. Yang teristimewa, skripsi ini penulis persembahkan kepada kedua

orangtua tercinta, Ayahanda Mian Lazarus Purba dan Ibunda Esmayan Lumban Gaol yang selalu mendukung penulis dalam doa maupun materi serta selalu menyemangati penulis selama perkuliahan sampai skripsi ini terselesaikan.

9. Seorang kakak yang selalu mengingatkan penulis untuk terus berusaha dan dua orang adek yang sangat berarti dalam hidup penulis (Boru Panggoaran alias Kak Sudi, Anak Naburju alias Adek Sumadi, dan C Pudan alias Adek Icca).

10.Be Blessed, Kelompok Kecil penulis yang menjadi tempat penulis shared

dalam suka maupun duka, secara bersama-sama telah bertumbuh dalam pengenalan yang mendalam tentang Dia. Kita juga bersama-sama dalam memecahkan banyak masalah yang terjadi di antara kita. Sebisa mungkin


(9)

kita saling merangkul. (K’Princes, Natalin, Vina, Jeni, Siska, Elay, K’ Gohana).

11.Kelompok Tari Youth Tambourine GBI Medan Plaza yang menjadi wadah penting bagi penulis untuk mengembangkan talenta yang Tuhan berikan bagi penulis.

12.Teman-teman EP’06 yang seperjuangan dengan penulis dalam menjalankan perkuliahan sampai dengan selesainya penulisan skripsi ini, terkhusus buat Natalin, Vina, Jeni, Valent, Elay, Sandi, Irwin, Harefa, Andre, Thitien, Rhe-Rhe.

13.Abang dan kakak senior Ekonomi Pembangunan stambuk 2004 dan 2005 serta adek-adek junior Ekonomi Pembangunan 2007 dan 2008 yang namanya tidak dapat disebutkan satu persatu.

Akhir kata, semoga skripsi ini bermanfaat bagi setiap pembacanya. Terimakasih.

Medan, Maret 2010 Penulis,

(

060501080 Andi Derma R.Purba)


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI …….………..i

ABSTRACT ………..ii

KATA PENGANTAR ………... iii

DAFTAR ISI ………...v

DAFTAR TABEL ………vii

DAFTAR GAMBAR ………..viii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ………..1

1.2 Perumusan Masalah ………..5

1.3 Hipotesis Penelitian ………..6

1.4 Tujuan Penelitian ………..7

1.5 Manfaat Penelitian ………..7

BAB II URAIAN TEORITIS 2.1 Pembangunan Ekonomi ………...9

2.2 Otonomi Daerah ………....12

2.3 Tipologi Daerah ………....16

2.4 Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory) ………....18

2.5 Kemiskinan ………....21

2.5.1 Indikator Kemiskinan ………....23

2.6 Pengangguran ………25

2.6.1 Jenis-jenis Pengangguran ………25

2.7 Ketimpangan Pembangunan Daerah ………29

2.7.1 Faktor-faktor yang Menyebabkan Terjadinya Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah ………31

2.7.2 Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah ……36

2.7.3 Penanggulangan Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah ………...……37


(11)

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian ………41

3.2 Jenis dan Sumber Data ………41

3.3 Metode Pengumpulan Data ………42

3.4 Metode Analisis Data ………42

3.4.1 Analisis Tipologi Klassen ………....42

3.4.2 Analisis Location Quotient (LQ) ………45

3.4.3 Analisis Tingkat Kemiskinan ………....46

3.4.4 Analisis Tingkat Pengangguran ………47

3.4.5 Analisis Ketimpangan Pembangunan Antarkecamatan ……48

3.5 Definisi Variabel Operasional Penelitian ………48

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskriptif Daerah Penelitian ………50

4.1.1 Kondisi Geografis dan Iklim ………50

4.1.2 Kondisi Demografi ………52

4.1.3 Potensi Daerah ………54

4.1.4 Pendidikan ………58

4.1.5 Mata Pencaharian ………59

4.2 Analisis Tipologi Klassen Kabupaten Dairi ………60

4.3 Analisis Basis Ekonomi Kabupaten Dairi ………69

4.4 Analisis Tingkat Kemiskinan Kabupaten Dairi ………75

4.5 Analisis Tingkat Pengangguran Kabupaten Dairi………77

4.6 Analisis Ketimpangan Daerah Kabupaten Dairi ………79

BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan ………84

5.2 Saran ………87

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Klasifikasi Daerah Berdasarkan Tipologi Klassen ...….17 Tabel 2.2 Indikator Kemiskinan ………24 Tabel 3.1 Klasifikasi Daerah Berdasarkan Tipologi Klassen ……43 Tabel 4.1 Perincian Wilayah Masing-masing kecamatan di Kabupaten

Dairi Tahun 2007 ………51

Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin, Sex Ratio, dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten Dairi ………53 Tabel 4.3 Jumlah Desa/Kelurahan, Luas Ddaerah, Penduduk, dan

Kepadatan Penduduk Menurut Kecamatan di Kabupaten Dairi ………54 Tabel 4.4 PDRB Per Kapita Harga Konstan Kabupaten Dairi Tahun

1994-2007 (dalam Rupiah) ………61 Tabel 4.5 Pertumbuhan PDRB Harga Konstan Kabupaten Dairi Tahun

1994-2007 (dalam %) ………62

Tabel 4.6 Klasifikasi Daerah Kecamatan di Kabupaten Dairi menurut Tipologi Klassen Tahun 1994-2007 ………63 Tabel 4.7 Nilai LQ Kabupaten Dairi Atas Dasar Harga Konstan Tahun

1994 dan 2007 ………74

Tabel 4.8 Tingkat Kemiskinan di Kabupaten Dairi Pasca Otonomi

Daerah ………75

Tabel 4.9 Tingkat Pengangguran di Kabupaten Dairi Pasca Otonomi

Daerah ………....78

Tabel 4.10 PDRB Per Kapita Kabupaten Dairi Menurut Kecamatan

(dalam Rupiah) ………81

Tabel 4.11 Jumlah Penduduk Per Kecamatan di Kabupaten Dairi (Jiwa) ………81 Tabel 4.12 Ketimpangan Pembangunan Antarkecamatan di Kabupaten

Dairi Pasca Otonomi Daerah Menggunakan Formula Indeks Williamson ………..………..82


(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 3.1 Sistem Koordinat x-y dengan Titik Pusat (1,0) ………44 Gambar 4.1 Posisi Perekonomian Kecamatan di Kabupaten Dairi


(14)

ABSTRAKSI

Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi tingkat pembangunan ekonomi daerah Kabupaten Dairi pasca kebijakan otonomi daerah diberlakukan, yakni sejak 1 Januari 2001. Adapun tujuan mendasar dikeluarkannya kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan di setiap daerah kabupaten/kota di Indonesia. Antara lain, mendorong kegiatan perekonomian daerah sehingga memiliki basis ekonomi yang bisa diandalkan, memantapkan posisi perekonomian daerah, mengentaskan kemiskinan, menekan angka pengangguran, dan menghapuskan kesenjangan pembangunan antardaerah.

Adapun data yang digunakan untuk menunjang analisis dalam penelitian ini adalah dalam bentuk time series (runtun waktu) yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara dengan fokus utama Kabupaten Dairi. Dari 15 kecamatan yang ada di Kabupaten Dairi, maka ada 13 kecamatan yang akan dibahas dalam penelitian ini.

Berdasarkan tujuan kebijakan otonomi daerah di atas, maka metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif dengan alat analisis Tipologi Klassen untuk menggambarkan posisi perekonomian masing-masing kecamatan di Kabupaten Dairi yang diteliti, Location Quotient (LQ) untuk mengetahui basis ekonomi sektoral di Kabupaten Dairi, Head Count Index untuk mengetahui tingkat kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Dairi, Indeks Pengangguran untuk melihat tingkat pengangguran di Kabupaten Dairi, dan Williamson Index untuk mengetahui tingkat ketimpangan pembangunan di Kabupaten Dairi.

Kata Kunci: Pembangunan Ekonomi, Otonomi Daerah, Tipologi Daerah, Location Quotient, Head Count Index, Indeks Pengangguran, Williamson Index.


(15)

ABSTRACT

This research attempts to evaluate rate of regional economic development for Dairi Regency after district autonomy practice that is on January 1st 2001. The basic aim of this policy to increase social welfare for all of regency/city in Indonesia. Such as, to stimulate region economy activity to has substantial economic base, to improve region economic position, to fight the poverty, to decrease rate of unemployment, and to destroy gap of development while the region.

The data used in this research to help analysis are time series (secondary data) obtained from central board of statistics Province of North Sumatera with priority on Dairi Regency only. From 15 district in Dairi Regency, 13 district will be analysis on this research.

Based on the aim of district autonomy, the analysis methods applied in this research are Klassen Typology to show economic position of each of district in Dairi Regency include, Location Quotients (LQ) to know economic sectoral base Dairi Regency, Head Count Index to describe rate of poverty in Dairi Regency, Unemployment Index to explain rate of unemployment in Dairi Regency, and Williamson Index to describe rate of development gap in Dairi Regency.

Keywords: Economic Development, District Autonomy, Klassen Typology, Location Quotients, Unemployment Index, Head Count Index, Williamson Indeks.


(16)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terjadinya perubahan ke arah yang lebih baik merupakan esensi dari suatu pembangunan. Mudrajat Kuncoro (2004) melihat pembangunan sebagai suatu proses yang multidimensional. Perubahan yang mencakup beberapa aspek kehidupan seperti dalam struktur sosial, sikap mental, dan lembaga-lembaga sosial. Termasuk akselerasi pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan, dan pemberantasan kemiskinan absolut. Pada umumnya, pembangunan nasional di negara-negara berkembang difokuskan pada pembangunan ekonomi melalui usaha pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi berkaitan erat dengan peningkatan produksi barang dan jasa, antara lain diukur dengan besaran Produk Domestik Bruto (PDB) pada tingkat nasional dan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) pada tingkat daerah.

Dalam bukunya yang berjudul “Beberapa Aspek Pembangunan Regional”, Sirojuzilam menyatakan bahwa pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi ditempatkan pada urutan pertama dari seluruh aktifitas pembangunan nasional. Hal itu dikarenakan oleh pembangunan nasional menuntut biaya yang harus dapat diakumulasi melalui pembangunan itu sendiri. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi amat penting untuk meningkatkan kemampuan bangsa dalam membiayai pembangunan di bidang lain, tanpa mengabaikan bidang lainnya. Membangun ekonomi terkait dengan usaha-usaha pemerataan kembali hasil-hasil pembangunan ke seluruh daerah maupun berupa peningkatan pendapatan


(17)

masyarakat, perluasan kesempatan kerja untuk menekan angka pengangguran. Dan secara bertahap diusahakan suatu pengurangan terhadap tingkat kemiskinan dan keterbelakangan. Pembangunan ekonomi didefinisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan GNP per kapita (Gross National Product) atau pendapatan masyarakat meningkat dalam periode waktu yang panjang (Sirojuzilam, 2005).

Lebih luas, pembangunan ekonomi diartikan sebagai serangkaian usaha (proses) dalam suatu perekonomian untuk mengembangkan ekonominya sehingga infrastruktur lebih banyak tersedia, perusahaan semakin banyak dan semakin berkembang, taraf pendidikan semakin tinggi dan teknologi semakin meningkat (Sadono Sukirno: 2007). Perubahan yang diharapkan melalui pembangunan ekonomi diwujudkan dengan membaiknya tingkat konsumsi masyarakat, investasi swasta, investasi publik, ekspor dan impor yang dihasilkan oleh suatu negara. Berdasarkan pengertian tersebut, maka dapat dipastikan bahwa pembangunan, khususnya dalam bidang ekonomi hanya terjadi di negara sedang berkembang saja.

Daerah merupakan ujung tombak pembangunan ekonomi nasional. Meningkatnya kinerja ekonomi nasional sering diterjemahkan dengan meningkatnya kinerja ekonomi wilayah/daerah. Dalam upaya pembangunan regional, masalah terpenting yang disoroti ahli ekonomi adalah manyangkut proses pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan. Pertumbuhan regional merupakan teori pertumbuhan ekonomi nasional yang disesuaikan pada skala wilayah dengan anggapan dasar bahwa suatu wilayah adalah mini nation

(Tommy Firman dalam Sirojuzilam, 2005). Pembangunan ekonomi daerah adalah suatu proses dimana Pemerintah Daerah dan masyarakatnya mengelola sumber


(18)

daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara Pemerintah Daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. (Arsyad, 1999).

Bagi suatu negara yang mempunyai wilayah yang luas adalah suatu hal yang wajar apabila ada beberapa wilayah yang pertumbuhannya cepat dan beberapa wilayah lainnya mengalami pertumbuhan yang lambat. Walaupun negara yang bersangkutan telah berusaha menerapkan kebijakan pembangunan wilayah agar kesenjangan antar wilayah bisa terhindarkan. Penyebab pokok terjadinya adalah adanya perbedaan struktur industri maupun sektor ekonomi lainnya.

Oleh karena itu, dewasa ini kita sedang menghadapi perubahan kondisi yang sangat penting dan sekaligus mempengaruhi pola pembangunan nasional dan daerah di Indonesia secara keseluruhan. Yakni dengan dilaksanakannya otonomi daerah sejak tanggal 1 Januari 2001 sesuai dengan Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No.25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sejak saat itu, pemerintahan dan pembangunan daerah di seluruh Nusantara telah memasuki era baru yaitu era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Sistem pemerintahan dan pembangunan daerah lama yang sangat sentralisir dan sangat didominasi oleh pemerintah pusat mulai ditinggalkan. Sedangkan pemerintah daerah diberikan wewenang dan sumber keuangan baru untuk mendorong proses pembangunan di daerahnya masing-masing yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan nasional Indonesia secara keseluruhan.


(19)

Dengan dikeluarkannya undang-undang tersebut berarti telah terjadi penguatan yang nyata dan legal terhadap kabupaten/kota dalam menetapkan arah dan target pembangunannya sendiri. Penguatan ini sangat penting karena secara langsung permasalahan yang dirasakan masyarakat di kabupaten/kota dapat diupayakan penyelesaiannya melalui mekanisme yang ada di kabupaten/kota tersebut. Menurut undang-undang ini, otonomi daerah diartikan sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian daerah otonom mempunyai kewenangan yang luas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat, namun tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah bukanlah berarti daerah otonom dapat secara bebas melepaskan diri dari ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dairi merupakan satu dari 401 jumlah kabupaten yang ada di Indonesia yang juga ikut menerapkan kebijakan otonomi daerah. Pemerintah daerah kabupaten Dairi menaruh pengharapan yang besar terhadap kebijakan tersebut dalam rangka mencapai pembangunan daerah kabupaten Dairi secara keseluruhan dan pembangunan ekonomi pada khususnya. Pembangunan ekonomi yang menjadi topik kajian dalam penelitian ini adalah mengenai pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi untuk mengetahui posisi perekonomian antar kecamatan, sektor basis, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, serta ketimpangan pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Dairi.


(20)

Pembangunan ekonomi yang telah dicapai setelah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah perlu dikaji lebih dalam lagi. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis tertarik untuk membuat suatu penelitian berupa skripsi dengan judul “Analisis Evaluasi Pembangunan Ekonomi Daerah Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus Kabupaten Dairi)”.

1.2 Perumusan Masalah

Perumusan masalah merupakan dasar kajian dalam penelitian dengan maksud untuk mempermudah penulisan skripsi. Perumusan masalah juga diperlukan sebagai cara untuk mengambil keputusan di akhir penulisan skripsi. Berdasarkan latar belakang penelitian ini, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana posisi perekonomian masing-masing kecamatan di Kabupaten Dairi pasca otonomi daerah.

2. Apakah yang menjadi sektor unggulan perekonomian Kabupaten Dairi pasca otonomi daerah.

3. Bagaimana tingkat kemiskinan yang terjadi di Kabupaten Dairi pasca otonomi daerah.

4. Bagaimana tingkat pengangguran di Kabupaten Dairi pasca otonomi daerah.

5. Apakah terjadi ketimpangan pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Dairi pasca otonomi daerah.


(21)

1.3 Hipotesis Penelitian

Merupakan jawaban sementara terhadap permasalahan yang menjadi objek penelitian, yang kebenarannya masih perlu dibuktikan atau diuji secara empiris. Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka hipotesis yang menjadi pedoman awal dalam penelitian ini adalah:

1. Posisi perekonomian masing-masing kecamatan di Kabupaten Dairi digolongkan dalam empat karakteristik pola dan struktur pertumbuhan ekonomi yang berbeda. Yaitu, daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah berkembang cepat (high growth but low income), daerah relatif tertinggal (low growth and low income).

2. Dari sembilan sektor ekonomi yang ada, sektor pertanian merupakan sektor unggulan di Kabupaten Dairi.

3. Tingkat kemiskinan masyarakat Kabupaten Dairi semakin berkurang pasca diberlakukannya kebijakan otonomi daerah

4. Tingkat pengangguran di Kabupaten Dairi semakin berkurang pasca diberlakukanya kebijakan otonomi daerah

5. Ketimpangan pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Dairi tidak terjadi pasca otonomi daerah.

1.4 Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan beberapa tujuan yang sangat penting. Adalah sebagai berikut:


(22)

1. Untuk menggambarkan posisi perekonomian setiap kecamatan di Kabupaten Dairi pasca otonomi daerah.

2. Untuk mengetahui sektor unggulan perekonomian Kabupaten Dairi pasca otonomi daerah.

3. Untuk menganalisis tingkat kemiskinan masyarakat Kabupaten Dairi pasca otonomi daerah.

4. Untuk menganalisis tingkat pengangguran di Kabupaten Dairi pasca otonomi daerah.

5. Untuk mengetahui terjadinya ketimpangan pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Dairi pasca otonomi daerah.

1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diperoleh melalui penelitian ini adalah:

1. Bagi pemerintah daerah, khususnya pemerintah daerah Kabupaten Dairi, penelitian ini dijadikan sebagai bahan pertimbangan dan masukan dalam mengambil kebijakan dalam rangka memacu pembangunan ekonomi daerah.

2. Bagi kalangan akademisi, penelitian ini diharapkan sebagai informasi dan bahan masukan, khususnya mahasiswa/i Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara – Departemen Ekonomi Pembangunan yang hendak melakukan penelitian lebih lanjut.

3. Bagi penulis, sebagai proses pembelajaran dan penambah wawasan ilmiah dalam disiplin ilmu yang penulis tekuni serta guna memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan perkuliahan di tingkat Strata 1 (S1).


(23)

BAB II

URAIAN TEORITIS

2.1 Pembangunan Ekonomi

Pembahasan tentang masalah pembangunan ekonomi bukanlah suatu perkembangan baru dalam ilmu ekonomi karena studi tentang pembangunan ekonomi tersebut telah menarik perhatian para pakar ekonomi sejak zaman Kaum Merkantilis, Kaum Klasik, sampai Marx dan Keynes. Ahli-ahli ekonomi tersebut mengemukakan teorinya tentang pembangunan ekonomi. Adam Smith misalnya, yang terkenal dengan bukunya An Inquiry into The Nature and Cause of The Wealth of Nations (1776) mengemukakan bahwa pembangunan ekonomi suatu negara sangat bergantung pada kemampuan negara tersebut dalam menabung dan dorongan berinvestasi. Smith juga memperhatikan ukuran pasar yang dimiliki suatu negara. Sebab luas pasar sangat mempengaruhi volume produksi yang akhirnya tergantung pada tingkat pendapatan. Ukuran pasar dapat mempengaruhi produktivitas dan pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat pendapatan. Tinggi rendahnya tingkat pendapatan sangat berpengaruh terhadap kemampuan untuk menabung dan dorongan berinvestasi.

Selain itu, dalam bukunya yang berjudul The Progress of Wealth (Buku II) yang dikembangkan dari bukunya berjudul Principles of Political Economy

(1820), Thomas Robert Malthus mengemukakan salah satu gagasannya mengenai konsep pembangunan, khususnya bidang ekonomi bahwa pembangunan ekonomi dapat dicapai dengan meningkatkan kesejahteraan penduduk suatu negara.


(24)

Kesejahteraan suatu negara sebagian bergantung pada kuantitas produk yang dihasilkan oleh tenaga kerjanya dan sebagian lagi pada nilai atas produk tersebut. Malthus mendefenisikan masalah pembangunan ekonomi sebagai sesuatu yang menjelaskan perbedaan Gross National Product potensial (“kemampuan menghasilkan kekayaan”) dan Gross National Product actual (“kekayaan aktual”). Tetapi masalah pokoknya adalah bagaimana mencapai tingkat Gross National Product potensial yang tinggi. Mudrajat Kuncoro (2004) juga memberikan gagasannya bahwa pembangunan ekonomi adalah suatu proses yang bersifat multidimensional yang melibatkan kepada perubahan besar, baik terhadap struktur ekonomi, perubahan sosial, mengurangi atau menghapuskan kemiskinan, mengurangi ketimpangan, dan pengangguran dalam konteks pertumbuhan ekonomi.

Akhirnya disadari bahwa pengertian pembangunan itu sangat luas, bukan hanya sekedar bagaimana menaikkan Produk Domestik Bruto (PDB) per tahun saja, melainkan juga memperhatikan kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan kualitas hidup masyarakatnya. Dengan demikian, pembangunan ekonomi pada umumnya didefenisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan. Pembangunan ekonomi perlu dipandang sebagai kenaikan dalam pendapatan per kapita karena kenaikan itu merupakan penerimaan dan timbulnya perbaikan dalam kesejahteraan ekonomi masyarakat. Biasanya laju pembangunan ekonomi suatu negara ditunjukkan dengan menggunakan tingkat pertumbuhan PDB/PNB.


(25)

Arsyad (1999) mendefenisikan pembangunan ekonomi daerah sebagai suatu proses di mana pemerintah daerah dan masyarakatnya mengelola sumber daya-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dan sektor swasta untuk menciptakan suatu lapangan kerja baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam wilayah tersebut. Masalah pokok pembangunan daerah adalah terletak pada penekanan terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan daerah yang bersangkutan (endogenous development) dengan menggunakan potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumber daya fisik secara lokal (daerah). Orientasi ini mengarahkan kita kepada pengambilan inisiatif-inisiatif dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi. Perbedaan kondisi daerah membawa implikasi bahwa corak pembangunan yang diterapkan berbeda pula. Duplikasi mentah-mentah pola kebijakan yang pernah diterapkan dan berhasil pada suatu daerah, belum tentu memberikan manfaat yang sama bagi daerah lainnya.

Safi’i (2007) menyatakan bahwa asumsi yang melatarbelakangi konsep pertumbuhan ekonomi adalah dengan tingginya tingkat pertumbuhan, maka pemerataan pendapatan dapat dicapai. Artinya, pembangunan ekonomi harus terlebih dahulu mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, baru kemudian pemerataan ekonomi akan tampak. Dengan demikian, tingkat pertumbuhan ekonomi tidak selalu berbanding lurus (linier) dengan tingkat pemerataan pendapatan.


(26)

2.2 Otonomi Daerah

Pada saat ini negara Indonesia sedang menghadapi perubahan kondisi yang sangat penting dan sekaligus mempengaruhi pola pembangunan nasional dan daerah secara keseluruhan. Salah satunya adalah dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah sejak 1 Januari 2001 sesuai dengan Undang-undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Sejak saat itu, pemerintahan dan pembangunan daerah di seluruh nusantara telah memasuki era baru yaitu era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pemerintah daerah diberikan wewenang dan sumber keuangan baru untuk mendorong proses pembangunan di daerahnya masing-masing yang selanjutnya akan mendorong proses pembangunan nasional Indonesia secara keseluruhan.

Perubahan sistem pemerintahan dan pengelolaan pembangunan daerah tersebut, tentunya akan menimbulkan perubahan yang cukup drastis dalam pengelolaan pembangunan daerah. Pola pembangunan daerah dan sistem perencanaan yang selama ini cenderung seragam, mulai berubah dan cenderung bervariasi tergantung pada potensi dan permasalahan pokok yang dialami oleh daerah yang bersangkutan. Kebijaksanaan pembangunan yang selama ini hanya merupakan pendukung dari kebijaksanaan nasional mulai sekarang ini mengalami perubahan sesuai dengan keinginan dan aspirasi yang berkembang di daerah. Sementara itu, antara sesama daerah tersebut terjadi pula persaingan untuk memacu pertumbuhan ekonomi ekonomi dan kesejahteraan sosial masing-masing daerah. Dengan demikian, pola dan sistem pembangunan daerah ke depan


(27)

diperkirakan akan sangat berbeda dibandingkan dengan apa yang telah kita alami dalam era sentralisasi.

Perkataan otonomi berasal dari bahasa Yunani, outonomous yang berarti pengaturan sendiri atau pemerintahan sendiri. Menurut Encyclopedia of Social Science, pengertian otonomi adalah the legal self sufficiency of social body and its actual independence. Dengan demikian, otonomi menyangkut dua hal pokok yaitu, kewenangan untuk membuat hukum sendiri (own laws) dan kebebasan untuk mengatur pemerintahan sendiri (self government). Hak atau wewenang tersebut meliputi pengaturan pemerintahan dan pengelolaan pembangunan yang diserahkan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah.

Pada dasarnya ada tiga alasan pokok mengapa diperlukan otonomi daerah tersebut (Hidayat Syarief dalam Sjahfrizal, 2008). Pertama, adalah Political Equality yaitu, guna meningkatkan partisipasi politik masyarakat pada tingkat daerah. Hal ini penting artinya untuk meningkatkan demokratisasi dalam pengelolaan negara. Kedua, adalah Local Accountability, yaitu meningkatkan kemampuan dan tanggung jawab pemerintah daerah dalam mewujudkan hak dan aspirasi masyarakat di daerah. Hal ini penting dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial di masing-masing daerah. Ketiga,

adalah Local Responsiveness yaitu meningkatkan tanggung jawab pemerintah daerah terhadap masalah-masalah sosial-ekonomi yang terjadi di daerahnya. Unsur ini sangat penting bagi peningkatan upaya pembangunan dan peningkatan kesejahteraan sosial di daerah.

Kebijakan ini dirasakan semakin penting oleh karena Indonesia memiliki 33 propinsi dengan 498 kabupaten/kota yang secara sosial dan budaya sangat


(28)

beragam. Keberagaman ini tentu saja akan menghasilkan perbedaan karakteristik faktor produksi yang dimiliki. Tidak jarang kebijakan nasional pembangunan ekonomi yang telah dirumuskan dan disepakati sulit mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan pada semua daerah dengan karakteristik yang berbeda tersebut. Kebijakan nasional pembangunan ekonomi yang diambil pemerintah pusat tidak menyentuh perekonomian daerah secara menyeluruh.

Keinginan untuk mewujudkan otonomi daerah di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama. Sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945, otonomi daerah sudah sejak semula didambakan oleh bangsa Indonesia ndan diharapkan akan dapat dilaksanakan sesegera mungkin. Walaupun dalam Undang-undang N0., 5 Tahun 1974 secara formal juga dimaksudkan untuk dapat mewujudkan otonomi daerah tersebut, akan tetapi bagaimana sistem untuk melaksanakannya tidaklah tertera begitu jelas. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana pelaksanaan otonomi daerah tersebut dalam masa Orde Baru tidak dapat diwujudkan sebagaimana diharapkan walaupun undang-undang tersebut telah duterapkan selama 25 tahun.

Selama lebih dari lima dekade, terhitung sejak diproklamirkannya kemerdekaan Republik Indonesia, pemerintah pusat berwenang dan bertanggung jawab penuh atas kebijakan dan tugas umum pemerintahan serta implementasi pembangunan di daerah. Termasuk penentuan program-program dan proyek-proyek pembangunan sampai kepada hal-hal yang bersifat teknis. Sentralisasi yang demikian besar ternyata telah menimbulkan permasalahan pembangunan daerah yang sangat serius. Pertama, proses pembangunan secara keseluruhan menjadi kurang efisien dan mendorong terjadinya ketimpangan wilayah. Sebab,


(29)

sistem pembangunan yang terpusat cenderung mengambil kebijakan yang seragam dan mengabaikan perbedaan potensi daerah yang ada. Dengan demikian banyak potensi daerah, baik sumber daya alam maupun sumber daya manusia yang tidak termanfaatkan secara maksimal. Wilayah yang potensi daerahnya kebetulan sesuai dengan kebijaksanaan dari pusat akan dapat bertumbuh dengan pesat. Sedangkan daerah yang potensinya tidak sesuai dengan prioritas pusat akan cenderung tertekan. Akibatnya adalah semakin melebarnya tingkat ketimpangan pembangunan antarwilayah, yang selanjutnya mendorong terjadinya keresahan sosial di daerah. Kedua, sistem pembangunan yang terpusat akan menimbulkan ketidakadian dalam alokasi sumber daya nasional, terutama dana pembangunan. Hal ini terlihat dari banyaknya propinsi atau kabupaten/kota yang kaya dengan sumber daya alam, akan tetapi tingkat kesejahteraan masyarakatnya ternyata masih sangat rendah dan ketinggalan dibandingkan dengan daerah lainnya. Hal ini mengakibatkan daerah-daerah tidak memiliki peluang atau kesempatan penuh untuk melakukan pembangunan. Pertumbuhan ekonomi daerah atau Produk Domestik Regional Bruto (Gross Domestic Regional Product) relatif sangat lamban serta panjangnya birokrasi pelayanan publik karena harus menunggu petunjuk dari pemerintah pusat. Di samping itu, daerah tidak bisa menolak secara langsung kebijakan-kebijakan pusat yang diberlakukan, walaupun pada kenyataannya kebijakan tersebut kurang prioritas dan kurang tepat sasaran untuk diterapkan di daerah (Sjahfrizal, 2008).

Karena adanya kelemahan tersebut, maka tuntutan untuk mengurangi sentralisasi pembangunan semakin lama smakin besar. Puncaknya terjadi pada era reformasi, dimana masyarakat menuntut untuk dilaksanakannya perubahan secara


(30)

mendasar dalam sistem pemerintahan dan pembangunan daerah guna memperbaiki proses pembangunan secara keseluruhan. Di samping itu, sebagai salah satu cara untuk mempercepat proses pemulihan ekonomi dari akibat krisis moneter.

2.3 Tipologi Daerah

Pengelompokan posisi perekonomian daerah berdasarkan pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan disebut dengan Tipologi Daerah. Tipologi Klassen digunakan sebagai alat analisis untuk mengetahui gambaran tentang pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Dengan menggunakan Matrix Klassen, maka pada dasarnya pengelompokan daerah dapat dilakukan berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan per kapita sebagai sumbu horizontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi, yaitu (1) daerah cepat maju dan cepat tumbuh (high growth and high income), daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata kabupaten; (2) daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten; (3) daerah berkembang cepat (high growth but low income), daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan tinggi, tetapi tingkat pendapatan per kapita lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten; (4) daerah relatif tertinggal (low growth and low income), daerah yang memiliki tingkat


(31)

pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten.

Tabel 2.1

Klasifikasi Daerah Berdasarkan Tipologi Klassen

(yi > y) (yi < y)

(ri > r) Pendapatan tinggi dan

pertumbuhan tinggi

Pendapatan rendah dan pertumbuhan tinggi (ri < r) Pendapatan tinggi dan

pertumbuhan rendah

Pendapatan rendah dan pertumbuhan rendah

Namun demikian, perlu dicatat bahwa pengelompokan ini adalah bersifat dinamis karena sangat tergantung pada perkembangan kegiatan pembangunan pada daerah yang bersangkutan. Ini berarti bahwa dalam beberapa tahun ke depan, pengelompokan akan dapat berubah sesuai dengan perkembangan laju pertumbuhan dan tingkat pendapatan per kapita daerah yang bersangkutan. Perubahan tersebut akan mudah terjadi pada daerah-daerah yang kondisinya telah berada dekat dengan batas rata-rata dari tingkat pertumbuhan dan pendapatan per kapita.

2.4 Teori Basis Ekonomi (Economic Base Theory)

Teori basis ekonomi (Economic Base Theory) mendasarkan pandangannya bahwa laju pertumbuhan ekonomi suatu wilayah ditentukan oleh besarnya peningkatan ekspor dari wilayah tersebut. Teori ekonomi basis

PDRB per Kapita (y) Pertumbuhan Ekonomi (r)


(32)

mengklasifikasikan seluruh kegiatan ekonomi ke dalam dua sektor, yaitu sektor basis dan sektor non basis. Kegiatan basis merupakan kegiatan suatu masyarakat yang hasilnya baik berupa barang maupun jasa ditujukan untuk ekspor ke luar dari lingkungan masyarakat atau yang berorientasi keluar, regional, nasional, dan internasional. Sedangkan kegiatan non basis merupakan kegiatan masyarakat yang hasilnya baik berupa barang atau jasa diperuntukkan bagi masyarakat itu sendiri dalam kawasan kehidupan ekonomi masyarakat tersebut. Konsep swsembada, mandiri, kesejahteraan dan kualitas hidup sangat menentukan dalam kegiatan non basis ini. Karena sifatnya yang memenuhi kebutuhan lokal, permintaan sektor ini sangat dipengaruhi oleh tingkat pendapatan masyarakat setempat. Oleh karena itu, kenaikannya sejalan dengan kenaikan pendapatan masyarakat setempat. Dengan demikian, sektor ini terikat kepada kondisi ekonomi setempat dan tidak bisa berkembang melebihi pertumbuhan ekonomi wilayah. Atas dasar anggapan inilah, maka dikatakan bahwa satu-satunya sektor yang bisa meningkatkan perekonomian wilayah melebihi pertumbuhan alamiah adalah sektor basis. Dalam pengertian regional, ekspor adalah menjual produk/jasa ke luar wilayah baik ke wilayah lain dalam negara itu maupun ke luar negeri. Tenaga kerja yang berdomisili di wilayah kita, tetapi bekerja dan memperoleh uang dari wilayah lain termasuk dalam pengertian ekspor.

Salah satu metode yang umum digunakan dalam model basis ekonomi sebagai langkah awal untuk memahami sektor kegiatan yang menjadi pemacu pertumbuhan secara tidak langsung adalah model Location Quotient (LQ). Metode LQ mengukur konsentrasi relatif atau derajat spesialisasi kegiatan ekonomi melalui pendekatan perbandingan. Teknik LQ banyak digunakan untuk


(33)

membahas kondisi perekonomian, mengarah kepada identifikasi spesialisasi kegiatan perekonomian atau mengukur konsentrasi relatif kegiatan ekonomi untuk mendapatkan gambaran dalam penetapan sektor unggulan sebagai leading sector

suatu kegiatan ekonomi (industri). Dasar pembahasannya sering difokuskan pada aspek tenaga kerja dan pendapatan.

Perkembangan LQ bisa dilihat untuk suatu sektor tertentu pada kurun waktu yang berbeda, apakah terjadi kenaikan atau penurunan. Hal ini bisa memancing analisis lebih lanjut, misalnya apabila naik dilihat faktor-faktor yang membuat daerah yang bersangkutan tumbuh lebih cepat dari rata-rata nasional. Demikian pula apabila turun, dikaji faktor-faktor yang membuat daerah tersebut tumbuh lebih lambat dari rata-rata nasional. Hal ini bisa membantu untuk melihat kekuatan atau kelemahan suatu wilayah dibandingkan secara relatif dengan wilayah yang lebih luas. Adapun faktor-faktor yang membuat potensi sektor di suatu wilayah lemah, perlu dipikirkan apakah harus ditanggulangi atau dianggap tidak prioritas.

Identifikasi dan pengembangan sektor-sektor unggulan merupakan langkah strategis bagi daerah, karena beberapa alasan berikut:

1. Sektor unggulan dapat dijadikan arah, sasaran dan prioritas pembangunan daerah agar pembangunan daerah dapat berlangsung dengan lebih efektif dan efisien, terutama karena keterbatasan sumber daya daerah. Alokasi sumber daya tidak mungkin diterimakan secara merata pada seluruh sektor yang ada, tetapi harus difokuskan pada sektor tertentu berdasarkan skala prioritas.


(34)

2. Sektor unggulan dapat berfungsi sebagai motor penggerak sektor-sektor perekonomian secara keseluruhan. Selain memacu sektor secara internal, sektor unggulan juga dapat mendorong pertumbuhan sektor-sektor lainnya dengan adanya keterkaitan antar sektor (backward and forward linkages). 3. Mengingat posisi strategis yang dimiliki suatu daerah baik dilihat dari

letak geografis maupun posisinya sebagai titik-titik pertumbuhan (aglomerasi), maka sektor unggulan diharapkan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah-daerah di sekitarnya (hinterland).

Dengan asumsi bahwa semua penduduk di setiap daerah mempunyai pola permintaan yang sama dengan pola permintaan pada tingkat nasional (pola pengeluaran secara geografis sama), produktivitas tenaga kerja sama, dan setiap industri menghasilkan barang yang homogen pada setiap sektor.

2.5 Kemiskinan

Kemiskinan merupakan refleksi dari ketidakmampuan seseorang untuk memenuhi kebutuhannya sesuai dengan standard yang berlaku. Tujuan utama dari usaha-usaha pembangunan ekonomi selain menciptakan pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya, harus pula menghapus atau mengurangi tingkat kemiskinan. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang dihadapi berbagai wilayah baik yang sudah maju maupun yang kurang maju. Masyarakat miskin umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan keterbatasan akses terhadap prasarana, modal dan kegiatan sosial ekonomi lainnya sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lain yang mempunyai potensi yang lebih tinggi. Kemiskinan menghambat tercapainya pembangunan wilayah, pemerataan


(35)

pembangunan dan demokrasi ekonomi. Oleh karena itu, pengentasan kemiskinan harus menjadi prioritas dalam pembangunan nasional dan pembangunan wilayah.

Menurut Adisasmita (2005) kemiskinan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Kemiskinan kronis (chronic poverty) atau kemiskinan struktural (structural poverty) yang terjadi terus menerus. Kemiskinan jenis ini disebabkan oleh beberapa hal seperti berikut:

1. Kondisi sosial budaya yang mendorong sikap dan kebiasaan hidup masyarakat yang tidak produktif;

2. Keterbatasan sumber daya dan keterisolasian, terutama penduduk yang tinggal di wilayah-wilayah kritis sumber daya alam dan wilayah terpencil;

3. Rendahnya taraf pendidikan dan dan derajat kesehatan, terbatasnya lapangan kerja, dan ketidakberdayaan masyarakat dalam kegiatan ekonomi pasar.

2. Kemiskinan sementara (transient poverty). Dapat disebabkan oleh hal-hal seperti berikut:

1. Perubahan siklus ekonomi dari kondisi normal menjadi krisis ekonomi; 2. Perubahan yang bersifat musiman, seperti kasus kemiskinan nelayan

dan pertanian tanaman pangan;

3. Bencana alam atau dampak dari suatu kebijakan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat atau wilayah-wilayah tertentu.


(36)

Ada 2 (dua) macam ukuran kemiskinan yang umum digunakan, yaitu

kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif.

Menurut World Bank, cakupan kemiskinan absolut adalah sejumlah penduduk yang tidak mampu mendapatkan sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar. Mereka hidup di bawah tingkat pendapatan riil minimum tertentu atau di bawah garis kemiskinan internasional. Garis tersebut tidak mengenal tapal batas antar negara, tidak tergantung pada tingkat pendapatan per kapita di suatu negara, dan juga memperhitungkan perbedaan tingkat harga antar negara dengan mengukur penduduk miskin sebagai orang yang hidup kurang dari US$1 atau $2 per hari dalam dolar PPP (Purchasing Power Parity) atau paritas daya beli. Tentu saja, orang tidak akan menerima level kemiskinan tersebut begitu saja ketika membuat program penanggulangan kemiskinan di daerahnya. Salah satu strategi praktis untuk menentukan garis kemiskinan lokal adalah dengan menetapkan sekelompok makanan yang cukup, yang didasarkan atas persyaratan nutrisi dari penelitian meis tentang kalori, protein, dan mikronutrien yang dibutuhkan tubuh. Kemudian ditambahkan pengeluaran-pengeluaran untuk kebutuhan dasar yang lain, seperti pakaian, tempat tinggal, dan sarana kesehatan. Sedangkan menurut kriteria Badan Pusat Statistik (BPS) dikemukakan bahwa seseorang disebut miskin (miskin absolut) apabila pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang minimum dalam makanan, pakaian, standar kebutuhan makanan minimal yang digunakan adalah 2.100 kalori per kapita per hari. Kemiskinan absolut dapat diukur dengan angka atau hitungan per kepala (headcount).


(37)

Sedangkan kemiskinan relatif ialah orang yang sudah mempunyai tingkat pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan dasar minimum, namun masih tergolong miskin. Walaupun pendapatan seseorang sudah mencapai tingkat kebutuhan dasar minimum, tetapi jika masih jauh lebih rendah dari pemenuhan kebutuhan hidup sederhana, maka orang atau keluarga tersebut masih berada dalam keadaan miskin. Ini terjadi karena kemiskinan lebih banyak ditentukan oleh lingkungan (orang dan keluarga yang bersangkutan).

Indikator Kemiskinan

Kemiskinan yang menimpa sekelompok masyarakat berhubungan erat dengan status sosial ekonominya dan potensi wilayah. Faktor sosial ekonomi adalah faktor yang berasal dari dalam diri masyarakat itu sendiri dan cenderung melekat pada dirinya seperti tingkat pendidikan dan keterampilan rendah. Sedangkan faktor yang berasal dari luar berhubungan dengan potensi alamiah, teknologi, dan rendahnya aksesibilitas terhadap kelembagaan yang ada. Indikator-indikator kemiskinan yang digunakan secara umum adalah tingkat upah, pendapatan, konsumsi, mortalitas anak usia balita, imunisasi, kekurangan gizi anak, tingkat fertilitas, tingkat kematian ibu, harapan hidup rata-rata, tingkat penyerapan anak usia sekolah dasar, proporsi pengeluaran pemerintah unutuk pelayanan kebutuhan dasar masyarakat, pemenuhan bahan pangan (kalori/protein), air bersih, perkembangan penduduk, melek huruf, urbanisasi, pendapatan per kapita, dan distribusi pendapatan. Secara umum dapat dikatakan bahwa kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan aspek-aspek material saja, tetapi juga berhubungan dengan aspek non material. Berkaitan dengan hal tersebut,


(38)

maka indikator kemiskinan dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu indikator ekonomi dan indikator sosial baik secara fisik maupun non fisik.

Tabel 2.2

Indikator Kemiskinan

Indikator Kemiskinan Fisik Non Fisik

Ekonomi 1. Kepemilikan lahan 2. Lahan garapan 3. Kualitas rumah 4. Perabot rumah tangga 5. Sarana transportasi

1. Pendapatan keluarga

2. Pengeluaran untuk perumahan 3. Pengeluaran untuk pendidikan 4. Pengeluaran untuk kesehatan 5. Pengeluaran untuk pangan Sosial 1. Fasilitas pendidikan

2. Fasilitas kesehatan 3. Fasilitas sampah 4. Fasilitas air bersih 5. Fasilitas sanitasi

1. Tidak buat huruf 2. Kesehatan ibu 3. Kesehatan balita

4. Penyerapan anak usia SD 5. Kegotongroyongan

Indikator-indikator kemiskinan tersebut di atas merupakan pengembangan dan/atau penyederhanaan indikator-indikator kemiskinan yang banyak digunakan. Hal ini dimaksudkan untuk memaparkan pengukuran kemiskinan secara lebih realistis sehingga upaya penanganannya dapat dilakukan secara optimal.

Pengangguran

Dalam pembangunan ekonomi di negara berkembang, pengangguran yang semakin bertambah jumlahnya merupakan masalah yang lebih rumit dan lebih serius dari masalah perubahan dalam distribusi pendapatan yang kurang menguntungkan penduduk yang berpendapatan terendah. Keadaan di negara berkembang dalam beberapa dasawarsa ini menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak sanggup menciptakan kesempatan kerja yang lebih cepat dari pertambahan penduduk. Oleh karenanya, masalah pengangguran yang dihadapi


(39)

dari tahun ke tahun semakin lama semakin bertambah serius. Kesempatan kerja bagi penduduk atau masyarakat akan memberikan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Penyebab utama rendahnya taraf hidup di negara-negara berkembang adalah kurangnya pemanfaatan tenaga kerja dan adanya penggunaan tenaga kerja yang tidak efisien dibandingkan dengan negara-negara maju.

Jenis-jenis Pengangguran

Berdasarkan faktor-faktor penyebabnya, maka pengangguran dapat dibedakan sebagai berikut:

1. Pengangguran Friksional

Friksional atau frictional berarti gesekan. Jadi, pengangguran friksional adalah pengangguran yang disebabkan oleh suatu hambatan yang menyebabkan proses bertemunya penawaran dan permintaan tenaga kerja menjadi tidak lancar. Pengangguran trjadi karena ketidaklancaran mekanisme pasar saja. Pada dasarnya ada dua penyebab hambatan ini, yaitu karena tempat dan waktu. Seorang pencari kerja mungkin pada suatu saat tahu bahwa di lain tempat terdapat permintaan tenaga kerja, namun untuk sampai ke lokasi tersebut dibutuhkan persiapan. Jika ia tidak sampai di sana tepat waktu, hal ini dapat dihambat oleh perbedaan tempat. Jika persiapan untuk ke lokasi tersebut memadai, maka waktulah yang menjadi hambatan utamanya. Selain itu, pencari kerja harus mengumpulkan informasi tentang lowongan kerja. Apabila lokasi tersebut jaraknya lebih jauh, maka pencari kerja membutuhkan waktu lebih lama sebelum memutuskan untuk pergi. Sementara ia mengumpulkan informasi, mempertimbangkan, mengadakan


(40)

persiapan sebelum berangkat, dan sebagainya, maka ia dikategorikan sebagai penganggur atau pencari kerja.

2. Pengangguran Musiman

Kegiatan ekonomi masyarakat sering terpengaruh oleh musim. Ada masa “ramai” sehingga banyak permintaan tenaga kerja dan ada masa dimana kegiatan mengendur. Pergantian antara masa ramai dan masa kendur terjadi secara teratur dalam periode satu tahun. Selama kegiatan mengendur, terjadi pengangguran demikian sebaliknya. Contoh yang paling klasik adalah terjadi di sektor pertanian. Pada saat penyiapan lahan untuk ditanami dan dilanjutkan ke penanaman mungkin dibutuhkan tenaga kerja yang banyak. Namun, pada saat tanaman tumbuh, tenaga kerja yang dibutuhkan menurun drastis. Permintaan tenaga kerja akan meningkat kembali pada masa panen hasil.

Penyebab utama irama ini adalah iklim alam yang berlaku. Selain itu, perilaku manusia juga dapat menjadi penyebabnya. Misalnya, musim-musim sibuk menjelang Lebaran, Natal, atau tahun baru menyebabkan perbedaan perilaku ekonomi. Demikian juga dengan masa-masa liburan wisata dan sebagainya. Ditinjau dari segi pasar, ketidakseimbangan yang terjadi bersifat musiman sehingga pengangguran yang terjadi juga diberi predikat musiman.

3. Pengangguran Siklikal

Dalam kegiatan ekonomi, ada kalanya terjadi ekspansi kegiatan ekonomi. Timbul kejenuhan dan penurunan kegiatan. Setelah itu diikuti oleh kenaikan intensitas lagi. Pada masa ekspansi, orang biasanya penuh dengan optimisme. Dalam situasi seperti ini, dampaknya terhadap kesempatan kerja adalah positif. Kenaikan permintaan terhadap kesempatan kerja akan mengurangi pengangguran.


(41)

Hal sebaliknya akan terjadi apabila orang telah kehilangan kepercayaan terhadap peluang di masa depan. Sikap pesimisme yang timbul membawa dampak negatif bagi kesempatan kerja. Hal ini akan menyebabkan naiknya tingkat pengangguran. Sebenarnya pengangguran seperti ini mirip dengan pengangguran musiman. Namun, pengangguran siklikal terjadi dalam jangka yang lebih panjang. Lebih memberatkan lagi bahwa belum tentu orang yang menikmati enaknya dipekerjakan pada masa ekonomi sibuk mendapatkan tempat yang sama enaknya pada saat ekonomi membaik setelah terjadinya resesi. Apalagi kalau ia kalah bersaing untuk memperebutkan tempatnya semula. Pergeseran-pergeseran individual yang terjadi di samping penderitaan selama pengangguran merupakan problem yang lebih berat daripada dalam kasus pengangguran musiman.

4. Pengangguran Struktural

Salah satu dampak kemajuan ekonomi adalah terjadinya perubahan dominasi peranan ekonomi yang dimainkan oleh setiap sektor dalam kegiatan produksi maupun dalam pemberian kesempatan kerja. Misalnya, peranan sektor pertanian turun dan peranan sektor manufaktur dan sektor jasa meningkat. Hal ini berakibat pada penurunan daya serap tenaga kerja di sektor pertanian. Mereka yang tinggal di pedesaan dan yang terbiasa bekerja di sektor pertanian harus beralih ke sektor lain karena semakin kecilnya peluang di sektor pertanian. Selain itu yang termasuk dalam pengangguran struktural misalnya, selama proses pertumbuhan ekonomi mungkin ada satu subsektor lain yang berkembang, umpamanya kehutanan. Perubahan subsektor seperti ini berdampak sejenis dan menimbulkan perubahan sektoral. Banyak aspek pekerjaan mempunyai tuntutan dan persyaratan yang belum tentu dapat dipenuhi oleh penawaran tenaga kerja


(42)

dari sektor dan subsektor lain. Hubungan kerjanya lebih formal, budaya kerjanya lebih kaku. Diantara penyebab itu, mungkin yang paling langsung adalah tuntutan keterampilan yang tidak dapat dipenuhi dalam waktu singkat.

5. Pengangguran Teknologi

Dala perkembangan kegiatan industri, dapat diamati bahwa teknologi yang digunakan dalam proses produksi selalu berubah. Laju perubahan itu semakin hari semakin cepat. Perubahan teknologi produksi berdampak terhadap kesempatan kerja. Peran yang melekat pada kecanggihan teknologi mengandung unsur substitutif berdampak negatif bagi kesempatan kerja berupa masalah pengangguran. Sebagai contoh, adanya perubahan sistem kerja di beberapa industri yang menggantikan tenaga manusia menjadi tenaga besi yang digerakkan oleh teknologi mutakhir (tenaga robot).

6. Pengangguran karena Kurangnya Permintaan Agregat

Permintaan total masyarakat merupakan dasar untuk mendorong kegiatan investasi. Pengeluaran investasi meberikan peluang sehingga terciptanya kesempatan kerja. Bila permintaan terhadap barang dan jasa lesu, maka timbul pula kelesuan pada permintaan tenaga kerja. Profil yang perlu diketahui adalah tempat terjadinya pengangguran menurut sektor ekonomi, sektor pertanian, pertambangan, atau sektor lainnya. Selanjutnya, distribusi menurut pendidikan. Penganggur tidak terdidik dapat lebih mudah ditangani karena biasanya kesempatan kerja untuk mereka labih besar sehingga kemungkinan untuk memperoleh pekerjaan lebih besar. Akan tetapi, kemungkinan lain orang yang berpendidikan rendah sulit menyesuaikan diri dengan keterampilan baru.


(43)

Penganggur terdidik lebih mudah diarahkan dan dicarikan penyelesaiannya. Golongan ini justru diminta untuk mampu menciptakan lapangan kerja.

Ketimpangan Pembangunan Daerah

Masalah ketimpangan ekonomi antar daerah tidak hanya tampak pada wajah ketimpangan perekonomian Pulau Jawa dan Luar Pulau Jawa, melainkan juga antar Kawasan Barat Indonesia (Kabarin) dan Kawasan Timur Indonesia (Katimin). Proses akumulasi dan mobilisasi sumber-sumber, berupa akumulasi modal, keterampilan tenaga kerja dan sumber daya alam yang dimiliki oleh suatu daerah merupakan pemicu dalam laju pertumbuhan ekonomi wilayah yang bersangkutan. Adanya heterogenitas dan beragam karakteristik suatu wilayah menyebabkan kecenderungan terjadinya ketimpangan antar daerah dan antar sektor ekonomi suatu daerah. Perbedaan tingkat kemajuan antar daerah yang berlebihan akan menyebabkan pengaruh yang merugikan (backwash effects)

mendominasi pengaruh yang menguntungkan (spread effects) terhadap pertumbuhan daerah, dalam hal ini mengakibatkan proses ketidakseimbangan (Myrdal dalam Kuncoro, 2004). Ketimpangan ekonomi antar wilayah merupakan fenomena umum yang terjadi dalam proses pembangunan ekonomi daerah.

Secara teoritis, permasalahan ketimpangan pembangunan antar wilayah mula-mula dikemukakan oleh Douglas C. North dalam analisanya tentang Teori Pertumbuhan Neo-Klasik. Dalam teori tersebut dimunculkan sebuah prediksi tentang hubungan antara tingkat pembangunan. ekonomi nasional suatu negara dengan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Hipotesa ini kemudian lazim


(44)

dikenal dengan Hipotesa Neo-Klasik yang telah menarik perhatian para ekonom dan perencana pembangunan daerah.

2.7.1 Faktor yang Menyebabkan Terjadinya Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah

Tidak dapat disangkal bahwa ada beberapa faktor utama yang menyebabkan atau memicu terjadinya ketimpangan pembangunan wilayah tersebut. Bahkan kebijakan yang dilakukan suatu daerah dapat pula mempengaruhi ketimpangan pembangunan regional. Faktor-faktor utama yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Perbedaan kandungan sumber daya alam

Indonesia merupakan suatu negara kepulauan yang sangat besar. Demikian pula dengan kandungan sumber daya alam sangat besar pada masing-masing daerah. Ada daerah yang mempunyai minyak dan gas alam, tetapi daerah lainnya tidak mempunyai. Ada daerah yang mempunyai deposit batubara yang cukup besar, tetapi daerah lain tidak mempunyai. Demikian pula halnya dengan tingkat kesuburan lahan yang juga sangat bervariasi sehingga mempengaruhi upaya untuk mendorong pembangunan pertanian pada masing-masing daerah. Perbedaan kandungan sumber daya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam yang cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan dengan daerah lain yang mempunyai kandungan sumber daya alam lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai


(45)

kandungan sumber daya alam lebih kecil hanya akan dapat memproduksi barang-barang dengan biaya produksi lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi ini menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Dengan demikian, terlihat bahwa perbedaan kandungan sumber daya alam ini dapat mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antarwilayah yang lebih tinggi pada suatu negara.

2. Perbedaan kondisi demografis

Kondisi demografis yang dimaksudkan di sini meliputi perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan, dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat bersangkutan. Pengaruhnya terhadap ketimpangan pembangunan antarwilayah karena hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas kerja masyarakat pada daerah bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik akan cenderung mempunyai produktivitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. Sebaliknya, bila pada suatu daerah tertentu kondisi demografisnya kurang baik maka hal ini akan menyebabkan relatif rendahnya produktivitas kerja masyarakat setempat yang menimbulkan kondisi yang kurang menarik bagi penanaman modal sehingga pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan akan menjadi lebih rendah.

3. Kurang lancarnya mobilitas barang dan jasa

Mobilitas barang (perdagangan) antardaerah jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antarwilayah. Sebagaimana telah ditunjukkan oleh


(46)

Teori Heckser-Ohlin dalam Ilmu Ekonomi Internasional bahwa bila kegiatan perdagangan internasional dan antarwilayah kurang lancar maka proses penyamaan harga faktor produksi (Factor Price Equilization) akan terganggu. Akibatnya penyebaran proses pembangunan akan terhambat dan ketimpangan pembangunan antarwilayah akan cenderung menjadi tinggi. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antardaerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya, karena bila mobilitas tersebut kurang lancar, maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkannya. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antarwilayah akan cenderung tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang membutuhkan sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya. Karena itu, tidaklah mengherankan bilamana ketimpangan pembangunan antarwilayah akan cenderung tinggi pada negara sedang berkembang dimana mobilitas barang dan jasa kurang lancar dan masih terdapatnya beberapa daerah yang terisolir.

4. Konsentrasi kegiatan ekonomi wilayah

Konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah yang cukup tinggi akan cenderung mendorong meningkatnya ketimpangan pembangunan antarwilayah karena proses pembangunan daerah akan lebih cepat pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih tinggi. Demikian pula sebaliknya, terjadi pada daerah dengan konsentrasi kegiatan ekonomi yang lebih rendah.


(47)

Pertumbuhan ekonomi akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Dmikian pula, apabila konsentrasi kegiatan ekonomi pada suatu daerah relatif rendah yang selanjutnya juga mendorong terjadinya pengangguran dan rendahnya tingkat pendapatan masyarakat setempat. Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, terdapatnya sumber daya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu, misalnya minyak bumi, gas, batubara dan bahan mineral lainnya. Terdapatnya lahan yang subur juga tirut mempengaruhi, khususnya menyangkut pertumbuhan kegiatan pertanian. Kedua, meratanya fasilitas transportasi, baik darat, laut, dan udara juga ikut mempengaruhi konsentrasi kegiatan ekonomi antardaerah. Ketiga, kondisi demografis (kependudukan) juga ikut mempengaruhi karena kegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi dimana sumber daya manusia tersedia dengan kualitas yang lebih baik.

5. Alokasi dana pembangunan antarwilayah

Investasi merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang dapat menarik lebih banyak investasi pemerintah dan investasi swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan tenaga kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan per kapita yang lebih tinggi. Tidak demikian apabila investasi pemerintah dan swasta yang masuk ke suatu daerah ternyata lebih rendah. Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh


(48)

sistem pemerintahan daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat sehingga ketimpangan pembangunan antarwilayah akan cenderung tinggi. Namun, apabila sistem pemerintahan yang dianut adalah otonomi atau federal, maka dana pemerintah akan lebih banyak dialokasikan ke daerah sehingga ketimpangan pembangunan antarwilayah cenderung lebih rendah. Tidak demikian halnya dengan investasi swasta yang lebih banyak ditentukan oleh kekuatan pasar. Kekuatan yang berperan banyak dalam menarik investasi swasta ke suatu daerah adalah keuntungan lokasi yang dimiliki suatu daerah tertentu. Sedangkan keuntungan lokasi tersebut ditentukan oleh ongkos transportasi, baik untuk bahan baku maupun hasil produksi yang harus dikeluarkan pemgusaha, perbedaan upah buruh, konsentrasi pasar, tingkat persaingan usaha, dan sewa tanah. Termasuk keuntungan aglomerasi yang timbul karena terjadinya konsentrasi beberapa kegiatan ekonomi terkait pada suatu daerah tertentu. Karena itu, tidaklah mengherankan apabila investasi cenderung lebih banyak terkonsentrasi di daerah perkotaan dibandingkan dengan daerah pedesaan sehingga daerah perkotaan cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan daerah pedesaan (Sjahfrizal, 2008).

2.7.2 Ukuran Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah

Melihat ketimpangan pembangunan antarwilayah dalam suatu negara atau suatu daerah bukanlah sesuatu yang mudah karena hal ini dapat menimbulkan debat yang berkepanjangan. Adakalanya masyarakat berpendapat bahwa ketimpangan suatu daerah cukup tinggi setelah melihat banyaknya kelompok


(49)

miskin pada daerah yang bersangkutan. Akan tetapi, ada pula masyarakat yang merasakan terjadinya ketimpangan yang cukup tinggi setelah melihat adanya segelintir kelompok kaya di tengah-tengah masyarakat yang umumnya masih miskin. Perlu ditekankan bahwa berbeda dengan distribusi pendapatan yang melihat ketimpangan antar kelompok masyarakat, ketimpangan pembangunan antar wilayah melihat perbedaan antar wilayah. Hal yang dipersoalkan disini bukan antara kelompok kaya dan kelompok miskin, melainkan perbedaan antara daerah maju dan daerah terbelakang.

Ukuran ketimpangan pembangunan antar wilayah yang mula-mula ditemukan adalah Williamson Index. Secara Statistik, indeks ini sebenarnya adalah

coefficient of variation yang lazim digunakan untuk mengukur suatu perbedaan. Istilah Williamson Index muncul sebagai penghargaan kepada Jeffrey R. Williamson yang mula-mula menggunakan teknik ini untuk mengukur ketimpangan pembangunan antar wilayah pada tahun 1966.

Berbeda dengan Gini Rasio yang lazim digunakan dalam mengukur distribusi pendapatan, Williamson Index menggunakan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita sebagai data dasar. Alasannya jelas karena yang diperbandingkan adalah tingkat pembangunan antar wilayah dan bukan tingkat kemakmuran antar kelompok.

2.7.3 Penanggulangan Ketimpangan Pembangunan Antarwilayah

Kebijakan dan upaya untuk menanggulangi ketimpangan pembangunan wilayah sangat ditentukan oleh faktor yang menentukan terjadinya ketimpangan tersebut. Kebijakan yang dimaksud merupakan upaya pemerintah, baik pusat


(50)

maupun daerah yang dapat dilakukan dalam rangka penanggulangan ketimpangn pembangunan antardaerah dalam suatu negara atau wilayah. Diantaranya adalah:

1. Penyebaran pembangunan prasarana perhubungan

Upaya untuk mendorong kelancaran mobilitas barang dan faktor produksi antardaerah dapat dilakukan melalui penyebaran pembangunan prasarana dan sarana perhubungan ke seluruh pelosok wilayah. Termasuk prasarana perhubungan seperti, fasilitas jalan, terminal, dan pelabuhan laut guna mendorong proses perdagangan antardaerah. Jaringan dan fasilitas telekomunikasi juga sangat penting untuk dikembangkan agar tidak ada daerah yang terisolir dan tidak dapat berkomunikasi dengan daerah lainnya. Selain itu, sarana perhubungan seperti, perusahaan angkutan antardaerah dan fasilitas telekomunikasi juga perlu didorong perkembangannya. Dengan cara demikian, daerah yang kurang maju akan dapat pula maningkatkan kegiatan perdagangan dan investasi di daerahnya sehingga kegiatan produksi dan penyediaan lapangan kerja akan dapat pula ditingkatkan. Semua ini akan mendorong proses pembangunan pada daerah yang kurang maju.

2. Mendorong transmigrasi dan migrasi spontan

Transmigrasi adalah pemindahan penduduk ke daerah kurang berkembang dengan menggunakan fasilitas dan dukungan pemerintah. Sedangkan migrasi spontan adalah perpindahan penduduk yang dilakukan secara sukarela menggunakan biaya sendiri. Melalui proses transmigrasi dan migrasi spontan ini, kekurangan tenaga kerja yang dialami oleh daerah terbelakang akan dapat pula diatasi sehingga proses pembangunan daerah bersangkutan akan dapat pula digerakkan. Indonesia sudah sejak lama melaksanakan program transmigrasi ini untuk mencapai dua tujuan sekaligus. Pertama, untuk dapat mengurangi


(51)

kepadatan penduduk yang terdapat di Pulau Jawa yang telah memicu peningkatan pengangguran dan kemiskinan. Kedua, program ini juga dilakukan dalam rangka mendorong proses pembangunan di daerah terbelakang yang menjadi tujuan transmigrasi sehingga lahan yang luas tetapi belum dapat dimanfaatkan karena keterbatasan tenaga kerja akan dapat diatasi. Dengan digerakkannya kegiatan pertanian melalui pemanfaatan tenaga transmigran tersebut, maka kegiatan ekonomi pada daerah terbelakang yang menjadi tujuan transmigrasi akan dapat ditingkatkan sehingga ketimpangan pembangunan antarwilayah akan dapat dikurangi.

3. Pengembangan pusat pertumbuhan

Kebijaan lain yang dapat dilakukan untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah adalah melalui pengembangan Pusat Pertumbuhan (Growth Poles) secara tersebar. Kebijakan ini diperkirakan akan dapat mengurangi ketimpangan pembangunan antarwilayah karena pusat pertumbuhan tersebut menganut konsep konsentrasi dan desentralisasi secara sekaligus. Aspek konsentrasi diperlukan agar penyebaran kegiatan pembangunan tersebut dapat dilakukan dengan masih terus mempertahankan tingkat efisiensi usaha yang sangat diperlukan untuk pengembangan usaha tersebut. Sedangkan aspek desentralisasi diperlukan agar penyebaran kegiatan pembangunan antardaerah dapat dilakukan sehingga ketimpangan pembangunan antarwilayah akan dapat dikurangi.

4. Pelaksanaan otonomi daerah

Dengan dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan, maka aktifitas pembangunan daerah termasuk daerah terbelakang


(52)

akan dapat lebih digerakkan karena adanya wewenang pemerintah daerah dan masyarakat setempat. Dengan wewenang tersebut, maka barbagai inisiatif dan aspirasi masyarakat untuk menggali potensi daerah akan dapat lebih digerakan lagi. Bila hal ini dapat dilakukan, maka proses pembangunan daerah secara keseluruhan akan dapat lebih ditingkatkan dan secara bersamaan ketimpangan pembangunan antarwilayah akan berkurang. Pemerintah Indonesia telah memberlakukan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan mulai tahun 2001 yang lalu. Melalui kebijakan ini, pemerintah daerah diberikan kewenangan yang lebih besar dalam mengelola kegiatan pembangunan di daerahnya masing-masing (desentralisasi pembangunan). Sejalan dengan hal itu, masing-masing-masing-masing daerah juga diberikan tambahan alokasi dana dalam bentuk “Block Grant” berupa Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dengan cara demikian diharapkan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pembangunan akan dapat berjalan dengan baik sehingga proses pembangunan daerah dapat ditingkatkan dan ketimpangan pembangunan antarwilayah secara bertahap akan dapat diatasi.


(53)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian adalah langkah-langkah sistematik atau prosedur yang akan dilakukan dalam pengumpulan data atau informasi empiris guna memecahkan permasalahan dan menguji hipotesis penelitian.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah mengetahui dan menganalisis sektor unggulan perekonomian Kabupaten Dairi. Menggambarkan posisi perekonomian 13 kecamatan yang ada di kabupaten Dairi. Yaitu, Kecamatan Sidikalang, Siempat Nempu, Siempat Nempu Hulu, Siempat Nempu Hilir, Parbuluan, Silima Pungga-Pungga, Berampu, Tigalingga, Sumbul, Pegagan Hilir, Lae Parira, Gunung Sitember, dan Kecamatan Tanah Pinem. Kemudian, menganalisis tingkat kemiskinan dan tingkat pengangguran di Kabupaten Dairi pada era otonomi daerah, serta mengetahui terjadinya ketimpangan pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Dairi dalam kurun waktu tahun 2001 sampai dengan 2007.

Jenis dan Sumber data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dalam bentuk time series yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Utara, buku literatur, internet serta bacaan lain yang berhubungan dengan pembahasan dalam penelitian ini.


(54)

Metode Pengumpulan Data

Penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan melakukan pencatatan langsung data yang diperlukan, baik mendatangi Kantor Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Sumatera Utara maupun melakukan telaah terhadap berbagai literatur seperti buku, jurnal, media cetak serta laporan-laporan ilmiah yang berhubungan dengan objek penelitian.

Metode Analisis Data

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan mengambil lokasi Kabupaten Dairi sebagai wilayah studi. Untuk mengetahui posisi perekonomian setiap kecamatan di Kabupaten Dairi digunakan metode Tipologi Klassen, untuk mengetahui sektor unggulan di Kabupaten Dairi, maka digunakan metode analisis

Location Quotient (LQ), untuk menhetahui tingkat kemiskinan digunakan metode

Head Count Index, untuk mengukur tingkat pengangguran digunakan rumus matematis tertentu sedangkan untuk mengetahui tingkat ketimpangan pembangunan antar kecamatan di Kabupaten Dairi digunakan metode Williamson Index.

Analisis Tipologi Klassen

Alat analisis tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi Klassen pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah. Dengan menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata pendapatan per kapita sebagai sumbu horizontal, daerah yang diamati dapat dibagi menjadi empat klasifikasi (Hill dalam Kuncoro, 1996). Seperti pada tabel berikut:


(55)

Tabel 3.1

Klasifikasi Daerah Berdasarkan Tipologi Klassen

(yi > y) (yi < y)

(ri > r) Pendapatan tinggi dan

pertumbuhan tinggi

Pendapatan rendah dan pertumbuhan tinggi (ri < r) Pendapatan tinggi dan

pertumbuhan rendah

Pendapatan rendah dan pertumbuhan rendah

Keterangan:

r : rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota (Kabupaten Dairi) y : rata-rata PDRB per kapita kabupaten/kota (Kabupaten Dairi) ri : Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota yang diamati (kecamatan)

yi : PDRB per kapita kabupaten/kota yang diamati (kecamatan)

Gambar 3.1 Sistem koordinat X-Y dengan Titik Pusat (1,0)

Y Y’

X P(1,0)

O(0,0)

K-III K-I

K-IV K-II

PDRB per Kapita (y) Pertumbuhan Ekonomi (r)


(56)

Dengan meletakkan koordinat daerah (x,y) pada sistem koordinat x-y, maka terlihat sebaran daerah-daerah pada bidang kuadran dimana tiap bidang kuadran mempunyai karakteristik atau tipologi yang berbeda-beda.

Dengan kriteria:

Kuadran I, artinya daerah (kecamatan) cepat maju dan cepat tumbuh, yakni daerah (kecamatan) yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih tinggi dibanding rata-rata kabupaten/kota (Kabupaten Dairi).

Kuadran II, artinya daerah (kecamatan) maju, tapi tertekan, yakni daerah (kecamatan) yang memiliki pendapatan per kapita lebih tinggi, tetapi tingkat pertumbuhan ekonominya lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota (Kabupaten Dairi).

Kuadran III, artinya daerah (kecamatan) berkembang cepat, yakni daerah (kecamatan) yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, tetapi tingkat pendapatan per kapita lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota (Kabupaten Dairi).

Kuadran IV, artinya daerah (kecamatan) relatif tertinggal, yakni daerah (kecamatan) yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita yang lebih rendah dibanding rata-rata kabupaten/kota (Kabupaten Dairi).

Dikatakan “tinggi” apabila indikator di suatu kabupaten/kota (kecamatan) lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata seluruh kabupaten/kota (kecamatan). Dikatakan “rendah” apabila indikator di suatu kabupaten/kota (kecamatan) lebih rendah dibandingkan rata-rata seluruh kabupaten/kota (kecamatan).


(57)

Analisis Location Quotient (LQ)

Location Quotient (LQ) atau Kuosien Lokasi adalah suatu perbandingan tentang besarnya peranan suatu sektor di suatu daerah terhadap besarnya peranan sektor tersebut secara nasional. Ada banyak variabel yang biasa diperbandingkan, tetapi yang umum adalah nilai tambah (tingkat pendapatan) dan jumlah lapangan kerja (Tarigan, 2004). Dalam penelitian ini yang digunakan adalah nilai tambah (tingkat pendapatan). Secara matematis, analisis Location Quotient (LQ) dapat dirumuskan seperti berikut:

=

i

LQ

b ib

c ic

Y Y

Y Y

/ /

Keterangan:

Yic : Nilai tambah sektor i di kabupaten

Yib : Nilai tambah sektor i di propinsi

Yc : Total nilai tambah di kabupaten

Yb : Total nilai tambah di propinsi

LQi : Location Quotient sektor i

Dengan kriteria:

LQ < 1, artinya sektor yang bersangkutan kurang terspesialisasi dibanding sektor yang sama di tingkat propinsi, sehingga bukan merupakan sektor unggulan.

LQ = 1, artinya sektor yang bersangkutan memiliki tingkat spesialisasi yang sama bengan sektor sejenis di tingkat propinsi, sehingga hanya


(1)

mengembangkan sektor ekonomi lainnya. Sehingga di masa mendatang, Kabupaten Dairi tidak hanya memiliki satu sektor basis saja.

3. Untuk masalah tingkat kemiskinan, sedapat mungkin pemerintah harus terus berupaya hingga mencapai angka terkecil. Bila perlu pemerintah daerah setempat memberikan dana bantuan atau bahan-bahan kebutuhan sehari-hari kepada masyarakat yang tidak mampu. Hal ini tentu saja memerlukan pengawasan yang ketat terhadap masyarakat. Jangan sampai terjadi kebijakan yang salah sasaran. Dana bantuan justru diterima oleh masyarakat mampu, bukan yang berkekurangan.

4. Agar masalah pengangguran dapat diatasi di Kabupaten Dairi, maka pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama sehingga kegiatan ekonomi bisa berjalan lancar. Dengan lancarnya kegiatan ekonomi, maka akan menarik investor untuk melakukan kegiatannya di daerah tersebut. Hal ini berarti sebuah peluang bagi masyarakat untuk memperoleh pekerjaan. Selain itu, masyarakat juga harus lebih memperhatikan jenjang pendidikan dan keterampilannya. Tidak dipungkiri jenjang pendidikan yang ditamatkan dan keterampilan yang dimiliki sangat berpengaruh terhadap tingkat pengangguran ini. Semakin tinggi jenjang pendidikan suatu masyarakat, maka semakin berpeluanglah masyarakat tersebut untuk memperoleh pekerjaan. Demikian halnya dengan keterampilan yang dimiliki.

5. Sejauh ini, pemerataan pembangunan di Kabupaten Dairi sudah menunjukkan kondisi seperti yang diharapkan. Namun, tidak menutup kemungkinan agar baik pemerintah maupun masyarakat setempat terus


(2)

melakukan perbaikan-perbaikan guna mempertahankan kondisi tersebut bahkan mencapai kondisi yang lebih baik lagi di masa mendatang.

6. Diakui bahwa dengan kebijakan otonomi daerah, belum seluruhnya masalah di daerah bersangkutan khususnya Kabupaten Dairi dapat teratasi. Tidak cukup hanya dengan mengeluarkan kebijakan ini untuk mengatasi berbagai masalah yang ada. Untuk itu diperlukan kontribusi yang besar dari pemerintah dan masyarakat setempat. Walaupun kebijakan ini disusun sedemikian rupa, apabila tidak ada upaya-upaya yang mendukung kebijakan tersebut, maka itu hanyalah sia-sia. Artinya, pemerintah daerah dan masyarakat setempat haruslah menjalin kerja sama yang baik. Pemerintah mengambil kebijakan yang mencerminkan ke arah yang pro rakyat dan masyarakat terus berusaha untuk memperbaiki standard hidupnya. Dengan demikian, sasaran dari kebijakan otonomi daerah ini akan tercapai. Pada intinya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, H. Rahardjo, 2005. Dasar-dasar Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: GRAHA ILMU.

Arsyad, Lincolin, 1999. Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.

Badan Pusat Statistik, 2007. Profil Kabupaten Dairi. Medan.

_________________, 2008. Kabupaten Dairi dalam Angka 2007. Medan.

_________________, 2006. PDRB Per Kecamatan Kabupaten Dairi (1993-2006). Medan.

_________________, 2007. Tingkat Kesejahteraan dan Pemerataan Pendapatan Masyarakat Kabupaten Dairi. Medan.

BR, Arfida, 2003. Ekonomi Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.

Jhingan, M.L, 2008. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Kuncoro, Mudrajat, 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Latief, Dochak, 2002. Pembangunan Ekonomi dan Kebijakan Ekonomi Global.

Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Nugraha, R.Aga, 2007. Evaluasi Pembangunan Ekonomi Daerah di Propinsi Bali Pasca Tragedi Bom.


(4)

Safi’i, H.M, 2007. Strategi dan Kebijakan Pembangunan Ekonomi Daerah.

Malang: Penerbit Averroes Press.

Sirojuzilam, 2005. Beberapa Aspek Pembangunan Regional. Bandung: ISEI. _________, 2008. Disparitas Ekonomi dan Perencanaan Regional. Pustaka

Bangsa Press.

Sjafrizal, 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Padang: Penerbit Baduose Media.

Sukirno, Sadono, 2007. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar Kebijakan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Tarigan, Robinson, 2006. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Wirartha, I Made, 2006. Metodologi Penelitian Sosial Ekonomi. Yogyakarta: ANDI.


(5)

Lampiran

Tabel

PDRB Kabupaten Dairi dan Propinsi Sumatera Utara Menurut Lapangan Usaha Berdasarkan Harga Konstan Tahun 1994 dan 2007

No. Sektoal Ekonomi

Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara

Tahun

1994 2007 1994 2007

1 Pertanian 178,839.52 1,229,018.89 5,249,345.00 23,856,154.64

2 Pertambangan 221.31 1,292.42 547,164.00 1,229,049.96

3 Industri Pengolahan 1,536.67 5,826.83 4,829,682.00 23,615,200.05

4 Listrik,gas,air bersih 2,394.29 5,463.30 182,412.00 739,918.09

5 Bangunan 23,181.89 60,208.21 873,556.00 6,559,295.79

6 Perdagangan,hotel,restoran 39,931.25 252,396.36 3,744,438.00 18,386,279.50

7 Pengangkutan 24,181.42 67,968.04 1,738,163.00 9,076,562.32

8 Keuangan 9,173.10 20,572.90 1,367,384.00 6,720,615.60

9 Jasa-jasa 46,290.36 252,396.36 1,409,880.00 9,609,197.33

PDRB 325,749.81 1,789,802.45 19,942,024.00 99,792,273.27


(6)

SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Andi Derma R. Purba

NIM : 060501080

Departemen : Ekonomi Pembangunan Fakultas : Ekonomi

Adalah benar telah membuat skripsi ini guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana ekonomi pada Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dengan mengambil judul “Analisis Evaluasi Pembangunan Ekonomi Daerah Pasca Otonomi Daerah (Studi Kasus: Kabupaten Dairi)”.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan seperlunya.

Medan, Maret 2010 Yang Membuat Pernyataan,

NIM. 060501080 (Andi Derma R. Purba)