PENGEMBANGAN PERENCANAAN PENDIDIKAN PARTISIPATIF BERBASIS KEWILAYAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH: Studi evaluatif faktor determinan untuk meningkatkan indeks pendidikan dalam menunjang pencapaian indeks pembangunan manusia di Propinsi Jawa Barat.

(1)

i

! "

"

# !

$ % #

&

' (

( % ##

) % #*

+ , - #.

! % / *

# +( 0 % - *#

* %1 0 *2

2 %

3 %1 1 *

4 0 ! 22

4 ( , ."

# .


(2)

ii

8 %1 8 %0 *

%0 6

%0 6

# %0 7

* %0

""

$ ( 1 "#

% 0 "*

4 9 8 :

0 ; , "*

# 0 ( 5 4 9

8 % : 0 ; , *"

* :%0 % 4 0 ! 9

1 ( , % <

( %1 0

; , 2

2 0 ( 5 4

0 ! 9 0 ; ,

26

. 1 5 4 9 8

: 5 4

0 ! 1 ( , ..

%1 .6

4 9 8 :

0 ; , .6

# 0 ( 5 4 9

8 % : 0 ; , 6#

* :%0 % 4 0 ! 9

1 ( , % <

( %1 0


(3)

iii

. 1 5 4 9 8

: 5 4

0 ! 1 ( , 77

( #

2

% .

( %0 8 ( 6

$ 8 :%0 % *

( %0 .

< % 7

:%0

#"" #". #2


(4)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Undang-Undang (UU) No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menjelaskan bahwa daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa dan pemberdayaan masyarakat. Ketentuan tersebut mengisyaratkan sebuah tanggung jawab bagi pemerintahan daerah untuk menyusun sebuah kebijakan baik yang bersifat umum maupun khusus dalam bentuk petunjuk teknis operasional. Kebijakan tersebut akan menjadi pedoman bagi pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan agenda otonomi daerah, yakni untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperbaiki kualitas pelayanan umum serta meningkatkan daya saing daerah dengan tetap dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Otonomi daerah merupakan hak dan kewajiban yang diberikan pemerintah, dalam kerangka memperbaiki dayaguna dan hasilguna penyelengaraan pemerintahan. Hal ini selain secara konstitusional dijelaskan dalam pasal 18 UUD 1945, juga secara teoritis mendapatkan dukungan kesahihannya. Khusus dalam konteks memperbaiki dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan pemerintahan, maka penyempurnaan manajemen pemerintahan daerah menjadi prasyarat untuk segera dilakukan oleh pemerintah daerah itu sendiri. Kondisi ini sejalan dengan pendapat Osborne dan Gaebler (1992) dalam bukunya “Reinventing Government” yang menyatakan bahwa “kegagalan utama pemerintahan saat ini adalah karena kelemahan manajemennya. Masalahnya


(5)

bukan terletak pada apa yang dikerjakan pemerintah, melainkan bagaimana cara pemerintah mengerjakannya“.

Berkenaan dengan pembaharuan aspek-aspek manajemen pemerintahan daerah, yang pada saat memasuki era reformasi adalah berkaitan dengan manajemen perencanaan, manajemen sumber daya manusia, manajemen keuangan, manajemen pelayanan umum, manajemen logistik, manajemen kinerja serta manajemen kolaborasi dan konflik.

Di samping itu, diperlukan pula sebuah pendekatan manajemen pemerintahan yang memungkinkan proses hubungan kepemerintahan bisa efektif pada saat melakukan interaksi dalam penyelenggaraan otonomi daerah, karena pemberian otonomi daerah itu sendiri mengandung makna hak dan kewajiban daerah, baik penyelenggaraan pemerintahan maupun aktivitas sosial kemasyarakatan lainnya. Hal ini perlu dicermati karena penyelenggaraan otonomi daerah harus berdiri dalam dua sisi yaitu “kebutuhan efisiensi dan demokratisasi sebagai respon tuntutan masyarakat memerlukan solidaritas kolektif antara aparatur dengan sektor masyarakat, swasta maupun kelompok sosial-budaya”.

Hal ini mengandung makna bahwa komunikasi pemerintahan yang dibangun di antara unsur pemerintahan dan lembaga legislatif daerah sebagai pencerminan proses demokratisasi di daerah, harus benar-benar diarahkan untuk mampu mendorong solidaritas kolektif seluruh domain kepemerintahan di daerah. Hubungan kepemerintahan ini tetap bisa diarahkan pada penciptaan kondisi kemandirian masyarakat melalui usaha pemberdayaan sehingga masyarakat tidak


(6)

terlalu banyak tergantung pada pemberian pemerintah serta memiliki daya saing yang kuat dalam proses penumbuhannya.

Pentingnya melakukan pembaharuan pada manajemen perencanaan bagi pemerintah daerah, menurut pendapat Rondinelli & Cheema (1983:14-16), tidak lepas dari rasionalitas kehadiran desentralisasi itu sendiri sebagai “cara yang ditempuh untuk mengatasi keterbatasan karena perencanaan yang bersifat sentralistik dengan mendelegasikan sejumlah kewenangan kepada pejabat di daerah yang tahu betul masalah yang dihadapi masyarakat”.

Sejalan dengan pendapat Rondinelli dan Cheema tersebut, UU. No. 32 Tahun 2004 mewadahinya dalam wujud penegasan pembagian urusan pemerintahan, yang memungkinkan otonomi daerah mendapatkan sejumlah kewenangan yang makin terarah bagi kepentingan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut dilakukan melalui berbagai pelayanan publik, yang dalam pelaksanaannya dilakukan penegasan antara peran dari masing-masing tingkatan pemerintahan.

Sementara itu berkaitan dengan pembaharuan manajemen lainnya, Ryaas Rasyid dkk. (2002:xvii-xviii) mengetengahkan pandangannya berkaitan dengan pemberlakuan otonomi daerah yang menyatakan bahwa terdapat sejumlah kesenjangan dalam implementasi otonomi daerah pada saat itu, yaitu menyangkut: (1) Interpretasi dari undang-undang tersebut melalui sejumlah peraturan Keppres dan Perda; (2) Penciptaan organisasi yang berfungsi sebagai implementor dari kebijakan tersebut; (3) Dukungan sumber daya yang tersedia guna mewujudkannya, yaitu menyangkut sdm, keuangan dan sarana serta prasarana.


(7)

Proses implementasi otonomi daerah dalam sebuah perencanaan akan berkenaan dengan pengaturan pendayagunaan urusan pemerintahan/kewenangan, besaran kelembagaan, kapasitas kepegawaian daerah, kapasitas keuangan daerah, manajemen aset, manajemen pelayanan umum dan teknologi informasi serta hubungan kepemerintahan, baik antar penyelenggara pemerintahan daerah pada struktur perangkat pemerintah daerah, perangkat daerah dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) maupun interaksi dengan elemen-elemen sosial kemasyarakatan.

Selama ini proses perencanaan pembangunan di berbagai sektor cenderung bernuansa ”top-down” sehingga pembangunan di daerah berada dalam bayang-bayang pemerintah pusat. Munculnya undang-undang otonomi daerah setidaknya merupakan angin segar dalam pembangunan agar daerah berdaya untuk urusan tertentu mengatur pembangunan di daerahnya masing-masing.

Pelaksanaan UU. No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dalam kerangka otonomi daerah, diperlukan dalam rangka membangun daerah mulai dari tahapan perencanaan hingga implementasinya dengan mengandalkan semangat pembangunan yang bersifat partisipatif. Dengan demikian memungkinkan para penyelenggara pemerintahan daerah beserta stakeholders dan masyarakat yang ada di daerah dapat menempatkannya sebagai acuan bersama untuk mengarahkan potensi daerah sesuai target dari tujuan otonomi daerahnya.

Kehadiran perencanaan partisipatif sebagai implementasi otonomi daerah berdasarkan UU. No. 32 Tahun 2004 yang diarahkan untuk dapat menjadi pedoman para penyelenggara pemerintahan daerah di lingkungan pemerintahan


(8)

daerah tersebut, bukanlah sebuah dokumen yang akan menduplikasi dokumen perencanaan daerah yang sudah ada, melainkan akan berfungsi sebagai penguat bagi pelaksanaan agenda-agenda pembangunan daerah, yang secara eksplisit dapat dijadikan ketentuan hukum dan perundang-undangan daerah. Karena proses perumusannya akan dikonsentrasikan pada pendayagunaan elemen-elemen dasar yang menopang manajemen pemerintahan daerah. Dengan demikian kehadiran perencanaan kebijakan umum ini akan menjadi acuan perangkat daerah dalam mendayagunakan sumber daya daerah sehingga mampu melakukan perannya di dalam mencapai target-target yang telah tertuang dalam dokumen perencanaan pembangunan berbasis kewilayahan di lingkungan pemerintahan daerah.

Secara spesifik adanya UU. No. 32 Tahun 2004 memberi ruang gerak yang lebih besar kepada daerah untuk dapat menyelenggarakan pembangunan secara mandiri misalnya pelaksanaan kewenangan dalam bidang penyelenggaraan pendidikan dan kebudayaan, yang selama ini kewenangannya berada pada pemerintah pusat. Kewenangan yang tersisa pada pemerintah pusat dan provinsi hanya sebatas besarannya saja (Peraturan Pemerintah/PP. No. 25 Tahun 2000).

Pergeseran struktur kewenangan sistem administrasi pendidikan ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan reformasi sistem pengelolaan pendidikan di kelembagaan satuan pendidikan. Sebab pembangunan pendidikan yang selama ini didominasi oleh pemerintah pusat terbukti kurang efektif. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa berbagai program investasi perluasan akses pendidikan dan peningkatan mutu yang telah dilakukan belum dapat mencapai hasil seperti yang diharapkan.


(9)

Urgensi diberikannya otonomi kepada pemerintahan daerah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, pemerataan, keadilan, demokratisasi, dan penghormatan terhadap nilai-nilai budaya lokal serta menggali potensi dan keanekaragaman daerah, demikian juga sistem dan pengelolaan pendidikan bukan untuk memindahkan masalah dari pusat ke kabupaten kota. Namun hal tersebut dilakukan semata-mata bertujuan untuk meningkatkan nilai budaya dan mutu pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat khususnya di daerah.

Dari gambaran tersebut, kabupaten dan kota perlu memilih dan memilah secara hati-hati berbagai strategi pembangunan pendidikan yang selama ini telah dilakukan agar kekeliruan kolektif pada masa lalu tidak diulangi oleh kabupaten dan kota pada masa yang akan datang. Oleh karena itu, hanya strategi pembangunan pendidikan yang menunjukkan pengaruh positif yang perlu dilanjutkan, sedangkan yang tidak banyak memberi manfaat bagi siswa dan kelembagaan satuan pendidikan serta melahirkan berbagai masalah baru harus segera ditinggalkan.

Karena itu, strategi pembangunan pendidikan yang efektif mutlak diperlukan, yaitu strategi pembangunan yang memberdayakan, memberikan kepercayaan yang lebih luas, dan mengembalikan urusan pengelolaan pendidikan kepada kelembagaan satuan pendidikan. Peran pemerintah lebih baik ditekankan pada pelayanan agar proses pendidikan di kelembagaan satuan pendidikan berjalan secara efektif dan efisien. Peran ini dapat dilakukan oleh semua jenjang pemerintahan, baik pusat, provinsi, maupun kabupaten dan kota. Aspek yang paling penting ialah fokus pembangunan pendidikan harus tetap pada apa yang


(10)

terjadi di kelembagaan satuan pendidikan; Sebab strategi pembangunan pendidikan yang tidak fokus pada pemberdayaan kelembagaan satuan pendidikan pada umumnya tidak memberi hasil yang memuaskan.

Strategi semacam inilah yang diharapkan dapat melahirkan masyarakat belajar (learning society), karena dengan demikian seluruh jajaran pengelola dan pelaksana pendidikan dituntut untuk terus belajar. Sehingga para siswa merasa senang karena kebutuhannya selalu bisa direspons secara baik oleh para pengelola dan pendidik di kelembagaan satuan pendidikannya. Jika kondisi ini dapat dijalankan, dipastikan akan terwujud sebuah masyarakat yang diidamkan, yaitu masyarakat madani (civil society), sebuah masyarakat yang peran-serta dan kontrol dari setiap anggotanya begitu besar. Pada taraf inilah keberagaman menjadi suatu kekuatan bagi tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara.

Berkaitan dengan perencanaan pembangunan dalam bidang pendidikan di Propinsi Jawa Barat, saat ini telah dilaksanakan tahapan perencanaan pembangunan melalui mekanisme MUSRENBANGDA (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah) dengan melibatkan berbagai elemen dalam pemerintahan di daerah untuk merumuskan bentuk strategi, program dan kegiatan pembangunan di daerah dengan mengacu pada semangat otonomi daerah sebagaimana tertuang dalam UU. No. 32 Tahun 2004. Persoalannya adalah apakah perencanaan yang dilakukan saat ini sudah efektif dalam meningkatkan kinerja pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan di Jawa Barat, dilihat dari indikator pembangunan pendidikan melalui indeks pendidikan yang selama


(11)

ini dijadikan sebagai salah satu ukuran untuk melihat keberhasilan pembangunan sumberdaya manusia di Provinsi Jawa Barat.

Kemudian belum diketahui pula bagaimana model perencanaan pembangunan bidang pendidikan secara partisipatif tersebut di susun, demikian pula proses yang berlangsung di dalamnya. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian lebih jauh mengenai hal tersebut, sehingga dalam jangka panjang proses pembangunan di Jawa Barat, khususnya dalam bidang pendidikan mengalami kemajuan yang lebih baik dari waktu-waktu sebelumnya.

B. FOKUS PENELITIAN

Provinsi Jawa Barat yang memiliki jumlah penduduk sekitar 42 juta orang dan kaya akan berbagai sumber daya baik alam maupun buatan, namun sangat ironis karena memiliki kualitas sumber daya manusia yang tertinggal apabila dibandingkan dengan provinsi-provinsi lain di Indonesia, yaitu berada pada urutan 14 apabila diukur dengan menggunakan indikator keberhasilan pembangunan IPM sebesar 69,3 sedangkan rata-rata lama sekolah penduduknya hanya 7,46 tahun (Bapeda Jabar, 2006:75-76)

Sebagaimana diketahui Jawa Barat memiliki Visi “Dengan Iman dan Takwa Sebagai Provinsi Termaju di Indonesia dan Mitra Terdepan Ibukota pada Tahun 2010” dengan pencapaian indikator IPM sebesar 80 merupakan tujuan yang sulit dicapai apabila komitmen pemimpin tidak didukung oleh seluruh komponen masyarakat

Berdasarkan data yang ada nampak bahwa upaya-upaya yang telah dilakukan untuk mencapai target-target pembangunan termasuk pendidikan masih


(12)

jauh dari sempurna karena berbagai faktor, di antaranya kemampuan untuk memobilisasi sumber daya tidak hanya terbatas yang berasal dari pemerintah saja masih sangat lemah. Dari perspektif perencanaan diperlukan keterbukaan pemerintah provinsi terhadap akses masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam menentukan arah pembangunan pendidikan di masa depan;

Perencanaan pendidikan yang baik adalah perencanaan pendidikan yang mampu bekerja secara lebih dekat dengan program-program perencanaan layanan insani lainnya, seperti program-program perpustakaan, sarana rekreasi, museum, media masa dan sebagainya. Perencanaan pendidikan juga harus berorientasi terhadap program siswa yang terstruktur dengan kondisi yang relevan dengan lingkungan sekitarnya. Mengingat beragamnya peran perencanaan pendidikan tersebut, maka dalam perencanaan pendidikan dipandang perlu untuk melibatkan berbagai tingkatan (stakeholders) yang ada di masyarakat, bukan hanya terbatas pada lingkungan sekolah atau pemerintah.

Dengan melihat posisi strategis perencanaan pendidikan dari keseluruhan proses pendidikan, dalam hal ini perencanaan pendidikan memberikan kejelasan arah dalam usaha proses penyelenggaraan pendidikan sehingga manajemen pendidikan akan dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien, maka fokus penelitian diarahkan kepada studi efektifitas perencanaan pendidikan.

C. PERTANYAAN PENELITIAN

Merujuk pada fokus penelitian sebagaimana dijelaskan di atas, maka beberapa pertanyaan penelitian, dirumuskan berikut ini.


(13)

1. Bagaimana proses perencanaan pendidikan yang saat ini dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat ?

2. Bagaimanakah capaian kinerja hasil perencanaan pendidikan yang selama ini telah dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat ?

3. Bagaimanakah implementasi model perencanaan partisipatif yang berbasis kewilayahan dalam rangka meningkatkan kinerja pembangunan bidang pendidikan di Propinsi Jawa Barat ?

4. Bagaimanakah capaian kinerja hasil perencanaan pendidikan partisipatif yang telah dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat ?

5. Bagaimanakah perbandingan hasil perencanaan pendidikan yang saat ini dilaksanakan, dengan hasil perencanaan berdasarkan model partisipatif berbasis kewilayahan ini, terutama dikaitkan dengan efektifitas dan efisiensi capaian kinerja menurut relevansinya dengan capaian Indeks Pendidikan di Propinsi Jawa Barat ?

6. Bagaimana alternatif model implementasi perencanaan partisipatif berbasis kewilayahan ini dapat dituangkan menjadi rujukan bagi proses perencanaan pendidikan di Propinsi Jawa Barat ?

D. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini ialah menganalisis konsep, proses dan model perencanaan pendidikan partisipatif berbasis kewilayahan yang dapat dijadikan rujukan para pembuat keputusan pemerintah daerah provinsi dalam menentukan arah pelaksanaan pembangunan pendidikan di Jawa Barat di masa depan.


(14)

Berdasarkan tujuan umum tersebut, maka tujuan khusus yang ingin ditemukan dalam penelitian ini yaitu :

a. Dapat mengidentifikasi gambaran kondisi setiap elemen penopang penyelenggaraan pendidikan di daerah yang menjadi kewenangan pemerintah propinsi.

b. Dapat menganalisis sinergitas antara kebijakan umum pembangunan daerah dengan sistem perencanaan pendidikan pada tingkatan pemerintahan propinsi; c. Dapat merumuskan disain perencanaan partisipatif yang dapat dijadikan

rujukan dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan dengan menggunakan basis karakteristik kewilayahan yang ada di Propinsi Jawa Barat;

2. Manfaat Penelitian

Paradigma ilmu administrasi pendidikan dewasa ini senantiasa dikembangkan dengan merujuk pada tugas-tugas pendidikan sebagai bagian dari tugas pemerintahan. Sehingga dalam tatanan teori dan praktek manajemen pendidikan sering ditentukan oleh perubahan struktur politik dan ketatanegaraan. Karena itu, secara teoritis hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan untuk memperkaya khazanah ilmu administrasi pendidikan, khususnya dalam menyediakan rujukan untuk membangun suatu paradigma teori yang lebih memadai, sehingga akan tergambar lebih jelas prospek otonomi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia.


(15)

Di samping itu, secara praktis dapat memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah dalam rangka pembinaan dan pengembangan sistem manajemen pendidikan di daerah, khususnya dalam penyelenggaraan sistem perencanaan pendidikan baik pada tingkat regional maupun lokal. Karena itu, dengan menggunakan pendekatan konsep, proses dan model perencanaan yang partisipatif diharapkan menjadi rujukan dalam:

a. Mobilisasi dan alokasi sumber daya setempat baik dari pemerintah maupun non pemerintah secara lebih terfokus untuk menyelesaikan berbagai masalah pendidikan di daerah dengan lebih efektif dan efisien;

b. Menstimulasi perubahan sikap dan persepsi tentang rasa kepemilikan masyarakat terhadap pendidikan khususnya kelembagaan satuan pendidikan, rasa tanggung jawab, kemitraan, toleransi dan kekuatan multi-budaya;

c. Mendukung inisiatif pemerintah dalam meningkatkan dukungan masyarakat terhadap kelembagaan satuan pendidikan, khususnya orang tua dan masyarakat melalui kebijakan desentralisasi pendidikan;

d. Mendukung peranan masyarakat untuk mengembangkan inovasi kelembagaan untuk melengkapi, meningkatkan dan mengganti peran perkelembagaan satuan pendidikan, untuk meningkatkan mutu dan relevansi, penyediaan akses yang lebih besar, serta peningkatan efisiensi manajemen satuan pendidikan;

E. ASUMSI PENELITIAN

Ada dua asumsi dasar yang dibangun dalam pengembangan paradigma keilmuan, khususnya dalam disiplin Ilmu Administrasi Pendidikan. Asumsi pertama, administrasi pendidikan dianggap sebagai bagian dari administrasi


(16)

publik. Asumsi ini dipakai sebagai landasan dalam membangun paradigma praktek administrasi pendidikan yang selama ini berkembang. Sehingga, praktek manajemen pendidikan dianggap sebagai salah satu bagian dari praktek Administrasi Publik.

Asumsi kedua, administrasi publik dianggap sebagai bagian dari administrasi pendidikan. Asumsi ini didasarkan pada pandangan bahwa pendidikan sebagai suatu tugas yang universal. Penyelenggaraan administrasi publik dalam arti pemerintahan dapat saja dianggap merupakan salah satu implementasi sebagian dari tugas administrasi pendidikan yang universal. Asumsi ini dapat saja digunakan dalam pengembangan paradigma keilmuan, mengingat kegagalan-kegagalan dalam praktek manajemen pendidikan yang didasarkan pada asumsi pertama.

Walaupun menyentuh substansi kebijakan publik, administrasi pendidikan tidak dipandang sebagai penelitian kebijakan publik, karena dalam nomenklatur sistem administrasi pendidikan pun kebijakan dan perundang-undangan merupakan perangkat kendali sistem administrasi pendidikan. Karena itu, penulis mencoba mengkaji permasalahan penelitian ini dengan didasarkan pada asumsi yang kedua, dengan harapan pembahasan masalah yang diteliti tidak dianggap ke luar dari konteks pengembangan paradigma keilmuan administrasi pendidikan.

Beranjak dari pemikiran tersebut, maka dikembangkan anggapan dasar yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang diteliti sebagai berikut:

Pertama, bahwa implementasi kebijakan tentang otonomi pendidikan di daerah tidak hanya sekedar mekanisme menterjemahkan tujuan kebijakan dalam bentuk prosedur rutin dan teknis dalam perencanaan pembangunan pendidikan, melainkan melibatkan elemen-elemen dasar yang menjadi penopang implementasi


(17)

kewenangan dalam bidang penyelenggaraan pendidikan, yaitu batas wewenang, kelembagaan, kurikulum, kepegawaian, pembiayaan, sarana dan prasarana pendidikan;

Anggapan dasar ini didasarkan pada pendapat Rondinellli dan Cheema (1988:13) yang memperkenalkan teori implementasi kebijakan, orientasinya lebih menekankan kepada hubungan pengaruh faktor-faktor implementasi kebijakan desentralisasi terhadap lembaga daerah dibidang perencanaan dan administrasi pembangunan. Menurut Rondinelli dan Cheema, ada dua pendekatan dalam proses implementasi yang sering dikacaukan, yaitu (1) the compliance approach, yang menganggap implementasi itu tidak lebih dari soal teknik, rutin. Ini adalah suatu proses pelaksanaan yang tidak mengandung unsur-unsur politik yang perencanaannya sudah ditetapkan sebelumnya oleh para pimpinan politik (political leaders). Para administrator biasanya terdiri dari pegawai biasa yang tunduk kepada petunjuk dari para pemimpin politik tersebut; (2) the political approach sering disebut sebagai pendekatan politik yang mengandung “administration as an integral part of the policy making process in which politic are refined, reformulated, or even abandoned in the process of implementing them.”

Di samping itu, bahwa di dalam negara yang sedang berkembang, perencanaan yang terpusat bukan saja rumit dan sulit untuk dilaksanakan, melainkan juga sudah tidak sesuai dengan kebutuhan, baik untuk meningkatkan pertumbuhan yang seimbang maupun untuk memenuhi kebutuhan yang mandiri di antara masyarakat yang berpenghasilan rendah. Seperti yang dikemukakan Rondinelli dan Cheema (1988:30) bahwa:


(18)

“...central planning was not only complex and difficult to implement, but may also have been inappropriate for promoting equitable growth and self sufficiency among low in corm groups and communicaties within developing societies”.

Kedua, bahwa pembangunan tidak dapat begitu saja direncanakan dari pusat. Pendayagunaan sumber daya alam dan manusia yang berada di daerah hendaknya dibarengi dengan upaya mengurangi kegiatan yang menitikberatkan pada perencanaan secara nasional serta meningkatkan kesadaran tentang perlunya melakukan desentralisasi dan memberikan otonomi kepada daerah untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan utama daerah, di samping memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Perubahan seperti itu kenyataannya memang bukan hanya menyangkut soal teknis dan adminsitratif semata-mata melainkan juga soal politik, yaitu berkenaan dengan pelimpahan wewenang dari sekelompok pengambil keputusan yang berkuasa di pusat kepada pemegang kekuasaan pemerintahan di tingkat daerah.

Anggapan dasar ini didasarkan pada pandangan Griffin (1981) dalam Rondinelli dan Cheema (1988:13) menyatakan bahwa:

Development cannot easily be centrally planned. Consequently . . . mobilization of local human and material resources has been accompanied by a reduced emphases on national planning and a growing awareness of the need to devise an administrative structure that would permit regional decentralization, local autonomy in making decision of primary concern to the locality and greater local responsibility for designing and implementing development programs. Such changes, evidently, are not just technical and administrative; they are political. They involve a transfer of power from the groups who dominate the centre to those who have control at the local level.

Griffin menjelaskan bahwa pembangunan tidak dapat begitu saja direncanakan dari pusat. Pendayagunaan sumber daya yang berada di daerah


(19)

hendaknya dibarengi dengan upaya mengurangi kegiatan perencanaan secara nasional serta meningkatkan kesadaran tentang perlunya melakukan desentralisasi dan memberikan otonomi kepada daerah untuk mengambil keputusan yang menyangkut kepentingan utama daerah, di samping memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada daerah untuk merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Perubahan seperti itu kenyataannya memang bukan hanya menyangkut hanya soal teknis dan adminsitratif, melainkan juga berkenaan dengan pelimpahan wewenang dari pengambil keputusan yang berkuasa di pusat kepada pemegang kekuasaan pemerintahan di tingkat daerah.

Pernyataan Griffin tersebut menunjukkan pula bahwa persoalan desentralisasi dan otonomi daerah berkaitan dengan persoalan pemberdayaan (enpowerment). dalam arti memberikan keleluasaan dan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk berprakarsa dan mengambil keputusan. Empowerment akan menjamin hak dan kewajiban serta wewenang dan tanggung jawab organisasi pemerintahan di daerah untuk dapat menyusun program, memilih alternatif, dan mengambil keputusan dalam mengurus kepentingan daerahnya sendiri. Dengan pemberdayaan, institusi pemerintah daerah dan masyarakat akan mampu memberikan akses bukan hanya terhadap pengambilan keputusan di tingkat daerah saja, bahkan di tingkat pusat.

Ketiga, bahwa perencanaan pendidikan partisipatif berbasis kewilayahan berkaitan dengan kemampuan pemerintah dalam mengelola pendidikan daerah. Karenanya, rumusan perencanaan pendidikan di daerah harus diarahkan dalam kerangka mendidik kemandirian masyarakat dalam melaksanakan fungsi dan tugas penyelenggaraan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan (need), keinginan (wanting), dan harapan (expectation) masyarakat di wilayahnya sendiri.


(20)

Anggapan dasar ini didasarkan pada pandangan Obsborne dan Gaebler (1992:12), bahwa: “. . . Hierarchical, centralized bureaucracies designed in the 1930s or 1940s simply do not function well in the rapidly changing, information rich, knowledge intensive society and economy of the 1990s”.

Digambarkan oleh Obsborne dan Gaebler (1992:13-17), bahwa birokrasi yang hirarkis dan terpusatkan semacam itu ibarat sebuah kapal penumpang raksasa di jaman jet supesonik dalam ukuran besar, tidak praktis, mahal, dan sangat sulit untuk bergerak. Karenanya dalam birokrasi pada era sekarang ini dituntut untuk mentransformasikan semangat kewirausahaan (enterpreneurial spirit) ke dalam sektor pemerintah.

Perhatian yang semakin besar tentang perlunya perencanaan pembangunan yang bersifat partisipatif di bidang administrasi bukan saja merupakan pertanda tentang diakuinya kelemahan yang terdapat pada perencanaan yang terpusat, melainkan adanya pergeseran kebijakan yang menekankan pada pertumbuhan yang harus dibarengi dengan kebijakan pemerataan. Di samping itu, diakui bahwa pembangunan adalah suatu proses yang kompleks, yang tidak begitu saja dengan mudah direncanakan dan dikendalikan dari pusat.

Dalam pandangan lainnya, perencanaan partisipatif ini semakin populer di kalangan para perencana pembangunan. Seperti yang diungkapkan dalam Dhaka Ahsania Mission (2001), bahwa:

In contemporary development planning, the participatory trend is becoming very popular and effective and this trend gets much more importance than the traditional one at every stage of a project cycle. Although, initially the participatory approach used to get special importance in matter of need/problem assessment only, it is gradually increasing in depth and width.

In conclusion it can be said that since every organization has its own values and vision, the participatory concept can normally be dictated by


(21)

them in there own ways, but the true philosophy behind participatory concept should always be kept intact and unchanged.

Di samping itu, bahwa perencanaan partisipatif merupakan salah satu upaya dalam mewujudkan desentralisasi yang demokratis, karena dapat mengurangi berbagai hambatan yang memisahkan antara masyarakat dengan pemerintahnya, atau dengan kata lain mengubah hubungan dari politik oposisi ke dialog dan pembagian kewenangan yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Dengan adanya hubungan yang dialogis tersebut, perencanaan partisipatif dapat mendorong masyarakat dan aparat pemerintah (lintas sektoral) secara bersama-sama untuk mencari jalan ke luar dari berbagai masalah umum yang mereka hadapi dalam pembangunan. Perencanaan partisipatif dapat membangun kapasitas lokal untuk mendorong pengelolaan pembangunan daerah. Kebijakan pembangunan dirumuskan dengan dialog, negosiasi, kompromi dan komitmen (Hasan Poerbo, 2006).

Berbagai pendapat yang mendukung dilaksanakannya desentralisasi dengan sistem perencanaan partisipatif, dapat disimpulkan bahwa motivasi dan urgensi sistem perencanaan partisipatif dalam pendidikan adalah: (1) sebagai upaya dalam menopang peningkatan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pendidikan; (2) sebagai upaya memperlancar pelaksanaan pembangunan pendidikan; (3) meningkatkan peran serta masyarakat dalam proses demokrasi pembangunan pendidikan pada seluruh lapisan terutama di paling bawah.

F. LOKASI PENELITIAN DAN UNIT ANALISIS

Penelitian dilaksanakan di Propinsi Jawa Barat, dengan unit analisis adalah stakeholders pendidikan untuk tingkat Propinsi.


(22)

G. KERANGKA PIKIR PENELITIAN

Untuk merumuskan perencanaan yang bersifat partisipatif berbasis kewilayahan yang sejalan dengan semangat UU. No. 32 Tahun 2004, diperlukan analisis yang utuh terhadap kondisi yang melingkupi elemen-elemen pemerintahan daerah, yang meliputi: (1) kondisi yang ada dan permasalahannya (existing condition), (2) prospek yang ingin dikembangkan dalam pelaksanaan rencana (sasaran), (3) kondisi yang diperlukan untuk mencapai sasaran (asumsi) dan (4) strategi pencapaian sasaran (recomendation).

Permasalahan yang timbul pada saat perencanaan seluruh elemen penopang pelaksanaan pembangunan pendidikan di lingkungan pemerintahan propinsi, selanjutnya menjadi unit analisis untuk dilihat implikasi terhadap efektivitasnya. Dalam kaitan itu, maka secara konseptual penetapan rencana pembangunan pendidikan di daerah propinsi, dapat digambarkan melalui kerangka pemikiran berikut ini :


(23)

Gambar 1.1

KERANGKA PIKIR PENELITIAN

Berdasarkan gambar kerangka pikir tersebut, maka dapat dijelaskan hal-hal sebagai berikut :

1. Perencanaan pembangunan pendidikan di daerah merupakan bagian dari pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN) ;

2. Perencanaan pembangunan pendidikan daerah disusun berdasarkan analisis kesenjangan yaitu dengan melihat kondisi yang ada (existing) dan kondisi yang diinginkan. Untuk menyelesaikan kesenjangan (gap) di

!

" "

# $

% $ &

' %(

$


(24)

bidang pendidikan diperlukan upaya yang terencana dengan mempertimbangkan potensi yang dimiliki;

3. Dalam rangka mengadaptasi perkembangan lingkungan strategis seperti adanya isu: Good Governance, Reinventing Government, strategi out sourching dan perkembangan teknologi informasi maka proses perencanaan sesuai dengan SPPN dilaksanakan secara partisipatif, sehingga diharapkan akan menghasilkan perencanaan yang lebih baik ; 4. Sejalan dengan pelaksanaan SPPN, dalam rangka mengadaptasi

perkembangan lingkungan strategis Propinsi Jawa Barat mengembangkan kreativitas dan inisiatif dengan membuat dan mengimplementasi model alternatif perencanaan pembangunan pendidikan partisipatif;

5. Terhadap implementasi model perencanaan pembangunan pendidikan partisipatif dilakukan evaluasi melalui pengkajian data dan analisis terhadap efektivitas model baik dari sisi proses maupun hasil perencanaannya itu sendiri;

6. Dengan membandingkan hasil perencanaan dari model yang berbeda, maka direkomendasikan model perencanaan pembangunan pendidikan di daerah yang paling cocok untuk dilaksanakan.

Model tersebut bukan merupakan model pilihan terakhir, karena perkembangan lingkungan strategis akan menjadi feedback bagi penyempurnaan model.


(25)

92

BAB III

PROSEDUR PENELITIAN

A. METODE PENELITIAN

Metode untuk penyusunan perencanaan partisipatif berbasis kewilayahan dalam penelitian ini merujuk desain penelitian deskriptif-kualitatif, yaitu suatu metode yang mengamati, menganalisis dan menggambarkan fenomena yang terjadi dalam perumusan kebijakan otonomi daerah yang dituangkan dalam bentuk perencanaan strategis pembangunan pendidikan di tingkat Propinsi Jawa Barat. Kemudian mengeksplorasi data tentang penyelenggaraan setiap elemen penopang penyelenggaraan pendidikan, yang meliputi bidang kelembagaan, kurikulum, ketenagaan, sarana dan prasarana, pembiayaan, pendayagunaan teknologi informasi, dan akuntabilitas publik baik secara internal maupun dengan pihak stakeholders.

Pada intinya tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan fakta implementasi otonomi daerah dalam bidang pendidikan di lapangan sebagaimana adanya. Kemudian melakukan deskripsi dan analisis atas konsep, proses dan model perencanaan pendidikan partisipatif berbasis kewilayahan dalam lingkup Propinsi Jawa Barat. Dengan demikian, metode penelitian yang paling dianggap relevan adalah metode penelitian deskriptif dengan pendekatan analisis penelitian naturalistik-kualitatif (Nasution, 1988). Metode ini dipilih untuk mendalami setiap permasalahan yang diteliti sehingga pemecahannya sesuai dengan kaidah-kaidah keilmuan dan akhirnya dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi maksud dan tujuan penelitian. Akan tetapi, karena masalah pelaksanaan otonomi


(26)

penyelenggaraan pendidikan di daerah bukan hanya sekedar realitas sosial yang bersifat kontekstual, maka teknik penelitian yang dipandang relevan dengan konteks ini ialah teknik pendalaman kajian. Penggunaan teknik ini, menurut Nasution (1985:14), memiliki kelenturan untuk menyesuaikan dengan hal-hal yang bersifat ganda, dan lebih peka terhadap penajaman nilai yang ditemui.

B. SUMBER DATA DAN SAMPEL PENELITIAN

Penentuan sampel dalam penelitian kualitatif didasarkan pada tujuan penelitian atau purposive sampling, artinya besarnya sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian. Demikian juga dengan anggota sampel bersifat emergence sampling, tidak tetap, terus mengalami perubahan selama penelitian, sampai terpenuhinya data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaaan penelitian.

Sumber data penelitian ini berkenaan dengan eksistensi Pemerintah Propinsi yang dipandang sebagai total sistem, dan mempunyai keterkaitan dengan sistem lain. Sebagai total sistem, Pemerintah Propinsi dalam penyelenggaraan pemerintahannya mempunyai perangkat kendali, perangkat operasional, dan perangkat pendukung.

Berdasarkan pada aspek-aspek kelembagaan Pemerintah Propinsi, maka sumber data penelitian dikelompokkan: Pertama, perangkat perundang-undangan yang menjadi penentu arah pelaksanaan pendidikan di daerah yang sesuai dengan batas dan ruang lingkup kewenangannya; Kedua, perangkat proses manajemen implementasi kebijakan penyelenggaraan pendidikan, pendayagunaan sumber daya manusia, material, teknologi, dan dana, serta kepemimpinan pemerintahan; Ketiga, lingkungan sosial proses implementasi kebijakan penyelenggaraan


(27)

pendidikan yang berkaitan dengan unsur lokasi, situasi, konteks, keadaan, waktu, gejala-gejala, peristiwa-peristiwa, benda-benda yang digunakan yang diwujudkan dalam rumusan kurikulum pendidikan.

Data tersebut, selanjutnya akan menjadi bahan analisis yang diperlukan bagi penyusunan dan penetapan konsep, proses dan model perencanaan pendidikan partisipatif berbasis kewilayahan yang relevan dengan kehendak UU. No.32 Tahun 2004 di Propinsi Jawa Barat.

Penentuan sumber data yang dijadikan unit analisis dalam penelitian ini merujuk prosedur dan teknik sebagaimana disarankan dalam paradigma penelitian kualitatif, yaitu dengan menggunakan teknik snowball sampling.

Unit analisis bagi kepentingan penyusunan kebijakan umum implementasi otonomi daerah ini ialah para penyelenggara pemerintahan daerah serta stakeholders yang senantiasa berkaitan dan berkepentingan dengan implementasi otonomi daerah di Jawa Barat.

Secara terperinci, unit analisis ini meliputi sumber data primer dan studi terhadap sumber data sekunder. Sumber data primer terdiri dari:

(1) Unsur Kepala Daerah dan DPRD;

(2) Unsur Kepala Dinas, Badan dan Kantor (SKPD) yang membidangi urusan pendidikan;

(3) Unsur Pelaku Usaha dan Masyarakat, termasuk di dalamnya unsur sekolah selaku obyek pengamatan dalam penelitian ini (Stakeholders); Sedangkan studi dokumentasi dari sumber data sekunder, terdiri dari:


(28)

(1) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN)

(2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 125 Tahun 2004)

(3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 126 Tahun 2004)

(4) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Lembaran Negara RI Nomor 78 Tahun 2003)

(5) Peraturan Pemerintah Nomor 108 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pertanggungjawaban Kepala Daerah (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 209, Tambahan lembaran Negara nomor 4027).

(6) Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

(7) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat

(8) Peraturan Derah Propinsi Jawa Barat Nomor 3 Tahun 2003 tentang Program Pembangunan Daerah Propinsi Jawa Barat

(9) Peraturan Daerah Propinsi Jawa Barat Nomor 1 Tahun 2004 tentang Rencana Strategis Pemerintah Propinsi Jawa Barat Tahun 2003–2008. (10) Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2008 tentang Rencana

Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Daerah Propinsi Jawa Barat Tahun 2005-2025.


(29)

(11) Peraturan Gubernur Propinsi Jawa Barat Nomor 72 Tahun 2005 tentang Tata Cara Perencanaan Pembangunan Tahunan Daerah.

(12) Kesepakatan Arah Kebijakan Umum APBD Tahun Anggaran 2006 Antara Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan DPRD Propinsi Jawa Barat. (13) Rencana Strategis (Renstra) Dinas Pendidikan Tahun 2006

(14) Perencanaan Umum Pembangunan Makro Pendidikan Propinsi Jawa Barat Tahun 2006

(15) Program Kerja Dewan Pendidikan Propinsi Jawa Barat Tahun 2006

C. PROSEDUR PENGUMPULAN DATA

1. Teknik Pengumpulan Data

Keberhasilan penelitian naturalistik sangat ditentukan oleh ketelitian, kelengkapan catatan lapangan (field note) yang disusun peneliti. Catatan lapangan disusun berdasarkan hasil pengamatan (observation), wawancara secara mendalam (deep interview), dan studi dokumenter (Bogdan dan Biklen, 1982:73).

Sesuai tujuan dan metode penelitian yang dipilih, maka teknik pengumpul data yang digunakan difokuskan pada telaah dokumen, observasi partisipasi aktif, dan wawancara secara terbuka.

a. Studi Dokumen. Teknik ini digunakan untuk memperoleh sejumlah informasi berkenaan dengan benda-benda, alat atau fasilitas rumusan kebijakan dan perencanaan tentang penyelenggaraan pendidikan pada tingkat pemerintahan propinsi, yang diupayakan untuk memperoleh data, mengapa dokumen tersebut dibuat ?, dan bagaimana peran dokumen perencanaan itu di lapangan ?.


(30)

b. Teknik Observasi Partisipasi Aktif. Teknik ini digunakan untuk memperoleh sejumlah data tentang konteks nyata proses penyusunan rencana pembangunan pendidikan di daerah. Aspek-aspek yang diobservasi mencakup perilaku aparatur perencana pendidikan, situasi dan tempat terjadinya proses penyusunan rencana pembangunan pendidikan serta elemen-elemen masyarakat yang terkait dalam proses perencanaan pembangunan bidang pendidikan di daerah..

c. Teknik Wawancara Terbuka. Teknik Wawancara Terbuka menggunakan sejumlah daftar pertanyaan yang perlu dijawab secara tertulis maupun lisan. Teknik ini untuk memperoleh sejumlah informasi dari pikiran, perasaan, pengetahuan dari aparat perencana, pelaksana dan pemakai pendidikan di daerah.

2. Alat Pengumpul Data

Nasution (1985:55-56) mengemukakan bahwa manusia sebagai instrumen utama dalam penelitian kualitatif dipandang lebih cermat dengan ciri-ciri sebagai berikut: (1) manusia sebagai alat, peka dan dapat bereaksi terhadap segala stimulans dari lingkungan yang harus diperkirakannya bermakna atau tidak bermakna bagi peneliti, (2) manusia sebagai alat, dapat menyesuaikan diri terhadap semua aspek keadaan dan dapat mengumpulkan aneka ragam data sekaligus, (3) setiap situasi merupakan suatu keseluruhan, (4) suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia, tidak dapat dipahami dengan pengetahuan semata-mata, (5) peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh, (6) hanya manusia sebagai instrumen dapat mengambil kesimpulan


(31)

berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera menggunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, atau perbaikan; (7) manusia sebagai instrumen, responden yang aneh, yang menyimpang justru diberi perhatian.

Namun demikian, untuk mendukung proses pengumpulan dan pengolahan data digunakan pula instrumen tambahan, seperti:

a. Kisi-kisi Instrumen Penelitian, yang digunakan sebagai panduan untuk membuat pemetaan terhadap permasalahan penelitian, data yang diperlukan, sumber data, teknik pengumpulan data dan analisis data (Lampiran 1);

b. Format Telaah Dokumen, digunakan sebagai catatan lapangan hasil telaahan terhadap dokumen-dokumen yang menjadi sumber data, yang berkenaan dengan aspek-aspek yang ditelaah/dipelajari, jenis dokumen, deskripsi data dan penafsiran data (Lampiran 2);

c. Format Pedoman Wawancara, digunakan sebagai catatan lapangan untuk melaksanakan wawancara berisi sejumlah daftar pertanyaan, responden, jawaban responden, dan konfirmasi (Lampiran 3);

d. Format Pedoman Observasi, digunakan sebagai catatan lapangan untuk merekam data yang berisi aspek-aspek yang diamati/diobservasi, situasi dan kondisi, deskripsi data, dan tafsiran data (Lampiran 4);

e. Format Analisis dan Penafsiran Data, digunakan sebagai panduan untuk menganalisis data berdasarkan hasil dari catatan lapangan yang bersumber dari hasil telaah dokumen, wawancara, dan observasi (Lampiran 5);


(32)

f. Format Rangkuman Data, digunakan sebagai panduan untuk mengelompokkan dan mengkatagorisasi data berdasarkan hasil analisis terhadap problematik yang diteliti berdasarkan aspek-aspek prioritas masalah, tujuan, sasaran, asumsi dan strategi pemecahan masalah (Lampiran 6).

3. Proses Pengumpulan Data

Dalam penelitian kualitatif tidak ada pola atau prosedur pengumpulan data yang pasti. Nasution (1988:37) mengatakan "masing-masing peneliti dapat memberikan sejumlah petunjuk dan saran berdasarkan pengalaman masing-masing". Namun Lincoln dan Guba (1985:39-44) memberikan prosedur pelaksanaan pengumpulan data berikut ini:

Pertama, tahap orientasi, yang dilaksanakan untuk memahami secara lebih mendalam masalah, lokasi, kondisi responden, dan hal-hal yang mendukung dan menghambat pelaksanaan penelitian. Hasilnya dipergunakan sebagai referensi untuk mencari dan menyempurnakan tema-tema penting untuk dijadikan fokus penelitian. Kedua, tahap penelitian sesungguhnya, yang dilaksanakan dengan mempergunakan teknik pengumpulan data sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya.

Namun demikian, dari kedua tahap tersebut penulis berkesimpulan bahwa secara umum penelitian dapat dilakukan dengan empat tahap, yaitu tahap orientasi, eksplorasi, analisis data, dan laporan penelitian. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut ini.


(33)

STUDI PENDAHULUAN OBSERVASI WAWANCARA DOKUMENTASI PENYUSUNAN DESAIN PENELITIAN PENGUMPULAN DATA OBSERVASI WAWANCARA DOKUMENTASI KONSEP TEORI ANALISIS DATA

VERIFIKASI & VALIDASI

PEMBAHASAN DAN PEMAKNAAN PENYUSUNAN

LAPORAN

TAHAP I : ORIENTASI

TAHAP II : EKSPLORASI

TAHAP III : ANALISIS DATA

TAHAP IV : PELAPORAN DEPENDABILITY MEMBER CHECKING CREDIBILITY PROLONGED ENGAGEMENT TRIANGULATION TRANSFERABILITY Gambar 3.1 PROSES PENELITIAN

D. TEKNIK ANALISIS DATA

Pengolahan data dilakukan secara terus menerus sejak penulis memahami data yang diperlukan sampai seluruh data terkumpul. Setiap perolehan data dari Catatan Lapangan kemudian direduksi, dikelompokkan, dideskripsikan, dianalisis, dan diinterpretasikan ke dalam Lembar Rangkuman.


(34)

(1) Penelaahan dan reduksi data. Melakukan penelaahan data hasil observasi, wawancara, dan studi dokumentasi dari berbagai sumber data langsung di lapangan. Terhadap data tersebut kemudian ditelaah, dibaca, dipahami khususnya makna dalam konteks masalah yang sedang diteliti, selanjutnya direduksi dengan membuat abstraksinya.

(2) Unitisasi data. Melakukan penyusunan data dalam satuan-satuan (unit) masalah, atau kodifikasi data, sehingga data mentah dirubah secara sistematis menjadi unit-unit yang dapat diuraikan sesuai dengan ciri-ciri khasnya. Kemudian membuat batasan dan memilah-milah serta mengidentifikasikan masing-masing unit untuk analisis selanjutnya.

(3) Kategorisasi. Adalah pengelompokan atau tumpukan data berdasarkan pikiran, intuisi, pendapat, atau kriteria tertentu.

(4) Penafsiran data. Pemberian makna atau tafsiran terhadap data yang telah dikategorisasikan melalui deskripsi makna analitis tentang unit dan kategori serta hubungan antara unit setiap kategori.

Analisis selanjutnya dilakukan pendalaman kajian melalui tahap-tahap: Pertama, tahap Penyajian Informasi, merupakan tahap menggambarkan data yang disajikan dalam bentuk deskripsi terintegrasi dari Catatan Lapangan dan Lembar Rangkuman; Kedua, tahap Analisis Historis Komparatif untuk membandingkan 2 (dua) model yang berbeda yang merupakan proses analisis keseluruhan data dari perspektif etik dan emik, dan kemudian diarahkan kepada interpretasi data.


(35)

E. KEABSAHAN DATA

Untuk memperoleh keabsahan data dalam penelitian ini dipergunakan kriteria:

1. Credibility, dipergunakan untuk mengetahui sejauh mana kebenaran hasil penelitian dapat mengungkapkan realitas yang sesungguhnya.

2. Prolonged engagement, untuk mengatasi distorsi keberadaan peneliti di lapangan.

3. Triangulation, untuk menguji kebenaran hasil temuan penelitian melalui sumber informasi yang beragam dengan membandingkan data hasil observasi dan wawancara dengan responden yang terkait.

4. Member checking, melalui proses konfirmasi dengan meminta pandangan responden tentang hasil penelitian baik secara formal maupun informal. 5. Transferability, untuk menjamin bahwa hasil penelitian yang diperoleh dapat

diterapkan dalam konteks situasi yang lain.

6. Dependability, untuk mengukur dependabilitas penelitian ini peneliti melakukan: (1) Menentukan langkah-langkah penelitian secara sistematis; (2) Melakukan upaya konsistensi instrumen dengan cara membuat catatan lapangan hasil observasi, wawancara, dan analisis dokumen; (3) Mengkategorikan susunan data berdasarkan hasil catatan lapangan yang dibuat sesuai dengan kerangka masalah penelitian; (4) Membuat laporan sementara hasil penelitian, disertai dengan interpretasi dan analisis secara bertahap sesuai permasalahan dan merumuskan rangkuman hasil penelitian tersebut.


(36)

182

BAB V

MODEL PERENCANAAN PENDIDIKAN PARTISIPATIF BERBASIS KEWILAYAHAN DALAM KONTEKS OTONOMI DAERAH UNTUK MENINGKATKAN INDEKS PENDIDIKAN DALAM MENUNJANG

PENCAPAIAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA (IPM) DI PROPINSI JAWA BARAT

A. KARAKTERISTIK

Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan (PPPBK), merupakan representasi proses perencanaan pendidikan yang melibatkan seluruh kepentingan (stakeholders), sebagai alternatif penyempurnaan terhadap model perencanaan yang sudah ada pada saat ini dilengkapi dengan penggunaan Proses Hirarki Analitik (PHA) dalam penentuan prioritas berdasarkan kriteria yang sudah ditentukan. Partisipatif, masyarakat dan sektor swasta diikut-sertakan di dalam persiapan, perencanaan, pelaksanaan pembangunan pendidikan maupun di dalam pengoperasian dan pemeliharaan hasil-hasil pembangunannya. Selain itu rencana, program, dan informasi pembangunan ditempatkan di dalam domain publik (disebar-luaskan). Selanjutnya masyarakat dan sektor swasta diberi kesempatan untuk ikut di dalam pendanaan pembangunan dan dimungkinkan adanya komersialisasi terhadap fasilitas publik yang tentunya harus sesuai dengan peraturan yang berlaku. Yang penting juga adalah bahwa masyarakat diikut-sertakan di dalam pengambilan keputusan pada saat pemilihan prioritas. Inisiatif masyarakat dan sektor swasta di dalam pembangunan pendidikan perlu didorong untuk selanjutnya difasilitasi, diarahkan dan diatur.


(37)

Karena hal baru/perubahan kearah menjadi lebih baik sehingga untuk dapat diimplementasikan perlu disiapkan strategi dan agenda komunikasi yang efektif khususnya terhadap pihak internal Pemerintah Propinsi Jawa Barat.

Beberapa penjelasan berkaitan dengan Model Perencanaan Partisipatif Berbasis Kewilayahan ini adalah sebagai berikut:

1. Legal dan etikal, dalam hal ini perencanaan dan penganggaran pembangunan pendidikan dilakukan dengan mengacu pada semua peraturan dan norma yang berlaku, menjunjung tinggi etika dan tata nilai masyarakat, tidak memberi peluang bagi penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan serta implementasi rencana pembangunan melalui tata administrasi negara.

2. Berorientasi pada pemenuhan kebutuhan masyarakat, yaitu rencana disiapkan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat, dalam hal ini masyarakat tahu dan sepakat terhadap apa yang akan dibangun ditinjau dari segi lokasi maupun waktu pembangunan.

3. Interaktif dan dinamis, fokus pada proses perencanaan, bukan pada rencana, rencana pembangunan harus mencerminkan kepentingan dan tata nilai dari semua pihak yang terkait, proses perencanaan pembangunan berlangsung secara berkelanjutan, obyektivitas yang rasional dalam pembangunan perlu dipenuhi dengan penerpapan konsep akseptabilitas yang tercermin di dalam subyektivitas yang konsisten. Kondisi masa lampau dan masa kini serta prediksi tentang masa depan akan digunakan sebagai masukan untuk merancang masa depan dan mencari jalan untuk mewujudkannya. Dan yang paling penting tugas perencana bukan lagi merencana untuk orang lain, tetapi


(38)

4. Integratif sinergis, Berkelanjutan, pembangunan terdahulu menjadi persiapan bagi pembangunan lain di masa depan, demokratis, perencanaan pembangunan berlangsung secara demokratis.

5. Holistik, tuntas, komprehensif, dan utuh, simultan, perencanaan pembangunan pendidikan perlu dijalankan secara bersamaan dan menyeluruh pada semua tingkatan; interdependen, perencanaan pembangunan pendidikan dilakukan dengan memperhatikan interaksi yang terjadi di antara pihak-pihak yang berkepentingan (stakeholders).

6. Wawasan global, tindakan lokal, mau belajar dari pengalaman bangsa lain, bekerja dengan standar internasional, adaptif yaitu pandai memilih untuk ditiru hal-hal yang terbaik dari bangsa lain, untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi lokal sebelum diterapkan serta peka terhadap kondisi lokal.

B. TUJUAN

Tujuan pemodelan Sistem Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan (PPPBK) adalah untuk memperbaiki kinerja perencanaan pendidikan di Propinsi Jawa Barat yang secara langsung akan meningkatkan pencapaian target pembangunan di bidang pendidikan di Propinsi Jawa Barat.

Dari sisi akademik, model berguna untuk menjelaskan fenomena atau obyek-obyek; dalam hal ini model berfungsi sebagai pengganti teori, namun bila teorinya sudah ada maka model dipakai sebagai konfirmasi atau koreksi terhadap teori tersebut. Dari sisi manajerial, model berfungsi sebagai alat pengambil keputusan, komunikasi, belajar dan memecahkan masalah.


(39)

C. ASUMSI

Untuk mewujudkan visi dan misi Jawa Barat Tahun 2005- 2025 khususnya dalam bidang pendidikan melalui perencanaan pendidikan partisipatif yang berbasis kewilayahan, dibutuhkan prasyarat:

1. Pembagian urusan pendidikan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota sudah sangat jelas sehingga bentuk organisasi pengelola pendidikan, distribusi kuantitas dan kualitas SDM pengelola pendidikan dan penganggaran merupakan implikasi dari kewenangan tersebut.

2. Propinsi merancang dan melaksanakan kegiatan berfokus kepada urusan yang menjadi tanggung jawabnya terutama pertimbangan skala urusan, 3. Model menjadi acuan bersama yang disepakati oleh berbagai pihak terutama

kesepakatan antara Pemerintah Propinsi dengan DPRD Propinsi Jawa Barat. 4. Keselarasan visi dan misi (alignment vision and mission) antara propinsi dan

kabupaten/kota;

5. Komitmen bersama antara propinsi dan kabupaten/kota melalui kepemimpinan Gubernur dan Bupati/Walikota, melalui prinsip-prinsip: kebersamaan (togetherness), kemandirian (selfhelp), dan keberlanjutan (sustainability). Ketiga prinsip tersebut diwujudkan melalui pendekatan secara komprehensif yaitu: peningkatan modal sosial (social capital), pemberdayaan (empowerment), tata kelola kepemerintahan (good governance), membangun saling kepercayaan (trust each others), dan komunikasi yang sehat (health of communication).


(40)

D. KOMPONEN MODEL DAN SALING KETERKAITANNYA

Komponen sistem berperan sesuai dengan fungsinya (Pemimpin dan yang dipimpin, pemerintah dan non pemerintah, pusat dan daerah, perencana, pelaksana, pengendali dsb). Spesialisasi sesuai dengan bidangnya secara profesional sesuai bidang tugasnya. Pemerintah secara bertahap kembali ke core competency-nya yaitu regulator, fasilitator sehingga dituntut kehandalannya.

Untuk menjamin berjalannya model perencanaan sampai dengan penyusunan anggaran dibuat aturan dan kode etik yang jelas sampai petunjuk teknisnya, hindari toleransi terhadap pelangaran aturan, keistimewaan-keistimewaan dijelaskankan secara terbuka/transparan atau menjadi fasilitas karena jabatan kalau memang diperlukan.

Mekanisme/prosedur penyusunan perencanaan sampai penyusunan program yang didahului oleh penyusunan evaluasi diri, dapat menggunakan model Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan sebagaimana gambar berikut:


(41)

1

8

7

Gambar 5.1

MODEL PERENCANAAN PENDIDIKAN PARTISIPATIF YANG BERBASIS KEWILAYAHAN


(42)

Penjelasan Model

1. Umum :

Untuk mampu mengantisipasi persaingan global dan bervariasinya kondisi serta karakteristik wilayah/daerah, Pemerintah Indonesia memahami pentingnya untuk memberikan hak dan kewenangan berjenjang kepada pemerintah daerah dalam mengelola daerah secara lebih mandiri melalui pemberian otonomi daerah. Lebih jauh, otonomi daerah merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk penyelenggaraan suatu organisasi pemerintahan yang sehat, efektif, efisien, dan berbasis pada output dan outcomes serta mampu melakukan kompetisi.

Dalam keleluasaan kewenangan tersebut, pemerintah daerah perlu menyikapinya dengan merancang dan melaksanakan program yang berkualitas dengan akuntabilitas yang tinggi, karena keberlanjutan dari suatu organisasi akan sangat bergantung pada kualitas layanan dari organisasi itu kepada stakeholders -nya dan akuntabilitas dari organisasi dalam menggunakan dana publik. Hal ini sejalan dengan perubahan lingkungan strategis yang menuntut adanya perbaikan bagi seluruh organisasi baik pemerintah maupun non pemerintah untuk dapat memahami dan mengimplementasikan konsep Good Governance (kepemerintahan yang baik), Reinventing Government (mewirausahakan birokrasi) dan Community based Development (pembangunan berbasis masyarakat) yang bermuara kepada peningkatan etika, efektivitas, pembelajaran dan penguatan tata kelola dan demokrasi khususnya di pemerintahan dalam pengelolaan pembangunan pendidikan.


(43)

Untuk hal tersebut perlu dibangun budaya yang sesuai dengan kondisi saat ini secara bertahap, melalui perbaikan proses dengan mengimplementasikan Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan (PPPBK) sebagai refleksi dan tanggapan pemerintah daerah dalam mengadaptasi perubahan lingkungan strategis dan mengantisipasi masa depan.

Tahap awal pelaksanaan PPPBK, kepada setiap kabupaten/kota pengusul diwajibkan untuk melakukan evaluasi diri sebagai dasar guna menyusun program ”pengobatan” terhadap masalah yang dihadapi secara sistematis, dengan didukung oleh studi kelayakan.

PPPBK diharapkan dapat membina kerjasama antar SKPD untuk memenuhi tuntutan memecahkan masalah secara komprehensif, sekaligus diharapkan dapat menggairahkan semangat kabupaten/kota serta SKPD untuk berkompetisi secara sehat dengan menunjukkan keunggulan kinerjanya.

Apabila pemerintah kabupaten/kota telah terbiasa menyusun program berbasis evaluasi dirinya, maka output yang diharapkan adalah pemerintah daerah dapat menyusun rencana program kerja dengan fisibilitas yang tinggi dengan tujuan akhirnya adalah peningkatan IPM daerah guna mendukung pencapaian IPM 80 Jawa Barat pada tahun 2015. Budaya tersebut merupakan fondasi dalam membentuk budaya dan semangat baru dari pemerintah kabupaten/kota untuk menjalankan program secara bertanggungjawab serta akuntabilitas tinggi.

Kemampuan melakukan evaluasi diri serta menyusun rencana kerja dan anggaran dengan fisibilitas tinggi merupakan kemampuan dasar bagi Pemerintah


(44)

Kabupaten/Kota untuk menyusun Rencana Strategis Jangka Panjang dengan fisibilitas tinggi dalam menghadapi tantangan global.

Setelah budaya tersebut tumbuh, SKPD/pemerintah daerah diharapkan dapat menjalankan program-program dengan menekankan pada pencapaian kualitas yang tinggi.

2. Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan (PPPBK) 1) Merupakan model perencanaan untuk bantuan pendanaan bagi program

dan kegiatan yang berdampak kepada akselerasi peningkatan IPM Jawa Barat khususnya Indeks Pendidikan, secara berkelanjutan karena melibatkan kepentingan berbagai stakeholders yang relevan.

2) Merupakan model untuk menseleksi program yang berbasis aktivitas (activity-based) sesuai dengan kebutuhan nyata dengan indikator keberhasilan terukur, inovatif, dan dikelola dengan akuntabilitas tinggi. 3) Model interaktif untuk menyusun program dan dilaksanakan secara

bersama-sama antara pemerintah kabupaten/kota, masyarakat, swasta, dan komunitas perguruan tinggi setempat.

4) Sumber pendanaan bersifat on top diluar pendanaan bantuan reguler dari Pemerintah Propinsi Jawa Barat, yang dikompetisikan melalui penilaian proposal pengusul, berbasis keunggulan kinerja kabupaten/kota dan memenuhi kriteria seleksi

3. Proposal disusun oleh Pemerintah Kabupaten/Kota bersama-sama dengan masyarakat, swasta/dunia usaha, Perguruan Tinggi dan/atau lembaga


(45)

pendidikan tinggi setempat sesuai dengan tahapan seleksi dan diusulkan oleh Bupati/Walikota kepada Gubernur.

4. Pengusul proposal untuk program diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) kluster berbasis pada:

1) Pencapaian IPM oleh kabupaten/kota pada tahun dasar (40%)

2) Peningkatan IPM yang dicapai oleh kabupaten/kota selama 5 tahun terakhir (30%)

3) Pencapaian IPM kabupaten/kota saat ini terhadap target IPM kabupaten/kota yang direncanakan oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat (30%)

5. Kluster adalah pengelompokkan wilayah kabupaten/kota yang berkompetisi berdasarkan parameter tertentu. Kegunaan kluster adalah untuk menyandingkan suatu wilayah kabupaten/kota pada posisi yang seimbang dan adil dalam berkompetisi dengan wilayah kabupaten/kota lainnya. Masing-masing kluster mempunyai misi pendanaan tertentu yang tidak sama, sesuai dengan tingkat pencapaian IPM-nya. Masing-masing pendanaan dikemas dalam bentuk Program Pendanaan 1 (untuk Kluster 1), PP2 (untuk Kluster 2), dan PP3 (untuk Kluster 3).

6. Tahap seleksi terdiri dari 5 (lima) tahap, yaitu: 1) Tahap Seleksi Proposal Evaluasi Diri (PED) 2) Tahap Seleksi Proposal Komprehensif (PP1/2/3)

3) Tahap Konfirmasi melalui Kunjungan Lapangan (KKL) 4) Tahap Seleksi Proposal Implementasi Program (PIP)


(46)

5) Tahap Costing

7. Pada setiap tahap seleksi dilakukan penilaian kualitas usulan sesuai dengan dokumen proposal yang disampaikan oleh reviewer, berdasarkan kriteria pada masing-masing tahapan yang sudah ditentukan. Hasil seleksi pada setiap tahapan digunakan sebagai dasar rekomendasi calon pemenang program yang diajukan Tim Reviewer kepada Gubernur. Tim Reviewer bersama Tim Satlak Propinsi pada setiap akhir tahapan melakukan evaluasi untuk bahan perbaikan apabila diperlikan, sehingga menjamin berjalannya tahapan berikutnya sesuai dengan rencana dan melaporkan kepada Gubernur

8. Tim Reviewer dibentuk berdasarkan Keputusan Gubernur dengan struktur organisasi terdiri dari:

Pimpinan terdiri dari Pengarah/Narasumber Utama, Ketua, Wakil Ketua, dan dua orang Sekretaris Tim Reviewer merangkap sebagai anggota.

Pimpinan dan Anggota Tim Reviewer diangkat dan diberhentikan melalui Keputusan Gubernur. Dalam pelaksanaan tugasnya, Pimpinan dan Anggota Tim Reviewer mengacu kepada Kode Etik Tim Reviewer dan peraturan lainnya yang berlaku untuk PPK dan memperoleh imbalan berbasis kinerja. Tim Reviewer bertugas untuk melaksanakan pendampingan, monitoring dan evaluasi Pasca Program selama 2 (dua) tahun berturut-turut

Anggota Tim Reviewer terdiri atas unsur masyarakat profesional, unsur Pemerintah Provinsi Jawa Barat, dan unsur perguruan tinggi yang peduli terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat Jawa Barat.


(47)

Dalam melaksanakan tugasnya, Pimpinan Tim Reviewer dapat meminta bantuan dari berbagai pihak yang relevan dengan Program sebagai narasumber

9. Satuan Pelaksana (Satlak) Program Propinsi merupakan aparatur pemerintah propinsi yang bertugas melaksanaan perencanaan dan penyelenggaraan administrasi Program pada tingkat propinsi, penyelenggaraan sosialisasi, layanan konsultasi dan pendampingan terhadap para pelaksana program, kompilasi data serta menyusun perencanaan dan pelaksanaan monitoring serta evaluasi program.

E. STRATEGI IMPLEMENTASI

Implementasi Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif merupakan bagian dari pengelolaan perubahan baik pada lingkungan internal maupun eksternal, sehingga perlu proses komunikasi yang efektif disertai dengan pencitraan.

Setiap kali sebuah perubahan mulai digulirkan, selalu saja muncul dua pihak: mereka yang ketakutan (takut kehilangan jabatan, kehilangan kenikmatan-kenikmatan) terutama di pihak internal dan mereka yang menaruh banyak harapan.

Ekspektasi berubah warna menjadi hasrat harapan antara lain karena proses komunikasi yang dibumbui oleh pencitraan. Harapan sesungguhnya adalah modal yang bagus untuk merangsang perubahan, kalau tujuannya melibatkan mereka sebagai salah seorang aktor dalam perubahan itu sendiri. Tetapi akan menjadi beban manakala peserta pasif dan hanya menunggu atau mendengar.


(48)

Oleh karena itu, meski sebagian besar orang memiliki harapan yang realistis, masih banyak orang yang menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Ekspektasi dan harapan akan menimbulkan kekecewaan atau kepuasan manakala ia bertemu dengan realitas.

Pemimpin perubahan tentu tidak dapat memenuhi harapan semua orang. Selain karena harapan setiap orang berbeda-beda, kadang-kadang ditemui sejumlah orang yang datang dengan harapan yang berlebihan dan tidak realistis. Tapi manusia umumnya tidak semata-mata menilai apa yang ia terima, melainkan juga upaya-upaya yang telah dilakukan para pemimpin perubahan, pendekatan-pendekatannya, serta pengorbanan-pengorbanan yang diberikan.

Oleh karena itu, pemimpin perubahan bukan hanya perlu mengomunikasikan hasil dari perubahan itu sendiri, melainkan juga upaya-upaya yang sedang dilakukan serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Bahkan dalam banyak hal, para pengikut jauh lebih menghargai upaya-upaya yang telah dilakukan daripada hasilnya itu sendiri. Dengan kata lain, manusia mampu dan rela menyesuaikan (melakukan adjustment) terhadap harapan-harapannya sehingga lebih siap menerima realitas yang berada di bawah harapannya semula, sepanjang ia dapat mengerti faktor-faktor penyebab yang dapat diterima oleh akal.


(49)

195

BAB VI

KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN IMPLIKASI

A. KESIMPULAN

1. Selama ini bidang pendidikan masih dijadikan media atau alat untuk meningkatkan popularitas (populis) bagi parpol atau calon kepala daerah terutama menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

2. Walaupun sudah terbit Peraturan Pemerintah No. 38 tentang Pembagian Urusan, namun secara tegas belum ada kejelasan pembagian urusan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota yang akan berdampak kepada struktur, tata kerja organisasi, alokasi kuantitas dan kualitas SDM serta anggaran sehingga tanggung jawab menjadi jelas.

3. Dengan belum adanya kejelasan kewenangan maka banyak terjadi pelanggaran terhadap aturan khususnya dalam pengalokasian anggaran yang mengakibatkan, Belanja Tidak Langsung (BTL) dalam struktur APBD pemerintah Propinsi Jawa Barat menjadi jauh lebih di atas Belanja Langsung (BL), padahal sistem anggaran sudah mengarah kepada Anggaran Berbasis Kinerja

4. Dalam proses penyusunan anggaran pihak DPRD menginginkan alokasi bantuan sebagai perwujudan memenuhi janji daerah pemilihan, demikian juga Organisasi Perangkat Daerah menginginkan hal yang sama. Apabila dicermati, maka kondisi tersebut mengindikasikan masih adanya hubungan ”patron-klien” di lingkungan pemerintah baik antar pemerintah maupun pemerintah dengan masyarakatnya.


(50)

5. Dalam proses perencanaan pendidikan, bidang pendidikan masih ditempatkan sebagai salah satu sektor pembangunan; bahkan lebih sempit lagi pendidikan diartikan sebagai persekolahan yang menjadi milik pemerintah atau sekolah negeri.

6. Sebagai wujud nyata otonomi dan desentralisasi, diperlukan perbaikan proses perencanaan melalui pengusulan satu alternatif Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif yang Berbasis Kewilayahan (PPPBK) untuk memperbaiki kinerja perencanaan pembangunan.

7. Karena model perencanaan ini merupakan model baru, maka untuk implementasi diperlukan strategi implementasi melalui manajemen perubahan, dalam hal ini penerapan model dilakukan secara gradual sambil membuka peluang terjadinya interaksi pembelajaran antar stakeholders. 8. Dengan Model Perencanaan Partisipatif yang Berbasis Kewilayahan maka

orientasi perencanaan tidak lagi merencanakan orang lain tapi, memfasilitasi perencanaan secara bersama sama.

9. Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif yang Berbasis Kewilayahan ini, bersifat holistik dan sesuai dengan aturan baik legal maupun etikal, efektif, serta membuka peluang lebih besar lagi untuk terjadinya interaksi proses pembelajaran antar stakeholders yang akan mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan.

10. Di dalam manajemen perubahan, selalu terjadi adanya kelompok yang mendukung dan menolak perubahan, sehingga dirancang sebuah strategi komunikasi yang efektif termasuk menghilangkan kemungkinan adanya


(51)

kesan eklusif terhadap program dan pengelolanya sehingga seperti terpisah dari lingkungan sekitarnya.

11. Perencanaan Pendidikan Partisipatif yang Berbasis Kewilayahan akan mendorong reformasi birokrasi di bidang pendidikan termasuk adanya perbaikan insentif bagi pengelola internal ke arah Insentif Berbasis Kinerja (IBK).

B. REKOMENDASI

1. Sebagai konsekuensi dari Desentralisasi dan pemberian kewenangan otonomi yang luas kepada pemerintah daerah kabupaten/kota kjususnya dalam bidang pendidikan, maka dalam aspek kelembagaan harus diikuti dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Likuidasi lembaga-lembaga vertikal di daerah, baik itu kantor wilayah di daerah propinsi dan kantor departemen di daerah kabupaten/kota (kecuali untuk urusan yang masih dipegang pusat);

b. Perampingan struktur kelembagaan di propinsi seperti hilangnya beberapa struktur kedinasan (kecuali untuk urusan yang bersifat lintas/antar daerah kabupaten/kota);

2. Perampingan struktur di tingkat pemerintah pusat, fungsi departemen teknis akan diganti oleh yang bersifat koordinatif dan fungsional, terutama untuk menjawab kebutuhan kewenangan departemen teknis yang bersifat lintas daerah propinsi.

3. Berkaitan dengan kondisi tersebut, di masa yang akan datang struktur kelembagaan pemerintah akan terkonsentrasi di daerah kabupaten/kota.


(52)

Dalam hal ini perlu diantisipasi karena akan berdampak baik dalam jangka panjang. Akan tetapi ada masa transisi, dimana pemerintah daerah dihadapkan kepada berbagai keterbatasan serta konflik yang cukup berat dalam menata aspek kelembagaan ini. Di satu sisi budaya “ewuh pakewuh” masih tertanam, adanya motif power pusat yang masih kuat ditambah lagi sifat ketergantungan yang masih tinggi akan dirasakan eksistensinya, kebiasaan memilih pola maksimal akan sangat dibatasi oleh kemampuan keuangan. Dilain pihak, ada kebutuhan untuk tetap mempertahankan status quo dengan menciptakan institusi baru untuk menampung organisasi yang dihapuskan.

4. Mengantisipasi perubahan-perubahan pada lingkungan strategis, maka diperlukan perbaikan model perencanaan pembangunan pendidikan yang partisipatif yang didukung oleh sistem pendukung keputusan (SPK) berbasis teknologi informasi, sehingga menuntut peningkatan kapasitas aparat di lingkungan pemerintahan terutama penguasaan bahasa dan teknologi informasi melalui pengembangan kapasitas (Capacity Building) 5. Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan (PPPBK)

merupakan alternatif usulan Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif sebagai rintisan ke arah reformasi birokrasi dan pemberdayaan masyarakat karena kekuatan misinya dalam upaya peningkatan kapasitas (capacity building).


(53)

C. IMPLIKASI

Mencermati Proses dan hasil pengkajian terhadap sistem perencanaan pendidikan yang ada di Propinsi Jawa barat, maka terjadi ketidak-efisienan dalam penggunaan sumber daya khususnya penganggaran untuk unit kerja.

Upaya-upaya perbaikan kinerja perencanaan terus dilakukan seperti pengembangan model PPK-IPM hasilnya sudah cukup baik, karena memperbaiki proses perencanaan secara partisipatif walaupun dalam jangka pendek masih belum optimal karena perbaikan kinerja perencanaan tidak mungkin dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun.

Pada tingkat propinsi, arah pengembangan program adalah memberikan fokus khusus untuk peningkatan kinerja perencanaan Kabupaten/kota dengan memberikan pengembangan kapasitas (Capacity Building) perencanaan kepada aparat kabupaten/kota dengan berbagai cara dan media sehingga kegiatan tidak langsung ke masyarakat namun lebih banyak memperbaiki kinerja aparat perencana di kabupaten/kota secara interaktif dan dalam proses pembelajaran (learning).

Penggunaan Metoda Proses Hirarki Analitik (PHA) yang sejauh ini pernah diuji coba untuk perencanaan dan penganggaran di Propinsi Jawa Barat, cukup ideal untuk digunakan sebagai model alternatif untuk perbaikan kinerja proses perencanaan. Penggunaan model perencanaan pendidikan yang dilengkapi dengan penggunaan PHA untuk perencanaan pendidikan partisipatif di Propinsi Jawa Barat merupakan model yang bisa digunakan sebagai transisi untuk mendorong menuju reformasi birokrasi yang salah satunya melalui penyusunan agenda restrukturisasi dan rasionalisasi PNS di lingkungan Pemerintah Propinsi Jawa Barat.


(1)

194

Oleh karena itu, meski sebagian besar orang memiliki harapan yang realistis, masih banyak orang yang menaruh ekspektasi terlalu tinggi. Ekspektasi dan harapan akan menimbulkan kekecewaan atau kepuasan manakala ia bertemu dengan realitas.

Pemimpin perubahan tentu tidak dapat memenuhi harapan semua orang. Selain karena harapan setiap orang berbeda-beda, kadang-kadang ditemui sejumlah orang yang datang dengan harapan yang berlebihan dan tidak realistis. Tapi manusia umumnya tidak semata-mata menilai apa yang ia terima, melainkan juga upaya-upaya yang telah dilakukan para pemimpin perubahan, pendekatan-pendekatannya, serta pengorbanan-pengorbanan yang diberikan.

Oleh karena itu, pemimpin perubahan bukan hanya perlu mengomunikasikan hasil dari perubahan itu sendiri, melainkan juga upaya-upaya yang sedang dilakukan serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Bahkan dalam banyak hal, para pengikut jauh lebih menghargai upaya-upaya yang telah dilakukan daripada hasilnya itu sendiri. Dengan kata lain, manusia mampu dan rela menyesuaikan (melakukan adjustment) terhadap harapan-harapannya sehingga lebih siap menerima realitas yang berada di bawah harapannya semula, sepanjang ia dapat mengerti faktor-faktor penyebab yang dapat diterima oleh akal.


(2)

195 BAB VI

KESIMPULAN, REKOMENDASI DAN IMPLIKASI

A. KESIMPULAN

1. Selama ini bidang pendidikan masih dijadikan media atau alat untuk meningkatkan popularitas (populis) bagi parpol atau calon kepala daerah terutama menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah.

2. Walaupun sudah terbit Peraturan Pemerintah No. 38 tentang Pembagian Urusan, namun secara tegas belum ada kejelasan pembagian urusan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota yang akan berdampak kepada struktur, tata kerja organisasi, alokasi kuantitas dan kualitas SDM serta anggaran sehingga tanggung jawab menjadi jelas.

3. Dengan belum adanya kejelasan kewenangan maka banyak terjadi pelanggaran terhadap aturan khususnya dalam pengalokasian anggaran yang mengakibatkan, Belanja Tidak Langsung (BTL) dalam struktur APBD pemerintah Propinsi Jawa Barat menjadi jauh lebih di atas Belanja Langsung (BL), padahal sistem anggaran sudah mengarah kepada Anggaran Berbasis Kinerja

4. Dalam proses penyusunan anggaran pihak DPRD menginginkan alokasi bantuan sebagai perwujudan memenuhi janji daerah pemilihan, demikian juga Organisasi Perangkat Daerah menginginkan hal yang sama. Apabila dicermati, maka kondisi tersebut mengindikasikan masih adanya hubungan ”patron-klien” di lingkungan pemerintah baik antar pemerintah maupun pemerintah dengan masyarakatnya.


(3)

196

5. Dalam proses perencanaan pendidikan, bidang pendidikan masih ditempatkan sebagai salah satu sektor pembangunan; bahkan lebih sempit lagi pendidikan diartikan sebagai persekolahan yang menjadi milik pemerintah atau sekolah negeri.

6. Sebagai wujud nyata otonomi dan desentralisasi, diperlukan perbaikan proses perencanaan melalui pengusulan satu alternatif Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif yang Berbasis Kewilayahan (PPPBK) untuk memperbaiki kinerja perencanaan pembangunan.

7. Karena model perencanaan ini merupakan model baru, maka untuk implementasi diperlukan strategi implementasi melalui manajemen perubahan, dalam hal ini penerapan model dilakukan secara gradual sambil membuka peluang terjadinya interaksi pembelajaran antar stakeholders. 8. Dengan Model Perencanaan Partisipatif yang Berbasis Kewilayahan maka

orientasi perencanaan tidak lagi merencanakan orang lain tapi, memfasilitasi perencanaan secara bersama sama.

9. Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif yang Berbasis Kewilayahan ini, bersifat holistik dan sesuai dengan aturan baik legal maupun etikal, efektif, serta membuka peluang lebih besar lagi untuk terjadinya interaksi proses pembelajaran antar stakeholders yang akan mendorong perbaikan tata kelola pemerintahan.

10. Di dalam manajemen perubahan, selalu terjadi adanya kelompok yang mendukung dan menolak perubahan, sehingga dirancang sebuah strategi komunikasi yang efektif termasuk menghilangkan kemungkinan adanya


(4)

kesan eklusif terhadap program dan pengelolanya sehingga seperti terpisah dari lingkungan sekitarnya.

11. Perencanaan Pendidikan Partisipatif yang Berbasis Kewilayahan akan mendorong reformasi birokrasi di bidang pendidikan termasuk adanya perbaikan insentif bagi pengelola internal ke arah Insentif Berbasis Kinerja (IBK).

B. REKOMENDASI

1. Sebagai konsekuensi dari Desentralisasi dan pemberian kewenangan otonomi yang luas kepada pemerintah daerah kabupaten/kota kjususnya dalam bidang pendidikan, maka dalam aspek kelembagaan harus diikuti dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a. Likuidasi lembaga-lembaga vertikal di daerah, baik itu kantor wilayah di daerah propinsi dan kantor departemen di daerah kabupaten/kota (kecuali untuk urusan yang masih dipegang pusat);

b. Perampingan struktur kelembagaan di propinsi seperti hilangnya beberapa struktur kedinasan (kecuali untuk urusan yang bersifat lintas/antar daerah kabupaten/kota);

2. Perampingan struktur di tingkat pemerintah pusat, fungsi departemen teknis akan diganti oleh yang bersifat koordinatif dan fungsional, terutama untuk menjawab kebutuhan kewenangan departemen teknis yang bersifat lintas daerah propinsi.

3. Berkaitan dengan kondisi tersebut, di masa yang akan datang struktur kelembagaan pemerintah akan terkonsentrasi di daerah kabupaten/kota.


(5)

198

Dalam hal ini perlu diantisipasi karena akan berdampak baik dalam jangka panjang. Akan tetapi ada masa transisi, dimana pemerintah daerah dihadapkan kepada berbagai keterbatasan serta konflik yang cukup berat dalam menata aspek kelembagaan ini. Di satu sisi budaya “ewuh pakewuh” masih tertanam, adanya motif power pusat yang masih kuat ditambah lagi sifat ketergantungan yang masih tinggi akan dirasakan eksistensinya, kebiasaan memilih pola maksimal akan sangat dibatasi oleh kemampuan keuangan. Dilain pihak, ada kebutuhan untuk tetap mempertahankan status quo dengan menciptakan institusi baru untuk menampung organisasi yang dihapuskan.

4. Mengantisipasi perubahan-perubahan pada lingkungan strategis, maka diperlukan perbaikan model perencanaan pembangunan pendidikan yang partisipatif yang didukung oleh sistem pendukung keputusan (SPK) berbasis teknologi informasi, sehingga menuntut peningkatan kapasitas aparat di lingkungan pemerintahan terutama penguasaan bahasa dan teknologi informasi melalui pengembangan kapasitas (Capacity Building) 5. Perencanaan Pendidikan Partisipatif Berbasis Kewilayahan (PPPBK)

merupakan alternatif usulan Model Perencanaan Pendidikan Partisipatif sebagai rintisan ke arah reformasi birokrasi dan pemberdayaan masyarakat karena kekuatan misinya dalam upaya peningkatan kapasitas (capacity building).


(6)

C. IMPLIKASI

Mencermati Proses dan hasil pengkajian terhadap sistem perencanaan pendidikan yang ada di Propinsi Jawa barat, maka terjadi ketidak-efisienan dalam penggunaan sumber daya khususnya penganggaran untuk unit kerja.

Upaya-upaya perbaikan kinerja perencanaan terus dilakukan seperti pengembangan model PPK-IPM hasilnya sudah cukup baik, karena memperbaiki proses perencanaan secara partisipatif walaupun dalam jangka pendek masih belum optimal karena perbaikan kinerja perencanaan tidak mungkin dapat diselesaikan dalam waktu satu tahun.

Pada tingkat propinsi, arah pengembangan program adalah memberikan fokus khusus untuk peningkatan kinerja perencanaan Kabupaten/kota dengan memberikan pengembangan kapasitas (Capacity Building) perencanaan kepada aparat kabupaten/kota dengan berbagai cara dan media sehingga kegiatan tidak langsung ke masyarakat namun lebih banyak memperbaiki kinerja aparat perencana di kabupaten/kota secara interaktif dan dalam proses pembelajaran (learning).

Penggunaan Metoda Proses Hirarki Analitik (PHA) yang sejauh ini pernah diuji coba untuk perencanaan dan penganggaran di Propinsi Jawa Barat, cukup ideal untuk digunakan sebagai model alternatif untuk perbaikan kinerja proses perencanaan. Penggunaan model perencanaan pendidikan yang dilengkapi dengan penggunaan PHA untuk perencanaan pendidikan partisipatif di Propinsi Jawa Barat merupakan model yang bisa digunakan sebagai transisi untuk mendorong menuju reformasi birokrasi yang salah satunya melalui penyusunan agenda restrukturisasi dan rasionalisasi PNS di lingkungan Pemerintah Propinsi Jawa Barat.