Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient pada Distributor Level Director Perusahaan Multilevel Marketing "X" di Bandung.

(1)

iii Universitas Kristen Maranatha Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui derajat Adversity Quotient pada distributor level director perusahaan MLM “X” di kota Bandung dilihat dari dimensinya, yaitu control, ownership, reach, dan endurance. Penelitian ini dilakukan pada 21 orang distributor level director.

Alat ukur yang digunakan adalah alat ukur yang merupakan modifikasi peneliti dari ‘Adversity Response Profile’ yang dibuat oleh Paul G. Stoltz (2002).Uji validitas dilakukan dengan uji statistic rank spearman hasilnya berkisar antara 0,368 sampai dengan 0,815 dan uji reliabilitas dengan rumus koefisien alpha cronbach sebesar 0,925.

Berdasarkan pengolahan data Adversity Quotient distributor level director perusahaan MLM “X” adalah, 42,9% memiliki Adversity Quotient sedang, 33,3% memiliki Adversity Quotient rendah dan sebanyak 23,8% memiliki adversity quotient yang tinggi.

Berdasarkan kesimpulan maka peneliti menyarankan kepada perusahaan MLM “X” untuk memberikan pelatihan tentang Adversity quotient kepada distributor yang memiliki AQ sedang dan AQ rendah agar bisa meningkat menjadi AQ tinggi, sehingga mampu meningkatkan kinerja dalam menjalankan bisnis MLM.


(2)

iv Universitas Kristen Maranatha Abstract

The purpose of this research is to know Adversity Quotient degree on distributor with director level in MLM “X” company at Bandung which is seen from its dimensional, such as control, ownership, reach and endurance. This research is done on 21 distributors with director level.

The measure device the researcher used is a measure device which is the researcher modifies from ‘Adversity Response Profile’ that’s made by Paul G. Stoltz (2002). Validity test is done by rank spearman statistic test range 0,368 to 0,815 and reliability test with alpha cronbach coefficient formula is 0.925.

Based on the data processing, Adversity Quotient on distributor with director level in MLM “X” company is 42.9% distributors have medium Adversity Quotient (AQ), 33.3% distributors have low AQ, and 23.8% distributors have high AQ.

Based on the conclusion, researcher suggests MLM “X” company to give training about Adversity Quotient to its distributors who have medium AQ and low AQ, so they can have higher AQ and perform better on doing MLM business.


(3)

vii Universitas Kristen Maranatha DAFTAR ISI

ABSTRAK ... iii

ABSTRACT ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR SKEMA ... ...xi

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 14

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 14

1.3.1 Maksud Penelitian ... 14

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 15

1.4 Kegunaan Penelitian... 15

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 15

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 15

1.5 Kerangka Pemikiran ... 16


(4)

viii

Universitas Kristen Maranatha

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 25

2.1 Adversity Quotient... 25

2.1.1 Pengertian Adversity Quotient... 25

2.1.2 Ilmu Pengetahuan Pembentuk AQ... 27

2.1.3 Dimensi Adversity Quotient... 29

2.1.4 Kategori Adversity Quotient... 32

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi AQ untuk mencapai kesuksesan... 34

2.1.6 Cara Meningkatkan CORE IQ……….. 35

2.2 Teori Perkembangan……… 38

2.3 Pengertian Multilevel Marketing………. 41

2.3.1 Istilah Dalam MLM……….. 41

2.3.2 Multilevel Marketing dan Para Pelaku Bisnis……….. 42

BAB III METODE PENELITIAN... 43

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 43

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 44

3.2.1 Definisi Konseptual ... 44

3.2.2 Definisi Operasional ...44

3.3 Alat Ukur ... 45


(5)

Universitas Kristen Maranatha

3.3.2 Sistem Penilaian ... 48

3.3.3Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur...50

3.3.3.1 Validitas Alat Ukur...50

3.3.3.2 Reliabilitas Alat Ukur...51

3.3.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 52

3.4 Populasi dan Teknik Penarikan Sampel ... 52

3.4.1 Populasi Sasaran... 52

3.4.2 Teknik Penarikan Sampel ... 52

3.5 Teknik Analisis Data ... 53

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...54

4.1 Gambaran Responden ... 54

4.2 Tabel Responden ... 55

4.3 Distribusi Adversity Qoutient ... 56

4.4 AQ dan Dimensi-dimensinya………... 57

4.5 Pembahasan Hasil Penelitian ... 59

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...71

5.1 Kesimpulan...71

5.2 Saran...72

5.2.1 Saran Teoritis...72


(6)

x

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA ... 73 DAFTAR RUJUKAN ... 74 LAMPIRAN


(7)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR SKEMA

Skema 1.1 Kerangka Pemikiran ... 23 Skema 3.1 Skema Rancangan Penelitian ... 43


(8)

xii

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Kisi-kisi Alat Ukur Adversity Qoutient ... 46

Tabel 3.2 Tabel Kategori AQ ... 50

Tabel 4.1 Gambaran Responden Berdasarkan Jenis Kelamin...54

Tabel 4.2 Gambaran Responden Berdasarkan Lama Bergabung...55

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi AQ………...56


(9)

Universitas Kristen Maranatha DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Surat Persetujuan

Lampiran 2 : Kuesioner Adversity Qoutient Lampiran 3 : Profil Perusahaan

Lampiran 4 : Hasil Validitas dan Reliabilitas

Lampiran 5 : Hasil Tabulasi Silang dengan Data Penunjang Lampiran 6 : Data Mentah


(10)

1 Universitas Kristen Maranatha BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Salah satu kebutuhan manusia adalah menyangkut kebutuhan ekonomi. Seringkali kebutuhan ekonomi menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia karena sangat berpengaruh untuk menjaga kelangsungan hidup sehari-hari. Dalam memenuhi kebutuhan dan kemakmuran di bidang ekonomi, manusia memiliki mata pencaharian atau pekerjaan yang berbeda-beda. Permasalahannya lapangan kerja di Indonesia memiliki keterbatasan untuk menampung tenaga kerja yang ada, sehingga alternatif lainnya adalah dengan mengubah paradigma untuk memiliki bisnis sendiri (Sastraatmadja, 2008).

Menurut Kiyosaki (2001) tantangan untuk membangun sebuah bisnis sangat sulit. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk merintis suatu bisnis atau usaha. Banyak tantangan dan hambatan yang harus dihadapi untuk mencapai kesuksesan. Ada 3 jenis sistem bisnis yang umum dipakai masyarakat di antaranya adalah membangun sistem sendiri atau perusahaan konvensional, bisnis waralaba, dan pemasaran jaringan atau multilevel marketing.

Perusahaan konvensional adalah perusahaan yang saluran distribusinya yaitu dari pabrik langsung disalurkan pada distributor kemudian oleh distributor disalurkan lagi pada agen. Dari agen disalurkan pada grosir dan dari grosir disalurkan pada pengecer, akhirnya konsumen memperoleh produknya dari pengecer dan dengan harga beli yang tinggi (Kiyosaki, 2001).


(11)

Universitas Kristen Maranatha Bisnis waralaba atau biasa disebut franchise adalah suatu sistem pendistribusian barang atau jasa kepada pelanggan akhir, dimana merk (franchisor) memberikan hak kepada individu atau perusahaan untuk melaksanakan bisnis dengan merek, nama, sistem, prosedur dan cara-cara yang ditetapkan sebelumnya dalam jangka waktu tertentu meliputi area tertentu (http://id.wikipedia.org/wiki/waralaba diakses maret 2010).

Dan terakhir sistem pemasaran jaringan yang lebih dikenal dengan istilah Multilevel Marketing (MLM) adalah salah satu strategi pemasaran dengan membangun saluran distribusi yang dilakukan oleh distributor untuk menyalurkan produk dari pabrik langsung ke konsumen. Dari 3 jenis sistem bisnis yang ada, MLM merupakan sistem bisnis dengan modal paling kecil dibanding konvensional dan franchise, sehingga bisnis ini bisa dilakukan oleh semua orang dari berbagai kalangan masyarakat.

Sistem MLM mengacu pada sistem jaringan di mana setiap orang yang bergabung dengan membayar iuran tertentu (biasanya dengan modal yang kecil) dapat menjadi anggota perusahaan MLM, dan setiap anggota yang sudah tergabung di bisnis MLM memiliki peluang yang sama untuk berhasil. Oleh karena itu bisnis MLM merupakan pilihan bisnis bagi orang yang ingin berbisnis namun tidak mempunyai modal besar. Hal ini menjadikan bisnis MLM merupakan bisnis yang bisa dirintis dan dikembangkan oleh semua orang (Kiyosaki, 2001).

Hanya saja modal kecil tersebut juga menjadi alasan orang untuk menyerah dan berhenti menjalankan bisnisnya karena tidak merasa rugi dengan


(12)

3

Universitas Kristen Maranatha modal yang telah dikeluarkan, berbeda dengan bisnis konvensional dan franchise yang mengeluarkan modal sangat besar sehingga usaha yang dilakukan lebih maksimal karena telah mengeluarkan modal besar. Oleh karena itu banyak orang mencoba bisnis MLM dan banyak juga yang berhenti. Untuk itu menarik mengetahui bagaimana orang-orang dari berbagai macam latar belakang bisa tetap bertahan dan menghadapi berbagai tantangan dan kesulitan sehingga sukses di bisnis MLM.

Di Indonesia sendiri tercatat ada kurang lebih 300 perusahaan MLM yang terdaftar secara resmi. Di antara jumlah tersebut perusahaan MLM sebagian besar tidak mampu untuk bertahan, bahkan ada yang hanya sebentar beroperasi serta beberapa tidak berkembang. Salah satu perusahaan MLM di Indonesia yang bertahan dan terus berkembang adalah perusahaan MLM “X” dengan produk unggulannya berupa produk kesehatan yang berasal dari perlebahan. Di Indonesia sendiri, perusahaan ini berdiri pada tahun 1994.

Produk unggulan yang ditawarkan antara lain madu, royal jelly, propolis, dan pollen. Dengan bahan dasar 4 produk yang ada tersebut perusahaan MLM “X” dikenal masyarakat hingga saat ini. Dengan produknya yang khas tersebut yaitu produk berasal dari bahan dasar perlebahan yang telah dikenal masyarakat sejak ribuan tahun lalu mengenai khasiatnya, perusahaan ini terus berkembang di saat perusahaan MLM lain sudah menurun penjualannya, dan bahkan beberapa saingan perusahaan MLM “X” telah bangkrut. Produk madu yang telah dikenal khasiatnya membuat masyarakat tidak ragu lagi untuk mengkonsumsinya, ditambah kebutuhan masyarakat saat ini akan kesehatan dan kesadaran bahwa


(13)

Universitas Kristen Maranatha kesehatan itu penting membuat produk perusahaan ini sangat bermanfaat dan menjadi keuntungan tersendiri bagi distributor MLM “X” untuk menawarkan produknya.

Berdasarkan wawancara dengan bapak H (salah satu distributor level eksekutif) mengatakan bahwa untuk menjadi distributor perusahaan MLM “X” yaitu dengan cara mendaftar beserta membayar iuran keanggotaan. Pendaftar yang sudah tercatat sebagai anggota MLM “X” mendapat hak bisa menjalankan bisnis dan mendapatkan harga distributor ketika membeli produk, konsultasi dokter gratis di kantor, mendapatkan promo-promo liburan ke luar negeri bila mencapai target yang perusahaan berikan serta ikut training secara bebas untuk memperbesar jaringan bisnisnya. Dengan tawaran begitu menarik yang diberikan, tetap saja banyak distributor yang sudah mendaftar hanya membeli produk saja, dan tidak aktif menjalankan bisnis.

Di perusahaan MLM “X” level distributor yang ada dibagi menjadi tiga level, yaitu distributor level manager, level director dan level eksekutif. Dalam setiap level ada jenjang peringkat yang bisa didapat oleh distributor. Di level manager terdapat peringkat supervisor, assistant manager dan manager. Level director terdapat peringkat director, silver director, gold director, diamond. Dan untuk level eksekutif terdapat peringkat double diamond, executive diamond, crown diamond, executive crown, star crown, grand crown dan royal crown.

Distributor yang mau aktif menjalankan bisnis pertama kali akan mengejar target mencapai level manager. Untuk mencapai level manager tidaklah terlalu sulit asal mau bekerja dan belajar supaya bisa mengajak orang untuk bergabung


(14)

5

Universitas Kristen Maranatha dan menjual produk. Adapun target yang harus dicapai di level manager adalah minimal omset pribadi 1 juta, dan omset jaringan yang didapat dari 3 downline sebanyak 2 juta perbulannya.

Ketika sudah mencapai level manager, distributor harus terus bekerja untuk memperbanyak downline dan mengejar omset agar bisa naik level menjadi distributor level director. Persyaratan menjadi distributor level director adalah memiliki minimal 5 downline yang memiliki peringkat distributor level manager dengan omset minimal 2 juta untuk omset pribadi dan 12 juta omset jaringan level manager setiap bulannya, sedangkan untuk level eksekutif distributor persyaratannya yaitu mempunyai minimal 4 downline level director, dengan target omset jaringan yang sangat besar, bahkan hingga ratusan juta rupiah. Distributor di level eksekutif ini biasanya jaringannya sudah sangat besar dan mendapatkan penghasilan yang mencapai puluhan juta rupiah. Level eksekutif merupakan impian untuk semua distributor yang ingin mendapatkan income yang besar.

Berdasarkan wawancara untuk mencapai level eksekutif akan begitu banyak menghadapi kesulitan di level director. Distributor level eksekutif merasa bahwa level director ini dilaluinya dengan begitu banyak pengorbanan, tidak jarang merasa putus asa dan pesimis, namun karena impiannya yang kuat untuk sukses dirinya terus maju dan akhirnya bisa sampai di level eksekutif saat ini. Distributor level manager yang mampu naik ke level director akan dihadapkan pada kesulitan dan tantangan yang lebih kompleks. Distributor level director akan lebih dituntut untuk terus naik level mencapai distributor level eksekutif dan juga


(15)

Universitas Kristen Maranatha mempertahankan level agar tidak turun, karena akan berpengaruh pada jaringan, omset, dan bonus yang diterimanya setiap bulan.

Dari hasil penelusuran peneliti melalui wawancara dengan leader dan menghadiri pertemuan para distributor di perusahaan MLM “X” didapatkan bahwa banyak tantangan yang harus dihadapi distributor level director. Pekerjaan Distributor level director salah satunya adalah harus terus mencari rekan kerja atau downline baru. Dalam mencari downline baru akan ditemui banyak orang yang tidak suka serta memiliki pandangan negatif terhadap bisnis MLM yang membuat seringkali mendapat penolakan. Distributor level director biasanya membuat janji dengan orang yang dikenalnya untuk presentasi menawarkan produk dan peluang usaha, saat membuat janji ini orang yang tahu bahwa akan dipresentasikan perusahaan MLM biasanya akan menolak, tidak mau bertemu dengan mengatakan alasan-alasannya tersendiri. Distributor level director harus meyakinkan prospek agar mau bertemu.

Saat presentasi distributor harus meyakinkan prospeknya untuk bergabung dan menjelaskan bahwa bisnis MLM adalah bisnis yang menjanjikan. Penolakan menjadi hal yang sering diterima oleh para distributor. Penolakan yang diberikan berbagai macam cara, ada yang menolak dengan menghindar, ada dengan cara halus ataupun dengan sinis yang seringkali menyinggung perasaan, namun presentasi pada orang-orang harus terus dilakukan karena untuk mencari downline baru dan menjual produk. Distributor harus terus ulet membuat yang tadinya menolak, menjadi mau untuk bergabung atau membeli produk. Hal ini merupakan pekerjaan yang dilakukan oleh seluruh distributor MLM, hanya saja distributor


(16)

7

Universitas Kristen Maranatha level director harus melakukan hal tersebut untuk dirinya sendiri, ditambah harus membantu mendampingi downlinenya untuk presentasi serta mengajari downlinenya supaya bisa merekrut orang baru yang membuat hal ini lebih menyulitkan. Tanggung jawab distributor level director menjadi lebih berat dibanding distributor level manager.

Kesulitan lainnya, distributor level director sudah memiliki jaringan yang cukup banyak sehingga harus bisa mengelola jaringan yang dimilikinya. Tidak semua anggota yang sudah mendaftar mau aktif menjalankan, distributor level director harus bisa mem persuasi downlinenya agar aktif. Bukan hal mudah untuk membuat downline terus aktif, karena itu distributor level director butuh untuk memotivasi dan membuka pikiran downlinenya bahwa bisnis MLM merupakan bisnis yang menjanjikan, hal ini harus dilakukan secara rutin. Ketika distributor level director tidak memberikan motivasi atau mengelola jaringannya dengan baik, akan banyak downline yang tidak berkembang, kemudian berhenti di tengah jalan.

Saat banyak downline yang berhenti, hal ini bisa menyebabkan rasa pesimis bagi distributor level director karena jaringan yang sudah dibangunnya dengan kerja keras menjadi hancur. Tidak jarang hal tersebut bisa membuat distributor level director menjadi bingung harus bekerja keras seperti apa lagi untuk mempertahankan jaringannya agar berkembang. Situasi ini seringkali membuat distributor berpikiran untuk berhenti. Tujuan untuk mencapai kesuksesan di bisnis MLM pun menjadi hilang karena rasa pesimis dalam memandang kesulitan yang dihadapi.


(17)

Universitas Kristen Maranatha Ketika banyak downlinenya yang berkembang pun kadang menjadi masalah bagi distributor level director. Sering terjadi konflik antar distributor disebabkan karena berebut prospek ataupun tidak sepaham dalam menjalankan bisnis. Distributor level director harus bisa menjadi penengah yang baik dan membantu menyelesaikan konflik yang ada. Butuh kesabaran, pikiran positif serta cara yang baik untuk menyikapi masalah yang ada. Selain harus memperhatikan masalah dalam jaringannya, distributor level director dituntut untuk memperhatikan omset penjualannya. Persyaratan omset minimal 12 juta setiap bulan harus tercapai agar tidak turun level. Omset penjualan yang harus dicapai oleh distributor level director bukan hanya omset pribadi, melainkan omset seluruh downlinenya. Distributor level director selain menjual produk untuk omset sendiri, juga harus membantu downlinenya untuk menjual produk agar omset downlinenya tercapai.

Distributor level director dihadapkan pada situasi kerja yang penuh tekanan dan tantangan untuk mencapai target, penolakan dari orang-orang yang seringkali menyebabkan perasaan putus asa, Jaringan yang sudah dikembangkan juga seringkali runtuh yang mengharuskan distributor level director membangun kembali jaringan. Berbagai kesulitan dan tekanan yang dihadapi distributor level director tersebut seringkali menimbulkan rasa pesimis untuk mencapai kesuksesan sehingga ada yang menyerah, ada yang terus berkutat di level director, dan ada juga yang terus maju menghadapi kesulitan untuk mencapai level eksekutif.


(18)

9

Universitas Kristen Maranatha Mencermati situasi kerja yang dihadapi oleh distributor level director maka mereka dituntut untuk memiliki yang oleh Paul G. Stoltz (2003) disebut sebagai Adversity quotient(AQ) yaitu, merupakan pola tanggapan atas semua bentuk dan intensitas kesulitan mulai dari masalah yang besar sampai masalah yang kecil dan pada akhirnya memunculkan perilaku tertentu (Stoltz, 2003).

AQ memiliki 4 dimensi, yang pertama adalah control. Control mempunyai dua sisi. Pertama, sejauh mana individu mampu secara positif mempengaruhi suatu situasi. Kedua, sejauh mana individu dapat mengendalikan tanggapannya terhadap suatu situasi. Control merujuk kepada sejauh mana individu dapat mengendalikan reaksinya terhadap kesulitan. Dimensi kedua adalah Ownership (tanggung jawab). Dimensi ini mempertanyakan sejauh mana individu mengandalkan dirinya sendiri untuk memperbaiki situasi yang dihadapi, tanpa mempedulikan penyebabnya. Ownership berarti bahwa kalau ada sesuatu yang tidak beres, individu akan memainkan peran dalam melakukan pemulihan kembali.

Dimensi ketiga adalah reach (Jangkauan).Dimensi ini mempertanyakan sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan individu. Ketika menghadapi masalah individu yang memandang bahwa masalah tersebut merupakan masalah yang spesifik dan sempit, individu tersebut akan lebih cepat menyelesaikan masalahnya. Dimensi keempat adalah Endurance (daya tahan). Dimensi ini mempertanyakan berapa lama kesulitan akan berlangsung yang selanjutnya akan mempengaruhi seberapa lama ketahanan individu dalam menghadapi masalah dan tantangan yang ada. (Stoltz, 2003)


(19)

Universitas Kristen Maranatha Melihat kesulitan kerja yang dihadapi distributor level director ketika menjalankan bisnis MLM dan berbagai macam respon yang diberikan. Untuk itu peneliti melakukan survey awal kepada distributor level director. Dari survey awal yang dilakukan oleh peneliti di perusahaan MLM “X”, dari 10 distributor level director yang ada.

Sebanyak 30% distributor level director dalam dimensi control merasa dirinya lah yang mengontrol penuh apa yang akan dicapai, sehingga ketika menghadapi penurunan omset, stagnannya jaringan dan masalah dalam jaringan, distributor level director akan merasa bisa terus mengontrol situasi dan dirinya untuk tetap teguh dalam niat untuk menyelesaikan masalah dan naik ke level yang lebih tinggi. Ada 30% distributor level director merespon peristiwa penurunan omset, permasalahan dalam jaringan dan tidak berkembangnya jaringan sebagai sesuatu yang dalam kendali, namun ketika menghadapi penurunan omset yang drastis, terjadi masalah dalam jaringan yang berat distributor level director akan sulit mempertahankan perasaan mampu memegang kendali dan kehilangan antusiasme untuk mengatasi kesulitan tersebut. Ada 40% di antara distributor level director akan berhenti apabila omset dalam jaringannya terus menurun atau jaringannya tidak berkembang karena merasa sulit dan stagnan, control diri terhadap kesulitan yang tidak baik sehingga membuat tidak distributor level director termotivasi lagi dalam menjalankan bisnisnya.

Sebanyak 50% distributor level director dalam dimensi ownership bila omset dalam jaringannya turun, ada masalah dalam jaringannya, pertambahan downline barunya sedikit setiap bulan akan mencoba untuk mengatasi hal


(20)

11

Universitas Kristen Maranatha tersebut. Dirinya menganggap karena itu faktor dari luar namun bertanggung jawab untuk mengatasinya. Distributor level director mampu untuk merasakan penyesalan yang sewajarnya bila hal itu terjadi dan belajar dari kesalahan untuk terus maju dan bertindak mengatasi masalah tersebut. Ada 30 % distributor level director bila omset dalam jaringannya turun, ada masalah dalam jaringannya, atau jaringannya tidak berkembang merasa peristiwa tersebut karena dirinya sendiri dan kadang berasal dari luar. Distributor level director terkadang akan menyalahkan diri sendiri secara tidak perlu atas peristiwa tersebut. Tanggung jawabnya hanya terbatas berkisar pada peristiwa yang disebabkan langsung oleh dirinya dan tidak bersedia memberikan lebih banyak kontribusi apabila dalam jaringan ada kesulitan yang terjadi bukan disebabkan dirinya. Sebanyak 20% distributor level director akan menganggap bila omset dalam jaringannya turun, ada masalah dalam jaringannya, serta tidak berkembangnya jaringan akibat kesalahannya sendiri, sehingga bisa berakibat parah pada tingkat stress, ego dan motivasi, seringkali yang terjadi distributor level director merasa tidak mampu menghindarkan diri dari tanggung jawab untuk menangani situasi tersebut.

Sebanyak 60% distributor level director dalam dimensi reach merespon penurunan omset dalam jaringannya, ada masalah internal dalam jaringannya sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Bila ada masalah dalam satu jaringan, distributor director tetap fokus bekerja dengan baik tanpa menganggap kesulitan tersebut merusak hal lainnya. Apabila terjadi konflik dengan jaringan, distributor level director menganggap itu kesalahpahaman bukan hancurnya hubungan. Sebanyak 20% distributor level director terkadang merasa bila omset dalam


(21)

Universitas Kristen Maranatha jaringannya turun atau ada masalah dalam jaringannya tidak harus mengganggu sisi kehidupan yang lain, namun ketika merasa lemah dan kecewa maka distributor level director akan menjadikan jangkauan peristiwa yang terjadi menjadi lebih luas dari seharusnya, distributor level director yang sedang menghadapi masalah keuangan atau keluarga seringkali menyebabkan permasalahan dalam jaringannya makin besar dan mengandalkan orang lain untuk membantu menyelesaikan permasalahan ini. Sebanyak 20% distributor level director merespon turunnya omset dalam jaringan, permasalahan tidak berkembangnya jaringan berefek pada bidang kehidupan lainnya, begitupun saat ada masalah yang dihadapi di luar pekerjaan sebagai distributor akan meluas pada banyak hal, sehingga yang terjadi distributor level director tidak fokus dan terganggu dalam bekerja.

Sebanyak 50% distributor level director dalam dimensi endurance menganggap bila omset dalam jaringannya turun, ada masalah dalam jaringannya hanya bersifat sementara, cepat berlalu dan kecil kemungkinan untuk terjadi lagi. Hal ini membuat distributor level director menjadi optimis dan energi untuk mengatasi kesulitan meningkat. Distributor level director akan mengejar target omset dan keluar dari situasi tersebut. Sebanyak 30% distributor level director terkadang merespon penurunan omset, permasalahan dalam jaringannya sebagai sesuatu yang bertahan lama, ada saat-saat di mana distributor level director merasa lemah dan terkadang harapannya lenyap dalam menjalankan bisnis, terutama saat mengalami penurunan omset yang drastis dan jaringannya terus tidak berkembang. Sebanyak 20% distributor level director seringkali


(22)

13

Universitas Kristen Maranatha menganggap penurunan omset, permasalahan dalam jaringan yang terjadi akan bertahan lama dan menganggap peristiwa positif yang terjadi hanya sementara, sehingga seringkali distributor level director putus harapan dan tidak bertindak untuk melawan penurunan omset dan permasalahan dalam jaringan karena merasa kesulitan itu permanen. Melihat fenomena yang terjadi pada distributor level director peneliti merasa tertarik untuk meneliti mengenai Adversity quotient pada distributor level director perusahaan MLM “X”.

1.2 Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini ingin mengetahui seberapa besar derajat Adversity quotient pada distributor level director perusahaan Multilevel Marketing “X” di Bandung.

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai derajat Adversity quotient pada distributor level director perusahaan Multilevel Marketing “X” di Bandung.

1.3.2 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui derajat adversity quotient dan gambaran dimensi-dimensi dalam AQ pada distributor level director di perusahaan Multilevel Marketing “X” di Bandung.


(23)

Universitas Kristen Maranatha 1.4 Kegunaan Penelitian

1.4.1 Kegunaan teoritis

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi tambahan di bidang psikologi industri dan organisasi, khususnya yang berkaitan dengan gambaran Adversity quotient.

2. Sebagai sumbangan informasi dan ide kepada peneliti lain yang tertarik untuk menggali lebih jauh tentang Adversity quotient maupun tentang Multilevel Marketing.

1.4.2 Kegunaan praktis

1. Sebagai bahan masukan bagi organisasi yang menaungi Multilevel Marketing “X” dalam melakukan pelatihan Adversity quotient dan pengembangan sumber daya manusia pada pelaku bisnis yang menjalankan bisnisnya di MLM tersebut.

2. Memberi informasi tambahan kepada para pelaku bisnis MLM mengenai Adversity quotient yang dimilikinya sebagai masukan informasi, sehingga informasi dapat digunakan untuk mengembangkan diri dalam berbisnis MLM.

1.5 Kerangka Pikir

Pengertian dari Multilevel Marketing (MLM) sendiri adalah model bisnis pemasaran langsung dengan dengan sistem jaringan. Adapun yang dimaksud dengan pemasaran langsung adalah metode penjualan barang dan/atau jasa tertentu kepada konsumen dengan cara tatap muka di luar lokasi eceran tetap oleh


(24)

15

Universitas Kristen Maranatha jaringan pemasaran yang dikembangkan oleh rekan kerja dan bekerja berdasarkan komisi penjualan, bonus penjualan dan iuran keanggotaan yang wajar (http://www.apli.or.id/this_page.php?id diakses April 2002).

Dalam menjalankan bisnis Multilevel Marketing para distributor level director menghadapi situasi kerja yang tidak mudah dalam mengembangkan bisnisnya. Menurut Stoltz dalam kesehariannya setiap orang rata-rata mengalami 23 kesulitan. Ditambah di era ekonomi sekarang ini orang harus bisa memenuhi tuntutan dengan lebih cepat dengan kapasitas dan kemampuan lebih besar. Berbagai kesulitan dan tantangan harus dilalui setiap hari dalam menjalankan pekerjaan, begitupun sebagai distributor level director. Kesulitan kerja yang harus dihadapi oleh para distributor level director antara lain adalah mencari rekan kerja baru, mengelola jaringan dan mencapai omset.

Dalam mencari rekan kerja baru distributor level director akan sering mengalami penolakan ketika mengajak prospek untuk bergabung. Orang yang sudah bergabung dan menjadi downline pun harus terus dikelola agar jaringan tidak runtuh serta jaringan bisa terus berkembang. Target omset yang harus dicapai setiap bulannya merupakan tantangan bagi distributor level director yang harus dicapai agar bisa mendapat sesuatu yang diinginkan. Hal ini seringkali menyebabkan situasi kerja yang penuh dengan tantangan dan kesulitan setiap harinya untuk mencapai target yang diinginkan.

Tantangan dan kesulitan tersebut menyebabkan distributor level director dituntut memiliki Adversity quotient yaitu, merupakan pola tanggapan atas semua bentuk dan intensitas kesulitan mulai dari masalah yang besar sampai masalah


(25)

Universitas Kristen Maranatha yang kecil dan pada akhirnya memunculkan perilaku tertentu (Stoltz, 2003). Adversity quotient dalam hal ini merujuk pada pola tanggapan Distributor level director perusahaan MLM “X” atas semua bentuk dan intensitas kesulitan mulai dari masalah yang besar sampai masalah dalam mencari calon rekan kerja baru, mengelola jaringan, dan mencapai omset yang terbentuk dari empat dimensi yaitu Control (kendali), ownership (tanggung jawab), reach (jangkauan kesulitan) dan Endurance (daya tahan).

Dimensi pertama control adalah menjelaskan kendali yang distributor level director bisnis Multilevel Marketing “X” rasakan terhadap peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Semakin tinggi tingkat kendali yang dimilikinya maka akan semakin memiliki tanggapan positif dalam pemikirannya mengenai kesulitan yang dihadapi sehingga memiliki harapan dan berusaha untuk mengatasi kesulitan tersebut. Misalnya jika seorang distributor level director belum mendapatkan rekan kerja lagi maka dengan memiliki control yang tinggi, dengan situasi tersebut dia akan berpikir bisa untuk menambah rekan kerja, dan dia akan terus berusaha mendapatkan rekan kerja untuk bergabung, namun jika control yang dia miliki rendah dia akan mudah menyerah dan putus asa. Dia akan berpikir tidak bisa mempengaruhi orang lain untuk bergabung bagaimanapun caranya, dia akan merasa pesimis dan tidak melakukan apapun untuk mengubah situasi tersebut.

Dimensi kedua ownership adalah mengenai kemampuan distributor level director bertanggung jawab untuk menganalisis masalah dan menyelesaikan kesulitan yang dihadapi. Semakin tinggi tingkat ownership ini maka akan mendorong Distributor level director bertindak efektif dalam mengatasi kesulitan


(26)

17

Universitas Kristen Maranatha tanpa menyalahkan pihak lain. Misalnya ketika dihadapkan pada masalah mengenai jaringannya, Distributor level director yang memiliki ownership tinggi akan menganalisis penyebab hal itu terjadi dan kemudian mencari solusi untuk menyelesaikan permasalahan terjadi. Distributor level director tidak langsung menyalahkan orang lain, distributor level director akan berusaha bertanggung jawab dan menyeselesaikannya. Jika ownership yang dimiliki rendah distributor level director akan merasa kesulitan dan menyalahkan orang lain. Distributor level director tidak mengambil tanggung jawab atas permasalahan yang ada di jaringan kerjanya.

Dimensi ketiga reach adalah menjelaskan seberapa besar kemampuan distributor level director dalam membatasi masalah sebagai sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin tinggi reach yang dimiliki maka distributor level director akan semakin mampu membatasi masalah sehingga lebih mudah terarah dalam mengatasinya dan tidak memperburuk kehidupannya secara keseluruhan. Apabila distributor level director memiliki reach yang rendah maka bila distributor level director memiliki masalah di luar pekerjaannya (misalnya masalah keluarga), akan terbawa negative pada kinerjanya dalam bekerja. Distributor merasa bahwa kesulitan tidak hanya dalam keluarga, tetapi pada pekerjaan sehingga semuanya berjalan menjadi lebih sulit. Aspek kehidupan lainnya pun menjadi sulit karena distributor level director tidak mampu membatasi masalah. Hal ini membuat distributor level director merasa lebih tertekan dan merasa masalah terus datang padanya.


(27)

Universitas Kristen Maranatha Dimensi keempat endurance adalah menjelaskan bagaimana distributor level director perusahaan MLM “X” menganggap kesulitan akan berlangsung lama atau sementara. Semakin tinggi endurance yang dimiliki distributor level director perusahaan MLM “X” maka distributor level director akan menganggap bahwa suatu kesulitan hanya berlangsung sementara saja sehingga akan berusaha untuk mengatasi dan melaluinya. Mereka menganggap bahwa kesulitan akan berlalu dan setelah itu situasi baik akan muncul. Distributor level director yang memiliki endurance rendah cenderung akan menyerah jika menghadapi sebuah masalah, sebab dia tidak memiliki keyakinan bahwa keadaan akan menjadi lebih baik. Mereka memandang bahwa masalah akan terus datang dan sulit utuk diselesaikan karena bersifat permanen. Hal ini mempengaruhi mereka untuk berlaku konstruktif dalam menyelesaikan masalah.

Keempat dimensi tersebut akan menghasilkan derajat AQ dan tipe dari distributor level director. Derajat tersebut dibagi atas AQ tinggi, rendah, sedang. AQ Distributor level director yang tinggi mampu membuat dirinya mengendalikan setiap kesulitan, secara positif mampu mempengaruhi situasi tersebut dan cepat pulih dari penderitaan. Distributor level director merasa perlu untuk memperbaiki setiap kesulitan yang ada dalam bisnisnya tanpa menyalahkan pihak yang menyebabkan kesulitan tersebut. Kesulitan yang muncul pada satu aspek kehidupan tidak meluas pada aspek kehidupan yang lain. Distributor level director memandang kesulitan yang ada sebagai situasi yang sifatnya sementara sehingga kesulitan dapat cepat berlalu, serta mampu memandang apa yang ada di balik tantangan. Distributor level director dengan AQ tinggi akan terus berusaha


(28)

19

Universitas Kristen Maranatha untuk mencapai peringkat tertinggi atau puncak kesuksesan di bisnisnya, seperti seseorang yang mendaki hingga puncak gunung, menurut Stoltz (2003), diidentikan sebagai orang yang mendaki (Climbers)

Derajat AQ yang sedang adalah Distributor level director yang mempunyai pengendalian yang cukup, namun saat kesulitan bertubi-tubi menimpa dirinya distributor level director menjadi kurang mampu mengendalikan kesulitan tersebut yang pada akhirnya kesulitan itu membuat dirinya menjadi kerepotan dan berhenti untuk berusaha. Distributor level director juga memiliki rasa kepemilikan yang cukup pada bisnisnya, namun jika dirinya berada dalam keadaan sangat lelah atau tegang maka ia cenderung untuk menyalahkan orang lain. Distributor level director AQ sedang memiliki batas terhadap kesulitan yang dihadapinya. Saat situasi sulit yang tidak bisa dihadapinya datang distributor level director akan menghindari tanggung jawab untuk menyelesaikan permasalahan. Pada AQ yang sedang distributor level director mengalami kesulitan dan memandang serta membatasi pada satu aspek kehidupan, namun bila telah melewati batas kemampuan dirinya untuk menyelesaikan masalah. Distributor level director tidak bisa membatasi kesulitan dan mempengaruhi aspek kehidupan lain yang membuat dirinya cenderung terbebani oleh kesulitan tersebut. Distributor level director terkadang mampu memandang kesulitan sehingga situasi yang sifatnya sementara dan cepat berlalu, tetapi ketika kesulitan tersebut semakin menumpuk, membuatnya cenderung putus harapan dan melihat kesulitan tersebut akan berlangsung lama atau menetap. Distributor level director dengan AQ sedang, akan berusaha menjalankan bisnisnya ketika menghadapi kesulitan, dan ketika


(29)

Universitas Kristen Maranatha mencapai satu prestasi tertentu dirinya akan berhenti karena merasa cukup puas dengan apa yang sudah dicapai, dirinya seperti orang yang berkemah yang mendaki setengah jalan dan tidak pernah mencapai puncak menurut Stoltz (2003) diidentikan sebagai orang yang berkemah.(Campers).

Derajat AQ yang rendah adalah distributor level director memiliki sedikit pengendalian terhadap kesulitan sehingga apabila kesulitan semakin menumpuk, distributor level director cenderung menyerah dan tidak berdaya. Distributor level director juga cenderung untuk menyalahkan orang lain atas kesulitan yang timbul tanpa memandang dirinya perlu untuk memperbaiki situasi tersebut. kesulitan yang ada cenderung mempengaruhi semua aspek kehidupan lain dalam dirinya, sehingga ia merasa kehidupannya dikelilingi oleh kesulitan. Distributor level director terus memandang kesulitan sebagai situasi yang berlangsung lama dan menetap sehingga membuat dirinya menjadi putus asa dan menyerah. Distributor level director dengan AQ rendah, merasa sangat sulit dalam menjalankan bisnisnya, dirinya seperti melihat gunung yang menjulang tinggi yang sulit didaki dan menyerah menurut Stoltz (2003) diidentikan sebagai orang yang berhenti (Quitters).

Derajat AQ seseorang dalam mencapai kesuksesan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dalam penelitian ini terdiri dari, pendidikan, kemauan, dan kinerja. Faktor pertama pendidikan bisa mempengaruhi kecerdasan, pembentukan kebiasaan yang sehat. Latar belakang pendidikan distributor level director yang tinggi membuat akan lebih memiliki keterampilan berbicara yang lebih baik, kecerdasan, dan kebiasaan yang lebih terlatih daripada yang tidak mendapatkan


(30)

21

Universitas Kristen Maranatha kesempatan pendidikan yang tinggi, sehingga dalam menghadapi hambatan dan tantangan dalam menjalankan bisnis MLM akan berespon secara berbeda karena pengalaman pendidikan yang telah didapat membuat distributor level director memiliki kemampuan yang lebih baik. Untuk itu pendidikan mempengaruhi AQ distributor level director untuk mencapai kesuksesan.

Faktor kemauan yang oleh Stoltz disebut hasrat. Hasrat menggambarkan motivasi, antusiasme, gairah, dorongan, ambisi, semangat yang menyala. Distributor level director yang memiliki hasrat dalam melakukan pekerjaannya akan mencoba untuk terus maju, sehingga distributor level director memiliki dorongan yang kuat ketika menghadapi kesulitan. Distributor level director yang memiliki kemauan yang besar akan bertindak untuk menyelesaikan kesulitan dan lebih bertahan ketika menghadapi kesulitan dan akan mengeluarkan usaha sehingga menimbulkan perasaan berdaya yang berguna untuk mencapai tujuan dalam bisnisnya.

Faktor yang terakhir merupakan faktor kinerja. Kinerja seseorang merupakan hal yang paling mudah terlihat oleh orang lain. Seseorang dapat dengan cepat bisa melihat hasil kerja orang lain, inilah yang paling sering dievaluasi atau dinilai. Kinerja tidak tumbuh begitu saja, tetapi dari pengalaman sebelumnya saat seseorang menghadapi kesulitan. Pengalaman dalam menghadapi kesulitan yang baik membuat seseorang memiliki pola kinerja yang baik sehingga mereka merasa berdaya, begitupun pengalaman kinerja yang buruk akan membuat seseorang merasa tidak berdaya dalam mengatasi kesulitan yang akan mempengaruhi AQ seseorang. Pengalaman kinerja distributor level director yang


(31)

Universitas Kristen Maranatha baik akan lebih membuat berpeluang untuk mendapatkan kesuksesan karena merasa berdaya dan mampu untuk mengatasi kesulitan. Pola pengalaman kinerja yang baik membuat distributor level director bisa mengatasi tantangan atau hambatan yang dihadapi, sehingga memberikan jalan untuk tercapainya tujuan.

Berdasarkan penjelasan yang telah diuraikan di atas, maka peneliti dapat menggambarkannya ke dalam skema kerangka pikir sebagai berikut :

Skema 1.1 Kerangka Pikir Distributor level

director perusahaan MLM X Adversity quotient Tinggi (Climber)

Sedang

(Camper)

Rendah (Quitter) Kesulitan kerja :

1.Mencari rekan kerja baru 2.Mengelola jaringan

3.Mencapai omset

Dimensi AQ :  Control (Kendali)  Ownership (Tanggung jawab)  Reach (Jangkauan Kesulitan)  Endurance

(Daya Tahan ) Faktor yang mempengaruhi : - Pendidikan - Kemauan - Kinerja


(32)

23

Universitas Kristen Maranatha 1.6 Asumsi :

1. Para distributor level director Perusahaan MLM “X” mengalami situasi kerja yang penuh tantangan, hambatan dan kesulitan yang harus dihadapi dalam menjalani bisnisnya.

2. Dalam menjalankan bisnisnya para distributor level director Perusahaan MLM “X” menghadapi situasi kerja yang sulit akan memberikan tanggapan yang berbeda-beda terhadap kesulitan sesuai dengan AQ yang dimiliki, bisa dilihat dari derajat Control (kendali), Ownership (tanggung jawab), Reach (jangkauan kesulitan), dan Endurance (daya tahan).

3. AQ yang dimiliki oleh para distributor level director Perusahaan MLM “X” dipengaruhi oleh faktor pendidikan, kemauan, dan kinerja.

4. Distributor level director ada yang memiliki AQ rendah(quitter), AQ sedang (camper), dan AQ tinggi(climber).


(33)

69 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Adversity Quotient distributor level director perusahaan MLM “X” maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebagian besar distributor level director perusahaan MLM “X” di Bandung memiliki AQ sedang atau tergolong tipe camper.

2. Distributor level director perusahaan MLM “X” di Bandung yang merupakan tipe camper sebagian besar memiliki derajat yang sedang pada dimensi control, ownership, reach dan endurance, distributor level director yang merupakan tipe climber memiliki derajat yang tinggi juga pada masing-masing dimensinya, dan distributor level director yang merupakan tipe quitter sebagian besar memiliki derajat yang rendah pada dimensi control, ownership, reach, tetapi sebagian besar memiliki derajat yang sedang pada dimensi endurance.


(34)

70

Universitas Kristen Maranatha 5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas dan dengan menyadari adanya keterbatasan peneliti dalam melakukan penelitian ini, maka peneliti perlu untuk mengajukan beberapa saran sebagai berikut :

5.2.1 Saran Teoritis

1. Bagi peneliti lain yang tertarik meneliti tentang Adversity qoutient dapat mengembangkan penelitian ini dengan melakukan penelitian mengenai Adversity Qoutient pada distributor yang sudah memiliki level tertinggi di suatu perusahaan MLM.

2. Bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti mengenai hubungan Adversity Qoutient dengan variabel – variabel lainnya.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi perusahaan MLM “X”, diharapkan melalui penelitian ini mendapat banyak informasi mengenai AQ pada distributor level director sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan pelatihan kepada distributor perusahaan MLM “X” ke depannya.

2. Bagi para leader di perusahaan MLM “X” disarankan untuk memberikan pelatihan tentang Adversity qoutient kepada distributor level director yang memiliki tipe quitter dan camper, agar meningkatkan Adversity quotient


(35)

Universitas Kristen Maranatha menjadi tipe climber dengan cara melakukan pelatihan CORE (Control, Ownership, Reach, Endurance), yaitu merupakan pelatihan dengan tujuan mengetahui dan meningkatkan dimensi dari AQ yang berguna bagi perkembangan jaringan.

3. Bagi para pelaku bisnis MLM di perusahaan “X” diharapkan lebih mengembangkan diri dengan mau belajar mengenai AQ supaya memiliki pola tanggapan yang baik saat menghadapi kesulitan dalam menjalankan bisnis MLM untuk bisa mencapai mencapai kesuksesan yang diinginkan.


(36)

74 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A.1986. Social Foundations of Thougt and Action :A Social Cognitive Theory. Prentice-Hall. inc

Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. Boston: Allyn & Bacon.

Gideon Robert David. 2002. Adversity Quotient : Perceived Perseverance and new Venture foundation. Journal Terry College of Bussiness

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Grasindo

Kiyosaki, Robert T. 2001. Cashflow Quadrant. Jakarta : PT Gramedia Leaders, MLM. 2007. Secret Book Of MLM. Surabaya : PT. Menuju Insan

Cemerlang

Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sastraatmadja, Budi Yuniarsa. 2008. Harta vs Aset. Jakarta : PT Elex Media Komputindo

Santrock, John W. 2013. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Edisi ketigabelas, Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Siegel, Sidney. 1997. Statistik Nonparametik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT Gramedia

Stoltz, Paul G. 2000. Adversity Quotient ; Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta : PT Grasindo.

Stoltz, Paul G. 2003. Adversity Quotient ; Mengatasi Kesulitan di Tempat Kerja. Jakarta : PT Grasindo.

Sugiyono,2007, Statistika untuk penelitian, Cetakan Keduabelas, Alfabeta, Bandung


(37)

75 Universitas Kristen Maranatha DAFTAR RUJUKAN

Majalah Stories of Success, edisi 02, 2005

Gayatri, Joyce, 2003. Survei Mengenai Adversity Quotient Pada Staf PT. “X” Di Bandung. Skripsi : Bandung : Program Sarjana Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha.

Maria, 2004. Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient Pada Wartawan di Redaksi Koran “X” Bandung. Skripsi : Bandung : Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

http://id.wikipedia.org/wiki/waralaba diakses Maret 2010 http://www.apli.or.id/this_page.php?id diakses Maret 2010 http://ekonomi.kompasiana.com/marketing diakses April 2010 www.apli.or.id diakses September 2010

www.hd.co.id diakses Februari 2011 www.yabina.org diakses maret 2011


(1)

23

Universitas Kristen Maranatha

1.6 Asumsi :

1. Para distributor level director Perusahaan MLM “X” mengalami situasi kerja yang penuh tantangan, hambatan dan kesulitan yang harus dihadapi dalam menjalani bisnisnya.

2. Dalam menjalankan bisnisnya para distributor level director Perusahaan MLM “X” menghadapi situasi kerja yang sulit akan memberikan tanggapan yang berbeda-beda terhadap kesulitan sesuai dengan AQ yang dimiliki, bisa dilihat dari derajat Control (kendali), Ownership (tanggung jawab), Reach (jangkauan kesulitan), dan Endurance (daya tahan).

3. AQ yang dimiliki oleh para distributor level director Perusahaan MLM “X” dipengaruhi oleh faktor pendidikan, kemauan, dan kinerja.

4. Distributor level director ada yang memiliki AQ rendah(quitter), AQ sedang (camper), dan AQ tinggi(climber).


(2)

69 Universitas Kristen Maranatha

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai Adversity Quotient distributor level director perusahaan MLM “X” maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Sebagian besar distributor level director perusahaan MLM “X” di Bandung memiliki AQ sedang atau tergolong tipe camper.

2. Distributor level director perusahaan MLM “X” di Bandung yang merupakan tipe camper sebagian besar memiliki derajat yang sedang pada dimensi control, ownership, reach dan endurance, distributor level director yang merupakan tipe climber memiliki derajat yang tinggi juga pada masing-masing dimensinya, dan distributor level director yang merupakan tipe quitter sebagian besar memiliki derajat yang rendah pada dimensi control, ownership, reach, tetapi sebagian besar memiliki derajat yang sedang pada dimensi endurance.


(3)

70

Universitas Kristen Maranatha

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas dan dengan menyadari adanya keterbatasan peneliti dalam melakukan penelitian ini, maka peneliti perlu untuk mengajukan beberapa saran sebagai berikut :

5.2.1 Saran Teoritis

1. Bagi peneliti lain yang tertarik meneliti tentang Adversity qoutient dapat mengembangkan penelitian ini dengan melakukan penelitian mengenai Adversity Qoutient pada distributor yang sudah memiliki level tertinggi di suatu perusahaan MLM.

2. Bagi peneliti selanjutnya dapat meneliti mengenai hubungan Adversity Qoutient dengan variabel – variabel lainnya.

5.2.2 Saran Praktis

1. Bagi perusahaan MLM “X”, diharapkan melalui penelitian ini mendapat banyak informasi mengenai AQ pada distributor level director sebagai bahan pertimbangan untuk melakukan pelatihan kepada distributor perusahaan

MLM “X” ke depannya.

2. Bagi para leader di perusahaan MLM “X” disarankan untuk memberikan pelatihan tentang Adversity qoutient kepada distributor level director yang memiliki tipe quitter dan camper, agar meningkatkan Adversity quotient


(4)

71

Universitas Kristen Maranatha menjadi tipe climber dengan cara melakukan pelatihan CORE (Control, Ownership, Reach, Endurance), yaitu merupakan pelatihan dengan tujuan mengetahui dan meningkatkan dimensi dari AQ yang berguna bagi perkembangan jaringan.

3. Bagi para pelaku bisnis MLM di perusahaan “X” diharapkan lebih

mengembangkan diri dengan mau belajar mengenai AQ supaya memiliki pola tanggapan yang baik saat menghadapi kesulitan dalam menjalankan bisnis MLM untuk bisa mencapai mencapai kesuksesan yang diinginkan.


(5)

74 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR PUSTAKA

Bandura, A.1986. Social Foundations of Thougt and Action :A Social Cognitive Theory. Prentice-Hall. inc

Friedenberg, Lisa. 1995. Psychological Testing: Design, Analysis, and Use. Boston: Allyn & Bacon.

Gideon Robert David. 2002. Adversity Quotient : Perceived Perseverance and new Venture foundation. Journal Terry College of Bussiness

Gulo, W. 2002. Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Grasindo

Kiyosaki, Robert T. 2001. Cashflow Quadrant. Jakarta : PT Gramedia Leaders, MLM. 2007. Secret Book Of MLM. Surabaya : PT. Menuju Insan

Cemerlang

Nazir, Moh. 1999. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Sastraatmadja, Budi Yuniarsa. 2008. Harta vs Aset. Jakarta : PT Elex Media Komputindo

Santrock, John W. 2013. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup Edisi ketigabelas, Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Siegel, Sidney. 1997. Statistik Nonparametik Untuk Ilmu-Ilmu Sosial. Jakarta : PT Gramedia

Stoltz, Paul G. 2000. Adversity Quotient ; Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta : PT Grasindo.

Stoltz, Paul G. 2003. Adversity Quotient ; Mengatasi Kesulitan di Tempat Kerja. Jakarta : PT Grasindo.

Sugiyono,2007, Statistika untuk penelitian, Cetakan Keduabelas, Alfabeta, Bandung


(6)

75 Universitas Kristen Maranatha

DAFTAR RUJUKAN

Majalah Stories of Success, edisi 02, 2005

Gayatri, Joyce, 2003. Survei Mengenai Adversity Quotient Pada Staf PT. “X” Di Bandung. Skripsi : Bandung : Program Sarjana Fakultas Psikologi

Universitas Kristen Maranatha.

Maria, 2004. Studi Deskriptif Mengenai Adversity Quotient Pada Wartawan di Redaksi Koran “X” Bandung. Skripsi : Bandung : Program Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha.

http://id.wikipedia.org/wiki/waralaba diakses Maret 2010 http://www.apli.or.id/this_page.php?id diakses Maret 2010 http://ekonomi.kompasiana.com/marketing diakses April 2010 www.apli.or.id diakses September 2010

www.hd.co.id diakses Februari 2011 www.yabina.org diakses maret 2011