HASIL PENELITIAN PEMETAAN KELEMBAGAAN PONDOK PESANTREN

Seminar Hasil Penelitian Pemetaan Kelembagaan Pondok Pesantren ,
diselenggarakan oleh Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan
Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, pada Kamis-Sabtu, 30 Oktober s/d 1
Nopember 2014, di M One Hotel, Jl. Raya Jakarta KM-49.5, Cimandala Sukaraja, Jawa
Barat 16710, Indonesia
Budi Sulistiono
(Narasumber)
Pesantren, dayah, surau, sejak sebelum penjajahan adalah satu-satunya
lembaga pendidikan agama Islam yang tersedia. Dengan datangnya penjajahan,
lembaga ini, di samping berfungsi sebagai penjaga nilai-nilai keagamaan dan
semangat independen - sebagaimana kelihatan pada peranan para ulama dan guru
agama dalam perlawanan bersenjata dan pergerakan rakyat, juga sekaligus
merupakan salahsatu alternatif menghadapi sistem kolonial.
Pesantren diakui secara umum telah menjadi benteng perlawanan, antara
lain berkulminasi pada bantuan dan dukungan kepada Pangeran Diponegoro dan di
waktu menampung para pengikutnya yang masih bersikap non-kooperatif terhadap
penjajah dan vazal-vazalnya. Keseluruhan sikap hidup, tata nilai struktur sosial yang
dimiliki pesantren jelas menunjukkan fungsi perlawanan ini, seperti dapat
disimpulkan dari studi Sartono Kartodirdjo1 dalam studinya tentang "gerakan protest
di pedalaman Jawa" di abad yang lalu dan permulaan abad ini. Banyak peristiwa
sejarah abad ke-19 yang menunjukkan betapa besar pengaruh pesantren dalam

mobilisasi masyarakat pedesaan untuk aksi-aksi protes terhadap masuknya
kekuasaan birokrasi kolonial Eropa di pedesaan2. Aksi-aksi protes mereka hingga
melahirkan pemberontakan3 dan meletuslah, misalnya "Geger Cilegon" juga terkenal

Kartodirdjo, Sartono, The Peasants Revolt in Banten in 1888, 's-Gravenhage, 1966.
Kuntowijoyo, Paradigma Islam : Interpretasi untuk Aksi, (Bandung: Mizan), cet.ke-3,
1991: 247)
3 Dua pemberontak yang paling menonjol ialah Tumenggung Muhammad dan Mas
Zakaria. dan kawan-kawan selama dua puluh tahun (1820-1840) terus menerus
membangkitkan huru-hara sampai berhasil mengepung Pandeglang dan Serang. Sejak 1840
gerakan-gerakan mulai reda, di satu pihak secara sporadik keamanan masih diganggu oleh
"perbanditan" dari Sahab, Conat, Ija, Sakan dan Kemodin, dan pihak lain secara berkala
1

2

1

dengan "Perang Wasid" (1888), di Banten. Kenyataan ini sebagai wujud komitmen
sosial pesantren kepada masyarakat sudah terbukti dari masa ke masa, bahkan dari

abad ke abad.
Pesantren

dalam

perkembangannya,

juga

telah

mengalami

corak

perkembangan yang beraneka-ragam. Perkembangan itu meliputi kurikulum, metode
mengajar, dan kelembagaan. Dalam kurikulum terdapat perkembangan sejak 1906,
antara lain ketika Kasunanan Surakarta mendirikan Mambaul-Ulum4. Dalam "metode
mengajar" - atau cara pemberian pelajarannya, ada perkembangan dari sistem salaf
ke sistem madrasi5. Pesantren Tebuireng (sejak 1916), misalnya telah menerapkan

sistem madrasi kemudian diikuti oleh pesantren-pesantren lain, antara lain pesantren
Salafiyah di Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, sejak 1925. Dengan
demikian di dalam pesantren telah terjadi perkembangan dan sudah dimulai sejak
awal abad ke-20. Ini berarti, pesantren dapat memetik hasil yang sangat positif dari
sistem madrasah – sebagai langkah alternatif para kyai mengkonsolidasikan
kedudukan pesantren dalam menghadapi perkembangan sekolah-sekolah agama.
Dalam tahun 1920-an dan 1930-an jumlah pesantren besar dan santri-santrinya
melonjak berlipatganda6. Sebelum tahun 1920-an, pesantren-pesantren besar hanya
mempunyai sekitar 200 santri. Dalam permulaan tahun 1930-an banyak pesantren,
seperti Pesantren Tebuireng, mempunyai jumlah murid lebih dari 1500 orang.
Menurut catatan Departemen Agama bahwa pada tahun 1977 ada 4.195
pesantren dgn jumlah santri 677.384 orang. Jumlah tersebut menjadi 5.661 pesantren
meletus huru-hara yang berpusat di tempat-tempat tertentu, seperti Cikandi Udik (1845),
geger A.Wahya (1850), affair Usap (1851), affair Pungut (1862), peristiwa Kolelet (1866), dan
peristiwa Jayakusuma (1869); lihat Sartono Kartodirdjo, "Berkunjung ke Banten Satu Abad
Yang Lalu (1879-1888)", makalah disampaikan dalam Seminar Sejarah Perjuangan KH Wasyid
dan Para Pejuang Banten 1888, Serang 9-18 September 1988;
4 Mambaul Ulum di Surakarta, adalah tempat untuk mendidik calon-calon pejabat
agama, dengan memasukkan kurikulum Barat ke dalam pendidikan agama. Pada waktu
yang hampir bersamaan terjadi perkembangan serupa di Sumatera Barat.

5 Dalam sistem madrasi, di Jawa sudah diberlakukan sistem kelas atau tingkatantingkatan pendidikan (Steenbrink, 1986: 102).
6 Dhofier, Zamakhsyari,
Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, ,
(Jakarta LP3ES, 1982).
2

dgn 938.397 santri pada tahun 1981 kemudian meningkat menjadi 15.900 pesantren
pada tahun 1985. Melalui informasi Laporan Hasil Penelitian yang sedang kita bahas
ini, jumlah pesantren sekitar 27.000 pesantren pada tahun 2012-2013, pesantren telah
memberikan pelayanan pendidikan kepada 3,65 juta santri. Data ini membuktikan
bahwa pesantren seiring dengan perjalanan waktu, sedikit demi sedikit maju tumbuh
dan

berkembang

sejalan

dengan

proses


pembangunan

serta

dinamika

masyarakatnya, baik di desa maupun di perkotaan. Peningkatan secara kuantitas
terhadap jumlah pesantren sebagai lembaga pendidikan nyata-nyata
semacam kebangkitan

mengalami

atau setidaknya menemukan popularitas baru. Sekali

lagi, secara kuantitatif jumlah pesantren tampaknya meningkat. Pesantren-pesantren
baru muncul di mana-mana, tidak hanya di Jawa tetapi juga di luar Jawa. Yang
menarik dari perkembangan kuantitatif ini adalah gejala pertumbuhan pesantrenpesantren baru di wilayah urban seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang,
Bekasi (Jabodetabek), dan sebagainya. Perkembangan fisik bangunan pesantren
juga mengalami kemajuan-kemajuan yang sangat observable. Banyak pesantren

di berbagai tempat, baik di wilayah urban atau di pedesaan, mempunyai
gedung-gedung atau bangunan yang megah dan, lebih penting lagi, sehat dan
kondusif sebagai tempat berlangsungnya proses pendidikan.
Dengan
kompleks

demikian, citra yang pernah disandang pesantren sebagai

bangunan

yang reot,

kumuh

dan tidak higinis semakin memudar.

Pertanyaannya, bagaimana pandangan kita terhadap fenomena ini? Nah, kehadiran
program penelitian dan menghasilkan Laporan Penelitian Pemetaan Kelembagaan
Pondok Pesantren untuk kemudian kita seminarkan hari ini di tempat ini, semoga
wujud apresiasi nyata kita terhadap


kebangkitan

Pesantren yang enggan

kehilangan validitasnya.
Secara komprehensif penelitian ini bertujuan pertama, mengetahui kapasitas
pesantren di Indonesia; Kedua,

mengetahui standar nilai pada masing-masing

klasifikasi pesantren; Ketiga, menentukan unsur-unsur

dan nilai yang dominan

dalam mempengaruhi peningkatan kapasitas pesantren. Selain ketiga tujuan di atas,
3

penelitian ini juga diharapkan dapat menghasilkan tipologi pesantren baru yang
adaptif, bermakna dan kontributif bagi pesantren dan masyarakat luas. Adapun

metode untuk menjawab kerangka tujuan penelitian, sangat simpatik menggunakan
pengukuran berdasar serangkaian

indikator dengan

pendekatan kapasitas’

(capacity approach) melalui angket/ quisioner yang secara langsung di isi oleh
responden pesantren terdiri dari pimpinan/ pengurus, ustadz dan santri. Selain
quisioner diperkuat melalui metode wawancara dengan pimpinan/ pengurus
pesantren, guna mendalami hal-hal yang bersifat informatif. Langkah ini sebagai
konsekuensi selain pentingnya dilaksanakan penelitian juga wilayah sebaran
pesantren ada di 17 ribu pulau dan kepulauan Indonesia (33 wilayah propinsi).
Dalam kesempatan yang bahagia ini saya tidak berniat mempersoalkan
penarikan

sampel

dilakukan


secara

stratified

random

sampling,

juga

tidak

mempersoalkan besarnya sampel yang digunakan 800 pesantren. Namun, melalui
dua pilihan langkah tersebut, saya ada pertimbangan historis terkait keberadaan jejak
Pesantren Induk. Ambil contoh di Pulau Jawa, sebagaimana dalam table berikut :

PESANTREN INDUK : NAMA, TAHUN BERDIRI, DAN PENDIRI

NAMA &
O.


.

TAHUN

PENDIRI &

ALAMAT PESANTREN

BERDIRI

PENGASUH

TEBUIRENG

1899

Hadlratusy-Syeikh

Sistem Klasikal, Weton,


Hasyim Asy'ari

Sorogan

Kyai Haji Abdul-

Sistem Klasikal, Weton,

Tebuireng, Jombang, Jawa

KETERANGAN

Timur

TREMAS

1862

4

.

Arjosari, Pacitan, Jawa Timur

LIRBOYO

1920

Manan

Sorogan

Kyai Abdul Manaf

Sistem Klasikal, Weton,

Kotamadya Kediri, Jawa

Sorogan

Timur

Sistem Klasikal, Weton,
SALAFIYAH AL-

1770

Kyai Haji Hamdani

Sorogan

1920

Kyai Haji

Sistem Weton, Sorogan

HAMDANIYAH
Siwalan Panji, Buduran,
Sidoarjo, Jawa Timur

AL-HIDAYAT
Lasem, Rembang, Jawa

M.Ma'shum

Tengah
PONDOK MODERN
GONTOR

1926

Trimurti (KH

Sistem klasikal

Ahmad Sahal, KH
Imam Zarkasyi, KH
Fanani)

Keberadaan Pesantren Induk menunjukkan pola yang serupa walaupun
dalam

ukuran yang berbeda, terdapat dalam pertumbuhan pesantren alumni.

Kebanyakan pesantren didirikan sebagai salah satu bentuk reaksi terhadap pola
kehidupan tertentu yang dianggap rawan, dan dengan demikian berdirinya

5

pesantren itu sendiri juga menjadi salah satu bagian dari transformasi kultural yang
berjalan dalam jangka waktu sangat panjang.
Selama kurun waktu yang cukup panjang, pesantren-pesantren tersebut
banyak mengalami perubahan, banyak penyesuaian telah terjadi, dan banyak
tantangan yang diatasi, bahkan masalah-masalah baru tidak pula kurang banyaknya.
Upaya penyesuaian yang dilakukan pesantren dalam menghadapi tantangan bukan
dimaksud telah terjadi perubahan di lingkungan dan/ atau penyelenggaraan
pendidikan pesantren. Justru sebaliknya, upaya tersebut sebagai wujud potensi
pesantren Induk untuk melakukan kontak dengan dunia ilmu pengetahuan tanpa
melepaskan potensi pendalaman pengetahuan keagamaan.
Melaui sejumlah pengalaman tersebut, setidaknya mendorong corak
penyelenggaraan Pesantren, yakni :
1.

Sistem Madrasi

Upaya penyelenggaraan sistem madrasi di Pesantren Induk (sejak 1916) ,
kemudian diikuti oleh pesantren-pesantren lain, misalnya pesantren Salafiyah di
Sukorejo, Asembagus, Situbondo, Jawa Timur, sejak 1925; Pesantren Darussalam
Gontor, memberlakukan sistem madrasi sejak 1926. Kondisi nyata ini telah
menunjukkan perkembangan pesantren. Dengan demikian di dalam pesantren telah
terjadi perkembangan dan sudah dimulai sejak awal abad ke-20. Perkembangan itu
meliputi kurikulum, metode mengajar, dan kelembagaan. Dalam kurikulum terdapat
perkembangan sejak 1906 ketika kerajaan di Surakarta mendirikan Mambaul-Ulum7.
Dalam "metode mengajar" - atau cara pemberian pelajarannya, ada perkembangan
dari sistem salaf ke sistem madrasi8. Namun demikian, pesantren dapat memetik
hasil yang sangat positif dari sistem madrasah, yaitu keberhasilan para kyai

Mambaul Ulum di Surakarta, adalah tempat untuk mendidik calon-calon pejabat
agama, dengan memasukkan kurikulum Barat ke dalam pendidikan agama. Pada waktu
yang hampir bersamaan terjadi perkembangan serupa di Sumatera Barat.
8 Dalam sistem madrasi, di Jawa sudah diberlakukan sistem kelas atau tingkatantingkatan pendidikan (Steenbrink, Pesantren, Madrasah,Sekolah : Pendidikan Islam dalam Kurun
Moderen, (Jakarta: LP3ES), 1986: 102).
7

6

mengkonsolidasikan kedudukan pesantren dalam menghadapi perkembangan
sekolah-sekolah agama. Dalam tahun 1920-an dan 1930-an9 jumlah pesantren besar
dan santri-santrinya melonjak berlipatganda. Sebelum tahun 1920-an, pesantrenpesantren besar mempunyai hanya sekitar 200 santri. Dalam permulaan tahun 1930an banyak pesantren, seperti Pesantren Induk, yang mempunyai jumlah murid lebih
dari 1500 orang. Selain itu, walaupun jumlah sekolah-sekolah yang didirikan Belanda
terus menerus bertambah, namun pendidikan tingkat menengah sampai tahun 1940
masih sangat terbatas bagi penduduk golongan Eropa.

2.Pendidikan Kemandirian
Suasana pendidikan ke arah hidup mandiri tetap menjadi ciri khas
pesantren, karena bagaimana pun juga eksistensinya sebagai lembaga pendidikan
sejak keberadaannya hingga kini sedang dan akan senantiasa ditantang oleh
kebutuhan masyarakat yang mengalami pergeseran-pergeseran sistem nilai di
samping pergeseran kebutuhan. Kemampuan pesantren memenuhi tuntutan
masyarakat pendukungnya menjadi batu ujian bagi kelangsungan eksistensinya,
sehingga transformasi kultural yang ditempuhnya harus senantiasa memperhatikan
perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakatnya. Ini berarti dan sulit untuk
dilupakan, bahwa kehadiran pesantren yang didirikan oleh suatu hasrat untuk
mengadakan transformasi bagi daerah sekitarnya yang dalam konteks sejarah, hal ini
berarti terjadinya penerusan proses dakwah Islamiyah.
Dalam

upaya

menjawab

kebutuhan

masyarakat

akan

peningkatan

kesejahteraan, sebagian Pesantren Induk telah tampil sebagai kancah pemberdayaan
individu dan masyarakat, misalnya : dakwah, pertanian, koperasi, perpustakaan,
peternakan, perikanan, administrasi dan organisasi, pertukangan, kerajinan tangan
(menjahit, menyulam, dan sebagainya), kesehatan (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga),
dan sebagainya.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai,
(Jakarta:LP3ES), 1982 : 39.
9

7

Kiprah pemberdayaan diri (individu) dan masyarakat yang dialami oleh
Pesantren Induk tersebut, menarik untuk dicermati lebih lanjut di beberapa pesantren
Alumninya, selain menunjukkan jumlah yang sangat besar :
(a) kebanyakan pesantren didirikan

sebagai salahsatu bentuk reaksi

terhadap pola kehidupan tertentu yang dianggap rawan, karenanya kehadiran
pesantren sebagai satu bagian dari transformasi kultural yang berjalan dalam waktu
sangat panjang.
(b)
yang

dekat

Sebagian besar pesantren Alumni tetap memiliki hubungan pertautan
dengan

pesantren

Induk

(Tebuireng),

dibuktikan

dengan

dipertahankannya elemen-elemen tradisi pesantren.
© Untuk mempersiapkan kader, Pesantren Induk tidak segan-segan
mengirimkannya ke pesantren Alumni terutama untuk menimba pengetahuan
(misalnya tasawuf, ilmu hisab, ilmu fikih).
(d) Selama kurun yang cukup panjang, pesantren Induk dan pesantrenpesantren Alumni-nya juga telah mengalami corak pertumbuhan yang beraneka
ragam sebagaimana nampak : mempertahankan sistem pengajaran dengan metode
bandongan dan sorogan, mempertahankan sistem tersebut juga menyesuaikan
dengan SKB 3 Menteri, dan sebagian yang lain tidak menyesuaikan dengan pola
kurikulum pemerintah, tapi membuat kurikulum sendiri sesuai tujuan yang hendak
dicapai.
(e) Suasana pendidikan ke arah hidup mandiri tetap menjadi ciri khas
pesantren. Dengan sistem asrama, penyelenggaraan pendidikan di luar jam belajar,
santri diberikan pendidikan ketrampilan, misalnya : dakwah, pertanian, koperasi,
organisasi, kerajinan tangan, kesehatan, dan sebagainya. Akibat dari munculnya
sejumlah aktivitas itu, kiranya terasa sulit membuat gambaran suatu pola pesantren
alumni dan lebih-lebih mengadakan generalisasinya. Dalam kaitan ini, data lapangan
menunjukkan bahwa penyelenggaraan jenis pengembanan usaha untuk kemandirian
pesantren meliputi kopontren, BMT/BORS, home industry, pertokoan, pertanian/
perkebunan/ perikanan, peternakan,a grobisnis, klinik kesehatan, sebanyak 550
8

pesantren (70%) telah memiliki. Fakta ini memperlihatkan bahwa sejumlah besar
pesantren telah memiliki kekuatan ketahanan lembaga melalui pengembangan usahausaha ekonomi mandiri.
Pesantren Induk yang secara struktural telah memberikan dirinya sebagai
wadah dengan warna khas dan dinamikanya, telah juga mewarnai corak pesantren
Alumni sebagai wujud dinamika perjalanan dalam kaitan tantangan sepanjang
sejarah yang dihadapi pesantren. Dengan kata lain, sebagai lembaga pendidikan
Islam, pesantren berkenan dalam meningkatkan mutu, baik kuantitas maupun
kualitas kelembagaannya, terutama dilihat dari sisi penyelenggaraannya maupun
dari sisi manajemennya, sehingga proses kegiatan penyelenggaraan pendidikan yang
terjadi di pesantren tersebut dapat senantiasa mengarah pada orientasi dan kualitas
pendidikan yang benar-benar diharapkan oleh masyarakat.
Keberadaan mereka kini pantas untuk dicermati. Pada kategori sumber
belajar, team peneliti memperoleh data bahwa mayoritas pesantren bertumpu pada
sumber belajar yang hampir sama, yakni menggunakan sumber belajar lebih dari 37
kitab kuning10 dalam 16 jenis keilmuan, meliputi nahwu, sharaf, balaghah, fikih,
ushul fikih, tafsir, ulumul tafsir, hadis, ulumul hadis, akhlak tasawuf, tauhid, mantiq,
tarikh, falaq, dan arudl. Melalui penelitian kualitatif, mungkinkah diperoleh data
bagaimana dan kapan Kitab Kuning diajarkan ? Kitab-kitab tersebut meliputi teks
yang sangat pendek sampai teks yang berdiri dari berjilid-jilid tebal mengenai hadits,
tafsir, fiqih, ushul fiqih dan tasawuf.11 Agar bisa menerjemahkan dan memberikan
pandangan tentang isi dan makna dari teks kitab tersebut, seorang kyai ataupun
santri harus menguasai tata bahasa Arab (balaghah), literature dan cabang-cabang
pengetahuan agama Islam yang lain.12

Kitab Kuning yang dimaksud adalah kitab-kitab Islam klasik dan modern yang
ditulis dalam bahasa arab baik hasil karya para tokoh muslim luar negeri maupun para
pemikir muslim Indonesia.
11 HM. Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren dalam Tantangan modernitas, IRD
PRESS, Jakarta, 2005, hlm 39
12HM. Amin Haedari, dkk, Ibid hlm 41
10

9

Mendasarkan temuan data lapangan, pada umumnya pesantren telah
memiliki sarana

meliputi masjid, asrama, ruang belajar,

gedung kantor,

perpustakaan, gedung serbaguna, tanah untuk pengembangan dan lain-lain. Melalui
penelitian kuantitatif, mungkinkah diperoleh data sejak kapan masing-masing sarana
itu dibangun ? Andai saja bangunan itu terdapat unsure kekunoannya, maka berhak
diajukan ke Pemerintah untuk mendapatkan perlindungan sebagai Benda Cagar
Budaya (BCB). Landasan juridis konservasi dan pelestarian benda ca gar
budaya, adalah UU RI No. 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya,
yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI Tahun 1992 No. 27, 21
Maret 1992. Landasan institusional berdasarkan UU tersebut di atas,
maka pengelolaan kegiatan konservasi dan pelestarian benda cagar
budaya adalah Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Pe ninggalan
Sejarah dari Purbakala (Ditlinbinjar ah) Direktorat Jenderal Kebudayaan
DEPDIKBUD dengan instansi terkait, misalnya Bidang Penelitian: Pusat
Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas) DEPDIKBUD dengan 10
Balai Arkeologi di daerah .
Selama kurun waktu yang cukup panjang, pesantren-pesantren dengan
penghadapan pada situasi dan kondisi baik berupa peluang maupun tantangan
banyak pula PR yang harus dijawab. Upaya penyesuaian yang dilakukan pesantren
dalam menghadapi tantangan bukan dimaksud telah terjadi perubahan (bersifat
negatif) di lingkungan dan/ atau penyelenggaraan pendidikannya. Justru sebaliknya,
upaya tersebut sebagai wujud potensi pesantren untuk melakukan kontak dengan
dunia ilmu pengetahuan

tanpa melepaskan potensi pendalaman pengetahuan

keagamaan.
Suasana pendidikan ke arah hidup mandiri tetap menjadi ciri khas pesantren,
karena bagaimana pun juga eksistensinya sebagai lembaga pendidikan sejak
keberadaannya hingga kini sedang dan akan senantiasa ditantang oleh kebutuhan
masyarakat yang mengalami pergeseran-pergeseran sistem nilai disamping
pergeseran kebutuhan. Kemampuan pesantren memenuhi tuntutan masyarakat
10

pendukungnya menjadi batu ujian bagi kelangsungan eksistensinya, sehingga
transformasi

kultural

yang

ditempuhnya

harus

senantiasa

memperhatikan

perubahan yang terjadi dalam lingkungan masyarakatnya. Ini berarti dan hampir
sulit

dilupakan, bahwa

kehadiran pesantren sebagai wujud estafeta dakwah

islamiyah dari masa ke masa.
Dalam

upaya

menjawab

kebutuhan

masyarakat

akan

peningkatan

kesejahteraan, pesantren telah tampil sebagai kawah pemberdayaan individu dan
masyarakat, misalnya : dakwah, pertanian, koperasi, perpustakaan, peternakan,
perikanan, administrasi dan organisasi, pertukangan, kerajinan tangan (menjahit,
menyulam, dan sebagainya), kesehatan (Usaha Perbaikan Gizi Keluarga), dan
sebagainya. Usaha-usaha pengembangan pesantren, dalam rentangan sejarahnya,
diharapkan mempunyai peranan yang jelas dalam rangka pengembangan
masyarakat. Peranan tersebut berbentuk partisipasi pesantren dalam melaksanakan
program pembangunan yang dapat mendorong dan meningkatkan tarap hidup
masyarakat sekitarnya.
Dalam kaitan ini, karena keberadaan pesantren hampir pasti dipicu untuk
selalu aktual dalam kiprahnya, maka sudah saatnya pemetaan kapasitas
kelembagaannya bisa berwujud, untuk kemudian ditindaklanjuti dengan programprogram pengembangan pesantren yang berkesinambungan.
Wallahu a lam bish-showab.
Tebet, 30-10-2014
Salam, www.putra-lawu.com

11

Dokumen yang terkait

Penyesuaian diri santri di Pondok Pesantren terhadap kegiatan pesantren : studi kasus di Pondok Pesantren Darunnajah

14 101 116

Eksistensi pondok pesantren sebagai sub sistem pendidikal\i nasional ( studi kasus pada pondok pesantren darunnajah jakarta )

0 3 122

PERKEMBANGAN KELEMBAGAAN PENDIDIKAN DI PONDOK PESANTREN BAITUL ARQOM AL-ISLAM.

2 71 52

SISTEM INFORMASI PEMETAAN PONDOK PESANTREN KABUPATEN KUDUS

0 0 19

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambar Umum Pondok Pesantren 1. Sejarah Berdirinya Pondok Pesantren Raudlotus Sholihat Langgardalem Kudus - PENERAPAN BIMBINGAN PRIBADI DALAM MENGEMBANGKAN KEPATUHAN SANTRIWATI DI PONDOK PESANTREN RAUDLOTUS SHOLIH

0 0 30

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN - MANAJEMEN PENDIDIKAN PONDOK PESANTREN (Studi pada Pondok Pesantren Roudlotul Qur’an, Darul A’mal, dan Al Fatah) - Raden Intan Repository

2 5 88

BAB III LAPORAN HASIL PENELITIAN A. Gambaran Umum Pondok Pesantren Al Fatah Natar - ANALISIS PEMBERDAYAAN EKONOMI PONDOK PESANTREN DAN KONTRIBUSINYA TERHADAP KESEJAHTERAAN PONDOK PERSPEKTIF EKONOMI (Studi Pada Pondok Pesantren Al-Fatah Natar Lampung Selat

0 0 18

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan dan Jenis Penelitian 1. Pendekatan Penelitian - PERBEDAAN HASIL BELAJAR AKIDAH AKHLAK ANTARA SISWA YANG TINGGAL DI PONDOK PESANTREN DENGAN YANG TINGGAL DI LUAR PONDOK PESANTREN PADA SISWA KELAS VIII MTs SWASTA NURUL

0 0 9

APLIKASI PEMETAAN LOKASI PONDOK PESANTREN DI KABUPATEN BANYUMAS BERBASIS ANDROID - repository perpustakaan

0 0 15

SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS PEMETAAN LOKASI PONDOK PESANTREN BERBASIS ANDROID DI KABUPATEN PURBALINGGA

0 0 131