laporan perjalanan dinas ke kemen lh dan kehutanan

Kepada Yth.
Bapak Bupati Bengku
gkulu Selatan
di Manna

LAPORAN TENTANG
PELAKSANAAN PERJALANAN DINAS
I.

Pendahuluan
n:
1. Umum.
enerbitan izin pertambangan
Terkait
kait dengan peralihan kewenangan pen
ra, mineral bukan logam dan
rakyat untuk
tuk komoditas mineral logam, batubara
batuan dala
alam wilayah pertambangan rakyatt termasuk yang kita kenal
ula merupakan kewenangan

sebagai pe
pertambangan galian C yang semula
Kabupaten/K
si terhitung sejak 02 Oktober
n/Kota menjadi kewenangan Provinsi
2014 sesua
2014 tentang Pemerintahan
uai dengan UU Nomor 23 Tahun 20
Daerah.
Namun
ambangan tersebut berada di
un demikian, mengingat lokasi pertam
Kabupaten/K
n, sehingga sesuai dengan
n/Kota termasuk Bengkulu Selatan,
kan peninjauan langsung ke
perintah Ba
Bapak Bupati kami telah melakukan
ulu Selatan, terutama terkait
lokasi-lokasi

kasi galian C di Kabupaten Bengkulu
atif terhadap lingkungan.
emungkinan timbulnya dampak negatif
dengan kem
khususnya terkait kebijakan
Untukk menyikapi hal tersebut di atas, kh
starian SDA dalam rangka
gan lingkungan dan aspek kelesta
pertimbanga
g berkelanjutan, kita perlu
kan pembangunan ekonomi yang
mewujudkan
nH
Hidup dan Kehutanan
asistensi ke Kementerian Lingkungan
meminta asi
2. Maksud dan Tujuan.
d :
a. Maksud
adap aspek pertimbangan

memperoleh pemahaman terhada
Untuk m
angan galian C dalam rangka
gan hidup terhadap usaha pertambang
lingkunga
ilayah Kabupaten Bengkulu
tauan aktivitas penambangan di wila
pemantau
n.
Selatan.
b. Tujuan :
ang saran kebijakan kepada
ai bahan dalam memberikan sumban
Sebagai
Bengkulu Selatan.
Bupati Be
3. Dasar.
elatan Nomor 090/16/SPT/
rintah Tugas Bupati Bengkulu Sel
Surat Perin

tanggal 29 Maret 2016.
B.8/2016,, ta
aan Tugas :
4. Pelaksanaa
gal 30 Maret s/d 02 April 2016
Dari tanggal

II.

Kegiatan Yang Dilaksanakan :
Meminta Asistensi Pertimbangan Aspek Dampak Lingkungan Hidup
Terhadap Usaha Pertambangan Rakyat Galian C ke Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan melalui Sub Direktorat Audit Lingkungan Hidup dan
data Informasi pada Direktorat Pencegahan Dampak Lingkungan Usaha dan
Kegiatan Ditjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan.

III.

Hasil Yang Dicapai :
1. Pemanfaatan bahan galian C sebagai bahan material dasar sangat penting

untuk mendukung pembangunan fisik di wilayah Kabupaten/Kota. Tingkat
kecepatan eksploitasi dan penggunaan material ini dapat/telah
mengakibatkan beberapa permasalahan kerusakan lingkungan hidup, di
mana belum adanya ketaatan akan praktek-praktek pengelolaan yang bijak
dan kurangnya tindakan rehabilitasi pasca penambangan. Kerusakan
lingkungan karena penambangan dan pengerukan bahan galian C
sebagian besar diakibatkan dari kurangnya mempertimbangkan masalahmasalah lingkungan dalam perencanaan, pengoperasian dan perlakuan
perbaikan pasca penambangan. Kerusakan lingkungan dapat diakibatkan
oleh operasi kecil, besar dan mekanisasi penambangan atau oleh dampak
kumulatif dari operasi kecil yang dilakukan secara terus menurus.
Kerusakan lingkungan akibat penambangan galian C di beberapa
kabupaten/kota, saat ini sudah relatif sangat memprihatinkan, ditambah lagi
dengan masih adanya beberapa penambangan galian C yang menyalahi
prosedur, karena dilakukan tanpa adanya perencanaan, serta tidak adanya
izin dari Pemerintah Daerah setempat. Akibatnya, kegiatan tersebut relative
dapat merusak bentang alam dan menyisakan tebing curam, yang selain
mengganggu estetika sungai juga membahayakan lingkungan dan warga
masyarakat setempat. Penambangan bahan galian C, yakni semua bahan
yang termasuk sirtukil, selama ini dianggap bukanlah usaha tambang
bergengsi seperti halnya tambang minyak, gas bumi, batubara, emas atau

tembaga (galian golongan A dan B). Dimana Tambang galian A dan B
ditetapkan berada dalam kewenangan pemerintah pusat, sedangkan
penambangan bahan galian C di daerah. Penambangan galian C memang
kerap dianggap tambang kecil dan kurang dipandang. Padahal tambang ini
hampir terdapat di setiap daerah di seluruh Indonesia, dan sebagian besar
daerah yang terdapat tambang galian C ini relatif mengalami kerusakan
lingkungan ekologis yang cukup signifikan.
2. Kegiatan usaha penambangan galian C di Kabupaten Bengkulu Selatan
secara umum berada dalam sempadan sungai dan sempadan pantai,
maka sesuai dengan :
a. UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil pasal 35 huruf “i”sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap
orang baik langsung atau tidak langsung dilarang melakukan
penambangan pasir pada wilayah yang apabila secara teknis, ekologis,
sosial, dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau
pencemaran lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitarnya;

b. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata

Ruang Nasional pasal 52 ayat (2) bahwa sempadan sungai dan
sempadan pantai termasuk dalam kawasan perlindungan setempat ;
c. Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2012 tentang Rencana Tata
Ruang Pulau Sumatera pasal 44 ayat (3) huruf a, mengamanatkan
bahwa sempadan pantai Kabupaten Bengkulu Selatan termasuk
sempadan pantai yang pemanfaatan ruangnya harus dikendalikan,
serta pada huruf b Sungai Air Sulau, Sungai Air Kedurang, Sungai Air
Bengkenang, dan Sungai Air Manna termasuk dalam sempadan sungai
yang harus dikendalikan pemanfaatan ruangnya ;
d. Sempadan sungai hanya dapat dimanfaatkan untuk :
• bangunan prasarana sumber daya air;
• fasilitas jembatan dan dermaga;
• jalur pipa gas dan air minum;
• rentangan kabel listrik dan telekomunikasi;
• kegiatan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi sungai, antara lain
kegiatan menanam tanaman sayur-mayur; dan
• bangunan ketenagalistrikan.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan
pasal 2 ayat (1) mengamanatkan bahwa Setiap Usaha dan/atau Kegiatan
yang wajib memiliki Amdal atau UKL-UPL wajib memiliki Izin Lingkungan,

maka atas dasar PP ini dapat menjadi alat kontrol dan pengendalian
lingkungan oleh pemerintah daerah disamping itu sesuai dengan UU
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup pasal 14 mengamanatkan bahwa salah satu Instrumen pencegahan
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup adalah melalui tata
ruang.
IV. Simpulan dan Rekomendasi :
A. Simpulan.
a. Dari uraian di atas, maka tercermin bahwa usaha pertambangan rakyat
galian C baik dalam sempadan sungai maupun sempadan pantai tidak
dimungkinkan tanpa disertai dengan upaya pengendalian
pemanfaatan ruang ;
b. Disisi lain bahan galian C yang umumnya meliputi batu, koral dan pasir,
merupakan material dasar yang sangat penting untuk mendukung
pembangunan fisik di wilayah Kabupaten/Kota dan secara umum potensi
bahan galian C di Kabupaten Bengkulu Selatan terdapat di sungai dan di
pantai ;
c. Penerbitan izin usaha pertambangan galian C sejak terbitnya UU Nomor
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah tidak lagi menjadi
kewenangan Kabupaten/Kota tetapi menjadi kewenangan Provinsi.

B. Rekomendasi :
Untuk menyiasati kebutuhan akan bahan galian C namun disisi lain
dampak negatif lingkungan dapat diminimalisir, maka pemerintah daerah
perlu menetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) bahan galian C
di Kabupaten Bengkulu Selatan sesuai dengan peruntukan dalam
rencana tata ruang, dengan pertimbangan :
a. Untuk pemenuhan kebutuhan bahan galian C ;
b. Untuk menanggulangi persoalan sosial ekonomi masyarakat ;
c. Penciptaan lapangan kerja ;

d. Menekan dan mengendalikan kerusakan lingkungan, karena dilakukan
pada wilayah yang sebelumnya telah ditetapkan peruntukkannya
sebagai WPR ;
e. Mencegah penambangan tanpa izin (PETI).
1. Landasar hukum WPR, antara lain :

a. UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu pada
lampiran pembagian urusan pemerintahan konkuren antara
pemerintah pusat dan daerah provinsi dan daerah kabupaten/kota
huruf cc tentang pembagian urusan Pemerintahan Bidang Energi &

Sumber Daya Mineral yang terdiri atas:
• Mengenai Wilayah Pertambangan Rakyat tercantum pada sub
urusaan
Mineral
dan
Batubara
(2),
kolom
kewenangan pemerintah pusat huruf (a) yang berbunyi :
“Penetapan Wilayah Pertambangan sebagai bagian dari rencana
tata ruang wilayah nasional, yang terdiri atas Wilayah Usaha
Pertambangan, Wilayah Pertambangan Rakyat dan Wilayah
Pencadangan Negara serta Wilayah Usaha Pertambangan
Khusus”;
• Mengenai Izin Pertambangan Rakyat tercantum pada sub urusan
Mineral dan Batubara (2), Kolom kewenangan Daerah Provinsi
huruf (d) yang berbunyi :
“Penerbitan Izin pertambangan rakyat untuk komoditas mineral
logam, batubara, mineral bukan logam dan batuan dalam wilayah
pertambangan rakyat”.

b. Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara (pasal 20-26 tentang Wilayah Pertambangan Rakyat
dan pasal 66-73 tentang Ijin Pertambangan Rakyat) ;
c. PP No. 22 Tahun 2010 Tentang Wilayah Pertambangan (pasal 2627 tentang Wilayah Pertambangan Rakyat) ;
d. PP No. 23 Tahun 2010 tentang Pengusahaan Pertambangan
Mineral dan Batubara (pasal 47-48 tentang Ijin Pertambangan
Rakyat).
2. Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat :

Sebelum dikeluarkannya Izin Usaha Pertambangan Rakyat (IPR) maka
terlebih dahulu ditetapkan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR).
Dalam UU No.4 tahun 2009 pasal 20 “bahwa kegiatan Pertambangan
Rakyat dilaksanakan dalam suatu WPR”. Wilayah Pertambangan
Rakyat (WPR) adalah bagian dari wilayah pertambangan (WP) yang
memiliki potensi mineral dan/atau batubara tempat dilakukannya
kegiatan usaha pertambangan rakyat.
3. Kriteria Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat :

1) Dalam UU No. 4 tahun 2009 Pasal 22 Kriteria untuk menetapkan
WPR adalah sebagai berikut :








Mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai
dan/atau di antara tepi dan tepi sungai;
Mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan
kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter;
Endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba;
Luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (dua
puluh lima) hektare;
Menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/ atau
Merupakan wilayah atau tempat kegiatan tarnbang rakyat yang
sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15(lirna belas) tahun.

2) Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2010 Pasal 26 ayat 2 :










Mempunyai cadangan mineral sekunder yang terdapat di sungai
dan/atau di antara tepi dan tepi sungai;
Mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan
kedalaman maksimal 25 (dua puluh lima) meter;
Merupakan Endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai
purba;
Luas maksimal wilayah pertambangan rakyat (WPR) adalah 25
(dua puluh lima) hektare;
Menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang; dan/ atau
Merupakan wilayah atau tempat kegiatan tarnbang rakyat yang
sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15(lirna belas) tahun;
Tidak tumpang tindih dengan WUP dan WPN;
Merupakan kawasan peruntukan pertambangan sesuai dengan
rencana tata ruang.

3) Tata Cara Penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR.
a. UU No. 4 Tahun 2009 :

• Pasal 21, “WPR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan
Dewan Penvakilan Rakyat Daerah kabupaten/ kota”;
• Pasal 23, “Dalam menetapkan WPR sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 21, Bupati/Walikota berkewajiban melakukan
pengumuman mengenai rencana WPR kepada masyarakat
secara terbuka”;
• Pasal 24, “Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang
sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR
diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR”;
• Pasal 25, “Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman,
prosedur, dan penetapan WPR sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan pemerintah”;
• Pasal 26, “Penetapan WPR, sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 22 dan Pasal 23 diatur dengan peraturan Daerah
kabupaten/kota”.
b. PP No. 22 tahun 2010 pasal 27.

• Wilayah di dalam WP (wilayah Pertambangan) sebagaimana
dimaksud dalam pasal 26 yang memenuhi kriteria ditetapkan
menjadi WPR oleh Bupati/Walikota Setempat setelah
berkoordinasi dengan pemerintah Provinsi dan berkonsultasi
dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten /Kota;

• Penetapan WPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
disampaikan secara tertulis oleh Bupati/Walikota kepada
Menteri dan Gubernur ;
• Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dilakukan
untuk mendapatkan pertimbangan berkaitan dengan data dan
informasi
yang
dimiliki
pemerintah
Provinsi
yang
bersangkutan;
• Konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
memperoleh pertimbangan”.
c. Peraturan Menteri ESDM No.2 tahun 2013, pasal 3 ayat 2.

“Pengawasan
dalam
rangka
penetapan
WPR
oleh
Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
sekurang-kurangnya:
o Penetapan WPR dilakukan setelah berkoordinasi dengan
pemerintah provinsi dan berkonsultasi dengan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota;
o sebelum melakukan koordinasi dengan pemerintah provinsi
dan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Derah
kabupaten/kota, sebagaimana dimaksud pada huruf a wajib
memastikan lokasi WPR:
 Masuk dalam Kawasan Peruntukan Pertambangan
sebagaimana tercantum dalam rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota yang ditetapkan dalam Peraturan
Daerah;
 Telah mendapatkan persetujuan dari pemegang hak atas
tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
 Telah menggunakan sistem koordinat pemetaan dengan
Datum Geodesi Nasional yang mempunyai parameter
sarna dengan parameter Ellipsoid World Geodetic
System;
 Telah memenuhi kriteria penetapan WPR sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
 Telah dilaksanakan pengumuman rencana penetapan
WPR kepada masyarakat seeara terbuka paling sedikit
pada kantor kelurahan/ desa di lokasi WPR sesuai
dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
V.

Penutup :
Demikian laporan tentang pelaksanaan perjalanan dinas ke Kementerian
Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI di Jakarta dari tanggal 30 Maret 2016 –
02 April 2016 ini disampaikan kepada Bapak.
Manna, 04 April 2016
Yang Membuat Laporan :

Nopian Andusti, S.E.,M.T
Sahli Bupati Bidang Ekonomi dan Keuangan