Perjalanan Dinas Bukan Untuk Menjadi Sup

Perjalanan Dinas Bukan Untuk Menjadi Suporter Sepakbola
Keikutsertaan Bhayangkara FC dan PS TNI dalam turnamen Liga 1 membuktikan bahwa
sepakbola Indonesia bukan hanya milik masyarakat sipil tetapi juga non-sipil. Dalam sejarah,
beberapa klub sepakbola memang tak lepas dari peranan non-sipil sebagai institusi. Di Rusia
(dulu Uni Soviet) misalnya, klub ibukota CSKA Moskow dinisiasi oleh pihak militer. CSKA
sendiri merupakan singkatan dari Central’nyi Sportivnyi Klub Armii, yang apabila diterjemahkan
berarti Klub Olahraga Pusat Angkatan Darat.
Selain tentara, pihak kepolisian juga tercatat pernah memprakarsai lahirnya klub-klub
sepakbola profesional. Bhayangkara yang berarti “pasukan pengawal” mungkin dapat dimaknai
sebagai upaya aparat kepolisian untuk mengawal persepakbolaan nasional dengan melahirkan
Bhayangkara FC. Namun tidak hanya institusi Polri saja yang membentuk klub sepakbola. Home
United FC yang dahulu bernama Police Football Club, merupakan klub sepakbola bentukan
kepolisian Singapura, pun dengan Ansan Mugunghwa FC yang dibentuk oleh para perwira polisi
di Korea Selatan.
Terlepas dari upaya penyelamatan persepakbolaan nasional, peran serta kedua institusi itu
yang pada hakikatnya bertugas menjaga pertahanan dan keamanan negara jelas dipertanyakan.
Saya termasuk yang menyoroti bagaimana para personil (baik tentara maupun polisi) terjun ke
lapangan stadion sebagai pendukung bukan sebagai pihak keamanan. Tentu bukan pelanggaran
apabila ada aparat datang menyaksikan klub kesayangannya berlaga. Akan tetapi akan jadi
masalah serius jika para personil ditugaskan secara resmi oleh institusi hanya untuk pergi ke
stadion dengan maksud menonton pertandingan.

Bukan tidak mungkin, jika PS TNI atau Bhayangkara FC berlaga, atasan mengeluarkan
surat tugas untuk mengerahkan massa yang notabene merupakan prajurit atau perwira aktif
dengan dalih perjalanan dinas. Parahnya lagi, biaya perjalanan dinas dibebankan pada anggaran
masing-masing institusi/lembaga yang berasal dari alokasi APBN. Dengan kata lain, tentara
maupun polisi yang hadir di tribun dibiayai oleh negara, oleh pajak rakyat. Ketika masyarakat
sipil harus menabung atau menggunakan sebagian gajinya untuk away days, mungkin para
anggota TNI dan Polri tak perlu melakukan itu. Selama atasan menandatangani surat tugas,
mereka mampu menonton pertandingan langsung di stadion lengkap dengan akomodasi dan uang
saku.

Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113/PMK.05/2012 tentang Perjalanan
Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, Dan Pegawai Tidak Tetap,
menyatakan bahwa perjalanan dinas adalah perjalanan ke luar tempat kedudukan yang dilakukan
dalam wilayah Republik Indonesia untuk kepentingan negara. Secara jelas dan terang, PMK
menyatakan “untuk kepentingan negara” bukan untuk kepentingan kesebelasan. Sungguh tidak
perlu memobilisasi ratusan bahkan ribuan personil ke dalam stadion hanya untuk menonton
pertandingan. Siapapun yang kalah atau mejadi pemenangnya, tentu tak berpengaruh apa-apa
terhadap kedaulatan NKRI. Perlu diketahui, Pasal 2 ayat (3) PMK ini menyatakan bahwa
anggota TNI dan Polri termasuk ke dalam Pegawai Negeri sehingga secara hukum tunduk di
dalam peraturan tersebut.

Pasal 3 PMK Nomor 113/PMK.05/2012 bicara tentang prinsip perjalanan dinas yang
dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip sebagai berikut:
1. selektif, yaitu hanya untuk kepentingan yang sangat tinggi dan prioritas yang berkaitan
dengan penyelenggaraan pemerintahan;
2. ketersediaan anggaran dan kesesuaian dengan pencapaian kinerja Kementerian
Negara/Lembaga;
3. efisiensi penggunaan belanja negara; dan
4. akuntabilitas pemberian perintah pelaksanaan Perjalanan Dinas dan pembebanan biaya
Perjalanan Dinas.
Lantas apakah penugasan para personel TNI/Polri sebagai suporter yang turut hadir di tribun
sudah sesuai dengan prinsip selektif? Apakah institusi sekelas TNI dan juga Polri menjadikan
sepakbola sebagai prioritas mereka sehingga dirasa perlu membiayai perjalanan para anggotanya
berkunjung ke stadion-stadion? Pertanyaan tersebut tampak menggelikan sebab tak ada satupun
kata maupun frasa di dalam undang-undang tentang TNI maupun Polri yang memuat unsur
“sepakbola”.
Poin kedua perihal ketersediaan anggaran lebih menimbulkan pertanyaan. Pada
praktiknya, suatu perjalanan dinas terjadi bilamana kegiatan yang hendak dilakukan sudah
tercantum dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA). Itu artinya, baik TNI maupun Polri
memang sengaja menganggarkan kegiatan menonton pertandingan di stadion. Hal itu memang
masih asumsi saya, tetapi mengingat jumlah massa yang dimobilisasi cukup banyak, kecil


kemungkinan biaya akomodasi, uang saku, dan juga mungkin uang makan para personil berasal
dari luar anggaran lembaga.
Pasal 7 UU Nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dengan gamblang menyatakan tugas
pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah
Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara.
Sehingga menjadi relevan pertanyaan-pertanyaan seperti: Apakah stadion dianggap suatu
wilayah yang perlu dipertahankan oleh TNI? Apakah kedaulatan NKRI akan runtuh seketika jika
stadion sepi? Apakah massa pendukung Persita Tangerang ancaman yang mengganggu keutuhan
bangsa dan negara sehingga mesti diajak kelahi?
Baik TNI maupun Polri sebagai institusi mestinya fokus dengan tugas pokok dan fungsi
masing-masing. Membiayai perjalanan dinas para anggota ke stadion hanya untuk menonton
pertandingan sepakbola bagi saya merupakan perbuatan melampaui kewenangan institusi yang
menurut Hendra Nurtjahjo dkk. dalam buku “Memahami Maladministrasi” termasuk ke dalam
bentuk maladministrasi.
Bukan tak mungkin kehadiran militer turut memberikan intimidasi terhadap masyarakat
sipil, sehingga menimbulkan kerugian immaterial bagi kaum sipil. Pun apabila terjadi bentrokan,
yang mana dalam sepakbola sangat rentan terjadi, tentu kaum sipil lah pihak yang paling tidak

diuntungkan. Mereka tidak punya sistem komando, mereka jelas tidak terlatih secara fisik,
sehingga akan meningkatkan resiko pelanggaran hak asasi manusia terjadi di dalam stadion.