SIKAP TERHADAP PERNIKAHAN PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA

SIKAP TERHADAP PERNIKAHAN PADA INDIVIDU DEWASA AWAL YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  Oleh: Meidiana Sapoetro NIM : 039114045

  PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  

SIKAP TERHADAP PERNIKAHAN PADA INDIVIDU DEWASA AWAL

YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh:

Meidiana Sapoetro

  

NIM : 039114045

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

  Aku menyangka dalam kebingunganku: ”Aku telah terbuang dari hadapan mata-Mu.” Tetapi sesungguhnya Engkau mendengarkan suara permohonanku, ketika aku berteriak kepada-Mu minta tolong.

  (Mazmur 31:32 ) Ia membuat segala sesuatu indah pada waktuNya… (Pengkotbah 3:11a)

  Skripsi ini kupersembahkan untuk kemuliaan nama Allah Bapa dan Papa Mama-ku yang tercinta

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

  Yogyakarta, 4 September 2009 Peneliti Meidiana Sapoetro

  

ABSTRAK

SIKAP TERHADAP PERNIKAHAN PADA INDIVIDU DEWASA AWAL

YANG MENGALAMI PERCERAIAN ORANG TUA

Meidiana Sapoetro

039114045

  Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sikap terhadap pernikahan

pada individu dewasa awal yang orang tuanya mengalami perceraian. Penelitian

ini merupakan penelitian deskriptif kuantitatif yang dilakukan terhadap 38 orang

subjek yang berusia antara 20 sampai 40 tahun. Penelitian ini menggunakan

kuesioner yang berjumlah 27 aitem dan pemberian skor dilakukan dengan

menggunakan metode rating yang dijumlahkan. Analisis data menggunakan one

sample t test untuk mengetahui arah sikap terhadap pernikahan. Hasil penelitian

menunjukkan individu dewasa awal yang mengalami perceraian orang tua

memiliki sikap positif terhadap pernikahan.

  Kata kunci: sikap, perkawinan, perceraian, dewasa awal.

  

ABSTRACT

ATTITUDE TO MARRIAGE OF YOUNG ADULT

WITH PARENT DIVORECE HISTORY

Meidiana Sapoetro

039114045

  The aim of this research was to know the attitude to marriage of young adult

with parent divorce history. This research was quantitative descriptive research

that was done to 38 subjects that aged between 20 until 40 years old. This research

used questioner that was content 27 items and giving score was done by

summated rating method. Data analysis used one sample t test to know the

direction of attitude to marriage. The result of research showed that young adult

have positive attitude to marriage.

  Keyword: attitude, marriage, divorce, young adult.

KATA PENGANTAR

  Puji syukur kepada Allah Bapa di surga atas berkat, rahmat dan

kasihNya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan oleh peneliti guna memenuhi

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi. Peneliti menyadari

bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak lepas dari saran, dukungan dan bantuan

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti hendak

menyampaikan rasa terima kasih yang mendalam kepada:

  1. Bapak Eddy Suhartono, S.Psi., M.Si. selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma.

  2. Ibu A. Tanti Arini, S.Psi., M.Si. selaku dosen pembimbing skripsi atas waktu dan kesabarannya dalam memberikan pengarahan, masukan dan

saran, koreksi serta dukungan hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

  3. Bapak Dr. Tarsisius Priyo Widiyanto, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Akademik.

  4. Ibu Agnes Indar Etikawati, S.Psi., M.Si. dan Ibu MM. Nimas Eki S., S.Psi., M.Si. selaku dosen penguji atas waktu, saran, koreksi, serta masukan yang berharga.

  

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Sanata Dharma yang telah membagikan

ilmu pengetahuannya kepada peneliti selama menempuh perkuliahan.

  6. Seluruh staff Fakultas Psikologi Sanata Dharma, Mas Muji, Mas Gandung,

Mas Doni, Pak Gie, dan Mbak Nanik atas informasi dan bantuannya

kepada peneliti.

  7. Orang tuaku tercinta, Papa Awet Joyo Sapoetro dan Mama Yenny

Cemerlang, atas support baik secara moril maupun materiil, cinta dan

kasih sayang yang tanpa pamrih, serta kesabaran yang besar dalam

menunggu kelulusanku.

  8. Adikku tersayang, Ardian Sapoetro atas kasih sayang, dukungan dan bantuan yang telah diberikan.

  9. Daniel Kurniawan, S.Kom., M.M. atas perhatian, semangat, kasih sayang, serta bantuan dan dukungan selama proses pengerjaan skripsi ini.

  10. Sahabat-sahabat dan teman-temanku Psikologi angkatan 2003, mira, olin,

mita, aning, tanti, yosi, dan semua yang tidak dapat disebutkan satu

persatu atas kebersamaan dan suka duka yang telah kita lalui.

  11. Sahabat-sahabatku yang tidak pernah lelah dalam memberikan semangat, natalia, oki, sherly, lia, yandy, yonx, krisna, rina, dan semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

  12. Seluruh Subjek Penelitian atas kontribusinya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

  13. Semua pihak yang telah membantu dan belum tersebutkan.

  Peneliti menyadari bahwa skripsi ini tentunya tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Meskipun demikian, peneliti berharap skrispsi ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.

  Yogyakarta, 23 Agustus 2009 Peneliti

  

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ....................................... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................ iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .................................................................. v

ABSTRAK ............................................................................................................. vi

ABSTRACT .......................................................................................................... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ........................ viii

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ix

DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL ................................................................................................ xiii

DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiv

  

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1 B. Rumusan Masalah ...................................................................................... 6 C. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 6 D. Manfaat Penelitian ..................................................................................... 6

BAB II LANDASAN TEORI .................................................................................. 7

A. Sikap Terhadap Pernikahan ....................................................................... 7

  1. Pengertian ........................................................................................... 7 2.

  Aspek Sikap Terhadap Pernikahan ................................................... 11

  3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Terhadap Perkawinan .... 12

  B. Perceraian ................................................................................................. 14 1.

  Pengertian Perceraian ....................................................................... 14 2. Perlindungan Hukum Pada Anak yang Mengalami Perceraian Orang Tua .................................................................................................... 15

  3. Dampak Perceraian Pada Anak ......................................................... 16 C. Dewasa Awal ........................................................................................... 20

  2. Karakteristik Umum dan Tugas Perkembangan Dewasa Awal ........ 21

  D. Sikap Terhadap Pernikahan Pada Individu Dewasa Awal yang Mengalami Perceraian Orang Tua ........................................................... 23

  

BAB III METODE PENELITIAN......................................................................... 28

A. Metode Penelitian .................................................................................... 28 B. Variabel Penelitian ................................................................................... 28 C. Definisi Operasional ................................................................................ 28 D. Subjek Penelitian ..................................................................................... 29 E. Alat Pengumpulan Data ........................................................................... 30 1. Penyusunan Aitem ............................................................................ 30

  2. Pemberian Skor Skala Sikap Terhadap Pernikahan dan Perceraian . 30

  F. Validitas, Uji Daya Beda, dan Reliabilitas .............................................. 32 1.

  Validitas ............................................................................................ 32

  2. Uji Daya Beda ................................................................................... 33

  3. Reliabilitas ........................................................................................ 37 G. Metode Analisis Data ............................................................................... 37

  

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ....................................... 39

A. Pelaksanaan Penelitian ............................................................................. 39 B. Hasil Penelitian ........................................................................................ 40 1. Karakteristik Subjek ......................................................................... 40

  2. Analisis Data ..................................................................................... 42

  a. Analisis Data ................................................................................. 42

  b. Kategorisasi ................................................................................... 44

  C. Pembahasan.............................................................................................. 45

  

BAB V KESIMPULAN ......................................................................................... 50

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 52

LAMPIRAN ........................................................................................................... 55

  

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Distribusi Aitem Skala Sikap Terhadap Pernikahan .............................. 30Tabel 3.2 Uji Daya Beda 30 Aitem ........................................................................ 35Tabel 3.3 Uji Daya Beda 27 Aitem ........................................................................ 36Tabel 4.1 Karakteristik Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin .................................. 40Tabel 4.2 Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia ................................................. 40Tabel 4.3 Karakteristik Subjek Berdasarkan Pendidikan ....................................... 41Tabel 4.4 Karakteristik Subjek Berdasarkan Pekerjaan ......................................... 41Tabel 4.5 Karakteristik Subjek Berdasarkan Usia Saat Orang Tua Bercerai ......... 42Tabel 4.6 Deskripsi Data Penelitian ....................................................................... 42Tabel 4.7 Klasifikasi Evaluatif Skala Sikap Terhadap Pernikahan ........................ 45

  

DAFTAR LAMPIRAN

A.

  Kuesioner ..................................................................................................... A-1

  

B. Data Hasil Kuesioner 30 Aitem .................................................................... B-1

  

C. Hasil Uji Daya Beda 30 Aitem ..................................................................... C-1

D.

  Data Hasil Kuesioner 27 Aitem ................................................................... D-1 E.

Hasil Uji Daya Beda 27 Aitem ..................................................................... E-1

  

F. Hasil Uji Reliabilitas Alfa Cronbach ............................................................ F-1

  

G. Hasil Uji One Sampel T Test ........................................................................ G-1

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, sering terjadi individu dewasa awal yang tidak

  

ingin melakukan pernikahan meskipun dari segi ekonomi dan kematangan

psikologis sudah layak untuk berumah tangga. Individu tersebut kemungkinan

tidak ingin melakukan pernikahan karena dihantui oleh ingatan akan perceraian

yang buruk dari orang tuanya. Hal ini merupakan salah satu sikap yang negatif

terhadap pernikahan sebagai dampak dari pernikahan orang tuanya yang gagal.

  Pernikahan sendiri merupakan salah satu hal yang penting di dalam

kehidupan. Dengan adanya pernikahan, seorang wanita dan seorang pria akan

secara sah menjadi sepasang suami istri yang dapat saling berbagi banyak hal,

melimpahkan dan mendapatkan kasih sayang, memperoleh keintiman tanpa

melanggar norma masyarakat, serta memperoleh keturunan yang merupakan salah

satu fase yang dianggap penting dalam kehidupan sosial masyarakat. Hal ini

sejalan dengan yang diungkapkan Wahyu (2009) bahwa dengan pernikahan

seseorang mendapatkan teman hidup, pelipur lara, kepuasan seksual, keturunan,

kekerabatan, kenikmatan fisik, kebanggaan diri, hiburan-hiburan, kebersamaan,

kesetiaan, ilmu, wawasan dan seterusnya.

  Setiap manusia yang memasuki mahligai rumah tangga pasti menginginkan

kehidupan yang bahagia, harmonis, aman, tenteram dan sejahtera (Triadi, 2005).

  

Ketika melangsungkan pernikahan hampir semua orang mengharapkan

kebahagiaan dan ikatan pernikahan yang langgeng. Pernikahan menuntut adanya

penyesuaian diri terhadap tuntutan peran dan tanggung jawab baru dari kedua

pasangan, harapan-harapan tersebut sering kandas di tengah jalan dan tidak

menjadi kenyataan. Hal ini adalah karena penyesuaian diri bukanlah merupakan

sesuatu yang mudah bagi masing-masing pasangan (Desmita, 2007). Apabila

perbedaan-perbedaan individu dalam pernikahan bisa disatukan, maka akan

menjadi persatuan yang indah, akan tetapi ketika masing-masing pihak

mengutamakan egonya sendiri-sendiri, maka yang terjadi adalah kehancuran. Hal

inilah yang kemudian menjadikan pernikahan mengalami perceraian.

  Perceraian merupakan putusnya ikatan pernikahan yang terjadi apabila

kedua belah pihak baik suami maupun istri merasakan ketidakcocokan dalam

menjalani rumah tangga. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang

Pernikahan tidak memberikan definisi mengenai perceraian secara khusus namun

dalam Pasal 38 menyebutkan bahwa pernikahan bisa putus karena: (1) kematian,

(2) perceraian, (3) atas keputusan pengadilan.

  Perceraian yang mengakibatkan putusnya hubungan suami-istri dapat

memberi trauma bagi anak dan berdampak pada sikapnya terhadap pernikahan.

  

Hal ini bisa terjadi karena dalam proses menjelang perceraian sering kali diwarnai

pertengkaran yang membuat anak melihat semua pertengkaran tersebut dan

menjadikannya depresi.

  Masalah yang memicu pertengkaran suami istri banyak sekali, antara lain

masalah ekonomi, seks, kekerasan dalam rumah tangga, dan lain-lain. Salah satu

masalah yang seringkali menjadi penyebab perceraian adalah masalah

perselingkuhan. Perselingkuhan selalu menjadi bom waktu bagi keutuhan suatu

rumah tangga, yang sewaktu-waktu bisa meledak, membinasakan keharmonisan

suatu keluarga, bahkan bisa membinasakan pelakunya sendiri.

  Sebuah berita di koran Jawa Pos tanggal 23 Maret 2005 (dalam Triadi, 2005)

membuktikan hal itu. Kapolsek Sawan AKP Cede Sukarda tewas ditembak oleh

istrinya Ni Made Sunu, 45, yang sudah memberikan tiga putri dan satu putra.

Sunu merasa emosi ketika Sukarda 2 hari tidak pulang ke rumah dan mengaku

mempunyai wanita idaman lain (WIL) di Denpasar yang sudah hamil dua bulan.

  

Sunu tidak bisa mengendalikan emosi dan akhirnya ketika suaminya sedang

memasang pakaian, ditembaknya sampai semua peluru yang ada di pistol habis.

  

Kejadian ini membuat anak-anak Sunu menjadi mengalami depresi, ayah mereka

meninggal, ibu mereka masuk penjara, belum lagi bayangan pertengkaran demi

pertengkaran yang pernah terjadi antara ayah dan ibu mereka, semuanya

membekas di hati anak-anak tersebut yang memungkinkan membuat mereka

menyikapi pernikahan dengan sikap yang negatif.

  Hal lain yang dapat membuat anak bersikap negatif pada pernikahan adalah

perceraian yang diawali Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Anak

menjadi saksi dari kekerasan yang terjadi dalam keluarga, ikut menjadi korban

yang disakiti secara fisik, dan ikut merasakan sakit hati atas semua kekerasan

yang disaksikannya di dalam rumah tangga. Semua itu membuat anak mempunyai

  

persepsi yang negatif terhadap pernikahan dan akhirnya bersikap negatif pula

terhadap pernikahan.

  Nazwa (2008) menyatakan banyak sekali dampak negatif perceraian yang

bisa muncul pada anak. Marah pada diri sendiri, marah pada lingkungan, jadi

pembangkang, tidak sabaran, impulsif, apatis, menarik diri dari lingkungan,

adalah dampak-dampak perceraian pada anak. Selain itu, anak akan merasa

bersalah (guilty feeling) dan menganggap dirinyalah biang keladi atau penyebab

perceraian orangtuanya. Dampak lain adalah anak jadi ketakutan terhadap

kegagalan dan prahara dalam berumah tangga, yang akhirnya melahirkan sikap

traumatis sehingga membuat mereka takut untuk berumah tangga. Hal ini bisa jadi

terus mempengaruhinya hingga ia memasuki usia untuk memasuki dunia

pernikahan.

  Menurut Hurlock (1980) munculnya sikap terhadap pernikahan pada

umumnya terjadi pada individu ketika memasuki masa dewasa awal. Hal ini

disebabkan tugas perkembangan dewasa awal adalah dimulainya masa menikah

dan membina keluarga. Menurut Hurlock (1980) tugas perkembangan dalam masa

dewasa awal adalah masa dimulainya upaya untuk memilih pasangan hidup dan

bekerja. Dewasa awal sendiri adalah mereka yang berusia 18 tahun sampai kira-

kira 40 tahun.

  Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dewi (2006) sikap terhadap

pernikahan oleh individu yang memasuki dewasa awal pada umumnya tidak

dibayangi oleh ketakutan akan perceraian, melainkan berkaitan dengan kesiapan

secara kesehatan, keturunan, kematangan emosional, kesiapan psikologis, dan

  

agama. Akan tetapi sikap individu terhadap pernikahan dapat berubah apabila

orang tuanya mengalami perceraian, apalagi perceraian yang penuh konflik

sebagaimana dikemukakan pada fakta kasus di atas.

  Sejalan dengan itu, (Astrella, dalam Dewi, 2006) berpendapat bahwa

perceraian akan mengubah sikap individu terhadap peranan orang tua dalam

keluarga, gambaran peran suami-istri dalam masyarakat, pandangan individu akan

pernikahan, serta pasangan. Jika dalam lingkungan keluarga, anak mendapati

kasus orang tua yang penuh dengan kekerasan dan berakhir dengan perceraian

maka hal itu dapat membentuk sikap yang negatif terhadap pernikahan pada

individu dewasa awal.

  Menurut Sears, dkk (1985) sikap merupakan orientasi yang bersifat menetap

dengan komponen-komponen kognitif, afektif, dan perilaku. Komponen kognitif

terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu,

fakta, pengetahuan, dan keyakinan tentang objek. Komponen afektif terdiri dari

seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap objek, terutama penilaian.

Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau

kecenderungan untuk bertindak terhadap objek. Oleh karenanya semua nilai-nilai

sosial yang dibawa oleh orangtua akan menjadi sumber contoh utama bagi anak-

anak. Orang tua dapat memberikan contoh secara langsung terhadap anak melalui

kehidupan pernikahannya.

  Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini mengkaji

bagaimanakah sikap terhadap pernikahan pada individu dewasa awal yang

mengalami perceraian orang tua.

  B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas masalah penelitian yang muncul dan

ingin dicari jawabnya melalui penelitian ini adalah bagaimanakah sikap terhadap

pernikahan pada individu dewasa awal yang mengalami perceraian orang tua.

  C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sikap yang muncul terhadap pernikahan pada dewasa awal yang orang tuanya mengalami perceraian.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Secara teoritis: Sebagai tambahan khasanah ilmu pengetahuan dalam bidang psikologi perkembangan dan klinis, khususnya terkait dengan sikap terhadap pernikahan.

  2. Secara praktis: Bagi masyarakat dapat bermanfaat untuk mengetahui gambaran sikap terhadap pernikahan oleh dewasa awal yang mengalami perceraian orang tua.

BAB II LANDASAN TEORI A. Sikap Terhadap Pernikahan

1. Pengertian a. Pernikahan

  Pengertian pernikahan menurut Kartono (2006) adalah suatu peristiwa di mana sepasang mempelai atau sepasang calon suami isteri dipertemukan secara formal di hadapan penghulu atau kepala agama serta adanya para saksi. Sementara itu berdasarkan Undang-Undang (UU) Pernikahan No. 1 Tahun 1974, pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

  Pernikahan adalah perwujudan kesepakatan-kesepakatan lisan antar dua insan berlainan jenis untuk melebur dua karakter dasar secara besar-besaran agar menyatu dan berpadu untuk menyongsong kehidupan mendatang yang diharapkan lebih baik dan lebih lengkap.

  Adapun tujuannya adalah membentuk keluarga sejahtera, bahagia lahir dan batin (Triadi, 2005).

  Dalam pandangan Erikson (dalam Desmita, 2007), pernikahan merupakan keintiman yang biasanya menuntut perkembangan seksual yang mengarah pada perkembangan hubungan seksual dengan lawan

  

jenis yang ia cintai, yang dipandang sebagai teman berbagi suka dan

duka. Ini berarti bahwa hubungan intim yang terbentuk akan

mendorong orang dewasa awal untuk mengembangkan genitalitas

seksual yang sesungguhnya dalam hubungan timbal balik dengan

mitra yang dicintai.

  Pernikahan menurut Dariyo (2004) adalah ikatan kudus antara

pasangan dari seorang laki-laki dan seorang wanita yang telah

menginjak atau dianggap telah memiliki umur cukup dewasa.

Pernikahan dianggap sebagai ikatan kudus karena hubungan pasangan

antara seorang laki-laki dan seorang wanita telah diakui secara sah

dalam hukum agama.

  Berdasarkan pernyataan di atas maka pengertian pernikahan

dapat disimpulkan sebagai ikatan lahir dan batin antara sepasang

wanita dan pria dengan tujuan membentuk rumah tangga yang kekal

yang diakui secara hukum, agama dan masyarakat.

b. Sikap

  Azwar (2005), menggolongkan definisi sikap dalam tiga

kerangka pemikiran. Pertama, sikap adalah suatu bentuk evaluasi

atau reaksi perasaan. Berarti sikap seseorang terhadap suatu objek

adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun

perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada

objek tersebut. Kedua, sikap merupakan semacam kesiapan untuk

bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Dapat

  

dikatakan bahwa kesiapan yang dimaksudkan merupakan

kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu

apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki

adanya respon. Ketiga, sikap merupakan konstelasi komponen

kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi dalam

memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

  

Sears, dkk (1985) menyatakan sikap merupakan orientasi yang

bersifat menetap dengan komponen-komponen kognitif, afektif, dan

perilaku. Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang

dimiliki seseorang mengenai objek sikap tertentu, fakta, pengetahuan,

dan keyakinan tentang objek. Komponen afektif terdiri dari seluruh

perasaan atau emosi seseorang terhadap objek, terutama penilaian.

  

Komponen perilaku terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi

atau kecenderungan untuk bertindak terhadap objek.

  Menurut Thurstone (dalam Walgito, 1999) sikap merupakan

suatu tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif

dalam hubungannya dengan objek-objek psikologis. Afeksi yang

positif, yaitu afeksi senang, sedangkan afeksi negatif adalah afeksi

yang tidak menyenangkan. Objek dapat menimbulkan berbagai-

bagai macam sikap, dapat menimbulkan berbagai macam tingkatan

afeksi pada seseorang. Thurstone melihat sikap hanya sebagai

tingkatan afeksi saja, belum mengaitkan sikap dengan perilaku.

  

Secara eksplisit Thurstone melihat sikap hanya mengandung

komponen afeksi saja.

  Lebih lanjut menurut Thurstone, dkk (dalam Azwar, 2005) sikap

adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang

terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak

(favorable) maupun perasaan perasaan tidak mendukung atau tidak

memihak (unfavorable).

  Sementara itu Gerungan (dalam Walgito, 2003) menyatakan

bahwa sikap itu merupakan pandangan atau sikap perasaan, sikap

mana disertai oleh kecenderungan bertindak sesuai dengan sikap

terhadap objek tadi. Jadi sikap menurut pendapat ini mengarah

kepada sesuatu yang membuat terjadinya kecenderungan berperilaku

tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang.

  Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas dapat

disimpulkan bahwa sikap adalah suatu bentuk evaluasi perasaan dan

kecenderungan potensial untuk bereaksi yang merupakan hasil

interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling

bereaksi di dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap

suatu objek.

c. Sikap Terhadap Pernikahan

  Berdasarkan definisi sikap yang telah diuraikan di atas, maka

dapat diberi definisi sikap terhadap pernikahan sebagai bentuk

evaluasi perasaan dan kecenderungan potensial untuk bereaksi yang merupakan hasil interaksi antara komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling bereaksi di dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap pernikahan.

2. Aspek Sikap Terhadap Pernikahan

  Pembentukan sikap terhadap pernikahan merupakan hasil dari pengalaman yang dilihat dari bentuk pernikahan orang tua maupun dari orang sekitar. Seperti halnya dimensi dalam sikap pada umumnya maka dimensi dalam sikap terhadap pernikahan dibagi dalam tiga dimensi yaitu kognitif, afektif, dan konatif.

  Dimensi pertama berupa kognitif merupakan masuknya persepsi individu terhadap pernikahan. Persepsi tersebut bisa mengarah ke positif maupun negatif. Persepsi positif disini adalah seseorang memandang pernikahan sebagai lembaga yang memberikan kenyamanan serta mendapatkan keintiman dalam ikatan yang sah secara hukum dan agama. Persepsi negatif terhadap pernikahan adalah ketika seseorang memandang pernikahan sebagai suatu hal yang menakutkan karena akan dihadapkan pada masalah-masalah baru dalam kehidupannya.

  Dimensi kedua berupa afektif dimana sikap seseorang sangat ditunjukkan secara langsung, apakah ia menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang menyenangkan atau menyedihkan. Apabila seseorang memandangnya secara positif ia akan merasa bahwa pernikahan adalah sesuatu yang menyenangkan, sedangkan apabila seseorang memandangnya secara negatif, maka ia akan menganggap pernikahan sebagai sesuatu yang menyedihkan.

  Dimensi ketiga berupa konatif dimana dimensi ini menunjukkan kecenderungan sikap seseorang. Apabila pandangan dan perasaannya terhadap pernikahan adalah positif, maka seseorang akan cenderung menerima suatu ikatan pernikahan sebagai fase yang akan dilewati dalam kehidupannya, sedangkan apabila persepsi dan perasaan seseorang terhadap pernikahan adalah negatif, maka ia akan cenderung untuk tidak ingin terikat dalam komitmen pernikahan.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Terhadap Perkawinan

  Faktor-faktor sikap menurut Walgito (1999:127-128) antara lain: a.

   Faktor fisiologis Faktor fisiologis seseorang akan ikut menentukan bagaimana sikap seseorang. Berkaitan dengan ini ialah faktor umur dan kesehatan. Pada umumnya orang muda sikapnya lebih radikal daripada orang yang telah tua, sedangkan pada orang dewasa sikapnya lebih moderat. Dengan demikian masalah umur akan berpengaruh terhadap sikap seseorang. Orang yang lebih sering sakit lebih bersikap tergantung daripada orang yang tidak sering sakit.

  b. Faktor pengalaman langsung terhadap objek sikap Bagaimana sikap seseorang terhadap objek sikap akan dipengaruhi oleh pengalaman langsung orang yang bersangkutan dengan objek sikap tersebut. Misal orang yang mengalami peperangan yang sangat mengerikan, akan mempunyai sikap yang berbeda dengan orang yang tidak mengalami peperangan terhadap objek sikap peperangan. Orang akan mempunyai sikap yang negatif terhadap peperangan atas dasar pengalamannya.

  c. Faktor kerangka acuan Kerangka acuan merupakan faktor yang sangat penting dalam sikap seseorang, karena kerangka acuan ini akan berperan terhadap objek sikap. Bila kerangka acuan tidak sesuai dengan objek sikap, maka orang mempunyai sikap yang negatif

d. Faktor komunikasi sosial

  Faktor komunikasi sosial sangat jelas menjadi determinan sikap seseorang, dan faktor ini yang banyak diteliti. Komunikasi sosial yang berwujud informasi dari seseorang kepada orang lain dapat menyebabkan perubahan sikap pada diri orang yang bersangkutan. Faktor-faktor sikap terhadap pernikahan dapat dilihat

berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap tersebut diatas.

  

Usia individu dapat mempengaruhi sikapnya terhadap pernikahan,

kematangan emosional individu akan berpengaruh terhadap positif

atau negatif sikapnya terhadap pernikahan. Selain itu juga dapat

dengan melihat pernikahan orang tuanya, apabila seorang individu

merasakan perceraian orang tua, meskipun tidak terlibat dalam

pernikahan itu sendiri seorang individu dapat merasakan akibat dari

kegagalan pernikahan orang tuanya, apabila seorang individu dapat

melalui fase menerima perceraian tersebut dengan baik maka sikapnya

terhadap pernikahan dapat positif, akan tetapi apabila tidak dapat

menerima perceraian orang tuanya maka sikapnya terhadap

pernikahan bisa menjadi negatif. Selain itu sikap terhadap pernikahan

juga dapat terpengaruh dengan menyaring informasi-informasi yang

ada sehingga individu dapat menilai bagaimana arti sebuah pernikahan

itu sendiri sehingga dapat menentukan apakah sikapnya terhadap

pernikahan positif atau negatif.

B. Perceraian

1. Pengertian Perceraian

  Menurut UU No 1 tahun 1974 tentang pernikahan, putusnya pernikahan dapat terjadi oleh karena: a. Kematian salah satu pihak.

  b. Perceraian.

  c. Atas keputusan pengadilan.

  Perceraian menurut Pasal 39 ayat (1) dan (2) UU Pernikahan:

  a. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan ke dua belah pihak.

  b. Untuk melakukan perceraian harus cukup ada alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.

  c. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan di atur dalam perundangan tersendiri.

  Perceraian dimaknai sebagai terputusnya hubungan suami-istri yang memiliki dampat besar bagi anak dan berkelanjutan. Perceraian merupakan alternatif terakhir sebagai solusi pernikahan yang bermasalah, karena hingga saat penelitian berlangsung individu masih merasa dampak dari perceraian orang tua yang telah terjadi lebih dari 10 tahun (Astrella, dalam Dewi, 2006).

  Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah putusnya ikatan rumah tangga antara suami dan istri

akibat tidak dipenuhinya hak dan kewajiban salah satu pihak.

2. Perlindungan Hukum Pada Anak yang Mengalami Perceraian Orang Tua

  Ketentuan mengenai akibat perceraian terhadap anak diatur dalam pasal 41 UU No. 1 Tahun 1974. Adapun isi dari pasal tersebut adalah:

  a. Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak-anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberikan keputusannya.

  b. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan anak-anak, kecuali dalam pelaksanaannya pihak bapak tidak dapat melakukan kewajiban tersebut, maka Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.

  c. Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberi biaya penghidupan dan/atau menentukan suatu kewajiban bagi bekas istri. Jadi menurut UU No. 1 Tahun 1974 walaupun orang tua sudah bercerai, mereka masih terikat pada kewajiban memelihara anak-anak yang telah dilahirkan dari pernikahan mereka. Juga dapat diketahui bahwa baik ibu ataupun bapak mempunyai hak yang sama terhadap pemeliharaan anak. Persamaan hak untuk memelihara ini sering menjadi pemicu perebutan hak pemeliharaan anak antara ayah dan ibu. Atas perebutan hak pemeliharaan anak Pengadilan yang akan memutuskan siapa yang berhak untuk itu. Dalam memberikan keputusan Pengadilan semata-mata memperhatikan kepentingan anak, misalnya jika anak masih berumur kurang dari 12 tahun, maka Pengadilan akan memberikan hak pemeliharaan kepada ibu, karena anak yang masih dibawah umur tersebut, jika anak sudah dapat memilih, maka anak disuruh memilih untuk ikut ibu atau ikut ayahnya.

  Apapun yang menjadi keputusan hakim, ayah sebagai mantan suami tetap berkewajiban memberikan nafkah kepada anak untuk biaya hidup dan pendidikannya. Walaupun demikian ibu juga dapat ditetapkan untuk ikut memikul beban biaya pemeliharaan anak tersebut.

  Berdasarkan ketentuan undang-undang di atas, dapat diketahui bahwa dampak perceraian yang dimuat hanyalah yang berdimensi fisik, tetapi tidak diatur dampak psikisnya.

3. Dampak Perceraian Pada Anak

  Rumah tangga yang pecah karena perceraian dapat lebih merusak anak dan hubungan keluarga ketimbang rumah tangga yang pecah karena kematian. Terdapat dua alasan untuk hal ini. Pertama, periode penyesuaian terhadap perceraian lebih lama dan sulit bagi anak daripada periode penyesuaian apabila pernikahan orang tuanya pecah karena kematian (Hurlock, 1978). Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1978) menemukan bahwa kebanyakan anak melalui lima tahap dalam penyesuaian ini: penolakan terhadap perceraian, kemarahan yang ditujukan pada mereka yang terlibat dalam situasi tersebut, tawar-menawar dalam usaha mempersatukan orang tua, depresi, dan akhirnya menerima perceraian tersebut.

  Kedua, perpisahan yang disebabkan perceraian itu serius sebab

perceraian cenderung membuat anak ”berbeda” dalam mata kelompok

teman sebaya. Jika anak ditanya kemana orang tuanya atau mengapa

mereka mempunyai orang tua baru sebagai pengganti orang tuanya

yang tidak ada, mereka menjadi serba salah dan merasa malu. Di

samping itu mereka mungkin merasa bersalah jika mereka menikmati

waktu bersama dengan orang tua yang satunya, sementara orang

tuanya yang lain tidak bersama mereka (Hurlock, 1978).

  Menurut Rini (2002) dampak psikologis yang biasanya

dirasakan oleh anak ketika orangtuanya bercerai adalah: tidak aman

(insecurity), tidak diinginkan atau ditolak oleh orangtuanya yang pergi,

sedih dan kesepian, marah, kehilangan, merasa bersalah, menyalahkan diri sendiri sebagai penyebab orangtua bercerai.

  Perasaan-perasaan tersebut di atas oleh anak dapat termanifestasi dalam bentuk perilaku: suka mengamuk, menjadi kasar,

dan tindakan agresif lainnya, menjadi pendiam, tidak lagi ceria, tidak

suka bergaul, sulit berkonsentrasi dan tidak berminat pada tugas

sekolah sehingga prestasi di sekolah cenderung menurun, suka melamun, terutama mengkhayalkan orangtuanya akan bersatu lagi.

  Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada

awalnya anak akan sulit menerima kenyataan bahwa orangtuanya

tidak lagi bersama. Meski banyak anak yang dapat beradaptasi dengan baik, tapi banyak juga yang tetap bermasalah bahkan setelah bertahun-

  

tahun terjadinya perceraian. Anak yang berhasil dalam proses adaptasi,

tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika meneruskan

kehidupannya ke masa perkembangan selanjutnya, tetapi bagi anak

yang gagal beradaptasi, maka ia akan membawa hingga dewasa

perasaan ditolak, tidak berharga dan tidak dicintai. Perasaan-perasaan

ini dapat menyebabkan anak tersebut, setelah dewasa menjadi takut

gagal dan takut menjalin hubungan yang dekat dengan orang lain atau

lawan jenis (Rini, 2002).

  Sejalan dengan Rini, Andreas (2008) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa perceraian orang tua akan membawa pengaruh

langsung bagi anak–anak yang tiba-tiba saja harus menerima

keputusan yang telah dibuat oleh orang tua, tanpa ada bayangan

bahwa hidup mereka akan berubah secara tiba-tiba. Perceraian

menurut Andreas (2008) selalu menimbulkan akibat buruk pada anak

anak, meskipun dalam kasus tertentu dianggap alternatif terbaik

daripada membiarkan anak tinggal dalam keluarga dengan kehidupan

pernikahan yang buruk.

  Perkembangan anak akibat perceraian orangtuanya akan lebih

menderita dan akan menimbulkan trauma, sehingga membawa

pengaruh langsung dalam menyesuaikan diri dengan situasi baru yang

diperlihatkan dengan cara dan penyelesaian yang berbeda. Peranan

lingkungan keluarga sangat penting bagi seorang anak, terlebih lagi

  

pada tahun–tahun pertama dalam kehidupannya setelah orang tuanya

bercerai.

  Severe (dalam Andreas, 2008) mengemukakan anak dapat

melihat ketegangan yang dialami orang tuanya, tetapi khawatir jika

mengungkapkan emosinya, akan menambah kepedihan setiap orang.

Inilah alasan mengapa sebagian besar anak tidak pernah bicara dengan

orang tuanya tentang perasaannya mengenai perceraian. Perasaan

tersembunyi ini akan meningkatkan kecemasan dan memperlemah

kemampuan anak untuk berprestasi di sekolah. Selain itu, perasaan

yang tertekan bisa menjadi bibit bagi permasalahan yang lebih besar

dalam kehidupannya nanti.