Persepsi lansia penghuni Panti Wreda ``Hanna`` Yogyakarta terhadap Panti Wreda ``Hanna`` Yogyakarta - USD Repository

  

PERSEPSI LANSIA PENGHUNI PANTI WREDA “HANNA”

YOGYAKARTA TERHADAP PANTI WREDA “HANNA”

YOGYAKARTA

  SKRIPSI

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi.)

Program Studi Psikologi

  

Oleh:

  Franciskus Rondang Sitindaon NIM: 039114089

  PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  2009 i

  

PERSEPSI LANSIA PENGHUNI PANTI WREDA

“HANNA” YOGYAKARTA

TERHADAP PANTI WREDA “HANNA” YOGYAKARTA

  SKRIPSI

  

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi.)

Program Studi Psikologi

  

Oleh:

  Franc iskus Rondang Sitindaon NIM: 039114089

  PROGRAM STUDI PSIKOLOGI, JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

  2009 ii

iii

iv “…. My Dreams are My Motivation & Strenght….”

v Dipersembahkan untuk

  Bapa di Surga, inilah hasil usahaku Bapak-Ibuku, ungkapan rasa hormat dan baktiku.

  Saudara-saudaraku….salam sayang selalu. Semua lansia yang tetap terus menikmati indahnya kehidupan, walau waktu terus berjalan..

  Dan diriku sendiri yang juga akan menjadi lansia. Lansia yang bahagia! vi

  

ABSTRAK

PERSEPSI LANSIA PENGHUNI PANTI WREDA “HANNA”

YOGYAKARTA TERHADAP PANTI WREDA “HANNA”

YOGYAKARTA

  

Franciskus Rondang Sitindaon

039114089

Fakultas Psikologi

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

  Salah satu keberhasilan pembangunan Indonesia, yaitu peningkatan taraf hidup dan kesehatan penduduk mengakibatkan umur harapan hidup penduduk meningkat. Peningkatan umur harapan hidup penduduk berdampak pada jumlah para lansia yang semakin bertambah. Peningkatan jumlah penduduk lansia tentunya membawa dampak di berbagai bidang. Lansia yang mengalami perubahan, baik fisik, psikis, dan sosial memerlukan adanya pelayanan untuk memenuhi kebutuhan, baik fisik, psikis, maupun sosial, seperti pengadaan panti wreda. Panti wreda sebagai lembaga yang me mbantu para lansia dapat dipersepsi positif oleh keluarga lansia maupun oleh lansia yang menjadi penghuni panti wreda karena sangat membantu baik dalam merawat lansia. Namun, panti wreda terkadang masih dipersepsi negatif baik oleh lansia sendiri maupun keluarga lansia penghuni panti wreda.

  Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif yang bertujuan untuk mendeskripsikan persepsi lansia penghuni panti wreda terhadap panti wreda yang ditempati oleh lansia tersebut. Aspek-aspek panti wreda yang dipersepsi lansia antara lain pihak pengelola, relasi lansia dengan perawat, relasi lansia dengan sesama lansia, fasilitas, dan lingkungan fisik panti.

  Subjek penelitian adalah lansia yang tinggal di panti wreda “HANNA” Yogyakarta. Jumlah subjek terdiri dari lima perempuan yang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Metode pengumpulan data dilakukan dengan wawancara terhadap lansia penghuni panti wreda “HANNA” Yogyakarata.

  Hasil penelitian menggambarkan bahwa persepsi subjek penelitian terhadap tiga aspek panti wreda “HANNA” Yogyakarta, yaitu pihak pengelola, relasi lansia dengan perawat, dan relasi lansia dengan sesama lansia cenderung positif. Persepsi negatif ditujukan pada fasilitas dan lingkungan fisik panti.

  Kata Kunci: persepsi, lans ia, panti wreda “HANNA” Yogyakarta. vii

  

ABSTRACT

THE PERCEPTIONS OF OLDER PEOPLE AT “HANNA”

YOGYAKARTA NURSING HOME TOWARD “HANNA” YOGYAKARTA

NURSING HOME

  

Franciskus Rondang Sitindaon

039114089

Faculty of Psychology

UNIVERSITY OF SANATA DHARMA

  One of the Indonesia development success which is the increasing of citizen’s extent of life and helath causes the increasing of citizens’ life expectancy. The increasing of life expectancy has an effect on the increasing number of older people. The increasing number of older people brings about some effects in many aspects. Older people who experience physical, mental, and social changes, require a service that can fulfill their needs like the establishment of nursing homes. Nursing homes as departments that help older people, can be perceived positively both by the older people and their family who stay in nursing homes, because nursing homes help them take care the older people. Yet, nursing homes could be perceived negatively as well.

  The study is the qualitative descriptive one. The aim of this study is to investigate the perceptions of older people who stay at nursing home toward the nursing home which the older people live in. The aspects of nursing home which were perceived by the older people are the owner, relationship among the older people and nurses, the relationship among older people, facility, and physical environment.

  The participants of the study were the older people who stay at “HANNA” Yogyakarta nursing home. The participants of the study consisted of five people who met the designated criteria. The data were collected by conducting interview toward the older people who stay at “HANNA” Yogyakarta nursing home.

  The result showed that the participants’ perception toward three aspects of “HANNA” Yo gyakarta nursing home which are the owner of the nursing home, the relationship among the older people and the nurses, and the relationships among all of the older peole are positive. Negative perceptions were shown toward the two aspects of nursing home: facility and physical environment.

  Keywords: perception, older people, “HANNA” Yogyakarta nursing home. viii ix

KATA PENGANTAR

  Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah astu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Psikologi di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  Proses dari awal hingga akhir pembuatan skripsi ini telah melibatkan banyak pihak yang dengan terbuka memberikan bantuannya. Untuk itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada: 1.

  Bapak P. Eddy Suhartanto, S. Psi., M. Si, selaku Dekan Fakultas Psikologi Unuversitas Sanata Dharma yang telah memberikan ijin penelitian untuk skripsi ini.

  2. Ibu Dra. Lusia Pratidarmanastiti, M. Si, selaku Dosen Pembimbing yang telah membimbing peneliti dari awal hingga akhir dalam penyusunan skripsi ini.

  3. Ibu Agnes Indar E., S. Psi., M. Si, selaku Dosen Pembimbing Akademik.

  4. Segenap dosen fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah membantu peneliti selama ini hingga dapat terselesaikannya penulisan skripsi ini.

  5. Para subjek penelitian yang telah membantu peneliti hingga skripsi ini dapat terselesaikan.

  6. Panti Wreda “HANNA” Yogyakarta yang telah membantu peneliti hingga skripsi ini dapat terselesaikan. x

  7. Orang tua penulis, (Almarhum) Bapak Antonius Djaman Sitindaon dan Ibu Nurdiana Sinaga yang telah mendukung dan mendorong peneliti hingga dapat menyelesaikan penyusunan skrispsi ini. Salam sayang selalu.

  8. Abang dan kakakku (Coky, Butet, Norman, Siska, & Nando). Terimakasih atas bantuannya selama ini, memberikan kritik, semangat, dan doa dalam penulisan skripsi. Salam sayang selalu.

  9. Seluruh keluarga besar penulis yang telah memberi semangat serta mendoakan penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.

  10. Para karyawan sekretariat fakultas psikologi (ibu Nanik, Mas Gandung, Bapak Gie) yang telah membantu penulis dalam membantu penulis dalam semua urusan administrasi di fakultas dan memberikan pengalaman menjadi asisten BRS on-line. Mas Donnie, terima kasih sudah membantu penulis dengan meminjamkan buku dan jurnal. Terima kasih sekali lagi.

  11. Teman-teman fakultas psikologi yang telah banyak membantu penulis dalam penulisan skripsi ini.

  12. Teman-teman di Paduan Suara Mahasiswa “Cantus Firmus”. Terima kasih atas keceriaan, semangat, tawa, sedih,…semua jadi satu. Suatu kebahagiaan & kehormatan memiliki dan menjadi bagian keluarga PSM “Cantus Firmus”.

  13. Teman-teman kontrakan yang telah membantu penulis, Ato & Kang Harri, nice to know u guys . xi

14. Akhirnya, terima kasih dan salam hormat selalu kepada Yesus dan

  Sidharta Gautama. Ajaran kalian selalu menemani dan menolongku diriku ketika semangat dan hidup terasa berat kujalani.

  Penulis xii

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL……………………………………………………. i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING……………..... ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI………………………………. iii HALAMAN MOTTO………………………………………………….. iv HALAMAN PERSEMBAHAN………………………………………... v LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN KARYA…..………………… vi ABSTRAK………………………………………………………………. vii ABSTRACT……………………………………………………………… viii HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH………… ix KATA PENGANTAR…………………………………………………... x DAFTAR ISI……….…………………………………………………….. xiii DAFTAR TABEL….…………………………………………………….. xvii DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………….. xviii

  BAB I (PENDAHULUAN) A.

  1 Latar Belakang Masalah……….………………………… B.

  9 Rumusan Permasalahan………….….…………………… C.

  9 Tujuan Penelitian………………………………………… D.

  9 Manfaat Penelitian…………………………………………

  BAB II (LANDASAN TEORI) A. Persepsi 1. Definisi Persepsi…………………………………………. 11 xiii

  2.

  12 Faktor-Faktor Mempengaruhi Persepsi………………..

  B.

  Lanjut Usia 1.

  Definisi Lansia…………………………………………… 16 2.

  17 Perubahan Pada Lansia…………………………………

  a. Perubahan Fisik……………………………………

  17

  b. Perubahan Psikologi………………………………

  20 c. Perubahan Sosial………………………………….

  22 C. Panti Wreda “HANNA” Yogyakarta 1.

  25 Definisi Panti Wreda…………………………………… 2.

  25 Tujuan Panti Wreda…………………………………… 3.

  26 Akibat Panti Wreda…………………………………….

  4.

  28 Aspek-Aspek Panti Wreda………………………….…..

  5.

  33 Panti Wreda “HANNA” Yogyakarta…………………..

  a.

  33 Definisi Panti Wreda “HANNA” Yogyakarta…….

  b.

  33 Tujuan Panti Wreda “HANNA” Yogyakarta…….

  c.

  34 Akibat Panti Wreda “HANNA” Yogyakarta……..

  d.

  34 Aspek-Aspek Panti Wreda “HANNA” Yogyakarta xiv D.

  Persepsi Lansia Penghuni Panti Wreda “HANNA” Yogyakarta Terhadap Panti Wreda “HANNA” Yogyakarta

  37 BAB III (METODE PENELITIAN) A.

  Jenis Penelitian………………………………………….. 40 B. Subjek Penelitian……………………………………..… 41 C.

  42 Prosedur Penentuan Sumber Data……………………...

  D.

  Variabel Penelitian……………………………………… 42 E.

  43 Metode Pengumpulan Data…………………………….

  F. Analisis Data…………………………………………..… 45 G.

  46 Pemeriksaan Keabsahan Data………………………….

  BAB IV (PELAKSANAAN, HASIL PENELITIAN, DAN PEMBAHASAN) A.

  48 Pelaksanaan Penelitian……………………………..…...

  B.

  Hasil Penelitian………………………………………..… 51 1.

  51 Data Subjek Penelitian……………………………..

  2. Analisis Data………………………………………... 52 C. Pembahasan……………………………………………... 66 xv BAB V (KESIMPULAN DAN SARAN) A. Kesimpulan……………………………………………… 77 B. Saran……………………………………………………... 77 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….. 78 LAMPIRAN-LAMPIRAN……………………………………………….. 81 xvi

xvii

  DAFTAR TABEL

  Tabel I. Panduan Wawancara……………………………………

  44 Tabel II. Data Subjek Penelitian…………………………………

  51 Tabel III. Hasil Tabulasi Persepsi Subjek Penelitian………………

  52

DAFTAR LAMPIRAN

  Lampiran I Transkrip Verbatim Wawancara Subjek P1………………. 81 Lampiran II Transkrip Verbatim Wawancara Subjek P2 …..…………....87 Lampiran III Transkrip Verbatim Wawancara Subjek P3..…………….... 95 Lampiran IV Transkrip Verbatim Wawancara Subjek P4.…………….... 101 Lampiran V Transkrip Verbatim Wawancara Subjek P5..……………… 108 Lampiran VI Surat Keterangan Penelitian……………………………..... 113 xviii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Jumlah penduduk lanjut usia (lansia) di Indonesia meningkat

  dengan signifikan dari tahun 2000 hingga 2 dekade ke depan nanti. Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial Departemen Sosial (Pusdatin Depsos dalam Damanik, 2003) memperkirakan jumlah lansia pada tahun 2000 sudah mencapai 15, 8 juta atau sekitar 7,6 persen dari total penduduk Indonesia. Pada tahun 2010 nanti, jumlah itu akan meningkat menjadi 17,3 juta atau 7,4 persen dari total penduduk pada tahun yang sama.

  Peningkatan jumlah penduduk diakibatkan taraf hidup dan kesehatan penduduk Indonesia yang semakin lama semakin baik sebagai wujud dari hasil pembangunan, telah meningkatkan harapan hidup. Ini terbukti meningkatnya umur harapan hidup penduduk, yang pada akhirnya berdampak pada jumlah para lansia akan terus bertambah (Supriyadi, 2007).

  Peningkatan jumlah penduduk lansia tentunya membawa dampak di berbagai bidang (Damanik, 2003). Pada bidang kesehatan, misalnya penyediaan layanan yang lebih khusus dala m menangani masalah kesehatan lansia. Ini dikarenakan lansia mengalami proses penurunan kemampuan fisik, psikis, dan intelektual secara substansial (Kompas, dalam Damanik, 2003), sehingga lebih rentan terhadap gangguan berbagai

  2 jenis penyakit. Pada bidang ekonomi, penyediaan bantuan dari berbagai pihak jelas diperlukan, karena sebagian besar lansia bergantung pada kelompok usia produktif. Pada bidang sosial-budaya dirasakan semakin mendesak upaya untuk menyediakan layanan sosial. Ini dikarenakan mereka secara sosial cenderung diabaikan oleh kelompok penduduk lainnya dalam proses-proses interaksi sosial, sehingga muncul perasaan terisolasi dari lingkungan masyarakat.

  Pada perjalanan hidup, manusia secara alami akan mengalami proses penuaan yang berupa perubahan, baik fisik, psikis, dan sosial (Supriyadi, 2007). Perubahan tersebut antara lain kemunduran pada organ tubuhnya. Pada usia lanjut secara fisiologis akan terjadi penurunan fisik, misalnya dalam pendengaran dan penglihatannya berkurang, kulitnya keriput kering dan sakit-sakitan. Selain itu, tulang mudah patah dan timbulnya berbagai penyakit, seperti tekanan darah tinggi, diabetes, dan lain- lain. Pada segi psikis terdapat penurunan, seperti gangguan ingatan, perasaan curiga, murung, kurang bergairah, merasa tidak berguna, dan lain- lain. Sedangkan pada segi sosial, perubahan pola interaksi dalam keluarga, seperti anak yang bersekolah atau bekerja di kota lain (Mönks, 1999).

  Oleh karena itu, dengan adanya proses penuaan yang berupa perubahan, baik fisik, psikis, dan sosial, maka lansia memerlukan adanya pelayanan untuk memenuhi kebutuhan baik fisik, psikis, dan sosialnya, yaitu dengan pengadaan panti sosial, seperti panti wreda, yang mengurusi

  3 bagi para lansia, terutama mereka yang terlantar (Supriyadi, 2007).

  Pernyataan ini dipertegas Salamah (2005) bahwa kesejahteraan lansia merupakan tanggung jawab bersama, merawat, dan memberikan kesejahteraan sehingga lansia terjamin kehidupannya.

  Panti wreda secara umum memiliki pengertian sebagai suatu lembaga khusus bagi orang-orang dewasa yang membutuhkan perawatan khusus.

  Penghuni yang tinggal di panti wreda sebagian besar berusia lebih dari 85 tahun (U. S. Senat dalam Perlmutter, 1992). Selain itu, panti wreda juga diartikan sebagai lembaga sosial yang bertujuan untuk mengurus dan merawat lansia agar terjamin keselamatan dan kesehatannya (Rinawati dalam Salamah, 2005). Panti wreda “HANNA” Yogyakarta sebagai suatu lembaga yang memiliki tujuan untuk meningkatkan dan melestarikan pelayanan kepada orang lansia di Yogyakarta. Pelayanan yang diberikan oleh panti wreda “HANNA” Yogyakarta terhadap lansia tertuju pada kebutuhan jasmani dan rohani secara utuh (“HANNA”, 2004).

  Panti wreda secara umum dalam perkembangannya melaksanakan kegiatan pemberian kesibukan kepada para lansia berupa bimbingan keterampilan kerja yang berguna untuk melepaskan lansia dari kevakuman sosial, rasa kesepian, dan mencegah pengerasan dan atropia anggota badan (Tursilarini & Untung, 2003). Kondisi ini juga berlaku pada panti wreda “HANNA” Yogyakarta, namun tidak berhubungan dengan keterampilan, yang memberikan kegiatan kepada lansia yang memilih tinggal di panti

  4 wreda “HANNA” Yogyakarta, seperti senam lansia, membaca, menjahit, dan lain- lain (“HANNA”, 2004).

  Lansia, secara umum, yang ditempatkan di panti wreda, didasarkan pada hasil evaluasi penelitian terhadap penyebab lansia yang tinggal di panti wreda, dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu karakteristik sosiodemografis, status kesehatan, keberfungsian-kelemahan kognisi, dan dukungan sosial atau lingkungan (Russell dkk, 1997). Faktor sosiodemografis yang menyebabkan lansia ditempatkan di panti dikarenakan alasan usia. Usia yang semakin bertambah tua, semakin tinggi kemungkinannya lansia ditempatkan di panti (Cohen dkk dalam Russell dkk, 1997).

  Faktor umum lain yang dapat dikatakan memegang peranan penting seorang lansia ditempatkan oleh pihak keluarga lansia di panti adalah alasan status kesehatan. Status kesehatan lansia yang menurun akibat terkena kanker, stroke, atau pelemahan fungsi sistem syaraf (Liu dkk dalam Russell dkk, 1997), pelemahan atau penurunan keberfungsian atau penurunan secara fisik atau kognitif (Cohen dkk dalam Russell dkk, 1997), dan orang lansia yang menderita satu atau lebih penurunan kemampuan hidup sehari-hari seperti berpakaian, menyiapkan makanan, dan mandi lebih besar kemungkinannya ditempatkan di panti wreda dibandingkan dengan lansia yang tidak mengalami penurunan fungsi (Jette dkk dalam Russell dkk, 1997). Lansia dengan penurunan fungsi kognitif baik itu sedang atau berat, tetapi tanpa penurunan kemampuan hidup

  5 sehari- hari 2 (dua) kali lebih besar kemungkinan untuk ditempatkan di panti wreda dibandingkan lansia yang tidak mengala mi penurunan fungsi kognitif (Coughlin & Foley dalam Russell dkk, 1997). Penurunan fisik dan kognitif akan memperbesar kemungkinan lansia ditempatkan di panti wreda (Foley dkk dalam Russell dkk, 1997).

  Selain itu, penyebab secara umum yang menyebabkan lans ia ditempatkan di panti wreda adalah kondisi lansia yang hidup sendiri dibandingkan hidup dengan orang lain (Coughlin dkk dalam Russell dkk, 1997). Lansia yang hidup dengan pasangan hidupnya, anak perempuan, atau saudara dari lansia itu sendiri memiliki kemungkinan yang lebih kecil ditempatkan di panti wreda (Freedman dalam Russell dkk, 1997). Lansia yang pasangan hidup masih ada atau kerabat keluarga yang tinggal satu rumah dapat memberi bantuan pada tugas yang sulit atau membantu menyediakan kebutuhan lansia (Greene dkk dalam Russell dkk, 1997).

  Pendapat umum menyatakan bahawa penempatan lansia di panti wreda dapat bernilai negatif, yaitu orang lanjut hidup dalam kesepian, isolasi atau keterasingan sosial (Salamah, 2005). Ini dikarenakan tinggal di panti wreda tidak sebebas di rumah sehingga lansia mengalami tekanan terutama psikisnya, seperti perasaan tersisih, terbuang dari keluarga, dan terisolir dari lingkungan masyarakat. Schultz & Brenner (dalam Davidson, 2006) menyatakan bahwa penempatan lansia di panti wreda mengakibatkan lansia mengalami suatu perubahan sosial yang dapat menjadi stressor dan diyakini berperan dalam meningkatnya mortalitas,

  6 walaupun terkadang penempatan lansia di panti maupun lembaga-lembaga sosial merupakan keinginan lansia itu sendiri atau karena kondisi keluarga.

  Pada sisi positif, secara umum lansia yang masuk panti wreda, yaitu dari pengaruh karakteristik lingkungan panti terhadap perilaku dan kesejahteraan psikologis lansia menunjukkan bahwa lingkungan panti wreda memberikan kenyaman yang membantu perkembangan kemandirian dan juga menyediakan pelayanan kesehatan yang memberikan dampak positif (Lieberman dkk dalam Long, 1984).

  Namun, bagaimanapun juga menurut Papalia & Olds (dalam Afida dkk, 2000) keputusan untuk menempatkan lansia di panti wreda tidak menjadi jalan keluar yang disukai. Data hasil penelitian terhadap 3 (tiga) panti wreda (Montgomery dalam Long, 1984) yang menegaskan bahwa panti wreda bukan sebagai tempat pembuangan orang-orang lanjut usia, tetapi sebagai pilihan terakhir.

  Penempatan lansia di panti menimbulkan kesan seakan mereka terbuang dan dirasa kurang manusiawi yang tentunya berdampak negatif bagi lansia dan juga bagi hubungan antara anggota keluarga lansia itu sendiri yang menimbulkan ketidaksetujuan atau rasa bersalah.

  Sebuah studi yang dilakukan Smith & Bengston (dalam Davidson, 2006) menemukan bahwa beberapa keluarga yang menempatkan lansia di panti wreda justru memperkuat ikatan keluarga, hanya sekitar 10 persen keluarga yang hubungan keluarganya memburuk karena perpindahan ke panti wreda.

  7 Penempatan lansia di panti wreda juga sejalan dengan persepsi orang terhadap panti wreda yang cenderung positif maupun negatif.

  Persepsi dalam arti sempit adalah penglihatan, bagaimana cara seseorang melihat sesuatu; sedangkan dalam arti luas adalah pandangan atau pengertian, yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu (Leavit dalam Sobur, 2003). Persepsi juga diartikan sebagai bentuk kewaspadaan indera seseorang yang dipengaruhi oleh kemampuan mental, sikap, pengharapan, motivasi, dan pola berpikir (Lovel, 1968).

  Persepsi akan terjadi jika ada objek/stimulus yang akan dipersepsi, ada alat indera, dan ada perhatian terhadap objek yang akan dipersepsi (Cronbach dalam Sahrah, 2004). Murdiyanto (2007) melihat bahwa persepsi seseorang mengenai objek, merupakan hasil pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Oleh karena itu, pengalaman khusus seseorang yang hidup dalam suatu kebudayaan tertentu akan sangat mempengaruhi persepsinya terhadap suatu objek.

  Persepsi cenderung positif secara umum dimiliki oleh lansia yang tinggal di panti wreda karena keinginan sendiri (Salamah, 2005). Lansia yang tinggal di panti wreda atas keinginan sendiri menyatakan bahwa dengan disediakannya panti wreda merupakan hal yang bermanfaat bagi lansia. Lansia yang ditempatkan di panti wreda lebih diperhatikan, kehidupan lansia tenang dan nyaman, serta ada kegiatan yang dapat mengurangi kebosanan seperti kerajinan menyulam dan gamelan. Alasan lansia secara umum menilai panti wreda secara positif juga berlaku pada

  8 lansia yang tinggal di panti wreda “HANNA” Yogyakarta. Secara umum, lansia yang tinggal di panti wreda “HANNA” Yogyakarta mendapatkan kemudahan dalam menikmati hidup, merasakan kebebasan dalam melakukan kegiatan yang disukai, memiliki banyak teman sebaya, dan lain- lain (“HANNA”, 2004).

  Persepsi yang mengarah negatif secara umum, pada bagian ini peneliti hanya mendapatkan fakta tentang persepsi positif dengan memanfaatkan sumber tertulis, yaitu buku Jubileum ke-25 Panti Wreda “HANNA” Yogyakarta, mengatakan bahwa panti wreda adalah tempat pembuangan orang-orang yang sudah lanjut usia yang tidak diharapkan oleh keluarganya timbul bagi lansia yang tidak dapat menerima kenyataan harus berada di panti wreda (Salamah, 2005). Lansia dinilai merepotkan keluarga sehingga tanpa keinginan sendiri lansia ditempatkan oleh keluarganya di panti wreda. Keluarga yang menempatkan orang tuanya di panti wreda dinilai oleh lingkungan kurang bertanggung jawab terhadap orang tua yang telah membesarkan anaknya atau tidak ada usaha balas jasa dari anak-anaknya (Sitindaon, 2007). Lebih jauh lagi, persepsi negatif juga dapat dimungkinkan ada oleh karena individu masih ingin mempertahankan hidup yang merdeka atau masih menginginkan privacy (Thomae dalam Mönks, 1999).

  Oleh karena itu, dengan adanya pertentangan persepsi terhadap panti wreda tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji secara empiris bagaimana persepsi para lansia yang tinggal atau menjadi penghuni panti wreda

  9 karena persepsi dari para lansia yang tinggal di panti lebih penting sehingga dengan mengetahui persepsi para lansia dapat menjadi acuan dalam mengembangkan panti wreda secara khusus atau dalam menangani para lansia pada umumnya.

  B. Rumusan Permasalahan

  Bagaimana persepsi lansia yang tinggal di panti wreda “HANNA” Yogyakarta terhadap panti wreda “HANNA” Yogyakarta.

  C. Tujuan Penelitian

  Mengetahui persepsi lansia yang tinggal di panti wreda “HANNA” Yogyakarta terhadap panti wreda “HANNA” Yogyakarta.

  D. Manfaat Penelitian 1. Praktis a.

  Bagi pihak-pihak (perawat, petugas kebersihan, pimpinan panti, dan lain- lain) yang bekeja di panti wreda, secara khusus panti wreda “HANNA” Yogyakarta dan praktisi yang peduli dengan orang-orang lanjut usia semakin memahami lansia.

  b.

  Bagi masyarakat yang belum mendapatkan informasi secara lengkap keadaan para lansia penghuni panti wreda, khususnya lansia yang tinggal di panti wreda “HANNA” Yogyakarta.

  10 c.

  Bagi keluarga lansia yang memasukkan keluarganya ke panti wreda, khususnya panti wreda “HANNA” Yogyakarta.

2. Teoritis

  Persepsi terhadap Panti Wreda “HANNA” Yogyakarta pada lansia yang tinggal di Panti Wreda “HANNA” Yogyakarta akan menambah wacana psikogerontologi.

BAB II LANDASAN TEORI A. Persepsi 1. Definisi Persepsi Thoha (dalam Murdiyanto, 2007) mengartikan persepsi sebagai

  proses kognitif yang dialami setiap manusia di dalam memahami lingkungannya melalui penglihatan, penghayatan, dan perasaan, dan penciuman. Persepsi terjadi jika ada objek/stimulus yang akan dipersepsi, ada alat indera, dan ada perhatian terhadap objek yang akan dipersepsi (Cronbach dalam Sahrah, 2004).

  Persepsi sangat tergantung dari dua tipe informasi, yaitu lingkungan dan si penerima. Seseorang tidak dapat membentuk persepsi jika tidak ada objek, kehadiran objek juga tidak cukup bila orang tersebut tidak memiliki informasi tentang objek tersebut di dalam memorinya (Luthans dalam Tursilarini, 1994). Penjelasan ini sejalan dengan penjelasan Suharman (2005) bahwa hasil persepsi dipengaruhi oleh penampilan objek dan pengetahuna tentang objek itu sendiri sehingga suatu objek dapat dipersepsi secara berbeda oleh setiap individu.

  Selain itu, Murdiyanto (2007) melihat bahwa persepsi seseorang mengenai objek, merupakan hasil pengalaman dan interaksi dengan orang lain. Oleh karena itu, pengalaman khusus seseorang yang hidup dalam suatu kebudayaan tertentu akan sangat mempengaruhi persepsinya

  11

  12 terhadap suatu objek. Pemberian makan terhadap satu objek oleh seseorang, bergantung pada cara-cara orang lain bertindak terhadap dirinya dalam kaitannya dengan sesuatu. Dengan demikian, persepsi merupakan interpretasi terhadap suatu objek yang akan mempengaruhi tindakan manusia sehubungan dengan objek tersebut.

  Berbagai penjelasan tentang arti persepsi membawa kesimpulan bahwa persepsi dilihat sebagai suatu cara atau aktivitas dari individu yang melibatkan aktivitas indera dalam memandang, menginterpretasikan serta memberikan penilaian yang berbeda satu sama lain terhadap objek-objek fisik maupun sosial yang terlebih dahulu individu memiliki informasi tentang objek-objek fisik maupun sosial sehingga membantu individu secara lebih baik dalam berinteraksi dengan lingkungan 2.

   Faktor-Faktor Yang Memepengaruhi Persepsi

  Faktor yang mempengaruhi persepsi terbagi menjadi 2 (Sobur, 2003), yaitu faktor intern dan ekstern.

a. Faktor intern/dari individu

  1) Kepribadian Persepsi individu dapat dipengaruhi faktor kepribadian.

  Individu yang memiliki ciri-ciri kepribadian introvert mungkin akan tertarik kepada individu yang memiliki ciri-ciri kepribadian yang sama atau berbeda.

  13 2)

  Kebudayaan Suatu benda atau objek akan dipersepsi secara berbeda oleh individu berdasarkan kebudayaan yang dianut dan dipraktekkan oleh individu itu sendiri. Oleh karena itu, seringkali terjadi bahwa hal yang dilihat sebagai sesuatu yang biasa oleh satu individu dianggap asing oleh individu yang lain. 3)

  Motivasi Persepsi ditimbulkan jika individu memiliki keinginan terhadap objek atau benda yang ingin dipersepsinya. Orang dengan kebutuhan hubungan interpersonal yang sangat tinggi lebih memperhatikan tingkah laku rekan kerja terhadap dirinya dibandingkan orang yang kebutuhan interpersonalnya rendah (Guirdham dalam Sobur, 2003).

  4) Minat/hal yang menarik

  Persepsi lebih cepat dilakukan jika objek atau benda yang dipersepsi memberikan daya tarik yang besar bagi individu.

  Semakin besar suatu benda atau objek memberikan daya tarik semakin besar kemungkinan individu melakukan persepsi.

  5) Kebutuhan/need

  Persepsi terhadap objek atau benda akan lebih mungkin terjadi jika objek atau benda yang dipersepsi sesuai dengan kebutuhan individu akan sesuatu hal.

  14 6)

  Pengalaman Pengalaman individu terhadap suatu benda atau peristiwa berpengaruh terhadap bagaimana individu melihat benda atau peristiwa. Individu yang berpengalaman dengan benda atau objek yang sering dialaminya tidak akan merasa asing, sedangkan individu yang jarang atau tidak pernah memiliki pengalaman terhadap suatu benda atau objek akan merasa asing.

b. Faktor ekstern/diluar individu

  1) Kejelasan objek

  Objek atau benda yang bersifat abstrak akan lebih mengalami kesulitan untuk dipersepsi dibandingkan dengan objek bersifat objektif atau nyata. 2)

  Objek baru yang lebih menarik Individu akan lebih melakukan persepsi terhadap objek atau benda yang baru dan menarik dibandingkan dengan objek lama yang telah sering dialami

  3) Percepatan dari objek

  Gerakan yang cepat lebih efektif dalam menimbulkan stimulus pada seseorang untuk melakukan persepsi dibandingkan gerakan yang lambat

  4) Intensitas

  Stimulus harus kuat agar dapat dipersepsi oleh individu, sehingga kekuatan stimulus akan turut menentukan disadari atau

  15 tidaknya stimulus itu. Kuatnya stimulus akan lebih mudah direspon daripada stimulus yang lemah. 5)

  Ulangan Objek atau benda yang ditampilkan secara berulang lebih memungkinkan menarik perhatian individu. Ulangan yang dilakukan terhadap objek atau benda mengakibatkan individu akan mengingat dan akan lebih sering memperhatikan dibandingkan objek atau benda yang frekuensi penampilannya kecil

  6) Keakraban

  Benda atau objek yang dikenal oleh individu lebih menarik perhatian.

  7) Ukuran

  Pada umumnya stimulus yang besar lebih menguntungkan dalam menarik perhatian bila dibandingkan dengan ukuran yang kecil

  8) Kontras

  Objek atau benda yang memiliki sifat atau ciri-ciri yang berbeda dari objek atau benda yang biasa dilihat oleh individu akan lebih menarik perhatian. Hal ini dikarenakan perbedaan yang menonjol diantara objek atau benda yang hadir.

  16 Pada kesimpulannya, persepsi dilihat sebagai suatu cara atau aktivitas yang melibatkan aktivitas indera dalam memandang, menginterpretasikan serta memberikan penilaian terhadap objek-objek fisik maupun sosial yang terlebih dahulu individu memiliki informasi tentang objek-obejk fisik maupun sosial sehingga membantu individu secara lebih baik dalam berinteraksi dengan lingkungan. Individu melakukan persepsi tentunya tidak terlepas dari pengaruh, baik dari individu/faktor intern (motivasi, kebutuhan, kepribadian, kebudayaan, dan lain- lain) maupun dari luar individu/faktor ekstern (kejelasan objek, kontras, ulangan, objek baru yang lebih menarik, dan lain- lain).

B. Lanjut Usia 1. Definisi Lanjut Usia (lansia)

  Batasan usia penduduk berusia lanjut berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan analisis (Singarimbun dalam Damanik, 2003). Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) membuat batas umur 65 tahun ke atas, meskipun di berbagai negara, khususnya yang memiliki rerata usia harapan hidup yang rendah, batasannya lebih rendah, misalnya 60 tahun keatas. Dalam publikasi pemerintah, batas usia yang digunakan untuk menggolongkan penduduk ke dalam kategori lansia adalah seperti definisi PBB (Badan Pusat Statistik dalam Damanik, 2003). Undang-Undang RI No. 13 Tahun 1998 pasal 1 ayat 2 (dalam Salamah, 2005) tentang kesejahteraan lansia, menyebutkan bahwa lansia adalah seseorang yang telah mencapai umur 60

  17 tahun ke atas dan menyebutkan bahwa lansia minimal umur 56 tahun.

  Selain itu, Kelompok Kerja Kesejahteraan Lansia yang dibentuk Menko Kesra (Menteri Koordinasi Kesejahteraan Rakyat) tahun 1989 menyebutkan bahwa lansia adalah mereka yang berumur lebih dari 60 tahun (Warta Demograf dalam Suprayogo, 2004).

  Suyono (dalam Hartati & Andayani, 2004) menyatakan bahwa Gerontologi membagi dalam dua golongan, yaitu kelompok “young old” (67-74 tahun) dan kelompok “old-old” (berusia diatas 75 tahun). Jika ditinjau dari segi kesehatan, lansia juga dibagi dalam dua kelompok yaitu “well old” atau kelompok lansia yang sehat, tidak sakit-sakitan dan kelompok lansia yang menderita penyakit dan memerlukan pertolongan medis dan psikiatris atau yang disebut kelompok “sick old”.

  Berbagai penjelasan tentang pengertian tentang lansia yang dijabarkan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa lansia adalah orang yang berusia diatas 65 tahun dengan penggolongan lansia yang terdiri atas dua bagian yaitu, “young old” (67-74 tahun) dan “old-old”(75 tahun keatas).

2. Perubahan Pada Lansia

  Pada perjalanan hidup, manusia secara alami akan mengalami proses penuaan yang berupa perubahan, baik fisik, psikis, dan sosial (Supriyadi, 2007).

a. Perubahan Fisik

  1) Vinters (dalam Berk, 2006) menyatakan bahwa kemampuan otak yang menurun berpengaruh besar terhadap pikiran dan kemampuan

  18 beraktivitas lansia. Penurunan kemampuan otak pada lansia dikaitkan dengan matinya sel syaraf dan pelebaran jarak pada otak (enlargment of verticles within the brain).

  2) Perubahan yang terjadi pada sistem sensori seperti penglihatan, pencecap, peraba, dan pendengaran.

  a) Penglihatan

  Perubahan terjadi pada struktur mata mengakibatkan kesulitan untuk fokus pada objek, melihat objek pada tempat yang kurang cahaya, dan melihat warna. Harvey & U. S. Census Bureau (dalam Berk, 2006) menyatakan bahwa salah satu penyakit yang menyerang lansia yang berhubungan dengan penurunan penglihatan adalah katarak. Hammond dkk (dalam Berk, 2006) berpendapat bahwa ini diakibatkan proses penuaan secara biologis, keturunan, cahaya matahari yang berlebihan, rokok, diabetes, dan penyakit tertentu.

  b) Pencecap

  Perubahan yang terjadi menyebabkan lansia mengalami kesulitan mengenali makanan yang sudah sering dimakan (Fukunaga dkk dalam Berk, 2006). Hal ini disebabkan penurunan sensitivitas pengecap yang mungkin disebabkan faktor penuaan, merokok, gigi palsu, pengobatan, atau polusi dari lingkungan.

  19

  c) Peraba

  Stevens & Cruz (dalam Berk, 2006) menyatakan bahwa perubahan terjadi disebabkan hilangnya reseptor pada bagian kulit tertentu dan sirkulasi darah yang lambat ke kaki dan tangan. Perubahan yang terjadi dirasakan pada lansia setelah umur 70 tahun.

  d) Pendengaran

  Salah satu sistem sensori yang paling banyak mengalami penurunan fungsi adalah pendengaran dan terdapat perbedaan antara pria dan wanita dalam hal ini. Wanita lebih mengalami penurunan kemampuan penglihatan daripada pria dan sebaliknya pria lebih mengalami penurunan pendengaran daripada wanita (U. S. Department of Health & Human Services dalam Berk, 2005). Penurunan kemampuan pada pendengaran diakibatkan berkurangnya suplai darah dan kematian sel pada auditory cortex. Penurunan pendengaran menyebabkan rendahnya self-efficacy, kesepian, gejala depresi, dan relasi sosial yang terbatas (Kramer dkk dalam Berk, 2006). Namun, berkurangnya kemampuan mendengar tidak mengganggu lansia. Hal ini terjadi apabila gangguan suara dapat dikurangi dan persepsi mimik wajah dan konteks dibantu dengan penglihatan dapat membantu memahami kata yang diucapkan orang lain.

  20 3)

  Pada lansia, sistem kekebalan tubuh kurang berfungsi secara baik dan cenderung menyerang balik yang disebut autoimmune. Hasler & Zouali (dalam Berk, 2006) menyatakan bahwa Autoimmune dapat menyebabkan lansia rentan terserang berbagai penyakit seperti flu, jantung, diabetes, dan rematik. Lebih jauh Butcher & Lord (dalam Berk, 2006) menyatakan bahwa penurunan fungsi kekebalan tubuh dipengaruhi usia, stres, dan infeksi.

b. Perubahan Psikologi

  Perubahan psikologi yang terjadi pada lansia lebih banyak dikaitkan dengan keterbatasan fisik yang dialami oleh lansia. Pada sebagian lansia dengan keterbatasan fisik yang ada mampu mengembangkan beberapa hal, yaitu konsep penerimaan diri, integritas ego (ego integrity), dan affect optimization. Penerimaan diri (self-

  ) yang dimunculkan oleh lansia mampu membantu lansia

  acceptance

  menghadapi keterbatasan dan meningkatkan kesejahteraan psikologi (Ryff dalam Berk, 2006). Kesejahteraan psikologi pada lansia juga didukung dengan meningkatnya kegiatan yang bersifat religius sejalan dengan bertambahnya usia pada lansia (Argue dkk dalam Berk, 2006). Integritas ego yang dinyatakan oleh Erikson (dalam Berk, 2005) memandang lansia sebagai individu yang ‘penuh’, lengkap, dan memiliki kepuasan terhadap prestasi ya ng telah diraih sepanjang kehidupan yang telah dijalaninya. Sedangkan affect optimization adalah kemampuan memaksimalkan emosi positif yang dikembangkan

  21 oleh lansia dengan tujuan mengurangi emosi negatif yang menghambat kebahagiaan (Labouvie-Vief & Medler dalam Berk, 2006) serta membantu lansia mencegah timbulnya penyakit dan memperpanjang usia (Danner dkk dalam Berk, 2006).

  Selain itu, perubahan kemampuan fisik berpengaruh terhadap keadaan psikologi secara khusus yang dilihat pada keadaan kesehatan mental lansia. Kesehatan fisik yang tidak baik misalnya sakit dapat memicu terjadinya gangguan mental, salah satunya depresi (Geerlings dkk dalam Berk, 2006). Depresi juga dapat disebabkan oleh perpindahan lansia dari rumah ke panti wreda dengan alasan keterbatasan fisik.

  Perubahan keadaan psikologi pada lansia juga disebabkan adanya perubahan kehidupan yang bersifat negatif pada lansia. Perubahan kehidupan yang negatif ini banyak menimpa wanita yang telah berusia lebih dari 75 tahun, tidak ingin menikah kembali, pendapatan rendah, menderita berbagai penyakit yang membatasi aktivitas sehingga menyebabkan harga diri lansia wanita menjadi negatif. Oleh karena itu, dapat diperkirakan kesejahteraan psikologi pada lansia wanita cenderung rendah dibandingkan lansia pria (Pinquart & Sörensen dalam Berk, 2006).

  22 c.

   Perubahan Sosial

  Perubahan fisik dan psikologis pada lansia berpengaruh juga pada perubahan sosial pada lansia. Perubahan kehidupan sosial yang terjadi pada lansia dijelaskan dengan beberapa teori sosial: 1)

  Teori Penarikan Diri (Disengagement Theory) Cumming & Herry (dalam Berk, 2006) pada teori penarikan diri menyatakan bahwa lansia lambat laun memisahkan dan menarik diri dari lingkungan masyarakat yang diwujudkan dengan mengurangi hubungan dengan orang lain, penurunan ketertarikan pada kegiatan-kegiatan masyarakat, dan berkonsentrasi pada kehidupan spiritual. Teori penarikan diri juga menjelaskan bahwa lingkungan mendukung teori ini dengan membebaskan lansia dari tanggung jawab. Namun, menurut Luborsky & McMullen (dalam, Berk, 2006) pada beberapa tempat, lansia tetap diberi peranan dan memegang peranan penting di lingkungan sosial. Lansia menganggap bahwa penarikan diri yang dilakukan oleh lansia bukan semata-mata disebabkan oleh lansia sendiri, tetapi lebih pada tekanan lingkungan yang kurang menyediakan atau memberi kesempatan bagi lansia untuk ikut beraktivitas.

  2) Teori Aktivitas (Activity Theory)

  Maddox (dalam Berk, 2006) pada Teori Aktivitas menyatakan bahwa lansia tetap aktif dan sibuk sewaktu mereka berada di usia muda dengan mencari peran pengganti yang hilang

  23 oleh karena masa pensiun atau status janda. Lansia yang tetap aktif dan didukung dengan lingkungan yang memberikan kesempatan pada lansia untuk ikut beraktivitas dapat berpengaruh pada kepuasan hidup lansia. Namun, menurut Lee dkk (dalam, Berk,